Anda di halaman 1dari 59

KATA PENGANTAR

Buku ini merupakan Laporan Pendahuluan Pekerjaan SID Pengendalian Banjir


Sungai Batulicin Kabupaten Tanah Bumbu, melalui kegiatan Perencanaan, yang dilaksanakan
oleh Dinas Pekerjaan Umum Dan Penataan Ruang Provinsi Kalimantan Selatan bekerja sama
dengan PT. Saka Buana Yasa Selaras KSO PT. Bumi Kahuripan sesuai dengan Perjanjian
Kontrak No. …………. tertanggal …….

Laporan Pendahuluan ini berisikan pendahuluan yang menjelaskan mengenai latar


belakang, maksud dan tujuan, ruang lingkup serta lokasi kegiatan. Disamping itu pula
dijabarkan mengenai metodologi pelaksanaan kegiatan, pendekatan masalah dengan melihat
deskripsi wilayah dari berbagai aspek, serta arah penyelesaian pekerjaan.

Penyusunan laporan ini juga dimaksudkan sebagai bahan diskusi dalam diskusi
pendahuluan dengan pengguna jasa dan stakeholder lainnya guna memberikan masukan dan
arahan dalam pelaksaan kegiatan.

Terakhir kami ucapkan terima kasih sebesarnya atas kerjasama dan bantuan kepada
Dinas Pekerjaan Umum Dan Penataan Ruang Provinsi Kalimantan selatan selama
pelaksanaan kegiatan dan dalam penyusunan laporan ini.

Banjarmasin, …………….2021

PT. SAKA BUANA YASA SELARAS


KSO
PT. BUMI KAHURIPAN

Edy Prabowo, ST, MT.


Team Leader
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

DAFTAR GAMBAR

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

1.2. MAKSUD DAN TUJUAN

1.3. RUANG LINGKUP KEGIATAN

BAB 2. GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI

2.1. KONDISI GEOGRAFIS

2.2. IKLIM DAN HIDROLOGI

2.3. TANAH DAN TOPOGRAFI

2.4. WILAYAH ADMINISTRASI

2.5. SOSIAL EKONOMI PENDUDUK

2.6. KOMUNITAS ADAT TERPENCIL

2.7. PENGELOLAAN LAHAN PERTANIAN

2.8. PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR

BAB 3. PENDEKATAN DAN METODOLOGI

3.1. PENDEKATAN PENYELESAIAN PEKERJAAN

3.2. PEMAHAMAN TERHADAP KONDISI WILAYAH PEKERJAAN

3.2.1. DAERAH RAWAN BANJIR

3.2.2. PENANGGULANGAN BENCANA BANJIR


3.3. SURVEI PENDAHULUAN

3.4. SURVEI LAPANGAN

3.5. PENGOLAHAN DATA DAN ANALISIS DATA

3.6. DESAIN PRASARANA PENGENDALI DAN PENGAMANAN BANJIR

BAB 4. MANAJEMEN ORGANISASI PELAKSANAAN PEKERJAAN

4.1. STRUKTUR ORGANISASI

4.2. JADWAL PELAKSANAAN

4.3. JADWAL PENUGASAN TENAGA AHLI

4.4. JADWAL PENGGUNAAN PERALATAN

BAB 5. PENGUMPULAN DATA DAN HASIL TINJAUAN AWAL

5.1. SISTEM SUNGAI

5.2. DATA HIDROMETRI

5.3. BANJIR DAS BATULICIN

5.4. SURVEY LAPANGAN PENDAHULUAN

BAB 6. PRESTASI DAN RENCANA KERJA TAHAP SELANJUTNYA

6.1. PRESTASI PEKERJAAN

6.2. RENCANA KERJA TAHAP SELANJUTNYA


BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Banjir adalah suatu fenomena alam yang terjadi bilamana air menggenang di suatu
tempat, baik yang disebabkan oleh karena luapan air sungai atau sarana penampung
kelebihan air lainnya. Pengaliran air dan berbagai sumber kejadian yang terhambat dapat
menimbulkan genangan pada tempat-tempat yang dianggap mempunyai potensi, misalnya
daerah pemukiman areal pertanian atau prasarana perhubungan. Genangan yang cukup tinggi
dan terjadi dalam waktu relatif lama akan memberikan dampak merugikan bagi hampir
semua bentuk kehidupan. Dampak banjir yang merugikan baru mulai dirasakan sebagai
masalah apabila kegiatan kehidupan manusia sehari-sehari mulai terganggu dan atau
menimbulkan resiko korban jiwa serta kerugian secara materil.

Sebagaimana yang terjadi di Jabodetabek dan daerah-daerah lainnya di Indonesia,


Provinsi Kalimantan Selatan juga merupakan daerah dengan potensi daerah banjir di
beberapa daerah, diantaranya adalah Sungai Batulicin dengan anak-anak sungainya di
Kabupaten Tanah Bumbu. Hampir setiap musim hujan sebagian daerah di Provinsi
Kalimantan Selatan mengalami bencana banjir. Penyebab banjir berkaitan dengan kapasitas
daya tampung palung Sungai Batulicin dengan anak-anak sungainya tidak mampu menerima
debit aliran yang masuk ke palung-palung sungai tersebut, selain itu palung Sungai Batulicin
dengan anak-anak sungainya telah dipenuhi oleh sedimentasi sehingga terjadi pendangkalan
patung sungai, serta karakter sungai yang berkelok-kelok (Meander) dan adanya penyempitan
sungai dibeberapa tempat, menjadi penghambat laju kecepatan pengaliran air sehingga bagian
kiri dan kanan sungai menjadi retensi air banjir.

Daerah rawan banjir yang sudah tercatat di wilayah Sub DAS Sungai Batulicin yang
dibuat berdasarkan wilayah Kabupaten dan berdasarkan daerah aliran sungai merupakan hasil
pengamatan beberapa study selama beberapa tahun. Dari catatan-catatan tersebut terdapat
beberapa lokasi genangan yang lebih prioritas untuk ditangani, karena genangan sudah
mengganggu dan merusak kelancaran ekonomi, sarana dan prasarana permukiman dan
kehidupan masyarakat yang berdampak nasional. Untuk mengamankan kawasan fasilitas
umum dan fasilitas sosial masyarakat yang mempunyai dampak terhadap ekonomi wilayah,
serta kenyamanan dan keamanan masyarakat di Kabupaten Tanah Bumbu perlu dilaksanakan
SID Pengendalian Banjir Sungai Batulicin Kabupaten Tanah Bumbu, melalui kegiatan
Perencanaan, Dinas Pekerjaan Umum Dan Penataan Ruang Provinsi Kalimantan selatan pada
DIPA 2021.

1.2. Maksud dan Tujuan

Adapun maksud dan tujuan dari kegiatan ini adalah ;


a. Maksud dari Survey, Investigasi dan Desain (SID) Pengendalian Banjir Sungai Batulicin
Kabupaten Tanah Bumbu ini adalah untuk melakukan desain Sistem pengendali /
pengamanan banjir di Kabupaten Tanah Bumbu.
b. Tujuan pekerjaan ini adalah memperoleh desain prasana pengendali / pengaman banjir di
Sungai Batulicin.

1.3. Ruang Lingkup Kegiatan

Ruang lingkup kegiatan, meliputi :

a. Pengumpulan data dasar yaitu Data iklim/hidrologi Peta Topografi Laporan/catatan


kejadian banjir yang pemah ada Data atau parameter lain yang berkaitan dengan banjir.
b. Survey Lapangan Survey / pengukuran Topografi - berupa pengukuran lokasi
pembangunan System pengendali / pengamanan banjir berupa peta situasi dan trase
melintang dan memanjang. Survey Hidrologi / Hidrometri dan Survey TMA Banjir di
Lokasi Pembangunan Prasarana Pengendali / pengamanan banjir Survey / investigasi
Mekanika Tanah
c. Analisa Data dan Perhitungan Analisa dan Perhitungan Topografi Analisa dan
Perhitungan Hidrologi I Hidrometri Analisa dan Perhitungan Banjir dengan kala ulang 25,
15 thn Analisa Geologi Permukaan dan Mekanika Tanah
d. Analisis Ekonomi terhadap investasi pembangunan
e. Desain Prasarana pengendali / pengaman banjir Desain Hydraulik prasarana pengendali /
pengaman banjir Desain Struktur
f. Penggambaran hasil survey pengukuran dan penggambaran detail desain.
g. Diskusi dan konsultasi
h. Pelaporan
BAB II GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI

2.1. Kondisi Geografis

Kabupaten Tanah Bumbu terletak antara …. sampai …. Lintang Selatan dan …


sampai … Bujur Timur. Kabupaten Tanah Bumbu merupakan daerah agraris dengan luas
wilayah ……. Km 2, dibagi menjadi ….. Kecamatan, terdiri dari …… Desa dan ……..
Kelurahan.

2.2. Iklim dan Hidrologi

Kabupaten Tanah Bumbu mempunyai iklim tropis dengan suhu udara rata-rata pada
siang hari berkisar antara …. C - …. C. Curah hujan rata-rata berkisar antara …. mm/bln.
Suhu udara rata-rata pada siang hari berkisar antara … C- …. C.

2.3. Tanah dan Topografi

Sekitar …. persen dari luas wilayah Kabupaten Tanah Bumbu adalah berupa podzolik
merah-kuning, diikuti Asosiasi hidramorf kelabu sekitar …. dari luas wilayah. Podzolik
merah-kuning terutama tersebar disekitar Kecamatan ……, …….., dst. Sementara Asosiasi
podzolik coklat kekuning-kuningan dan hidromorf kelabu tersebar disekitar Kecamatan …..
dll. Jenis tanah lain yang cukup besar peranannya dalam komposisi/struktur tanah adalah
latosal (…. persen), Asosiasi gley (….. persen) dan Andosal (…. persen). Kondisi topografi
daerah cukup beragam. Daerah dataran tinggi dibagian barat daya, merupakan bagian dari
rangkaian pegunungan Meratus. Di bagian ini berada Kecamatan ……. dst,. Daerah dataran
rendah, berada di bagian tengah. Terus ke utara timur laut, terdapat daerah rawa/lebak yang
berhadapan langsung dengan daerah aliran sungai Batulicin. Di bagian ini, berada di
Kecamatan ….., dst.

2.4. Wilayah Administrasi

Kabupaten Tanah Bumbu dengan luas …… km² mempunyai jumlah penduduk pada
tahun 2020 sebesar …… jiwa, yang menyebar di ….. kecamatan dan …. Desa. Kecamatan
dengan tingkat kepadatan tertinggi adalah Kecamatan …….. yaitu : ……. jiwa/km².
Tabel……………

Sumber: BPS, Kab. Tanah Bumbu Dalam Angka, 2019

2.5. Sosial Ekonomi Penduduk

Jumlah penduduk Kabupaten Tanah Bumbu adalah …… jiwa dengan laju


pertumbuhan …. persen per tahun. Jumlah penduduk itu terus bertambah hingga berjumlah
……. orang dengan tingkat kepadatan penduduk …… per km pada akhir 2019 atau naik …..
persen dibandingkan akhir tahun…. yang jumlahnya ….. orang. Sedangkan pertumbuhan
ekonomi secara riil yang diikuti dengan perubahan harga yang cepat pada setiap sektor
ekonomi mengakibatkan struktur ekonomi dari tahun ke tahun mengalami perubahan.

Tabel Perkembangan PDRB, Kab. Tanah Bumbu

Sumber: BPS, Kab. Tanah Bumbu Dalam Angka, 2019

Tabel Kontribusi Sektor Thd PDRB, Kab. Tanah Bumbu

Sumber: BPS, Kab. Tanah Bumbu Dalam Angka, 2019

Dari Tabel diatas menunjukkan bahwa sektor …….. dan ……. memberikan kontribusi
terbesar terhadap PDRB Kabupaten Tanah Bumbu, yaitu sebesar ….. sedang penyumbang
kedua terbesar adalah dari sector ……., sebesar …..%.

Gambar Wilayah administrasi Kabupaten Tanah Bumbu

(Sumber: Tapem Tanbu, 2020)

2.6. Komunitas Adat Terpencil

Di Kabupaten Tanah Bumbu terdapat populasi KAT yang berada di Kecamatan


……….., dengan populasi sebesar ……. KK.

Tabel KAT, Kab. Tanah Bumbu


2.7. Pengelolaan Lahan Pertanian

Tabel Distribusi Potensi Lahan di Kabupaten Tanah Bumbu

Sumber: Dinas Pertanian Tanah Bumbu, 2020

Ditinjau dari data tentang potensi lahan kritis, terdapat …. kecamatan yang mempunyai areal
lahan kritis yaitu Kecamatan …… dst. Total areal lahan kritis di Kabupaten Tanah Bumbu
adalah ….. ha, semi kritis ….. ha dan potensi kritis …… ha.

Tabel Data Potensial Lahan Kritis Kabupaten Tanah Bumbu

Sumber: Dinas Tanah Bumbu, 2020

Luas lahan yang menjadi sasaran optimasi lahan pertanian tanaman pangan, yang termasuk
dalam kategori lahan terlantar/tidur adalah seluas …… ha, sasaran optimasi untuk Tipe
Lahan Bera seluas ……. Ha, untuk lahan usaha tani dengan IP baru 100 persen total areal
sasaran adalah seluas ……. ha.

Tabel Komoditas Pertanian, Kab. Tanah Bumbu

Sumber: BPS, Kab. Tanah Bumbu Dalam Angka, 2019

Tabel Perkebunan, Kab. Tanah Bumbu

Sumber: BPS, Kab. Tanah Bumbu Dalam Angka, 2019

Tabel Data Sasaran Optimasi Lahan Pertanian


Sumber: Dinas Pertanian Tanah Bumbu, 2020

Tabel Data Embung dan Check Dam, Kab. Tanah Bumbu

Sumber: Dinas Pertanian Tanah Bumbu, 2020

Tabel Kondisi irigasi, kab. Tanah Bumbu

Sumber: Dinas Pertanian Tanah Bumbu, 2020


BAB III PENDEKATAN DAN METODOLOGI

3.1. Pendekatan Penyelesaian Pekerjaan

Dalam melaksanakan pekerjaan SID Pengendalian Banjir Sungai Batulicin, digunakan


pendekatan dengan mengikuti bagan alir seperti terlihat pada gambar berikut ;

Gambar Bagan Alir Pelaksanaan Pekerjaan

3.2. Pemahaman Terhadap Kondisi Wilayah Pekerjaan


3.2.1. Daerah Rawan Banjir
Pengendalian Banjir merupakan salah satu aspek dalam pengelolaan sumber daya air
di wilayah sungai yang diberi perhatian didalam UU No.17/2019 tentang SDA. Bencana yang
diakibatkan oleh daya rusak air adalah antara lain banjir, longsor, amblesan tanah,
kekeringan, dan bahkan sampai wabah penyakit yang diakibatkan oleh air (waterborne
desease) yang biasa terjadi sesudah terjadinya banjir. Pengendalian daya rusak air diutamakan
pada upaya pencegahan melalui perencanaan pengendalian daya rusak air yang disusun
secara terpadu dalam pola pengelolaan sumber daya air. Pencegahan banjir dilakukan melalui
upaya fisik maupun non fisik tetapi diutamakan pada kegiatan non fisik. Penanggulangan
daya rusak air dilakukan dengan mitigasi bencana, Pemulihan daya rusak air dilakukan
dengan memulihkan kembali fungsi lingkungan hidup dan sistem prasarana sumber daya air.
Tabel berikut menunjukkan jumlah bencana alam yang terjadi di Wilayah Sungai Batulicin
yang terjadi pada tahun …...

Tabel Jumlah Bencana Alam menurut Jenis di WS Batulicin,

Sumber: BPBD Tanah Bumbu


Jumlah Bencana Alam menurut Jenis, Kab. Tanah Bumbu, Thn 2020 Kebakaran …%
Pembakaran ….% Lainnya ….% Longsor …..% Gempa bumi ….% Banjir bandang ….%
Banjir ….%

Gambar Jumlah Bencana Alam Menurut Jenis, Kab. Tanah Bumbu Tahun 2020

Dari data tersebut diatas tampak bahwa bencana akibat dari daya rusak air (banjir, banjir
banding dan longsor lahan) merupakan bencana terbesar (….%). Dari ketiga jenis bencana
tersebut bencana banjir merupakan bencana terbesar yaitu ….% dari seluruh bencana yang
terjadi. Atas dasar data tersebut maka Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan perlu menaruh
perhatian yang besar terhadap upaya pencegahan bencana banjir akibat daya rusak air ini.

