Anda di halaman 1dari 8

MINI PAPER

KAJIAN LITERATUR KERAGAMAN BAKTERI TERKAIT KEMUNCULAN


PENYAKIT ICE-ICE PADA RUMPUT LAUT (Kappaphycus alvarezii)

Dosen Pengampu : Tiwi Yuniastuti, S.Si., M.Kes

OLEH : BLANDINA DELILA PUTRI LENDE

PROGRAM STUDI S-1 KESEHATAN LINGKUNGAN


STIKES WIDYAGAMA HUSADA
MALANG
2023
BAB I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Kappaphycus alvarezii (Rhodophyta: Solieriaceae) merupakan makroalga laut penghasil karaginan yang
banyak dibudidayakan di beberapa Negara sejak tahun 1960 (Arrasmuthu dan Edward, 2018; Kasim dan
Mustafa, 2017) sehingga banyak digunakan dalam berbagai industri makanan, farmasi, kosmetik dan
energi (Fadilah et al., 2016; Maryunus et al., 2018). Namun tantangan terbesar bagi petani rumput laut
Kappaphycus alvarezii dalam budidaya adalah kemunculan penyakit ice-ice yang menyebabkan
penurunan produksi rumput laut berkisar 60-100 % sehingga berdampak besar terhadap industri
karaginan (Maryunus, 2018; Hurtado et al., 2020).
Ice-ice merupakan penyakit yang banyak menginfeksi rumput laut karaginofit, khususnya rumput
laut merah yang banyak menghasilkan karaginan (Maryunus, 2018). Gejala penyakit ice-ice umumnya
diawali dengan perubahan pigmen thallus menjadi putih bening atau transparan yang ditandai dengan
pemutihan pada bagian pangkal thallus, tengah dan ujung thallus muda (Doty dan Alvarez 1975; Azizi et
al, 2018) sehingga terjadi fragmentasi hingga rumput laut mengalami nekrosis (Fresco, 2012). Hal ini
berakibat pada penurunan hasil karaginan, viskositas dan kekuatan gel dari thallus yang terinfeksi
(Mendoza et al., 2002; Alibon et al., 2019).
Pada umumnya penyebaran penyakit ice-ice terjadi secara vertikal oleh bibit thallus dan secara
horizontal melalui perantaraan air (DKP 2004), sehingga penyebab munculnya penyakit ice-ice berkaitan
dengan interaksi kompleks antara lingkungan, rumput laut, dan mikroorganisme oportunistik (Egan et al.,
2014). Ketidakseimbangan lingkungan perairan pada saat pergantian musim atau kondisi lingkungan yang
kurang mendukung (Msuya, 2007) berpengaruh terhadap sistem kekebalan tubuh rumput laut sehingga
rumput laut mengalami stress (Lobban dan Horrison, 1994; Egan et al., 2014). Hal tersebut menyebabkan
penurunan kemampuan rumput laut untuk mempertahankan diri dari penularan infeksi penyakit sehingga
rentan terhadap mikroorganisme patogen (Lobban and Horrison 2 1994; Maria, 2004; Wulandari dan
Prasetyo, 2019; Liu et al, 2019). Namun hingga saat ini pengendalian penyakit ice-ice pada sentra rumput
laut Kappaphycus alvarezii di beberapa Negara produsen seperti Indonesia, Filipina, Malaysia dan
Tanzania belum tertangani dengan baik (Vairappan et al. 2008).
Pengelolaan budidaya rumput laut yang sehat dan bebas penyakit ice-ice penting dalam
meningkatkan produksi rumput laut. Deteksi bakteri berdasarkan pengamatan karakteristik fenotipik
berperan penting sebagai studi awal dalam penanggulangan penyakit ice-ice (Largo et al., 1999;
Wulandari dan Prasetyo, 2016), namun kurang dapat menentukan hubungan filogenetis bakteri dan
ekspresinya sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan (Aris, 2011) sehingga dibutuhkan metode yang
lebih cepat dan akurat. Metode molekuler merupakan alternatif terbaik untuk mengidentifikasi strain
bakteri yang diisolasi dari sampel lingkungan (Clarridge, 2004; Castro-Escarpulli et al., 2015).
Pemanfaatan gen 16SrRNA telah digunakan sebagai parameter sistematik molekuler yang universal,
representatif, dan praktis untuk mengkonstruksi kekerabatan filogenetik pada tingkat spesies (Case et al.
2007). Identifikasi molekuler dengan marka gen 16S rRNA yang dilakukan oleh Syafitri et al., (2017)
menemukan keragaman spesies bakteri terkait kemunculan penyakit ice-ice yang termasuk ke dalam
genus Alteromonas, Bacillus, Pseudomonas, Pseudoalteromonas, Aurantimonas, and Rhodococcus. Dari
keenam genus tersebut, ditemukan 3 spesies bakteri yang dikonfirmasi sebagai penyebab penyakit rumput
laut pada Kappaphycus alvarezii melalui uji patogenitas (Syafitri et al., 2017).
1.2 Tujuan

