Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Pemerintah Daerah
Dosen Pengampu: Cholida Hanum M.H.
Disusun Oleh:
Afrizal
Hanif
Ariza
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah
Hukum Perdata. Kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Cholida Hanum M.H. selaku
dosen pengampu mata kuliah Hukum Pemerintah Daerah yang telah membimbing dalam
pembuatan makalah dan memberikan tugas ini sehingga menambah pengetahuan serta
wawasan. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang membantu dalam
pembuatan makalah ini.
Semoga dengan dibuatnya makalah ini, bisa menjadi referensi dalam Ilmu pengetahuan
khususnya Hukum tata negara. Kami menyadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.
Oleh karena itu, kritik dan saran dari semua pihak diperlukan demi perbaikan masa yang akan
datang. Kami mohon maaf apabila ada kesalahan dalam proses pembuatan makalah.
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pada masa sebelum 1998, kekuasaan Pemerintah Pusat negara Republik
Indonesia sangat sentralistik dan semua daerah di republik ini menjadi perpanjangan
tangan kekuasaan Jakarta (pemerintah pusat). Dengan kata lain, rezim Orde Baru
mewujudkan kekuasaan sentripetal, yakni berat sebelah memihak pusat bukan
pinggiran (daerah).
B.J. Habibie yang menggantikan Soeharto sebagai presiden pasca-Orde Baru
membuat kebijakan politik baru yang mengubah hubungan kekuasaan pusat dan
daerah dengan menerbitkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang
Pelaksanaan Otonomi Daerah atau yang biasa disebut desentralisasi. Dengan terbitnya
undang-undang ini, daerah tidak lagi sepenuhnya bergantung pada Jakarta dan tidak
lagi mau didikte oleh pusat. Bahkan, beberapa daerah, seperti Aceh, Riau dan Papua
menuntut merdeka dan ingin berpisah dari Republik Indonesia.1
Pada masa awal reformasi, selain adanya keinginan provinsi memisahkan dari
republik, juga bermuncukan aspirasi dari berbagai daerah yang menginginkan
dilakukannya pemekaran provinsi atau kabupaten. Dalam upaya pembentukan
provinsi dan kabupaten baru ini, tarik-menarik antara kelompok yang setuju dan tidak
setuju terhadap pemekaran daerah sebagai akibat dari otonomi daerah meningkatkan
suhu politik lokal.
B. RUMUSAN MASALAH
1
Indonesia Beyond Soeharto: Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi (Jakarta: PT Gramedia, 2001), hlm. 122-
181.
BAB II
PEMBAHASAN
A. DAERAH OTONOM
Daerah otonom adalah daerah di dalam suatu negara yang memiliki kekuasaan
otonom atau kebebasan dari pemerintah di luar daerah tersebut. Biasanya suatu
daerah diberi sistem ini karena keadaan geografinya yang unik atau penduduknya
merupakan minoritas negara tersebut, sehingga diperlukan hukum-hukum yang
khusus, yang hanya cocok diterapkan untuk daerah tersebut. Menurut jenisnya,
daerah otonom dapat berupa otonomi teritorial, otonomi kebudayaan, dan otonomi
lokal. Di Indonesia,daerah otonom diartikan sebagai kesatuan masyarakat hukum
yang mempunyai batas daerah tertentu, yang berwenang mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
kata otonomi sendiri berasal berasal dua istilah bahasa Yunani, yaitu autos
(sendiri) dan nomos (peraturan) atau undang-undang. oleh karena itu, otonomi
berarti peraturan sendiri atau undangundang sendiri, yg selanjutnya berkembang
sebagai pemerintahan sendiri. dalam terminologi ilmu pemerintahan dan aturan
administrasi negara, kata swatantra ini sering dihubungkan dengan swatantra
wilayah dandaerah otonom. sang sebab itu, akan dibahas pengertian otonomi,
swatantra daerah dan wilayah otonom.
A. Aceh (1959-sekaarang)
Aceh adalah daerah Provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat
hukum yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dipimpin oleh seorang
Gubernur. Aceh menerima status istimewa pada 1959, tiga tahun setelah
pembentukan kembali pada 1956, dan sepuluh tahun sejak pembentukan
pertama 1949. Status istimewa diberikan kepada Aceh dengan Keputusan
Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor 1/Missi/1959, yang isi
keistimewaannya meliputi agama, peradatan, dan pendidikan. Namun
pelaksanaan keistimewaan tidak berjalan dengan semestinya dan hanya
sebagai formalitas belaka.
Pasca penerbitan UU 44/1999 keistimewaan Aceh meliputi
penyelenggaraan kehidupan beragama, adat, pendidikan, dan peran ulama
dalam penetapan kebijakan Daerah. Keistimewaan di bidang penyelenggaraan
kehidupan beragama dalam bentuk pelaksanaan syari’at Islam bagi
pemeluknya di Aceh, dengan tetap menjaga kerukunan hidup antarumat
beragama, meliputi: ibadah, ahwal alsyakhshiyah (hukum keluarga),
muamalah (hukum perdata), jinayah (hukum pidana), qadha’ (peradilan),
tarbiyah (pendidikan), dakwah, syiar, dan pembelaan Islam. Keistimewaan di
bidang penyelenggaraan kehidupan adat meliputi Lembaga Wali Nanggroe
dan Lembaga Adat Aceh (misal Majelis Adat Aceh, Imeum mukim, dan
Syahbanda).