Tabel Kejadian banjir di WS Batulicin

Sumber: BPBD Tanah Bumbu

Tabel Daerah Rawan Banjir menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Sumsel,

Sumber: BPBD Prov Kalsel

Gambar Peta Kejadian banjir di WS batulicin

Gambar Peta Rawan Genangan di WS Batulicin

Gambar Peta Daerah rawan bencana di WS Batulicin

3.2.2. Penanggulangan Bencana Banjir


a) Bencana banjir dapat terjadi oleh beberapa sebab yang dapat berdiri sendiri
maupun gabungan dari sebab-sebab itu, yaitu
 Curah hujan yang tinggi, berlangsung dalam waktu yang lama.
 Kerusakan daerah resapan air akibat dari pengurangan atau kerusakan kawasan
hutan akibat dari legal maupun illeal logging.
 Pengolahan lahan yang tidak sesuai dengan kaidah konservasi lahan
 Pendangkalan alur sungai akibat dari tingginya sedimentasi, yang disebabkan
oleh tingginya erosi lahan akibat dari kerusakan lahan tersebut diatas
 Pengurangan dataran banjir (yang secara alamiah berupa rawa atau dataran
rendah lainnya) akibat adanya perambahan bantaran sungai untuk permukiman
dan penggunaan lain.
Upaya-upaya yang diusulkan biasanya lebih berat kepada upaya struktural atau
konstruksi untuk menanggulangi banjir, dan kurang diarahkan kepada mengatasi
banjir secara non struktural. Banjir sendiri perlu di kelola dengan baik (flood
management) yang terdiri dari upaya-upaya pengendalian banjir yaitu: pencegahan
banjir (sebelum terjadi) penanggulangan banjir (saat terjadi) pemulihan korban
banjir (setelah terjadi)

b) Morfologi Daerah WS Batulicin di sepanjang Sungai Batulicin dapat


dikelompokan ke dalam beberapa kelompok: pegunungan, bukit-bukit curam,
lahan perbukitan kecil, dataran bergelombang dan beralur-alur, dataran antar
pegunungan, dataran pedalaman sungai, dan dataran banjir serta rawa-rawa. Dari
peta topografi dan profil memanjang dari sungai-sungai di WS Batulicin dapat
diketahui bahwa panjang S. Batulicin sebagai sungai induk adalah ….. km berhulu
di pegunungan Meratus pada ketinggian + …… m. Kota Batulicin yang berada
ditepi S. Batulicin pada ketinggian … m diatas permukaan laut berjarak kurang
lebih … km dari muara. Dari kondisi topografi dan morfologi sungai, kota
Batulicin yang berada di tepi S. Batulicin adalah salah satu kota yang rawan
terhadap banjir dan genangan.

Gambar Peta topografi DAS

Gambar Kemiringan dasar sungai di DAS Batulicin

Genangan air pada musim hujan luasnya mencapai …….. ha. Genangan ini tidak
begitu selalu merusak bahkan membawa lumpur yang subur buat lahan pertanian.
Penduduk telah menyesuaikan hidupnya dengan lingkungan yang memang rawan
banjir dengan membuat rumah panggung. Hamparan rawa-rawa dataran rendah di
bagian hilir di sepanjang S.Batulicin dan anak-anak sungainya telah berfungsi
sebagai kawasan penampung air banjir dan sediment. Dataran rendah yang berupa
rawa-rawa tersebut dapat meredam banjir dan sedimentasi di kawasan hilir sungai.
c) Beberapa permasalahan di WS Batulicin terdapat beberapa permasalahan sebagai
berikut:

 Permasalahan di sepanjang S. Batulicin adalah sebagai berikut (JICA, 2002):


Erosi tebing sungai yang mengancam bangunan prasarana disepanjang belokan
sungai. Erosi tebing ini terjadi disepanjang aliran sungai dari hulu sampai hilir.
Banjir bandang terutama di bagian hulu sungai Naiknya dasar sungai akibat
sedimentasi yang mengurangi kapasitas angkut sungai. Debit sungai Batulicin
pada bagian hilir sungai Batulicin berkisar antara …. sampai …… m³/detik
(rata-rata ……. m³/detik). Pada musim hujan, tinggi air di sungai Batulicin naik
mencapai + ….. m diatas permukaan laut. Dasar sungai di sebelah hilir telah
terisi oleh sediment yang dibawa oleh Sungai dari hulu sebagai akibat dari erosi
di hulu sungai. Naiknya dasar sungai mengakibatkan berkurangnya kapasitas
aliran dan banjir serta bertambah luasnya rawa-rawa dibagian hilir sungai.
Kelongsoran tebing sungai di tikungan sungai mengakibatkan rusaknya jalan
dan rumah ditepi sungai. Tebing sungai biasanya diperkuat dengan di dinding
penahan beton atau bronjong. Masalah utama di S.Batulicin bagian hulu adalah
genangan akibat luapan air banjir dan erosi tebing.

d) Pendekatan Dalam Pengendalian Banjir


Upaya yang diusulkan selama ini lebih berat kepada upaya struktural atau
konstruksi untuk menanggulangi banjir, kurang diarahkan kepada mengatasi banjir
secara non struktural. Ibarat sakit, bencana banjir lebih banyak diatasi penyakitnya,
belum dicari penyebabnya. Bencana banjir dapat terjadi oleh beberapa sebab yang
dapat berdiri sendiri maupun gabungan dari sebab-sebab itu, yaitu Curah hujan
yang tinggi, berlangsung dalam waktu yang lama, Kerusakan daerah resapan air
akibat dari pengurangan atau kerusakan kawasan hutan akibat dari legal maupun
illegal logging. Pengolahan lahan yang tidak sesuai dengan kaidah konservasi
lahan. Pendangkalan alur sungai akibat dari tingginya sedimentasi, yang
disebabkan oleh tingginya erosi lahan akibat dari kerusakan Pengurangan dataran
banjir (yang secara alamiah berupa rawa atau dataran rendah lainnya) akibat
adanya perambahan bantaran sungai untuk permukiman dan penggunaan lain
e) Laju Erosi dan Sedimentasi
f) Lahan Kritis
Salah satu penyebab banjir adalah kerusakan lahan di DAS, dan beberapa contoh
kejadian banjir menunjukkan kecenderungan meningkatnya kejadian banjir seiring
dengan meningkatnya lahan kritis. Berdasarkan data dari Bappeda Provinsi
Kalimantan Selatan (2020), luas lahan kritis di seluruh Kalimantan Selatan adalah
sebesar ……… ha dimana ………… ha merupakan kawasan hutan. Data tahun
…… menunjukkan luas hutan di Provinsi Kalimantan Selatan sebesar …… ha
(Bappeda, 2021). Pada tahun ….. di Provinsi Kalimantan Selatan luas lahan kritis
dalam kawasan hutan tercatat sebesar ……….. ha, diluar kawasan hutan tercatat
sebesar ………. ha, sehingga total lahan kritis adalah ………. ha (…% dari seluruh
luas DAS Batulicin). Kalau luas lahan kritis tersebut dikelompokkan kedalam
batasan DAS bagian hulu, tengah dan hilir maka luas lahan kriits di hulu tercatat
sebanyak ……. ha atau …..% dari luas DAS Batulicin. Luas lahan kritis di tengah
sebanyak ……. ha (…..%) sedang di bagian hilir seluas …… ha (…..%).

Tabel Luas Lahan Kritis Menurut Kabupaten/Kota


Sumber: Basis Data Bappeda

Gambar Peta Lahan kritis di WS Batulicin

Gambar Peta Tingkat Bahaya Erosi di WS Batulicin

3.3. Suvei Pendahuluan


Maksud Survei ini adalah untuk melakukan identifikasi awal guna mengetahui kondisi
dan permasalahan yang ada didaerah survey, dalam rangka penyiapan konsep dan batasan
pelaksanaan pekerjaan meliputi :
 Kunjungan Lapangan untuk melihat kondisi lokasi studi.
 Menghubungi Instansi-instansi terkait di daerah sehubungan dengan program
pembangunan sektorallregional dan perencanaan pengembangan wilayah di lokasi studi.
 Inventarisasi kondisi fisik dan permasalahan di lokasi studi serta penilaian tingkat
kerusakan yang telah terjadi.
 Penentuan reverensi pengukuran dan batas lokasi survei.
 Pengumpulan data-data, studi-studi terdahulu.
3.4. Survei Lapangan
3.4.1. Survey Topografi
a) Persiapan Yang dimaksud dengan pekerjaan persiapan adalah segala kegiatan dalam
rangka mempersiapkan pelaksanaan pekerjaan yang meliputi :
1) Usaha-usaha untuk memperoleh perijinan yang berhubungan dengan pekerjaan
lapangan dan kantor;
2) Penyediaan data-data dan blangka-blangko yang diperlukan antara lain data dasar,
penyediaan blangko-blangko pengukuran dan sebagainya;
3) Menyediakan Base Camp/ Kantor Pelaksanaan;
4) Membuat dan menyusun jadwal waktu pelaksanaan, jadwal kebutuhan alat dan
material secara rinci dan terpadu.
b) Pembuatan dan Pemasangan Patok Kayu Dalam hal ini konsultan mengadakan dan
memasang patok-patok kayu pada salah satu sisi Sungai Batulicin guna menentukan
lokasi pengukuran tampang melintang (cross section) dan tampang memanjang profil
sungai. Selanjutnya ketentuan-ketentuan mengenai dimensi, kuantitas serta jarak
pemasangannya dan lain-lain mengikuti ketentuan-ketentuan sebagaiu berikut :
a. Patok kayu berukuran (5 x 7) cm 2, panjang 70 cm;
b. Patok kayu dipilih yang betul-betul dari jenis kayu yang keras dan tidak mudah lapuk;
c. Patok kayu dipasang tepat pada jalur sungai yang akan diukur dan betul-betul tegak;
d. Patok kayu ditanam cukup kuat sedalam 40 cm serhingga yang tampak di permukaan
tanah asli 30 cm dan dicat;
e. Patok kayu dipasang setiap jarak 50 m sepanjang sungai yang akan diukur;
f. Semua patok diberi tanda/ nomor yang jelas;
g. Bagian atas patok diberi paku, untuk centering dalam pengukuran poligon;
h. Semua patok yang telah dipasang diberi tanda supaya mudah dicari.

c) Pembuatan dan Pemasangan Patok Beton BM dan CP


Dalam Pengukuran Topografi, patok-patok beton BM dan CP akan berfugsi sebagai titik-
titik ikat pada pengukuran berikutnya, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Oleh
sebab itu patok-patok BM dan CP ini diletakkan di tempat-tempat yang strategis, aman
dan tidak mudah berubah posisinya. Untuk itu dalam pembuatan dan pemasangan patok-
patok BM dan CP ini mengikuti ketentuan-ketentuan yang termuat dalam SK Dir Jen Air
No. 185 / th. 1986, seri PT 02 dan ketentuan-ketentuan dibawah ini :

Gambar Patok Beton dan CP


a. Ukuran patok beton BM adalah (20 x 20 x 100) cm';
b. Ukuran patok beton CP adalah (10 x 10 x 100) cm';
c. Bentuk patok beton sesuai dengan bestek l gambar terlampir

Gambar Patok Beton BM,

Gambar Patok Beton CP;

d. Campuran/ adukan beton adalah 1 PC : 2 ps : 3 kr;


e. Beton berkerangka besi dengan ukuran 0 10 mm; e. Patok beton ditanam betul-betul
kuat dan tegak, serta kelihatan 20 cm dari tanah asli;
f. Lokasi tempat pembuatan patok beton dilaporkan kepada Direksi;
g. Patok beton BM dipasang setiap jarak 500 m sepanjang jalur yang akan diukur dan
patok beton CP setiap jarak 500 m dipasang di antara BM;
h. Pemasangan patok beton pada tepi sungai dipasang di sebelah kiri berdasar aliran
sungai;
i. Patok beton diberi tanda / nomor yang jelas dengan Nomen klatur tertulis pada bate
manner ukuran (12 x 12) cm 2 ;

d) Pengukuran Poligon
Pengukuran Poligon yang dilaksanakan merupakan jaring faring tertutup dan diikatkan
pada titktitik triangulasi yang terdekat atau titiktitik lainnya yang diketahui dengan pasti
koordinat dan elevasinya. Pengukuran Poligon dilakukan dalam dua tahap yaitu :
 Poligon utama : untuk menentukan posisi horizontal neud-neud beton ;
 Poligon sekunder : untuk menentukan posisi horizontal patok-patok lainnya.
Poligon Utama Dalam rangka melaksanakan pengukuran poligon utama. Konsultan harus
mengikuti ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
a. Pengukuran sudut dilakukan dengan alat Theodolit
b. Pengukuran jarak dilakukan dengan alat ukur jarak besar EDM (Electronic Distance
Measurement);
c. Salah penutup pengukuran sudut maksimal 10" SIN (N = banyaknya titik sudut
poligon);
d. Salah Tinier poligon tidak boleh lebih dari 1:10.000;
e. Referensi horizontal diambil titik tetap BM dan triangulasi terdekat yang ditentukan
oleh Direksi;
f. Pengukuran sudut dilakukan 2 (dua) seri (bacaan biasa dan luar biasa);
g. Pengukuran jarak dilakukan pergi-pulang,
h. Semua alat yang dipakai harus diperiksa dan telah mendapat persetujuan Direksi;
i. Pengukuran poligon harus tertutup/ kring, artinya pada ujung-ujung poligon terikat
pada titik tetap;
j. Setiap titik ikat yang dipakai harus mendapatkan persetujuan Direksi;
k. Setiap jarak maksimum 5 km dilakukan pengamatan matahari;
l. Pengamatan matahari dilaksanakan minimal 2 seri yaitu pagi dan sore dengan
ketinggian matahari antara 20 sampai dengan 40 ;
m. Interval wakktu dalam pengamatan matahari untuk tiap-tiap seri tidak boleh lebih dari
5 menit;
n. Pengamatan matahari menggunakan prisma Roeloff:
o. Rute pengukuran dituangkan dalam sketsa lapangan.
Poligon Sekunder Seperti halnya poligon utama_ dalam melaksanakan pengukuran
poligon sekunder, Konsultan harus mengikuti ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
a. Pengukuran sudut dilakukan dengan alat Theodolit T. I atau setingkat dengan itu;
b. Pengukuran jarak menggunakan alai ukur rolmeter dan sebagai kontrol dihitung larak
optis;
c. Salah penutup pengukuran sudut poligon maksimal 30" N (N = banyaknya titik sudut
poligon):
d. Salah linier poligon tidak boleh lebih dari 1: 5.000;
e. Titik ikat poligon sekunder menggunakan titik poligon utama;
f. Pengukuran sudut cukup dilakukan dalam satu serf (bacaan biasa dan luar biasa);
g. Setiap seksi pengukuran dibuat sketsa lapangan.
e) Pengukuran Waterpassing
Pengukuran waterpassing dilakukan pada setiap patok beton/ kayu yang ditanam baik BM
maupun CP yang juga merupakan titik poligon cross section dan diikatkan dengan 2 titik
tetap yang ada dan telah mendapatkan persetujuan Direksi Pekerjaan. Peralatan yang
digunakan minimal setingkat dengan Wild NAK.2 NI.2 atau yang sederajat. Toleransi
untuk kesalahan penutup adalah 8 1 (1 = jumlah jarak dalam km).
f) Pengukuran Detil Situasi
Untuk menghasilkan peta skala 1:2.000 dengan garis kontur 1 meter, maka pengambilan/
pengukuran titik detil harus diperhatikan tingkat kerapatannya, batas-batas bangunan,
perumahan, kampung, sawah dan lain-lain harus jelas dan tegas, bila diperlukan
Konsultan menggunakan metode pengukuran Spot Height, yaitu kombinasi untuk
mengukur sudut menggunakan Theodolite sedang untuk elevasinya dengan Waterpass
agar diperoleh titik detil yang meyakinkan. Peralatan yang dipakai Theodolite T.0 dan
Waterpass NI.2 atau yang sederajat.
g) Pengukuran Profil Melintang
Pengukuran melintang pada jalur sungai dengan kondisi jalur yang relatif lurus serta datar
pengukurannya dilakukan pada setiap jarak 500 m dengan mengambil toleransi belokan/
tikungan pada setiap jarak 100 m. Pengukuran dilakukan pada semua patok yang sudah
terpasang balk patok beton maupun patok kayu sedang koridor yang diperlukan adalah 25
m dari tepi sungai, atau sesuai petunjuk pemilik pekerjaan. Peralatan yang digunakan
Waterpass N1. 2 atau yang sederajat.
h) Perhitungan dan Penggambaran Perhitungan
Untuk melaksanakan perhitungan data hasil pengukuran, Konsultan memperhatikan hal-
hal sebagai berikut :
1) Metode perhitungan dilakukan dengan metode Bowdict:
2) Hitungan poligon dilaksanakan dengan menggunakan program komputer:
Menginventarisasi dan Desain Kondisi Bangunan Pengairan Konsultan
menginventarisasi dan mendesain bangunan-bangunan pengairan terpilih yang ada di
sepanjang Sungai seperti bendung, tanggul, revetment, krib, groundsill, jembatan, free
intake yang meliputi lokasi, jenis, dimensi, elevasi, sketsa, foto bangunan dan kondisi
fisiknya. Pengukuran ini dimaksudkan untuk mendapatkan gambar Situasi,
penampang memanjang dan melintang sungai yang akan dipergunakan untuk
perencanaan. Pekerjaan Teristris ini meliputi:
 Pengukuran titik kontrol vertikal dan horizontal situasi detail pemasangan Bench
Mark (BM) sebagai titik tetap. Koordinat horizontal dan vertikal (x, y, z) harus
mengacu kepada koordinat yang sudah ada/yang telah dipakai untuk kegiatan pada
tahapan sebelumnya (dengan mendapat persetujuan direksi pekerjaan).
 Pengukuran jarak dan sudut dilaksanakan dengan cara poligon tertutup, yaitu
dengan mengukur jarak dan sudut menurut lintasan.
 Pengukuran sudut dilakukan dengan pembacaan double seri (keadaan biasa dan
luar biasa), dimana besar sudut yang akan dipakai harga rata-rata dari kedua
pembacaan tersebut. Azimut awal harus ditetapkan dari data minimum 2 BM yang
ada dilapangan dan ini harus dimintakan persetujuan dari Direksi lapangan,
Pengukuran melintang dilaksanakan pada jarak 50 m untuk bagian sungai yang
lurus dan 25 m untuk bagian belokan. Pada tahapan pekerjaan teristris ini akan
diuraikan beberapa langkah-langkah pekerjaan tersebut, khususnya mengenai
persyaratan teknis pelaksanaan pekerjaan.
o Bench Mark harus dipasang sesuai dengan ketentuan-ketentuan sebagai
berikut : Setiap jarak 1,0 km, di kanan kiri sungai.
o Pada setiap IP (Point Intersection)
o Setiap titik simpul (Loop Intersection Point)
o Dipasang pada + 25 m dari tepi tanggul sebelah kiri dan kanan sungai dan
terletak ditempat yang aman dan stabil. Bench Mark ini berukuran (20 x 20 x
100) cm terbuat dari beton bertulang dengan bentuk maupun ukuran sesuai
ketentuan.