Tujuan dari kajian literatur ini adalah mengetahui gambaran keragaman dan karakteristik bakteri terkait
kemunculan penyakit ice-ice pada rumput laut Kappaphycus alvarezii baik dari segi fenotipik maupun
molekuler.
BAB II
Rumput Laut (Kappaphycus alvarezii)

2.1 Rumput Laut (Kappaphycus alvarezii)

Kappaphycus alvarezii merupakan alga merah (Rhodophyta) jenis karaginofit yang banyak
dibudidayakan di Indonesia, Filipina dan Malaysia (Bono, 2014). Anggota Rhodophyta dapat mentolerir
kisaran tingkat cahaya yang lebih luas daripada kelompok organime fotosintesis lain karena mengandung
pigmen aksesori tambahan (umumnya dikenal sebagai phycobiliprotein seperti Rphycoerythrin dan R-
phycocyanin) bersama dengan klorofil a dalam kloroplasnya. Beberapa karakteristik umum dari alga
merah diantaranya adalah termasuk sel eukariotik, tidak mmiliki struktur flagellar, cadangan makanan
berupa pati floridean, mengandung phycobilin, kloroplas tanpa tilakoid yang ditumpuk, dan tidak
memiliki retikulum endoplasma eksternal (Baweja et al., 2016).
Rumput laut tergolong dalam divisi Thallophyta karena hanya memiliki kerangka tubuh berupa thallus
dan termasuk tumbuhan primitif yang berarti tidak memiliki akar yang sebenarnya, ranting atau cabang,
serta daun (Aslan, 1998; Ghufron dan Kordi, 2010). Klasifikasi dari spesies K. alvarezii menurut Silva
(1996) adalah sebagai berikut. :
Regnum : Plantae
Divisio : Rhodophyta
Classis : Rhodophyceae
Ordo : Gigartinales
Famili : Solieriaceae
Genus : Kappaphycus
Spesies : Kappaphycus alvarezii

Ciri morfologi K. alvarezii adalah memiliki talus silindris, permukaan yang licin, menyerupai tulang
rawan (cartilageneus), berwarna hijau terang hingga coklat kemerahan, percabangan talus berujung
runcing atau tumpul, ditumbuhi nodulus (tonjolan) (Anggadireja, 2009). Meskipun tergolong dalam kelas
Rumput laut merah (Rhodophyceae), K. alvarezii memiliki warna talus bervariasi dari hijau 6 cerah
hingga coklat tua. Peristiwa ini merupakan suatu proses adaptasi kromatis yaitu penyesuaian proporsi
pigmen dengan kualitas pencahayaan (Aslan, 1998).

2.2 Morfologi Talus Rumput laut K. alvarezii (STRI, 2009)

Pertumbuhan thallus K. alvarezii bersifat multiaksial yang terdiri atas lapisan epidermis tunggal,
korteks vakuolat, dan medula filamen yang padat. Selain itu, terdapat lapisan mucilaginous tebal yang
menutupi lapisan epidermis (Baweja et al., 2016). Medula terdiri dari sel-sel berbentuk filamen dan
panjang. Sel tersebut berukuran kecil dan terhubung satu sama lain melalui lubang (pit). Cystocarp
berbentuk bulat atau subspherical dan terletak di wilayah kortikal thallus. Cystocarp memiliki sel fusi
sentral yang dikelilingi oleh filamen gonimoblast. Filamen gonimoblast dapat menaikkan karpospora
yang dilepaska melalui ostiole (Baweja et al., 2016).

