Anda di halaman 1dari 16

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN


Bab ini menjelaskan mengenai profil dua entitas yayasan yang dijadikan subjek

penelitian, perbedaan kondisi keduanya, dan pembahasan mengenai praktik

mekanisme akuntabilitas yang dilakukan di kedua yayasan tersebut. Semua data

dan informasi terkait praktik akuntabilitas di kedua yayasan tersebut selanjutnya

akan dibahas dan dibandingkan berdasarkan lima elemen mekanisme akuntabilitas

pada organisasi nirlaba menurut Ebrahim (2003).

4.1. Profil Subjek Penelitian

Subjek penelitian pada penelitian ini adalah dua yayasan sosial keagamaan yang

berlokasi di provinsi D.I. Yogyakarta (Yayasan A dan Yayasan B). Kedua

yayasan tersebut dipilih dikarenakan penulis menilai keduanya sudah memiliki

aktivitas yang cukup besar sehingga relevan untuk dinilai praktik

akuntabilitasnya. Penilaian penulis tersebut didasarkan oleh fakta bahwa kedua

yayasan tersebut sudah memiliki perputaran dana lebih dari 2,5 milyar rupiah per

tahun, berumur lebih dari 2 tahun, telah menerapkan teknologi digital dalam

pelaporan keuangannya, serta memiliki karyawan yang berlatar belakang

akuntansi/keuangan di bagian pelaporan keuangannya. Selain beberapa persamaan

yang dijadikan standar pemilihan tersebut, penulis memilih membandingkan

kedua yayasan tersebut dalam penelitian ini dikarenakan keduanya memiliki

perbedaan yang cukup signifikan dalam latar belakang pendirian, umur sejak

didirikan, dan lingkungan tempat perusahaan beroperasi. Dari perbedaan kondisi

1
tersebut, penulis berharap menemukan perbedaan praktik mekanisme di kedua

yayasan.

Yayasan A awalnya adalah sebuah divisi sosial dari sebuah masjid yang

cukup terkenal di Yogyakarta (Masjid X). Pada awal tahun 2020, divisi sosial

tersebut diubah menjadi sebuah yayasan tersendiri yang penamaannya masih

mengutip nama Masjid X sebagai lembaga afiliasinya. Aktivitas utama yang

dilakukan oleh Yayasan A yakni mengelola komunitas wakaf dan memberikan

bantuan kepada masjid yang sedang berada dalam proses pembangunan. Selain

itu, Yayasan A juga memiliki program di bidang sosial seperti pengadaan

ambulan gratis untuk warga sekitar, program tebar sembako, serta bantuan

kesehatan dan pendidikan bagi masyarakat yang tidak mampu.

Sementara itu, berbeda dari Yayasan A yang awalnya adalah divisi sosial

sebuah masjid, Yayasan B dulunya adalah divisi sosial dari sebuah yayasan yang

bergerak di bidang pendidikan Islam. Divisi tersebut kemudian tumbuh dan resmi

menjadi yayasan yang berdiri sendiri sejak tahun 2016. Aktivitas utama Yayasan

B yaitu membantu pesantren-pesantren tahfidz Al-Qur’an yang membutuhkan

bantuan. Selain program pokok tersebut, yayasan B memiliki program-program

sosial seperti bantuan kesehatan dan pendidikan kepada masyarakat yang tidak

mampu .

Yayasan A memiliki sejumlah kelebihan yang tidak dimiliki oleh Yayasan

B antara lain adanya komunitas wakaf di mana setiap anggotanya berkomitmen

untuk berwakaf dengan nominal tertentu setiap bulannya. Selain itu, Yayasan A

juga memiliki komunitas relawan yang saat ini berjumlah 39 orang. Para relawan

2
tersebut berperan dalam memberi informasi kepada Yayasan A apabila ada pihak

yang membutuhkan bantuan dan membantu dalam proses penyaluran bantuan di

lapangan. .Sementar itu, Yayasan B tidak memilliki kelebihan tertentu yang tidak

dimiliki oleh Yayasan A. Perbedaan kondisi antara Yayasan A dan Yayasan B.

dapat dilihat pada tabel 4.1 di bawah ini.