Gambar Contoh Pemasangan Bench Mark (BM)

Sebagai langkah awal sebelum pengukuran dimulai, terlebih dahulu harus dipasang
control point (CP). Control Point ini berukuran (10 x 10 x 100) cm terbuat dari beton
bertulang dengan bentuk maupun ukuran sesuai ketentuan. Pada permukaan CP diberi
kode/notasi secara jelas dan teratur menurut petunjuk Direksi Pekerjaan. Pemasangan CP
akan ditempatkan pada setiap jarak 200 m di kanan kiri sungai dan dua buah CP pada setiap
rencana bangunan dipasang cukup kuat, rapi dan mudah dicari. Sebelum pekerjaan
pengukuran dimulai untuk penentuan jalur dan batas pengukuran akan dikonsultasikan
terlebih dahulu guna mendapatkan persetujuan Direksi Pekerjaan serta untuk menghindari
terjadinya kekeliruan. Control Point yang telah dipasang kemudian dibuat diskripsinya secara
jelas dan teratur. Dilaksanakan pula pengikatan terhadap titik ikat/tetap yang telah ada atau
yang telah ditentukan oleh Direksi Pekerjaan. Semua koordinat dan elevasi titik-titik hasil
pengukuran akan didasarkan pada koordinat dan elevasi titik ikat tersebut.

Gambar Bench Mark (BM) dan Control Point (CP) di Lapangan

Sebelum pengukuran dimulai terlebih dahulu harus dipasang patok kayu sebagai titik
bantu. Patok kayu ini berukuran (5 x 7 x 60) cm, dibuat dari kayu ulin atau yang sejenis
dengan bentuk sesuai dengan ketentuan. Lokasi pemasangan patok kayu tersebut pada route
pengukuran poligon, waterpas dan cross section sedemikin rupa sehingga memenuhi syarat
cukup kuat dan aman kedudukannya selama pekerjaan berlangsung sampai dengan
penyerahan hasil akhir. Setelah patok kayu terpasang selanjutnya dibuat sketsa lokasi patok
secara rapi, sistematis dan mudah dibaca. Patok-patok kayu tersebut setelah dipasang
kemudian diberi notasi/nomor dengan cat, hal ini diperlukan untuk memudahkan pada waktu
pekerjaan berlangsung dan untuk pengecekan.
1. Peralatan Peralatan yang digunakan untuk survey pengukuran pengikatan adalah : 1 unit
Theodolit T1 ; 1 buah roll meter 50 m; 2 buah rambu; Tripod, GPS Geodetik.

Gambar Persiapan Peralatan Pengukuran Topografi

2. Metode Pelaksanaan
a. Titik Refefensi Posisi Horisontal/Koordinat (X,Y) Pada pekerjaan pemetaan ini
sebagai referensi horisontal (X,Y) digunakan titik BM tetap, yang terdapat didalam
areal penelitian. Untuk mendapatkan akurasi pengukuran digunakan GPS Geodetik
pada titik BM1 yang terdekat. Semua pengukuran topografi (termasuk batimetri)
diikatkan/dikoreksikan ke BM ini.
b. Titik Referensi Posisi Vertikal (Z) Sebagai referensi ketinggian digunakan Lowest
Low Water Level (LLWL) hasil pengamatan pasang surut selama 15 hari dengan
interval pengamatan setiap satu jam yang diikatkan ke titik BM2 sebagai titik
referensi seperti yang digambarkan pada berikut ini. BT 1 K P Z O 0 MSL Palem 0.0
LLWL B M T BM

Gambar Metode Pengukuran Pengikatan Elevasi BT 2

Dari gambar tersebut di atas maka tinggi titik BM terhadap bidang referensi adalah
sebagai berikut : T.BM = (BT1-BT2)-KP Dimana : T.BM = tinggi titik BM terhadap
bidang referensi (0.0LLWL) BT1 = bacaan benang tengah rambu belakang BT1 =
bacaan benang tengah rambu depan KP = koreksi nol palem Pengukuran Sipat Datar
Pekerjaan ini dimaksudkan untuk menentukan elevasi (ketinggian) titik-titik poligon,
titik tampang melintang, tampang detail dari suatu referensi tertentu. Alat yang
digunakan untuk pekerjaan ini adalah alat ukur wild NAK 2 atau yang sederajat dan
memenuhi syarat yakni menggunakan Compensator dengan perbesaran teleskop 20
kali, sensitivitas nivau 40 /2 mm (alat ukur ini dari jenis automatic orde dua).
Metode pelaksanaan pengukuran sipat datar sebagai berikut : Setelah control point
(CP) dan patok kayu dipasang pada lokasi pengukuran, selanjutanya pengukuran sipat
datar melalui jalur control point, patok kayu dan BM atau station lain yang telah
ditetapkan tersebut. Jalur pengukuran sipat datar dibuat dalam circuit utama yang
dibagi dalam beberapa sirkuit cabang. Dalam rangka pelaksanaan pengukuran ini
instrumen yang digunakan ditentukan dalam keadaan garis visier sejajar garis arah
niveau. Pembacaan pada rambu ukur dilakukan lengkap benang atas (BA), benang
tengah (BT), benang bawah (BB) dengan route pergi-pulang. Selanjutnya tiap kali
pembacaan akan diadakan kontrol sebagai berikut : BA BB BT 2 Rambu ukur yang
dipakai dalam keadaan baik, dilengkapi nivau bak yang terpasang sempurna dan
dalam pelaksanaan pengukuran nanti rambu ukur ini diletakan di atas landasan bak
yang terbuat dari besi (metal turning point) bila route pengukuran tidak melalui titik
tetap. Jarak rambu ukur ke arah ukur akan dibuat maximum 50 (lima puluh) m guna
menjamin ketelitian pembacaan dan alat diusahakan selalu berdiri ditengah kedua
arah. Toleransi salah penutup tinggi untuk satu pengukuran pergi-pulang (selesai),
sirkuit maupun secara keseluruhan maximum 7 mm V D, dimana D = jumlah jarak
tempuh dalam km. Titik kontrol ditentukan berdasarkan referensi titik tinggi yang bisa
digunakan pada daerah pemetaan. Pemilihan elevasi titik (Base Reference Point) akan
dicek minimal dengan 3 (tiga) titik kontrol elevasi yang ada didaerah pengukuran.
Pengukuran Poligon Pekerjaan ini dimaksudkan untuk membuat kerangka dasar
horisontal (X,Y) yang membatasi daerah pengukuran dan akan dipakai sebagai dasar
titik untuk menentukan posisi planimetris dari titik detail situasi dan tampang
melintang dari pengukuran. Instrument yang digunakan untuk kegiatan survey ini
adalah: 1 unit Theodolit untuk posisi horisontal, 1 buah roll meter 50 m, 2 buah
rambu, Tripod. Metode pelaksanaan pengukuran poligon sebagai berikut : 1. Jalur
pengukuran poligon melalui control point dan titik tetap lain yang telah dipasang dan
dibagi dalam beberapa circuit atau mengikuti jalur waterpass. 2. Sudut horisontal
diukur satu seri tunggal dengan ketelitian maximum 5
c. Titik-titik poligon ditandai dengan paku payung pada patok kayu yang telah dipasang
dan muncul 10 (sepuluh) cm di atas tanah.
d. Pada setiap titik simpul poligon utama dilakukan pengamatan matahari secara 2 (dua)
seri ganda masing-masing pada waktu pagi dan sore hari, diarahkan ketitik tetap yang
mudah dicari kembali serta menggunakan perlengkapan prisma roelof.
e. Salah penutup sudut untuk setiap circuit maximum 10 V N, dimana N = jumlah titik
poligon.
f. Salah penutup linier sebelum sudut dikoreksi diratakan maximum 1 : 10.000.
g. Untuk merapatkan kerangka dasar horisontal tersebut dilakukan pengukuran Poligon
Cabang.
Dalam pengukuran poligon dan detil ada dua unsur penting yang perlu diperhatikan yaitu
Jarak dan Sudut Jurusan yang akan diuraikan dalam penjelasan di bawah ini.
a. Pengukuran Jarak Pada pelaksanaan pekerjaan pengukuran jarak, hasil dan akurasi
pengukuran jarak dengan menggunakan T1, sangat bergantung kepada cuaca dan
keadaan permukaan tanah. Pada saat cuaca cerah, pembacaan dapat menjangkau jarak
yang jauh, bahkan hingga lebih dari 1000 m. Demikian juga halnya dengan keadaan
permukaan tanah, pada kondisi pantai yang relatif datar dan terbuka memudahkan
dalam pengukuran.
b. Pengukuran Sudut Jurusan Sudut jurusan sisi-sisi poligon yaitu besamya bacaan
lingkaran horisontal alat ukur sudut pada waktu pembacaan ke suatu titik. Besamya
sudut jurusan ditentukan berdasarkan hasil pengukuran sudut mendatar di masing-
masing titik poligon, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
AB ) AC
Gambar Pengukuran sudut jurusan

Berdasarkan gambar di atas besarnya sudut : = AC - AB Dimana : = Sudut mendatar


AB = Bacaan skala horisontal ke target kiri AC = Bacaan skala horisontal ke target
kanan Angka-angka tersebut dapat diperoleh langsung secara dijital dan dapat di
cetak. Spesifikasi teknis pengukuran poligon adalah sebagai berikut : Jarak antara
titik-titik poligon adalah < 50 meter Selisih sudut antara dua pembacaan < 1" (satu
detik) Pengukuran Jarak Pekerjaan ini dimaksud untuk pengukuran data panjang jarak
titik poligon atau jarak antara dua station yang diperlukan data panjangnya.
Metode pelaksanaan pengukuran jarak sebagai berikut;
1. Pengukuran Jarak Poligon Utama
2. Pengukuran jarak dillakukan dengan EDM secara pergi-pulang masing-masing 3
kali bacaan untuk jarak ke muka dan jarak ke belakang. Alat EDM yang dipakai
adalah jenis Electro optis seperti halnya Wild DI-4, Sokkisha SDM-1C atau
sederajat.
3. Pengukuran Jarak Poligon Cabang
4. Pengukuran jarak dilakukan dengan menggunakan pegas ukuran baja 100 m
secara pergipulang.
Hasil pengukuran tersebut di rata-rata, serta dicek dengan hasil pengukuran jarak
optis. Pengukuran Situasi Pekerjaan ini dimaksudkan untuk mendapatkan gambar
situasi detail yang lengkap, benar, teliti dan jelas dari keseluruhan daerah yang
dipetakan, sehingga akan diperoleh gambaran lapangan yang sebenarnya.
Methode pelaksanaan pengukuran situasi ini mengikuti alur sebagai berikut :
1. Peta Situasi Skala 1 : 1000. Penentuan batas daerah pengukuran mengikuti
petunjuk Direksi Pekerjaan. Kemudian rencana daerah pengukuran tersebut di
sket secara rapi, jelas, lengkap benar dan teliti.
2. Pengukuran situasi dilakukan untuk menambah data titik tinggi dan
planimetris antara dua tampang melintang. Tebaran titik tinggi dan planimetris
dibuat serapat mungkin sehingga dalam menginterpolasi gariss kountur bisa
teliti. Untuk pengukuran situasi ini, akan digunakan metode Tachimetri, dan
data ukur yang dicatat meliputi :
a. Arah Benang atas (BA), Benang Bawah (BB) dan Benang Tengah (BT)
dimana : BA BB BT 2
b. Tinggi instrumen Jika tebaran titik-titik detail situasi menurut pandangan
Direksi Pekerjaan kurang memadai, dapat ditambahkan sesuai kebutuhan.
Alat ukur yang digunakan pekerjaan ini adalah Theodolite Wild T0 atau
alat lain yang sederajat berdasar persetujuan Direksi Pekerjaan. Pekerjaan
ini dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran tampang melintang dan
tampang memanjang yang benar, lengkap, teliti dan jelas dari lokasi
bangunan dan sungai atau yang ditentukan oleh pemberi tugas.
Metode pelaksanaan pengukuran tampang melintang dan tampang memanjang berikut
ini :
1. Dibuat sket tampang melintang secara rapi lengkap, jelas, benar dan teliti
sehingga mendekati keadaan lapangan yang sebenarnya. Route tampang
melintang akan disesuaikan dengan kebutuhan serta dikonsultasikan dengan
Direksi Pekerjaan.
2. Untuk tampang melintang sungai, akan diukur tegak lurus arah aliran sungai
sehingga setiap tampang melintang merupakan garis lurus satu arah titik. Tebaran
titik tampang melintang pada setiap tampang akan dibuat serapat mungkin untuk
mendapatkan gambar lapangan yang medekati keadaan sebenarnya.
3. Pengukuran melintang dilaksanakan pada jarak 50 m untuk bagian sungai yang
lurus dan 25 m untuk bagian belokan
4. Alat yang digunakan untuk pengukuran ini adalah Theodilite Wild T0 atau alat
lain yang sederajat. Hasil dari pekerjaan pengukuran lapangan harus digambarkan
dengan ketentuan sebagai berikut : Gambar tampang melintang dengan skala 1 :
100. Gambar tampang memanjang dengan skala : Horisontal 1 : 1000 Vertikal 1 :
100
3.4.2. Survey Hidrologi / hidrometri
Survey Hidrologi Survey hidrologi dilakukan dengan mencari data-data sekunder
sebagai berikut:
1. Data klimatologi dari stasiun klimatologi terdekat atau yang mewakili Dalam perhitungan
untuk mengetahui kondisi klimatologi maka diperlukan data yang tercatat pada stasiun
Klimatologi yang diperkirakan cukup mewakili untuk daerah proyek. Data klimatologi
bulanan yang akan digunakan meliputi antara lain: - Kecepatan angin - Suhu -
Kelembaban udara - Lama penyinaran matahari
2. Data debit sungai bulanan selama minimum 10 tahun terakhir dari data catatan debit pada
bendung atau bangunan utama dari stasiun pengukur debit lain yang ada.
3. Data curah hujan harian selama minimum 10 tahun terakhir dari stasiun curah hujan yang
ada di wilayah daerah aliran sungai (DAS).
4. Data catatan banjir pada bendung/bangunan air atau stasiun pengukur debit, bila ada.

