Anda di halaman 1dari 50

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Makro alga laut adalah sumberdaya hayati yang telah dimanfaatkan

masyarakat Indonesia sebagai mata pencarian, dan beberapa wilayah

menjadikannya mata pencarian utama. Makro alga laut merupakan salah satu

komoditas sumberdaya laut yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi, mudah

dibudidayakan serta produksi yang rendah. Banyak negara-negara maju yang

memanfaatkan makro alga laut sebagai bahan baku produksinya, salah satunya

yaitu bahan baku untuk kosmetik. Karena peluang ekonomi yang tinggi banyak

masyarakat Indonesia budidayakan makro alga laut.

Keberhasilan budidaya rumput laut selain tergantung dari kesesuaian lahan

dan penguasaan teknologi budidaya juga sangat tergantung dengan musim.

Penyediaan benih dan hasil budidaya yang tidak kontinu, khususnya pada masa

pertumbuhan rumput laut tidak baik dan kondisi lingkungan yang tidak

mendukung pada bulan-bulan tertentu, merupakan masalah yang sering dihadapi

oleh pembudidaya rumput laut.

Ice-ice merupakan penyakit yang banyak menyerang rumput laut. Penyakit ini

ditandai dengan timbulnya bintik/bercak-bercak merah pada sebagian thallus yang

lama kelamaan menjadi kuning pucat dan akhirnya berangsur-angsur menjadi

putih. Thallus menjadi rapuh dan mudah putus. Gejala yang diperlihatkan adalah

pertumbuhan yang lambat, terjadinya perubahan warna menjadi pucat dan pada

beberapa cabang menjadi dan membusuk (Largo et al. 1995).

1
Perubahan lingkungan yaitu arus, suhu, dan kecerahan di lokasi budidaya

dapat memicu terjadinya penyakit ice-ice. Tingkat penyerangannya terjadi dalam

waktu yang cukup lama. Hal ini sesuai dengan pendapat Largo et al. (1995),

bahwa penyebab ice-ice ini adalah terjadinya perubahan lingkungan yang tidak

sesuai untuk pertumbuhan sehingga menyebabkan menurunnya daya tahan

rumput laut tersebut.

Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) menyumbangkan pruduksi sebesar

2.283.331 ton atau 22,5% dari produksi rumput laut nasional. Kappaphycus

alvarezii atau alga merah merupakan kelompok alga yang memiliki berbagai

bentuk dan variasi warna. Salah satu indikasi dari alga merah adalah terjadi

perubahan warna dari warna aslinya menjadi ungu atau merah apabila alga

tersebut terkena panas atau sinar matahari secara langsung. Komoditi ini sudah

banyak dibudidayakan oleh penduduk lokal di NTT. Salah satu jenis rumput laut

yang dibudidayakan oleh masyarakat di Kabupaten Rote Ndao Kecamatan Barat

Laut di desa Hundihuk adalah Kappaphycus alvarezi atau sering dikatakan Sacol.

Jenis ini banyak dibudidayakan karena teknik atau cara pembudidaya yang relatif

mudah, waktu yang relatif singkat, serta metode pasca panen tidak terlalu sulit.

Selain sebagai bahan industri rumput laut jenis ini juga dapat diolah menjadi

bahan makanan yang dapat dikonsumsi secara langsung.

Kabupaten Rote Ndao menyumbang produksi sekitar 6,86% atau 156.816 ton

dari produksi (DJPB 2015). Saat ini baru 6.69% lahan yang telah dimanfaatkan

untuk potensi budidaya rumput laut. (Pemerintah Kabupaten Rote Ndao, 2019),

sehingga masih memungkinkan untuk pendapatan produksi rumput laut di Rote

Ndao, (Andayani, 2018).

2
Kendala yang selalu dihadapi oleh pembudidaya rumput laut saat ini adalah

adanya pencemaran air laut yang disebabkan oleh buangan sampah dan limbah

sehingga pertumbuhan rumput laut yang dibudidaya menjadi terhambat. Lokasi

juga dapat dijadikan sebagai salah satu pemicu pertumbuhan sehingga lokasi yang

berbeda juga dapat dijadikan sebagai rekomendasi mulai pengkajian ilmiah untuk

meningkatkan pendapatan masyarakat khususnya masyarakat pesisir. Berdasarkan

alasan inilah penulis melakukan penelitian tentang “Analisis Laju Penyerangan

Penyakit Ice-Ice Pada Rumput Laut Kappaphycus alvarezii yang Berada di

Desa Hundihuk Kecamatan Rote Barat Laut Kabupaten Rote Ndao.”

1.2. Rumusan masalah

Mengetahui Berapa laju penyerangan penyakit ice-ice pada budidaya rumput

laut yang dibudidayakan oleh masyarakat Rote Barat Laut khususnya di Desa

Hundihuk.

1.3. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui laju penyerangan penyakit Ice-ice

pada budidaya rumput laut di Desa Hundihuk Kecematan Rote Barat Laut.

1.4. Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat

pembudidaya alga laut tentang laju penyerangan penyakit ice-ice pada rumput laut

dalam rangka meningkatkan produksi rumput laut.

3
BAB II

TINJUAN PUSTAKA

2.1. Deskripsi Dan Klasifikasi

Rumput laut jenis Kappaphycus alvarezii telah dibudidayakan dengan cara

diikat pada tali sehingga tidak perlu melekat pada substrat karang atau benda lain

(Jana, 2006) dalam Armita (2011), Selanjutnya Atmadja, dkk (1996), menyatakan

bahwa rumput laut jenis Kappaphycus alvarezii memiliki ciri-ciri yaitu: thallus

silidris, permukaan licin, mempunyai tulang rawan (Cartilagenus), serta berwarna

hijau terang, hijau olivedan coklat kemerahan. Percabangan thallus berujung

runcing atau tumpul, ditumbuhi nodulus (tonjolan-tonjolan) dan duri

lunak/tumpul, percabangan bersifat alternates (berseling), tidak teratur, serta dapat

bersifat dichotomus (percabangan dua-dua) atau trichotomus (atau sistem

percabangan tiga-tiga).

Menurut Jana (2006) dalam Armita (2011) rumput laut jenis Kappaphycus

alvarezii memiliki klasifikasi taksonomi sebagai berikut:

Division : Rhodophyta

Kelas : Rhodophyceae

Bangsa : Gigartinales

Suku : Solierisceae

Marga : Kappaphycus

Jenis : Kappaphycus alvarezii (Doty) Doty

4
Gambar 1. Rumput Laut Kappahycus alvarezii

Sumber : Bhavanath, et.all. (2009)

2.2. Penyakit Ice-ice

Nama “ice-ice” diambil dari bahasa Inggris yang diucapkan dalam bahasa

Melayu yang menggambarkan bagian thallus yang berubah warna dari terang

menjadi pucat transparan dan permukaan thallus berubah menjadi kasar akibat

kehilangan lendir/getah. Selanjutnya timbul bercak atau bintik putih pada bagian

permukaan thallus dan ujung thallus menjadi putih, dan pada akhirnya seluruh

thallus memutih dan patah. Proses pemutihan pada thallus diawali dengan bercak

atau bintik putih yang timbul pada permukaan thallus rumput laut dengan ukuran

bercak yang bervariasi, tergantung dari waktu munculnya. Ukuran bercak atau

bintik ini semakin lama semakin membesar sehingga menyebabkan thallus

rumput laut memutih dan mudah patah. Penyakit ice-ice pada rumput laut ini

disebabkan oleh infeksi bakteri yang terjadi akibat perubahan kondisi lingkungan

5
budidaya seperti suhu dan salinitas sehingga rumput laut menjadi stres dan

pertahanan tubuh rumput laut semakin melemah (Aris, 2011).

Penyakit pada tanaman rumput laut pertama kali diketahui pada athun 1974 di

Filipina dengan gejala yang dilaporkan adanya bercak pada thallus yang terinfeksi

selanjutnya berwarna putih dan mati kemudian hancur. Penyakit ini menyerang

Eucheuma spp. terutama disebabkan oleh adanya perubahan lingkungan arus,

suhu, kecerahan. di lokasi budidaya dan berjalan dalam waktu yang cukup lama.

Penyakit pada rumput laut ini terjadi di daerahdaerah dengan kecerahan tinggi dan

dikenal sebagai ice-ice dengan gejala timbulnya bercak-bercak pada sebagian

thallus, lama kelamaan akan kehilangan warna sampai menjadi putih dan terputus.

Bila dikaitkan dengan penyakit tumbuhan, maka penyakit ice-ice pada

tanaman rumput laut terjadi karena infeksi mikroba pada saat tanaman menjadi

rentan. Kondisi ini disebabkan karena adanya perubahan lingkungan yang ekstrim

dan tidak dapat ditolirir, sehingga tanaman menjadi lemah (tidak sehat). Rumput

laut yang terkena penyakit ice-ice ini sebelumnya memperlihatkan adanya gejala

pertumbuhan yang lambat, permukaan thallus menjadi kasar dan pucat.

Sebagaimana tentang "Aging effect" pada rumput laut yang ditandai dengan

pertumbuhan per satuan waktu. Tanda-tanda ini nampak sebulan atau beberapa

waktu setelah penanaman yang ditandai dengan cabang-cabang tanaman sedikit,

keseluruhan tanaman menjadi pucat dan permukaan thallus menjadi kasar. Bila

keadaan ini terus berlanjut, maka akan terjadi kekeroposan thallus sebagai ciri dari

penyakit ice-ice yang mengakibatkan kegagalan panen. Bercak putih (ice-ice)

merupakan penyakit yang timbul pada musim laut tenang dan arus lemah diikuti

6
dengan musim panas yang dapat merusak area tanaman sampai mencapi 60-80%

dan lamanya 1-2 bulan (Sulistijo, 2002)

Infeksi mikroba penyebab penyakit ice ice sudah menjalar pada lokasi perairan

budidaya di pulau Pari, sehingga semua tanaman rumput laut yang dibudidayakan

di pulau Pari terkena penyakit ice-ice dan menurunkan harga dipasaran.

