Anda di halaman 1dari 10

Kuning dalam istilah dunia kedokteran disebut dengan jaundice atau ikterus.

Istilah jaundice
(berasal dari bahasa Perancis jaune, yang berarti kuning) atau ikterus (berasal dari bahasa
Yunani icteros) menunjukkan pewarnaan kuning pada kulit, sklera atau membran mukosa
sebagai akibat penumpukan bilirubin yang berlebihan pada jaringan. Kuning sering
ditemukan pada sekitar 60% bayi baru lahir yang sehat dengan usia gestasi > 35 minggu.

Kadar bilirubin serum total (BST) > 5 mg/dL (86 μmol/L) disebut dengan hiperbilirubinemia.
Hiperbilirubinemia umumnya normal, hanya 10% yang berpotensi menjadi patologis
(ensefalopati bilirubin). Hiperbilirubinemia yang mengarah ke kondisi patologis antara lain :
(1) timbul pada saat lahir atau pada hari pertama kehidupan, (2) kenaikan kadar bilirubin
berlangsung cepat (> 5 mg/dL per hari), (3) bayi prematur, (4) kuning menetap pada usia 2
minggu atau lebih, dan (5) peningkatan bilirubin direk > 2 mg/d atau > 20 % dari BST.

Ketakutan yang berlebihan dalam menghadapi hiperbilirubinemia dapat menimbulkan hal-


hal yang tidak diharapkan, seperti meningkatnya kecemasan ibu, menurunnya aktivitas
menyusui, terapi yang tidak perlu, dan biaya yang berlebihan. Oleh karena itu, tata laksana
hiperbilirubinemia harus sesuai dan efektif.

Metabolisme bilirubin pada neonatus

Sel darah merah pada neonatus berumur sekitar 70-90 hari, lebih pendek dari pada sel
darah merah orang dewasa, yaitu 120 hari. Secara normal pemecahan sel darah merah
akan menghasilkan heme dan globin. Heme akan dioksidasi oleh enzim heme oksigenase
menjadi bentuk biliverdin (pigmen hijau). Biliverdin bersifat larut dalam air. Biliverdin akan
mengalami proses degradasi menjadi bentuk bilirubin. Satu gram hemoglobin dapat
memproduksi 34 mg bilirubin. Produk akhir dari metabolisme ini adalah bilirubin indirek
yang tidak larut dalam air dan akan diikat oleh albumin dalam sirkulasi darah yang akan
mengangkutnya ke hati . Bilirubin indirek diambil dan dimetabolisme di hati menjadi bilirubin
direk. Bilirubin direk akan diekskresikan ke dalam sistem bilier oleh transporter spesifik.
Setelah diekskresikan oleh hati akan disimpan di kantong empedu berupa empedu. Proses
minum akan merangsang pengeluaran empedu ke dalam duodenum. Bilirubin direk tidak
diserap oleh epitel usus tetapi akan dipecah menjadi sterkobilin dan urobilinogen yang akan
dikeluarkan melalui tinja dan urin. Sebagian kecil bilirubin direk akan didekonjugasi oleh β-
glukoronidase yang ada pada epitel usus menjadi bilirubin indirek. Bilirubin indirek akan
diabsorpsi kembali oleh darah dan diangkut kembali ke hati terikat oleh albumin ke hati,
yang dikenal dengan sirkulasi enterohepatik.

Bayi baru lahir dapat mengalami hiperbilirubinemia pada minggu pertama kehidupannya
berkaitan dengan: (1) meningkatnya produksi bilirubin (hemolisis) (2), kurangnya albumin
sebagai alat pengangkut (3) penurunan uptake oleh hati, (4) penurunan konjugasi bilirubin
oleh hati, (5) penurunan ekskresi bilirubin, dan (6) peningkatan sirkulasi enterohepatik.

Hiperbilirubinemia yang berhubungan dengan pemberian ASI

Keberhasilan proses menyusui ditentukan oleh faktor ibu dan bayi. Hambatan pada proses
menyusui dapat terjadi karena produksi ASI yang tidak cukup, atau ibu kurang sering
memberikan kesempatan pada bayinya untuk menyusu. Pada beberapa bayi dapat terjadi
gangguan menghisap. Hal ini mengakibatkan proses pengosongan ASI menjadi tidak
efektif. ASI yang tertinggal di dalam payudara ibu akan menimbulkan umpan balik negatif
sehingga produksi ASI menurun. Gangguan menyusui pada ibu dapat terjadi preglandular
(defisiensi serum prolaktin, retensi plasenta), glandular (jaringan kelenjar mammae yang
kurang baik, riwayat keluarga, post mamoplasti reduksi), dan yang paling sering gangguan
postglandular (pengosongan ASI yang tidak efektif).