Tabel 4.1 Perbedaan kondisi Yayasan A dan Yayasan B

Yayasan A Yayasan B

Berdiri sejak tahun 2020 Berdiri sejak tahun 2016

Memiliki komunitas relawan di Tidak memiliki komunitas relawan

lapangan

Memiliki komunitas donatur wakaf Tidak memiliki komunitas donatur

Berdiri sendiri, tapi memiliki afiliasi Tidak memiliki afiliasi dengan entitas

dengan sebuah masjid yang cukup lain

besar

4.2 Praktik Mekanisme Akuntabilitas

4.2.1 Pernyataan dan laporan keterbukaan (disclosure statement and report)

Menurut Ebrahim (2003), pernyataan dan laporan keterbukaan merupakan salah

satu mekanisme akuntabilitas yang paling banyak digunakan organisasi untuk

menjalankan fungsi akuntabilitasnya. Pernyataan keterbukaan biasanya berbentuk

laporan formal seperti tabel berisi laporan keuangan atau bisa juga laporan yang

3
bersifat kurang formal seperti infografis yang mudah dipahami. Mekanisme

akuntabilitas jenis ini memiliki tujuan utama sebagai bentuk pertanggungjawaban

organisasi nirlaba kepada pihak donatur (upward accountability) dan bersifat

jangka pendek (fungsional).

Berdasarkan pengamatan penulis, terdapat dua perbedaan signifikan dalam

praktik pelaksanaan mekanisme jenis ini di Yayasan A dan Yayasan B. Perbedaan

tersebut adalah perbedaan dalam keputusan menggunakan jasa auditor eksternal

dan perbedaan dalam penggunaan adopsi ISAK 35 dalam penyusunan laporan

keuangan. Dalam hal ini, Yayasan A tidak menggunakan jasa auditor eksternal

dan tidak pula menerapkan standar yang telah ditetapkan pada ISAK 35 dalam

pelaporan keuangannya. Berbeda dengan Yayasan B yang menggunakan auditor

eksternal untuk memeriksa laporan keuangan tahunannya dan mengadopsi

sepenuhnya standar ISAK 35 dalam penyusunan laporan keuangan tersebut.

Pada kasus Yayasan B, narasumber 3 menyatakan bahwa alasan

yayasannya menggunakan auditor eksternal adalah untuk menunjukkan citra

yayasan yang terpercaya kepada para donatur. Status WTP dari auditor eksternal

dipercaya pengurus dapat meningkatkan kepercayaan baik dari donatur maupun

masyarakat umum terhadap Yayasan B. Selanjutnya, Narasumber 3 menjelaskan

bahwa keinginan Yayasan B untuk menggunakan jasa auditor eksternal itulah

yang melatarbelakangi penggunaan standar ISAK 35 dalam penyusunan laporan

keuangannya. Hal ini dikarenakan persyaratan auditor eksternal yang hanya dapat

melakukan jasanya apabila yayasan B sudah menggunakan ISAK 35 dalam

penyusunan laporan keuangannya. Menghadapi tuntutan yang demikian, Yayasan

4
B kemudian merekrut karyawan dengan latar belakang keuangan yang mampu

melakukan perhitungan atas aset, liabilitas, dan ekuitas yang dimiliki Yayasan B

serta membuat laporan keuangan sesuai standar ISAK 35. Sampai saat ini,

Yayasan B sudah menggunakan jasa auditor eksternal 4 tahun berturut-turut yaitu

pada tahun 2019, 2020, 2021, dan 2022 serta berniat untuk tetap menggunakan

jasa auditor eksternal ke depannya.