Terjadinya penyakit dipengaruhi oleh berkembangnya jenis rumput laut lain yang

menempel atau epifit, ini didahului dengan rendahnya unsur hara diperairan

karena dengan berkembangnya rumput laut jenis lain akan mengakibatkan

penurunan unsur hara yang diperlukan oleh pertumbuhan Kappaphycus

(Direktorat Jederal Perikanan 1992). Sampai saat ini belum ada metoda yang

dapat diterapkan untuk mengendalikan penyakit ice-ice tetapi untuk mengurangi

kerugian, maka tanaman harus dipanen sesegera mungkin kalau penyakit telah

berjangkit. Pencegahan penyakit dapat dilakukan dengan memonitor adanya

perubahan-perubahan lingkungan, terutama pada saat terjadinya perubahan

lingkungan disamping itu dilakukan penurunan posisi tanaman lebih dalam untuk

mengurangi penetrasi cahaya sinar matahari (Direktorat Jenderal Perikanan 2004).

Menurut Ditjenkanbud (2005), penyakit rumput laut dapat didefinisikan

sebagai salah satu gangguan fungsi atau terjadi perubahan anatomi atau struktur

yang abnormal, misalnya adanya perubahan dalam laju pertumbuhan dan

penampakan seperti warna dan bentuk. Perubahan ini pada akhirnya berpengaruh

pada tingkat prokdutivitas hasil. Terjadi penyakit umunya disebabkan oleh adanya

perubahan faktor-faktor lingkungan ada adanya interaksi antara faktor lingkungan

(suhu, kecerahan, salinitas dan lain-lain) dengan jasad patogen (organisme yang

7
berperan sebagai penyebab penyakit). Menurut Restiana dan Diana (2009),

peluang budidaya rumput laut didorong beberapa faktor:

1. Alga laut yang dikeringkan dengan proses yang berbeda-beda

mempunyai komposisi nutrisi yang berbeda pula.

2. Alga laut banyak mengandung zat-zat nutrisi penting yang diperlukan

bagi tubuh manusia,seperti protein, karbohidrat, energi dan serat kasar.

3. kandungan lemaknya yang rendah dan serat kasarnya yang cukup

tinggi menyebabkan rumput laut baik untuk dikonsumsi sehari-hari.

Faktor utama penunjang keberhasihan budidaya alga laut adalah pemilihan

lokasi untuk budidaya. Pertumbuhan alga laut ditentukan kondisi ekologi

setempat. Penentuan lokasi yang telah ditetapkan harus sesuai dengan metode

yang akan digunakan. Penentuan lokasi yang salah satu akan berakibat fatal bagi

usaha yang dilakukan (Winarno, 1990). Dalam perkembangan budidaya alga laut

dapat dilakukan beberapa metode. Alga laut dapat dibudidayakan dengan 5

metode yaitu metode lepas dasar, metode dasar, metode rakit apung, metode jalur

(kombinasi), dan metode kantong jaring (Direktorat Jendral Perikanan Budidaya,

2005).

2.3. Pertumbuhan Rumput Laut

Pertumbuhan rumput laut didefisikan sebagai perubahan ukuran suatu

organisme yang dapat berupa berat ataupun panjang dalam waktu tertentu.

Pertumbuhan laga Kappaphycus alvarezii sangat dipengaruhi oleh dua faktor

yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor internal yang berpenaruh

terhadap pertumbuhan alga laut antara lain jenis, galur, bagian thallus dan umur,

sedangkan faktor eksternal yang berpengaruhi antara lain keadaan lingkungan

8
fisik dan kimiawi perairan. Namun demikian selain faktor-faktor tersebut, ada

faktor lain yaitu faktor pengolahan yang dilakukan oleh pembudidya. Faktor

pengolahan oleh manusia dalam kegiatan budidaya rumput laut kadang

merupakan faktor utama yang harus diperhatikan seperti substrat perairan dan

juga jarak tanam bibit (Soegiarto dkk, 1985) dalam Duma (2012).

Penambahan lama pemeliharaan akan menyebabkan persaingan antara thallus

dalam hal kebutuhan cahaya matahari, zat hara dan ruang gerak sehingga tidak

menguntungkan dalam budidaya. Pertumbuhan alga laut sangat dipengaruhi oleh

faktor lingkungan seperti kualitas air, iklim, kecepatan arus, gelombang dan faktor

faktor biologis lainnya. Selain itu juga faktor teknis juga sangat mempengaruhi

alga laut. Pertumbuhan rumput laut akan lebih baik pada daerah yang pergerakan

airnya cukup, karena pergerakan air ini dapat berfungsi memecah lapisan atas dan

menggosongkan air dekat tanaman, sehingga menyebabkan meningkatnya proses

difusi (Soegiarto dkk, 1985) dalam (Duma 2012).

2.4. Budidaya Rumput Laut Kappaphycus alvarezii

Budidaya rumput laut menjadi salah satu prospek di bidang perikanan yang

cemerlang karena selain memiliki nilai jual yang tinggi baik di pasar lokal

maupun internasional juga memiliki banyak kegunaan dari hasil olahan seperti

makanan, industri farmasi, kosmetika dan makanan kesehatan serta substansi

bioaktif yang membuka peluang untuk penemuan obat-obatan. Menurut Sulistijo

(2002) rumput laut merupakan komoditas ekonomis penting yang mempunyai

potensi untuk dibudidayakan di perairan Indonesia terutama dari agarofit

(Glacilaria), karaginofit (Eucheuma dan Kappaphycus) dan alginofit (Sargassum

dan Turbinaria).

9
Menurut Kadi dan Sulistijo (1988) dalam Samad (2011) terdapat 67 jenis

rumput laut yang ditemukan di Kepulauan Karimunjawa. Dari jenis-jenis tersebut,

ada empat marga yang memiliki nilai ekonomis penting yaitu : Eucheuma,

Gracilaria, Hypnea, dan Gelidiopsis. Potensi yang cukup besar adalah marga

Eucheuma dengan kepadatan total mencapai 1356,8 g/m2. Marga rumput laut

Eucheuma dapat menghasilkan karaginan sekitar 54-73 % tergantung dari jenis

dan lokasi tempat tumbuhannya.

Mengingat permintaan pasar yang semakin meningkat maka perlu

mengantisipasi permintaan tersebut dengan cara budidaya. Penentuan kawasan

budidaya rumput laut secara tepat merupakan salah satu kunci keberhasilan usaha

budidaya ini. Dewasa ini penentuan kesesuaian lokasi budidaya dapat mencakup

daerah yang luas dan berkesinambungan.

2.4.1. Metode Budidaya

Pemelihan metode budidaya rumput laut terkait dengan kondisi perairan

dan kondisi skala usaha yang akan diterapakan. Long line adalah metode

yang budidaya rumput laut Kappaphycus alvarezii dengan menggunakan

tali panjang yang dibentangkan.Metode budidaya ini diamati oleh

masyarakat pembudidaya rumput laut di Indonesia.

Keberhasilan budidaya rumput laut sangat tergantung pada pemilihan

lokasi dan metode penanamannya. Metode yang dipilih hendaknya dapat

memberikan pertumbuhan yang menguntungkan, mudah dalam pelaksanaan

dengan bahan yang murah dan mudah didapat, selain itu pertumbuhan

rumput laut juga ditentukan kondisi ekologi setempat. (Hernanto dkk,

2015). Menurut WWF (2014) dalam usaha budidaya rumput laut, sebaiknya

10
lokasi budidaya harus bersih dari hama rumput laut seperti bulu babi,

tripang, bintang laut dan penyu. Penanganan biota-biota tersebut harus

dilakukan dengan cara yang tidak menyebabkan kematian.

Rumput laut membutuhkan lingkungan yang bersih untuk

memperlancar proses fotosintesis dan penyerapan nutrient. Kondisi lokasi

budidaya bebas dari ombak yang kuat atau besar karena dihalangi dengan

karang penghalang. Hai ini sesuai dengan pendapat WWF (2014) bahwa

lokasi budidaya yang menghadap laut lepas sebaiknya terlindung dari

ombak yang kuat hal ini agar tidak merusak kontruksi budidaya dan

tanaman rumput laut.

Dalam perkembangan budidaya rumput laut dapat dilakukan beberapa

metode (Kamla 2012) dalam (Tuiyo 2016) yaitu :

a. Metode Lepas Dasar

Sesuai dengan metodenya, kerangka dasar ditempatkan dekat dasar

perairan dengan menggunakan tali tunggal sepanjang 25 meter. Metode

tali tunggal lepas dasar dilakukan dengan cara mengikat bibit rumput laut

pada tali anak yang telah diikatkan pada tali ris, yang kemudian

dibentangkan di dekat dasar perairan (kurang lebih 30 cm dari dasar

perairan) dengan cara tali ris dibentang kemudian diikat pada patok yang

telah disiapkan. Jarak pengikatan bibit rumput laut yang satu dengan yang

lain berjarak 25 cm. Metode lepas dasar ini secara teknis hampir sama

dengan metode longline, hanya lokasi penempatannya saja yang berbeda.

b. Metode Apung (Long Line)

11
Bibit ditanam pada media tali panjang (tali ris) dengan panjang tali 25

m dengan dua batang kayu pancang sebagai patok dan pengganti jangkar,

sebagai pelampung botol plastik 500 ml. pada tali ris diikat tali anak

sebanyak 100 titik dengan jarak antara tali anak satu dengan yang lainnya

berjarak 25 cm. Botol pelampung diikat pada tali ris dengan jarak 2,5

meter. Jadi pada tali sepanjang 25 meter digunakan botol pelampung

sebanyak 10 botol pelampung. Tri Wijayano (2011).

c. Metode Rakit Apung

Penanaman dengan metode ini, rakit apung yang digunakan terbuat

dari bambu berukuran antara sekitar 2,5x2,5 meter persegi hingga 7x7

meter persegi bergantung pada ketersediaan bambu. Agar rakit apung tidak

terbawah arus maka gunakan jangkar sebagai penahanan atau juga bisa

rakit diikatkan pada patok kayu yang telah ditancapkan didasar laut.