Hiperbilirubinemia yang berhubungan dengan pemberian ASI dapat berupa breastfeeding


jaundice (BFJ) danbreastmilk jaundice (BMJ). Perbedaannya dapat dilihat pada Tabel 1.
Bayi yang mendapat ASI eksklusif dapat mengalami hiperbilirubinemia yang dikenal dengan
BFJ. Penyebab BFJ adalah kekurangan asupan ASI. Biasanya timbul pada hari ke-2 atau
ke-3 pada waktu ASI belum banyak. Breastfeeding jaundice tidak memerlukan pengobatan
dan tidak perlu diberikan air putih atau air gula. Bayi sehat cukup bulan mempunyai
cadangan cairan dan energi yang dapat mempertahankan metabolismenya selama 72 jam.
Pemberian ASI yang cukup dapat mengatasi BFJ. Ibu harus memberikan kesempatan lebih
pada bayinya untuk menyusu. Kolostrum akan cepat keluar dengan hisapan bayi yang terus
menerus. ASI akan lebih cepat keluar dengan inisiasi menyusu dini dan rawat gabung.

Breastmilk jaundice mempunyai karakteristik kadar bilirubin indirek yang masih meningkat
setelah 4-7 hari pertama. Kondisi ini berlangsung lebih lama daripada hiperbilirubinemia
fisiologis dan dapat berlangsung 3-12 minggu tanpa ditemukan penyebab hiperbilirubinemia
lainnya. Penyebab BMJ berhubungan dengan pemberian ASI dari seorang ibu tertentu dan
biasanya akan timbul pada setiap bayi yang disusukannya. Semua bergantung pada
kemampuan bayi tersebut dalam mengkonjugasi bilirubin indirek (bayi prematur akan lebih
berat ikterusnya). Penyebab BMJ belum jelas, beberapa faktor diduga telah berperan
sebagai penyebab terjadinya BMJ. Breastmilk jaundise diperkirakan timbul akibat
terhambatnya uridine diphosphoglucoronic acid glucoronyl transferase (UDPGA) oleh hasil
metabolisme progesteron yaitu pregnane-3-alpha 20 beta-diol yang ada dalam ASI ibu-ibu
tertentu. Pendapat lain menyatakan hambatan terhadap fungsi glukoronid transferase di
hati oleh peningkatan konsentrasi asam lemak bebas yang tidak di esterifikasi dapat juga
menimbulkan BMJ. Faktor terakhir yang diduga sebagai penyebab BMJ adalah peningkatan
sirkulasi enterohepatik. Kondisi ini terjadi akibat (1) peningkatan aktifitas beta-glukoronidase
dalam ASI dan juga pada usus bayi yang mendapat ASI, (2) terlambatnya pembentukan
flora usus pada bayi yang mendapat ASI serta (3) defek aktivitas uridine
diphosphateglucoronyl transferase (UGT1A1) pada bayi yang homozigot atau heterozigot
untuk varian sindrom Gilbert.

Pedoman terapi sinar pada breastfeeding jaundice dan breastmilk jaundice

The American Academy of Pediatrics (AAP) telah membuat parameter praktis untuk tata
laksana hiperbilirubinemia pada bayi cukup bulan yang sehat dan pedoman terapi sinar
pada bayi usia gestasi ‰¥ 35 minggu. Pedoman tersebut juga berlaku pada bayi cukup
bulan yang sehat dengan BFJ dan BMJ. AAP tidak menganjurkan penghentian ASI dan
telah merekomendasikan pemberian ASI terus menerus (minimal 8-10 kali dalam 24 jam).
Penggantian ASI dengan pemberian air putih, air gula atau susu formula tidak akan
menurunkan kadar bilirubin pada BFJ maupun BMJ yang terjadi pada bayi cukup bulan
sehat.