Sementara itu, berbeda dengan Yayasan B, Yayasan A sampai saat ini

masih belum menggunakan jasa auditor eksternal untuk memeriksa laporan

keuangannya. Menurut penjelasan Narasumber 1 sebenarnya Yayasan A juga

ingin menggunakan jasa auditor eksternal, tapi saat ini hal tersebut belum bisa

dilakukan dikarenakan yayasan masih perlu fokus kepada urusan teknis di

lapangan seperti pembuatan program di lapangan, penggalangan dana, dan

koordinasi dengan para relawan. Menurut keterangan Narasumber 1, kebijakan

Yayasan A untuk fokus terlebih dahulu kepada urusan teknis di lapangan

dibanding urusan administratif ada kaitannya dengan umur yayasan yang relatif

masih muda sehingga masih mengalami banyak trial & error dalam aktivitas

teknis lapangannya

Berdasarkan penjelasan narasumber di kedua yayasan mengenai praktik

pelaporan keuangan di yayasannya, penulis menemukan adanya hubungan antara

umur pendirian yayasan dan pengalaman yayasan dalam menjalankan aktivitas

teknisnya dengan kemampuan penggunaan auditor eksternal dan penerapan

standar pelaporan keuangan seperti ISAK 35 di dalam laporan keuanganya. Saat

masih awal berdiri, suatu yayasan tentunya akan mempelajari banyak hal baru

5
serta mengalami fase trial & error yang cukup akubat dari masih kurangnya

pengalaman teknis program, Kondisi inilah yang menyebabkan yayasan di awal

pendiriannya tidak sempat memikirkan aktivitas nonlapangan atau yang bersifat

administratif seperti penggunaan auditor eksternal atau penerapan standari yang

baku dalam penyusunan laporan keuangannya.

4.2.2 Pemeriksaan kinerja & evaluasi (performance assessment & evaluation)

Menurut Ebrahim (2003) tindakan pemeriksaan kinerja dan evaluasi di organisasi

nirkaba dapat dibagi menjadi evaluasi pada aspek eksternal dan evaluasi pada

aspek internal. Evaluasi eksternal selanjutnyaa dapat dibagi menjadi dua jenis

yaitu evaluasi jangka pendek (fungsional) seperti mengevaluasi jumlah penerima

bantuan atau jumlah fasilitas yang telah dibangun dan evaluasi jangka panjang

(strategis) seperti memeriksa peningkatan kondisi kesehatan/pendidikan para

penerima bantuan setelah sebelumnya diberikan bantuan oleh yayasan. Adapun

contoh evaluasi internal yang dapat diakukan organisasi nirlaba adalah evaluasi

pencapaian KPI oleh karyawan di organisasinya.

Dari hasil wawancara penulis dengan Narasumber 1,2,3, dan 4 di Yayasan

A dan Yayasan B, penulis mendapati bahwa kedua yayasan melakukan evaluasi

eksternal jangka pendek berupa evaluasi terhadap jumlah dana yang telah

disalurkan dan jumlah penerima bantuan di setiap bulannya. Namun, penulis juga

menemukan bahwa baik Yayasan A maupun Yayasan B tidak melakukan evaluasi

eksternal jangka panjang dari donasi yang telah disalurkan seperti evalusi

terhadap dampak dari bantuan yang telah diberikan,. Kedua yayasan hanya

6
membatasi aktivitas penyaluran bantuannya sampai tahap pemberian dana kepada

penerima saja.

Menurut Narasumber 1 dan 3, alasan dari Yayasan A dan B tidak

melakukan evaluasi lanjutan mengenai dampak dari donasi yang telah

disalurkannya yaitu karena kedua yayasan sudah percaya bahwa penerima bantuan

telah memanfaatkan dana tersebut dengan sebaik mungkin. Kedua yayasan

berpendapat bahwa screening awal terhadap setiap calon penerima bantuan sudah

menjadi alat kontrol yang cukup baik untuk memastikan bahwa dana yang telah

diberikan akan digunakan oleh kebermanfaatan penerima dana yang sebaik

mungkin.