Dalam memasang tali dan juga patok harus memperhitungkan faktor

ombak, arus dan pasang surut air. Metode rakit apung ini cocok dilakukan

pada lokasi budidaya yang memiliki kedalaman 50 cm. Bahan- bahan yang

perluh untuk budidaya dengan metode ini adalah bibit, potongan bambu

yang memiliki diameter sekitar 10 cm, potongan kayu penyiku yang

memiliki diameter sekitar 5 cm, tali raffia, tali ris dengan diameter sekitar

4 mm dan 12 cm, serta jangkar besi, bongkah batu ataupun adukan semen

pasir. Berikut ini adalah tahapan penanaman dengan metode ini.

a. Potong kayu dan bambu dirangkai, kemudian ikatkan jangkar pemberat

dengan tali 12 mm.

12
b. Thallus dengan berat sekitar 100 gram diikatkan pada tali ris dengan

menggunakan tali raffia lalu diberi jarak sekitar 20-30 cm.

c. Jarak antar tali ris yaitu sekitar 50 sedangkan panjang tali ris

disesuaikan dengan panjang rait apung yang digunakan.

d. Tali ris yang telah berisi tanaman diikat pada rakit. Untuk titik tanam

juga disesuaikan dengan ukuran rakit apung. Untuk rakit apung yang

memiliki ukuran 7 meter x 7 meter maka ditanami sekitar 300 titik

tanaman rumput laut.

2.5. Kondisi Fisika –Kimia Perairan

Kondisi perairan sangat menentukan keberhasilan budidaya rumput laut.

Pemelihan perairan yang tetap akan berdampak pada pertumbuhan rumput laut

yang baik. Ada beberapa faktor yang harus di perhatikan dalam budidaya rumput

laut yaitu:

a. Arus

Arus merupakan gerakan mengalir oleh suatu massa air, terjadi akibat

adanya faktor seperti tiupan angin, gerakan gelombang panjang, perubahan

densitas air laut dan pasang surut. Tingkat kesuburan lokasi penanaman

sangat ditentukan oleh adanya gerakan air (berombak dan arus). Menurut

Syamsuddin (2014), arus sangat memengaruhi kesuburan rumput laut

karena melalui pergerakan air, nutrient yang sangat dibutuhkan dapat

tersuplai dan terdistribusi dan dapat meningkatkan konsentrasi oksigen

terlarut. kecepatan arus yang dianggap sesuai untuk budidaya rumput laut

adalah 0,2-0,8 m/detik

13
Kecepatan arus berperan penting dalam perairan, misalnya pencampuran

massa air, pengangkutan unsur hara, transpotasi oksigen. Arus merupakan

faktor yang harus diutamakan dalam pemilihan lokasi budidaya rumput laut

karena arus akan mempengaruhi sedimentasi dalam perairan, yang pada

akhirnya mempengaruhi cahaya. Disamping itu arus berperan penting dalam

ketersediaan oksigen, ketika oksigen cukup dalam perairan maka rumput

laut dapat melakukan respirasi dengan baik secara optimal pada malam hari.

b. Suhu

Suhu merupakan parameter fisik yang dapat memberikan pengaruh

langsungmaupun tidak langsung terhadap perkembangan dan pertumbuhan

biota laut. Suhu adalah pengendali kecepatan reaksi biokimia di dalam

tubuh dan berperan dalam laju metabolisme biota akuatik melalui perubahan

aktivitas molekul yang terkait (Syamsuddin, 2014). Suhu air sangat

berpengaruh terhadap beberapa fungsi fisiologis rumput laut seperti

fotosintesa, respirasi, metabolisme, pertumbuhan dan reproduksi. Kisaran

suhu sangat dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari, salinitas dan arus

global yang masuk keperairan (Rani et al., 2012). Menurut De San (2012),

suhu yang ideal untuk tumbuh adalah 20-320C, namun apabila terjadi

perubahan suhu secara tiba-tiba, walaupun masih berada dalam kisaran suhu

yang ideal, dapat juga berefek negatif terhadap pertumbuhan rumput laut.

c. Derajat Keasaman (pH)

Sutika (1989) dalam Armita (2011) mengatakan bahwa derajat

keasaman atau kadar ion H dalam air merupakan salah satu faktor kimia

yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan organisasi yang hidup di suatu

14
lingkungan perairan. Tinggi atau rendahnya nilai pH air tergantung dalam

beberapa faktor yaitu: kondisi gas-gas dalam air seperti CO 2 konsentrasi

garam-garam karbonat dan bikarbonat, proses dekomposisi bahan organik di

dasar perairan.

Faktor lain yang tidak kalah pentingnya dalam penentuan lokasi yaitu

faktor kemudahan (aksesibilitas), resiko (masalah keamanan) serta konflik

kepentingan (pariwisata, perhubungan dan taman laut nasional). Gambaran

tentang biofisik air laut yang diperlukan untuk budidaya alga penting

diketahui agar tidak timbul masalah yang dapat menghambat usaha itu

sendiri dan mempengaruhi mutu hasil yang dikehendaki. Lahan budidaya

yang cocok terutama sangat ditentukan oleh kondisi ekologis yang meliputi

kondisi lingkungan fisik, kimia dan biologi (Anggadiredja, dkk 2011).

d. Oksigen Terlarut

Oksigen terlarut (DO) merupakan salah satu faktor yang sangat penting

bagi organisme air. DO biasanya dijumpai dalam konsentrasi tinggi pada

lapisan permukaan karena adanya proses difusi oksigen dari udara ke dalam

air. Organisme fotosintetik seperti fitoplankton juga membantu menambah

jumlah kadar oksigen terlarut pada lapisan permukaan diwaktu siang hari.

Penambahan ini disebabkan oleh terlepasnya gas oksigen sebagai hasil dari

fotosintesis. Kelarutan oksigen di perairan sangat penting dalam

mempengaruhi keseimbangan kimia air laut dan juga dalam kehidupan

organisme. Selain itu oksigen dibutuhkan oleh hewan dan tanaman air

termasuk mikroorganisme untuk proses respirasinya. Nilai oksigen terlarut

(DO) yang memenuhi syarat untuk hidup dan tumbuh Kappaphycus

15
alvarezii yaitu 4,5-9,8 mg/L, arus yang mengalir di antara gugusan pulau-

pulau kecil dan luasnya padang lamun berperan penting terhadap relatif

tingginya konsentrasi DO di perairan (Gerung, 2007).

e. Salinitas

Salinitas didefinisikan sebagai jumlah (gr) zat-zat yang larut dalam satu

kilogram air laut, dengan anggapan bahwa semua karbonat telah diubah

menjadi oksida-oksidanya, brom dan jodium digantikan oleh chlor dan

semua bahan-bahan organik telah dioksida dengan sempurna. Salinitas

sangat berperan dalam budidaya rumput laut. Kisaran salinitas yang terlalu

tinggi atau rendah dapat menyebabkan pertumbuhan rumput laut terganggu.

Salinitas juga mempengaruhi penyebaran makroalgae di lautan. Makroalgae

yang memiliki sifat eurihalin akan tersebar lebih luas dibandingkan dengan

makroalgae yang memiliki sifat stenohalin (Alam, 2011). Salinitas menjadi

faktor pembatas rumput laut untuk tumbuh, terutama jika terjadi penurunan

secara drastis. Menurut Anggadiredja dkk (2008) dalam Dima (2013)

menyatakan bahwa salinitas yang optimal bagi pertumbuhan Kappaphycus

alvarezii adalah 28-35%.

f. Kecerahan

Banyak sedikitnya sinar matahari yang menembus ke dalam perairan

sangat tergantung dari kecerahan air. Semakin cerah perairan tersebut akan

semakin dalam cahaya yang menembus ke dalam perairan. Penetrasi cahaya

menjadi rendah ketika tingginya kandungan partikel tersuspensi di perairan

dekat pantai, akibat aktivitas pasang surut dan juga tingkat kedalaman

16
(Hutabarat dan Evans, 2008) dalam (Khasanah, 2013). Berkas cahaya yang

jatuh kepermukaan air, sebagiannya akan di pantulkan dan sebagian akan di

teruskan kedalam air. Jumlah cahaya yang dipantulkan tergantung pada

sudut jatuh dari sinar dan keadaan perairan.

17
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian telah dilaksanakan selama 2 bulan, yaitu pada bulan Agustus-

Oktober 2020, di Desa Hundihuk Kecamatan Rote Barat Laut Kabupaten Rote

Ndao.

Gambar 2: Peta Penelitian.

Sumber: Argis 10.3 (2013)

18
3.2. Alat dan Bahan Penelitian.

Ada pun materi penelitian yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian

No. Alat dan Bahan Satua Kegunaan


n
A Alat
1 Tali nylon M Tali utama/tali ris
2 Tali raffia M Tali ikat bibit pada tali utama
3 Patok atau jangkar M Mengikat tali utama
3 Pelampung utama - Pelampung tanda
4 Topdal m/d Mengukur kecepatan arus
5 Meter rol M Mengukur panjang tali utama
6 Termometer ºC Mengukur suhu
7 pH Meter - Mengukur pH
8 Refraktometer Mengukur salinitas
9 Kamera - Dokumentasi
10 Buku dan bulpoin - Mencatat setiap informasi di
lokasi penelitian
11 Seschi Disk M Mengukur kecerahan
B Bahan

1 Kappaphycus alvarezii Gr Bahan Penelitian

3.3.Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode kuantitatif, maka

dalam rangka mengatahui kecepatan penyakit ice-ice, penelitian yang digunakan

meliputi, menentukan unit pengamatan yaitu populasi Kappaphycus alvarezii

yang menunjukan tanda-tanda terinfeksi penyakit ice-ice.