Gartner dan Auerbach mempunyai pendapat lain mengenai pemberian ASI pada bayi
dengan BMJ. Pada sebagian kasus BMJ, dilakukan penghentian ASI sementara.
Penghentian ASI akan memberi kesempatan hati mengkonjungasi bilirubin indirek yang
berlebihan. Apabila kadar bilirubin tidak turun maka penghentian ASI dilanjutkan sampai 18-
24 jam dan dilakukan pengukuran kadar bilirubin setiap 6 jam. Apabila kadar bilirubin tetap
meningkat setelah penghentian ASI selama 24 jam, maka jelas penyebabnya bukan karena
ASI, ASI boleh diberikan kembali sambil mencari penyebab hiperbilirubinemia yang lain.
Jadi penghentian ASI untuk sementara adalah untuk menegakkan diagnosis.

Persamaannya dengan AAP yaitu bayi dengan BFJ tetap mendapatkan ASI selama dalam
proses terapi. Tata laksana yang dilakukan pada BFJ meliputi (1) pemantauan jumlah ASI
yang diberikan apakah sudah mencukupi atau belum, (2) pemberian ASI sejak lahir dan
secara teratur minimal 8 kali sehari, (3) pemberian air putih, air gula dan formula pengganti
tidak diperlukan, (4) pemantauan kenaikan berat badan serta frekuensi BAB dan BAK, (5)
jika kadar bilirubin mencapai 15 mg/dL, perlu melakukan penambahan volume cairan dan
stimulasi produksi ASI dengan melakukan pemerasan payudara, (6) jika kadar bilirubin
mencapai kadar 20 mg/dL, perlu melakukan terapi sinar jika terapi lain tidak berhasil, dan
(7) pemeriksaan komponen ASI dilakukan jika hiperbilirubinemia menetap lebih dari 6 hari,
kadar bilirubin meningkat melebihi 20 mg/dL, atau riwayat terjadi BFJ pada anak
sebelumnya.

Yang dimaksud dengan fototerapi intensif adalah radiasi dalam spektrum biru-hijau
(panjang gelombang antara 430-490 nm), setidaknya 30 μW/cm2 per nm (diukur pada kulit
bayi secara langsung di bawah pertengahan unit fototerapi) dan diarahkan ke permukaan
kulit bayi seluas-luasnya. Pengukuran harus dilakukan dengan radiometer spesifik dari
manufaktur unit fototerapi
tersebut.

Selanjutnya pertanyaan yang sering timbul adalah kapan terapi sinar harus dihentikan.
Sampai saat ini belum ada standar pasti untuk menghentikan terapi sinar, akan tetapi terapi
sinar dapat dihentikan bila kadar BST sudah berada di bawah nilai cut off point dari setiap
kategori. Untuk bayi yang dirawat di rumah sakit pertama kali setelah lahir (umumnya
dengan kadar BST > 18 mg/dL (308 μmol/L) maka terapi sinar dapat dihentikan bila BST
turun sampai di bawah 13 - 14 mg/dL (239 μmol/L). Untuk bayi dengan penyakit hemolitik
atau dengan keadaan lain yang diterapi sinar di usia dini dan dipulangkan sebelum bayi
berusia 3-4 hari, direkomendasikan untuk pemeriksaan ulang bilirubin 24 jam setelah
dipulangkan. Bayi yang dirawat di rumah sakit untuk kedua kali dengan hiperbilirubinemia
dan kemudian dipulangkan, jarang terjadi kekambuhan yang signifikan sehingga
pemeriksaan ulang bilirubin dilakukan berdasarkan indikasi klinis.

Sebagian besar unit neonatal di Indonesia masih memberikan terapi sinar pada setiap bayi
baru lahir cukup bulan dengan BST ‰¥ 12 mg/dL atau bayi prematur dengan BST ‰¥ 10
mg/dL tanpa melihat usia. Diharapkan agar penggunaan terapi sinar atau transfusi tukar
disesuaikan dengan anjuran AAP. Gartner dan Auerbach merekomendasikan jika kadar
bilirubin > 20 mg/dL pada bayi cukup bulan, maka penting untuk menurunkan kadar bilirubin
secepatnya. Terapi sinar harus segera dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan
laboratorium darah untuk penegakan diagnosis BFJ dan BMJ. Pada beberapa kasus,
pemberian cairan intra vena dapat dipertimbangkan misalnya ada dehidrasi atau sepsis.
Terapi sinar dapat dilakukan bila ada riwayat pada saudara sebelumnya mengalami BMJ.
Batas kadar bilirubin untuk melakukan terapi sinar biasanya lebih rendah pada kasus
tersebut (< 12 mg/dL). Pemantauan lanjut saat bayi sudah di rumah juga penting dilakukan.
Pemantauan dapat berlangsung selama kurang lebih 14 hari. Pemantauan dilakukan
terutama jika kadar bilirubin mencapai > 12 mg/dL.

