Anda di halaman 1dari 14

Penyakit Ice-Ice Pada Rumput Laut

(Kappaphycus alvarezii)

Oleh :

Sufardin
Nuraina Abbas
Naning Dwi Sulystyaningsih

PROGRAM STUDI ILMU PERIKANAN


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Rumput laut atau algae merupakan salah satu komoditas ekspor
Indonesia yang diandalkan untuk pemasukkan devisa negara. Komoditas ini
memiliki nilai ekonomis yang tinggi sebagai bahan makanan dan keperluan
industri. Produksi rumput laut untuk kebutuhan ekspor umumnya berasal darii
golongan alga merah (Rhodophyceae).
Salah satu jenis rumput laut yang mempunyai potensi untuk
dibudidayakan di Indonesia adalah Kappaphycus alvarezii yang dulu dikenal
sebagai Eucheuma cottonii. Menurut Doty (1973) kebutuhan rumput laut jenis K.
alvarezii 10 kali lipat dari persediaan alami di dunia. K. alvarezii adalah jenis
rumput laut yang diperlukan untuk usaha industri karena kandungan kappa
karaginannya sangat diperlukan sebagai bahan stabilisator, bahan pengental,
pembentuk gel, dan pengemulsi (Winarno, 1996).
Usaha budidaya jika tidak ada pengelolaan yang baik dan tidak
memperhatikan kelestarian serta daya dukung lingkungan, maka dapat
menurunkan kuantitas dan kualitas hasil yang diperoleh. Hal tersebut dapat
menyebabkan penyakit berkembang dan mengadakan penetrasi masuk ke
dalam jaringan dan membentuk toksik yang merusak sel-sel tumbuhan. Kondisi
ini mengakibatkan interaksi antara agen penyebab penyakit dengan tumbuhan
yang rentan akan membentuk gejala yang di kenal dengan istilah infeksi.
Sebaliknya jika parasit mengadakan penetrasi pada badan tumbuhan yang
tidak rentan. Sehingga infeksi tidak akan terjadi. Interaksi antara agen penyakit
dan tumbuhan terlihat dengan adanya gejala penyakit dan biasanya penyakit
akan segera tampak setelah terjadinya infeksi. Salah satu penyakit yang sering
menyerang rumput laut adalah penyakit Ice-ice (Winarno, 1996)
Pengendalian penyakit ice-ice pada rumput laut Kappaphycus alvarezii di
Indonesia belum ditangani dengan baik sehingga berakibat pada penurunan
produksi rumput berkisar 70-100%. Penyakit ice-ice juga menyerang sentra
budidaya di beberapa area produsen rumput laut seperti di Filipina, Malaysia
dan Tanzania (Vairappan, 2006).
Hasil identifikasi beberapa jenis bakteri pada thallus rumput laut
didapatkan bakteri patogen penyebab penyakit ice-ice pada pengelolaan budidaya
rumput laut K. alvarezii yakni bakteri Vibrio sp. (Largo et al.,1995), sedangkan
hasil penelitian Lianto (2002) mendapatkan lima jenis bakteri dapat menimbulkan
penyakit ice-ice yakni Pseudomonas nigricaciens, Pseudomonas fluorescens,
Vibrio granii, Bacilllus cus dan Vibrio agarliquefaciens.

B. TujuanTujuan
Bersadarkan permasalahan yang telah dijelaskan pada latar belakang, maka
tulisan ini bertujuan menelusuri penyebab penyakit ice-ice pada rumput laut dan
membahas cara mengatasi serta dampak penyakit ice-ice tersebut pada rumput
laut.
TINJAUAN PUSTAKA

A. Rumput Laut K. alvarezii


Rumput laut K. alvarezii bila diklasifikasikan berdasarkan pigmentasi
termasuk jenis alga merah (Rhodophyceae). Ganggang merah yang hidup di
laut dan tergolong dalam Thallophyta ini tidak memperlihatkan perbedaan akar,
batang dan daun seperti tanaman tingkat tinggi. Keseluruhan tanaman
merupakan batang yang dikenal sebagai thallus. Berdasarkan pada bentuk dan
anatomi serta karakter biokimia, dimana derivat kappa carageenan yang lebih
dominan dari pada iota dan beta carageenan yang ditemukan oleh seorang ahli
dari Filipina bernama alvarez, maka nama ilmiah dari E. cottonii berubah menjadi
K. alvareezii (Atmadja et al., 1996). Kappaphycus merupakan jenis rumput laut
yang banyak dicari untuk kepentingan industri makanan, obat-obatan dan
kosmetika di dunia karena mengandung zat karaginan yang merupakan
bahan campuran (additives). Kadar karaginan dalam setiap species
Kappaphycus berkisar anatara 54%-73% sedangkan di Indonesia berkisar
antara 61,5%-67,5%.
klasifikasi K. alvarezii menurut Dawes (1981) adalah sebagai berikut :
Regnum : Plantae
Devision : Rhodophyta
Class: Rhodophyceae
Order : Gigartinales
Family : Solieriaceae
Genus : Kappaphycus
Species : Kappaphycus alvarezii