3.4.3. Survey Hidrometri Permukaan


Permukaan Air diperolah dari meteran, atau dengan observasi atau langsung dalam
form perekam. Data dapat disediakan untuk beberapa tujuan:
1. Dengan memplotkan pembacaan meteran selama waktu tahun hidrologi yaitu hidrograph
untuk beberapa stasiun pembaca meteran yang diperoleh. Hidrograph dari angka tahun
yang berurutan digunakan untuk menentukan kurva durasi, menunjukkan juga
probabilitas dari kejadian permukaan air pada stasiun yang ditentukan. Perbandingan dari
hidrograph dari beberapa stasiun sepanjang sungai memberikan pengertian tentang
perambatan dan deformasi dari gelombang banjir.
2. Memadukan pembacaan meteran dengan angka debit, tingkatan debit dapat ditentukan,
kesimpulan dalam kurva penilaian untuk statiun tertentu di bawah pengamatan
3. Dari pembacaan angka dalam meteran, diamati pada saat konsisi steady flow dan pada
bermacam-macam tingkatan, tingkatan kurva hubungan dapat diperoleh.
4. Sebagian dari penggunaan untuk studi hidrologi dan untuk tujuan desain, nilai data dapat
digunakan langsung untuk tujuan yang lain seperti untuk kebutuhan instan, navigasi,
prediksi banjir, manajemen SDA dan batas pembuangan limbah. Stasiun pengukuran
utama harus berlokasi pada titik dimana perubahan debit terjadi secara tiba-tiba. Sebagai
contoh downstream dari pertemuan dan bercabangan sungai atau tempat dimana dengan
alasan tertentu dimana perubahan kemiringan air diharapkan. Jarak antara stasiun utama
sekitar 10 km.
Topografi dari dasar sungai dapat ditentukan dengan metode sounding dari
permukaan air, contohnya dengan mengukur kedalaman air pada jumlah titik yang telah
ditentukan. Prosedur dari sounding terdiri dari:
1. PekerJaan persiapan, yang terdiri dari penentuan, pengecekan dan pemeliharaan patok
geometri yang dapat dilakukan penentuan yang tepat dari lokasi sounding. Patok geometri
seharusnya dipetakan dan semua data yang relevan dikompilasi secara akurat.
2. Sounding beroperasi dengan sendirinya, terdiri dari penentuan lokasi dari titik yang di
tembak dengan gelombang suara (sounded), ketinggian air lokal selama sounding dan
sounding yang sebenarnya.
3. Pemrosesan data yang didapatkan.
Penghilangan atau pengabaian salah satu item diatas akan mengancam keberhasilan
dari seluluh kegiatan. Sebuah keputusan juga harus dibuat tentang kerapatan dari jaringan
titik yang harus ditembak sebelum kegiatan dilaksanakan. Sesungguhnya, kerapatan titik
ditentukan oleh tingkat informasi yang diperlukan. Kecepatan aliran biasanya diukur untuk
menentukan debit. Kecepatan juga dicatat bagi yang berkonsentrasi pada teknik sungai untuk
mendapatkan pengetahuan yang detail dari kecepatan aliran yang digunakan dalam model
atau scala matematik, guna tujuan penelitan atau untuk permasalah nautika atau hubungan
pola aliran yang diharapkan atau kerja sungai eksisting.
Metode yang dapat digunakan untuk menentukan debit ada beberapa cara yaitu:
1. Metode Kecepatan Area, yaitu area dari penampang melintang ditentukan dari sounding;
rata-rata kecepatan arus disimpulkan dari kecepatan terukur pada poin-poin yang dibagi
secara sistematis pada panampang-lintang. Kemudian debit didefinikan sebagai berikut: Q
u A s Pada prinsipnya, pengukuran harus dibuat pada kondisi aliran tunak (steady
condition). Kebutuhan akan data ini dibatasi oleh aplikasi Metode Kecepatan Area yang
konvensional, sebagai contoh pada sungai yang lebar/luas, dalam hal banyaknya
pengukuran yang harus dilakukan, membutuhkan waktu yang terlalu lama.
2. Metode Kapal Bergerak, jika metode kecepatan area yang konvensional tidak dapat
digunakan (pada sungai yang lebar atau pada kondisi unsteady flow), Metode kapal
bergerak dapat digunakan sebagai alternatif dengan pengukuran yang lebih cepat. Metode
ini terdiri dari kapal survey yang bergerak melintas sungai, sementara melakukan
sounding pada profil dasar sungai dan mengukur pada sejumlah titik-titik pengamatan
yang penting dan menunjukkan kombinasi kecepatan dari pergerakan kapal dan arus.
Setiap pengukuran diambil pada kedalaman tertentu dibawah permukaan air, menggukan
sebuah current meter dengan indikator arah aus. Area dari penampang melintang, seperti
halnya kecepatan aliran rata-rata, dapat diestimasi dan debit dapat ditentukan. Metode ini
dapat disebut juga Metode Kecepatan Area Dinamis
3. Metode Kemiringan Area, untuk akurasi yang kecil metode ini dapat digunakan untuk
menentukan magnitude debit puncak setelah banjir menyusut. Jika skala meteran (dial
gauge) baca tersedia, tanda banjir yang tertinggal pada lintasannya dapat digunakan.
Metode ini dapat menentukan area penampang melintang selama tingkat tertinggi dan
kemiringan dari permukaan air. Setelah penentuan dari kekasaran dasar yang kemudian
memungkinkan kecepatan arus ratarata, bersamaan dengan area penampang melintang
lalu menentukan debit.
4. Metode Pelemahan, suatu benda bercahaya (sampel) dilepaskan pada permulaan
jangkauan pengukuran dari suatu aliran. Pada contoh area di muara, sample akan
menempuh interval waktu regular. Debit dari aliran dapat disimpulkan dari jumlah sampel
yang dilepaskan dan konsentrasi sampel yang terukur pada muara yang paling terakhir
dicapai. Pada titik tersebut sampel harus terbagi sama rata sepanjang potongan melntang.
Secara umum, kondisi ini membatasi penerapan metode pelemahan untuk aliran
pegunungan and terjunan dengan derajat tinggi dari aliran turbulen. Dalam beberapa
kasus metode ini dapat menghasilkan kesimpulan yang akurat.
5. Metode Elektromagnetik dan Perlengkapan Supersonik, digunakan untuk penentuan debit
dan pengukuran kecepatan arus secara berturut-turut, sekarang ini mengalami
pengembangan. Dalam perkembangannya metode ini akan memungkinkan untuk
menghasilkan informasi yang menerus tentang kecepatan arus dan debit. Pada output
digital data dapat diolah secara komputerisasi, dapat diproses secara otomasis, dimana
dapat berguna untuk tujuan manajemen sumberdaya air.
Penentuan debit dari suatu sungai dengan pengukuran langsung membutuhkan banyak
tenaga dan memakan waktu serta tidak dapat digunakan secara langsung. Maka dalam
prakteknya untuk ditetapkan suatu hubungan (curva rating) antara stasiun penera (meteran)
dan debit. Dari pengamatan kedalaman, debitnya dapat diperkirakan kemudian. Hubungan
antara kedalaman dan debit tergantung pada bentuk dari penampang melintang dan kekasaran
dasar sungai. Oleh karena itu hubungan tersebut harus ditetapkan secara empiris. Setelah
menetapkan suatu kurva rating, pengukuran dilanjutkan untuk verifikasi dan jika perlu
dilakukan penjojikan kurva rating dengan keadaan sebenarnya. Deviasi dari debit yang
terbaca dari kurva dapat disebabkan karena perubahan morfologi dasar sungai, perubahan
kekasaran sebagai contoh dalam penanaman tumbuhan di daerah banjir dan yang terakhir
tetapi bukan tidak penting, kedatangan gelombang banjir yang menyebabkan kemiringan dari
permukaan air yang menghasilkan loop pada kurva, yang panjangnya tergantung pada sifat
alami gelombang banjir.
Survey hidrometri dilakukan guna mendapatkan ketinggian/ level muka air pasang
dan surut Sungai Batulicin. Fluktuasi muka air pasang surut ini dilakukan dengan melakukan
pengamatan level tinggi muka air dengan menggunakan papan peilschaal yang diamati
selama 15 hari dengan pertimbangan siklus pasang akan berulang setiap 15 hari. Setelah
dilakukan pengamatan selama 15 hari kemudian dilakukan peramalan pasang surut untuk
beberapa tahun ke depan sesuai dengan kala ulang (time return) yang direncanakan. Sedimen
3.4.4. Survey dan Investigasi Mekanika Tanah
Survey mekanika tanah dilakukan dalam rangka untuk mengetahui karakteristik tanah
yang ada di sekitar lokasi rencana bangunan. Investigasi tanah dilakukan dengan alat sondir
(Cone Penetration Test) dan pengambilan beberapa sampel tanah guna mengetahui deskripsi
dan karakteristik fisik tanah. Dalam pekerjaan Detail Desain Pengendalian Banjir Sungai
Batulicin, beberapa lokasi akan dilakukan investigasi/pengambilan sample tanah guna
mengetahui karakteristik dan sifat teknis tanah. Pengambilan titik investigasi geoteknik
dilakukan di lokasi rencana bangunan pengendali banjir.
Maksud dan tujuan pekerjaan penyelidikan tanah ini adalah untuk mengetahui
besarnya nilai parameter-parameter tanah yang selanjutnya dapat digunakan untuk
mengetahui sifat-sifat serta kondisi tanah dasar pada lokasi pekerjaan, yang meliputi:
1. Klasifikasi tanah (classification of soil).
2. Daya dukung tanah (bearing capacity of soil).
3. Penurunan (settlement).
4. Kestabilan lereng (slope stability).
5. Penimbunan dan pemadatan (fill and compaction).
Lokasi dan Situasi Penyelidikan tanah ini dilakukan di beberapa titik di lokasi
pekerjaan yang dipilih dengan kondisi tanah yang spesifik. Kondisi spesifik atau khusus ini
dapat diketahui dari :
1. Pengamatan visual langsung ke lapangan.
2. Berdasarkan data-data yang telah ada misalnya peta geologi, hasil penyelidikan tanah
disekitar sungai yang pernah dilakukan, dan data penunjang lainnya.
3. Informasi-informasi penting yang lain yang bersumber baik dari instansi maupun dari
masyarakat
Lingkup pekerjaan yang dilaksanakan dalam penyelidikan tanah ini meliputi :
1. Pekerjaan persiapan, yang meliputi :
a. Perencanaan lokasi titik-titik penyelidikan tanah yang ditentukan berdasarkan antara
lain informasi tentang : Lokasi dan waktu terjadinya tanah longsor dan jenis
perbaikannya bila telah dilakukan. Lokasi adanya retakan tanah (crack) yang cukup
besar pada sepanjang sungai, waduk dan sumber air lainnya serta jenis perbaikannya
bila telah dilakukan. Jenis pemanfaatan areal disepanjang sumber air, luasannya,
lokasi tepatnya serta kendala-kendala yang terjadi. Lokasi dan periode banjir. Lokasi
terjadinya penggerusan oleh aliran sungai sehingga sungai terus menerus melebar.
Lokasi terjadinya sedimentasi oleh aliran sungai sehingga sungai mengecil, dan lain
sebagainya.
b. Penyiapan lahan, bahan-bahan dan peralatan survey.
2. Pekerjaan Lapangan, yang meliputi :
a. Pengujian Sondir atau Dutch Cone Penetration Test (CPT) yang dilaksanakan di
lokasi-lokasi yang telah dipilih berdasarkan ketentuan-ketentuan diatas serta
digunakan sistem acak (random sampling) agar data yang diperoleh dapat mewakili
seluruh wilayah studi
b. Tujuan pengujian ini adalah untuk mengetahui kedalaman lapisan tanah keras, muka
air tanah secara kasar serta jenis dan ketebalan lapisan-lapisan tanah secara kasar
berdasarkan besarnya nilai tahanan ujung (conus resistance = q c)
c. Pengeboran dan pengambilan sampel yang pemilihan titik-titiknya juga secara acak
yang lokasinya menyebar di seluruh wilayah pekerjaan
d. Tujuan pekerjaan ini adalah untuk mengambil contoh tanah tidak terganggu
(undisturbed samples) yang selanjutnya dianalisa di laboratorium.
3. Pengujian Sondir Alat Sondir yang digunakan berkapasitas 150 kg/cm 2, artinya dengan
alat ini dapat dicapai kedalaman lapisan tanah keras, yaitu lapisan tanah yang mempunyai
nilai tahanan ujung (conus resistance) hingga mencapai 150 kg/cm 2.
Alat Sondir harus berdiri vertikal dengan diberi perkuatan empat buah angker agar pada
saat pelaksanaan alat tidak bergerak atau bergeser. Sondir yang dilaksanakan sampai
dengan tanah keras dengan tekanan conus 150 kg /cm2, atau maksimum sampai
kedalaman 25 m.
4. Pengeboran Pengeboran dilakukan dengan cara Manual yaitu dengan menggunakan alat
bor tangan tipe Auger dengan mata bor yang berbentuk spiral (mata bor Iwan). Tujuan
utama dari pembuatan lobang bor adalah untuk mengetahui lebih jelas tentang susunan
lapisan tanah yang ada dan berapa tebal dari tiap-tiap jenis lapisan tanah yang dijumpai
yang dikerjakan dengan tenaga manusia (hand auger). Lokasi pengeboran adalah disekitar
lokasi kegiatan Kedalaman tiap-tiap lobang bor ditentukan tidak lebih dari 6 (enam)
meter.
5. Pengambilan Contoh Tanah Pengambilan contoh tanah asli dan penelitian laboratorium
pada setiap sungai (lokasi). Pengambilan contoh tanah asli dimaksudkan untuk
mendapatkan nilai-nlai sebagai berikut. Gradasi butir-butir tanah Batas-batas alteberg
Berat jenis dan berat volume tanah Permeability test Kekuatan dan daya dukung tanah
Harga-harga Ø dan C Letak titik-titik pengambilan contoh tanah adalah sama dengan titik
bor. Contoh tanah diambil pada setiap lapisan tanah yang berbeda strukturnya.

Gambar Pengambilan Sondir Guna Investigasi Geoteknik

3.5. Pengolahan Data dan Analisis Data


3.5.1. Pengolahan Data dan Analisis Pemetaan
a) Sistem Informasi Geografi Untuk Identifikasi Lokasi Banjir
Sistem Informasi Geografi Sistem Informasi Geografi (SIG) atau biasa disebut
Geographical Information System (GIS) merupakan komputer yang berbasis pada sistem
informasi yang digunakan untuk memberikan bentuk digital dan analisa terhadap
permukaan geografi bumi. Defenisi GIS selalu berubah karena GIS merupakan bidang
kajian ilmu dan teknologi yang relative masih baru. Beberapa defenisi dari GIS adalah:
a. Definisi GIS (Rhind, 1988 dalam Husein., 2006): GIS is a computer system for
collecting, checking, integrating and analyzing information related to the surface of
the earth
b. Definisi GIS yang dianggap lebih memadai (Marble & Peuquet., 1983) and (Parker,
1988; Ozemoy et al., 1981; Burrough, 1986): GIS deals with space-time data and
often but not necessarily, employs computer hardware and software.
c. Definisi GIS (Purwadhi., 1994) a) SIG merupakan suatu sistem yang mengorganisir
perangkat keras (hardware), perangkat lunak (software), dan data, serta dapat
mendayagunakan system penyimpanan, pengolahan, maupun analisis data secara
simultan, sehingga dapat diperoleh informasi yang berkaitan dengan aspek keruangan.
b) SIG merupakan manajemen data spasial dan non-spasial yang berbasis komputer dengan
tiga karakteristik dasar, yaitu:
a. mempunyai fenomena aktual (variabel data non-lokasi) yang berhubungan dengan
topic permasalahan di lokasi bersangkutan;
b. merupakan suatu kejadian di suatu lokasi; dan
c. mempunyai dimensi waktu.
Dari definisi-definisi diatas, Sistem Informasi Geografi dapat disimpulkan merupakan
konfigurasi dari hardware dan software digunakan untuk compiling, storing, managing,
manipulasi, analisis, dan pemetaan (sebagai tampilan) informasi keruangan. Ini
mengkombinasikan fungsional dari program komputer grafis, peta elektronik, dan basis
data (Haestad & Durrant., 2003).
Dua keistimewaan analisa data berdasarkan SIG (Husein., 2006) yaitu :
a. Analisa Proximity
Analisa Proximity merupakan suatu geografi yang berbasis pada jarak antar layer.
Dalam analisis proximity GIS menggunakan proses yang disebut dengan buffering
(membangun lapisan pendukung sekitar layer dalam jarak tertentu untuk menentukan
dekatnya hubungan antara sifat bagian yang ada.
b. Analisa Overlay
Proses integrasi data dari lapisan-lapisan layer yang berbeda disebut dengan overlay.
Secara analisa membutuhkan lebih dari satu layer yang akan ditumpang susun secara
fisik agar bisa dianalisa secara visual.
Input Data Geometrik atau Sistem Informasi Geografi menggunakan perangkat untuk
mendigitasi atau menggambarkan peta, menghasilkan data serta menganalisanya.
Digitizing tools dapat mengkonversi peta hard copy kedalam format soft copy atau
elektronik. Format peta ini juga dapat dikonversi ke dalam program teknik, seperti CAD
atau program teknik lainnya. Input Data Geometrik berupa : Fitur yaitu points (titik), lines
(garis), poligon dan teks.
Atribut Imagery Surfaces atau Fitur Fitur geografi di representasikan pendekatan
serupa dari rupa bumi. Fitur geografi berupa natural seperti vegetasi, sungai tanah dan
sebagainya, berupa konstruksi atau buatan manusia seperti bangunan, jembatan, pipa dan
sebagainya, dan bagian lainnya dari objek rupa bumi seperti batas negara, politik, dan
sebagainya. Objek-objek tersebut direpresentasikan sebagai titik (points), garis (lines) dan
luasan area (polygons) Points.didefinisikan untuk objek-objek yang terlalu kecil dan tidak
dapat direpresentasikan oleh garis dan poligon. Points memiliki satu titik koordinat
(X,Y,Z) saja. Contoh seperti lokasi sumur, stasiun hujan, point juga merepresentasikan
titik koordinat dari GPS, atau titik ketinggian, dan sebagainya.

Gambar Fitur berupa titik (points).,


(sumber : ArcGIS User's Guide, 2002)

Lines merepresentasikan objek geografi yang berupa garis yang memiliki dua
koordinat (X,Y,Z) yang dihubungkan. Contoh objek yang berupa garis (lines) adalah
jalan raya, sungai, jaringan drainse dan sebagainya

Gambar Fitur berupa garis (lines).,


(Sumber : ArcGIS User's Guide, 2002)

Poligon Adalah area tertutup yang berupa lokasi homogen seperti administrasi, jenis
tanah, jenis penggunaan lahan, dan sebagainya.

Gambar Fitur berupa Area (polygons).,


(Sumber : ArcGIS User's Guide, 2002).

Attribut Berupa informasi yang terkait dengan fitur, dan dihubungkan dengan simbol
warna dan label. Didalam Sistem Informasi Geografi atribut diatur didalam tabel yang
terkait dengan konsep database.

Gambar Attribut berupa baris dan kolom


Deskripsi dari data diorganisir ke dalam tabel, tabel memiliki baris, dan semua baris
pada tabel memiliki kolom. Kolom memiliki tipe unik seperti integer, batas desimal,
karakter dan lain-lain.
Imagery Terdiri dari struktur data raster yang terdiri dari baris dan kolom.
Nilai yang di hitung adalah nilai pixel, dimana objek akan memberikan sinyal ke
sensor, kemudian diterjemahkan dalam nilai pixel.

Gambar Konsep imagery berupa nilai piksel


(Sumber : ArcGIS User's Guide, 2002).

Imagery juga umum digunakan untuk menetukan objek yang terlihat dan tidak terlihat
dengan menggabungkan (composite) saluran (bands) dimana tiap saluran memiliki
sensor dengan panjang gelombang yang berbeda. Ini memungkinkan untuk penelitian
terapan untuk ilmu kebumian seperti hydrologi, geologi, dan sebagainya.

Gambar Contoh jenis-jenis imagery.,


(Sumber : ArcGIS User's Guide, 2002).

Surface erat kaitannya dengan data model medan, yang terdiri dari beberapa macam,
diantaranya: Garis Kontur. Garis imajiner yang menghubungkan titik-titik ketinggian
di rupa bumi yang memiliki nilai sama.

Gambar Garis Kontur.,


(Sumber : ArcGIS User's Guide, 2002).