Kesimpulan

Hiperbilirubinemia dapat terjadi pada bayi cukup bulan sehat yang menyusui.
Hiperbilirubinemia yang berhubungan dengan pemberian ASI dapat berupa breastfeeding
jaundice (BFJ) dan breastmilk jaundice (BMJ). Penyebab BFJ adalah kekurangan asupan
ASI, biasanya timbul pada hari ke-2 atau ke-3 pada waktu ASI belum banyak. Penyebab
BMJ belum begitu jelas. The American Academy of Pediatrics (AAP) tidak menganjurkan
penghentian ASI dan merekomendasikan pemberian ASI terus menerus (minimal 8-10 kali
dalam 24 jam). Sedangkan Gartner dan Auerbach merekomendasikan dilakukan
penghentian ASI sementara pada sebagian kasus BMJ dan tetap mendapat ASI selama
dalam proses terapi BFJ.

Ikterus adalah pewarnaan kuning yang tampak pada sklera dan kulit yang disebabkan oleh
penumpukan bilirubin. Ikterus umumnya mulai tampak pada sklera (bagian putih mata) dan
muka, selanjutnya meluas secara sefalokaudal (dari atas ke bawah) ke arah dada, perut
dan ekstremitas. Pada bayi baru lahir, ikterus seringkali tidak dapat dilihat pada sklera
karena bayi baru lahir umumnya sulit membuka mata.

Ikterus pada bayi baru lahir pada minggu pertama terjadi pada 60% bayi cukup bulan dan
80% bayi kurang bulan. Hal ini adalah keadaan yang fisiologis. Walaupun demikian,
sebagian bayi akan mengalami ikterus yang berat sehingga memerlukan pemeriksaan dan
tata laksana yang benar untuk mencegah kesakitan dan kematian.

Seringkali dijumpai ibu yang baru melahirkan menolak memberikan ASI atau meminta agar
bayinya diberi tambahan susu formula pada hari-hari pertama, karena kawatir ASI nya tidak
cukup dan bayinya akan menjadi kuning. Apakah pendapat tersebut benar?. Oleh karena
itu, pada makalah ini akan dibahas tentang penyebab ikterus pada bayi baru lahir, bahaya
yang dapat ditimbulkan, dan tata laksananya.

Metabolisme bilirubin

Penumpukan bilirubin merupakan penyebab terjadinya kuning pada bayi baru lahir. Bilirubin
adalah hasil pemecahan sel darah merah (SDM). Hemoglobin (Hb) yang berada di dalam
SDM akan dipecah menjadi bilirubin. Satu gram Hb akan menghasilkan 34 mg bilirubin.

Bilirubin ini dinamakan bilirubin indirek yang larut dalam lemak dan akan diangkut ke hati
terikat oleh albumin. Di dalam hati bilirubin dikonyugasi oleh enzim glukoronid transferase
menjadi bilirubin direk yang larut dalam air untuk kemudian disalurkan melalui saluran
empedu di dalam dan di luar hati ke usus.

Di dalam usus bilirubin direk ini akan terikat oleh makanan dan dikeluarkan sebagai
sterkobilin bersama bersama tinja. Apabila tidak ada makanan di dalam usus, bilirubin direk
ini akan diubah oleh enzim di dalam usus yang juga terdapat di dalam air susu ibu (ASI),
yaitu beta-glukoronidase menjadi bilirubin indirek yang akan diserap kembali dari dalam
usus ke dalam aliran darah. Bilirubin indirek ini akan diikat oleh albumin dan kembali ke
dalam hati. Rangkaian ini disebut sirkulus enterohepatik (rantai usus-hati).

