Disusun Oleh:
KHAIRUNNISA ANI PUTRI
(0703222030)
1
Pasal 10 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
2
Khusna Yulinda Udhiyanasari, “SIKAP GURU TERHADAP ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DI
SEKOLAH INKLUSI”, Journal of Education and Instruction Vol. 2 No. 1 (Juni, 2019), hlm. 16.
dan persamaan hak di kelas. Bahkan dengan adanya inisiatif untuk mendirikan kelas
inklusif, anak-anak berkebutuhan khusus masih mengalami kesulitan dalam mengakses
kurikulum dan metodologi pembelajaran karena kekakuannya. Karena kurangnya
pelatihan langsung, guru sering kali tidak memiliki pengetahuan dan kemampuan yang
diperlukan untuk memasukkan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan siswa
penyandang disabilitas. Guru belum mendapatkan pelatihan yang cukup untuk
membantu pembelajaran inklusif dengan baik, sebagian besar pelatihan yang mereka
terima hanya berfokus pada sosialisasi.
Tingkat pendidikan guru adalah salah satu dari banyak variabel yang
mempengaruhi adopsi guru terhadap pendidikan inklusif. Guru dengan tingkat
pendidikan yang berbeda biasanya menunjukkan sikap yang berbeda dengan guru yang
memiliki pendidikan yang lebih rendah dari bidangnya. Sebagai contoh, seorang guru
yang memiliki gelar sarjana di bidang PGSD mungkin memiliki pola pikir yang berbeda
dengan guru yang memiliki gelar sarjana di bidang pendidikan luar biasa. Pendidikan
di tingkat D3, S1, S2, dan S3 pun demikian. Penerimaan guru terhadap pendidikan
inklusif dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan mereka, karena hal ini membantu
mereka mengembangkan pengetahuan yang lebih baik tentang siswa berkebutuhan
khusus, pendidikan mereka, dan mekanisme penanganan yang sesuai.
Dalam hal mendorong pertumbuhan pada anak-anak yang terlahir dengan
kebutuhan atau keterbatasan tertentu, motivasi diri bukanlah satu-satunya elemen yang
perlu dipertimbangkan. Hal yang lebih penting yaitu keterlibatan keluarga dapat
membantu perkembangan penyandang disabilitas berkembang lebih cepat. Beberapa
tugas keluarga dapat dicontohkan dengan memberikan perhatian, memiliki kemampuan
untuk memahami, bersimpati, dan dapat membantu anak berkebutuhan khusus menjadi
lebih memiliki harapan dan berorientasi pada perubahan.3
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, penulis dapat merumuskan masalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana implementasi strategi pendidikan inklusif berkontribusi terhadap
penghapusan diskriminasi terhadap anak-anak berkebutuhan khusus di
lingkungan sekolah?
2. Apa saja tantangan utama yang dihadapi dalam menerapkan pendidikan inklusif
untuk anak-anak berkebutuhan khusus, dan bagaimana strategi untuk mengatasi
tantangan tersebut?
3. Bagaimana peran pelatihan dan pendidikan guru dalam mempersiapkan mereka
untuk mengatasi diskriminasi dan mengimplementasikan pendidikan inklusif?
4. Apa dampak kurangnya pengetahuan dan pemahaman terhadap pendidikan
inklusif di kalangan guru terhadap pengalaman pendidikan anak-anak
berkebutuhan khusus?
5. Bagaimana keterlibatan keluarga dapat menjadi strategi efektif dalam
mendukung anak-anak berkebutuhan khusus dan mengurangi diskriminasi di
lingkungan sekolah?
3
Sela Ariyanti, KETIDAK-ADILAN DAN DISABILITAS: STUDI KASUS TENTANG PERLAKUAN
DISKRIMINATIF TERHADAP ANAK DISABILITAS DI KECAMATAN WOYLA TIMUR KABUPATEN ACEH
BARAT, (Aceh: UIN DARUSSALAM, 2023), hlm. 2.