Keistimewaan di bidang pendidikan meliputi penyelenggaraan
pendidikan yang berkualitas serta menambah materi muatan lokal sesuai
dengan syari’at Islam serta menyelenggarakan pendidikan madrasah ibtidaiyah
dan madrasah tsanawiyah. Keistimewaan di bidang peran ulama meliputi
Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh dan Kabupaten/Kota yang
memiliki tugas dan wewenang untuk memberi fatwa baik diminta maupun
tidak diminta terhadap persoalan pemerintahan, pembangunan, pembinaan
masyarakat, dan ekonomi; dan memberi arahan terhadap perbedaan pendapat
pada masyarakat dalam masalah keagamaan.
Pemekaran daerah (propinsi, kabupaten, kecamatan, dan desa) merupakan dinamika kemauan
politik warga di daerah-daerah yg memiliki cakupan luasan wilayah administratif cukup luas.
Ditetapkannya UU No. 32 Tahun 2004 serta PP No. 78 Tahun 2007 tentang istiadat
Pembentukan, Penghapusan, serta Penggabungan daerah, pemerintah telah menyampaikan
ruang bagi daerah buat melakukan pemekaran wilayah pada rangka peningkatan
kesejahteraan warga secara merata di setiap strata. sesuai ketentuan tersebut, pemekaran
daerah dapat berupa penggabungan asal beberapa wilayah atau bagian daerah yg berdekatan
atau pemekaran dari satu daerah menjadi lebih asal satu daerah. Sedangkan secara substansi,
pemekaran daerah bertujuan buat menaikkan pelayanan pemerintah di masyarakat pada
rangka percepatan pembangunan ekonomi daerah, peningkatan keamanan serta ketertiban
buat. mewujudkan keserasian pembangunan antar sentra dan daerah. Selain itu diatas,
pemekaran wilayah bisa dijadikan sebagai sarana pendidikan politik pada tingkat lokal untuk
sinkron potensi dan cita cita wilayah.2
Gagasan pemekaran wilayah dan pembentukan wilayah Otonom Baru memiliki dasar aturan
yang cukup kuat. Secara yuridis landasan yg memuat duduk perkara pembentukan wilayah
terdapat pada pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 yang pada dasarnya, bahwa membagi
daerah Indonesia atas wilayah akbar (provinsi) serta daerah provinsi akan dibagi pada
wilayah yg lebih mungil. Selanjutnya dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2004 wacana
Pemerintahan daerah yangmemberi peluang pembentukan daerah pada suatu NKRI, yaitu
daerah yang dibuat sesuai pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya,
sosial politik, jumlah penduduk, luas wilayah serta pertimbangan lain yg memungkinkan
terselenggaranya swatantra daerah.3
Perkembangan pemekaran daerah pada kurun ketika sembilan tahunterakhir ini cukup poly
menerima respon rakyat. sampai tahun 2005,\ pemerintah telah mengesahkan pemekaran
wilayah sebanyak 148 daerah otonom baru, terdiri berasal 7 propinsi, 114 kabupaten, serta 27
kota (tahun 1999-2004). sampai tahun 2007 telah terbentuk 173 wilayah otonom, terdiri
berasal 7 propinsi, 135 kabupaten, serta 31 kota. pada versi lain pemekaran daerah selama
tahun 1999-2007, telah terbentuk 7 propinsi, 144 kabupaten, dan 27 kota. di tahun 2007, dpr
sudah memutuskan 12 daerah dari usulan 39 wilayah yang diterima menjadi wilayah
pemekaran yang disahkan sang Departemen dalam Negeri.15 berdasarkan data asal
Kementerian pada Negeri, antara tahun 1999 sampai menggunakan tahun 2009, sudah
terbentuk 205 daerah Otonom Baru, yg terdiri atas 7 provinsi, 165 kabupaten, serta 33 kota.
Maraknya pemekaran wilayah ini di satu pihak perlu disyukuri sebab menyampaikan
kawasan bagi aspirasi, keberagaman, serta swatantra lokal, sesuatu yang dulu diabaikan pada
era Orde Baru. tetapi pada lain pihak, kenyataan pemekaran daerah secara besar -besaran tadi
sekaligus membawa persoalan-masalah baru. masalah-duduk perkara yang bisa terjadi akibat
asal ketergesa-gesaan di suatu wilayah yg mengalami pemekaran wilayah di antaranya artinya
2
3
adanya ketidakjelasan pada unsur geografis, struktur kelembagaan masyarakat yg tidak
kentara akan menghasilkan kelangsungan sosial pada lapangan menjadi tersendat, tidak
berjalan lancar. seperti planning tata ruang wilayah (RTRW) yg jelek pada pemetaannya akan
membentuk masyarakat sulit menggunakan kebutuhan administrasi dalam kepentingan
sebagai warga negara Indonesia. Kemudian duduk perkara kepemimpinan yg tidak jarang
bagian paling rumit memilih suatu pemerintahan akan menyeret ke dalam problem baru.
lstilah pemekaran wilayah kadang silih berganti digunakan buat menggantikan istilah
pembentukan daerah. Hal ini dikarenakan kedua kata tersebut mempunyai pengeriian yang
hampir sama meskipun sebenamya istilah pembentukan wilayah"riliti maKna tidak sinkron
menggunakan pemekaran wilayah. terdapat beberapa makna yang terkandung pada dalam
istilah pembentukan daerah.
1. lstilih pembentukan wilayah lebih tepat dipakai untuk menyebut proses penetapan sebuah
wilayah bekas satuan administrasi lokal, contohnya penetapan Kabupaten serta Kotapraja
pada Jawa tahun 1945 - 1950 menjadi pemerintahan lokal negara baru lndonesia.
2. kata Pembentukan daerah jua dipakai buat wilayah-wilayah yang telah disepakati menjadi
daerah negara Rl, tetapi pasca Perang dunia ll diserahkan tentara sekutu pada kekuasaan
Belanda