Sementara itu, berkaitan dengan praktik evaluasi internal, penulis

meenmukan bahwa baik Yayasan A dan Yayasan B memiliki persamaan berupa

adanya rapat rutin yang salah satu isinya adalah memeriksa pekerjaan yang telah

dilakukan oleh karyawan dalam 1 pekan atau 1 bulan terakrhi. Yayasan A

memiliki agenda rapat tiap bulan yang salah satunya berisi laporan hasil kerja dari

setiap karyawan mengenai pekerjaannya. Sementara itu, Yayasan B juga memiliki

rapat pekanan yang membahas hal yang sama. Meskipun sama-sama memiliki

agenda rapat rutin yang membahas tentang kinerja tiap individu karyawan.

Penulis menemukan bahwa kedua yayasan sama-sama belum memiliki KPI yang

seharusnya digunakan manajemen untuk mengukur seberapa baik performa

karyawan dalam mencapai target pekerjaan yang telah ditetapkan.

Berdasarkan wawancara penulis dengan narasumber 1 dan 2 dari Yayasan

A serta Narasumber 3 dan 4 dari Yayasan B, penulis mendapati bahwa ada

7
perbedaan alasan mengenai ketidakadaan KPI di kedua yayasan tersebut. Menurut

Narasumber 1 dan 2, penyebab Yayasan A sampai saat ini belum memiliki KPI

untuk karyawannya adalah karena Yayasan A saat ini masih mengalami banyak

trial & error dalam melaksanakan operasinya sehari-hari. Hal ini menyebabkan

SOP karyawan di Yayasan A masih terus berubah-ubah sehingga belum

memungkinkan Yayasan A untuk menetapkan sebuah KPI yang menjadi target

tetap dari masing-masing karyawan.

Sementara itu, menurut narasumber 3 dan 4 tantangan menerapkan KPI

pada Yayasan B adalah karena adanya asas dan kultur kekeluargaan yang kental

yang sudah ada sejak awal berdirinya yayasan. Adanya asas tersebut membuat

hal-hal seperti pengenaan sanksi atau pemberian surat peringatan di Yayasan B

menjadi hal yang tidak wajar untuk dilakukan. Dalam Yayasan B keputusan untuk

menerapkan KPI karyawan atau aturan yang lebih ketat di masa lalu sempat

membuat keluarnya sebagian karyawan dari Yayasan B. Kejadian tersebut

merupakan pengalaman yang memiliki sifat traumatis bagi yayasan, sehingga

mempengaruhi para pengurus untuk menunda pembuatan KPI di Yayasan B.

Terlepas dari perbedaan alasan yang diberikan oleh narasumber dari kedua

yayasan, penulis mengamati bahwa tidak adanya KPI atau tindakan serius kedua

yayasan untuk mengevaluasi kinerja karyawan internalnya juga banyak

dipengaruhi oleh budaya organisasi nirlaba yang lebih menekankan aksi lapangan

daripada tindakan administratif. Hal ini sesuai dengan pernyataan Riddel (1999)

yang menyatakan bahwa kebanyakan organisasi nirlaba memiliki budaya untuk

lebih menekankan pelaksanaan aksi nyata dibanding tindakan yang bersifat

8
analisis. Hal ini disebabkan mindset kebanyakan karyawan organisasi nirlaba yang

melihat bahwa tindakan analisis merupakan tindakan yang sia-sia dibanding aksi

nyata seperti penerimaan dan penyaluran donasi di lapangan. Selain itu, tindakan

evaluasi internal seperti evaluasi KPI juga memberikan tekanan kepada para

karyawan di organisasi nirlaba berupa potensi penemuan bahwa mereka selama

ini ternyata tidak melakukan kinerjanya dengan baik. Selain itu, tidak adanya

tekanan dari para donatur kepada organisasi nirlaba untuk memiliki KPI bagi

karaywannya juga menjadi alasan jarangnya penerapan KPI dalam operasional

organisasi nirlaba.

4.2.3 Partisipasi (participation)

Dalam framework Ebrahim (2003), partisipasi memiliki definisi berupa tingkat

keikutsertaan publik dalam menentukan proyek apa yang akan dibuat oleh suatu

entittas NGO. Semakin tinggi keikutsertaan publik untuk ikut serta dalam

menentukan proyek apa yang akan dibuat, maka semakin tinggi nilai partisipasi

organisasin nirlaba yang bersangkutan Mekanisme akuntabilitas berupa partisipasi

adalah salah satu upaya organisasi nirlaba untuk melakukan downward

accountability dengan cara membuat program yang manfaatnya dapat dirasakan

semaksimal mungkin oleh masyarakat.

