DOSEN PENGAMPU:
Dra. YUSFANETI M,E.
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS JAMBI
2023
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Kami
panjatkan puja dan puji syukur kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidata, dan
inayah- Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Tugas Pendidikan
Agama Islam Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami
menyampaikan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
pembuatan makalah ini. Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenunya bahwa masih
ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu
dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapa
memperbaiki makalah ilmiah ini. Akhir kata kami berharap semoga makalah yang berjudul
Mengintegrasikan Iman Islam dan Ihsan dalam membentuk Insan Kamilini dapat
memberikan manfaat inspirasi terhadap pembaca.
TIM PENULIS
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB 1
PENDAHULUAN
Ihsan, dalam konteks Islam, mengacu pada konsep kebaikan, kecemerlangan, dan
keunggulan dalam beribadah kepada Allah. Ini adalah tingkat tertinggi dalam spiritualitas
Islam, di mana seseorang melakukan ibadah dengan kesadaran penuh akan Allah dan
dengan niat yang murni. Ihsan melibatkan hubungan yang mendalam antara individu dan
Tuhan.
Dalam Islam, konsep iman, Islam, dan ihsan membentuk kerangka kerja yang
mencakup keyakinan, tindakan, dan pengembangan spiritual. Mereka memainkan peran
penting dalam membimbing kehidupan seorang Muslim dan mencerminkan nilai-nilai
dasar agama ini.
1.Apa Sumber Teologis, Historis, dan Filosofis tentang Iman, Islam, dan Ihsan.
1.3 TUJUAN
1.Untuk mengetahui apa itu sumber ,teologis,historis,iman ,islam dan ihsan.
1
BAB II
PEMBAHASAN
yang menyembah Allah seolah-olah ia melihat-Nya, dan jika ia tidak mampu membayangkan
perbuatannya.
Ihsan adalah lawan dari isa'ah (berbuat kejelekan), yaitu seorang manusia mencurahkan
kebaikan dan menahan diri untuk tidak mengganggu orang lain. Mencurahkan kebaikan
Ihsan itu ialah bahawa “kamu menyembah Allah seolah-olah kamu melihat-Nya,tetapi jika
Ihsan juga adalah melakukan ibadah dengan khusyuk,ikhlas dan yakin bahwa Allah
senantiasa mengawasi apa yang dilakukannya. Hadist riwayat muslim”dari Umar bin Khatab
ia berkata bahwa mengabdikan diri kepada Allah hendaklah dengan perasaan seolah-olah
Ihsan meliputi tiga aspek yang fundamental. Ketiga hal tersebut adalah ibadah, muamalah,
dan akhlak. Ketiga hal inilah yang menjadi pokok bahasan dalam ihsan.
1. Ibadah
Kita berkewajiban ihsan dalam beribadah, yaitu dengan menunaikan semua jenis ibadah,
seperti shalat, puasa, haji, dan sebagainya dengan cara yang benar, yaitu menyempurnakan
syarat, rukun, sunnah, dan adab-adabnya. Hal ini tidak akan mungkin dapat ditunaikan oleh
2
seorang hamba, kecuali jika saat pelaksanaan ibadah-ibadah tersebut ia dipenuhi dengan cita