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Dalam rangka menciptakan lingkungan yang mempromosikan kesetaraan,
kemanusiaan, dan pencegahan diskriminasi terhadap anak berkebutuhan khusus,
penelitian ini bertujuan untuk mengkaji peran penting yang dimainkan oleh
pendidikan inklusi serta gambaran umum tentang pentingnya memperjuangkan
hak-hak asasi mereka dalam menghadapi sikap diskriminatif sekolah dan
masyarakat.
2. Manfaat Penelitian
a. Orang Tua Anak Berkebutuhan Khusus
1) Mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam tentang pentingnya
inklusi di kelas.
2) Mendapatkan arahan dan nasihat tentang cara membantu pendidikan
anak mereka dalam lingkungan yang ramah.
3) Mendapatkan bantuan dan arahan yang mereka butuhkan untuk berperan
aktif dalam pendidikan anak mereka.
b. Pengajar
1) Pemahaman yang lebih baik tentang teknik implementasi praktis untuk
pendidikan inklusif.
2) Memperoleh pengetahuan tentang kesulitan-kesulitan yang dihadapi
ketika mengajar siswa dengan kebutuhan unik dan strategi untuk
mengatasinya.
c. Masyarakat secara Umum
1) Menyebarkan informasi mengenai nilai kesetaraan dan inklusivitas
dalam pendidikan.
2) Mendorong penerimaan masyarakat yang lebih baik terhadap anak-anak
berkebutuhan khusus dan mengurangi stigma yang terkait dengan
mereka.
3) Mendorong inisiatif yang bertujuan untuk membuat masyarakat menjadi
tempat yang lebih menerima dan inklusif bagi semua orang, terutama
anak-anak berkebutuhan khusus.
d. Pembaca
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman bagi pembaca
terkait pendidikan inklusif dan tantangan yang dihadapi dalam menghapus
diskriminasi anak-anak berkebutuhan khusus baik di lingkungan sekolah
maupun di lingkungan masyarakat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Diskriminasi
1. Pengertian Diskriminasi
Menurut UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 1 ayat (3),
diskriminasi didefinisikan sebagai setiap bentuk pembatasan, pelecehan, atau
pengucilan yang langsung ataupun tidak langsung didasarkan pada perbedaan
manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status
ekonomi, jenis kelamin, bahasa, atau keyakinan politik. Undang-undang tersebut
juga menyatakan bahwa diskriminasi mengakibatkan pengangguran dan
penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan, atau penggunaan
kebebasan dasar dan hak asasi manusia dalam kehidupan, baik individual maupun
kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, dan budaya.4 Sementara itu,
penyandang disabilitas didefinisikan sebagai mereka yang memiliki keterbatasan
fisik, mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam
berinteraksi dengan lingkungan dan sikap masyarakat dapat mengalami hambatan
yang menyulitkan mereka untuk berpartisipasi penuh dan efektif berdasarkan
kesamaan hak. Hal ini sesuai dengan UU No. 19/2011 tentang Pengesahan Hak-
Hak Penyandang Disabilitas.5
Kata "disabilitas" berasal dari bahasa Inggris "different ability", yang
menunjukkan perbedaan kemampuan individu. Kata "penyandang disabilitas",
"penyandang kebutuhan khusus", dan "penyandang disabilitas" masing-masing
digunakan untuk menyebut individu dengan disabilitas oleh Kementerian Sosial,
Kementerian Pendidikan Nasional, dan Kementerian Kesehatan.6
B. Penyandang Disabilitas
Menurut Undang-undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat
dalam buku berjudul Mengenal Kehidupan Penyandang Disabilitas yang ditulis
oleh H.R. Sismono, penyandang disabilitas dikategorikan menjadi tiga jenis, yaitu:
a. Cacat Fisik
Disabilitas yang menghambat kemampuan seseorang untuk bergerak, melihat,
mendengar, atau berbicara disebut sebagai cacat fisik. Jenis-jenis cacat yang
termasuk dalam kategori cacat fisik antara lain adalah cacat bawaan, cacat
pendengaran, cacat bicara, cacat perabaan, cacat tangan, jari, leher, dan kaki.
