Anda di halaman 1dari 2

Iwan Simatupang mempunyai ciri dalam satu tema pokok yang sama dalam novel-

novelnya, yakni “kegelandangan”. Kegelandangan itu bukan dalam cita rasa


material, tetapi mendukung bersusun-susun pertanyaan tentang “kesunyian”.
Kesunyian manusia setelah kematian menyusup bagai “peluru buta” dari malam
gelap, menguburkan segala kegairahan manusia untuk hidup menurut akal budi dan
jadwal rencana kebahagiaan. Penguburan atau pemakaman tanpa persetujuan
manusia lebih dulu, tanpa upacara
Novel Ziarah ini menceritakan kehidupan seorang pelukis yang kehilangan cita rasa
kesenimanannya. Hal ini disebabkan oleh kematian istrinya. Karya-karya berikut
peralatan lukisnya dia ceburkan ke laut. Kemudian dia hidup menggelandang dan
bekerja serabutan yang hasilnya ia gunakan untuk makan dan minum arak.

Pelukis ini sebenarnya seorang pelukis yang sukses. Karya-karya pelukis dikagumi
oleh banyak orang baik dari dalam maupun luar negeri. Pers dalam negeri terutama
banyak memuat tulisan tentang pelukis ini serta karya-karyanya.

Kehidupan pelukis ini dikisahkan sangat unik. Sanggarnya adalah hotel tempat
dimana ia tinggal. Setelah upacara pernikahannya dengan istrinya, yang diadakan di
hotel dan dihadiri oleh banyak tokoh negara dan kebudayaan, maka pemilik hotel
mengusirnya dengan alasan bahwa pelukis menyebabkan stabilitas kota terganggu.
Pemilik hotel dan losmen yang lain, dengan alasan sama, menolak pelukis menginap
di tempat mereka.
Pelukis beserta istrinya kemudian mengembara dan sampailah mereka di pantai
tempat mereka mendirikan gubuk tempat tinggalnya. Kemudian diberitakan bahwa
suatu kali mereka pernah menempati rumah walikota atas permintaan perdana
menteri. Namun akhirnya kembali lagi pada kehidupan pantai.
Setelah kematian istrinya, dalam pekerjaannya yang serabutan, akhirnya dia
mendapatkan tawaran mengapur tembok pekuburan tempat istrinya dimakamkan.
Di sinilah dia bertemu dengan tokoh opseter yang sebenarnya mahasiswa filsafat
yang cemerlang otaknya dan maha guru yang bekerja di pekuburan.
Setelah opseter mati dengan gantung diri, maka timbul keinginan pelukis ini untuk
mengganti kedudukan opseter.
Dari kehidupan kegelandangan ini, Iwan Simatupang ingin menunjukkan kepada
pembacanya bahwa kehidupan manusia tidak tergantung pada materi. Ada suatu
nilai yang harus lebih diperjuangkan manusia dalam kehidupannya, yakni tentang
bagaimana manusia menghargai hidup itu sendiri, merasa suka cita dan memiliki
pengharapan meski tanpa bekal materi.
Salah satu kutipan dalam Novel tentang penggambaran Sang Pelukis:
“Begitu malam jatuh, perutnya dituangnya arak penuh-penuh, memanggil Tuhan
keras-keras, kemudian meneriakkan nama istrinya keras-keras, menangis keras-
keras untuk pada akhirnya tertawa keras-keras...". (Ziarah, hal. 1)

"Selesai mandi dan berpakaian, dia lari ke jalan, berhenti di kaki lima untuk
menentukan arah mana yang bakal ditempuhnya. Ini dilakukannya dengan cara
menatap lama-lama ke inti matahri, suatu kesanggupan yang baru beberapa hari ini
saja diperolehnya". (Ziarah, hal. 2)

Anda mungkin juga menyukai