Ciri umum dari genus Kappaphycus : thallus atau kerangka tubuh bulat
silindris, berduri tidak teratur dan melingkari thalus, duri-duri pada thallus runcing
memanjang dan agak jarang, permukaan thallus licin, warna hijau
kekuningan, abu-abu dan merah. Tinggi tanaman dapat mencapai 40 cm,
cabang tidak beraturan tumbuh di bagian yang muda maupun yang tua dan
diameter thallus kearah ujung sedikit lebih kecil dibandingkan dengan
pangkalnya (Doty, 1973) Kappaphycus tumbuh pada daerah yang selalu
terendam air (subtidal) atau pada daerah surut (intertidal). Jenis ini sangat baik
tumbuh pada daerah terumbu karang (coral reef), sebab pada daerah inilah
terdapat beberapa syarat untuk pertumbuhan yaitu kedalaman perairan, cahaya,
subsrat dan pergerakan air. Selanjutnya Lobban dan Harison (1994)
mengatakan bahwa alga tersebut tumbuh dengan baik pada perairan terbuka
dengan tingkat pergerakan arus yang tinggi. Di alam bebas Kappaphycus
tumbuh dan berkembang dengan baik pada salinitas yang tinggi, rendah hanya
1-2% saja. Selanjutnya dilaporkan juga kandungan vitamin seperti vitamin A, B1,
B2, B6, B12 dan C serta mengandung mineral seperti kalium, kalsium, pospat,
natrium, zat besi dan iodium (Araksi et al. 1984 dalam Anggadireja et al., 1996).

B. Budidaya K. alvarezii
Kajian kriteria lokasi budidaya rumput laut dari segi kondisi tata letak dan
kualitas perairan sangat berperan dalam pencapaian hasil usaha budidaya
rumput laut. Indriani dan Sumiarsih (1999) mengatakan untuk memperoleh
hasil yang memuaskan dari usaha budidaya rumput laut hendaknya dipilih lokasi
yang sesuai dengan ekobiologi (persyaratan tumbuh) rumput laut sebagai
berikut, (1) lokasi budidaya harus bebas dari pengaruh angin topan, (2) tidak
mengalami fluktuasi salinitas yang besar, (3) mengandung makanan untuk
pertumbuhan, (4) perairan harus bebas dari predator dan pencemaran industri
maupun rumah tangga, (5) lokasi harus mudah dijangkau.