Mekanisme akuntabilitas berupa partisipasi menurut Ebrahim (2003)

terbagi menjadi empat level. Pada level pertama, informasi mengenai proyek yang

akan dilakukan dibagikan kepada publik, tapi pengambilan keputusan mengenai

proyek yang akan dilaksanakan dan pelaksanaannya di lapangan sepenuhnya

dilakukan oleh organisasi nirlaba. Sementara pada partisipasi level kedua,

9
keputusan mengenai proyek mana yang akan dieksekusi dipegang sepenuhnya

oleh organisasi nirlaba, tapi pelaksanaan program tersebut di lapangan juga

melibatkan masyarakat. Contoh keterlibatan masyarakat di sini adalah bantuan

tenaga dari masyarakat sekitar dalam pelaksanaan program atau perawatan

fasilitas yang telah dibuat oleh organisasi nirlaba. Pada partisipasi level ketiga

keputusan terkait proyek yang akan dilaksanakan tidak sepenuhnya ditentukan

oleh organisasi nirlaba melainkan masyarakat juga memiliki kekuatan untuk

bernegosiasi dengan organisasi nirlaba tersebut atau bahkan memiliki hak suara

dalam menentukan proyek mana yang akan dilaksanakan. Sementara itu, pada

partisipasi level keempat, masyarakat sudah memiliki inisiatif dan kemampuan

sendiri untuk membuat proyek sosial tanpa campur tangan dari NGO maupun

pemerintah.

Pada partisipasi di Yayasan A, meskipun yayasan memiliki banyak

relawan yang mana masing-masing relawan dapat mengusulkan pihak penerima

bantuan bantuan atau proyek yang akan dilaksanakan, tetapi keputusan terkait dua

hal tersebut tetap dipegang sepenuhnya oleh yayasan. Adapun mengenai

pelaksanaan program, pelaksanaan program di Yayasan A juga saat ini masih

dipegang sepenuhnya oleh tim yayasan tanpa melibatkan banyak warga sekitar.

Contohnya adalah tebar sembako yang meskipun dilaksanakan sampai di luar

daerah, tetapi tim pelaksana tebar sembako tersebut berasal dari tim yayasan dan

tidak melaksanakan masyarakat sekitar untuk membantu pelaksanaan program

tersebut. Berdasarkan informasi tersebut, penulis mengkategorikan Yayasan A

termasuk ke dalam partisipasi level pertama.

10
Sementara itu, praktik di Yayasan B memiliki sedikit perbedaan dibanding

praktik pada Yayasan A. Pada Yayasan B, meskipun keputusan mengenai pihak

mana yang akan diberikan bantuan atau proyek apa yang akan dilaksanakan

dipegang sepenuhnya oleh yayasan, tetapi pelaksanaan program B di lapangan

juga banyak dibantu oleh warga sekitar. Contohnya adalah program Yayasan B

berupa pembangunan sumur dan pengadaan pipa untuk menyalurkan air yang

melibatkan banyak warga sekitar dalam proses pengerjaannya. Berdasarkan

informasi tersebut, penulis mengkategorikan partisipasi dalam Yayasan A

termasuk ke dalam partisipasi level kedua.

Berdasarkan penjelasan di atas, terdapat perbedaan level partisipasi antara

Yayasan A dan Yayasan B di mana penulis mengkategorikan level partisipasi

masyararakat pada Yayasan A ada pada level pertama sementara level partisipasi

masyarakat pada Yayasan B berada pada level kedua. Menurut penulis,

perbedaan level partisipasi antara kedua yayasan tersebut utamanya disebabkan

adanya perbedaan yang signifikan dari skala program yang dibuat di kedua

yayasan. Yayasan B memiliki program sosial yang lebih besar dibadnig Yayasan

A seperti pembangunan sumur dan pengadaan pipa yang tentunya dalam

pelaksanaannya memerlukan bantuan dari warga sekitar, sementara Yayasan A

tidak memiliki program dengan skala sedemikian besar sehingga dalam

pelaknsaannya hanya melibatkan tim internalnya tanpa perlu meminta bantuan

warga sekitar.

