DAFTAR ISI 1. Definisi Masyarakat Definisi Masyarakat menurut KBBI adalah sejumlah manusia dalam arti seluas- luasnya yang terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama. Secara umum, masyarakat adalah sekumpulan individu yang hidup bersama, bekerja sama untuk memperoleh kepentingan bersama yang telah memiliki tatanan kehidupan, norma- norma, dan adat istiadat yang ditaati dalam lingkungannya. Masyarakat merupakan satu kesatuan golongan yang berhubungan tetap dan mempunyai kepentingan yang sama, seperti sekolah, keluarga, perkumpulan, dan negara. Definisi lain dari masyarakat adalah salah satu satuan sosial dalam sistem sosial, atau kesatuan hidup manusia. Menurut ajaran Buddha, masyarakat juga dapat dipahami sebagai komunitas manusia yang terikat oleh hukum karma, di mana tindakan individu membentuk jaringan karma yang saling terhubung dan berpengaruh dalam kehidupan bersama. Dalam perspektif Buddha, masyarakat bukan hanya sekadar agregasi individu, tetapi juga pola karma yang saling terkait dan berdampak pada kesejahteraan bersama. 2. 4 Sikap Harmonis Empat sikap harmonis merupakan prinsip-prinsip yang penting untuk menjaga keharmonisan dalam masyarakat. Pertama, adalah kerelaan (dana), yang menunjukkan sikap sukarela dalam memberi tanpa pamrih. Kemudian, ada ucapan baik dan halus (Piyavaca), yang menggarisbawahi pentingnya berkomunikasi dengan sopan dan penuh kebaikan. Selanjutnya, melakukan hal yang bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain (atthacariya) menjadi aspek penting lainnya dalam menjaga keharmonisan. Terakhir, batin yang seimbang dan tanpa kesombongan (Samanattata) memainkan peran krusial dalam membentuk hubungan yang seimbang dan saling menghormati di antara anggota masyarakat. Untuk menjaga keharmonisan dalam masyarakat, ada beberapa sikap yang dapat dilakukan. Pertama, adalah memiliki kesadaran mengenai perbedaan sikap, watak, dan sifat antara individu-individu dalam masyarakat. Kemudian, menghargai berbagai macam karakteristik masyarakat juga menjadi penting, karena setiap individu membawa keunikan yang berharga. Bersikap ramah dengan orang lain merupakan sikap yang mendorong terjalinnya hubungan yang harmonis di dalam komunitas. Selain itu, selalu berfikir positif dapat membantu menciptakan lingkungan yang optimis dan mendukung pertumbuhan bersama. Dengan menerapkan sikap-sikap ini, masyarakat dapat menciptakan lingkungan yang harmonis dan damai bagi semua anggotanya. 3. Konsep Dharmawijaya Dharmawijaya adalah prinsip yang menekankan pentingnya menjalani kehidupan berdasarkan moral dan spiritual. Dalam ajaran Hindu dan Budha, "Dharma" mengacu pada nilai-nilai etika, keadilan, dan tindakan yang benar, sementara "Wijaya" berarti kemenangan atau kesuksesan. Jadi, Dharmawijaya merujuk pada kehidupan yang berhasil karena didasarkan pada nilai-nilai moral dan spiritual yang tinggi. Prinsip Dharmawijaya membutuhkan kesadaran akan pentingnya mematuhi prinsip-prinsip etika, seperti kejujuran, toleransi, kasih sayang, dan kebaikan. Ini juga mendorong individu untuk mencari pemahaman yang lebih dalam tentang diri mereka sendiri, tujuan hidup, dan hubungan dengan sesama manusia serta alam semesta. Dalam praktiknya, Dharmawijaya mengajarkan seseorang untuk bertindak secara bijaksana, bertanggung jawab, dan mempertimbangkan konsekuensi dari setiap tindakan yang diambil. Hal ini memungkinkan seseorang untuk mencapai kedamaian batin, kepuasan, dan keberhasilan sejati dalam kehidupan, tidak hanya dalam hal materi atau pencapaian duniawi, tetapi juga dalam hal kebahagiaan dan kedamaian spiritual. Selain itu, Dharmawijaya mendorong individu untuk hidup secara seimbang, menjaga harmoni antara kebutuhan material dan spiritual, serta mengembangkan sikap empati dan penghargaan terhadap keberagaman dalam masyarakat. Dengan demikian, konsep Dharmawijaya memberikan panduan bagi individu untuk menjalani kehidupan yang bermakna, memberi manfaat bagi diri sendiri dan orang lain, serta memberikan kontribusi positif bagi dunia di sekitarnya. 