C. Hama
Hama penyerang rumput laut dibagi menjadi dua menurut ukuran hama,
yaitu hama mikro merupakan organisme laut yang umumnya mempunyai
panjang kurang dari 2 cm dan hama makro yang terdapat dilokasi budidaya
dan sudah dalam bentuk ukuran besar atau dewasa. Hama mikro hidup
menumpang pada thallus rumput laut, misalnya larva bulu babi (Tripneustes sp.)
yang bersifat planktonik, melayang-layang di dalam air dan kemudian menempel
pada tanaman rumput laut. Beberapa hama makro yang sering dijumpai pada
budidaya rumput laut adalah ikan Beronang (Siganus sp.) bintang laut
(Protoreaster nodosus), bulu babi (Diademasetosum sp.), bulu babi duri pendek
(Tripneustes sp.), Penyu Hijau (Chelonia mydas), dan ikan Kerapu
(Epinephellus sp.) (Ditjen Perikanan 2004).
Tumbuhan penempel dalam koloni yang cukup besar akan mengganggu
pertumbuhan rumput laut. Tumbuhan penempel tersebut antara lain adalah
Hipnea, Dictyota, Acanthopora, Laurensia, Padina, Amphiroa dan filamen
seperti Chaetomorpha, Lyngbya dan symploca (Atmadja dan Sulistijo, 1997).
D. Penyakit ice ice
Penyakit pada tanaman rumput laut pertama kali diketahui pada athun
1974 di Filipina dengan gejala yang dilaporkan adanya bercak pada thallus yang
terinfeksi selanjutnya berwarna putih dan mati kemudian hancur. Penyakit ini
menyerang Eucheuma spp. terutama disebabkan oleh adanya perubahan
lingkungan arus, suhu, kecerahan, dll. di lokasi budidaya dan berjalan dalam
waktu yang cukup lama. Penyakit pada rumput laut ini terjadi di daerah-
daerah dengan kecerahan tinggi dan dikenal sebagai ice ice dengan gejala
timbulnya bercak-bercak pada sebagian thallus, lama kelamaan akan kehilangan
warna sampai menjadi putih dan terputus (Anonymous, 2004).
Bila dikaitkan dengan penyakit tumbuhan, maka penyakit ice-ice pada
tanaman rumput laut terjadi karena infeksi mikroba pada saat tanaman menjadi
rentan. Kondisi ini disebabkan karena adanya perubahan lingkungan yang
ekstrim dan tidak dapat ditolirir, sehingga tanaman menjadi lemah (tidak sehat).
Rumput laut yang terkena penyakit ice-ice ini sebelumnya memperlihatkan
adanya gejala pertumbuhan yang lambat, permukaan thallus menjadi kasar dan
pucat.
Sebagaimana tentang "Aging effect" pada rumput laut yang ditandai dengan
pertumbuhan per satuan waktu. Tanda-tanda ini nampak sebulan atau
beberapa waktu setelah penanaman yang ditandai dengan cabang-cabang
tanaman sedikit, keseluruhan tanaman menjadi pucat dan permukaan thallus
menjadi kasar. Bila keadaan ini terus berlanjut, maka akan terjadi kekeroposan
thallus sebagai ciri dari penyakit ice ice yang mengakibatkan kegagalan panen.
Bercak putih (ice ice) merupakan penyakit yang timbul pada musim laut tenang
dan arus lemah diikuti dengan musim panas yang dapat merusak area tanaman
sampai mencapi 60-80% dan lamanya 1-2 bulan (Sulistijo, 2002)
Infeksi mikroba penyebab penyakit ice ice sudah menjalar pada lokasi
perairan budidaya di pulau Pari, sehingga semua tanaman rumput laut yang
dibudidayakan di pulau Pari terkena penyakit ice ice dan menurunkan harga
dipasaran. Terjadinya penyakit dipengaruhi oleh berkembangnya jenis rumput
laut lain yang menempel atau epifit, ini didahului dengan rendahnya unsur hara
diperairan karena dengan berkembangnya rumput laut jenis lain akan
mengakibatkan penurunan unsur hara yang diperlukan oleh pertumbuhan
Kappaphycus (Direktorat Jederal Perikanan 1992). Sampai saat ini belum ada
metoda yang dapat diterapkan untuk mengendalikan penyakit ice ice tetapi
untuk mengurangi kerugian, maka tanaman harus dipanen sesegera mungkin
kalau penyakit telah berjangkit. Pencegahan penyakit dapat dilakukan dengan
memonitor adanya perubahan-perubahan lingkungan, terutama pada saat
terjadinya perubahan lingkungan disamping itu dilakukan penurunan posisi
tanaman lebih dalam untuk mengurangi penetrasi cahaya sinar matahari
(Direktorat Jenderal Perikanan 2004).
Penelitian terhadap bakteri yang menyebabkan penyakit pada K. alvarezii
ini pernah dilakukan oleh Laboratorium mikrobiologi P2O-LIPI dan hasilnya
diduga ada 8 jenis bakteri yang menimbulkan penyakit ice ice, namun
patogenitas bakteri tersebut belum diketahui. Kemudian dilanjutkan dengan
penelitian uji patogenitas dari 8 jenis bakteri tersebut yang hasilnya
menunjukkan hanya 5 bakteri yang dapat menimbulkan penyakit ice ice. Lima
bakteri tersebut adalah Pseudomonas nigricaciens, Pseudomonas
fluorescens. Vibrio granii, Bacillus cereus dan Vibrio agarliquefaciens.
Sementara bakteri Pseudomonas gelatica, Pseudomonas icthyodermis dan
Bacillus megaterium tidak memiliki patogenitas, sehingga tidak menyebabkan
gejala penyakit ice ice (Atmadja et al.,, 1996).
Hasil uji patogenitas terhadap kelima bakteri tersebut dilanjutkan dan
ditemukan bakteri yang memiliki daya patogenitas tertinggi adalah Vibrio
agarliquefaciens (Nasution, 2005). Sampai sekarang belum ditemukan cara
untuk membasmi penyakit ice-ice, namun upaya yang dilakukan adalah
berhenti menanam pada saat musim penyakit, sehingga dalam budidaya perlu
pemantauan lingkungan perairan dan memperhatikan musim dimana
budidaya harus dihentikan untuk sementara.
E. Bakteri Vibrio sp.
Vibrio sp merupakan salah satu bakteri patogen yang tergolong dalam divisi
bakteria, yang dapat menyebabkan kematian biota laut yang menghuni perairan,
dan secara tidak langsung bakteri yang terbawa biota laut seperti ikan akan
dikonsumsi oleh manusia, sehingga menyebabkan penyakit pada manusia
(Feliatra, 1999). Vibrio merupakan bakteri akuatik yang dapat ditemukan di
sungai, muara sungai, kolam, dan laut. Bakteri dari spesies Vibrio secara
langsung akan menimbulkan penyakit (patogen), yang dapat menyebabkan
kematian biota laut yang menghuni perairan, dan secara tidak langsung bakteri
yang terbawa biota laut seperti ikan akan dikonsumsi oleh manusia, sehingga
menyebabkan penyakit pada manusia (Feliatra, 1999). Vibrio tergolong dalam
class Schizomicetes, order Eubacteriales, Family Vibrionaceae. Bakteri ini
bersifat gram negatif, fakultatif anaerob, fermentatif, bentuk sel batang dengan
ukuran panjang antara 2-3 µm, menghasilkan katalase dan oksidase dan
bergerak dengan satu flagella pada ujung sel. Vibrio sp. ini yang dapat hidup
pada salinitas yang relatif tinggi. Bakteri Vibrio berpendar termasuk bakteri
anaerobic fakultatif, yaitu dapat hidup baik dengan atau tanpa oksigen. Bakteri
Vibrio tumbuh pada pH 4-9 dan tumbuh optimal pada pH 6,5-8,5 atau kondisi
alkali dengan pH 9,0. Klasifikasi Vibrio sebagai berikut :