19
3.4. Prosedur Penelitian

Gambar 3: Konstruksi Metode lepas dasar.

Keterangan:

: Rumput laut Kappaphycus alvarezii


A : Tinggi patok 1 meter
B : Patok dalam substrat dengan kedalaman 40 cm
C : Dasar perairan
D : Jarak dari tali utama dengan dasar perairan 25 cm
E : Tinggi patok dari dasar perairan 60 cm
F : Tali utama dengan panjang 25 meter
G : Jarak ikat bibit 25 cm
H : Pelampung dengan jarak ikat 2 meter
I : Panjang tali pelampung 60 cm
J : Permukaan perairan
K : Jarak tali ris 30 cm
Dalam penelitian ini akan di lakukan beberapa tahap, yaitu:

20
a. Tahap persiapan

1. Melakukan observasi di desa Hundihuk, jenis-jenis rumput laut apa

saja yang dibudidaya oleh masyarakat pembudidaya di desa

Hundihuk Kecamatan Rote Barat Laut.

2. Penentuan berat bibit awal (100 gram) per titik.

3. Desain model budidaya akan menggunakan metode lepas dasar.

4. Metode lepas dasar terdiri dari 3 tali dari masing-masing tali di

ikat 100 bibit rumput laut. Jarak antara bibit rumput laut 25 cm.

5. Pemilihan bibit rumput laut untuk budidaya harus benar-benar

sehat. Ciri bibit yang sehat adalah memiliki thallus dan tekstur

yang elastis, berwarna cerah, bercabang banyak dengan permukaan

yang halus dan mengkilat, thallus bersih dan bebas dari kotoran

dan epefit. Bibit yang baik umumnya diambil dekat bagian ujung

rumpun yang sehat, berat bibit untuk tanaman uji sebesar 100 gram

per rumpun.

b. Tahap Penanaman

1. Panjang tali utama 25 meter.

2. Patok ke dasar perairan dengan kedalaman 40.

3. Pada masing-masing tali utama diikat bibit, dengan jarak antara

bibit 25 cm.

4. Kemudian diberikan pelampung dengan jarak 2 meter.

5. Setelah semua tali ris terisi bibit maka segera diangkut ke lokasi

budidaya.

21
c. Pengumpulan Data

Pengamatan lingkungan perairan dilakukan pada pagi atau sore selama 7

kali pengamatan. Parameter lingkungan perairan yang diamati meliputi

parameter fisika dan kimia. Parameter fisika yang diamati adalah suhu,

arus, kecerahan yang diukur langsung di lapangan. Suhu diukur dengan

menggunakan thermometer, kecerahan diukur dengan menggunakan

Secchidisc. Parameter kimia yang diamati adalah Salinitas, oksigen terlarut

(DO) dan pH. Salinitas diukur dengan menggunakan hand refraktometer,

DO diukur dengan menggunakan DO meter, dan pH diukur dengan

menggunakan pH meter.

Pengamatan penyakit Ice-ice dilakukan sebanyak 7 kali selama 49 hari.

Untuk menghitung insiden penyakit, pengamtan di lakukan terhadap semua

bibit yang ditanam. Untuk intesitas infeksi penyakit, pengamatan dilakukan

terhadap 20% dari jumlah bibit setiap tali. Pada setiap tali terdapat 100

bibit, pengamatan tersebut cuman mengambil 20 bibit dari setiap talinya

untuk diamati.

3.5.Analisis Data

a. Insiden dan Intensitas Penyakit (ice-ice)

Pengukuran dan perhitungan jumlah penyakit yang menyerang rumput laut

Kappaphycus alvarezii dan dihitung menggunakan rumus yang dikemukakan

oleh Tisera, (2009).

1. Insiden penyakit Ice-ice

Jumlah Tanaman yang terinfeksi


Insiden = X 100%
Jumlah total tanaman

22
2. Intensitas infeksi penyakit Ice-ice

jumlah cabang yang terinfeksi


Infeksi = X 100%
jumlah total cabang.

Idt – Ido
3. Laju Insiden: Id =
t

Id : Laju Insiden
Idt : Insiden minggu ke-t
Ido : Insiden awal
t : waktu pengamatan

Ist – Iso
4. Laju Intesitas: Is =
t

Is : Laju Intensitas
Ist : Intensitas minggu ke-t
Iso : Intensitas awal
t : Waktu pemeliaraan

23
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHSAN

4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Desa Hundihuk merupakan salah satu Desa yang berada di kecematan Rote

Barat Laut letaknya di daerah pesisir atau sebagian besar dari desa Hundihuk

berhadapan langsung dengan laut.

Secara geografis Desa Hundihuk memiliki batas wilayah sebagai berikut

a. Bagian barat berbatasan dengan Desa Oelua

b. Bagian Utara berbatasan dengan Laut Sawu

c. Bagian Timur Berbatasan dengan Desa Netenaen

d. Bagian Selatan Berbatasan dengan Desa Ingguinak

Masyarakat Desa Hundihuk sebagian besar bertempat tinggal di pesisir

pantai. Kehidupan masyarakat desa Hundihuk pada umumnya berprofesi sebagai

petani dan nelayan.

Masyarakat membentuk kelompok tani rumput laut di Desa Hundihuk

tedapat dua kelompok yang pertama kelompok Bapak Adi Giri dan kelompok

kedua ibu Martha. Kedua kelompok tersebut masih melakukan budidaya rumput

laut sampai sekarang.

Masyarakat Hundihuk melakukan kegiatan budidaya rumput laut jenis Sacol

(Kappaphycus alvarezii) dengan menggunakan metode lepas dasar. Dimana sesuai

dengan jenis subtrat di perairan Desa Hundihuk yaitu subtrat berpasir bagian barat

pantai Hundihuk terdapat pulau dengka yang menjadikan perairan Hundihuk

relatif tenang sehingga cocok budidaya rumput laut karena letaknya yang

terlindung dari hampasan gelombang dan arus. Perairan Hundihuk memiliki

24
perairan yang sangat dangkal sehingga masyarakat membentuk lilifuk. Lilifuk

merupakan kawasan di laut berbentuk kolam yang tergenang saat surut sehingga

rumput laut dapat terendam dalam air laut dan tidak terkena langsung sinar

matahari secara langsung

Jarak lokasi budidaya rumput laut dari pantai ±400-500 m. Jarak tersebut

memberikan peluang tersendiri bagi masyarakat Desa Hundihuk dan sekitarnya

untuk melakukan kegiatan yang berkaitan dengan perikanan baik budidaya rumput

laut maupun penangkapan ikan. Daerah lokasi budidaya di Desa Hundihuk

merupakan daerah laut lepas, kondisi lokasi budidaya seperti laut lepas ini tidak

memberikan kontribusi besar karena dapat terjadinya gelombang besar serta angin

yang kencang. Untungnya Lokasi budidaya di desa Hundihuk terdapat karang

penghalang yang berfungsi sebagai pelindung tanaman dari kerusakan akibat

ombak yang kuat. Ombak yang kuat juga dapat menyebabkan keruhnya perairan

di lokasi budidaya sehingga akan menganggu proses fotosintesis dan tertutupnya

permukaan thallus tanaman, WWF (2014). Lokasi budidaya dapat dilihat pada

Gambar 4.

Gambar 4. Lokasi penelitian Perairan Desa Hundihuk

Sumber Dokumentasi Pribadi 2020

25
Metode yang digunakan yakni metode lepas dasar dengan dasar perairan di

lokasi budidaya substratnya pasir dan terdapat tumbuhan yang hidup serta

berasosiasi seperti lamun di sekitar lokasi budidaya. Hal ini sesuai pernyataan

WWF (2014) bahwa lokasi budidaya rumput laut perlu adanya rumput laut alami

dan atau lamun mengindikasikan lokasi tersebut sesuai untuk budidaya rumput

laut.

4.2. Insiden dan Intensitas Penyakit Ice-ice

4.2.1. Insiden Penyakit ice-ice

Insiden penyakit merupakan gambaran umum tentang frekuensi suatu

penyakit yang ditemukan pada suatu waktu dan tempat tertentu. Menurut

DITJENKABUD (2005) bahwa penyakit rumput laut dapat didenfinisikan sebagai

salah satu gangguan fungsi atau terjadinya perubahan anatomi atau struktur yang

abnormal, misalanya adanya perubahan dalam laju pertumbuhan penampakan

seperti warna dan bentuk.

Hasil penelitian selama 49 hari yang dilaksanakan di Desa Hundihuk

diperoleh data Insiden Infeksi penyakit. Hasil pengamatan diperoleh bahwa

serangan ice-ice banyak terjadi pada minggu ke-3. Hasil pengamatan dapat dilihat

pada Gambar 5.

26
40.0
34
Inisiden penyakit ice-ice
35.0
31 26.285714285
30.0 27.7 26.3 7142
23.7 24.3
25.0
(%)

20.0 17
15.0
10.0
5.0
0.0

Gambar 5. Insiden Penyakit ice-ice di Perairan Desa Hundihuk

Pada Gambar 5 menunjukkan insiden penyakit ice-ice hasil pengamatan

secara morfologis selama 49 hari di perairan Hundihuk. Bahwa gejala insiden

Penyakit ice-ice pada hari ke-7 telah terjadinya penyerangan infeksi ice-ice,

diduga karena rumput laut belum terbiasa atau masih beradaptasi dengan

lingkungan serta adanya perubahan dari parameter kualitas perairan yang ekstrim

seperti kecepatan arus, suhu, salintas dan kecerahan sebagai indikator utama

penyebab serangan ice-ice. Menurut Neksidin (2013) mengatakan parameter

perairan memiliki pengaruh yang sangat penting bagi pertumbuhan rumput laut

sedangkan Susilowati dkk. (2012) meyatakan pada kegiatan budidaya rumput

laut, air merupakan media untuk hidup oleh sebab itu kualitas air yang baik dan

sesuai sangat diperlukanan untuk menunjang keberhasilan budidaya rumput laut.