4. Konsep Karaniya Metta Konsep Karaniya Metta, atau Karaniyametta Sutta, menggambarkan cinta kasih dan belas kasihan kepada semua makhluk. Sutta ini pertama kali diucapkan oleh Sang Buddha kepada lima ratus murid-Nya yang diganggu oleh makhluk menyeramkan saat mereka diperintahkan untuk melatih diri di hutan. Sang Buddha memberikan syair yang dikenal sebagai Karaniya Metta Sutta untuk membantu para siswa-Nya. Karaniya Metta Sutta menekankan pentingnya cinta kasih tanpa batas kepada semua makhluk, bukan hanya kepada orang-orang yang dekat atau yang kita cintai. Ini mencerminkan ajaran Buddha tentang kasih sayang universal yang mengatasi batasan- batasan ego dan memperluas belas kasihan kepada seluruh alam semesta. Dalam praktiknya, konsep ini mendorong kita untuk mengembangkan sikap penyayang, penuh pengertian, dan tanpa prasangka terhadap semua makhluk. Dengan menerapkan Karaniya Metta dalam kehidupan sehari-hari, seseorang dapat menciptakan hubungan yang harmonis dengan lingkungan sekitarnya, mengurangi konflik, dan meningkatkan kesejahteraan bersama. Prinsip ini juga memperkuat kesadaran akan interkoneksi antara individu dan alam semesta, menginspirasi tindakan yang membawa kedamaian dan kebahagiaan bagi semua makhluk. 5. Susunan Masyarakat Buddhist 5.1.Masyarakat Awam dan Viharawan Masyarakat awam dalam tradisi Buddhis merujuk kepada individu yang menjalani kehidupan berumah tangga, memiliki pekerjaan, dan harta benda. Mereka terlibat dalam aktivitas dunia dan tanggung jawab sehari-hari. Di sisi lain, viharawan adalah orang-orang yang telah melepaskan ikatan dengan dunia duniawi dan kehidupan rumah tangga. Mereka memilih untuk tinggal di vihara, tempat di mana mereka dapat sepenuhnya mendedikasikan diri untuk mempraktikkan ajaran Buddha dalam kehidupan sehari-hari. Dalam susunan masyarakat Buddhis, masyarakat awam membentuk mayoritas, sedangkan viharawan merupakan kelompok minoritas yang menjalani kehidupan asketis dan penuh pengabdian kepada praktik spiritual. Meskipun memiliki peran yang berbeda, keduanya dianggap penting dalam menjaga dan menyebarkan ajaran Buddha. Masyarakat awam memberikan dukungan materiil dan moral kepada viharawan, sementara viharawan memberikan contoh kehidupan spiritual yang menginspirasi dan memberikan bimbingan kepada masyarakat awam dalam praktik spiritual mereka. Dengan demikian, kedua kelompok ini saling melengkapi dalam memelihara dan menyebarkan ajaran Buddha. 5.2.Kemoralan Masyarakat Awam dan Umat Viharawan Kemoralan dalam masyarakat awam dan masyarakat viharawan dalam tradisi Buddhis memiliki perbedaan penekanan. Menurut ajaran Dhamma, umat Buddha lebih ditekankan untuk melaksanakan penghormatan secara mental. Ini berarti bahwa penghormatan kepada Sang Buddha diwujudkan melalui pemahaman dan penerapan ajaran-Nya dalam kehidupan sehari-hari. Sang Buddha lebih menekankan pentingnya pelaksanaan Dhamma secara sungguh-sungguh dalam aktivitas sehari-hari daripada sekadar kedekatan personal dengan beliau. Dalam masyarakat awam, kemoralan sering kali diwujudkan melalui pematuhan terhadap nilai-nilai etika dan prinsip-prinsip ajaran Buddha dalam konteks kehidupan sehari-hari, seperti kejujuran, kebaikan, dan kasih sayang dalam hubungan sosial dan pekerjaan. Sementara itu, masyarakat viharawan, yang telah meninggalkan dunia duniawi, menekankan praktik spiritual yang lebih mendalam dan ketat, termasuk