Kingdom :Eubacteria
Divisi : Bacteri
Class : Schizomycetes
Order : Eubacteriales
Family : Vibrionaceae
Genus : Vibrio
Species : Alginolyticus.

Secara umum, morfologi atau struktur tubuh dari bakteri Vibrio bila diisolir
dari faeces penderita atau dari biakkan yang masih muda adalah batang bengkok
seperti koma, tetapi akan berbentuk batang lurus bila diambil atau didapat dari
biakan yang sudah tua. Vibrio alginolyticus Mempunyai ciri-ciri berwarna kuning,
diameter 3-5 mm. Karakteristik biokimia adalah mempunyai sifat fermentatif,
katalase, oksidase, methyl red dan H2S, glukosa, laktosa, dan manitol positif.
Sedangkan sellobiosa, fruktosa, galaktosa negatif. Vibrio alginolyticus dicirikan
dengan pertumbuhannya yang bersifat swarm pada media padat non selektif. Ciri
lain adalah gram negatif, motil, bentuk batang, fermentasi glukosa, laktosa,
sukrosa dan maltosa, membentuk kolom berukuran 0.8-1.2 cm yang berwarna
kuning pada media TCBS.
Nilai konsentrasi letal median (LC50) adalah sebesar 106.6 pada ikan
dengan berat antara 5-10 gram. Kematian massal pada benih diduga disebabkan
oleh infeksi bakteri V. alginolyticus. Pengendalian penyakit dapat dilakukan
dengan penggunaan berbagai jenis antibiotika seperti Chloramfenikol,
eritromisina dan oksitetrasiklin. Sifat lain yang tidak kalah penting adalah sifat
proteolitik yang berkaitan dengan mekanisme infeksi bakteri.
Pada kelompok Vibrio alginolitycus, bakteri ini adalah lysine positif,
pengurangan nitrat, lipase, gelatinase, oxidase-fermentation test tetapi negatif
arginine, urease dan luminesensi. Sebanyak 10 jenis yang diisolasi berkembang
dalam 1% peptone medium yang berisi 3, 6, 8, 10% klorid sodium tetapi tidak
mengakar 0% Nacl. Jenis ini memproduksi asam dari glukosa, glycerol, mannitol,
sucrose tetapi bukan dari lactose, salicin. Semua dari jenis ini tidak memproduksi
gas dari glukosa. Didalam kasus dari tajin pangkat dengan diturunkan, ada hanya
10% reaksi positif dan VP reaksi mempunyai 20% reaksi positif. Mempunyai sifat
Gram negatif dengan ukuran 1 – 3 x 0,4 – 0,6 µm tetapi ada beberapa literatur
yang mengatakan bahwa Vibrio berukuran panjang (1,4 – 5,0) µm dan lebar (0,3-
1,3) µm.
PEMBAHASAN

