Anda di halaman 1dari 7

RESUME MKWK AGAMA BUDDHA

BAB 6: MASYARAKAT

Dibuat Oleh:

Jason Sanjaya (231401066)


DAFTAR ISI
1. Definisi Masyarakat
Definisi Masyarakat menurut KBBI adalah sejumlah manusia dalam arti seluas-
luasnya yang terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama. Secara umum,
masyarakat adalah sekumpulan individu yang hidup bersama, bekerja sama untuk
memperoleh kepentingan bersama yang telah memiliki tatanan kehidupan, norma-
norma, dan adat istiadat yang ditaati dalam lingkungannya. Masyarakat merupakan satu
kesatuan golongan yang berhubungan tetap dan mempunyai kepentingan yang sama,
seperti sekolah, keluarga, perkumpulan, dan negara. Definisi lain dari masyarakat
adalah salah satu satuan sosial dalam sistem sosial, atau kesatuan hidup manusia.
Menurut ajaran Buddha, masyarakat juga dapat dipahami sebagai komunitas
manusia yang terikat oleh hukum karma, di mana tindakan individu membentuk
jaringan karma yang saling terhubung dan berpengaruh dalam kehidupan bersama.
Dalam perspektif Buddha, masyarakat bukan hanya sekadar agregasi individu, tetapi
juga pola karma yang saling terkait dan berdampak pada kesejahteraan bersama.
2. 4 Sikap Harmonis
Empat sikap harmonis merupakan prinsip-prinsip yang penting untuk menjaga
keharmonisan dalam masyarakat. Pertama, adalah kerelaan (dana), yang menunjukkan
sikap sukarela dalam memberi tanpa pamrih. Kemudian, ada ucapan baik dan halus
(Piyavaca), yang menggarisbawahi pentingnya berkomunikasi dengan sopan dan penuh
kebaikan. Selanjutnya, melakukan hal yang bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain
(atthacariya) menjadi aspek penting lainnya dalam menjaga keharmonisan. Terakhir,
batin yang seimbang dan tanpa kesombongan (Samanattata) memainkan peran krusial
dalam membentuk hubungan yang seimbang dan saling menghormati di antara anggota
masyarakat.
Untuk menjaga keharmonisan dalam masyarakat, ada beberapa sikap yang
dapat dilakukan. Pertama, adalah memiliki kesadaran mengenai perbedaan sikap,
watak, dan sifat antara individu-individu dalam masyarakat. Kemudian, menghargai
berbagai macam karakteristik masyarakat juga menjadi penting, karena setiap individu
membawa keunikan yang berharga. Bersikap ramah dengan orang lain merupakan
sikap yang mendorong terjalinnya hubungan yang harmonis di dalam komunitas. Selain
itu, selalu berfikir positif dapat membantu menciptakan lingkungan yang optimis dan
mendukung pertumbuhan bersama. Dengan menerapkan sikap-sikap ini, masyarakat
dapat menciptakan lingkungan yang harmonis dan damai bagi semua anggotanya.
3. Konsep Dharmawijaya
Dharmawijaya adalah prinsip yang menekankan pentingnya menjalani
kehidupan berdasarkan moral dan spiritual. Dalam ajaran Hindu dan Budha, "Dharma"
mengacu pada nilai-nilai etika, keadilan, dan tindakan yang benar, sementara "Wijaya"
berarti kemenangan atau kesuksesan. Jadi, Dharmawijaya merujuk pada kehidupan
yang berhasil karena didasarkan pada nilai-nilai moral dan spiritual yang tinggi.
Prinsip Dharmawijaya membutuhkan kesadaran akan pentingnya mematuhi
prinsip-prinsip etika, seperti kejujuran, toleransi, kasih sayang, dan kebaikan. Ini juga
mendorong individu untuk mencari pemahaman yang lebih dalam tentang diri mereka
sendiri, tujuan hidup, dan hubungan dengan sesama manusia serta alam semesta.
Dalam praktiknya, Dharmawijaya mengajarkan seseorang untuk bertindak
secara bijaksana, bertanggung jawab, dan mempertimbangkan konsekuensi dari setiap
tindakan yang diambil. Hal ini memungkinkan seseorang untuk mencapai kedamaian
batin, kepuasan, dan keberhasilan sejati dalam kehidupan, tidak hanya dalam hal materi
atau pencapaian duniawi, tetapi juga dalam hal kebahagiaan dan kedamaian spiritual.
Selain itu, Dharmawijaya mendorong individu untuk hidup secara seimbang,