Menurut Largo et al. (1995) selain serangan hama, rumput laut dapat stress

dikarenakan perubahan kondisi lingkungan yang mendadak yaitu perubahan

salinitas, suhu air, kecepatan arus dan intensitas cahaya, dapat menjadi faktor

utama yang memacu timbulnya penyakit ice-ice.

27
Perhitungan rata-rata penyakit ice-ice yang menyerang rumput laut

Kappaphycus alvarezii dengan ini insiden penyakit terendah sebesar 17,0% pada

minggu ke-I sedangkan insiden tertinggi dengan nilai 34,0% pada minggu ke-3.

hal ini diduga pada minggu pertama kondisi alga masih dalam keadan baik serta

daya tahan alga masih stabil dan kondisi parameter yang normal untuk

pertumbuahan rumput laut. sedangkan pada minggu ke-3 dimana insiden penyakit

rumput laut sangat tinggi ini diduga bahwa pada minggu ke-3 serangat penyakit

ice-ice sangat tinggi dan banyaknya lumpur dan kotoran seperti rumput yang

menempel pada rumput laut yang mengakibatkan rumput laut tidak bisa

menyerap unsur hara dan memperlambat fotosintesis serta diikuti oleh faktor

parameter yang tidak normal. Pada minggu ke-4 serangan penyakit ice-ice mulai

menurun ini diduga bahwa rumput laut mulai tumbuh dan daya tahan imun yang

tinggi serta didukung dengan faktor parameter perairan yang sesuai dengan

pertumbuhan alga laut.

Pertumbuhan rumput laut terganggu juga karena kehadiran epifit dan

kotoran atau lumpur. Hal ini ditemukan keberadaan partikel lumpur yang melekat

pada thallus rumput laut disetiap rumpun pada saat pengontrolan maupun pada

saat pengukuran yang menggangu proses fotosintesis dengan penelitian yang

dilakukan arjuni dkk. (2018) yaitu jarak titik tanam sangat mempengarui

pertumbuhan dan kehadiran penyakit, karena semakin kecil jarak memudahkan

bagi tanaman epifit dan lumpur untuk melekat pada rumpun.

Infeksi penyakit ice-ice mulai menurun pada minggu ke-4 hal ini diduga

bahwa rumput laut mulai tumbuh dan sudah terbiasa dengan faktor lingkungan

semakin rendah tingkan invasi penyakit maka semakin tinggi tingkat keberhasilan

28
budidaya rumput laut untuk menghilang talus yang terkena penyakit ice-ice

pembudidaya biasanya memotong segmen yang terkena mulai terlihatnya dampak

penyakit ice-ice.

4.2.2. Intensitas Penyakit ice-ice

Intensitas serangan penyakit mencakup incidence, severity, dan kehilangan

hasil. Intensitas adalah jumlah unit tanaman yang terinfeksi yang digambarkan

dalam persentase unit tanaman yang terserang penyakit. Penyakit yang sering

menyerang rumput laut adalah ice-ice. Penyakit biasanya ditandai dengan bintik

atau bercak merah atau adanya perubahan warna pada cabang dan akan berwarna

putih dan hancur. Perubahan faktor-faktor lingkungan dan adanya interaksi faktor

lingkungan yang tidak stabil akan berperan sebagai penyebab terjadinya penyakit

ice-ice.

Data intensitas penyakit pada lokasi budidaya rumput laut selama 7 minggu

dapat dilihat pada lampiran 1. Grafik intensitas penyakit disajikan pada Gambar

6.

2.5 2.3
Intensitas Penyakit ice-ice

2.0 1.8

1.5
(%)

1.2 1.3
1.0 0.9 1.0
1.0
0.7
0.5

0.0
1 2 3 4 5 6 7 ta
u u u u u u u ra
gg gg gg gg gg gg gg ata
-
in in in in in in in R
M M M M M M M

Gambar 6. Intensitas Penyakit ice-ice di Perairan Desa Hundihuk

29
Gambar 6 menjukan bahwa intensitas penyakit yang ditemukan tiap

minggunya mengalami perbedaan dimana pada minggu ke-I penyakit ice-ice

mulai muncul menyerang tanaman rumput laut. Hal ini diduga rumput belum

belum beradaptasi dimana rumput laut yang mampu beradaptasi akan terus

tumbuh dan yang tidak mampu beradaptasi daya tahan hidupnya akan melemah

kondisi ini yang memicunya terjadinya penyakit ice-ice. Serangan penyakit ice-

ice dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Penyakit ice-ice dan kotoran yang memnempel di Perairan Desa

Hundihuk

Sumber Dokumentasi Pribadi 2020

Penyakit ice-ice terinfeksi pada minggu ke-I dan pada minggu selanjutnya

intensitas penyakit tidak menentu dan adapun yang menurun. Dimana intensitas

penyakit tertinggi berada pada minggu ke-3 sebesar 2,3% sedangkan nilai

intensitas terendah terjadi pada minggu ke-1 dengan nilai sebesar 0.7%. Pada

minggu ke-4 intensitas penyakit mulai menurun sampai ke minggu ke-7 ini

diduga bahwa pada minggu ke-4 rumput laut mulai dalam proses penyesuaian

atau mulai beradaptasi dan didukung oleh faktor lingkungan sedangkan pada

minggu ke-3 Serangan penyakit ice-ice cukup tinggi ini diduga bahwa pada

minggu ke-3 parameter perairan tidak sesuai dengan pertumbuahan rumput laut

30
dimana salinitas 37 ppt, dan kecepatan arus 0,91 m/detik pada paramater perairan

seperti ini rumput laut Kappaphycus alvarezzi menjadi stres dan tidak mampu

beradaptasi dengan lingkungan. Hal ini sesuai dengan pendapat Largo dkk.

(1995) dalam Arisandi dan Farid (2014) mengatakan bahwa penyebab ice-ice

adalah perubahan lingkungan yang tidak sesuai untuk pertumbuhan dan

menurunya daya tahan rumput laut. Selain itu, rumput laut yang muncul ke

permukaan menerima panas matahari secara langsung sehingga rumput laut

menjadi pucat dan mudah terserang bakteri.

4.2.3. Laju Insiden Penyakit ice-ice

Dari hasil penelitian bahwa laju insiden penyerangan penyakit pada rumput

laut Kappaphycus alvavrezii pada setiap minggunya relatif tidak sama hasil

penelitian dapat dilihat pada Gambar 8.

4.00
3.64
3.50
Laju insiden penyakit ice-ice (%)

3.00 2.86

2.50
2.00
2.00 1.86
1.50
1.50
1.04 1.09
1.00 0.90

0.50

0.00
1 2 3 4 5 6 7 ta
u u u u u u u ra
ngg ngg ngg ngg ngg ngg ngg ata
-
i i i i i i i R
M M M M M M M

Gambar 8. Laju Insiden Penyakit ice-ice di Perairan Desa Hundihuk

31
Berdasarakan Gambar 8. Laju insiden penyakit ice-ice relatif berbeda atau

tidak sama pada setiap minggunya. Laju insiden tertinggi terjadi pda minggu ke-3

dengan nilai 3,64% / minggu sedangkan nilai terendah dengan nilai 0,90% /

minggu yang terjadi pada minggu ke-7 pada minggu ke-4 laju insiden mulai

menurun menurun sampai minggu ke-7 dengan nilai 0,90% / minggu ini didugah

bahwa pada minggu ke-4 sampai minggu ke-7 rumput laut dalam masa

pertumbuhan yang baik dan didukung oleh faktor parameter perairan sedangkan

pada minggu ke-3 rumput lau Kappaphycus alvarezii tidak mampu beradaptasi

dengan faktor lingkungan dengan adanya penempelan lumpur dan rumput yang

menempel pada talus rumput laut yang dapat membuat pertumbuhan rumput laut

menjadi terhambat dan dapat menyebabkan terjadi serangan parasit dan penyakit

ice-ice.

4.2.4. Laju Intensitas Penyaki ice-ice

Dari hasil penelitian bahwa laju intensitas penyerangan penyakit pada

rumput laut Kappaphycus alvarezii pada setiap minggunya relatif tidak sama hasil

penelitian dapat dilihat pada Gambar 9.

32
10.00 9.21
9.00
7.86
Laju intensitas penyakit ice-ice 8.00
7.00
6.00
5.00 4.41
3.84
(%)

4.00
3.00
1.82
2.00 1.17 1.29
1.14
1.00
0.00
1 2 3 4 5 6 7 ta
u u u u u u u ra
gg gg gg gg gg gg gg ata
-
in in in in in in in R
M M M M M M M

Gambar 9. Laju Intensitas penyakit ice-ice di Perairan Desa Hundihuk

Berdasarakan Gambar 9. Laju intensitas penyakit ice-ice relatif berbeda

atau tidak sama pada. Laju intensitas tertinggi terjadi pada minggu ke-3 dengan

nilai 9.21 / minggu sedangkan nilai terendah dengan nilai 1,14% / minggu ini

diduga bahwa pada minggu ke-6 rumput laut sedang dalam pertumbuhan yang

baik dan didukung oleh faktor parameter perairan sedangkan pada minggu ke-3

rumput laut Kappaphycus alvarezii tidak mampu beradaptasi dengan faktor

lingkungan. Adaynya perubahan lingkungan di lokasi budidaya dapat memicu

terjadinya penyakit ice-ice. Adanya penempelan lumpur dan rumput yang

menempel pada talus rumput laut yang dapat membuat pertumbuhan rumput laut

menjadi terhambat karena itu rumput laut tidak bisa berfotosintesis dengan baik

dan juga tidak mampu menyerap unsur hara dan terjadinya kekeruhan yang

diakibatkan oleh arus.