Ikterus pada neonatus

Peningkatan bilirubin pada neonatus sering terjadi akibat :

 Selama masa janin, bilirubin diekskresi (dikeluarkan) melalui plasenta ibu,


sedangkan setelah lahir harus diekskresi oleh bayi sendiri dan memerlukan waktu
adaptasi selama kurang lebih satu minggu
 Jumlah sel darah merah lebih banyak pada neonatus
 Lama hidup sel darah merah pada neonatus lebih singkat dibanding lama hidup sel
darah merah pada usia yang lebih tua
 Jumlah albumin untuk mengikat bilirubin pada bayi prematur (bayi kurang bulan)
atau bayi yang mengalami gangguan pertumbuhan intrauterin (dalam kandungan)
sedikit.
 Uptake (ambilan) dan konyugasi (pengikatan) bilirubin oleh hati belum sempurna,
terutama pada bayi prematur
 Sirkulasi enterohepatik meningkat

Bahaya penumpukan bilirubin

Bilirubin indirek yang larut dalam lemak bila menembus sawar darah otak akan terikat oleh
sel otak yang terdiri terutama dari lemak. Sel otak dapat menjadi rusak, bayi kejang,
menderita kernikterus, bahkan menyebabkan kematian. Bila kernikterus dapat dilalui, bayi
dapat tumbuh tapi tidak berkembang. Selain bahaya tersebut, bilirubin direk yang
bertumpuk di hati akan merusak sel hati menyebabkan sirosis hepatik (pengerutan hati).

Hiperbilirubinemia (kadar bilirubin tinggi) pada bayi kurang bulan lebih sering terjadi, lebih
cepat terlihat, dan berlangsung lebih lama. Kadar bilirubin di dalam darah bayi kurang bulan
juga lebih tinggi dibanding bayi cukup bulan (Gambar 5). Hal ini disebabkan oleh sel hati
yang masih imatur (belum matang), uptake dan konyugasi bilirubin lambat dan sirkulasi
enterohepatik yang meningkat.

Ikterus dan pemberian ASI

Ikterus yang berhubungan dengan pemberian ASI disebabkan oleh peningkatan bilirubin
indirek. Ada 2 jenis ikterus yang berhubungan dengan pemberian ASI, yaitu (1) Jenis
pertama: ikterus yang timbul dini (hari kedua atau ketiga) dan disebabkan oleh asupan
makanan yang kurang karena produksi ASI masih kurang pada hari pertama dan (2) Jenis
kedua: ikterus yang timbul pada akhir minggu pertama, bersifat familial disebabkan oleh zat
yang ada di dalam ASI.

Ikterus dini

Bayi yang mendapat ASI eksklusif dapat mengalami ikterus. Ikterus ini disebabkan oleh
produksi ASI yang belum banyak pada hari hari pertama. Bayi mengalami kekurangan
asupan makanan sehingga bilirubin direk yang sudah mencapai usus tidak terikat oleh
makanan dan tidak dikeluarkan melalui anus bersama makanan. Di dalam usus, bilirubin
direk ini diubah menjadi bilirubin indirek yang akan diserap kembali ke dalam darah dan
mengakibatkan peningkatan sirkulasi enterohepatik. Keadaan ini tidak memerlukan
pengobatan dan jangan diberi air putih atau air gula. Untuk mengurangi terjadinya ikterus
dini perlu tindakan sebagai berikut :

 bayi dalam waktu 30 menit diletakkan ke dada ibunya selama 30-60 menit
 posisi dan perlekatan bayi pada payudara harus benar
 berikan kolostrum karena dapat membantu untuk membersihkan mekonium dengan
segera. Mekonium yang mengandung bilirubin tinggi bila tidak segera dikeluarkan,
bilirubinnya dapat diabsorbsi kembali sehingga meningkatkan kadar bilirubin dalam
darah.
 bayi disusukan sesuai kemauannya tetapi paling kurang 8 kali sehari.
 jangan diberikan air putih, air gula atau apapun lainnya sebelum ASI keluar karena
akan mengurangi asupan susu.
 monitor kecukupan produksi ASI dengan melihat buang air kecil bayi paling kurang
6-7 kali sehari dan buang air besar paling kurang 3-4 kali sehari.

Ikterus karena ASI

Iketrus karena ASI pertama kali didiskripsikan pada tahun 1963. Karakteristik ikterus karena
ASI adalah kadar bilirubin indirek yang masih meningkat setelah 4-7 hari pertama,
berlangsung lebih lama dari ikerus fisiologis yaitu sampai 3-12 minggu dan tidak ada
penyebab lainnya yang dapat menyebabkan ikterus. Ikterus karena ASI berhubungan
dengan pemberian ASI dari seorang ibu tertentu dan biasanya akan timbul ikterus pada
setiap bayi yang disusukannya. Selain itu, ikterus karena ASI juga bergantung kepada
kemampuan bayi mengkonjugasi bilirubin indirek (misalnya bayi prematur akan lebih besar
kemungkinan terjadi ikterus).