praktik meditasi, studi kitab suci, dan pengembangan batin yang mendalam. Mereka memprioritaskan pencarian pencerahan spiritual dan pembebasan dari siklus kelahiran dan kematian. Meskipun terdapat perbedaan fokus, kedua kelompok ini memegang peran penting dalam menjaga moralitas dan keberlangsungan ajaran Buddha. Masyarakat awam memberikan contoh moralitas dalam kehidupan sehari-hari, sementara masyarakat viharawan mendalami praktik spiritual untuk mencapai pencerahan. Dengan demikian, keduanya saling melengkapi dalam memelihara kemoralan dan mengembangkan pemahaman yang lebih dalam terhadap ajaran Buddha. 5.3.Hubungan Umat Awam dan Umat Viharawan Hubungan antara umat awam dan umat viharawan dalam tradisi Buddhis ditandai oleh saling dukung-mendukung dan kerjasama yang erat. Para viharawan, dalam usahanya untuk mengatasi ketamakan, kebencian, dan kegelapan batin, mendedikasikan hidup mereka untuk pengendalian diri secara total. Di sisi lain, masyarakat awam aktif bekerja di berbagai bidang ekonomi, dan mereka sering menyisihkan sebagian dari hasil kerja mereka untuk mendukung kehidupan para viharawan. Masyarakat awam secara rutin mengunjungi vihara untuk memberikan dukungan dalam bentuk dana makanan, tempat tinggal, pakaian, dan obat-obatan kepada para viharawan. Mereka juga sering menyediakan transportasi agar para viharawan dapat lebih mudah bergerak dan menjalankan tugas mereka dalam membina komunitas dan simpatisan Buddhis yang berada jauh dari vihara. Dukungan yang diberikan tidak hanya memungkinkan para viharawan untuk melanjutkan praktik spiritual mereka, tetapi juga memungkinkan mereka untuk terus membagikan ajaran Dhamma dan memberikan layanan sosial kepada masyarakat. Dengan adanya hubungan yang solid antara masyarakat awam dan viharawan, masyarakat Buddhis dapat terus berkembang dan memperkuat praktik spiritual mereka. Dukungan material dan moral yang diberikan oleh masyarakat awam memungkinkan para viharawan untuk menjalankan peran mereka sebagai pemimpin spiritual dan pemberi contoh dalam masyarakat. Sebaliknya, viharawan memberikan panduan spiritual dan bimbingan kepada masyarakat awam, menjaga serta menyebarkan ajaran Buddha dengan lebih luas dan efektif. Dengan demikian, hubungan ini menjadi pondasi yang kuat bagi kemajuan dan keberlangsungan masyarakat Buddhis. 5.4.Masalah Otoritas Tertinggi Dalam Agama Buddha Dalam ajaran Sang Buddha Gautama, konsep otoritas tertinggi tidak dikenal terkait dengan pembebasan dan pengurangan penderitaan. Sang Buddha Gautama menegaskan ini dalam Kalama Sutta dan Maha Parinibbana Sutta, menunjukkan bahwa tidak ada pemegang otoritas tertinggi dalam agama Buddha. Hubungan yang seharusnya antara umat Buddha dan para Bhikkhu diatur dengan jelas dalam Sigalovada Sutta. Sang Buddha mengajarkan agar individu tidak hanya menerima sesuatu karena laporan, tradisi, atau otoritas kitab suci atau guru, tetapi harus memeriksa sendiri apakah tindakan tersebut baik atau buruk, sesuai atau tidak dengan ajaran bijaksana. Dengan demikian, masyarakat Buddha diarahkan untuk menggunakan akal sehat dan kebijaksanaan pribadi dalam menentukan tindakan mereka, bukan hanya mengikuti otoritas eksternal. Dalam susunan masyarakat Buddhis, para Bhikkhu memainkan peran penting sebagai pemberi contoh spiritual dan penjaga ajaran Buddha. Namun, keputusan akhir tentang apa yang baik dan tidak baik, sesuai atau tidak sesuai dengan ajaran, tetap ditentukan oleh individu berdasarkan pemahaman dan kebijaksanaan mereka sendiri. Oleh karena itu, tidak ada pemegang otoritas tertinggi dalam agama Buddha, melainkan penekanan pada kebebasan individu untuk menggunakan akal sehat dan kebijaksanaan dalam mencapai pemahaman dan pembebasan pribadi.