33
4.3.Kondisi Fisika-Kimia Perairan

4.3.1. Suhu

Pengukuran suhu di lakukan selama 7 kali dalam rentan waktu 7 minggu

pada lokasi penelitian Desa Hundihuk yang diukur pada waktu penelitian.

Pengukuran suhu tersebut untuk mengetahui daya tahan dari rumput laut jenis

Kappapychus alvarezii laju penyerangan penyakit ice-ice dengan menggunakan

metode lepas dasar.

50
45
40
35
29 29
30 27 26 26
25 25
Suhu °C

25
20
15
10
5
0
Minggu Minggu Minggu Minggu Minggu Minggu Minggu
1 2 3 4 5 6 7

Gambar 10. Rata-Rata Suhu di Lokasi Perairan di Desa Hundihuk

Gambar 10 menunjukkan bahwa pengukuran suhu yang diperoleh selama 7

kali pengamatan 7 hari-49 hari di lokasi penelitian sangat beragam. Nilai kisaran

suhu tertinggi terjadi pada minggu ke-1 dan 3 dengan nilai 29ºC dan kisaran suhu

terendah pada minggu ke-2 dan ke-6 dengan nilai 25ºC, dan pada minggu ke-4

dengan nilai 27ᵒC sedangkan kisaran suhu pada minggu ke-5 dan ke-7 dengan

nilai 26ºC. Menurut WWF (2014) menyatakan bahwa suhu perairan yang baik

untuk budidaya rumput laut adalah 25oC-32oC. Selanjutnya dikatakan kenaikan

34
suhu akan mengakibatkan thallus rumput laut menjadi pucat kekuning-kuningan

yang menjadikan rumput laut tidak tumbuh dengan baik. Dengan demikian maka

dapat disimpulkan bahwa suhu dilokasi penelitian perairan Desa Hundihuk berada

pada kisaran normal untuk pertumbuhan Kappaphycus alvarezii.

4.3.2. Kecerahan

Kecerahan suatu perairan menentukan banyaknya sinar matahari yang

masuk kedalam badan air dan menembus lapisan air yang lebih dalam dan

berhubungan dengan sinar matahari yang masuk kedalam air dan dapat

dimanfaatkan oleh tumbuhan untuk melakukan fotosintesis. Tingkat kecerahan

pada lokasi penelitian selama 49 hari pengamatan di desa Hundihuk mencapai

dasar perairan 2-4 m. Kondisi perairannya sangat cerah dan konstan dari awal

sampai akhir penelitian. Menurut Febrianto (2007) dalam Bulu (2014), bahwa

kecerahan yang ideal untuk pertumbuhan rumput laut lebih dari 1 meter. Dengan

demikian kecerahan selama penelitian masih memenuhi syarat untuk pertumbuhan

alga.

4.3.3. Kecepatan Arus

Hasil pengamatan selama 49 hari (7 kali) diperoleh data kecepatan arus

terlihat pada Gambar 11.

35
1 0.93 0.91
0.88 0.9
0.9 0.75000000000
0.75000000000
0.710000000000001 0001
Kecepatan arus 0.8 0001
(m/detik) 0.7
0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
Minggu Minggu Minggu Minggu Minggu Minggu Minggu
1 2 3 4 5 6 7

Gambar 11. Rata-rata Kecepatan Arus Perairan di Desa Hundihuk

Gambar 11 menunjukkan hasil pengukuran di lokasi penelitan selama 7

minggu penelitian dari minggu ke-1 sampai minggu ke-7 diperoleh nilai

kecepatan arus di lokasi budidaya dengan nilai tertinggi rata-rata kecepatan

arus adalah 0.93 m/detik pada pengamatan pada minggu ke-1, sedangkan

terendahnya terdapat pada minggu ke-4 yakni 0,71 m/detik. Kondisi arus pada

gambar 11 menunjukan bahwa arus pada lokasi penelitian cukup tinggi

sehingga sangat berpengaruh pada pertumbuhan alga laut. Hal ini berbeda

dengan pendapat Dewi (2011), bahwa arus yang baik untuk budidaya rumput

laut berkisar antara 0,2–0,8 m/detik, bila arus yang tinggi dapat dimungkinkan

terjadi kerusakan tanaman budidaya, seperti dapat patah, robek, ataupun

terlepas dari subtratnya. Kecepatan arus berperan penting dalam perairan,

misalnya pencampuran massa air, pengangkutan unsur hara, transpotasi

oksigen. Arus merupakan faktor yang harus diutamakan dalam pemilihan

36
lokasi budidaya rumput laut karena arus akan mempengaruhi sedimentasi

dalam perairan yang pada akhirnya mempengaruhi cahaya.

4.3.4. Salinitas

Parameter kimia lain yang sangat berperan dalam budidaya alga laut adalah

salinitas. Salinitas merupakan salah satu faktor yang penting bagi pertumbuhan

alga. Mekanisme osmoregulasi pada alga dapat terjadi dengan mengunakan asam

amino atau jenis-jenis karbonhidrat, kisaran salinitas yang rendah dapat

menyebabkan pertumbuhan alga tidak normal. Hasil pengukuran salinitas dilokasi

budidaya alga Kappapycus alvarezii dapat dilihat pada Gambar 12.

50
45
40 37 37 36 37
35 35 35
35
30
Salinitas (ppt)

25
20
15
10
5
0
Minggu Minggu Minggu Minggu Minggu Minggu Minggu
1 2 3 4 5 6 7

Gambar 12. Kisaran Salinitas di Lokasi Budidaya Rumput laut Selama Penelitian

di Perairan Desa Hundihuk.

Gambar 12 menunjukkan bahwa nilai rata-rata salinitas pada lokasi

penelitian di Desa Hundihuk yaitu dengan nilai tertinggi adalah 37 ppt pada

pengamatan minggu ke-1, 3 dan 5 sedangkan kisaran salinitas terendah pada

minggu ke-2 , 6 dan 7 dengan nilai 35 ppt. Kisaran salinitas dilokasi penelitian

37
tinggi dikarenakan lokasi penelitian jauh dari muara sungai. Menurut

Prasetyarto dan Suhendar (2010) mengatakan bahwa tinggi rendahnya kadar

garam (salinitas) sangat tergantung pada banyak sedikitnya sungai yang

bermuara ke laut, makin banyak sungai yang bermuara ke laut maka salinitas

laut akan rendah, dan sebaliknya makin sedikit sungai yang bermuara ke laut

maka salinitasnya akan tinggi. Salinitas sangat berperan aktif pada

pertumbuhan rumput laut Kappaphycus alvarezii. Menurut Anggadiredja dkk

(2008) dalam Dima (2013) menyatakan bahwa salinitas yang optimal bagi

pertumbuhan Kappaphycus alvarezii adalah 28-35%. Maka hal ini dapat

disimpulkan bahwa Pertumbuhan rumput laut Kappaphycus alvarezii tidak

sesuai dengan kondisi perairan tersebut.

4.3.5. Derajat Keasaman

Derajat keasaman adalah salah satu parameter lingkungan yang sangat

mempengaruhi organisme dalam perairan. Konsentrasi pH (derajat keasaman)

perairan di lokasi budidaya alga Kappapycus alvarezii dapat dilihat pada Gambar

13.

38
9
7.9 8
8 7.5 7.5 7.5
6.9
7 6.5
6
5
4
pH

3
2
1
0
Minggu Minggu Minggu Minggu Minggu Minggu Minggu
1 2 3 4 5 6 7

Gambar 13. Kisaran pH Perairan selama Penelitian di Desa Hundihuk

Gambar 13 menunjukkan hasil pengukuran pH dapat dijelaskan bahwa

pengukuran pH di lokasi Desa Hundihuk pada minggu yang ke-4 dengan nilai

kisaran tertinggi 8 dan nilai kisaran terendahnya 6,5 pada minggu ke-1. Hal ini

diduga bahwa pH (derajat keasaman) sangat mempengaruhi proses pertumbuhan

rumput laut Kappapycus alvarezii. Menurut WWF (2014) mengatakan nilai pH

yang masih layak untuk penanaman rumput laut adalah kurang lebih 7-8,5.

Perubahan pH akan mempengaruhi keseimbangan kandungan karbondioksida

(CO2) yang dapat mempengaruhi kehidupan biota laut secara umum. Dengan

demikian maka kisaran pH pada lokasi penelitian pada minggu ke-1 dan 6 tidak

sesuai untuk pertumbuhan alga Kappaphycus alvarezii.

4.4.6. Oksigen terlarut

Oksigen Terlarut (DO) adalah salah satu parameter lingkungan yang sangat

mempengaruhi organisme dalam perairan untuk proses respirasi. Oksigen terlarut

dalam air umumnya didapat dari difusi oksigen, arus atau aliran air melalui air

39
hujan dan fotosintesis. Konsentrasi DO (oksigen terlarut) perairan di lokasi

budidaya alga Kappapycus alvarezii dapat dilihat pada Gambar 14.

8 7.29 7.47 7.25


7
7 6.38
6.21
6 5.46
5
Oksigen terlarut

4
(ppm)

0
Minggu Minggu Minggu Minggu Minggu Minggu Minggu
1 2 3 4 5 6 7

Gambar 14. Kisaran DO Perairan selama Penelitian di Desa Hundihuk

Tumbuhan air dapat menghasilkan oksigen sendiri yang dubutuhkan oleh

hewan atau tumbuhan air itu sendiri. Khususnya fitoplankton juga membantu

menambah jumlah kadar oksigen terlarut pada lapisan permukaan di waktu siang

hari sebagai hasil dari fotosintesis. Hasil pengukuran oksigen terlarut (DO) di

perairan Desa Hundihuk selama penelitian sangat berfariasi diataranya nilai

tertinggi terjadi pada minggu ke-3 dengan nilai kisaran 7,47mg/L sedangkan nilai

terenda sebesar 5,46 mg/L pada minggu ke-5. Nilai oksigen terlarut (DO) yang

memenuhi syarat untuk hidup dan tumbuh Kappaphycus alvarezii yaitu 4,5-9,8

mg/L, arus yang mengalir di antara gugusan pulau-pulau kecil dan luasnya padang

lamun berperan penting terhadap relatif tingginya konsentrasi DO di perairan

(Gerung, 2007).