rasa yang sangat kuat (menikmatinya), juga dengan kesadaran penuh bahwa Allah senantiasa
memantaunya hingga ia merasa bahwa ia sedang dilihat dan diperhatikan oleh-Nya. Minimal
seorang hamba merasakan bahwa Allah senantiasa memantaunya, karena dengan inilah ia
dapat menunaikan ibadah-ibadah tersebut dengan baik dan sempurna, sehingga hasil dari
ibadah tersebut akan seperti yang diharapkan. Inilah maksud dari perkataan Rasulullah saw
engkau melihat-Nya, dan jika engkau tak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia
melihatmu. ”
Kini jelaslah bagi kita bahwa sesungguhnya arti dari ibadah itu sendiri sangatlah luas. Maka,
selain jenis ibadah yang kita sebutkan tadi, yang tidak kalah pentingnya adalah juga jenis
ibadah lainnya seperti jihad, hormat terhadap mukmin, mendidik anak, menyenangkan isteri,
meniatkan setiap yangmubah untuk mendapat ridha Allah, dan masih banyak lagi. Oleh
karena itulah, Rasulullah saw. menghendaki umatnya senantiasa dalam keadaan seperti itu,
2. Muamalah
Dalam bab muamalah, ihsan dijelaskan Allah swt. pada surah An-Nisaa’ ayat 36, yang
dengan sesuatupun dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapak, karib kerabat, anak-anak
yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat maupun yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil
Kita sebelumnya telah membahas bahwa ihsan adalah beribadah kepada Allah dengan sikap
seakan-akan kita melihat- Nya, dan jika kita tidak dapat melihat-Nya, maka Allah melihat
kita. Kini, kita akan membahas ihsan dari muamalah dan siapa saja yang masuk dalam
bahasannya. Berikut ini adalah mereka yang berhak mendapatkan ihsan tersebut:
3
a. Ihsan kepada kedua orang tua
3.Akhlak
Ihsan dalam akhlak sesungguhnya merupakan buah dari ibadah dan muamalah. Seseorang
akan mencapai tingkat ihsan dalam akhlaknya apabila ia telah melakukan ibadah seperti yang
menjadi harapan Rasulullah dalam hadits yang telah dikemukakan di awal tulisan ini, yaitu
menyembah Allah seakan-akan melihat-Nya, dan jika kita tidak dapat melihat-Nya, maka
sesungguhnya Allah senantiasa melihat kita. Jika hal ini telah dicapai oleh seorang hamba,
maka sesungguhnya itulah puncak ihsan dalam ibadah. Pada akhirnya, ia akan berbuah
sehingga mereka yang sampai pada tahap ihsan dalam ibadahnya akan terlihat jelas dalam
Jika kita ingin melihat nilai ihsan pada diri seseorang —yang diperoleh dari hasil maksimal
bahkan terhadap dirinya sendiri. Berdasarkan ini semua, maka Rasulullah saw. mengatakan
dalam sebuah hadits, “Aku diutus hanyalah demi menyempumakan akhlak yang mulia.”
4
2.3 TINGKATAN IHSAN
Syaikh Shalih Alu Syaikh hafidzahullah memberikan penjelasan bahwa inti yang dimaksud
dengan ihsan adalah membaguskan amal. Batasan minimal seseorang dapat dikatakan telah
melakukan ihsan di dalam beribadah kepada Allah yaitu apabila di dalam memperbagus
amalannya sesuai dengan sunnah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah kadar ihsan yang