Raster Dataset Seperti konsep imagery namun, lebih menekan kan nilai pixel dengan
ketinggian medan. Contohnya untuk pembuatan DEM (Digital Elevation Model)
untuk merepresentasikan bentuk rupa bumi.

Gambar Digital Elevation Model (DEM),


(Sumber : ArcGIS User's Guide, 2002).

TIN Layer Model TIN (Triangulated Irregular Network) yaitu data struktur yang
terdiri dari titik seperti elevasi muka bumi yang dihubungkan oleh jaringan segitiga.
Sama halnya dengan DEM tapi TIN merupakan model dengan pendekatan interpolasi
dari beberapa titik yang memiliki nilai ketinggian.

Gambar Triangulated Irregular Network,


(Sumber : ArcGIS User's Guide, 2002).

Kemampuan dalam menerjemahkan fenomena spasial dan analisis data menggunakan


Sistem Informasi Geografi membantu juga dalam mengevaluasi model responsibility
seperti aliran permukaan, terhadap saluran drainase.
3.5.2. Pengolahan Data dan Analisis Hidrologi/Hidrometri
a) Pengolahan Data Curah hujan
Ketersediaan data curah hujan Dikarenakan banyaknya data hujan yang tidak tercatat
karena rusaknya alat maka dalam studi ini digunakan metode Reciprocal untuk
melengkapi data hujan pada ketiga stasiun pencatat hujan di atas. Metode ini
membutuhkan data jarak antar stasiun sebagai faktor korelasi untuk mencari besarnya
hujan pada stasiun yang datanya tidak lengkap. Rumus Reciprocal sebagai berikut: Px = P
A /(dxa) 2 1/(dXA) 2 P B /(dxb) 1 /(dxb) 2 2 P C /(dxc) 1/(dXC) 2 2
Uji konsistensi data Selain kekurangan tersebut di atas, masih terdapat lagi kesalahan
yang berupa ketidakpastian data (inconsistency). Sifat data ini perlu mendapatkan
perhatian untuk memperoleh hasil analisa yang baik. Data hujan yang tidak pasti dapat
terjadi karena beberapa hal misal:
1. Alat diganti dengan alat yang berspesifikasi lain,
2. Perubahan lingkungan yang mendadak
3. Lokasi dipindahkan
Cara pengujian sederhana dapat dilakukan untuk mendeteksi penyimpangan ini.
Umumnya dilakukan dengan double mass analisys, dengan menggambarkan besaran
hujan kumulatif stasiun yang diuji dengan besaran hujan kumulatif rata-rata hujan dari
beberapa stasiun acuan di sekitarnya. Ketidakpastian data ditunjukkan oleh
penyimpangan garisnya dari garis lurus. Asumsi yang digunakan adalah bahwa beberapa
stasiun acuan tersebut mempunyai data yang pasti. Curah hujan rerata areal pada studi ini
untuk menentukan tinggi curah hujan rerata areal dilakukan dengan metode rata-rata
hitung (arithmatic mean). d = d1 d1... n d Curah hujan andalan n = n 1 d n n
Untuk keperluan analisa ini, penggunaan seri data hujan harian yang panjang adalah
sangat efektif. Data hujan yang terkumpul adalah merupakan data hujan rerata daerah
yang lengkap. Bila pada periode tertentu tidak ada pencatatan, maka perlu dilengkapi dulu
dengan menggunakan cara yang telah dijelaskan pada bagian terdahulu (Reciprocal
Methode).
Hidrograf banjir rencana - Ketersediaan data debit pengamatan di sungai yang
bersangkutan, untuk memperkirakan debit banjir yang mungkin terjadi dengan kala ulang
tertentu dilakukan berdasarkan data hujan yang terjadi di Daerah Pengaliran Sungai
(DPS). Besarnya debit yang dihasilkan dari analisa dilakukan pengecekan dengan data
debit yang tersedia di dekat lokasi untuk mendapatkan pola banjir yang terjadi. Hal ini
dimaksudkan untuk mendapatkan data debit banjir yang mendekati kondisi/kenyataan di
lapangan. - Distribusi hujan jam-jaman untuk analisa data hujan menjadi debit diperlukan
data hujan jam-jaman. Dari hasil konfirmasi di lapangan tidak tersedianya data hujan jam-
jaman hasil pengamatan lapangan, maka distribusi hujan jam-jaman didapatkan dengan
suatu asumsi bahwa hujan per hari terpusat selama 5 jam, sehingga prosentase
kemungkinan hujan didekati dengan persamaan R t = R 0 (5/t) 2/3 dengan: R t R 0 = R
24/5 t = Rata-rata hujan sampai jam ke-t = Waktu dari awal sampai jam ke-t Curah hujan
jam ke-t R t = (t R t) (t 1) R (t-1)
b) Analisa Hidrologi
Analisis hidrologi adalah kumpulan keterangan atau fakta mengenai fenomena
hidrologi. Fenomena hidrologi sebagai mana telah dijelaskan di bagian sebelumnya
adalah kumpulan keterangan atau fakta mengenai fenomena hidrologi. Fenomena hirologi
seperti besarnya curah hujan, temperatur, penguapan, lama penyinaran matahari,
kecepatan angin, debit sungai, tinggi muka air, akan selalu berubah menurut waktu.
Untuk suatu tujuan tertentu data-data hidrologi dapat dikumpulkan, dihitung, disajikan,
dan ditafsirkan dengan menggunkan prosedur tertentu. Analisa curah hujan diperlukan
untuk menentukan besarnya intensitas yang digunakan sebagai prediksi timbulnya aliran
permukaan wilayah. Curah hujan yang digunakan dalam analisis adalah curah hujan
harian maksimum dalam satu tahun yang telah dihitung oleh badan meteorologi.
Data curah hujan yang akan dianalisis merupakan kumpulan data atau array data
tinggi curah hujan maksimum dalam 30 tahun berturut-turut dinyatakan dalam mm/24
jam, sampel tersebut dianggap cukup mewakili. Apabila terdapat data yang kosong atau
hilang, maka diperlukan perkiraan bagi stasiun yang kosong. Perkiraan curah hujan yang
kosong dihitung dari pengamatan minimal tiga stasiun terdekat, dan sebisa mungkin
stasiun yang berada mengelilingi stasiun yang datanya hilang tersebut. Cara
melengkapinya yaitu terdapat dua cara, yaitu :
a) Jika selisih antara hujan tahunan normal antara stasiun pembanding dengan stasiun
yang kehiangan data kurang dari 10% maka harga perkiraan data yang kurang lengkap
dicari dengan harga aritmatika.
b) Jika selisih melebihi 10% digunakan cara perbandingan normal yaitu : Dimana : rx =
Harga tinggi curah hujan yang di cari. Rx = Harga rata-rata tinggi curah hujan pada
stasiun pengukur hujan yang di cari. n = Banyaknya stasiun pengukur hujan untuk
perhitungan. rn = Harga tinggi curah hujan pada tahun yang sama dengan rn pada
setiap stasiun pembanding. Rn = Harga rata-rata tinggi curah hujan yang sama dengan
rn pada setiap stasiun pembanding selama kurun waktu yang sama. X = Menunjukan
stasiun pengukur hujan yang datanya sedang di cari dan merupakan bilangan dari 1
sampai n.
Tes Konsistensi. Data curah hujan akan memiliki kecendrungan untuk menuju suatu
titik tertentu yang biasa disebut dengan pola atau trend. Data yang menunjukan adanya
perubahan pola atau trend tidak disarankan untuk digunakan. Analisa hidrologi harus
mengikuti trend, dan jika terdapat perubahan harus dilakukan koreksi. Untuk melakukan
pengecekan pola atau trend tersebut dilakukan dengan menggunakan teknik kurva massa
ganda yang berdasarkan prinsip setiap pencatatan data yang berasal dari populasi yang
sekandung akan konsisten, sedangkan yang tidak sekandung akan tidak konsisten, dan
akan menimbulkan penyimpangan arah/trend. Perubahan pola atau trend bisa disebabkan
diantaranya oleh:
a) Perpindahan lokasi stasiun pengukur hujan.
b) Perubahan ekosistem terhadap iklim secara drastis, misal karena kebakaran.
c) Kesalahan ekosistem observasi pada sekumpulan data akibat posisi atau cara
pemasangan alat ukur yang tidak baik.
Prinsip dasar metode kurva massa ganda adalah sebagai berikut; sejumlah stasiun
tertentu dala wilayah iklim yang sama diseleksi sebagai stasiun dasar (pembanding).
Ratarata aritmetik dari semua stasiun dasar dihitung untuk setiap metode yang sama.
Rata-rata hujan tersebut ditambahkan (diakumulasikan) mulai dari periode awal
pengamatan. Demikian pula halnya dengan data stasiun utama yang akan dicek pola atau
trendnya. Kemudian diplot titik-titik akumulasi rerata stasiun utama dan stasiun dasar
sebagai kurva massa ganda. Pada kurva massa ganda, titik-titik yang tergambar selalu
berdeviasi sekitar garis rata-rata, dan hampir merupakan garis lurus. Kalau ada
penyimpangan yang terlalu jauh dari garis lurus tersebut maka mulai dari titik ini
selanjutnya pengamatan dari stasiun yang ditinjau akan tidak akurat dengan kata lain data
hujan curah hujan telah mengalami perubahan trend. Koreksi yang digunakan untuk data
yang mengalami perubahan trend tersebut adalah : Dimana : Hz = Curah hujan yang
diperkirakan. tan α = Slope sebelum perubahan. tan α o = Slope setelah perubahan. Ho =
Curah hujan hasil pengamatan.
Tes Homogenitas. Dalam analisa curah hujan yang harus dilakukan setelah uji
konsistensi adalah uji homogenitas. Ketidak homogenitasan data curah hujan dapat
sisebabkan gangguangangguan atmosfir karena pencemaran atau adanya hujan buatan
yang sifatnya insidentil. Tes homogenitas dengan memplot harga (N, Tr) pada grafik tes
homogenitas. Suatu kumpulan data disebut homogen bila titik (N, Tr) berada didalam
batas homogenitas pada grafik tersebut. N merupakan banyaknya data curah hujan,
sedangkan Tr dicari dengan persamaan : Dimana : R 10 = Curah hujan tahunan dengan
PUH 10 tahun. Ř = Curah hujan rata-rata dalam sekumpulan data. Ťr = PUH untuk curah
hujan tahunan rata-rata
Analisa curah hujan harian maksimum Aplikasi distribusi peluang yang digunakan
untuk dianalisis data-data ekstrim curah hujan maksimum yaitu :
1) Metode Dumbel
Modifikasi Dengan persamaan sebagai berikut : Dimana : Ř = curah hujan rata-rata
Yn = reduced mean YT = reduced variate σn = reduced standar deviasi σr = standar
deviasi data hujan Tr = periode ulang hujan Persamaan ini kemudian dimodifkasi,
menurut Lattenmair dan Burges, perhitungan hidrologi yang lebih tepat didapat
dengan menggunakan harga limit standar deviasi dan limit rata-rata (harga bila n = ~).
Harga limit YN sama dengan konstanta euler (YN = 0.5772) sedangkan limit σ = η /
(6)0.5 = 1.2825
2) Metode Log Person Type III
Metode ini berdasarkan pada perubahan data yang ada ke dalam bentuk logaritma.
Parameter statik yang diperlukan untuk distribusi Log Pearson III adalah : a. Rata rata
(r) b. Standar deviasi log (σ R) c. Koefisien skew log (g) persamaan-persamaan yang
digunakan adalah : Dimana : r 1 = Logaritma hujan harian maksimum (mm/24 jam) ŕ
= Rata-rata r 1 N = Banyaknya data σ R = Standar deviasi r 1 g = Koefisisen srew r 1
Besarnya curah hujan harian maksimum dihitung dengan persamaan : dimana : R T =
curah hujan harian maksimum dalam PUH TR (mm/24 jam) K = Skew Curve Faktor,
dihitung dengan menggunakan koefisien skew (g) dan periode ulang (T)
Menentukan Metode Terpilih Dengan Chi Kuadrat Perhitungan menggunakan Chi
kuadrat dilakukan guna menentukan curah hujan maksimum yang paling sesuai untuk
digunakan. Untuk penentuan metode yang digunakan dilakaukan uji kecocokan dengan
metode chi kuadrat (chi square). Selanjutnya hasil uji kecocokan ini di bandingkan
diantara tiga metode yang digunakan sebagai bahan analisa penentuan curah hujan harian
maksimum. Uji chi kuadrat dimaksudkan untuk menentukan apakah metode yang
digunakan dapat mewakili distribusi statik sampel data yang dianalisa. Pengambilan
keputusan ini menggunakan parameter X 2 karena itu disebut uji chi kuadrat. Nilai dari
parameter X 2 itu dihitung dengan menggunakan persamaan: Dimana : = Parameter Chi
kuadrat terhitung G = Jumlah sub kelompok. Oi = Jumlah nilai pengamatan pada sub
kelompok ke 1. Ei = Jumlah nilai teoritis pada sub kelomok ke 1. Persamaan yang
digunakan untuk menentukan besarnya peluang suatu data curah hujan (X) adalah
persamaan Weibull, sebagai berikut : ; Dimana : P = Peluang terjadinya kumpulan nilai
yang diharapkan selama periode pengamatan. N = Jumlah pengamatan dari variasi X m =
Nomer urut kejadian T = Periode ulang dari kejadian sesuai dengan sifat kumpulan nilai
yang diharapkan. Data curah hujan yang telah dihitung besarnya peluang atau periode
ulangnya, selanjutnya apabila digambarkan pada kertas grafik peluang atau periode
ulangnya, umumnya akan membentuk persamaan garis lurus. Persamaan yang digunakan
adalah : Dimana : X = Perkiraan nilai yang diharapkan terjadi dengan peluang tertentu
atau perode ulang tertentu. Xr = Nilai rata-rata hitung variate SD = Deviasi standar nilai
variate k = Faktor frekuensi.
Analisa Intensitas Hujan Intensitas curah hujan menyatakan besarnya curah hujan
dalam jangka pendek yang memberikan gambaran deras hujan perjam. Untuk mengolah
data curah hujan menjadi intensitas curah hujan digunakan cara statistik dari data
pengamatan durasi hujan yang terjadi. Dan apabila tidak dijumpai data untuk setiap durasi
hujan, maka diperlukan pendekatan secara empiris dengan berpedoman kepada durasi 60
menit dan pada curah hujan harian maksimum yang terjadi setiap tahun. Cara lain yang
digunakan adalah dengan mengambil pola intensitas hujan untuk kota lain yang memiliki
kondisi hampir sama. Untuk merubah curah hujan menjadi intensitas hujan dapat
digunakan metode diantaranya:
1) Metode Van Breen Penurunan rumus yang dilakukan oleh Van Breen didasarkan atas
anggapan bahwa lamanya durasi hujan yang ada di P. Jawa terkonsentrasi selama 4
jam, dengan hujan efektif sebesar 90 % hujan total selam 24 jam. Persamaan tersebut
adalah : Dimana : I = Intensitas hujan (mm/jam) R 24 = Curah hujan harian
maksimum (mm/24 jam) Dengan persamaan di atas dapat dibuat suatu kurva
intensitas durasi hujan dimana Van Breen mengambil kota Jakarta sebagai kurva basis
bentuk kurva IDF. Kurva ini dapat memberikan kecendrungan bentuk kurva untuk
daerah-daerah lain di Indonesia pada umunya. Berdasarkan pada kurva pola Van
Breen kota Jakarta, besarnya intensitas hujan dapat didekati dengan persamaan ;
Dimana : I r = Intensitas hujan (mm/jam) pada PUH T pada waktu konsentrasi tc tc =
Waktu konsentrasi (menit) R r = Curah hujan harian maksimum PUH T (mm/24 jam)
2) Metode Bell Tanimoto Analisis intensitas hujan menurut Bell didasarkan atas
hubungan antara durasi hujan dengan periode ulang 2 100 tahun. Hubungan ini
dinyatakan dengan: Dimana : R = Curah hujan T = Periode ulang (tahun) t = Durasi
hujan (menit) R1 = Besarnya curah hujan pada distribusi jam ke 1 menurut Tanimoto
R2 = Besarnya curah hujan pada distribusi jam ke 2 menurut Tanimoto Intensitas
hujan (mm/jam) menurut Bell dihitung dengan menggunakan persamaan
3) Metode Hasperder Der Weduwen Metode ini merupakan hasil penyelidikan di
Indonesia yang dilakukan oleh Hasper dan Der Weduwen. Penurunan rumus
diperoleh berdasarkan curah hujan harian yang dikelompokkan atas dasar anggapan
bahwa hujan mempunyai distribusi yang simetris dengan durasi hujan (1) telah kecil
dari 1 jam dan durasi hujan dari 1 jam sampai 24 jam. Persamaan yang digunakan
adalah : Dimana : t = Durasi hujan (menit) R,R 1 = Curah hujan menurut Hasper
Weduwen X t = Curah hujan harian maksimum yang terpilih (mm/24 jam) Untuk
menentukan intensitas hujan menurut hasper weduwen digunakan rumus sebagai
berikut : Dimana : I = Intensitas hujan R = Curah hujan
Penentuan Metode Perhitungan Intensitas Hujan Pemilihan ini daimaksudkan untuk
menentukan persamaan intensitas yang paling mendekati untuk daerah perencanaan.
Metode yang digunakan adalah metode perhitungan dengan cara kuadrat terkecil. Cara
perhitungannya adalah sebagai berikut :
1) Menentukan minimal 8 jenis lamanya curah hujan t (menit), (misal 5, 10, 20, 40, 60,
80, 120, 240)
2) Menggunakan harga-harga t tersebut untuk menentukan besarnya intensitas hujan
untuk peride ulang hujan tertentu (disesuaikan dengan perhitungan puncak rencana)
3) Menggunakan harga-harga t yang sama untuk menentukan tetapan-tetapan dengan
cara kuadrat terkecil. Perhitungan tetapan-tetapan untuk setiap rumus intensitas curah
hujan adalah sebagai berikut : Talbot Sherman Ishiguro Dimana : ( ) = Jumlah angka-
angka dalam tiap suku N = Banyaknya data c) Tata Cara Perhitungan dan Analisis
Hidrometri Hasil dari peramalan pasang surut ini selanjutnya digunakan sebagai
boundary condition dalam pemodelan hidrodinamik nantinya. Pemodelan
hidrodinamik dilakukan dengan melakukan pembebanan debit pada lateral inflow dan
boundari condition pada hulu Sungai dan hulu anak Sungai. Boundary condition di
bagian hilir Sungai adalah berupa stage hydrograph yang dibuat dari hasil peramalan
pasang surut yang telah dilakukan sebelumnya. Data pengamatan pasang surut di
Muara Sungai sebelum dilakukan peramalan perlu dilakukan pengikatan berdasarkan
titik tinggi geodesi yang telah ditarik menuju Muara Sungai, sehingga pengamatan
pasang surut tersebut telah terikat dalam satu titik reverensi. Berikut disampaikan
contoh-contoh ilustrasi hasil pengamatan pada sungai Batulicin.