Kappaphycus alvarezii sering dikenal dengan nama Eucheuma cottonii (Bono, 2014). Perubahan nama
spesies E. cottonii menjadi K. alvarezii berdasarkan tipe karaginan yang dihasilkan oleh K. alvarezii yang
merupakan penghasil kappakaraginan (Campo et al, 2009). Saat ini, E. cottonii merupakan nama dagang
dari spesies K. alvarezii (Trono, 1992). Vera et al (2011) yang menyatakan bahwa karaginan perupakan
salah satu penyusun utama dinding sel alga merah mewakili 30-75% dari berat keringnya. Dinding sel
Alga merah terdiri dari molekul pektik dan selulosa dengan banyak molekul hidrokoloid atau ester
polisulfat, misalnya 7 agar dan karaginan (Baweja et al., 2016).

2.3 Penyakit Ice-ice pada Rumput Laut


Ice-ice merupakan penyakit yang banyak menginfeksi rumput laut karaginofit, khususnya rumput laut
merah yang banyak menghasilkan karaginan (Maryunus, 2018). Infeksi penyakit ice-ice terhadap rumput
laut pertama kali dilaporkan pada tahun 1971 yang menyerang hampir seluruh budidaya rumput laut di
Filipina (Uyenco, 1981, Largo et al., 1995). Kemunculan penyakit ice-ice ditandai dengan perubahan
pigmen rumput laut dan pelunakan thallus yang mengakibatkan penurunan hasil panen serta kualitas
karaginan. Penyakit ice-ice pertama kali dilaporkan di Filipina pada tahun 1974. Tingkat keparahan yang
ditimbulkan oleh penyakit ini terlihat di Zanzibar pada tahun 2001 hingga 2008, dimana lebih dari 1000
ton rumput laut mengalami penurunan hingga hampir 0 produksi hanya dalam kurun waktu 7 tahun (Azizi
et al., 2018).
Kemunculan penyakit ice-ice ditandai dengan timbulnya bintik/bercakbercak pada sebagian thallus
yang lama-kelamaan menjadi kuning pucat dan akhirnya berangsur-angsur menjadi putih dan mudah
terputus (Maryunus, 2018) 8 yang ditunjukkan oleh (Gambar 2.3). Penyakit ice-ice timbul karena
menurunnya substansi pelindung intraseluler pada saat rumput laut mengalami tekanan lingkungan (stres)
(Uyenco et al., 1981). Pada keadaan tercekam, rumput laut akan membebaskan substansi organik yang
menyebabkan thallus berlendir dan merangsang bakteri tumbuh melimpah pada rumput laut yang
terinfeksi (Largo et al., 1995). Hal ini menandakan serangan bakteri patogen akibat stress pada rumput
laut bersifat infeksi sekunder (secondary impact) (Maryunus, 2018).

2.3 Proses terjadinya penyakit ice-ice


Proses fisiologis rumput laut sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan hidupnya. Setiap perubahan
lingkungan yang ekstrim menyebabkan stress pada organisme perairan sehingga berpengaruh terhadap
turunnya status kesehatan rumput laut (Fitrian, 2015). Rumput laut hidup dalam ekosistem akuatik yang
terdiri dari komponen biotik dan abiotik yang saling berinteraksi satu sama lain dalam mendukung
pertumbuhan rumput laut. Komponen abiotik terdiri dari faktor fisik dan kimia, sedangkan biotik
berperan dalam menimbulkan penyakit atau gangguan kesehatan pada rumput laut (Casadevall dan
Pirofski 2001).
Penyakit ice-ice disebabkan oleh kondisi kesehatan rumput laut menurun atau kondisi lingkungan
yang kurang mendukung, sehingga rumput laut mengalami stress, dan menyebabkan penurunan
kemampuan rumput laut untuk 9 mempertahankan diri dari penularan infeksi penyakit (Lobban and
Horrison 1994). Hal ini dapat dipengaruhi oleh ketidakseimbangan interaksi kompleks yang terjadi antara
kondisi lingkungan, rumput laut dan patogenitas mikroorganisme oportunistik. Interaksi antara rumput
laut dengan bakteri terjadi secara dinamis sehingga penyakit yang timbul tergantung pada beberapa faktor
termasuk keadaan rumput laut, potensi patogen bakteri (yaitu kemampuan untuk mengekspresikan faktor
virulensi yang relevan) dan pengaruh parameter lingkungan atau stressor (Egan et al., 2014). Interaksi
antara rumput laut, kondisi lingkungan dan bakteri patogen oportunistik dalam menyebabkan penyakit
pada rumput laut
Interaksi antara inang dengan bakteri sering bersifat dinamis (Egan et al., 2014). Penyakit yang timbul
pada inang dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah keadaan inang, potensi patogen