wajib yang haras ditunaikan oleh setiap muslim. Adapun kadar ihsan yang mustahab
1. Tingkatan muraqabah.
Yakni seseorang yang beramal senantiasa merasa diawasi dan diperhatikan oleh Allah dalam
setiap aktivitasnya. Ini berdasarkan sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam '
kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu). Tingkatan muroqobah yaitu
apabila seseorang tidak mampu memperhatikan sifat-sifat Allah, dia yakin bahwa Allah
melihatnya. Apabila seseorang mengerjakan shalat, dia merasa Allah memperhatikan apa
shalatnya tersebut. Hal ini sebagaimana Allah firmankan dalam surat Yunus :
‘‘Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al-Quran dan
kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu
2. Tingkatan musyahadah
Tingkatan ini lebih tinggi dari yang pertama, yaitu seseorang senantiasa memperhatikan sifat-
sifat Allah dan mengaitkan seluruh aktifitasnya dengan sifat-sifat tersebut. Inilah realisasi
dari sabda Nabi ( ‘Kamu menyembah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya).Pada tingkatan
ini seseorang beribadah kepada Allah, seakan-akan dia melihat-Nya. Perlu ditekankan, bahwa
5
yang dimaksudkan di sini bukanlah melihat Zat Allah, namun melihat sifat-sifat-Nya, tidak
musyahadah adalah melihat Zat Allah. Ini jelas merupakan kebatilan. Yang dimaksud adalah
memperhatikan sifat-sifat Allah, yakni dengan memperhatikan pengaruh sifat-sifat Allah bagi
makhluk. Apabila seorang hamba sudah memiliki ilmu dan keyakinan yang kuat terhadap
sifat-sifat Allah, dia akan mengembalikan semua tanda kekuasaan Allah pada nama-nama dan
sifat-sifat-Nya. Dan inilah tingkatan tertinggi dalam derajat ihsan. (Lihat Syarh Arba ’in An-
Insan kamil adalah konsep manusia paripurna. Manusia yang berhasil mencapai puncak
Konsep Insan Kamil menurut Al-Qur’an dan Hadist Nabi Muhammad Saw disebut sebagai
teladan insan kamil atau istilah populernya di dalam Q.S. al- Ahdzab/33:21:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi
orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak
menyebut Allah
Perwujudan insan kamil dibahas secara khusus di dalam kitab-kitab tasawuf, namun konsep
Allah SWT tidak membiarkan kita untuk menginterpretasikan tata nilai tersebut semaunya,
berstandard seenaknya, tapi juga memberikan kepada kita, Rasulullah SAW yang menjadi
uswah hasanah. Rasulullah SAW merupakan insan kamil, manusia paripurna, yang tidak ada
satupun sisi-sisi kemanusiaan yang tidak disentuhnya selama hidupnya. Ia adalah ciptaan
terbaik yang kepadanya kita merujuk akan akhlaq yang mulia. Allah SWT berfirman:
“Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar memiliki akhlaq yang mulia. ” (QS.
Al-Qolam:4)
6
“Sesungguhnya telah ada dalam diri Rasulullaah suri teladan yang baik bagi kalian, yaitu
mengingat Allah. ” (QS. Al- Ahzab:21) “Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari
Allah, dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab itu Allah menunjuki orang-orang yang
mengikuti keridaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah
mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan
seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus. ” (Al Maidah 15-16).
Untuk mengetahui ciri-ciri Insan Kamil dapat ditelusuri pada berbagai pendapat yang
dikemukakan para ulama yang keilmuannya sudah diakui, termasuk di dalamnya aliran-
Fungsi akal secara optimal dapat dijumpai pada pendapat kaum Mu’tajzilah. Menurutnya
manusia yang akalnya berfunsi secara optimal dapat mengetahui bahwa segala perbuatan baik
seperti adil, jujur, berakhlak sesuai dengan esensinya dan merasa wajib melakukan hal semua
itu walaupun tidak diperintahkan oleh wahyu. Manusia yang berfungsi akalnya sudah merasa
wajib melakukan perbuatan yang baik. Dan manusia yang demikianlah yang dapat mendekati
tingkat insan kamil. Dengan demikian insan kamil akalnya dapat mengenali perbuatan yang
baik dan perbuatan buruk karena hal itu telah terkandung pada esensi perbuatan tersebut.
2. Berfungsi Intuisinya
Insan Kamil dapat juga dicirikan dengan berfungsinya intuisi yang ada dalam dirinya. Intuisi
ini dalam pandangan Ibn Sina disebut jiwa manusia (rasional soul). Menurutnya jika yang
7
berpengaruh dalam diri manusia adalah jiwa manusianya, maka orang itu hampir menyerupai
Sebagai bentuk pengamalan dari berbagai potensi yang terdapat pada dirinya sebagai insan,
manusia yang sempurna adalah manusia yang mampu mendayagunakan seluruh potensi
rohaniahnya secara optimal. Menurut Ibn Khaldun manusia adalah makhluk berfikir. Sifat-
sifat semacam ini tidak dimiliki oleh makhluk lainnya. Lewat kemampuan berfikirnya itu,
manusia tidak hanya membuat kehidupannya, tetapi juga menaruh perhatian terhadap
berbagai cara guna memperoleh makna hidup. Proses-proses semacam ini melahirkan
peradaban.