11
4.2.4 Self-regulation

Self-regulation menurut pengertian Ebrahim (2003) adalah tindakan atau usaha

yang dilakukan oleh satu atau jaringan kelompok organisasi nirlaba untuk

mengembangkan suatu kode etik yang mengatur performa dan perilakunya. Self-

regulation juga dapat bermakna aturan yang dibuat oleh pemerintah atau institusi

tertentu yang menjadi pedoman dalam aktivitas operasi organisasi nirlaba. Pada

penelitian ini, penulis akan membahas praktik self-regulation di Yayasan A dan

Yayasan B berupa penerapan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 29 Tahun 1980

tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan berupa pembatasan pengambilan

dana operasional yayasan sebesar 10% dari hasil pengumpulan sumbangan serta

penerapan code of conduct di kedua yayasan sebagai pedoman karyawan dalam

berperilaku di tempat kerja.

Pada Yayasan A kebijakan yayasan terkait PP Nomor 29 Tahun 1980

adalah yayasan memutuskan untuk tidak mengambil bagian persentase apapun

dari donasi umum yang telah dikumpulkan. Dana untuk operasional Yayasan A

didapat dengan cara lain berupa: 1) pos penerimaan donasi khusus yang ditujukan

untuk operasional yayasan, dan 2) pengambilan bagian dari zakat mal sebagai

golongan yang termasuk berhak menerima zakat (fii sabilillah). Kebijakan ini

diambil dikarenakan pengurus dari Yayasan A menilai bahwa mengambil bagian

persentase tertentu dari donasi untuk operasional organisasinya adalah tindakan

yang tidak amanah terhadap para donatur.

Sementara itu, berbeda dengan praktik di Yayasan A, dana untuk

operasional Yayasan B didapatkan dengan cara yang berbeda antara lain: 1)

12
pengambilan 10% dari sumbangan yang dikumpulkan, dan 2) pengambilan bagian

dari zakat mal sebagai golongan yang termasuk berhak menerima zakat (fii

sabilillah). Menurut pengamatan penulis, perbedaan kebijakan antara Yayasan A

dan Yayasan B terkait pengambilan persentase dari sumbangan yang telah

dikumpulkan terjadi semata-mata karena perbedaan pandangan kedua yayasan

tersebut dalam melihat PP Nomor 29 Tahun 1980. Pengurus Yayasan A

memandang bahwa mengambil bagian persentase tertentu dari donasi yang telah

dikumpulkan merupakan tindakan yang melanggar amanah donatur, sementara

Pengurus Yayasan B melihat tindakan mengambil bagian persentase tertentu dari

donasi yang telah dikumpulkan adalah tindakan yang boleh-boleh saja karena

sudah diperbolehkan peraturan pemerintah

Adapun mengenai penerapan code of conduct di kedua yayasan, baik

Yayasan A dan Yayasan B sama-sama tidak memiliki nilai-nilai tertentu yang

tertulis di lembaganya. Menurut keterangan Narasumber 1 dan 3, tidak adanya

nilai-nilai tersebut dipengaruhi oleh adanya asas kekeluargaan dan nilai-nilai

keagamaan yang kuat di dalam tubuh kedua yayasan yang dirasa sudah cukup

dapat mengontrol perilaku karyawan, tanpa perlu code of conduct yang tertulis.

Meskipun tidak memiliki code of conduct secara tertulis, Yayasan A dan

Yayasan B melakukan upaya-upaya lain dalam rangka menjaga perilaku karyawan

agar sesuai dengan visi dan misi yayasan. Menurut Narasumber 2 contoh tindakan

yang dilakukan oleh Yayasan A untuk menjaga agar karyawannya berperilaku

sesuai dengan tujuan organisasi adalah dengan mengevaluasi hasil kerja setiap

karyawan di setiap rapat bulanan dan mengingatkan kembali mengenai visi dan

13
misi yayasan di rapat tersebut. Adanya rapat tersebut menurut Narasumber 1 dan 2

memupuk rasa tanggung jawab setiap karyawan atas pekerjaannya masing-

masing.