menjaga harmoni antara kebutuhan material dan spiritual, serta mengembangkan sikap
empati dan penghargaan terhadap keberagaman dalam masyarakat.
Dengan demikian, konsep Dharmawijaya memberikan panduan bagi individu
untuk menjalani kehidupan yang bermakna, memberi manfaat bagi diri sendiri dan
orang lain, serta memberikan kontribusi positif bagi dunia di sekitarnya.
4. Konsep Karaniya Metta
Konsep Karaniya Metta, atau Karaniyametta Sutta, menggambarkan cinta kasih
dan belas kasihan kepada semua makhluk. Sutta ini pertama kali diucapkan oleh Sang
Buddha kepada lima ratus murid-Nya yang diganggu oleh makhluk menyeramkan saat
mereka diperintahkan untuk melatih diri di hutan. Sang Buddha memberikan syair yang
dikenal sebagai Karaniya Metta Sutta untuk membantu para siswa-Nya.
Karaniya Metta Sutta menekankan pentingnya cinta kasih tanpa batas kepada
semua makhluk, bukan hanya kepada orang-orang yang dekat atau yang kita cintai. Ini
mencerminkan ajaran Buddha tentang kasih sayang universal yang mengatasi batasan-
batasan ego dan memperluas belas kasihan kepada seluruh alam semesta. Dalam
praktiknya, konsep ini mendorong kita untuk mengembangkan sikap penyayang, penuh
pengertian, dan tanpa prasangka terhadap semua makhluk.
Dengan menerapkan Karaniya Metta dalam kehidupan sehari-hari, seseorang
dapat menciptakan hubungan yang harmonis dengan lingkungan sekitarnya,
mengurangi konflik, dan meningkatkan kesejahteraan bersama. Prinsip ini juga
memperkuat kesadaran akan interkoneksi antara individu dan alam semesta,
menginspirasi tindakan yang membawa kedamaian dan kebahagiaan bagi semua
makhluk.
5. Susunan Masyarakat Buddhist
5.1.Masyarakat Awam dan Viharawan
Masyarakat awam dalam tradisi Buddhis merujuk kepada individu yang
menjalani kehidupan berumah tangga, memiliki pekerjaan, dan harta benda. Mereka
terlibat dalam aktivitas dunia dan tanggung jawab sehari-hari. Di sisi lain,
viharawan adalah orang-orang yang telah melepaskan ikatan dengan dunia duniawi
dan kehidupan rumah tangga. Mereka memilih untuk tinggal di vihara, tempat di
mana mereka dapat sepenuhnya mendedikasikan diri untuk mempraktikkan ajaran
Buddha dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam susunan masyarakat Buddhis, masyarakat awam membentuk mayoritas,
sedangkan viharawan merupakan kelompok minoritas yang menjalani kehidupan
asketis dan penuh pengabdian kepada praktik spiritual. Meskipun memiliki peran
yang berbeda, keduanya dianggap penting dalam menjaga dan menyebarkan ajaran
Buddha. Masyarakat awam memberikan dukungan materiil dan moral kepada
viharawan, sementara viharawan memberikan contoh kehidupan spiritual yang
menginspirasi dan memberikan bimbingan kepada masyarakat awam dalam praktik
spiritual mereka. Dengan demikian, kedua kelompok ini saling melengkapi dalam
memelihara dan menyebarkan ajaran Buddha.
5.2.Kemoralan Masyarakat Awam dan Umat Viharawan
Kemoralan dalam masyarakat awam dan masyarakat viharawan dalam tradisi
Buddhis memiliki perbedaan penekanan. Menurut ajaran Dhamma, umat Buddha
lebih ditekankan untuk melaksanakan penghormatan secara mental. Ini berarti
bahwa penghormatan kepada Sang Buddha diwujudkan melalui pemahaman dan
penerapan ajaran-Nya dalam kehidupan sehari-hari. Sang Buddha lebih
menekankan pentingnya pelaksanaan Dhamma secara sungguh-sungguh dalam
aktivitas sehari-hari daripada sekadar kedekatan personal dengan beliau.
Dalam masyarakat awam, kemoralan sering kali diwujudkan melalui
pematuhan terhadap nilai-nilai etika dan prinsip-prinsip ajaran Buddha dalam
konteks kehidupan sehari-hari, seperti kejujuran, kebaikan, dan kasih sayang dalam
hubungan sosial dan pekerjaan. Sementara itu, masyarakat viharawan, yang telah
meninggalkan dunia duniawi, menekankan praktik spiritual yang lebih mendalam