kepada hal-hal yang berasal dari Tuhan, dan mengimaninya. Sifat-sifat tersebut membuat ia
menjadi wakil Tuhan di muka bumi. Manusia seabagai khalifah yang demikian itu
merupakan gambaran ideal. Yaitu manusia yang berusaha menentukan nasibnya sendiri, baik
sebagai kelompok masyarakat maupun sebagai individu. Yaitu manusia yang memiliki
tanggung jawab yang besar, karena memiliki daya kehendak yang bebas.
5.Berakhlak Mulia
Insan kamil juga adalah manusia yang berakhlak mulia. Hal ini sejalan dengan pendapat Ali
Syari’ati yang mengatakan bahwa manusia yang sempurna memiliki tiga aspek, yakni aspek
kebenaran, kebajikan dan keindahan. Dengan kata lain ia memiliki pengetahuan, etika dan
seni. Semua ini dapat dicapai dengan kesadaran, kemerdekaan dan kreativitas. Manusia yang
ideal (sempurna) adalah manusia yang memiliki otak yang briliyan sekaligus memiliki
8
kelembutan hati. Insan Kamil dengan kemampuan otaknya mampu menciptakan peradaban
yang tinggi dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, juga memiliki
6.Berjiwa Seimbang
Menurut Nashr, bahwa manusia modern sekarang ini tidak jauh meleset dari siratan Darwin.
Bahwa hakikat manusia terletak pada aspek kedalamannya, yang bersifat permanen, immortal
yang kini tengah bereksistensi sebagai bagian dari perjalanan hidupnya yang teramat panjang.
Tetapi disayangkan, kebanyakan dari merekan lupa akan immortalitas yang hakiki tadi.
Manusia modern mengabaikan kebutuhannya yang paling mendasar, yang bersifat ruhiyah,
sehingga mereka tidak akan mendapatkan ketentraman batin, yang berarti tidak hanya ke
seimbangan diri, terlebih lagi bila tekanannya pada kebutuhan materi kian meningkat, maka
9
BAB III
ISI
Menurut Ibn Araby, ada dua tingkatan menusia dalam mengimani Tuhan.
1. Tingkat insan kamil. Mereka mengimani Tuhan dengan cara penyaksian. Artinya, mereka
Tuhan. Mereka mendefinisikan Tuhan berdasarkan sifat - sifat dan nama - nama Tuhan.
( Asma’ul Husna )
1.Tingkat Pemula ( al - bidayah ). Pada tingkat ini insan kamil mulai dapat merealisasikan
2.Tingkat menengah ( at - tawasuth ). Pada tingkat ini insan kamil sebagai orbit kehalusan
sifat kemanusiaan yang terkait dengan realitas kasih Tuhan ( al - haqaiq ar - ramaniyyah ).
Pengetahuan yang dimiliki oleh insan kamil pada tingkat ini telah meningkat dari
pengetahuan biasa, karena sebagian dari hal - hal yang gaib telah dibukakan Tuhan
kepadanya.
3.Tingkat terakhir ( al - khitam ). Pada tinhgkat ini insan kamil telah dapat merealisasikan
citra Tuhan secara utuh. Iapun telah dapat mengetahui rincian dari rahasia penciptaan takdir
10
Apakah anda percaya akan adanya Allah ? Mereka semua memberikan jawaban yang sama
kami percaya akan adanya Allah, kami percaya akan adanya malaikat - malaikatnya dan
seterusnya. Kemudian jika ditanya lebih lanjut adakah manusia yang tidak percaya akan
adannya malaikat, dan adakah manusia yang tidak percaya adanya tuhan, dan serterusnya.
Hampir semua mahasiswa menjawab tidak ada seorang manusiapun yang tidak percaya akan
adanya Tuhan, tidak ada seorang manusiapun yang tidak percaya akan adanya malaikat, dan
1. Menggali Sumber Teologis, Historis, dan Filosofis Tentang Iman, Islam, dan Ihsan
Berdasarkan hadis yang diriwayatkan Umar Bin Khatab r.a diatas kaum muslimin
menetapkan adanya tiga unsur penting dalam agama islam yakni, iman, islam, dam ihsan
Akidah merupakan cabang ilmu agama untuk memahami pilar islam dan akhlak merupakan
Istilah Insan Kamil (manusia sempurna) pertama kali diperkenalkan oleh syekh Ibn Araby
( abad ke - 14 ). Ia menyebutkan ada dua jenis manusia, yakni insan kamil dan monster
setengah
manusia. Jadi, kata Ibn Araby, jika tidak menjadi insan kamil, maka manusia menjadi
monster setengah manusia. Insan kamil adalah manusia yang telah menanggalkan
kemonsteranya. Konsekuensinya, diluar kedua jenis manusia ini da manusia yang sedang
Secara umum, pembicaraan tentang konsep manusia selalu berkisar dalam dua dimensi, yakni
11
b.Unsur -unsur Manusia Pembentuk Insan Kamil
Secara ringkas, Al - Ghazali ( dalam othman, 1987: 31-33) menyebut beberapa instrumen
untuk mencari pengetahuan yang benar serta kapasitas untuk mencapainya. Pertama, panca
indra. Panca indra memiliki keterbatasan dan tidak bisa mencapai pengetahuan yanng benar,
setelah dinilai oleh akal. Kedua, akal. Dengan metode ini, dengan cara yang sama, seharusnya
orangpun menuilai tingkat kebenaran akal. Orang seharusnya menggunakan cara yang sama
dengan cara yang digunakan oleh akal ketika menulai kekeliruan panca indra.
3.Nur ilahi. Ketika Al- Ghazali sembuh dari sakitnya ia menuturkan, kesembuhannya dari
sakit karena adanya nur ilahi yang menembus dirinya. Kemudian Al- Ghazali
mengungkapkan pandangannya tentang nur ilahi sebagai berikut. Kapan saja Allah
menghendaki untuk memimpin seseorang, maka jadilah demikian. Dialah yang melapangkan
Insan kamil bukanlah manusia pada umumnya. Menurut ibnu araby meyebutkan adanya dua
jenis manusia yaitu insan kamil dan monster bertubuh manusia. Maksudnya jika tidak
menjadi insan kamil, maka manusia akan menjadi monster bertubuh manusia. Untuk itu kita
perlu mengenali tempat unsur untuk mencapai derajat insan kamil, diantaranya :
- Jasad
- Hati nurani
- Roh
- Sirr (rasa)
12
BAB IV
PENUTUP
4 .1 Kesimpulan
Untuk menapaki jalan insan kamil terlebih dahulu kita perlu mengingat kembali tentang 4
unsur manusia yaitu jasad atau raga, hati, roh dan rasa. Keempat unsur manusia ini harus di
fungsikan untuk menjalankan kehendak allah. Hati nurani harus dijadikan rajanya dengan
Jika sudah secara benar menjalankan 4 unsur tersebut, lalu mengkokohkan keimanan,
13
DAFTAR PUSTAKA
Kuliyatun, K. (2020). Kajian Hadis: Iman, Islam dan Ihsan dalam Perspektif Pendidikan
Agama Islam. Edugama: Jurnal Kependidikan Dan Sos (Placeholder1)ial
Keagamaan, 6(2), 110-122.
Masruroh, S., EQ, N. A., & Suhartini, A. (2021). Implementasi Nilai Iman, Islam Dan Ihsan
Pada Pendidikan Agama Di Perguruan Tinggi Umum. MUNTAZAM, 2(01).
Noegroho, I. R. (2019). Dasar-dasar memahami iman, islam, dan ihsan. Anak Hebat
Indonesia.
14