bakteri (yaitu kemampuan untuk mengekspresikan faktor virulensi yang relevan) dan pengaruh
parameter 10 lingkungan atau stressor. Inang yang mengalai stress dengan sistem pertahanan yang
terganggu merupakan tempat yang ideal bagi bakteri untuk berkoloni (Case et al., 2011). Kondisi
lingkungan yang melebihi batas adaptasi dan toleransi dapat berdampak pada kelangsungan hidup,
fisiologi dan kinerja keseluruhan sehingga makroalga berpotensi rentan terhadap mikroba patogen
(Karsten et al., 2001; Toohey dan Kendrick, 2007).
2.4 Mekanisme Pertahanan Rumput Laut terhadap Infeksi Bakteri
Kemampuan untuk mengenali dan mengaktifkan mekanisme pertahanan dalam merespons keberadaan
mikroba merupakan strategi penting bagi rumput laut untuk bertahan hidup di lingkungan perairan.
Rumput laut sangat rentan terhadap kolonisasi mikroba karena pelepasan sejumlah besar senyawa karbon
yang bertindak sebagai penarik bahan kimia dan sumber nutrisi bagi bakteri (Oliveira et al., 2017).
Mekanisme molekuler pertahanan rumput laut terhadap infeksi bakteri telah dijelaskan oleh Oliveira et al.
(2017)
Respon rumput laut terhadap bakteri diamati dengan adanya persinyalan intraseluler melalui perantara
kaskade MAPK (mitogen-activated protein kinase), GTPase kecil, fosfatidylinositol, dan protein kinase
yang bergantung kalsium kalmodulin. Peningkatan regulasi gen untuk enzim NADPH oksidase dan
antioksidan menyebabkan terjadinya ledakan oksidatif. Upregulasi gen terkait biosintesis terpen
bersamaan dengan over-ekspresi gen yang terlibat dalam transportasi vesicular memacu peningkatan
terpene yang dilepaskan oleh rumput laut sehingga terjadi metabolisme yang membutuhkan energi cukup
besar. Biosintesis terpen akan meningkatkan regulasi gen yang terlibat dalam produksi ROS (reactive
oxygen species) (Oliveira et al., 2017).
Bakteri patogen yang menyerang rumput laut ditangkap oleh reseptor LRR/LRK (leucine-rich repeat
receptor-like serine / threonine-protein kinase) sehingga mengaktifkan sinyal PIs (phosphatidylinositol
signaling). Pensinyalan yang dimediasi phosphatidylinositol memengaruhi pelepasan Ca2+ dan ekspresi
gen yang berhubungan dengan pertahanan pada tanaman diantaranya adalah CaM (calmodulin), Rac, dan
MAPK cascade. Pelepasan Ca2+ menyebabkan terjadinya upregulasi gen yang menkode CaM dan CDPK
(calcium calmodulin-dependent protein kinase). Aktivasi CDPK terkait patogenesis terdeteksi pada
tanaman, dan protein kinase ini mengatur produksi ROS (reactive oxygen species) oleh NADPH oksidase
(Oliveira et al., 2017).