Cacat tubuh berasal dari kata tunadaksa, daksa yang berarti tubuh dan tuna yang
berarti kehilangan atau kekurangan. Oleh karena itu, orang yang memiliki
anggota tubuh yang kurang sempurna disebut dengan tunadaksa.
Disabilitas dapat disebabkan oleh beberapa faktor, termasuk cacat sejak lahir,
penyakit, kecelakaan, dan perang.
b. Cacat Mental
4
Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
5
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Hak-Hak Penyandang Disabilitas
6
H.R. Sismono, MENGENAL KEHIDUPAN PENYANDANG DISABILITAS, (Bandung: Penerbit Nuansa
Cendekia, 2022), hlm. 102.
Cacat mental adalah kelainan mental dan atau tingkah laku, baik cacat bawaan
maupun akibat dari penyakit, antara lain: retardasi mental, gangguan psikiatrik
fungsional, alkoholisme, gangguan mental organik dan epilepsi
c. Cacat Ganda (Cacat Fisik dan Mental)
Seseorang yang memiliki dua kecacatan pada saat yang bersamaan dikatakan
memiliki kondisi ini. Penyandang disabilitas akan merasa sangat kesal jika
mereka memiliki kedua kecacatan tersebut.7
C. Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)
Imam Setiawan (2020) mendefinisikan dalam bukunya yang berjudul A to Z
Anak Berkebutuhan Khusus bahwa anak berkebutuhan khusus sebagai anak yang
dalam masa pertumbuhan dan perkembangannya menunjukkan kelainan atau
perbedaan dengan anak sebayanya. Akibatnya, anak-anak ini membutuhkan
layanan dan pendidikan khusus.
Etiologi anak berkebutuhan khusus:
1) Pre-natal: genetika dan keturunan. Malnutrisi, virus rubella, dan
penggunaan antibiotik yang berlebihan adalah beberapa di antaranya.
2) Neo-natal: kekurangan gizi, berat badan lahir rendah, kelahiran dini,
persalinan yang tidak spontan, dan lain-lain.
3) Post-natal: malnutrisi, penyakit kimiawi, tumor otak, kejang, dan lain-lain.8
Ditinjau dari sifatnya, anak berkebutuhan khusus ada yang sifatnya permanen
dan temporer.
1) Anak Berkebutuhan Khusus Temporer adalah anak-anak dari lokasi
pedesaan atau miskin, anak-anak yang mengikuti adat istiadat terpencil,
anak-anak yang terkena dampak bencana alam, dan anak-anak yang
mengalami musibah sosial, contohnya: korban narkoba, anak jalanan, anak
trauma bencana, korban pelecahan seksual.
2) Anak Berkebutuhan Khusus Permanen adalah anak-anak yang memiliki
kelainan dan potensi kecerdasan atau bakat khusus diklasifikasikan
memiliki kebutuhan khusus, contohnya: tunanetra, tunarungu, tunagrahita,
tunadaksa, tunalaras, tunaganda, kesulitan belajar, autisme, cerdas berbakat,
cerdas istimewa, dan adhd/hiperaktivitas.9
2. Keberagaman Anak Berkebutuhan Khusus
Imam Setiawan (2020) mengklasifikasikan dalam bukunya ada 9 karakteristik anak
berkebutuhan khusus, yaitu:
a. Tunanetra
Menurut Soemantri dalam Setiawan, kebutaan adalah gangguan penglihatan yang
dapat berupa kebutaan sebagian atau total. Namun, istilah "tunanetra" tidak hanya
merujuk pada mereka yang buta total, tetapi juga mencakup mereka yang memiliki
penglihatan terbatas, yang dapat menyulitkan mereka dalam menjalani kehidupan
sehari-hari, terutama saat belajar. Oleh karena itu, anak-anak dengan kondisi
penglihatan seperti rabun jauh atau rabun dekat, atau mereka yang setengah buta,
juga termasuk dalam kategori anak tunanetra.