Gambar Hasil Pengamatan Pasang Surut di Beberapa Lokasi

Gambar Konstanta Hasil Peramalan Pasang Surut S.Batulicin

Gambar berikut ini adalah gambar elevasi-elevasi penting hasil ramalan pasang surut
di Sekitar Muara Sungai Batulicin. Pada gambar tersebut terlihat bahwa elevasi
pasang tertinggi (Highest Water Spring) adalah ….. CM), sehingga batas pasang
tertinggi di Muara Sungai Batulicin inilah yang nantinya akan digunakan sebagai
boundary condition dalam pemodelan hidrodinamika.

Tabel Hasil Pengukuran Kecepatan Sesaat di Muara Sungai Batulicin

3.5.3. Pengolahan Data dan Analisis Perhitungan Banjir


a) Perkiraan Inflow Banjir
Limpasan permukaan menggabungakan tiga parameter yaitu curah hujan, luas daerah
tangkapan, dan koefisien aliran (DPU, 2007). Persamaan umum yang digunakan untuk
memperkirakan limpasan permukaan adalah : Dimana : V j = Aliran bulanan dari seluruh
DAS pada bulan j (M3/bulan) R j = Hujan bulanan pada bulan j (mm/bulan) C j =
Koefisien pengaliran pada bulan j A = Luas daerah efektif tadah hujan (Ha) V = Aliran
Permukaan (M3) Sistem Informasi Geografi dan analisa hidrologi terintegrasi untuk
mengidentifikasi area banjir dimana Digital Elevation Model akan membentuk zonasi
banjir ketika mendapatkan input berupa limpasan permukaan yang berupa volume
kemudian menjadi area dengan membandingkan kepada penampang melintang
menggunakan metode perhitungan volume cut/fill.
Gambar Analisa Volume dengan menggunakan metode cut and fill.
(Sumber : ArcGIS User's Guide, 2002).
Engineer dapat lebih menganalisa dalam hal perencanaan karena GIS membantu
memodelkan bentuk permukan bumi, engineer dapat melakukan pemilahan area untuk
perencanaan yang dibuat. Analisis data curah hujan mudah sekali digunakan ketika
dianalogikan dengan data ketinggian rupa bumi, dimana bisa dilakukan pendekatan logis
untuk menentukan curah hujan pada titik daerah tertentu. Gambaran kondisi real dari rupa
bumi diharapkan mempermudah dalam melakukan pertimbanganpertimbangan dalam
perencanaan.
Gambar Diagram Alir Analisis GIS untuk Identifikasi Daerah Banjir dan Penentuan
Lokasi Kolam Penahan Hujan.
b) Analisis Banjir Pengertian Banjir
Banjir didefinisikan dengan kenaikan drastis dari aliran sungai, kolam, danau, dan lainnya
dimana kelebihan aliran itu menggenangi keluar dari tubuh air dan menyebabkan
kerusakan dari segi sosial ekonomi dari sebuah populasi. Banjir adalah suatu kondisi
fenomena bencana alam yang memiliki hubungan dengan jumlah kerusakan dari sisi
kehidupan dan material. Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya banjir. Secara
umum penyebab terjadinya banjir di berbagai belahan dunia:
1) Keadaan iklim; seperti masa turun hujan yang terlalu lama, dan mengakibatkan banjir
sungai. Banjir di daerah muara pantai umumnya disebabkan karena kombinasi dari
kenaikan pasang surut, tinggi muka air laut dan besarnya ombak yang di asosiasikan
dengan terjadinya gelombang badai yang hebat.
2) Perubahan tata guna lahan dan kenaikan populasi; perubahan tataguna lahan dari
pedesaan menjadi perkotaan sangat berpotensi menyebabkan banjir. Banyak lokasi
yang menjadi subjek dari banjir terutama daerah muara. Perencanaan penaggulangan
banjir merupkan usaha untuk menanggulangi banjir pada lokasilokasi industri,
komersial dan pemukiman. Proses urbanisasi, kepadatan bangunan, kepadatan
populasi memiliki efek pada kemampuan kapasitas drainase suatu daerah dan
kemampuan tanah menyerap air, dan akhirnya menyebabkan naiknya volume
limpasan permukaan. Meskipun luas area perkotaan lebih kecil dari 3 % dari
permukaan bumi, tapi sebaliknya efek dari urbanisasi pada proses terjadinya banjir
sangat besar.
3) Land subsidence; adalah proses penurunan level tanah dari elevasi sebelumnya.
Ketika gelombang pasang datang dari laut melebihi aliran permukaan sungai, area
land subsidence akan tergenangi.
Hidrograf banjir rencana
a) Ketersediaan data
Ketersediaan data debit pengamatan di sungai yang bersangkutan, untuk
memperkirakan debit banjir yang mungkin terjadi dengan kala ulang tertentu
dilakukan berdasarkan data hujan yang terjadi di Daerah Aliran Sungai (DAS).
Besarnya debit yang dihasilkan dari analisa dilakukan pengecekan dengan data
debit yang tersedia di dekat lokasi untuk mendapatkan pola banjir yang terjadi.
Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan data debit banjir yang mendekati
kondisi/kenyataan di lapangan.
b) Distribusi hujan jam-jaman
Untuk analisa data hujan menjadi debit diperlukan data hujan jam-jaman. Dari
hasil konfirmasi di lapangan tidak tersedianya data hujan jam-jaman hasil
pengamatan lapangan, maka distribusi hujan jam-jaman didapatkan dengan suatu
asumsi bahwa hujan per hari terpusat selama 5 jam, sehingga prosentase
kemungkinan hujan didekati dengan persamaan R t = R 0 (5/t) 2/3 dengan: R t =
Rata-rata hujan sampai jam ke-t R 0 = R 24/5 t = Waktu dari awal sampai jam ke-t
Curah hujan jam ke-t R t = (t R t) (t 1) R (t-1) 3) Hidrograf Satuan Sintetik
Nakayasu Untuk menentukan hidrograf satuan Daerah Pengaliran Sungai akan
dipergunakan metode Nakayasu. Dalam penggunaan metode ini dibutuhkan
parameter-parameter DPS sebagai data masukannya. Parameter-parameter
tersebut dapat diukur dengan mudah dari peta topografi yang merupakan
parameter DPS yang secara hidrologik mudah dijelaskan pengaruhnya terhadap
hidrograf. Parameter-parameter yang dimaksud dapat diuraikan sebagai berikut:
 Tenggang waktu dari permulaan hujan sampai puncak hidrograf (time to peak
magnitude).
 Tenggang waktu dari titik berat hujan sampai titik berat hidrograf (time lag)
 Tenggang waktu hidrograf
 Luas daerah aliran atau daerah tangkapan air
 Panjang alur sungai utama terpanjang
 Koefisien pengaliran Rumus dari hidrograf satuan Nakayasu adalah: Q p = (c
A R 0)/(3,6 (0,3 T p + T 0,3)) dengan: Q p R 0 T p T 0,3 = Debit puncak
banjir = hujan satuan = tenggang waktu permulaan sampai puncak banjir =
waktu yang diperlukan oleh penururnan debit, dari debit puncak sampai 30%
dari debit puncak Untuk menentukan T p dan T 0,3 digunakan pendekatan
rumus sebagai berikut: T p = T g 0,8 T r T 0,3 = T g T g adalah time lag yaitu
waktu antara hujan sampai debit puncak banjir (jam). T g dihitung dengan
ketentuan sebagai berikut:
 Sungai yang lebih panjang dari 15 km, maka T g = m. 0,4 + 0,58. L
 Sungai dengan panjang kurang dari 15 km, maka Tg = 0,21 L 0,7 =
parameter hidrograf (diambil = 3), T r = satuan waktu hujan T r = (0,5 1) T
g i T r t 0,8 T g T g 3 Q (m /det) Persamaan satuan hidrograf adalah: -
Pada waktu naik 0 t T p T p T 0,3 1,5 T 0,3 Q t = Q p (t/t p) 2,4 - Pada
waktu turun 0 t (T p + T 0,3) Q t = Q p x 0,3 (t-tp) / (1,5T0,3) (T p + T
0,3) t (T p + T 0,3 + 1,5 T 0,3) Q t = Q p X 0,3 (t-tp+0,5*t0,3)/(1,5t0,3) t
(T p + T 0,3 + (1,5 T 0,3)) Q t= Q p 0,3 (t-tp+0,5*t0,3)/(1,5t0,3)
Penetapan parameter-parameter yang disebutkan di atas, dapat ditentukan dengan
menggunakan peta topografi skala 1:50.000.
3.5.4. Analisis Sedimentasi
Pengetahuan transport sedimen di sungai adalah esensial dalam semua penelitian
dimana masalah yang bersifat morfologi ada. Oleh karena itu mempelajari karakteristik dari
sedimen adalah perlu sebagaimana gaya pengangkutnya dan untuk menghubungkan transport
sediment kepada parameter hidrolik dari sungai dalam pembahasan. Transport sedimen dapat
dikalsifikasikan dalam dua cara yang berbeda yaitu: berdasarkan asal dari material, transport
material dasar dan material terapung (wash load) dapat dibedakan. Berdasarkan cara
transportnya, dibedakan menjadi bed load dan suspended load. Dua metode yang dapat
digunakan untuk memperoleh pengertian mendasar tentang proses sedimen transpor dengan
pengunukuran nyata dilakukan dengan:
1. Sampling mekanik (mechanical sampling) dimana instrumennya dabat diklasiikasikan
sebagai sampel bed load dan sampel suspended load.
2. Metode Tracer/partikel penanda, khususnya untuk kasus pengukuran bed load. Metode ini
juga menambah manfaatan dari penelitian proses transport pada kenyataannya dan ini
akan secepatnya mendorong kearah suatu pemahaman phisik lebih baik tentang proses
tersebut Orang perlu menyadari bahwa metoda tersebut, yang digunakan untuk
membenarkan penggunaan rumus transport sedimen tertentu, adalah memakan waktu dan
perlu banyak tenaga, karena jumlah pengukuran yang besar diperlukan berbagai kondisi-
kondisi untuk ketelitian terbatas mereka. Maka sesungguhnya untuk sungai yang disurvey
secara menerus salah satu dari dua metoda ini harus diterapkan.
3.5.5. Pengelohan Data dan Analisis Mekanika Tanah
a) Klasifikasi Tanah
Penentuan klasifikasi tanah didasarkan dari semua jenis pengujian yang dilakukan baik di
lapangan Sondir maupun dari sampel tanah hasil Boring yang dilakukan pengujian di
laboratorium Mekanika Tanah serta sampel tanah :
1. Sondir
Berdasarkan data nilai conus hasil pengujian Sondir dapat diketahui karakteristik
tanah yang berupa kondisi kepadatannya berdasarkan Meyerhof. Sondir yang
dilaksanakan sampai dengan tanah keras dengan tekanan conus 150 kg /cm2, atau
maksimum sampai kedalaman 25 m, sebanyak 10 titik.
2. Borring
Tujuan utama dari pembuatan lobang bor adalah untuk mengetahui lebih jelas tentang
susunan lapisan tanah yang ada dan berapa tebal dari tiap-tiap jenis lapisan tanah yang
dijumpai yang dikerjakan dengan tenaga manusia (hand auger).
3. Pengambilan Contoh Tanah
Pengambilan contoh tanah asli dan penelitian laboratorium sebanyak 35 buah sample
pada setiap sungai (lokasi). Pengambilan contoh tanah asli dimaksudkan untuk
mendapatkan nilai-nlai sebagai berikut. Gradasi butir-butir tanah Batas-batas alteberg
Berat jenis dan berat volume tanah Permeability test Kekuatan dan daya dukung tanah
Harga-harga Ø dan C
b) Daya Dukung
1. Pengujian Sondir
Besarnya daya dukung tanah berdasarkan hasil pengujian Sondir dihitung dengan
menggunakan persamaan Meyerhof (1956) untuk jenis pondasi bujur sangkar atau
pondasi memanjang dengan lebar (B) > 1.20 meter, sebagai berikut : q a qc 0.3 1 50 B
2 ( kg/ cm dimana : qa = daya dukung diijinkan qc = tahanan konus (kg/cm2) B =
lebar pondasi (m) 2 ) Persamaan di atas sudah memperhitungkan penurunan yang
mungkin akan terjadi sebesar 2.54 cm (1 inci). Berikut disampaikan contoh hasil
sondir

Gambar Data Tanah Hasil Sondir di Lokasi Sekitar Muara S.Batulicin


Gambar Data Tanah Hasil Sondir di Lokasi Sekitar

2. Pengujian Contoh Tanah Tak Terganggu


Untuk pondasi dangkal menerus, daya dukung ultimit dihitung dengan persamaan
Terzaghi (1943) : qu = 2/3c.Nc + q.nq + 0,5..B.N dimana : c = kohesi tanah = sudut
geser dalam B = lebar pondasi, diambil 1.50 meter. Nc, Nq, N = faktor kapasitas daya
dukung Terzaghi yan merupakan fungsi dari. Berdasarkan hasil analisis terhadap daya
dukung tanah maka untuk perencanaan fondasi dapat dianjurkan menggunakan jenis
fondasi tertentu. Berikut diberikan contoh jenis fondasi yang dapat direkomendasi
untuk digunakan dalam perencanaan :
1) Bagi Struktur dengan beban ringan, dapat digunakan fundasi batu kali atau telapak
dari beton bertulang dengan kedalaman minimal 1.00 m. Besarnya daya dukung
tanah yang diijinkan (daya dukung keseimbangan tanah izin) sehubungan dengan
penurunan maksimum 1 (2.5 cm) dan faktor keamanan 3 untuk masing-masing
lokasi ialah sebagai berikut : Lokasi Penyelidikan Tanah : Untuk kedalaman 1.00 ;
qa ~ 5,44 ton/m 2 Untuk kedalaman 2.00 ; qa ~ 6,74 ton/m 2 Untuk kedalaman
3.00 ; qa ~ 5,10 ton/m 2
2) Bagi struktur dengan beban sedang hingga berat, dapat digunakan fundasi tiang
dari beton bertulang/tiang pancang dengan kedalaman -17 s/d -26 m MT.
Besarnya daya dukung tiang untuk masing-masing lokasi dapat diperkirakan
sebagai berikut : Lokasi Penyelidikan Tanah : Untuk diameter 30cm ; qa ~ 25 ton
Untuk diameter 40cm ; qa ~ 43 ton Untuk diameter 50cm ; qa ~ 65 ton
Sehubungan dengan sifat tanah permukaan yang anorganis, maka tidak perlu
perhatian khusus dalam kaitannya dengan reaksi kimiawi. Untuk memperkaku
hubungan antara bangunan bagian atas dengan bangunan bagian bawah, disarankan
untuk merencanakan sloof fondasi minimal 20 x 40 cm. Sebelum diadakan pekerjaan
substruktur, perlu diadakan stripping dan Prakompaksi terlebih dahulu, agar
penurunan yang terjadi sekecil-kecilnya.
c) Skematik Skenario Keruntuhan Lereng
Dalam melakukan simulasi keruntuhan lereng, maka sebelumnya dibuat skenario-
skenario kemungkinan terjadi longsoran. Skenario-skenario yang disimulasikan antara
lain:
1. Skenario lereng dengan kondisi muka air surut
2. Skenario lereng dengan kondisi muka air banjir
Gambar skenario-skenario tersebut dapat dilihat pada gambar di bawah ini

Gambar Skenario Keruntuhan Pada Lereng

Dari hasil-hasil simulasi stabilitas slope lereng dengan berbagai skenario di atas, maka
dapat di tentukan skenario keruntuhan ekstrim dari hasil-hasil skenario keruntuhan hasil
simulasi. Angka keamanan / safety faktor dalam simulasi tersebut yang dijadikan patokan
adalah harga SF untuk kondisi ekstrem. Pada gambar-gambar berikut ini diperlihatkan
gaya-gaya yang menyebabkan keruntuhan dan yang menahan keruntuhan tanah, dari
gambar tersebut dapat diketahui komponen moment gaya dari masing-masing skenario
keruntuhan tanah.
Gambar Interaksi Gaya-gaya Keruntuhan Lereng Dengan Kondisi Air Penuh
Gambar Interaksi Gaya-gaya Keruntuhan Lereng Dengan Kondisi Air Surut
Gambar Skenario Keruntuhan Dengan kondisi Muka Air Surut
Gambar Skenario Keruntuhan Dengan kondisi Muka Air penuh