Penyebab ikterus karena ASI belum jelas tetapi ada beberapa faktor yang diperkirakan
memegang peran, yaitu :
 terdapat hasil metabolisme hormon progesteron yaitu pregnane3-α 20 betadiol di
dalam ASI yang menghambat uridine diphosphoglucoronic acid (UDPGA)
 peningkatan konsentrasi asam lemak bebas yang nonesterified yang menghambat
fungsi glukoronid transferase di hati
 peningkatan sirkulasi enterohepatik karena adanya peningkatan aktivitas ß
glukoronidase di dalam ASI saat berada dalam usus bayi.
 defek pada aktivitas uridine diphosphate-glucoronyl transferase (UGT1A1) pada bayi
homozigot atau heterozigot untuk varian sindrom Gilbert.

Diagnosis ikterus karena ASI

Semua penyebab ikterus harus disingkirkan. Orangtua dapat ditanyakan apakah anak
sebelumnya juga mengalami ikterus. Sekitar 70% bayi baru lahir yang saudara sebelumnya
mengalami ikterus karena ASI akan mengalami ikterus pula.

Beratnya ikterus bergantung pada kematangan hati untuk mengkonyugasi kelebihan


bilirubin indirek ini. Untuk kepastian diagnosis apalagi bila kadar bilirubin telah mencapai di
atas 16 mg/dl selama lebih dari 24 jam adalah dengan memeriksa kadar bilirubin 2 jam
setelah menyusu dan kemudian menghentikan pemberian ASI selama 12 jam (tentu bayi
mendapat cairan dan kalori dari makanan lain berupa ASI dari donor atau pengganti ASI
dan ibu tetap diperah agar produksi ASI tidak berkurang). Setelah 12 jam kadar bilirubin
diperiksa ulang, bila penurunannya lebih dari 2 mg/dl maka diagnosis dapat dipastikan.

Bila kadar bilirubin telah mencapai < 15 mg/dl, maka ASI dapat diberikan kembali. Kadar
bilirubin diperiksa ulang untuk melihat apakah ada peningkatan kembali.

Pada sebagian besar kasus penghentian ASI untuk beberapa lama akan memberi
kesempatan hati mengkonyugasi bilirubin indirek yang berlebihan tersebut, sehingga
apabila ASI diberikan kembali kenaikannya tidak akan banyak dan kemudian berangsur
menurun.

Apabila kadar bilirubin tidak turun maka penghentian pemberian ASI dilanjutkan sampai 18-
24 jam dengan mengukur kadar bilirubin setiap 6 jam. Apabila kadar bilirubin tetap
meningkat setelah penghentian pemberian ASI selama 24 jam maka jelas penyebabnya
bukan karena ASI. ASI boleh diberikan kembali sambil mencari penyebab ikterus lainnya.

Masih terdapat kontroversi untuk tetap melanjutkan pemberian ASI atau dihentikan
sementara pada keadaan ikterus karena ASI. Biasanya kadar bilirubin akan menurun
drastis bila ASI dihentikan sementara (Gambar 6).
Tata laksana

Pada hiperbilirubinemia, bayi harus tetap diberikan ASI dan jangan diganti dengan air putih
atau air gula karena protein susu akan melapisi mukosa usus dan menurunkan penyerapan
kembali bilirubin yang tidak terkonyugasi. Pada keadaan tertentu bayi perlu diberikan terapi
sinar. Transfusi tukar jarang dilakukan pada ikterus dini atau ikterus karena ASI. Indikasi
terapi sinar dan transfusi tukar sesuai dengan tata laksana hiperbilirubinemia.

Yang perlu diperhatikan pada bayi yang mendapat terapi sinar adalah sedapat mungkin ibu
tetap menyusui atau memberikan ASI yang diperah dengan menggunakan cangkir supaya
bayi tetap terbangun dan tidak tidur terus. Bila gagal menggunakan cangkir, maka dapat
diberikan dengan pipa orogastrik atau nasogastrik, tetapi harus segera dicabut sehingga
tidak mengganggu refleks isapnya. Kegiatan menyusui harus sering (1-2 jam sekali) untuk
mencegah dehidrasi, kecuali pada bayi kuning yang tidur terus, dapat diberikan ASI tiap 3
jam sekali. Jika ASI tidak cukup maka lebih baik diberikan ASI dan PASI bersama daripada
hanya PASI saja.