40
BAB V

PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan dari hasil penelitian yang telah dilakukan pada lokasi perairan

Desa Hundihuk dengan menggunakan metode lepas dasar maka dapat

disimpulkan bahwa:

1. Budidaya rumput laut Kappaphycus alvarezii di perairan Desa Hundihuk

belum mampu mengurangi terjadinya penyerangan penyakit ice-ice.

2. Laju Intensitas penyakit ice-ice tertinggi terdapat pada minggu ke-3

sedangkan laju intensitas penyakit ice-ice terendah terjadi pada minggu

ke-6. Laju insiden penyakit ice-ice tertinggi juga terjadi pada minggu ke-3

sedangkan laju insiden penyakit ice-ice terendah terjadi pada minggu ke-7

3. Parameter perairan di perairan Desa Hundihuk yaitu salinitas, dan

kecepatan arus, berada pada kisaran yang kurang normal untuk

pertumbuhan rumput laut Kappaphycus alvarezii, kecuali suhu, derajat

keasama (pH), DO, dan Kecerahan yang optimal untuk pertumbuhan

rumput laut.

41
5.2. Saran

1. Perluh dilakukan penelitian lanjutan tentang musim tanam yang berbeda

kesesuaian lahan budidaya dan faktor terjadinya penyakit ice-ice yang

berada di tempat yang sama untuk melihat pertumbuhan alga

Kappaphycus alvarezii.

42
DAFTAR PUSTAKA

Abdan, R., dan Ruslaini, 2013. Jurnal Mina Laut Indonesia III (12).

Alam, A.A. 2011. Kualitas Karaginan Rumput Luat Jenis Eucheuma spinosum di
Perairan Desa Punaga Kabupaten Takalar. Skripsi. Jurusan Ilmu Kelautan.
Universitas Hasanuddin Makassar. Makassar. 45 Hlm

Andayani, A. Dan Pamungkas A., 2018. Identifikasi Potensi Kesesuaian untuk


Budiday Rumput Laut di Teluk Mulut Seribu, Rote Ndao, Nusa Tenggara
Timur. Media Akuakultur, 13 (2), 2018.99-107. Pusat Riset Perikanan.

Anggadiredja J., Zatnika T., Purwoto A., Istini H.,S., 2006. Rumput Laut. Peneba
Swadaya Jakarta. 147 hlm.

Anggadiredja, J. T, A. Zatnika, H. Purwonto Dan S. Istina, 2011. Seri Agribisnis


Rumput Laut. Penebar Swadaya. Jakarta.

Aris, M. 2011. Identfikasi, Patogenisitas Bakteri dan Pemanfaatan Gen 16S-RNA


Untuk Deteksi Penyakit Ice-ice pada Budidaya Rumput Laut.
(Kappaphycus alvarezii). Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor.Bogor. 33-35 Hlm.

Arisandi, A Dan A. Farid. 2014. Dampak Faktor Ekologis Terhadap Sebaran


Penyakit ice-ice Jurnal Kelautan 7 (1): 20-25

Arjuni, A., N. Cokrowati Dan Rusman. 2018. Pertumbuhan Rumput Laut


Kappaphycus alvarezii Hasil Kultur Jaringan. Jurnal Biologi Tropis, 18
(2): 216-223

Armita, D. 2011. Analisis Perbandingan Kualitas Air di Daerah Budidaya Rumput


Laut dengan Daerah Tidak Ada Budidaya Rumput Laut di Dusun
Malelaya, Desa Punaga, Kecematan Mangarabombang, Kabupaten
Takalar.[Skripsi}. Progam Studi Manajemen Symberdaya Perairan
Jurusan Perikanan Fakultas Ilmu Kelauatan dan Perikanan Universitas
Hasanuddin Makassar, 62 Hlm.

BPS, 2018. Kabupaten Rote Ndao dalam Angka 2018.

Bulu D. S., 2014. Pengaruh Kedalaman Terhadap Pertumbuhan Alga Laut


Eucheuma Denticulatum Yang Dibudidayakan di Desa Patiala Bawa
Kecamatan Lamboya Kabupaten Sumba Barat. Fakultas Perikanan Dan
Ilmu Kelautan, Universitas Kristen Artha Wacana Kupang. 74 Hal.

Dama. Y. F., 2016. Analisis Kesesuaian Lahan Budidaya Rumput Laut di


Kelurahan Sulamu Kecamatan Sulamu Kabupaten Kupang. Skripsi.

43
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Kristen Artha Wacana
Kupang. 50 Hal

De San, M. 2012. The Farming of Seawed. Implementation a Regional Fisheries


Stategy for The Eastern-Southern Africa and Indian Ocean Region. Smart
Fish Programme Report SF 30:11–12.

Dewi A. 2011. Analisis Perbandingan Kualitas Air di Daerah Budidaya Rumput


Laut Dengan Daerah Tidak Ada Budidaya Rumput Laut, Di Dusun
Malelaya, Desa Punaga, Kecamatan Mangarabombang, Kabupaten
Takalar. Skripsi. Jurusan Perikanan. Institut Pertanian Bogor.

Dima, K. 2013. Pengaruh Penggunaan Pupuk Organik Cair M-8 Dengan Dosis
Berbeda Terhadap Pertumbuhan Alga Laut Kappaphycus Alvarezii
(Doty) Doty Yang Dibudidayakan Dengan Metode Long Line Di Perairan
Pantai Desa Bolok. Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan. Universitas
Kristen Artha Wacana. Kupang. 62 Hal.

Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (Ditjenkanbud). 2015. Profil Rumput


Laut Indonesia. Jakarta. Hal 169

Direktorat Jendral Perikanan Budidaya, 2015. Profil rumput laut di Indonesia.


Direktorat Pembudidayaan Departemen Kelautan dan Perikanan.

Duma. La Ode. 2012. Pemeliharaan Rumput Laut Jenis Kappaphycus alvarezii


dengan Menggunakan Metode Vertikultur Pada berbagai kedalaman dan
Berat Bibit Awal yang Berbeda di Perairan Desa Langkule Kecamatan Gu
Kabupaten Buton. Skripsi. Jurusan Perikanan. Universitas Haluoleo. 54
Hal.

Gerung, G.S. 2007. Study on The Environment and Trials Cultivation of


Kappaphycus and Eucheuma in Nain Island, Indonesia. Faculty of
Fisheries and Marine Science. Sam Ratulangi University, Manado. 54 p.

Khasanah, U., 2013. Analisis Kesuaian Perairan Untuk Lokasi Budidaya Rumput
Laut Eucheuma cottonii di Perairan Kecamatan Sajoanging Kabupaten
Wajo. Skripsi. Jurusan Ilmu Kelautan. Fakultas Ilmu Kelautan dan
Perikanan. Universitas Hasanuddin Makassar. Makassar. 32-33 Hlm.

Khasanah. U., 2013. Analisis Kesesuaian Perairan Untuk Lokasi Budidaya


Rumput Laut Eucheuma Cottonii di Perairan Kecamatan Sajoanging
Kabupaten Wajo. Jurusan Ilmu Kelautan Fakultas Ilmu Kelautan Dan
Perikanan Universitas Hasanuddin Makassar. 76 Hal.

Kurniawan, M. C, Aryawati R, dan Putri W.A.E. 2018. Pertumbuhan Rumput


Laut Eucheuma spinosum dengan Perlakuan Asal Thallus dan Bobot
Berbeda di Teluk Lampung Provinsi Lampung. Jurnal Maspari. 10
(2):161-168.

44
Largo DB, K Fukami,and T Nishijima. 1995. Occasional pathogenic bacteria
promoting ice-ice disease in the carrageenan-producing red algae
Kappaphycus alvarezii and Eucheuma denticulatum (Solieriaceae,
Gigartinales, Rhodophyta). Journal of Applied Phyciology 7: 545554.

Lestari H., 2017. Optimasi Ekstraksi Rumput Laut ( Eucheuma cottonii) Untuk
Menghasilkan Karaginan Murni dengan Metode Respon Permukaan.
Skripsi. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung Bandar Lampung.
Lampung. Hal 69
Neksidin, 2013. Studi Kualitas Air Untuk Budidaya Rumput Laut (Kappaphycus
alvarezii) Di Perairan Teluk Kolono Kabupaten Konawe Selatan. Jurnal
Kelautam dan Perikanan 3 (12) : 147-155

Nian Y., 2019. Analisis Pengendalian Ice-ice pada Rumput Laut (Kappaphycus
alvarezii) Melalui Divensifikasi di Kelurahan Sulamu Kecamatan Sulamu
KabupatenKupang. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Universitas Kristen Artha Wacana Kupang. Kupang. 53 Hlm.

Nurhidari, S., Faturahman., Ghazali,. 2015. Deteksi Bakteri Patogen yang


Berasosiasi dengan Kappaphycus alvarezii (Doty) Bergejala Penyakit Ice-
ice. Jurnal Sains Teknologi dan Lingkungan. Fakultas MIPA. Universitas
Mataram. Vol. 1. No. 2-24. Fakultas MIPA. Universitas Mataram.