Dari hasil analisa dengan kedua skenario seperti pada gambar diatas, dihasilkan faktor
keamanan (FK) > 1.5 maka dapat disimpulkan bahwa lereng tersebut aman terhadap
longsor baik longsoran dangkal maupun longsoran dalam.
3.6. Desain Prasarana Pengendali dan Pengamanan Banjir
3.6.1. Pengendalian Banjir
Pengendalian banjir dimaksudkan untuk memperkecil dampak negatif dari bencana
banjir, antara lain korban jiwa, kerusakan harta benda, kerusakan lingkungan dan
terganggunya kegiatan sosial ekonomi.
1. Prinsip Pengendalian Banjir
a. Menahan air sebesar mungkin di hulu dengan membuat waduk dan konservasi tanah
dan air;
b. Meresapkan kedalam tanah air hujan sebanyak mungkin dengan sumur sumur resapan
atau rorak dan menyediakan daerah terbuka hijau;
c. Mengendalikan air di bagian tengah dengan menyimpan sementara di daerah retensi;
d. Mengalirkan air secepatnya ke muara atau ke laut dengan menjaga kapasitas wadah
wadah air;
e. Mengamankan penduduk, prasarana vital, harta benda;
2. Strategi Pengendalian Banjir
Dalam melakukan pengendalian banjir perlu disusun strategi agar dapat dicapai hasil
yang diharapkan. Strategi pengendalian banjir meliputi:
a. Pengendalian tata ruang Pengendalian tata ruang dilakukan dengan perencanaan
penggunaan ruang sesuai kemampuannya dengan mepertimbangkan permasalahan
banjir, pemanfaatan lahan sesuai dengan peruntukannya, penegakan hukum terhadap
pelanggaran rencana tata ruang yang telah memperhitungkan Rencana Induk
Pengembangan Wilayah Sungai.
b. Pengaturan debit banjir
Pengaturan debit banjir dilakukan melalui kegiatan pembangunan dan pengaturan :
bendungan dan waduk banjir, tanggul banjir, palung sungai, pembagi atau pelimpah
banjir, daerah retensi banjir, dan sistem polder.
c. Pengaturan daerah rawan banjir
Pengaturan daerah rawan banjir dilakukan dengan cara:
a) Pengaturan tata guna lahan dataran banjir (flood plain management).
b) Penataan daerah lingkungan sungai seperti: penetapan garis sempadan sungai,
peruntukan lahan dikiri kanan sungai, penertiban bangunan disepanjang aliran
sungai.
d. Peningkatan peran masyarakat
Peningkatan peran masyarakat dalam pengendalian banjir diwujudkan dalam :
a) Pembentukan forum peduli banjir sebagai wadah bagi masyarakat untuk berperan
dalam pengendalian banjir.
b) Bersama dengan Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam menyusun dan
mensosialisasikan program pengendalian banjir.
c) Mentaati peraturan tentang pelestarian sumberdaya air antara lain tidak melakukan
kegiatan kecuali dengan ijin dari pejabat yang berwenang untuk: - mengubah
aliran sungai, - mendirikan, mengubah atau membongkar bangunan-bangunan di
dalam atau melintas sungai, - membuang benda -benda / bahan-bahan padat dan
atau cair ataupun yang berupa limbah ke dalam maupun di sekitar sungai yang
diperkirakan atau patut diduga akan mengganggu aliran, - pengerukan atau
penggalian bahan galian golongan C dan atau bahan lainnya,
e. Pengaturan untuk mengurangi dampak banjir terhadap masyarakat pengaturan untuk
mengurangi dampak banjir terhadap masyarakat dilakukan dengan:
a) Penyediaan informasi dan pendidikan,
b) Rehabilitasi, rekonstruksi dan atau pembangunan fasilitas umum,
c) Melakukan penyelamatan, pengungsian dan tindakan darurat lainnya,
d) Penyesuaian pajak;
e) Asuransi banjir.
f. Pengelolaan Daerah Tangkapan Air
Pengelolaan daerah tangkapan air dalam pengendalian banjir antara lain dapat
dilakukan melalui kegiatan:
a) Pengaturan dan pengawasan pemanfaatan lahan (tata guna hutan, kawasan
budidaya dan kawasan lindung);
b) Rehabilitasi hutan dan lahan yang fungsinya rusak;
c) Konservasi tanah dan air baik melalui metoda vegetatif, kimia, maupun mekanis;
d) Perlindungan/konservasi kawasan - kawasan lindung.
g. Penyediaan Dana
Penyediaan dana dapat dilakukan dengan cara :
a) Pengumpulan dana banjir oleh masyarakat secara rutin dan dikelola sendiri oleh
masyarakat pada daerah rawan banjir,
b) Penggalangan dana oleh masyarakat umum di luar daerah yang rawan banjir,
c) Penyediaan dana pengendalian banjir oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah.

3.6.2. Teknik Pengendalian Banjir


Teknik pengendalian banjir merupakan salah satu dari strategi pengendalian banjir
dalam pengaturan debit banjir yang dilakukan melalui kegiatan pembangunan prasarana
pengendalian/pengamanan banjir seperti tanggul banjir dan dinding penahan banjir, perbaikan
dan pengaturan alur sungai, pembagi atau pelimpah banjir, bendungan dan waduk banjir,
palung sungai, sistem drainasi pembuang, daerah retensi banjir, dan sistem polder, seperti
diuraikan sebagai berikut :
1. Tanggul Dan Dinding Penahan Banjir
Tanggul dan tembok banjir adalah penghalang sepanjang alur sungai yang direncanakan
untuk menahan air banjir dalam alur sungai yang ada dan menghindari tumpahan keatas
tanah rendah yang berdekatan. Tanggul dan tembok banjir berfungsi untuk melindungi
fasilitas-fasilitas pada dataran banjir termasuk pemukiman, pengembangan industri dan
pertanian. Tanggul biasanya dibangun dari bahan tanah, sementara tembok banjir dibuat
dari beton, pasangan batu dan baja. Tanggul dan tembok banjir sering merupakan
bangunan pengendali banjir yang paling ekonomis, jika tempat dataran banjir sukup jauh
dari alur sungai, memungkinkan regim sungai akan mendekati alami. Tanggul atau
tembok banjir menjadi cara pengendalian yang efektif dengan bangunan yang memadai
dalam keadaan berikut :
 Pada sungai yang besar dimana terdapat dataran banjir yang lebar dengan sedikit atau
tanpa permukiman atau pengembangan industri di dekat sungai,
 Pada suatu daerah atau wilayah perlu perlindungan lokal,
 Pada daerah pantai dimana banjir dipengaruh air pasang.

Gambar Sketsa Dinding Penahan Banjir


Gambar Sketsa Tanggul Pada Lokasi Meander
Gambar Sketsa Pengelolaan Sungai Dengan Tanggul
2. Perbaikan dan Pengaturan Alur Sungai
Pekerjaan perbaikan dan pengatuaran alur sungai dimaksudkan untuk meningkatkan
kapasitas angkut dari alur alami, atau memungkinkan elevasi air banjir lebih rendah
daripada yang terjadi alami. Pekerjaan perbaikan dan pengaturan alur sungai menyangkut
hal berikut ini :
 Pendalaman dan atau pelebaran alur (termasuk pengerukan),
 Mengurangi kekasaran alur,
 Pelurusan atau pemendekan alur (sudetan),
 Mengatur pola aliran,
 Pengendalian erosi,
 Pengerukan. Secara skematis pekerjaan perbaikan dan pengaturan alur sungai
digambarkan sebagai berikut :
Gambar Sketsa Perbaikan Alur Sungai
3. Pengelak Banjir
Pengelak banjir adalah pembuatan suatu saluran yang berfungi untuk membelokan
sebagian atau keseluruhan aliran sungai (membagi debit) untuk dialirkan dalam suatu
saluran yang menjauhi kota. Pengalihan aliran ini dapat dikembalikan lagi di sungai induk
di hilir kota, dialirkan langsung ke laut atau dipindahkan kealiran sungai tetangganya
yang masih dapat menampung. Bangunan ini sering berpintu dan ditempatkan sebagai
berikut :
 Jika dasar sungai alam lebih rendah atau pada elevasi yang sama dengan dasar saluran
pengelak, bangunan pengendali berpintu sering ditempatkan pada alur sungai alami
dihilir pintu masuk saluran. Dengan demikian air bisa dibelokan ke alur alami selama
periode aliran rendah untuk memenuhi kebutuhan air dibagian hilir.
 Jika alur pengelak pada elevasi yang lebih rendah dari dasar sungai alami bangunan
berpintu (misalnya bendung pelimpah) kadang-kadang ditempatkan pada pintu masuk
saluran, dan direncanakan untuk membelokan dari sistem sungai sejumlah debit yang
bisa dikontrol.
Gambar Sketsa Saluran Pengelak Banjir
4. Waduk Pengendali Banjir (Flood Control Reservoir)
Waduk pengendali banjir adalah bangunan yang berfungsi menahan semua atau sebagian
air banjir dalam tampunganya dan mengalirkan sesuai dengan kapasitas sungai. Sistem
spillway umumnya dibangun sebagai bagian dari waduk, dimana berfungsi untuk
melepaskan bagian banjir yang tidak bisa ditampung. Tampungan puncak banjir dalam
waduk akan mengurangi debit dan elevasi muka air banjir dibagian hilir waduk. Tingkat
perlindungan banjir dari waduk ini tergantung dari hubungan beberapa faktor yaitu
karakteristik puncak banjir, kapasitas tampungan dan operasi bangunan outlet spillway.
Waduk yang lebih besar mampu untuk menampung seluruh volume banjir, yang dapat
disimpan untuk kegunaan di masa yang akan datang secara terkendali. Waduk yang lebih
kecil hanya bisa menampung sebagian volume banjir, tetapi dapat meredam puncak
inflow, sehingga terjadi pengurangan outflow melewati spillway. Dalam beberapa kasus
spillway berpintu atau bangunan outlet memungkinkan operator untuk menurunkan muka
air waduk sebelum terjadinya banjir, sehingga tersedia kapasitas tampungan tambahan
untuk menampung banjir (misalnya: Dam Sutami dan Wonogiri). Peramalan dan
pemantauan banjir yang andal adalah perlu untuk mendapatkan keuntungan penuh dari
tampungan banjir yang tersedia, baik di bawah dan di atas elevasi muka air waduk pada
keadaan beroperasi penuh.
Gambar Sketsa Waduk Pengendali Banjir
5. Waduk Retensi Waduk retensi digunakan untuk menampung dan menahan sebagian atau
semua air banjir dihulu wilayah yang rawan banjir, tampungan bersifat sementara dan
berpengaruh mengurangi laju aliran dan tinggi muka air banjir dibagian hilir daerah
pengaliran sungai. Seperti waduk-waduk yang lain, tingkat pengurangan banjir tergantung
pada karakteristik hidrograf banjir, tersedianya volume tampungan, dan dinamika tiap
bangunan yang berkaitan dengan waduk pengendali banjir serta bangunan outlet. endung
urugan ketiggian rendah atau bendung pengelak kadang-kadang dibangun melintang alur
air untuk membelokan aliran ke waduk retensi.
Gambar Sketsa Waduk Retensi

Spillway dan fasilitas outlet yang memadai disediakan untuk melindungi bendungan dari
overtoping dan untuk pengendalian debit dari waduk, dalam beberapa kasus air dibelokan
ke tanah pertanian yang lebih rendah dibelakang tanggul, outflow bisa dikontrol dengan
bangunan berpintu yang digabung dengan tanggul. Waduk retensi sering sangat sesuai
untuk aliran banjir bandang (banjir besar yang datang secara tiba-tiba), umumnya
memerlukan lahan yang relatif luas berdekakatan dengan sungai dan harus mempunyai
volume tampungan yang memadai untuk menampung puncak banjir yang masuk. Lokasi
yang cocok untuk waduk retensi biasanya di dataran rendah, termasuk rawa-rawa dan
daerah pertanian.
6. Sistem Drainase Pembuang
Sistem drainase ini berfungsi untuk memindahkan air dari daerah rawan banjir akibat
drainase alam yang jelek atau gangguan manusia. Drainase sistem grafitasi bisa terdiri
dari alur terbuka atau pipa terpendam yang outletnya ke alur air alam. Sebagai tambahan
pompa diperlukan jika tinggi muka air dalam alur penerima air terlalu tinggi atau
terpengaruh oleh fluktuasi yang disebabkan oleh banjir atau air pasang. Bangunan outlet
dari sistem darainase pembuang ini bisa terdiri dari bangunan outlet dengan sistem
grafitasi atau pompa.
Gambar Sketsa Sistem Drainasi Pembuang
7. Sistem Polder
Sistem polder adalah suatu sistem dalam pembuangan air banjir disuatu daerah yang tidak
dapat mengalirkan secara grafitasi ke alur sungai atau langsung ke laut karena pengaruh
pasang. Dengan adanya tanggul dikiri dan kanan sungai maka daerah rendah sepanjang
sungai tidak dapat mengalirkan airnya secara grafitasi ke sungai tersebut, dengan
demikian daerah-daerah ini akan merupakan daerah tertutup yang disebut dengan istilah
Polder. Drainase didalam daerah polder ini harus dilakukan dengan menampung di dalam
waduk dan selanjutnya pembuangannya dilakukan dengan pemompaan atau menunggu
surutnya muka air sungai/laut.
Gambar Skema Sistem Polder
3.6.3. Pemilihan Alternatif Penanganan Banjir
Setelah melalui tahapan survey, pengolahan data dan analisis maka dilakukan
pemilihan penanganan banjir mengikuti diagram sebagai berikut : Inventarisasi Lokasi
Genangan Banjir Analisis Dampak dan Kerusakan Banjir : - Korban Jiwa - Aktifitas Kegiatan
Kehidupan Masyarakat Terhenti - Aktifitas Kegiatan Ekonomi Terhenti - Kerugian Ekonomi
Inventarisasi Sungai : Lokasi penyempitan, pengendapan alur sungai, Lokasi tepi/tebing
sungai, erosi, longsor Inventarisasi Bangunan Pengendali Banjir Yang Ada (eksisting);
kondisi kerusakan, berfungsi/tdk berfungsi Pemilihan Alternatif : Tanggul Banjir, Perbaikan
& Pengaturan Alur Sungai Pengelak Banjir Waduk Retensi Waduk Pengendali Drainasi
Pembuang Sistem Polder Pengumpulan Data dan Survey Lapangan ANALISIS : - Analisis
perhitungan topograf - Analisis perhitungan hidrologi/hidrometri - Estimasi perhitungan
banjir - Analisis geologi permukaan & mekanika tanah Desain Prasarana Pengendali Banjir :
- Desain Hidraulik - Desain Strukstur
3.6.4. Desain Hidraulik
a) Metode Pengendalian Banjir Pada prinsipnya ada 2 metode pengendalian banjir yaitu
metode struktur dan metode non-struktur. Pada masa lalu metode struktur lebih
diutamakan dibandingkan dengan metode non-struktur. Namun saat ini banyak negara
maju mengubah pola pengendalian banjir dengan lebih dulu mengutamakan metode non-
struktur lalu baru metode nonstruktur. Contoh dalam Gambar di bawah ini menunjukkan
bahwa dengan kondisi tataguna lahan yang sudah padat (adanya bangunan untuk
pemukiman, industry dll.) perbaikan sungai akan memberikan pengaruh maksimal dua
hingga empat kali lipat saja, itupun bila proses pelebaran ataupun pengerukan sebesar dua
kali lipatnya bisa berjalan lancar. Perlu diperhatikan pelebaran sungai/drainase harus
dipertahankan sampai ke lokasi sungai b paling hilir artinya kajian morfologi sungai perlu
dilakukan secara menyeluruh. h Q 1 Debit Q 1 Debit Q 2 = 2 4 Q 1 Q 2 h b 2 b (i)
diperlebar dua kali hanya naik menjadi 2 sampai 4 kali debit semula) Kembali ke h akibat
sedimentasi h Debit Q 1 2 h Debit 2 4 Q 1 h Debit kembali ke Q 1 b dikeruk Sedimentasi
b b (ii) dikeruk (diperdalam) dua kali, kedalaman akan ada kecenderungan kembali
kedalaman semula akibat sedimentasi Gambar 3. 46 Contoh sederhana proses perbaikan
sungai Bilamana dilakukan pelebaran namun pada lokasi tertentuk di bagian hilir tidak
dapat dilebarkan maka akan terjadi penyempitan alur sungai (bottleneck). Hal ini akan
menyebabkan daerah hulu yang sudah dilebarkan akan kembali ke posisi lebar semua. Di
samping itu setelah dilebarkan potensi kembali ke lebar sungai semula cukup besar akibat
sedimentasi dan morphologi sungai yang belum stabil, demikian pula kedalaman sungai
yang dikeruk menjadi dua kali akan kembali ke kedalaman semula akibat besarnya
sedimentasi. Oleh karena itu ke depan metode non-struktur harus dikedepankan lebih
dahulu karena pengaruh perubahan tataguna lahan mengkontribusi debit puncak di sungai
mencapai 5 sampai 35 kali debit semula. Metode struktur yang hanya memberikan
penurunan/reduksi debit jauh lebih kecil dibandingkan peningkatan debit akibat
perubahan tataguna lahan atau degradasi lingkungan. Istilah populer yang dipakai adalah
flood control toward flood management (Hadimuljono, 2005).
Flood management berarti melakukan tindakan pengelolaan yang menyeluruh yaitu
gabungan antara metode non-struktur dan metode struktur. Flood control lebih dominan
pada pembangunan fisik (atau dikenal dengan metode struktur). Hal ini sebenarnya wajar
apabila sebelumnya telah dilakukan kajian pengelolaan banjir secara menyeluruh dengan
salah satu rekomendasi adalah melakukan flood control. Untuk lebih jelasnya metode
tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut ini.

Tabel Metode pengendalian banjir


(Grigg, 1996)
Pembangunan tanggul banjir Sudetan (by-pass) Floodway Apabila perubahan tataguna
lahan sudah bisa dipastikan sampai ke masa yang akan datang, maka dapat diketahui debit
rencana yang pasti melalui sungai tersebut. Bilamana hal ini terjadi maka perbaikan
sungai dengan metode struktur dapat dilakukan. Dinas PUPR membuat suatu ketentuan
kebijakan tentang debit sungai akibat dampak perubahan tata guna lahan di daerah aliran
sungai tersebut yaitu dengan menyatakan bahwa DAS boleh dikembangkan/dirubah
fungsi lahannya dengan delta Q zero policy atau Q=0 (Lee, 2002; Kemur, 2004;
Hadimuljono, 2005). Arti kebijakan ini adalah bila suatu lahan di DAS berubah maka
debit sebelum dan sesudah lahan berubah harus tetap sama. Misalnya, suatu lahan hutan
diubah menjadi pemukiman maka debit yang di suatu titik sungai harus tetap sama. Hal
ini dapat dilakukan dengan cara kompensasi yaitu pada lahan pemukiman harus disisakan
lahan puntuk penahan run off akibat perubahan misal dengan cara pembuatan sumur
resapan, penanaman rumput atau semak-semak (tanaman) yang lebat dan rendah,
pembuatan embung, pembuatan tanggul-tanggul kecil dalam sistem drainase dll.
Salah satu ciri kerusakan DAS dapat dilihat dari besarnya ratio antara debit
maksimum dan debit minimum. Semakin besar rationya dapat dikatakan DAS semakin
rusak. Di lapangan hal ini terjadi pada waktu musim hujan debit sangat besar bahkan bisa
meluap namun sebaliknya pada waktu musim kemarau debit sangat kecil bahkan
mendekati nol. Hal ini berarti bahwa pada waktu hujan, aliran permukaan tinggi karena
tidak ada yang menahan laju run-off namun pada musim kemarau karena tidak ada air
yang tertahan di DAS, tidak ada aliran di sungai. Oleh karena itu secara substansi salah
satu upaya yang perlu dilakukan dalam pengelolaan air adalah dengan membuat
penghalang aliran permukaan (run-off) DAS sebesar-besarnya.
Persamaan Dasar Hidraulik, Aliran yang terjadi di sungai-sungai merupakan aliran
tidak permanen (unsteady flow). Aliran tersebut secara umum dapat digambarkan dalam
bentuk suatu persamaan matematis, yaitu persamaan St. Venant. Persamaan St. Venant
terdiri dari persamaan kontinuitas (konservasi massa) dan persamaan gerak (momentum).
Dalam membangun persamaan St. Venant dilakukan penyederhanaan dengan anggapan-
anggapan sebagai berikut:
1. Aliran adalah satu dimensi, yaitu bahwa kecepatan aliran adalah seragam (uniform)
dalam suatu tampang dan kemiringan muka air arah transversalnya horisontal.
2. Kurva garis aliran adalah sangat lemah dan akselerasi vertikalnya dapat diabaikan,
sehingga distribusi tekanannya merupakan tekanan hidrostatis.
3. Pengaruh kekasaran dinding dan turbulensi dapat diformulasikan menjadi suatu
bentuk persamaan kekasaran seperti yang dipakai pada aliran permanen (steady flow;
misalnya dengan persamaan Manning).
4. Kemiringan dasar saluran cukup kecil, sehingga cosinus sudut sama dengan unity.
5. Rapat massa air selalu konstan. Persamaan dasar aliran untuk sungai dapat dipakai
Persamaan Saint Venant yaitu: 2 Q A 0 (kontinuitas) dan x t y 1 Q A 1 Q Sf So
(momentum) (lihat Chow, 1959; Henderson, 1966; x ga x ga t Kodoatie, 2003).
Umumnya, di sungai air mengalir membawa sedimen. Untuk itu di samping
Persamaan Saint Venant tersebut juga dipakai persamaan sedimen yang ada. Salah
satu diantaranya dapat dipakai Persamaan Muatan Total Laursen yang dimodifikasi
oleh Kodoatie (Simons et al., 2003; Kodoatie, 1999), yaitu: 7 6 d50 o ' 50 C t 0.01 1
10 d c50 f u * us a Untuk persoalan agradasi dan degradasi dibutuhkan persamaannya
yaitu: zi TE q s 0. t 1 p x o Prosedur perhitungannya adalah sebagai berikut:
 Persamaan Saint Venant dipakai untuk menentukan profil air permukaan dengan
asumsi pertama dasar sungai dianggap tetap (fixed bed).
 Berdasar profil air permukaan yang didapat lalu dihitung sedimen yang terjadi
dengan Persamaan Laursen.
 Sedimen yang terjadi menyebabkan agradasi atau degradasi. Dihitung perubahan
dasar sungai dengan persamaan agradasi/degradasi. Didapat elevasi perubahan
dasar sungai yang baru.
 Elevasi yang baru ini dianggap tetap, untuk menghitung profil air permukaan
berikutnya.
 Prosedur tersebut dilakukan berulang-ulang (iterasi) untuk waktu tertentu yang
diinginkan. Dengan kata lain solusi dari permodelan empat persamaan tersebut
merupakan solusi persoalan banjir secara matematis.
Persamaan kontinuitas dan momentum tersebut di atas hanya dapat diselesaikan
dengan metode pendekatan, yaitu metode numeris. Metode numeris ini pada
prinsipnya menggantikan hitungan suatu fungsi (persamaan matematika untuk aliran)
dengan cara mendiskritkan fungsi tersebut kedalam suatu titik-titik tinjau. Dasar
hitungan yang digunakan adalah finite difference. Pada metoda finite difference suatu
fungsi yang kontinyu, misal suatu fungsi Q(t), didiskritkan menjadi pias-pias kecil,
sehingga harga Q/ t dapat dianggap sama dengan Q/ t, dengan tingkat kesalahan
tertentu. Semakin kecil pembagian pias, semakin kecil kesalahan yang terjadi. Metoda
penyelesaian finite difference dilakukan dengan skema implisit, dimana stabilitas
hitungan dari skema tersebut tidak dibatasi oleh besarnya time step (langkah waktu).
Dengan menggunakan metoda finite difference pada persamaan-persamaan untuk
aliran dan untuk seluruh titik diskrit yang ditinjau di sepanjang sungai (misal N pias),
maka akan menghasilkan 2N-2 persamaan, dengan 2N variabel (h dan Q) yang tidak
diketahui. Dengan memasukkan kondisi batas, yaitu batas hulu dan batas hilir,
persamaan-persamaan tersebut (persamaan kontinyuitas dan momentum) dapat
diselesaikan, sehingga variabel h(x,t) dan Q(x,t) dapat diperoleh. Berbagai paket
program komputer dapat dipakai dalam penyelesaian persamaan diatas antara lain:
NETWORK, GAMAFLOW, DUFLOW, HECRAS dan sebagainya.
3.6.5. Desain Struktur
Desain struktur bangunan pengendali banjir, khususnya Bangunan Pengendali Banjir
(BPB), seperti; tanggul banjir, bendungan, check dam (penangkap sedimen), Bangunan
pengurang kemiringan sungai, groundsill, dan lainnya dilakukan dengan tahapan sebagai
berikut :
a) Analisa Pembebanan
Dimensi awal penampang BPB hasil perhitungan harus mampu menahan beban luar yang
bekerja pada bangunan BPB. Adapun gaya-gaya luar yang dimaksud adalah sebagai
berikut: Berat Sendiri W = c A dimana: W = berat sendiri bangunan per m c = berat
volume bahan (T/m 3 ) A = volume per m (m 3 ) Harga c biasanya diambil 2,35 T/m 3
untuk dam beton Tekanan Air Statik P = o Hw dimana: P = tekanan air statik pada titik
yang dalamnya hw (T/m 3 ) 0 = berat volume air (T/m 3 ) h w = dalamnya air (m) Harga
γo dapat diambil sebagai berikut: 0 = 1,0- T/m 3 pada H > 15 m 0 = 1,2 T/m 3 pada H <
15 m Nilai diatas adalah berat volume air dengan anggapan terjadi penambahan tekanan
air termasuk faktor-faktor lain dari gaya-gaya luar dengan maksud untuk memudahkan
proses hitungan. Dengan anggapan tersebut, harus diingst bahwa anggapan ini untuk
memperoleh angka keamanan yang lebih besar. Tekanan Sedimen P ev = Si he P eh = Ce
Si he dimana: P ev = komponen vertical tekenen sediment (T/m 3 ) P eh = komponen
tekenen sediment (T/m 3 ) Si = berat volume dalam air (T/m 3 ) Si = LS (1 ) L 0 = berat
volume air (T/m 3 ) s = berat volume sedimen di dalam air (T/m 3 ) C e h e = koefisien
tekenan tanah aktif = tinggi sedimen (m) Tinggi sedimen (he) disini adalah dengan
anggapan setelah selesai pembuatan bangunan pengendali sedimen terjadi endapan di
hulu main dam. Biasanya diambil: C e = 0,3 = 0,3 0,4 Si = 1,5 1,8 (T/m 3 ) 0 = 1,0 (T/m 3
) Untuk niali Si, Bureau Of Reclamation menyarankan dipakai 1,67 1,83 dimana sedimen
terdiri dari pasir, kerikil, dan batu. Gaya Angkat U x = h 2 + G h (1 X)/Y 0 Di mana: U x
= gaya angkat pada titik x (t/m 3 ) H 2 G h h 1 x I B 2 = tinggi air di hilir (m) = koefisien
uplift = h1 h2 = tinggi air di hulu (m) = panjang garis rembesan (m) = I = b2 = untuk ini
(m) = tebal dam pada dasar (m) 0 = berat volume air koefisien uplift (μ) antara 0,3 1,0
dalam prektek diambil μ = 0,33 Secara umum, perbedaan gaya angkat pada BPB di atas
fondasi terapung dan fondasi di atas batuan dasar sangat besar. Meskipun demikian
konstruksi pada fondasi terapung dengan banjir menengah atau kecil, disamping lapisan
bawah dari fondasi terapung sebagian besar terdiri lapisan setengah padat (semi solid)
yang sudah mengkonsolidasi. Gaya Inertia pada Waktu Gempa I = k dimana: I K W W =
gaya inertia beda horizontal pada dam karena gempa (T/m) = koefisien gempa = berat
sendiri dam per m (T) Koefisien gempa didasarkan pada kondisi geologi dan sekitarnya.
Pada bagian hulu dari badan main dam biasanya mempunyai kemiringan terhadap vertical
seperti yang diuraikan di atas, biasanya dalam perencanaan digunakan rumus Zenger.
Rumus Westerguard sering juga digunakan dan memberikan hasil yang lebih besar.
Tekanan Air Dinamik pada Gempa F = 0,153 h V 2 P = 48,2 V S.1,2 R 2 U -1 dimana: F
= tekanan air (t/m) P = benturan oleh batu-batuan besar (t/m) h = tinggi aliran debris (m)
V = kecepatan aliran debris (m/dt) R = jari-jari batu (m) D = berta volume dam (t/m 2 )
Untuk maksud perencanaan, gaya-gaya luar ini kecuali berat sendiri bangunan akan
dikombinasikan dengan keadaan sebagai berikut: Tabel 3. 8 Gaya yang Bekerja pada
Bangunan Ketinggian (m) Pada Keadaan Debit Normal Pada Keadaan Debit Banjir H <
15 M 1. Berat sendiri 2. Tekanan air statik H> 15 m 1. Tekanan air statik 1. Berat sendiri
2. Tekanan sediment 2. Tekanan air statik 3. Gaya angkat 3. Tekanan sedimen 4. Gaya
inertia pada waktu gempa 4. Gaya angkat 5. tekenan air dinamik pada waktu gempa
Selain gaya-gaya luar tersebut gaya-gaya yang ditimbulkan oleh benturan aliran debris
atau lumpur juga harus dipertimbangkan.
b) Analisa Stabilitas Stabilitas Terhadap Guling.
Bangunan BPB harus direncanakan memiliki ketahanan terhadap moment guling yang
bekerja. Faktor Aman terhadap moment guling didefinisikan sebagai: MT F M Di mana :
M T M G = jumlah moment tahanan = jumlah moment guling Stabilitas Terhadap Gaya
Geser Bangunan BPB harus direncanakan memiliki ketahanan terhadap gaya geser yang
bekerja. Faktor Aman terhadap gaya geser didefinisikan sebagai: F Di mana : V H =
jumlah gaya vertikal = jumlah gaya horizontal = sudut gesek dalam tanah Stabilitas Daya
Dukung Tanah Tegangan maksimal yang bekerja pada dasar fondasi BPB tidak boleh
melebihi tegangan atau daya dukung tanah yang diijinkan, dan tegangan minimal harus
lebih besar dari nol (fondasi tidak boleh menahan tegangan tarik). Tegangan pada dasar
fondasi dihitung menggunakan persamaan berikut: Di mana: G V. tg H 1,2 V B M I Debit
Rendah SID Pengendalian Banjir Sungai Lematang M = jumlah moment pada pusat
fondasi B I = lebar fondasi = inersia fondasi Faktor aman yang disyaratkan pada kondisi
debit banjir dan debit rendah dapat dilihat pada Tabel …

Tabel Persyaratan Faktor Aman Bangunan Pengendali Banjir

3.6.6. Bangunan Pengendalai Banjir


a) Waduk
Pengendalian banjir di suatu DPS adalah usaha melakukan konservasi potensi air
permukaan yang tersedia secara alami melalui pengelolaan tampungan permukaan dan
proses mendistribusikan air yang tersedia sesuai kebutuhan. Pengendalian banjir melalui
waduk dapat dilakukan dengan cara menahan/ menampung sementara debit banjir di
dalam waduk, selanjutnya air dilepas setelah keadaan debit di hilir memungkinkan, atau
pada saat di hilir membutuhkan tambahan debit air. Berikut ini kami sajikan beberapa
lokasi contoh waduk pengendali banjir.

Gambar beberapa waduk pengendali banjir

b) Tanggul
Upaya pengendalian banjir dapat juga dilakukan dengan cara meningkatkan/ menambah
kapasitas penampang sungai melalui peninggian tanggul. Peninggian tanggul disamping
untuk meningkatkan kapasitas penampang sungai juga melindungi daerah kanan/kiri
sungai terhadap kemungkinan terjadinya luapan banjir. Beberapa sungai yang telah
dilengkapi dengan tanggul antara lain :

Gambar beberapa type tanggul pengendali banjir

c) Diversion/ Flood way/ Shortcut Floodway adalah suatu kanal pengelak banjir, yaitu suatu
saluran yang berfungsi untuk menguragi beban/ volume banjir suatu daerah untuk
kemudian dialirkan ke suatu daerah yang aman (laut). Kali/ Kanal Berfungsi untuk
mengurangi/ mengelakkan beban banjir jantung Kota dengan membuang langsung ke
laut. Shortcut/ Sudetan Berfungsi untuk mengurangi/ mengelakkan beban banjir/ sedimen/
yang datang langsung ke hilir. River Improvement/ Perbaikan Alur Sungai Perbaikan alur
sungai dimaksudkan untuk meningkatkan kapasitas aliran sungai melalui kegiatan/
pekerjaan pelurusan alur sungai, pengerukan dasar sungai, perkuatan tebing, parapet dan
lain-lain.

Gambar beberapa type canal pengendali banjir (contoh canal banjir di Jakarata)
BAB IV MANAJEMEN ORGANISASI PELAKSANAAN PEKERJAAN

4.1. Struktur Organisasi


Dalam melaksanakan suatu pekerjaan diperlukan suatu metode kerja dan rencana
kerja yang efisien dan sederhana, sehingga akan menghasilkan suatu produk kerja yang baik.
Oleh karena itu dalam melaksanakan pekerjaan SID Pengendalian Banjir Sungai Batulicin,
PT. Saka Buana Yasa Selaras KSO PT. Bumi Kahuripan akan mengerahkan personil-
personilnya yang sudah berpengalaman dalam bidangnya masing-masing dan mempunyai
kemampuan serta berdedikasi tinggi. Secara garis besar akan kami uraikan hubungan kerja
dan tugas dari masing-masing personil, baik hubungan dengan proyek dan instansi terkait
maupun dengan anggota tim.
Dalam pelaksanaan pekerjaan SID Pengendalian Banjir Sungai Batulicin, faktor
efektifitas dan efisiensi dalam hubungan kerja antara pihak Pemberi Tugas (Direksi) dan
pihak konsultan perencana secara tidak langsung sangat mempengaruhi hasil akhir pekerjaan
tersebut. Oleh karena itu koordinasi melalui tata laksana struktur organisasi antara Pemberi
Tugas (Direksi) dan Konsultan Perencana adalah sangat penting. Hubungan kerja antara Tim
Konsultan dengan Pemberi Tugas (Direksi) dalam pekerjaan ini adalah sebagai berikut :
Gambar Struktur Organisasi Konsultan PT. Saka Buana Yasa Selaras KSO PT. Bumi
Kahuripan

4.2. Jadual Pelaksanaan PT. Saka Buana Yasa Selaras KSO PT. Bumi Kahuripan

4.3. Jadual Penugasan Tenaga Ahli PT. Saka Buana Yasa Selaras KSO PT. Bumi Kahuripan

Anda mungkin juga menyukai