7
Ibid
8
Imam Setiawan, A to Z Anak Berkebutuhan Khusus, (Jawa Barat: CV Jejak, 2020), hlm. 29-30
9
Ibid
b. Tunarungu
Seseorang yang menderita kelainan ini berbicara dengan sangat pelan dan
dengan pengucapan yang buruk, atau mereka hanya menggunakan bahasa
isyarat. Anak-anak yang diklasifikasikan sebagai tunarungu memiliki tingkat
gangguan pendengaran yang berbeda bersama dengan kesulitan berbicara dan
mendengar.
c. Tunadaksa
Gangguan permanen atau patologis pada anggota tubuh, termasuk otot, sendi,
dan tulang, disebut sebagai tunadaksa. Individu dengan kesulitan mobilitas yang
disebabkan oleh kelelahan otot atau fungsi saraf otak yang terganggu (cerebral
palsy). Anak-anak yang mengalami tunadaksa digambarkan memiliki kondisi
fisik atau fisiologis yang mengganggu kemampuannya untuk berinteraksi secara
normal dengan orang lain dan lingkungannya.
d. Tunagrahita
Ada banyak variasi istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan anak dengan
keterbelakangan mental; dalam bahasa Indonesia, istilah tunagrahita juga bisa
berarti lemah pikiran, terbelakang mental, cacat grahita, dan sebagainya. Oleh
karena itu, dapat dikatakan bahwa anak tunagrahita adalah anak yang
mengalami gangguan atau hambatan pada kecerdasan mentalnya, sehingga
menyulitkan mereka dalam melakukan kegiatan akademik, berkomunikasi
dengan orang lain, dan membentuk hubungan sosial.
e. Down Syndrom
Pertumbuhan fisik tertunda pada orang dengan Down Syndrom karena masalah
kromosom 21. Orang dengan Down Syndrom memiliki kromosom ekstra pada
kromosom 21, sehingga jumlah kromosom mereka menjadi 47, padahal jumlah
kromosom manusia normal hanya 23 pasang, atau 46 kromosom.
f. Autism Spectrum Disorder
Menurut Wijayakusuma dalam Setiawan, istilah "autisme" mengacu pada
seseorang yang menunjukkan gejala seperti hidup dalam dunianya sendiri dan
berasal dari kata Yunani auto yang berarti sendiri. Gangguan pada penyandang
Autism Spectrum Disorder:
1) Gangguan yang berkaitan dengan interaksi sosial: lebih suka
menyendiri, tidak dapat melakukan kontak mata, kesulitan bermain
dengan teman, dan sebagainya.
2) Gangguan komunikasi dan bahasa: keterlambatan berbicara, tata bahasa
yang tidak jelas, sering menggunakan kata ganti orang secara terbalik,
dan sebagainya
3) Gangguan perilaku, minat, dan sensorik: ketidakmampuan untuk
mengikuti rutinitas atau menghadapi perubahan; takut pada benda,
suara, atau lingkungan tertentu; sesekali meledak-ledak ketika keinginan
tidak terpenuhi, dan sebagainya.
4) Reaksi terhadap lingkungan: tangan gemetar, kurang fokus pada apa
yang diamati dan sebagainya
g. Attension Autism Spektrum Disorder
D. Pendidikan Inklusif
1. Lahirnya Pendidikan Inklusif di Indonesia
Proses menuju pendidikan inklusif di Indonesia diawali pada tahun 1960-an
oleh beberapa siswa tunanetra di Bandung dengan bantuan organisasi tunanetra
yang bertindak sebagai kelompok penekan. Pada saat itu, hanya pendidikan sekolah
menengah pertama yang ditawarkan oleh sekolah khusus tunanetra. Setelah itu,
pendidikan kejuruan kerajinan tangan diberikan kepada tunanetra. Meskipun
ditentang oleh pihak sekolah, sejumlah penyandang tunanetra tetap berusaha untuk
masuk ke sekolah umum untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi. Namun
seiring berjalannya waktu, persepsi bergeser, dan beberapa sekolah konvensional
mulai menerima siswa tunanetra.10
2. Peran Guru Dalam Pendidikan Inklusif Bagi Anak Berkebutuhan Khusus
Metode penyampaian pendidikan yang memungkinkan siswa reguler dan
siswa berkebutuhan khusus untuk berpartisipasi dalam proses pembelajaran di
lingkungan yang sama dikenal sebagai pendidikan inklusif. Sistem ini
memungkinkan anak-anak berkebutuhan khusus yang tidak memiliki masalah
intelektual untuk tumbuh dan berkembang dalam lingkungan kelas reguler, bukan
di Sekolah Luar Biasa (SLB). Diharapkan gerakan inklusivitas ini dapat menutup
kesenjangan prestasi siswa berkebutuhan khusus karena mereka memiliki potensi
dan kecerdasan yang perlu dikembangkan.11
Septi Nurfadhillah (2021) menulis dalam bukunya bahwa Pendidikan Inklusif
dapat memberikan 5 keuntungan bagi Anak Berkebutuhan Khusus, diantaranya:
a. Jika siswa berkebutuhan khusus diajar sesuai dengan usia dan kapasitas
kognitifnya, maka perkembangan intelektual mereka dapat dimaksimalkan.