Nurhidari, S., Faturahman., Ghazali,. 2015. Deteksi Bakteri Patogen yang


Berasosiasi dengan Kappaphycus alvarezii (Doty) Bergejala Penyakit Ice-
ice. Jurnal Sains Teknologi dan Lingkungan. Fakultas MIPA. Universitas
Mataram. Vol. 1. No. 2-24. Fakultas MIPA. Universitas Mataram.

Prasetyarto Dan Suhendar. 2010. Modul Tentang Laut Dan Pesisir. Jakarta.

Saito Y. and S Atobe 1970. Phytosociological Study of Intertidal Marine Algae.

Samad, F., 2011. Analisis Kesesuaian Lahan Budidaya Rumput Laut


Menggunakan Penginderaan Jauh dan SIG di Taman Nasional
Karimunjawa. Skripsi. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan. Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan.Institut Pertanian Bogor. Bogor. 56 Hal.

Saraswati, A. S, Darmasetiyawana, S.M.I. 2016. Indentifikasi Bakteri pada


Rumput Laut Eucheuma spinosum yang Terserang Penyakit Ice-ice di
Perairan pantai Kutuh. Jurnal. Program Studi Sumberdaya Perairan,
Fakultas Kelautan dan Perikanan. Universitas Udayana, bukit Jimbaran,
Bali 80361, Indonesia. Jurnal of Marine and aquatic sciences 2 ( 2016) 11-
15.

Susilowati, T., S. Reziki., N. Eko Dan Zulfitrani. 2012. Pengaruh Kedalaman


Terhadap Pertumbuhan Rumput Laut (Euchema cottonii) Yang
Dibudidayakan Dengan Metode Long Line di Pantai Mlongo, Kabupaten
Jepara. Jurnal Saintek Perikanan 8 (1): 7-12

45
Syamsuddin, R. 2014. Pengelolaan Kualitas Air: Teori dan Aplikasi di Sektor
Perikanan. Pijar Press. Makassar.

Tisera W, 2009. Reproductive Study of Kappaphycus alvarezii (Doty) Doty and


Eucheuma denticulatum (Burman) Collins et Harvey (Gigartinales,
Rhodophyta) in Relation to Ice-ice disease. Disertasion Silliman
University, Filiphina.

Wijayanto, T., Hendri M. Aryawati R. 2011. Studi Pertumbuhan Rumput Laut


Eucheuma cottonii dengan Berbagai Metode Penanaman yang berbeda di
Perairan Kalianda, Lampung Selatan. Maspari Jurnal. Program Studi Ilmu
Keluatan FMIPA. Universitas Sriwijaya, Indralaya Indonesia. (03): 51-57

WWF-Indonesia. 2014. Budidaya Rumput Laut cottoni (Kappaphycus alvarezii),


Sacol (Kappaphycus stratum) dan Spinosum (Eucheuma denticulatum).
WWF-Indonesia. 3-4 Hal.

WWF-Indonesia., 2014. Better Management Practices (BMP) Budidaya Rumput


Laut. 47 Hal.

46
Lampiran 1. Data Intensitas dan laju Intensitas penyakit ice-ice selama 49 hari

Minggu 1 Minggu 2 Minggu 3 Minggu 4 Minggu 5 Minggu 6 Minggu 7

No JC JCT JC JCT JC JCT JC JCT JC JCT JC JCT JC JCT


1 57 1 78 3 89 4 81 3 82 5 102 4 102 3
2 76 0 67 2 98 2 108 1 157 1 154 0 143 0
3 73 0 98 4 108 2 132 0 153 0 156 0 146 1
4 121 1 129 1 132 0 143 0 153 2 153 1 153 1
5 93 2 98 1 121 1 125 0 153 0 157 2 176 3
6 90 0 87 3 145 2 132 1 155 0 157 0 125 2
7 65 0 76 1 143 3 128 2 154 3 154 4 168 2
8 78 0 89 3 145 1 120 1 143 2 156 1 156 2
9 64 2 86 4 134 4 132 1 145 0 156 0 167 0
10 54 1 78 0 90 1 139 0 141 1 178 0 145 0
11 57 0 78 1 135 0 141 2 144 0 176 0 197 0
12 76 0 75 4 153 0 125 1 156 3 142 3 158 2
13 65 0 98 1 121 2 127 0 157 1 146 0 194 2
14 58 0 86 3 123 4 120 0 158 1 154 2 167 1
15 99 2 95 4 99 4 132 1 154 1 159 1 275 0
16 89 1 93 0 143 3 126 4 154 1 157 1 156 0
17 58 1 78 1 126 1 121 2 156 0 153 0 146 1
18 89 0 103 0 121 3 129 2 143 0 156 0 321 0
19 78 0 54 1 109 1 190 1 145 1 157 0 256 2
20 67 0 56 6 121 0 189 1 145 1 146 1 195 1
21 67 2 76 5 76 7 79 3 81 4 73 4 79 3
22 65 0 68 3 123 2 134 8 135 0 124 1 87 1
23 78 1 59 1 142 2 123 1 136 2 131 2 103 0
24 65 1 75 0 135 1 125 3 125 0 134 0 89 1
25 76 1 26 0 136 3 132 2 134 0 125 0 78 0
26 98 0 75 1 39 2 134 3 136 1 131 1 98 3
27 76 2 87 2 105 3 121 2 134 5 134 0 106 2
28 75 1 65 0 121 5 125 2 124 5 126 1 121 3
29 78 0 87 0 121 3 124 1 135 4 123 0 142 0
30 109 0 68 0 124 4 121 1 135 5 169 0 239 0
31 106 0 117 5 132 1 123 1 134 1 134 1 131 4
32 107 0 114 3 126 4 114 0 114 1 125 1 167 3
33 102 0 85 0 124 3 115 1 118 1 118 0 219 1
34 123 2 132 0 127 5 178 2 197 0 224 1 247 3
35 73 0 69 0 123 1 132 1 137 0 135 5 134 7
36 121 0 121 3 124 4 142 3 132 0 145 0 242 0
37 65 2 53 2 87 4 121 0 134 4 134 1 135 0
38 58 0 65 2 93 2 121 2 121 3 132 4 256 5
39 58 1 59 0 97 5 104 0 97 0 86 0 87 0
40 70 2 71 1 134 4 128 2 134 0 132 3 389 5
41 78 1 75 1 79 5 57 4 69 5 56 3 67 2
42 86 0 86 0 125 1 125 2 142 1 137 0 143 2
43 66 0 79 1 87 0 106 0 117 1 109 2 121 1
44 123 0 132 0 123 4 124 1 139 0 137 2 124 2
45 98 1 101 3 105 4 123 0 142 0 143 3 145 1
46 98 2 98 0 109 2 124 0 143 0 201 3 135 1
47 123 2 76 2 127 3 143 2 153 3 143 0 126 0
48 98 1 101 2 138 3 134 2 145 0 134 0 134 1
49 104 0 68 5 80 4 133 3 146 3 136 2 131 3
50 101 0 114 0 104 4 124 3 135 1 134 0 134 2
51 121 0 134 0 134 5 124 2 159 1 189 1 242 2
52 89 0 89 0 123 4 135 0 143 2 145 3 145 1
53 76 1 77 2 132 3 97 5 134 2 135 1 132 1
54 76 0 68 2 79 2 74 0 98 0 123 2 143 0
55 96 0 98 0 136 1 134 0 145 0 139 1 123 1
56 116 1 126 0 139 9 137 4 136 3 143 2 123 0
57 87 0 93 1 126 0 134 0 142 0 135 0 135 2
58 79 0 87 1 125 4 125 2 143 4 134 1 135 1
59 87 1 91 0 132 2 134 0 148 2 145 4 135 3

47
60 79 0 86 0 132 2 134 1 167 0 137 1 137 0
Rata-
rata 252,9 1,8 257,7 4,5 354,0 8,2 377,9 4,6 414,4 4,3 423,0 3,8 470,3 4,5

Total 5058 36 5153 91 7080 165 7557 92 8287 87 8459 76 9405 90

Is 0,7 1,8 2,3 1,2 1,0 0,9 1,0

Ist 4,41 7,86 9,21 1,17 1,82 1,14 1,29

JC Jumlah Cabang Is Intensitas infeksi


JCT Jumlah Cabang Terinfeksi Ist Laju Intensitas

Lampiran 2. Data Insiden dan Laju Insiden penyakit ice-ice selama 49 hari

Minggu Minggu Minggu Minggu Minggu Minggu Minggu


1 2 3 4 5 6 7 Tt

Ttt 51 71 102 93 83 79 73 300

Is 17,0 23,7 34,0 31,0 27,7 26,3 24,3


Ist 1,04 2,86 3,64 2,00 1,50 1,09 0,90
Tt :Total tanaman Ttt : Total tanaman terinfeksi
Is :Insiden Ist : Laju Insiden

Lampiran 3. Data Hasil Pengukuran Kualitas Perairan

Waktu Do
Pengamata Suhu Salinitas (Ppm Kecepatan Kecerahan
n (°c) (Ppm) Ph ) Arus (m/s) (M)
1 29 37 6.5 7.29 0,93 2-4 m
2 25 35 7.5 6.21 0,88
3 29 37 7.9 7.47 0,91
4 27 36 8 6.38 0,71
5 26 37 7.5 5.46 0,75
6 25 35 6.9 7.25 0,75
7 26 35 7.5 7 0,90
Rata-rata 27 36 7.4 6.72 0,83

48
Lampiran 4. Hasil Dokumentasi Penelitian

Pengikatan rumput laut Pengukuran berat awal rumput laut

Penanaman patok Penentuan jarak patok

Pengukuran oksigen terlarut Pengukuran derajat keasaman (pH)

49
Pengukuran Salinitas Pemantauan rumput laut

Pengikatan Tali ris di patok Penyakit ice-ice menyerang rumput laut

Proses Pembersihan rumput laut Pegambilan data penyakit ice-ice

Pembuatan lilifuk Pengukuran kecepatan arus

50

Anda mungkin juga menyukai