dan ketat, termasuk praktik meditasi, studi kitab suci, dan pengembangan batin yang
mendalam. Mereka memprioritaskan pencarian pencerahan spiritual dan
pembebasan dari siklus kelahiran dan kematian.
Meskipun terdapat perbedaan fokus, kedua kelompok ini memegang peran
penting dalam menjaga moralitas dan keberlangsungan ajaran Buddha. Masyarakat
awam memberikan contoh moralitas dalam kehidupan sehari-hari, sementara
masyarakat viharawan mendalami praktik spiritual untuk mencapai pencerahan.
Dengan demikian, keduanya saling melengkapi dalam memelihara kemoralan dan
mengembangkan pemahaman yang lebih dalam terhadap ajaran Buddha.
5.3.Hubungan Umat Awam dan Umat Viharawan
Hubungan antara umat awam dan umat viharawan dalam tradisi Buddhis
ditandai oleh saling dukung-mendukung dan kerjasama yang erat. Para viharawan,
dalam usahanya untuk mengatasi ketamakan, kebencian, dan kegelapan batin,
mendedikasikan hidup mereka untuk pengendalian diri secara total. Di sisi lain,
masyarakat awam aktif bekerja di berbagai bidang ekonomi, dan mereka sering
menyisihkan sebagian dari hasil kerja mereka untuk mendukung kehidupan para
viharawan.
Masyarakat awam secara rutin mengunjungi vihara untuk memberikan
dukungan dalam bentuk dana makanan, tempat tinggal, pakaian, dan obat-obatan
kepada para viharawan. Mereka juga sering menyediakan transportasi agar para
viharawan dapat lebih mudah bergerak dan menjalankan tugas mereka dalam
membina komunitas dan simpatisan Buddhis yang berada jauh dari vihara.
Dukungan yang diberikan tidak hanya memungkinkan para viharawan untuk
melanjutkan praktik spiritual mereka, tetapi juga memungkinkan mereka untuk
terus membagikan ajaran Dhamma dan memberikan layanan sosial kepada
masyarakat.
Dengan adanya hubungan yang solid antara masyarakat awam dan viharawan,
masyarakat Buddhis dapat terus berkembang dan memperkuat praktik spiritual
mereka. Dukungan material dan moral yang diberikan oleh masyarakat awam
memungkinkan para viharawan untuk menjalankan peran mereka sebagai
pemimpin spiritual dan pemberi contoh dalam masyarakat. Sebaliknya, viharawan
memberikan panduan spiritual dan bimbingan kepada masyarakat awam, menjaga
serta menyebarkan ajaran Buddha dengan lebih luas dan efektif. Dengan demikian,
hubungan ini menjadi pondasi yang kuat bagi kemajuan dan keberlangsungan
masyarakat Buddhis.
5.4.Masalah Otoritas Tertinggi Dalam Agama Buddha
Dalam ajaran Sang Buddha Gautama, konsep otoritas tertinggi tidak dikenal
terkait dengan pembebasan dan pengurangan penderitaan. Sang Buddha Gautama
menegaskan ini dalam Kalama Sutta dan Maha Parinibbana Sutta, menunjukkan
bahwa tidak ada pemegang otoritas tertinggi dalam agama Buddha.
Hubungan yang seharusnya antara umat Buddha dan para Bhikkhu diatur
dengan jelas dalam Sigalovada Sutta. Sang Buddha mengajarkan agar individu
tidak hanya menerima sesuatu karena laporan, tradisi, atau otoritas kitab suci atau
guru, tetapi harus memeriksa sendiri apakah tindakan tersebut baik atau buruk,
sesuai atau tidak dengan ajaran bijaksana. Dengan demikian, masyarakat Buddha
diarahkan untuk menggunakan akal sehat dan kebijaksanaan pribadi dalam
menentukan tindakan mereka, bukan hanya mengikuti otoritas eksternal.
Dalam susunan masyarakat Buddhis, para Bhikkhu memainkan peran penting
sebagai pemberi contoh spiritual dan penjaga ajaran Buddha. Namun, keputusan
akhir tentang apa yang baik dan tidak baik, sesuai atau tidak sesuai dengan ajaran,
tetap ditentukan oleh individu berdasarkan pemahaman dan kebijaksanaan mereka
sendiri. Oleh karena itu, tidak ada pemegang otoritas tertinggi dalam agama
Buddha, melainkan penekanan pada kebebasan individu untuk menggunakan akal
sehat dan kebijaksanaan dalam mencapai pemahaman dan pembebasan pribadi.

Anda mungkin juga menyukai