2.5. Bakteri dan Patogenitas Bakteri


Bakteri merupakan organisme uniseluler tergolong protista prokariot yang dicirikan dengan tidak
adanya membran yang memisahkan inti dengan sitoplasma (Aris, 2011). Ukuran bakteri bervariasi,
biasanya dalam ukuran 0,5-1,0 μm x 2,0- 5,0 (Dwidjoseputro, 1985). Mikroorganisme prokariotik ini
dapat ditemukan dimana-mana seperti di tanah, air, sumber air panas asam dan limbah radioaktif. Bakteri
juga hidup secara simbiosis dan parasit dengan tumbuhan dan hewan (Fredrickson et al., 2004). Secara
umum bakteri berbentuk bulat, batang dan spiral dengan sifat Gram negatif dan Gram positif (Benson,
2001).
Dalam lingkungan akuatik, kelimpahan bakteri dipengaruhi oleh ketersediaan nutrien, pH, suhu,
kesadahan dan salinitas (Aris, 2011). Beberapa bakteri mampu menyebabkan penyakit terhadap
organisme yang disebut dengan bakteri patogen (Levinson, 2008). Bakteri patogen pada organisme
budidaya laut tergolong mesofilik dengan suhu optimum 10–30oC, umumnya bersifat gram negatif dan
berbentuk batang. Namun, beberapa patogen berbentuk batang atau bulat bersifat gram positif dan
beberapa diantaranya berbentuk batang tahan asam. Bakteri mampu menyebabkan penyakit karena
memiliki kemampuan dalam menginfeksi organisme hingga timbulnya penyakit yang disebut dengan
patogenitas (Lacey, 1997).

Berdasarkan patogenitasnya, bakteri dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelompok, yakni patogen


konvensional, kondisional dan oportunistik (Pruss et al 2002). Beberapa bakteri yang mudah tumbuh dan
berkembang dalam perairan atau dikenal patogen oportunistik (Largo et al., 1999; Greenwood et al.
1995). Patogen 15 oportunistik hanya dapat menyerang organisme yang berada dibawah tekanan sehingga
resistensinya terhadap infeksi menurun tajam (Parker, 1978). Beberapa bakteri yang biasa menyerang
organisme laut adalah Vibrio sp., Staphylococcus sp., Bacillus sp., Photobacterium sp., Pseudomonas sp.,
Flavobacterium sp
Respon inang terhadap infeksi bakteri patogen ditandai dengan terganggunya fungsi tubuh hingga
menimbulkan penyakit (Aris, 2011). Faktorfaktor yang mempengaruhi suatu bakteri sehingga mampu
menyebabkan penyakit diantaranya adalah kemampuan bakteri untuk menempel dan masuk ke dalam
tubuh inang, kemampuan untuk mengambil nutrisi dan bertahan hidup dalam inang, kemampuan untuk
berkembang biak serta kemampuan untuk bertahan dari sistem pertahanan tubuh inang (Pelczar dan Chan
1988). Vibrio sp., Micrococcus sp., Flexibacter sp., dan Alcaligenes sp.(Austin dan Austin 1993).
BAB 3
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan kajian literatur yang telah dilakukan, dapat dirangkum dalam penulisan ini bahwa
keragaman bakteri terkait kemunculan penyakit ice-ice dapat dideteksi melalui identifikasi dan
karakterisasi isolat bakteri berdasarkan analisis karakteristik fenotipik maupun molekuler menggunakan
marka gen 16S rRNA. Dari beberapa literatur yang dikaji, keragaman bakteri terkait kemunculan penyakit
ice-ice dapat dipengaruhi oleh lokasi pengambilan sampel yang berbeda. Berdasarkan karakteristik
fenotipik, dapat diketahui bahwa karakteristik bakteri terkait kemunculan penyakit ice-ice dominan
dengan bakteri gram negatif, berbentuk batang atau sebagian kokus dan motil. Selain itu, melalui analisis
secara molekuler ditemukan beberapa spesies terkait kemunculan penyait ice-ice yang tergolong dalam
kelompok Gammaproteobacteria, Alphaproteobacteria, Firmicutes, Actinobacteria dan Bacteroidetes.
Dari beragam jenis bakteri yang berhasil diisolasi, dikonfirmasi bahwa beberapa spesies yang dapat
menimbulkan gejala penyakit ice-ice pada Kapaphycus alvarezii diantaranya adalah Alteromonas
macleodii, Pseudoalteromonas issachenkonii, Aurantimonas coralicida, Stenotrophomonas maltophilia,
dan Vibrio alginolyticus.

3.1 Saran
Kajian literatur ini diharapkan dilakukan kajian lebih mendalam mengenai jenis-jenis antibakteri yang
dapat digunakan untuk mengendalikan bakteri yang terkonfirmasi sebagai penyebab penyakit ice-ice pada
rumput laut Kappaphycus alvarezii.

Anda mungkin juga menyukai