Sementara itu, Yayasan B memiliki upaya tambahan dibanding Yayasan A

dalam rangka menjaga perilaku karyawan selain dengan mengadakan evaluasi

pekanan terhadap pencapaian karyawan atas pekerjaannya masing-masing. Upaya

yang dilakukan Yayasan B tersebut adalah dengan mengadakan kajian pekanan

yang wajib diikuti oleh segenap tim yayasan. Materi di kajian pekanan tersebut

akan membahas hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas di yayasan

seperti pentingnya amanah dalam menjalankan pekerjaan dan keutamaan tolong-

menolong dalam kebaikan. Sebagai ketua yayasan, Narasumber 3 menyatakan

bahwa adanya kajian tersebut diharapkan dapat menjaga nilai-nilai keagamaan

dan visi-misi yayasan di dalam masing-masing karyawan.

4.2.5 Audit Sosial (social audit)

Mekanisme akuntabilitas yang terakhir menurut Ebrahim (2003) adalah

audit sosial. Audit sosial dapat diartikan sebagai proses di mana organisasi

melakukan pemeriksaan, pelaporan, dan upaya peningkatan atas kinerja sosial

yang dimilikinya dalam rangka menjalankan fungsi downward accountability dan

akuntabilitas jangka panjang. Salah satu hal yang paling membedakan audit sosial

dengan mekanisme akuntabilitas lain adalah adanya dialog antar pemegang

kepentingan (stakeholder) dalam pelaksanaannya. Dialog antar pemegang

kepentingan tersebut memegang peranan penting dalam memberikan informasi

kepada organisasi nirlaba mengenai kondisi yang terjadi di lapangan. Namun,

14
menurut Ebrahim (2003) besarnya biaya dan upaya yang diperlukan untuk

mengadakan audit sosial menyebabkan mekanisme akuntabilitas jenis ini belum

banyak diterapkan baik di organisasi laba maupun nirlaba.

Dalam kasus Yayasan A dan Yayasan B, penulis menemukan bahwa

kedua yayasan sudah memiliki upaya untuk melakukan audit sosial dengan cara

mengadakan dialog antar pemegang kepentingan. Pada Yayasan A, dialog dengan

pemegang kebijakan di dalam pertemuan luring antara pembina, pengurus,

karyawan, dan para relawan yayasan. Di antara hal yang dibahas dalam pertemuan

tersebut adalah keluh kesah para relawan mengenai kebutuhan yang dimiliki

daerahnya sehingga memerlukan lebih banyak bantuan di tahun selanjutnya

Contoh dari kondisi tersebut adalah apabila di daerah tersebut memiliki banyak

anak yang putus sekolah atau mengalami kristenisasi yang masif. informasi yang

telah didapatkan dari para relawan tersebut selanjutnya akan menjadi bahan

pertimbagan Yayasan A dalam membuat program di tahun selanjutnya.

Sementara itu, Yayasan B juga memiliki upaya melakukan audit sosial

berupa pertemuan tahunan dengan para pengurus pondok pesantren yang

diberikan bantuan. Di dalam pertemuan tersebut para pengurus pondok pesantren

akan menyampaikan keluhan terkait operasional pondok pesantren mereka serta

pengajuan peningkatan jumlah donasi. Di antara contoh keluhan yang

disampaikan para pengurus pondok pesantren adalah membengkaknya biaya

operasi pondok dan terdapat fasilitas yang perlu segera diperbaiki. Dari keluhan-

keluhan yang telah disampaikan, tim Yayasan B selanjutnya akan

15
mempertimbangkan untuk menambah subsidi bulanan kepada pondok yang dirasa

layak menerima tambahan bantuan.

16

Anda mungkin juga menyukai