b. Siswa dengan kebutuhan khusus dapat membuat kemajuan besar dalam
kemampuan sosialisasi mereka. Agar tidak merasa dikucilkan, siswa
berkebutuhan khusus harus berinteraksi dengan siswa reguler di lingkungan
yang sama. Selain itu, kemampuan sosialisasi ini memungkinkan siswa
berkebutuhan khusus untuk bereaksi secara tepat terhadap perundungan dan
diskriminasi.
c. Jika siswa dengan kecacatan terbiasa berinteraksi dengan siswa reguler setiap
hari, mereka juga bisa belajar bagaimana cara merawat diri mereka sendiri.
d. Siswa berkebutuhan khusus akan mengalami perbedaan yang akan mengarah
pada kematangan emosi, mencegah mereka merasa tidak berdaya dan rendah
diri setiap saat. Setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan masing-
masing. Kecacatan tidak menghalangi seseorang untuk melakukan banyak
kegiatan yang dapat dilakukan oleh orang yang tidak memiliki kecacatan.
10
Septi Nurfadhillah, Pengembangan Pendidikan Inklusif, (Jawa Barat: CV Jejak, 2021), hlm. 26.
11
Ibid., p. 40
12
Ibid., pp. 41-42
a. Memberikan informasi kepada orang tua atau wali murid mengenai
perkembangan akademik dan pembelajaran anak mereka melalui komunikasi
yang sering.
b. Berkolaborasi dengan lingkungan sekitar untuk menemukan anak putus
sekolah, memotivasi mereka, dan mendaftarkan mereka ke sekolah.
c. Memberikan penjelasan kepada orang tua mengenai manfaat dan tujuan dari
lingkungan belajar yang inklusif.
d. Membantu siswa untuk terlibat dengan masyarakat melalui kegiatan berbasis
kurikulum, termasuk kunjungan ke museum dan hari libur nasional dan
keagamaan.
e. Melibatkan anggota masyarakat dan orang tua di dalam kelas.
f. Menginformasikan kepada komite sekolah, tokoh masyarakat, dan wali murid
tentang lingkungan belajar yang ramah dan inklusif.
g. Bekerja sama dengan orang tua untuk mempromosikan lingkungan yang
inklusif dan ramah terhadap pembelajaran di masyarakat dan sekolah.
h. Menciptakan lingkungan yang ramah di dalam kelas untuk membantu anak-
anak merasa nyaman dalam belajar.
i. Membuat dan melaksanakan tes untuk memastikan kebutuhan dan bakat setiap
anak.
j. Bekerja sama dengan instruktur pendidikan khusus untuk membuat rencana
pembelajaran yang disesuaikan.
k. Menyelesaikan kegiatan yang berkaitan dengan pengajaran dan pembelajaran
serta penilaian untuk setiap mata pelajaran yang menjadi tanggung jawabnya.
l. Menawarkan program pengayaan dan remedial bagi mereka yang
membutuhkan.
Untuk melakukan pekerjaan mereka secara efektif, guru harus dapat
menjalankan peran mereka sebagaimana yang ditugaskan.13
13
Ibid., pp. 42-43