Secara biologi tanaman tidak mampu melakukan kegiatan fisiologinya


secara normal, sehingga tidak mampu berkembang dan secara ekonomi
tanaman tidak mampu memberikan hasil yang cukup, baik kuantitas maupun
kualitasnya. Bila dikaitkan dengan ilmu penyakit tumbuhan, maka tanaman uji
dalam kondisi lemah atau rentan terhadap penyakit. Hal ini sebabkan oleh
dengan keadaan lingkungan yang mendukung patogen, sehingga tanaman
dengan cepat terinfeksi bakteri penyebab penyakit ice-ice.
Secara umum bobot basah rumput laut pada kondisi yang normal dari waktu
ke waktu terus mengalami peningkatan dan secara nyata dimulai pada minggu
kedua sampai minggu ketuju bersamaan dengan meningkatnya kandungan
karaginan. Hal ini didukung oleh Salisbury dan Ross (1992) bahwa pada
jaringan muda rumput laut, aktivitas sel diarahkan untuk pertumbuhan yaitu
melakukan pembelahan dan pembesaran sel.
Perbedaan tingkat keberhasilan budidaya bisa disebabkan karena posisi dan
lokasi budidaya. Lokasi budidaya di perairan terbuka yang masih mendapat
gerakan air memungkinkan adanya pasokan nutrien yang diperlukan dapat
terpenuhi. Musim budidaya juga berpengaruh terhadap terjadinya gagal panen,
Dapat dijelaskan tentang permasalahan tersebut bahwa akibat pengaruh musim
yang mempengaruhi faktor-faktor ekologis seperti intensitas cahaya, suhu air,
unsur hara, sehingga mempengaruhi hasil panen. Diantara pengaruh yang
ditimbulkan adalah "Aging effect" yang ditandai dengan perubahan morfologi
yaitu tanaman menjadi kurus, percabangan sedikit, permukaan thallus menjadi
kasar.
Kondisi ini dapat pulih apabila tidak ada komplikasi yang berkelanjutan,
jika keadaan ini terus berlanjut maka terjadi pertumbuhan yang lambat karena
sel-sel tanaman tidak dapat berfungsi dengan baik (Dirjen Perikanan, 1997).
Kondisi ini juga bisa diperburuk oleh adanya gigitan ikan yang membuat jalan
masuk bakteri ke bagian jaringan dalam, sehingga infeksi bakteri penyebab ice
ice dapat lebih cepat.
Gambar 1. Permukaan thallus rumput laut yang kasar.

Penyakit pada rumput laut muncul karena adanya substansi pelindung


intraseluler pada saat rumput laut mengalami tekanan lingkungan, sehingga
menyebabkan kegagalan panen. Penyakit ice ice terjadi oleh pengaruh
beberapa jenis rumput laut lain yang menempel, rendahnya unsur hara di
perairan dan oleh biota air seperti starfish (Trono 1992; Lobban and Harison,
1994). Penyakit yang timbul pada musim panas dan arus lemah ini ditandai
dengan warna pucat pada tanaman secara keseluruhan kemudian hilang warna
pada cabang-cabang dan akhirnya menjadi keputih-putihan. Jaringan tanaman
pada bagian yang terkena penyakit menjadi lunak dan hancur, sedangkan
bagian cabang yang terinfeksi akan retak dan putus jatuh ke laut, sehingga
mengakibatkan kehilangan bobot tanaman (Gambar 2).