Ikterus dini yang menetap lebih dari 2 minggu ditemukan pada lebih dari 30% bayi,
sehingga memerlukan tata laksana sebagai berikut :

1. jika pemeriksaan fisik, urin dan feses normal hanya diperlukan observasi saja.
2. dilakukan skrining hipotiroid
3. jika menetap sampai 3 minggu, periksa kadar bilirubin urin, bilirubin direk dan total.

Manajemen dan penyimpanan ASI

Pada ikterus dini dan ikterus karena ASI diperlukan manajemen ASI yang benar.
Pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan tanpa diberikan apa-apa selain ASI. Pemberian
ASI eksklusif akan berhasil bila terdapat perlekatan yang erat. Bayi disusui segera setelah
lahir, sering menyusui dan memerah ASI.

Perlekatan yang baik bila sebagian besar areola masuk ke mulut bayi, mulut bayi terbuka
lebar, dan bibir bawah terputar ke bawah. Pada ikterus karena ASI yang terpaksa harus
menghentikan ASI untuk sementara, sebaiknya diberikan pengganti ASI dengan tidak
menggunakan dot, tapi menggunakan sendok kecil atau cangkir. ASI harus sering diperah
dan disimpan dengan tepat terutama pada ibu yang bekerja. Berikut adalah cara
menyimpan ASI yang diperah:

1. ASI yang telah diperah dan belum diberikan dalam waktu 30 menit, sebaiknya
disimpan dalam lemari es.
2. ASI dapat disimpan selama 2 jam dalam lemari es dengan menggunakan kontainer
yang bersih, misalnya plastik
3. ASI yang diperah harus tetap dingin terutama selama dibawa transportasi.
4. ASI yang tidak digunakan selama 48 jam, sebaiknya didinginkan di freezer dan
dapat disimpan selama 3 bulan.
5. Sebaiknya diberi label tanggal pada ASI yang diperah, sehingga bila akan
digunakan, ASI yang awal disimpan yang digunakan.
6. Jangan memanaskan ASI dengan direbus, cukup direndam dalam air hangat. Juga
jangan mencairkan ASI beku langsung dengan pemanasan, pindahkan dahulu ke
lemari es pendingin agar mencair baru dihangatkan

Dengan manajemen ASI yang benar diharapkan bayi dapat diberikan ASI secara eksklusif
sekalipun mengalami ikterus.

Sumber : Buku Bedah ASI IDAI

Penulis : Rulina Suradi dan Debby Letupeirissa

Inkompatibilitas Rhesus adalah kondisi medis dimana ibu dengan darah rhesus
negatif (Rh-negatif) dan bayi dengan darah rhesus positif (Rh-positif) sewaktu
kehamilan. Perbedaan golongan darah yang ditandai dengan tipe protein yang
ditemukan pada permukaan sel darah merah. Apabila faktor protein Rh muncul,
individu dikatakan Rh positif. Di sisi lain, tidak ditemukannya faktor Rh
mengindikasikan individu tersebut merupakan Rh-negatif. Inkompatibilitas Rh
hanya dapat terjadi ketika ibu dengan Rh-negatif dan janinnya dengan Rh-positif.
Sistem kekebalan tubuh ibu menganggap sel-sel janin sebagai benda asing,
menyebabkan antibodi anti-Rh memasuki peredaran darah bayi dan
menghancurkan sel-sel darah merah bayi. Inkompatibilitas Rh sering tidak
menimbulkan masalah pada kehamilan pertama, akan tetapi, risiko meningkat
seiring dengan setiap kehamilan. Hal ini terjadi karena darah ibu berespon
terhadap antibodi anti-Rh yang dihasilkan terhadap sel darah merah Rh-positif
(darah ibu dikatakan tersensitasi) akibat percampuran darah setelah melahirkan
anak pertama. Pada kehamilan berikutnya dengan bayi Rh-positif, antibodi anti-
Rh akan mengenali janin sebagai benda asing dan menyerang sel-sel darah
merah janin. Hal ini berpotensi menyebabkan komplikasi yang mengancam jiwa
pada bayi, seperti anemia, ikterus, kerusakan otak, kematian prematur janin di
dalam kandungan ibu.

Anda mungkin juga menyukai