Gambar 2. Rumput laut yang terkena penyakit di lokasi budidaya sebelah barat
dan utara pulau Pari. kiri: Bagian ujung tanaman K. alvarezii yang
terkena penyakit. kanan: bagian cabang tanaman yang terkena
penyakit.
Gambar 3. Penampakan penyakit ice-ice akibat inf eksi bakteri pada
Rumput Laut: a) bekas pemotongan (stek untuk bibit), (b) luka akibat
gigitan ikan. c) luka karena ikatan bibit terlalu erat. d) masuk melalui
pori-pori thallus

Tanaman budidaya akan lebih cepat terinfeksi apabila terdapat banyak


bekas luka karena akan menjadi jalan masuk bagi bakteri patogen. Hasil
pengamatan di lapangan menunjukkan infeksi bakteri penyebab penyakit ice-ice
pada thallus dapat terjadi melalui beberapa cara yaitu terinfeksi pada luka
bekas pemotongan (stek untuk bibit), luka akibat gigitan ikan, luka akibat ikatan
bibit terlalu erat dan masuk melalui pori-pori thallus (Gambar 3).
DAFTAR PUSTAKA

Atmadja W.S., Kadi, A., Sulistijo dan Rachmaniar. 1996. Pengenalan Jenis-
Jenis Rumput Laut Indonesia. Puslitbang Oseanologi- LIPI, Jakarta.

Atmadja, W.S., dan Sulistijo. 1997. Usaha Pemanfaatan Bibit Stek Alga Laut
Euchema spinosum (L) J. AGRADH di Pulau-pulau Seribu Untuk
Dibudidayakan. Dalam: Teluk Jakarta, Sumberdaya, Sifat-sifat
Oseanologis Serta Permasalahannya. Editor: M. Hutomo, K
Romimohtarto dan Burhanudin. LON LIPI, Jakarta: hal 433-449.

Dawes, C.J. 1981. Marine Botany. John Wiley and Sons University of South
Florida. New York. 268 p.

Direktorat Jenderal Perikanan. 1992. Suatu Tinjauan Tentang Teknologi


Produksi Jenis Rumput Laut Tropis yang Bernilai Ekonomis. 43 hal.

Direktorat Jenderal Perikanan, 1997. Pedoman Teknis Pemilihan Lokasi


Budidaya Rumput Laut. Ditjen Perikanan. Jakarta. 20 hal.

Direktorat Jenderal Perikanan. 2004. Hama dan Penyakit Rumput Laut.

Doty, M.S. 1973. Eucheuma Farming for Carrageenan. Univ. Hawai Sea
Grant Report. UNIHI SEAGRANT-AR 73-02: 21.

Largo, DB., K. Fukami & T. Nishijima. 1995. Occasional Pathogenic Bacteria


Promoting ice- ice Disease in The Carrageenan-Producing Red Algae
Kappaphycus alvarezii and Eucheuma denticulatum (Solieriaceae,
Gigartinales, Rhodophyta). Journal of Applied Phycology, 7: 545-554.

Largo, DB., K. Fukami & T. Nishijima. 1998. Immunofluorescent Detection of


Ice-Ice Disease Promoting Bacterial Strain Vibrio sp. P11 of The Farmed
Macroalga, Kappaphycus alvarezii (Gigartinales, Rhodophyta). Journal
Marine Biotechnology, 6: 178-182.

Lobban, C.S., and P.J. Harison. 1994. Seaweed Ecology and Physiology.
Cambridge Univ. Press New York.

Nasution , M.H. 2005. Patogenitas Beberapa Isolat Bakteri Terhadap


Rumput Laut Kappaphycus alvarezii Asal Pulau Pari, Kepulauan
Seribu. Fakultas Biologi Universitas Nasional Jakrata. Jakarta.

Salisbury, F.B., dan C.W. Ross. 1992. Fisiologi Tumbuhan. Terjemahan Diah,
RL dan Sumaryono. Penerbit ITB. Bandung. 584 halaman.

Sulistijo. 2002. Penelitian Budidaya Rumput Laut (Algae Makro/Seaweed) di


Indonesia. Pidato Pengukuhan Ahli Peneliti Utama Bidang Akuakultur
Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Jakarta.

Trono, G.C. 1992. Suatu Tinjauan Tentang Tehnologi Produksi Jenis Rumput
Laut Tropis yang Bernilai Ekonomis, Dirjen Perikanan. Jakarta.
Vairappan, C.S. 2006. Seasonal Occurrences of Epiphytic Algae on The
Commercially Cultivated Red Alga Kappaphycus alvarezii (Solieriaceae,
Gigartinales, Rhodophyta). Journal of Applied Phycology, 18: 611-617.

Winarno, F.G. 1996. Teknologi Pengolahan Rumput Laut. Pustaka Sinar


Harapan. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai