politik-ambivalensi
politik-ambivalensi
Kata Pengantar:
P
uji syukur kepada Tuhan atas terbitnya buku “POLITIK
AMBIVALENSI: Nalar Elite di Balik Pemenangan
Pilkada”, sehingga buku ini ada di tangan pembaca.
Sesungguhnya, buku ini merupakan disertasi penulis yang
telah diedit dengan bahasa populer, agar mudah dipahami
isinya dan bermanfaat bagi masyarakat luas. Naskah disertasi
secara lengkap penulis ajukan pada Program Studi Pascasarjana
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada
(April 2015). Buku yang bermula dari disertasi memiliki
kelebihan dibanding buku yang lain, karena ia berfokus
pada kebaruan. 1 Dalam buku ini, penulis menawarkan cara
pandang baru berkaitan dengan penalaran elite di balik
pemenangan Pilkada. Penulis mengungkap penalaran makna
yang tersembunyi di balik strategi ofensif dan defensif yang
diterapkan oleh elite dalam kontestasi Pilkada.
Penulisan disertasi ini memerlukan waktu tiga tahun,
sedangkan seluruh proses studi dilakukan dengan durasi
waktu sembilan tahun. Lamanya studi dan riset disebabkan
1 Kata “kebaruan” di sini mengacu pada sebuah pengertian dalam dunia akademis, yang
dalam bahasa Inggris umumnya diistilahkan dengan novelty.
Politik Ambivalensi [ v ]
penulis maknai sebagai bentuk politik kontekstualisasi. Penulis
menyebut nalar seperti ini dengan istilah nalar politisi.
Namun, menggunakan nalar politisi yang kontekstual
saja tidaklah cukup bagi elite untuk memenangkan kontestasi
dalam Pilkada. Elite dihadapkan dengan regulasi dalam
kontestasi. Alhasil, dia dituntut untuk mencitrakan diri
sebagai figur yang demokrat, taat hukum, anti korupsi, tidak
melanggar HAM, dan mampu mewujudkan kesejahteraan
masyarakat. Oleh karena itu, dia niscaya menginstrumentasi
nalar demokratis/aktivis agar diterima oleh masyarakat
perkotaan. Dia dihadapkan pada dua domain yang simultan
sehingga tak pelak lagi, dia menginstrumentasi dua nalar
secara terpisah atau simultan.
Buku ini menawarkan sebuah cara pandang baru tentang
patronase dalam konteks Indonesia. Cara pandang ini bisa
diterapkan di seluruh daerah Indonesia yang berlatar belakang
monarkhi ataupun non-monarkhi. Selain itu, cara pandang ini
juga relevan untuk diterapkan di negara lain. Hal itu penulis
simpulkan setelah mengadakan studi banding terhadap hasil
riset patronase di Yunani, Afrika, Italia, Amerika Latin, India,
Filipina, Vietnam, Thailand, dan Malaysia, dengan tujuan untuk
menguji apakah cara pandang baru tentang patronase itu dapat
diterapkan di luar Indonesia. Inilah inti temuan baru yang
penulis tawarkan dalam studi ini. Temuan ini menunjukkan
bahwa teori patronase tidak hanya berlaku dalam masyarakat
agraris seperti yang dipersepsi Scott (1972). Hasil studi ini
memberikan cara pandang baru yang mampu mengakomodasi
penerapan teori patronase baik dalam masyarakat agraris,
urban, dan metropolitan.
Temuan baru dalam buku ini tidak bisa terlepas dari
masukan dan bimbingan Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa
Putra, M.A., M.Phil. dan Prof. Dr. Purwo Santoso, M.A.
Politik Ambivalensi [ ix ]
KATA PENGANTAR
DARI PRAKTIK POLITIK
KE NALAR POLITIK
Oleh:
Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa-Putra, M.A.
Antropologi Budaya
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada
Pendahuluan
B
uku yang berasal dari disertasi yang dipertahankan
penulisnya, Guno Tri Tjahjoko (selanjutnya ditulis
Dr. Guno), di depan tim penguji program Doktor
Ilmu Politik, UGM, ini pada dasarnya menampilkan sebuah
kajian mengenai praktik-praktik politik yang terlihat dalam
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di sebuah provinsi di
Indonesia, dan nalar politik yang ada di balik praktik politik
tersebut. Kasusnya diambil dari Provinsi Kalimantan Timur—
salah satu provinsi yang kaya dengan sumber daya alam
minyak, gas, dan batubara.
Politik Ambivalensi [ xi ]
lebih dirasakan. Meskipun hal ini bisa juga lebih disebabkan
oleh pemilihan unit analisis dalam kajian ini, yaitu pemerintah
tingkat provinsi, daripada gambar realitas yang sebenarnya.
Jika saja unit analisis kajian di sini bukan politik tingkat
provinsi, sangat mungkin pengaruh pemerintah kabupaten
akan terlihat lebih kuat daripada pengaruh pemerintahan
tingkat provinsi.
Membaca buku ini memerlukan kesabaran dan ketelitian
sendiri karena datanya yang rinci. Sebagai ko-promotor
yang kemudian harus menggantikan kedudukan promotor,
saya turut merasakan kesulitan yang dihadapi oleh penulis
untuk menyusun dan menyajikan berbagai data politik dari
lapangan, yang begitu banyak dan rumit. Pada awalnya, penulis
memusatkan perhatiannya pada peristiwa pilkada dan hasilnya
di Kalimantan Timur, yang menurutnya memperlihatkan
gejala menarik, karena keterkaitannya dengan berbagai hal
yang tidak selalu terlihat bersifat “politis”. Salah satunya adalah
sebuah ritual yang dianggap penting oleh sebagian masyarakat
di Kalimantan Timur, terutama oleh penduduk “aslinya”, yaitu
erau.
Erau adalah sebuah ritual penobatan raja yang berasal dari
masa Kesultanan Kutai di masa lampau, yang pergelarannya
selalu disaksikan oleh ribuan penduduk Kalimantan Timur. Di
masa kini, erau tidak semakin surut, tetapi justru semakin kuat
posisinya dalam kehidupan masyarakat Kalimantan Timur
karena dianggap telah pantas menjadi salah satu ikon budaya
penting yang mereka miliki. Ritual ini telah menjadi salah satu
elemen dari perangkat simbol yang merepresentasikan jati diri
masyarakat Kalimantan Timur. Oleh karena penyelenggaraan
ritual ini selalu terkait dengan Kesultanan Kutai, maka posisi
keluarga kerajaan juga semakin menguat dalam alam imajinasi
masyarakat Kalimantan Timur.
Politik Ambivalensi [ xv ]
Dari makna patron dan client di atas, terlihat bahwa
patronage tidak berbeda makna denotatif dengan clientage atau
clientelism, tetapi memiliki perbedaan makna konotatif yang
bermuara pada penekanan dan pengambilan sudut pandang.
Dalam analisis politik, fenomena patronase juga sering disebut
dengan istilah-istilah lain yang maknanya kurang lebih sama,
misalnya hubungan patron-klien (patron-client relationship),
clientelism, dan clientage. Ketika seorang peneliti menggunakan
istilah ‘hubungan patron-klien’, apa yang ingin ditekankan
di sini adalah unsur timbal balik antara seorang patron
dengan kliennya, sebagaimana yang dipersepsi oleh James
C.Scott (1972a). Jika peneliti menggunakan istilah patronase
(patronage), maka dia mengambil sudut pandang patron dan
ingin menekankan aspek pemberian yang berasal dari patron,
sebagaimana yang terlihat pada pembahasan Ernest Gellner
(1977) . Jika peneliti menggunakan istilah clientelism, clientship
atau clientage, maka dia sebenarnya mengambil sudut pandang
klien (client) sebagai titik tolaknya, sebagaimana yang terlihat
pada kajian Lucy Mair (1969) dan Steffen W. Schmidt dkk.
(1977).
Sejarah makna istilah patronase dan clientship menun
jukkan bahwa fenomena tersebut sudah lama dikenal dalam
kehidupan manusia, dan merupakan bagian dari fenomena
perpolitikan. Meskipun demikian, kepopuleran patronase
sebagai sebuah perangkat konsep analitis dalam ilmu
politik ternyata terjadi belum begitu lama. Kajian-kajian
mengenai patronase dalam ilmu sosial diawali dari beberapa
etnografi yang ditulis oleh beberapa ahli antropologi yang
melakukan penelitian di era 1960-1970an mengenai hubungan
antarindividu yang berpola, dan tidak berbasis pada sistem
kekerabatan di kawasan Amerika Selatan (Foster, 1961;
1963; Heath, 1973), Eropa Selatan, dan Laut Tengah (Blok,
1. Kajian Fungsional-Struktural
Kajian fungsional-struktural atas hubungan patron-klien
terlihat pada upaya untuk mengungkapkan kondisi-kondisi
yang mendukung kehadiran gejala patron-klien dalam suatu
masyarakat, misalnya yang dilakukan oleh Scott (1972a) di
Asia Tenggara dan Cohen (1966) di Bornu, Afrika. Mengapa
kajian mereka dikatakan fungsional-struktural? Padahal, para
penulisnya tidak mengatakan secara eksplisit bahwa mereka
menggunakan pendekatan tersebut.
Salah satu kunci dalam paradigma fungsional-struktural
adalah konsep fungsi. Penerapan konsep ini dalam kajian gejala
2 Uraian di bagian ini sebagian besar diambil dari tulisan saya “Kajian Patron-Klien
dan Paradigma Ilmu-ilmu Sosial di Indonesia: Sebuah Refleksi” dalam Patron-Klien di
Sulawesi Selatan: Sebuah Kajian Fungsional-Struktural (2007).
2. Kajian Actor-Oriented
Kajian ini berkembang terutama di kalangan ahli
antropologi politik yang lebih menyukai perspektif mikro
daripada makro dalam penelitian mereka. Dalam pendekatan
ini, seorang peneliti lebih mengarahkan perhatiannya pada
apa yang dikerjakan oleh para pelaku dalam sebuah sistem
politik. Untuk itu, peneliti memandang politik sebagai sebuah
permainan (game) atau pertandingan yang menjadi ajang
bagi individu-individu atau kelompok yang bersaing untuk
mendapatkan sesuatu. Sebuah pertandingan pada dasarnya
adalah seperangkat aturan, karena aturan merupakan bagian
yang sangat penting dari sebuah pertandingan. Setiap
pertandingan pasti memiliki aturan ini, baik tertulis maupun
tidak. Yang penting adalah bahwa aturan ini disepakati
bersama. Tanpa ada kesepakatan atas aturan, pertandingan
tidak akan dapat dilaksanakan. Jika demikian, maka sebuah
struktur politik juga dapat didefinisikan sebagai seperangkat
aturan juga, yang digunakan untuk mengatur persaingan atau
perebutan hal-hal tertentu dalam kehidupan (Bailey, 1977).
Dengan perspektif ini, perhatian peneliti akan diarahkan
pada keputusan-keputusan yang diambil oleh para pelaku
serta perilaku dan tindakan mereka. Di sini, para pelaku akan
dilihat sebagai “game players seeking personal goals within
analyzable social, cultural and situational fields”. Asumsinya
di sini adalah bahwa “individuals operating in social situations
seek to maximize their chances of achieving some set of specific
goals” (Strickon dan Greenfield, 1972: 13). Adanya asumsi
mengenai tujuan pelaku ini tidak berarti bahwa di situ ada
1. Politik Patronase
Dr. Guno menunjukkan dengan jelas bahwa politik uang
berbeda dengan politik patronase. Patronase atau hubu
ngan patron-klien, sebagaimana didefinisikan oleh James
Scott (1972a) adalah relasi pertukaran yang bersifat tatap
muka: antara seseorang yang lebih tinggi kedudukan sosial
ekonominya dengan seseorang yang lebih rendah kedudu
kannya, dan pihak yang lebih tinggi lebih banyak memberikan
bantuan material atau ekonomi, sedangkan yang lebih rendah
kedudukannya banyak memberikan bantuan berupa jasa.
Dalam relasi ini, ketimpangan dalam pertukaran selalu ada,
bahkan selalu dijaga, sebab keseimbangan pertukaran akan
dapat membuat hubungan pertukaran ini malah berhenti
(Ahimsa-Putra, 2008).
Hubungan pertukaran yang tidak pernah mencapai
keseimbangan ini kadang lebih berat di pihak patron, kadang
lebih berat di pihak klien, juga bersifat pribadi dan meli
batkan banyak hal. Sifat pribadi dan tatap-muka dari relasi
ini membuat patron tidak dapat mengembangkan relasi ini
2. Politik Uang
Ciri-ciri relasi patron-klien seperti di atas berbeda dengan
“politik uang”. Politik uang memunyai ciri-ciri yang hampir
seluruhnya berlawanan dengan ciri-ciri hubungan patronase.
Salah satu keberatan para pendukung proses demokrasi
terhadap politik uang adalah kemiripannya dengan praktik
dagang atau jual beli, atau bahkan lebih buruk daripada itu.
Dalam proses jual beli, pihak pembeli masih dapat menawar
dan meneliti barang yang akan dibelinya dengan seksama.
Pembeli dapat menolak membeli jika dia merasa barang yang
akan dibelinya tidak sesuai dengan keinginan atau seleranya.
Sampai di sini, kesamaan dengan politik uang masih dapat
diterima karena dalam proses pilkada, seorang pemilih juga
dapat meneliti calon yang akan dipilihnya. Dia dapat menolak
memilih si calon kalau calon tidak sesuai dengan keinginan
atau seleranya.
Akan tetapi, politik uang bisa lebih buruk daripada praktik
jual beli, karena akibat dari politik uang seorang pemilih dapat
saja menjatuhkan pilihannya tanpa mau bersusah payah melihat
kualitas calon yang akan dipilihnya. Ibarat seorang pembeli
yang tidak mau meneliti lebih lanjut kualitas barang yang akan
dibelinya karena dia tidak akan sering menggunakan barang
tersebut walaupun orang lain mungkin sekali akan dirugikan
oleh hasil pilihannya tersebut. Oleh karena itu, seorang
pemilih yang memberikan suaranya pada patronnya tidak
sama dengan seorang pemilih yang memberikan suaranya
pada seorang calon yang telah memberinya sejumlah uang,
1. Nalar Aktivis
Dr. Guno kurang ketat mendefinisikan apa yang dimak
sudnya sebagai nalar aktivis. Dia hanya mengatakan bahwa
para aktivis “tegas menolak praktik pemberian materi dan
non-materi yang diidentikkan dengan praktik money politics
dalam pemilu/pilkada”. Menurut nalar aktivis, elite “yang
melakukan praktik pemberian materi dan non-materi tidak
pantas dipilih oleh rakyat karena dianggap telah mengkhianati
penegakan nilai-nilai demokrasi”. Elite yang melakukan hal
tersebut juga “dianggap telah melanggar undang-undang
dan patut dijatuhi sanksi pidana”. Selain itu, elite seperti itu
juga “layak dibatalkan pencalonannya sesuai undang-undang
2. Nalar Politisi
Sebagaimana yang dilakukannya pada nalar aktivis, Dr.
Guno juga tidak mendefinisikan secara eksplisit nalar politisi
yang dikemukakannya. Dia katakan bahwa “nalar politisi
cenderung pragmatis dan kontekstual, khususnya dalam hal
pemberian materi dan non-materi”. Dalam nalar ini, seorang
politisi diasumsikan “memberikan materi kepada masyarakat
yang miskin dan menyejahterakan, tidak bertentangan dengan
hukum, apalagi bagi seorang bangsawan yang memiliki
amanah untuk menyejahterakan masyarakat miskin”. Dalam
nalar tersebut, diasumsikan bahwa masyarakat “menganggap
pemberian seorang bangsawan merupakan suatu kehormatan
atau anugerah” sehingga “mereka tidak mempermasalahkan
pemberian elite tersebut sebagai tindakan money politics”.
Dibandingkan dengan rumusannya mengenai nalar
aktivis, pernyataan-pernyataan Dr. Guno mengenai nalar
politisi ini menyimpan lebih banyak masalah. Pertama, prinsip-
prinsip yang dianut dalam nalar tersebut belum dinyatakan
secara tegas sehingga makna nalar di situ lebih dekat dengan
pandangan-pandangan filosofis, karena berupa sejumlah
asumsi mengenai pola perilaku tertentu dalam perpolitikan.
Penutup
Terlepas dari sejumlah kekurangan di atas, bagaimanapun
juga Dr. Guno telah membuka sebuah arah baru dalam kajian
politik di Indonesia, yaitu kajian mengenai nalar politik. Untuk
Indonesia, arah kajian ini sangat penting karena masyarakat
Indonesia merupakan masyarakat yang sangat majemuk dalam
budayanya. Apakah di Indonesia hanya ada dua nalar politik
seperti yang diidentifikasi oleh Dr. Guno, atau masih ada nalar-
nalar politik yang lain? Apakah nalar politik tersebut terkait
dengan unsur-unsur budaya tertentu atau corak (konfigurasi)
budaya masyarakatnya? Hanya penelitian-penelitian yang
lebih mendalam mengenai nalar politik yang akan dapat
menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Apa yang saya sampaikan dalam “Kata Pengantar” ini pada
dasarnya hanya sebuah upaya untuk menyampaikan kembali
beberapa butir pemikiran penting dari Dr. Guno yang telah
disampaikannya sendiri dalam buku ini, tetapi tidak selalu
dengan cara yang eksplisit dan sistematis. Akibatnya, butir-
butir pemikiran tersebut menjadi agak sulit diidentifikasi.
Dr. Guno juga belum menempatkan hasil kajiannya dalam
konteks studi hubungan patronase dalam antropologi politik
dan ilmu politik, sehingga kontribusi pemikirannya dalam
studi fenomena sosial tersebut juga tidak gampang diketahui.
Mudah-mudahan, “Kata Pengantar” ini dapat membuat
pembaca lebih mudah menempatkan hasil kajian Dr. Guno
ini dalam konteks yang semestinya.
Oleh:
Dr. Asep Nurjaman, M.Si.
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Muhammadiyah Malang
Pendahuluan
R
eformasi telah memberi ruang kebebasan politik
dan keterbukaan di Indonesia (Piage, 2004). Situasi
dan kondisi politik pun berubah, termasuk peruba
han partai dan sistem kepartaian maupun perilaku politik
dalam pemilu. Pola hubungan partai dan konstituen berbasis
kultural tidak lagi signifikan (Baswedan, 2004; Nurjaman,
2013). Figur-figur yang populer seperti artis dan para
1 Proses politik yang terjadi di DPR hasil Pemilu 2004, pada penghujung masa jabatannya
para anggota Dewan, khususnya dari partai kecil, berupaya mendesak agar partainya
tidak diverifikasi ulang. Untuk itu, mereka mengajukan perubahan sistem threshold, dari
electoral menjadi parliamentary threshold. Hasil verifikasi awal, KPU meloloskan sebanyak
34 partai politik baik yang lolos threshold maupun verifikasi administratif. Namun,
keputusan ini dianggap tidak adil dan dianggap melanggar perundang-undangan. Oleh
karena itu, sebagian partai peserta Pemilu 2004 yang tidak lolos mengajukan peninjauan
kembali ke Mahkamah Konstiusi (MK). MK memutuskan bahwa empat partai politik
berhak ikut dalam Pemilu 2009.
2 Setelah pemilu 1999, partai politik merasa tidak cukup kuat untuk meraih dukungan
pemilih dari basis pemilih tradisionalnya. Maka, mereka berusaha untuk mengembangkan
segmen pemilihnya. Salah satu cara agar bisa meraih dukungan pemilih dari luar basis
tradisional, partai Islam melakukan pembenahan dalam membangun isu politiknya
dengan tidak menonjolkan syariat Islam secara vulgar walaupun tetap tidak mengubah
jati dirinya sebagai partai Islam. Begitu pun partai Nasionalis berusaha untuk menggaet
pemilih di luar basis tradisionalnya, dengan cara membangun komunikasi dengan tokoh-
tokoh Islam.
3 Di sisi lain, kelompok Islam tradisionalis melakukan sophistikasi dalam pendekatan
dengan kelompok abangan. Partai-partai yang semula dikenal “hijau” mulai mencoba
untuk menampilkan wajah nasionalis dengan mereduksi isu-isu penegakan syariat Islam
dan negara Islam dalam kampanyenya, sebagaimana dilakukan oleh PPP dan PKS. Ketika
masih bernama Partai Keadilan (PK) dengan mengusung isu Islam, partai ini tidak
mendapatkan suara yang signifikan dalam Pemilu 1999; di parlemen hanya memperoleh
tujuh kursi. Namun, setelah melakukan pembenahan dan mengganti nama menjadi
Partai Keadilan Sejahtera (PKS),serta meluncurkan isu yang lebih riil dan menjadi
dambaan masyarakat, seperti penegakan keadilan dan pemberantasan korupsi dengan
semboyan ”bersih dan peduli”, perolehan kursi PKS meningkat menjadi 45 kursi pada
Pemilu 2004. Namun sebaliknya PPP, meskipun sudah memperbaharui isu—dari isu
syariat Islam dan negara Islam menjadi isu “mendukung” Pancasila—tetap saja stagnan
dengan 58 kursi. PBB yang tetap ngotot dengan syariat Islam juga melorot, dari 13 kursi
dalam Pemilu 1999 menjadi 11 kursi dalam pemilu 2004. PDI-P yang unggul dengan
153 kursi dalam Pemilu 1999, juga melorot dengan perolehan 109 kursi saja pada Pemilu
2004.
4 Untuk lebih jelasnya, lih. Riswanda Imawan, Partai Politik Di Indonesia: Pergulatan
Setengah Hati Mencari Jati Diri, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu
Politik pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta,
4 September 2004.
5 Hingga saat ini, masih terdapat beragam pemahaman atas apa yang dimaksud dengan
partai Islam. Hal ini sejalan dengan pandangan yang berkembang di kalangan umat Islam,
khususnya di Indonesia tentang hubungan antara Islam dan negara yang juga mendapat
beragam tanggapan. Bagi kalangan akademisi, keragaman pandangan ini tidak terlalu
sulit untuk dipahami. Akan tetapi, bagi kalangan awam keragaman ini masih relatif sulit
dipahami dan tidak jarang menimbulkan gesekan-gesekan yang berpotensi memicu
konflik. Untuk itulah, dalam kajian ini penting dikemukakan tentang apa yang dimaksud
dengan partai Islam dan yang terkait dengan hal ini berikut argumentasi-argumentasi
yang melandasinya, agar keragaman pandangan tentang apa yang dimaksud dengan
partai Islam mendapat apresiasi yang proporsional. Pembahasan ini menjadi terasa
penting bila dikaitkan dengan posisi umat Islam Indonesia yang menempati jumlah
terbanyak di dunia, sekaligus yang memiliki jumlah partai Islam terbanyak pula. Sebagian
kalangan berpendapat bahwa yang dimaksud dengan partai Islam adalah partai-partai
yang menggunakan nama atau simbol-simbol keislaman. Sebagian yang lain menyatakan
bahwa yang dimaksud dengan partai Islam adalah partai yang menjadikan Islam sebagai
azasnya. Sebagian kalangan lagi menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan partai
Islam adalah partai yang bertujuan memperjuangkan kepentingan-kepentingan umat
Islam, meskipun tidak menggunakan simbol atau atribut Islam, dan masih banyak lagi
pendapat tentang hal ini. Dari berbagai pendapat tersebut, paling tidak dapat ditemukan
suatu rumusan tentang apa yang dimaksud dengan partai Islam dengan kriteria sebagai
berikut. Pertama, partai yang menggunakan nama, azas, tanda gambar, yang terkait
dengan Islam. Kedua, partai yang konstituen utamanya adalah umat Islam. Ketiga, partai
yang program dan tujuannya memperjuangkan kepentingan semua warga negara, tetapi
konstituennya adalah umat Islam. Jadi, yang dimaksud dengan partai Islam adalah partai
yang di dalamnya mengandung ketiga unsur di atas. Lebih jelas mengenai karakteristik
partai, khususnya partai politik peserta Pemilu 1999, lihat Partai-Partai Politik Indonesia,
Ideologi dan Program, 2004-2009, PT. Kompas Media Nusantara, 2004.
Politik Ambivalensi [ li ]
kalkulasi elitis ini terjadi dalam sistem politik yang masih
memberlakukan personifikasi institusi, maka format catch-
all party berpotensi melahirkan oligarkhi dalam tubuh partai
itu sendiri. Dan, hal ini bertentangan dengan jati diri partai
politik sebagai pilar demokrasi.6
Kenyataan tersebut di atas dipengaruhi oleh adanya
perkembangan aspirasi politik masyarakat yang membangun
kesadaran dari para pelaku politik untuk berpikir bagaimana
bisa merangkul berbagai kepentingan yang ada. Apalagi hal ini
didukung oleh kenyataan bahwa kegagalan partai politik dalam
menyesuaikan diri dengan lingkungan yang berkembang
merupakan penyebab utama matinya sebuah partai politik.
Dengan demikian, banyak partai yang aktif dalam menja
ring aspirasi yang berkembang, dan hal ini telah melahirkan
format baru dalam partai politik yang dikenal dengan catch-all
party.7 Posisinya berada di antara kutub dikotomi partai elite dan
partai massa. Menurut Riswanda, format ini mengagungkan
pragmatisme dan rasionalitas sebagai pilar penyangga sistem
politik yang demokratis. Dengan prinsip pragmatisme dan
rasionalitas ini, dimungkinkan bagi masyarakat untuk berpikir
tentang “politik tanpa alur” (politics without cliches), tidak
6 Untuk lebih jelasnya, Lih. Riswanda Imawan, Partai Politik Di Indonesia: Pergulatan
Setengah Hati Mencari Jati Diri, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu
Politik pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta,
4 September 2004.
7 Dasar pertimbangan utama mengapa partai politik tergoda untuk membangun catch-
all party adalah keinginan untuk memenangkan pemilu. Baik catch-all party yang
berbasis partai massa maupun partai kader sama-sama berpandangan bahwa untuk
memenangkan pemilu, mereka harus menangkap semua atau berbagai kelompok
kepentingan. Hal ini dilakukan dengan cara memperlunak ideologi mereka agar dapat
masuk ke dalam berbagai kelompok. Semua catch-all party menjanjikan kondisi yang
lebih baik bagi pengusaha, upah dan jaminan sosial yang lebih baik bagi pekerja, harga
terjangkau dan dukungan pada petani, jaminan hari tua, bantuan terhadap pengusaha
kecil, pedidikan dan lapangan kerja yang lebih baik bagi pemuda, dan sebagainya. Lebih
jelasnya, lih. Mark N. Hagopian, Regimes, Movements, and Ideologies, A Comparative
Introduction to Political Science, New York and London, Logman Inc., 1978.
8 Partai jenis ini, di permukaan hampir serupa dengan partai massa. Namun, berbeda
dengan partai massa yang mendasarkan diri pada kelas sosial tertentu, partai catch-all
mulai berpikir bahwa dirinya mewakili kepentingan bangsa secara keseluruhan. Partai
jenis ini berorientasi pada pemenangan pemilu sehingga fleksibel untuk berganti-ganti
isu di setiap kampanye. Partai catch-all juga sering disebut sebagai partai electoral-
professional atau partai rational-efficient. Namun, bergesernya posisi ideologis partai
politik akan mengakibatkan hilangnya identitas masing-masing. Bisa jadi, setiap partai
politik punya isu dan program yang sama sehingga tidak ada preferensi yang akan
dijadikan dasar dalam menentukan pilihan politik.
9 Teori tentang koalisi digambarkan oleh Lieven De Winter dan Patrick Dumon, “Parties
Into Government: Still Many Puzles”, dalam Richard S Katz dan William Croty (edt),
Handbook of Party Politics, London: SAGE Publication, 2006. Sedangkan teori koalisi
berbasis ideologi dikemukakan oleh de Swan (1973) yang menekankan pentingnya
ideologi partai dalam pembentukan koalisi. Lih. Kuskridho Ambardhi, Mengungkap
Politik Kartel, Jakarta: PT Gramedia, 2009. hlm. 26-27.
10 Penjelasan lebih lanjut mengenai sistem politik yang terkartelisasi, lih. Kuskridho
Ambardhi, Mengungkap Politik Kartel, Jakarta: PT Gramedia, 2009.
11 Kasus Pilkada Jatim bisa dijadikan contoh. Untuk memenuhi syarat minimal pencalonan
pasangan Khofifah-Mujiono, PPP dan PDS yang secara ideologis berseberangan harus
menyatu dan berkoalisi. Secara ideologi, PPP menyatakan diri sebagai partai Islam seperti
yang dicantumkan dalam asas partai, sementara PDS merupakan partai yang lahir dari
kalangan Nasrani walaupun secara asas menggunakan Pancasila.
Politik Ambivalensi [ lv ]
Koalisi yang dibangun atas dasar pragmatisme sebagaimana
di atas berdampak pada terciptanya pemerintahan tanpa arah
kebijakan yang jelas. Bahkan kesulitan yang sering terjadi dalam
mengelola pemerintahan bisa dilihat baik di pusat maupun
di daerah. Koalisi demikian, dibangun hanya dalam konteks
berbagi kekuasaan, tetapi tidak linier dengan dukungan partai
dalam persoalan arah kebijakan politik pemerintah yang akan
dijalankan. Lebih lanjut, koalisi pragmatis ini juga berdampak
pada , lahirnya banyak lobi dan transaksi di tingkat parlemen,
yang cenderung bersifat material dalam mengegolkan satu
kebijakan. Hal ini telah mendorong lahirnya genetika parlemen
lama yang penuh dengan perilaku korup. Walaupun demikian,
akibat sistem pemerintahan presidensil yang tidak memberi
ruang kepada rakyat untuk melakukan mosi tidak percaya
kepada pemerintah, maka posisi pemerintahan baik di pusat
maupun di daerah tetap aman, seberapa parah pun hancurnya
bangunan koalisi.
Dilihat dari spektrum ideologis yang ada sekarang, partai-
partai yang punya potensi tinggi untuk membangun koalisi
adalah partai politik yang berideologi nasionalis religius.
Sebagai catatan, apakah sebuah partai tergolong nasionalis
sekuler atau nasionalis religius, sangat sulit dilihat dari
platform partai. Namun, partai nasionalis religius bisa dilihat
dari komposisi dukungan atau basis pemilih yang dibidik
dan tentunya dengan aspek sosiologis dan historis dari partai
tersebut. Melihat dari konfigurasi ideologis yang ada, maka
partai yang termasuk berideologi nasionalis religius dengan
dukungan pemilih yang cukup signifikan adalah Partai Golkar,
Partai Demokrat, dan termasuk juga PAN dan PKB yang
punya kedekatan secara historis dan sosiologis dengan Islam.
Sementara itu, dua kutub yang ekstrim, yang secara ideologis
tidak mungkin dipertemukan, walaupun secara pragmatis bisa
12 Kembalinya PPP ke Khittah 1973 menandai tekad partai berlambang Ka’bah ini
melepaskan diri dari dilema ideologi. Menghadapi Pemilu 2004 lalu, PPP tetap
mengedepankan prinsip istiqomah dalam melakukan tugasnya sebagai partai politik
yang berasaskan Islam.
Legitimasi Rendah
Tingkat pelembagaan partai politik sangat menentukan
terciptanya sistem keterwakilan politik yang berkualitas.
Reformasi struktural yang telah dilakukan sejak awal periode
Reformasi ternyata tidak serta merta meningkatkan kualitas
keterwakilan partai politik. Seluruh survei yang dilakukan
oleh berbagai lembaga untuk mengukur persepsi publik atas
kinerja partai politik menghasilkan temuan yang sama, yaitu
bahwa sebagian besar rakyat memiliki keraguan yang besar
bahwa partai politik dapat memenuhi harapan-harapan rakyat.
Jajak pendapat yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia
(LSI) memaparkan bahwa tujuh dari sepuluh orang Indonesia
tidak merasa partai-partai politik yang ada merepresentasikan
ide dan kepentingan mereka. Dalam representasi aspirasi, ada
kesenjangan yang cukup besar antara aspirasi pemilih dengan
sikap dan tindakan partai politik. Survei LSI menunjukkan,
65% publik menyatakan bahwa partai politik tidak
merepresentasi aspirasi mereka untuk berbagai isu publik:
posisi kelas sosial partai, isu ideologi dan sistem legal, dan isu
ekonomi. Menurut Nababan (2004), pemilih merasa bahwa
Penutup
Tingkat persaingan yang sangat tinggi dalam pemilu atau
pilkada telah mendorong para kontestan untuk berusaha
dengan segala cara meraih simpati massa. Kondisi ini telah
mendorong mereka melakukan banyak aktivitas yang
lebih mirip pembelian suara (vote buying), seperti bantuan
pembangunan sarana dan prasarana, pemberian barang dan
layanan sosial, bahkan pemberian uang. Di tingkat lokal, hal
ini berdampak pada perilaku calon terpilih dalam menjalankan
tugasnya, seperti gubernur, bupati/walikota yang mendapat
bantuan pengusaha; mereka berusaha membayarnya dengan
berbagai kebijakan yang mengarah pada kepentingan mereka.
Kondisi ini berdampak pada terabaikannya kepentingan
masyarakat luas karena pelayanan publik yang seharusnya
diberikan kepada masyarakat akan terkurangi akibat kebijakan
yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat. Sementara itu,
keberadaan partai politik menjadi tidak berharga karena tidak
lagi sebagai lembaga yang berpengaruh dalam mengagregasi
kepentingan publik. Dalam penentuan kebijakan, perannya
sudah digantikan oleh para pengusaha yang menjadi penopang
utama dalam pemenangan pilkada. Kondisi ini mendorong
terjadinya abuse of power dalam pembuatan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Sepatah Kata
Perspektif Baru Terhadap Fenomena Patronase
di Indonesia.......................................................................... iii
Kata Pengantar - Dari Praktik Politik ke Nalar Politik .. x
Kata Pengantar
Pragmatisme Politik: Menakar “Harga” Partai
dalam Pemilu dan Pilkada.................................................. xlv
Daftar Isi .............................................................................. lxiv
Daftar Gambar .................................................................... lxvii
Daftar Tabel ......................................................................... lxviii
Daftar Akronim dan Glosarium ....................................... lxviv
BAB I
Melacak Nalar Elite Lokal dalam Upaya Pemenangan
pada Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA)................... 1
A. Pilkada Kalimantan Timur (Kaltim) ........................ 6
B. Elite Politik di Kutai Timur (Kutim) dan Kaltim..... 7
C. Melacak Nalar Elite yang Berkontestasi.................... 7
1. Studi-studi tentang Kontestasi Antarelite.......... 16
2. Kajian Penalaran Demokrasi............................... 24
D. Nalar Elite (AFI) dalam Meraih Kemenangan
dalam Pilkada di Kaltim.............................................. 31
BAB II
Dinamika Politik Lokal: Melacak Jejak Perjalanan
dan Interaksi Politik AFI ................................................... 36
BAB III
Nalar Politik Sang Bangsawan:
Menelisik Dua Pilkada Kutim (1999-2005)..................... 75
A. Pemberian Gelar Kebangsawanan............................. 76
B. Elite dan Momentum Pemekaran Wilayah............... 82
C. Implikasi Penetapan AFI sebagai Bupati Kutim...... 86
D. Bapak Pembangunan yang Dermawan..................... 99
E. Revitalisasi Pertanian................................................... 100
F. Pemberian Pinjaman Modal ...................................... 103
G. Rekayasa Modal Sosial................................................ 104
H. Merajut Patronase ....................................................... 110
I. Menggalang Dukungan Parpol.................................. 111
J. Safari (Blusukan) dari Desa ke Desa.......................... 112
BAB IV
Ambivalensi Nalar Politik:
Studi Dua Pilkada Kaltim (2003 dan 2008)..................... 116
A. Fenomena Empiris tentang Praktik Money Politics
dan Patronase ............................................................... 117
1. Mengikat Patronase dengan Masyarakat
Pedalaman dan Pesisir ......................................... 121
BAB VI
Kesimpulan ......................................................................... 184
A. Perspektif Normatif/Idealis ........................................ 184
B. Perspektif Pragmatis ................................................... 185
C. Politik Ambivalensi...................................................... 186
D. Redefinisi Konsep Money Politics............................... 188
E. Konstruksi Politik Ambivalensi................................. 189
F. Paradigma Baru: Sebuah Tawaran ............................ 191
G. Urgensi Rekonstruksi Teori Demokrasi ................... 196
H. Rekomendasi Penulis terhadap Penelitian Sejenis
di Tanah Air.................................................................. 199
Indeks.................................................................................... 201
Kepustakaan......................................................................... 205
66 Lampiran I
Nara Sumber Wawancara/Diskusi............................. 224
66 Lampiran II
Pedoman Wawancara.................................................. 226
66 Lampiran III
Daftar Gubernur Kalimantan Timur......................... 231
P
enerapan sistem demokrasi di era Reformasi berdam
pak pada diberlakukannya sistem nilai one man, one
vote, one value pada saat Pilkada berlangsung. Prinsip
dasar penyelenggaraan Pilkada adalah adanya apresiasi
terhadap hak-hak individual untuk menentukan aspirasi
politik. Namun, kenyataan bahwa kontestasi yang digelar
untuk merayakan hak-hak individual ini dilangsungkan dalam
masyarakat yang mengedepankan kolektivitas, termasuk di
dalamnya kekerabatan, solidaritas etnis dan sebagainya belum
cukup diperhatikan.
Tanpa disadari, ada ketidaksesuaian kultur yang diabaikan
implikasinya oleh para pakar politik. Seolah-olah, kontestasi
untuk menentukan pemenang ini merupakan satu-satunya
cara mewujudkan kedaulatan rakyat. Seakan-akan, penerapan
skema yang diatasnamakan demokrasi tersebut benar-benar
kedap dari sistem budaya kekerabatan dalam masyarakat.
Padahal, masyarakat setempat telah hidup dalam sistem budaya
kekerabatan selama berabad-abad sehingga kapasitasnya
mementahkan skema yang diberlakukan. Faktanya, sepuluh
Politik Ambivalensi [ 1 ]
tahun penerapan skema demokrasi ini tidak menghapuskan
nilai-nilai budaya lokal. Bahkan, pemberlakuan skema tersebut
dibarengi dengan tidak kunjung matangnya—kalau bukan
melemahnya—parpol dalam mengagregasi kepentingan
masyarakat.
Kontestasi yang berlangsung pada tingkat individual tidak
berhenti pada individu itu sendiri. Masing-masing kontestan
memobilisasi dukungan secara jorjoran untuk memastikan
dirinya menang. Mereka rela mempertaruhkan uang dalam
jumlah besar dan terlibat dalam praktik yang disebut
sebagai money politics. Maraknya praktik ini pada Pilkada di
Kalimantan Timur (Kaltim) menjadi sebuah perbincangan
menarik. Elite yang tampil sebagai kontestan dari kalangan
bangsawan sangat cerdas menggunakan kebangsawanannya.
Mereka mengolah status atau posisi itu dan dengan cerdik
mendayagunakannya dalam bentuk relasi patron-klien.1
Patronase diperankan sebagai basis untuk memobilisasi
dukungan masyarakat. Elite mengikat batin tokoh masyarakat/
adat melalui pemberian, baik yang bersifat material maupun
non-material, yang secara derogatif dilabeli sebagai money
politics.2 Dalam hal ini, menarik untuk dicatat bahwa betapa
3 Hermawan Sulistyo dan A. Kadar, Uang dan Politik dalam Pemilu 1999, (Jakarta:
KIPP,2000), hlm. 6.
4 Maurice Duverger, Sosiologi Politik, (Jakarta: Rajawali Press, 2003), hlm. 258.
5 Menurut KPK dalam Surat No. B 143/01-13/01/2013 tentang himbauan kepada para
pejabat negara, pemberian uang, barang, dan jasa melanggar UU No.31 Tahun 1999
Politik Ambivalensi [ 3 ]
tersebut, tidak ada jaminan bahwa para pelakunya bersepakat
dengan penghakiman moral yang divoniskannya. Oleh
karena itu, pada masa kini, fenomena kebiasaan pemberian-
penerimaan tersebut perlu dikaji dari perspektif nalar para
pelakunya.
Dalam menyikapi skema Pilkada, elite diwacanakan ambil
bagian dalam menegakkan prinsip: one man, one vote, one
value. Dalam pewacanaan ini, suara individu diasumsikan
sebagai cerminan kedaulatan rakyat. Oleh karena itu, satu suara
sangatlah berharga karena akan menentukan kalah/menangnya
seorang elite dalam Pilkada. Dengan demikian, elite yang
memiliki kapasitas untuk berkontestasi saling adu pengaruh
melalui berbagai cara, termasuk money politics. Yang menjadi
persoalan dalam studi ini bukan akurat tidaknya kategorisasi
cara-cara (modus) melakukan praktik tersebut, melainkan
makna dari tindakan atau interaksi yang dijalin. Tindakan-
tindakan mereka dinilai tidak melibatkan ikatan batin dan
dilakukan dalam waktu yang relatif singkat.6 Pemaknaan
tersebut di atas justru dilakukan dari telaah yang berdurasi
singkat sehingga kesimpulan yang dihasilkan tidak akurat.
Elite bisa dan biasa saja melakukan kegiatan transaksional,
tentang Pemberantasan Tindak Korupsi. Lihat L. Sumartini dan Syaiful Watni, Money
Politics dalam Pemilu (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional,2005). Lihat
juga Amzulian Rifai, Politik Uang dalam Pemilihan Kepala Daerah, (Jakarta: Ghalia
Indonesia,2003). Kwik menyebut politik pemberian dengan sebutan ‘politik dagang
sapi’ yang merusak tatanan demokrasi. Kwik Kian Gie, Kebijakan Ekonomi Politik dan
Hilangnya Nalar, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006). Menurut hasil survei ICW
di Jakarta, Aceh, Jayapura, Banten, Kendari, dan daerah lain, dalam Pilkada masih
terjadi politik transaksional yang dianggap mengancam proses demokrasi di Indonesia.
“Pilkada di Indonesia masih dibajak oleh cukong dan elite lokal. Banyak APBD dipakai
oleh incumbent dan [mereka pun] menang, serta penyelenggara yang mudah diintervensi
politik. Namun, [Pilkada] belum bisa dibilang gagal, tinggal sistem harus diperbaiki. Saat
ini momentum pengawalan dalam pembahasan RUU Pilkada di DPR,” ungkap Abdullah
Dahlan memaparkan hasil riset ICW.
6 Kuskridho Ambardi, Mengungkap Politik Kartel (Jakarta: PT Gramedia-LSI,2009), hlm.
362-365.
7 David Held, Models of Democracy (Cambridge: Polity Press, 1987); Clifford Geertz (ed.),
Old Societies and New States (New York: Free Press, 1963).
8 AS Hornby, Oxford Advanced Learners Dictionary of Current English (New York, Toronto:
Oxford University Press, 1986), hlm. 210.
Politik Ambivalensi [ 5 ]
tindakan memberi, melainkan pada nalar yang membangun
keyakinan akan keniscayaan untuk menang berkontestasi
dalam Pilkada.
Berdasarkan uraian di atas, dalam buku ini kajian
difokuskan pada Pilkada Kaltim, khususnya periode 2003-
2008.
Politik Ambivalensi [ 7 ]
Lipset.9 Menurut mereka, demokrasi melibatkan kepatuhan
pada serangkaian kaidah. Di samping itu, buku ini juga
mengacu pada penjelasan Schroder, Scott, Wolf, dan Downs
perihal kontestasi antarelite yang tentu menyerap perhatian
dan energi para kontestan sehingga sangat mungkin bahwa
mereka akan mengorbankan kepatuhan pada kaidah-kaidah
berdemokrasi.
Menurut Schroder (2004), untuk merebut kekuasaan
haruslah ada kontestasi antarelite yang diwujudkan secara
demokratis melalui Pemilu.10 Elite bersaing dengan jujur dan
bebas untuk saling berebut kekuasaan dengan cara yang diatur
dalam regulasi. Masing-masing elite haruslah menaati regulasi
dan mengutamakan integritas yang terwujud melalui Pemilu
yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (disingkat
dengan luber dan jurdil). Dengan mengacu pada asumsi
Pemilu harus luber dan jurdil tersebut, elite yang berkontestasi
dan menang akan mendapatkan legitimasi yang kuat. Dalam
konteks kontestasi antarelite tersebut, dia memerlukan strategi
yang efektif agar dapat memenangkan Pemilu secara jujur
dan adil. Menurut Schroder (2004), strategi kontestasi dalam
pemenangan elite ada dua: ofensif dan defensif.11
Strategi ofensif adalah suatu cara untuk memperluas
segmen pemilih dan menembus segmen pemilih baru. Strategi
ofensif ini diperlukan oleh elite dalam rangka merebut massa
sebanyak-banyaknya. Dengan kata lain, strategi ofensif ini
menjadi penentu bagi elite, apakah dia diterima oleh pemilih
atau tidak. Semakin banyak dia memperluas segmen pemilih
Politik Ambivalensi [ 9 ]
bisa diaplikasikan teori Scott dan Eric R. Wolf12 berkaitan
dengan kinship (kekerabatan), friendship (pertemanan), dan
patronase. Menurut Scott, patronase adalah relasi patron-klien
antara dua orang yang berbeda status, di dalamnya terjadi
proses pemberian uang, barang, dan jasa.13
Biasanya, patron berasal dari kalangan bangsawan atau tuan
tanah. Dengan sumber daya dan pengaruh yang sangat besar
di masyarakat, biasanya ia memiliki status yang lebih tinggi. Ia
memberikan pinjaman uang, tanah, peralatan pertanian dan
perlindungan keamanan kepada klien. Sementara itu, klien
yang berasal dari kelas sosial lebih rendah hanya menerima
pemberian tersebut dan membalasnya dengan loyalitas.
Artinya, sang patron menginvestasikan kebaikan melalui
pemberian materi dan non-materi. Dampak dari apa yang
dilakukan sang patron ialah utang budi dan loyalitas. Semakin
besar pemberian sang patron, klien akan merasa berutang
semakin besar sehingga tertutup kemungkinan untuk bisa
membalasnya. Menurut Scott, fenomena patronase tersebut
mengakar kuat dalam masyarakat di Malaysia, Thailand,
Filipina, dan Indonesia. Temuan Scott juga mengindikasikan
adanya penguatan relasi patron-klien dalam masyarakat
agraris. Dengan kata lain, dalam masyarakat Asia Tenggara—
khususnya di Indonesia— masih terikat kuat dengan kebiasaan
patronase yang berimplikasi terhadap perilaku elite lokal.
Ketika elite mencalonkan diri dalam Pilkada, maka relasi
patron-klien tersebut ditransformasi menjadi mobilisasi massa
dan perolehan suara baginya.
14 Bent Flyvbjerg, Rationality and Power: Democracy Practice (Chicago: The University of
Chicago, 1998). hlm. 4-6.
15 Vohn R. Rearle, Rationality in Action (Massachusette: Massachusette Institute of
Technology, 2001).
Politik Ambivalensi [ 11 ]
dapat terpenuhi. Berangkat dari paparan tersebut, kontestan
yang menjadi kontestan Pilkada terikat untuk melakoni dua
keharusan (ambivalen) sekaligus: keharusan untuk mematuhi
kaidah-kaidah berdemokrasi, dan pada saat yang sama harus
memenangkam kontestasi. Gambar 1.1. mengilustrasikan dua
aras ini dengan warna berbeda: hijau dan oranye.
Gambar 1.1. Nalar Politik Ambivalensi
16 Anders Uhlin, Indonesia and “The Third Wave of Democratization”: The Indonesia Pro-
Democracy Movement in a Changing World (Great Britain: Curzon, 1977), hlm. 84-127.
Uhlin mengategorikan kelompok pro-demokrasi ini menjadi empat kategori, yakni elite
dissident groups and intellectuals, the old generation of NGOs, student activist, dan the
new generation of pro democracy and human rights NGO.
17 Bandingkan Robert A. Dahl Polyarchy: Participation and Opposition (New Heaven: Yale
University Press, 1971).
18 Bandingkan Dahl, Sartori, dan Diamond.
19 Bandingkan, Democracy in Plural Societies.
Politik Ambivalensi [ 13 ]
dijelaskan di sini bukan detail atau corak strategi itu sendiri,20
melainkan nalar yang menggerakkan strategi itu sendiri. Yang
jelas, dalam posisi ini peran dan kepiawaiannya sebagai politisi
sedang dipertaruhkan. Apapun strategi yang diambil, ia tidak
boleh membiarkan diri menjadi sekadar nomor dua, karena
20 Dalam kasus yang diteliti, kontestan terlibat secara aktif dalam “mengolah” peran
dan posisinya sebagai bangsawan dalam rangka mencitrakan dirinya sebagai problem
solver. Artinya, ia mencitrakan diri sebagai seorang bangsawan yang dermawan
dengan membagi-bagikan materi dan non-materi. Hal ini berkaitan dengan perspektif
masyarakat bahwa seorang bangsawan yang berkharisma harus memberikan materi dan
non-materi. Dengan pemberian itu, masyarakat akan memercayainya. Bagi masyarakat,
pemberian tersebut merupakan kehormatan, bukan tindakan money politics. Karena
masyarakat Indonesia masih menjunjung tinggi kekerabatan, maka strategi pendekatan
pribadi lebih efektif. Selaras dengan hal ini, dalam demokrasi yang menerapkan prinsip
one man, one vote, one value, pengenalan dan kedekatan kontestan dengan masyarakat
sangat menentukan. Oleh karena itu, agar masyarakat terikat batin dan loyal, kontestan
tersebut mengelola pemberian itu secara kontinyu. Dengan kata lain, secara sadar ia
mengadakan rekayasa relasi patron-klien dengan memberikan materi dan non-materi
sebagai simbol pengikat bagi dirinya terhadap tokoh masyarakat, adat, dan agama.
Dengan adanya ikatan relasi patron-klien yang kemudian ‘dilembagakan’ dalam bentuk
ormas dan dikelola secara terus menerus, muncul kedekatan batin dan utang budi.
Pemberian materi dan non-materi tersebut merupakan investasi berupa utang budi yang
besar hingga masyarakat sebagai klien tidak bisa membalas. Investasi tersebut juga
dikelola dengan memanfaatkan dana APBD dan birokrasi, serta dikawal oleh para
penyuluh ke desa-desa. Adakalanya, ketika elite sebagai pejabat atau kepala daerah,
dia membuat kebijakan yang radikal dengan membagi-bagikan tanah secara gratis,
sertifikat tanah gratis, pendidikan gratis, pengobatan gratis, pinjaman dana bagi petani,
dan perlindungan hasil panen melalui koperasi.
Kebijakan ‘sinterklas’ tersebut dilakukan dalam rangka memenuhi harapan masyarakat dan
dengan demikian elite mendapatkan sarana untuk mencitrakan dirinya sebagai problem
solver atas berbagai masalah, baik kemiskinan, kebodohan, maupun perlindungan
terhadap masyarakat. Implikasi penerapan strategi investasi utang budi tersebut
memunculkan citra elite sebagai “bapak pembangunan” yang dermawan dan peduli
terhadap masyarakat. Ketika ia mencalonkan diri sebagai kontestan dalam Pilkada, relasi
patron-klien dan investasi utang budi yang telah ‘ditanamkan’ tersebut ditransformasi
menjadi mobilisasi massa dan dukungan suara terhadapnya.
Dalam hal ini, berlaku penalaran elite bahwa dia perlu mengikat batin masyarakat dengan
memenuhi kebutuhan dasar mereka sehingga mereka loyal kepadanya, dan keterikatan
batin itu dirajut melalui pemberian materi dan non-materi. Namun, agar elite tidak
divonis melakukan tindakan money politics dan terkena sanksi hukum, mekanisme
pemberian ini dikemas secara kultural dengan menyesuaikan adat setempat. Pemanfaatan
adat atau budaya ini dimaksudkan untuk ‘menanamkan’ ikatan batin dan utang budi.
Penanaman ‘utang budi’ tersebut berlangsung bertahun-tahun dan dikelola secara
profesional.
Politik Ambivalensi [ 15 ]
Selanjutnya, untuk melacak nalar di balik strategi yang
diadopsi oleh elite, dan dugaan mengenai penerapan dua
nalar yang bertentangan (ambivalensi), ada dua hal yang
perlu diperhatikan, yaitu hasil-hasil studi tentang kontestasi
antarelite dan penalaran demokrasi.
23 Tampaknya, penulis terjebak dengan teori marketing politics yang menekankan pada
strategi membangun citra, ofensif, dan defensif. Dengan dasar teori tersebut, penulis
menganalisis strategi politik kontestan di daerah pascabencana. Pertanyaan kritis yang
patut diajukan ialah, apakah benar kontestan menggunakan strategi pencitraan, ofensif,
dan defensif? Apakah tanpa money politics kontestan bisa memenangkan Pilkada? Penulis
hanya memaparkan apa yang tampak di luar dan hal ini bisa dimaklumi, karena sumber
data diperoleh melalui elite parpol atau kontestan.
24 Nugraheni tidak memaparkan bagaimana strategi money politics yang dilakukan untuk
memengaruhi citra masyarakat. Padahal, strategi network diduga sarat money politics.
Pendekatan kontestan ke tokoh agama, tokoh adat, dan elite politik menunjukkan adanya
“kesepakatan-kesepakatan khusus” yang tidak tampak ke permukaan (luput dari liputan
Politik Ambivalensi [ 17 ]
dilakukan hanya melihat dari sudut orang di luar aktor. Selain
itu, data-data yang digunakan cenderung sekunder. Hasil
analisis cenderung kurang tajam dan kurang fokus terhadap
penggunaan uang, barang, dan jasa yang menjadi daya dukung
mobilisasi massa. Dengan demikian, hasil penelitian belum
menjawab dan mengungkap nalar elite di balik instrumentasi
strategi ofensif dan defensif.
Kedua, studi yang berperspektif bahwa elite yang terlibat
dalam kontestasi biasanya memiliki modal sosial, modal
finansial, dan modal politis. Kepemilikan modal yang besar
ini menjadi salah satu penentu kemenangan dalam Pilkada.
Termasuk dalam kategori ini ialah studi Hartati (2009) yang
meneliti political marketing kontestan dengan perspektif
permodalan. Temuan Hartati menunjukkan bahwa elite unggul
karena dia memiliki modal ekonomi, sosial, dan politik yang
lebih besar dibanding pesaingnya.25 Selain modal ekonomi,
elite juga harus memiliki agenda politik (program inovasi)
yang jelas yang bisa dijual ke masyarakat. Hal ini ditegaskan
dengan temuan Paskarina (2004) yang meneliti ruang publik
dalam Pilkada dengan studi kasus Pilkada Walikota Bandung.
Paskarina menemukan bahwa elite yang tidak jelas memiliki
agenda atau dukungan sosial tidak akan mendapat dukungan
masyarakat. Dengan kata lain, elite yang tidak memiliki modal
sosial cenderung akan teralienasi dari masyarakat.26
media massa). Penulis hanya mengkaji strategi petahana dari permukaan saja dan tidak
menganalisis secara mendalam di balik bagaimana ia ‘menguasai’ massa.
25 Temuan penulis di lapangan justru menunjukkan bahwa pada umumnya kontestan
belum memiliki modal yang memadai sehingga mereka mendekati para pengusaha untuk
membiayai semua proses kandidasi. Maka, tidak mengherankan jika dalam Pilkada,
marak terjadi praktik money politics dalam rangka memengaruhi pemilih.
26 Dukungan sosial dan agenda yang sistematis tidak cukup memengaruhi pemilih,
khususnya mereka yang masih terikat tradisi, adat, dan agama. Selain itu, faktor money
politics dan kedekatan secara psikologis antara kontestan dengan pemilih juga menjadi
pendorong bagi mereka untuk menentukan pilihan.
27 Pertanyaan kritis yang patut diajukan ialah apakah kontestan yang tidak memiliki tiga
modal tersebut akan kalah bersaing? Kenyataannya, tidak semua kontestan memiliki tiga
modal tersebut secara penuh. Hal ini dapat dibuktikan dengan maraknya money politics
dalam Pilkada dan keterlibatan para pengusaha dalam membiayai kontestan.
Politik Ambivalensi [ 19 ]
Pilkada di Kabupaten Buru diperoleh dengan memanfaatkan
isu etnis–hal ini diidentifikasi dari fakta bahwa pemilihan
wakil bupati menunjuk kontestan dari suku yang berpengaruh
di Kabupaten Buru. Elite memanfaatkan isu kelompok
etnis dalam rangka membangkitkan ikatan primordialisme
(kesukuan) dan kekerabatan untuk mendukungnya. Dampak
dari hasil Pilkada ini ialah bahwa hanya etnis tertentu yang
menempati posisi strategis dalam pemerintahan.28
Sebaliknya, Ramadlan mengkaji isu etnis Dayak dari
sisi yang berbeda. Temuan Ramadlan menunjukkan bahwa
kemenangan elite dalam Pilkada ditopang oleh strategi
jejaring etnis. Instrumentasi jejaring etnis yang ditopang
dengan adanya isu ‘putra daerah’ (etnis asli) menarik simpati
pemilih. Pemanfaatan isu ‘putra daerah’ juga ditemukan dalam
penelitian Syarkawi yang meneliti fisibilitas politik identitas
dalam Pilkada di Kalimantan Tengah (Kalteng). Syarkawi
menemukan bahwa politik identitas berpengaruh kuat
terhadap masyarakat Kalteng yang masih terikat tradisi dan
adat istiadat. Pasangan Narang dan Diran yang merupakan
perpaduan dua etnis Dayak dan Jawa merepresentasikan
masyarakat dominan tinggal di Kalteng. Temuan Syarkawi
ini selaras dengan temuan Azis (2007) dalam penelitian di
provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) yang mengindikasikan
perlunya akomodasi semua etnis dalam masyarakat, agar
kontestan menang dalam kontestasi.
Sebaliknya, temuan Bangsawan (2007) agak unik; ternyata
kontestan dari etnis minoritas mampu menang dalam
Pilkada yang mayoritas pemilihnya beretnis dan beragama
28 Dalam masyarakat yang masih terikat kuat dengan adat (suku), tampaknya pengaruh etnis
menjadi dominan. Namun, faktor penentu tak kasat mata yang mampu memobilisasi
mereka—yakni money politics—sering berbaur dan menyatu dalam adat, agama, dan
acara ritual lainnya. Dengan kata lain, instrumentasi etnis tidak dapat terpisahkan dari
praktik money politics.
29 Dalam kasus Ahok, faktor instrumentasi etnis tampaknya tidak berlaku, karena
masyarakat Belitung sudah mampu memilah dan memilih antara kandidat yang mampu
memberikan solusi atas masalah ekonomi sehingga layak dipilih, dan kandidat yang
tidak mampu. Mereka mampu memilih kandidat yang kredibel dan bertanggung jawab
tanpa membedakan etnis dan agama.
Politik Ambivalensi [ 21 ]
pandangan rational choice. Dengan demikian, pemilih terlihat
tidak dipengaruhi oleh faktor kesamaan etnis, dan mereka
cenderung memilih kontestan yang tidak memicu konflik,
agar terjadi kenyamanan dan perubahan ekonomi dalam
masyarakat.
Paradigma instrumentalistik juga telah dipakai dalam
menelaah peran adat dan agama. Keduanya diperankan
sebagai basis memobilisasi massa. Penelitian ini juga
menjelaskan bagaimana pemberian-pemberian dimaknai
dan pada gilirannya malah bermakna sebagai investasi atau
praktik utang budi. Investasi dalam bentuk penanaman utang
budi ini pada gilirannya dapat dimanfaatkan oleh elite dalam
Pilkada. Selain itu, dalam proses persaingan antarkontestan
tidak bisa dimungkiri adanya tindakan transaksi untuk
memengaruhi masyarakat. Artinya, elite akan melakukan
tindakan apa saja termasuk money politics dalam rangka
mendapatkan dukungan. Jika pesaing berani memberikan
uang lima puluh ribu rupiah per orang, misalnya, maka dia
akan tergoda untuk memberikan seratus ribu rupiah. Namun
demikian, tampaknya, teori rational choice sebagaimana yang
diacu Kocu dalam penelitiannya ini belum sepenuhnya bisa
diyakini, karena masyarakat Indonesia masih terikat dengan
kekerabatan. Dengan asumsi bahwa masyarakat masih kuat
terikat secara etnis dan agama, faktor patronase berpengaruh
besar.
Keempat, studi-studi yang berperspektif bahwa elite
memanfaatkan sistem nilai budaya lokal. Studi demikian
dilakukan oleh Haryanto (2013) yang meneliti Pilkada
Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat (2010).30 Temuan
Haryanto mengindikasikan adanya pelemahan peran parpol
30 Haryanto, Politik Kain Timur: Memahami Kekuasaan dan Mobilisasi Dukungan (Studi
Kasus Pemanfaatan Tradisi untuk Meraih Kekuasaan dalam Pilkada di Kabupaten Sorong
Selatan, Papua Barat, 2010). Naskah Disertasi (Yogyakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik-Universitas Gadjah Mada, 2013).
Politik Ambivalensi [ 23 ]
Artinya, pemberian-penerimaan telah menjadi sistem nilai
budaya yang memengaruhi perspektif dan perilaku masyarakat.
Pembahasan dalam buku ini berbeda fokus dengan
pembahasan Haryanto, baik dalam hal pendekatan maupun
teori. Studi Haryanto berkonsentrasi pada praktik-praktik
berkaitan dengan tradisi "Kain Timur" sebagai bagian dari
proses dan strategi pemenangan seorang kontestan sebagai
kepala daerah. Sementara itu, studi ini melacak penalaran elite
yang bekerja di balik pemenangan Pilkada.
31 Bent Flyvbjerg, Rationality and Power: Democracy Practice (Chicago: The University of
Chicago, 1998).
32 Bandingkan Edward Aspinall and Greg Fealy (ed.), Local Power and Politics in Indonesia
(Singapore: ISEAS, 2003), hlm. 6-108. Adanya otonomi daerah berimplikasi pada
kebangkitan elite lokal yang memanfaatkan tradisi atau adat, agama, dan budaya sebagai
basis mobilisasi massa. Nalar elite lokal sering berlawanan dengan nalar demokrasi
seperti yang tertuang dalam Undang-undang.
33 Robert A. Dahl. Polyarchy: Participation and Opposition (New Heaven: Yale University
Press, 1971).
34 Lihat David Held, Models of Democracy (Cambridge-UK: Polity Press, 1987), hlm. 143-
45.
35 Ibid.
Politik Ambivalensi [ 25 ]
tidak memaparkan tentang bagaimana strategi politik elite
secara detail dalam memperebutkan kekuasaan, tetapi studi
ini memicu pertanyaan: bagaimana bekerjanya nalar elite
yang harus memenangkan kontestasi? Sejauh ini, Dahl hanya
berasumsi bahwa demokrasi yang ideal ialah terwujudnya
kedaulatan rakyat dan dalam perwujudan kedaulatan ini rakyat
mengekspersikan aspirasi politiknya baik secara personal
maupun melalui parpol.36 Dalam ekspresi yang seperti inilah
dibayangkan ada ekspresi kedaulatan rakyat. Dalam berbagai
studi telah jelas ditunjukkan bahwa Pilkada dipahami sebagai
bagian yang tidak terpisahkan dari konsepsi demokrasi di
suatu negara. Bahwa dengan menjalankan pemilihan itu
demokrasi akan terwujud. Lebih lanjut dijelaskan Diamond
(1999), bahwa konsepsi demokrasi terdiri dari dua, yakni
electoral democracy dan liberal democracy.37 Yang dimaksud
dengan electoral democracy ialah sistem pemerintahan dalam
suatu negara bangsa yang dijalankan dengan cara masyarakat
memilih langsung pemimpin negara melalui pemilihan yang
jujur dan adil. Sistem yang diterapkan seperti di Athena tersebut
memiliki kelemahan apabila diterapkan dalam masyarakat
majemuk. Hal ini selaras dengan pemikiran Aristoteles yang
mengkritik pemilihan langsung pemimpin negara. Menu
rutnya, sistem ini justru akan menghasilkan oligarkhi elite
dan tujuannya untuk menyejahterakan masyarakat justru
cenderung terabaikan.38
36 Bandingkan James Mill, Political Writing, ed. Terrence Ball (Cambridge: Cambridge
University Press, 1992), hlm. 21-24; Hannah Fenichel Pitkin, The Concept of Representation
(Berkeley: University of California Press, 1967), hlm. 232-236; Anne Philips, The Politics
of Presence (Oxford: Clarendon Press,1995), hlm. 5-9.
37 Larry Diamond, Developing Democracy Toward Consolidation (Baltimore and London:
The Johns Hopkins University Press, 1999), hlm. 7; Bandingkan David Held, Models of
Democracy, hlm.143-185.
38 Aristotle, The Politics. ed. and trans. Ernest Barker (Oxford: Clarendon Press, 1946),
hlm.163-9; Lih. David Held, Models of Democracy, hlm.13-34; T. H. Marshall, Class,
Politik Ambivalensi [ 27 ]
Dahl (1982), demokrasi yang ideal mencakup lima hal,43
yakni persamaan hak sipil, partisipasi efektif, transparansi
informasi, kebebasan masyarakat sipil mengakses kebijakan
pemerintah, dan kesetaraan masyarakat di hadapan hukum.
Kelima kriteria tersebut didasarkan pada premis mayor
bahwa penerapan demokrasi pada suatu negara hendaknya
mengacu pada kemajemukan, historisitas, dan demokrasi
kota. Dalam konteks ini, Dahl mengembangkan pemikiran
bahwa demokrasi tidak tunggal, tetapi ada unsur legislatif,
yudikatif, eksekutif dan lembaga negara lain (poliarkhi). Dahl
berasumsi bahwa dalam masyarakat yang majemuk (plural)
diperlukan suatu sistem demokrasi yang mengekspresikan
suara masyarakat secara bebas dan jujur. Artinya, masyarakat
perlu diberi kewenangan untuk menyampaikan aspirasinya
melalui parpol yang berkontestasi dalam pemilihan yang jujur
dan adil.44
Selaras dengan pikiran Dahl tersebut di atas, Sartori
berpendapat bahwa dasar liberal democracy ialah kebebasan
(liberty) dan kesetaraan (equality).45 Oleh karena liberal
democracy menekankan pada kebebasan dan kesetaraan,
maka sistem ini berimplikasi pada mewujudnya one man,
one vote, one value. Artinya, suara individu diindikasikan
dengan kedaulatan rakyat dan memiliki peran yang sangat
penting dalam menentukan terpilihnya seorang pemimpin.
Namun, konsep one man, one vote, one value ini tidak dengan
sendirinya bebas dari kelemahan.
43 Robert A. Dahl, Dilema Demokrasi Pluralis: Antara Otonomi dan Kontrol (Jakarta: CV
Rajawali, 1982), hlm. 9-10.
44 Robert A. Dahl. Polyarchy: Participation and Opposition (New Heaven: Yale University
Press, 1971), hlm. 2.
45 Giovanni Sartori, The Theory of Democracy Revised (New Jersey: Chatam House
Publishers, 1987), hlm. 383-386.
Politik Ambivalensi [ 29 ]
dan sistemnya. Cunningham mengkritisi sistem demokrasi
dari perspektif relasi individu terhadap dampak sosial. Ia
pun menawarkan konsepsi tentang holistic socialism, yaitu
individu sebagai pribadi secara internal dan eksternal
(sosial) harus tercukupi kesejahteraannya. Artinya, semakin
demokratis sebuah masyarakat, idealnya semnakin tercukupi
kesejahteraan individu secara materi dan non-materi. Jadi, ada
korelasi antara demokrasi dengan kecukupan kesejahteraan
individu.
Dalam tradisi pemikiran liberal tersebut di atas, demokrasi
mensyaratkan kontestasi, khususnya dalam pengisian jabatan
publik. Diamond, Linz dan Martin Lipset49 berdalih bahwa
suatu negara menganut sistem demokrasi haruslah mampu
menyelenggarakan tiga hal. Pertama, melembagakan kompetisi
antarelite atau kelompok dalam rangka mendudukkan elite
dalam pemerintahan dengan tanpa paksaan atau kekerasan.
Kedua, memaknai kontestasi ini sebagai partisipasi dalam
memilih pemimpin mereka secara langsung, berkala melalui
Pemilu, dan ketiga, menjamin kebebasan sipil dan politik
yang terwujud dalam kebebasan masyarakat mengemukakan
pendapat, kebebasan pers, dan kebebasan untuk membentuk
dan bergabung dengan parpol. Dalam konteks merebut
kekuasaan melalui Pilkada, elite harus berkompetisi secara
jujur dan adil. Kejujuran dan keadilan ini dijalankan dengan
pantauan masyarakat sehingga apabila mereka melakukan
tindakan tidak jujur, misalnya kampanye hitam atau money
politics, mereka mendapat sanksi dengan tidak akan dipilih.
Sejalan dengan pernyataan bahwa kontestasi adalah
keniscayaan, Downs menjelaskannya dengan pendekatan
49 Lary Diamond, Juan Linz and Seymour Martin Lipset (eds.), Democracy in Asia (Boulder,
Colorado: Lynne Rienner, 1989), hlm. xvi atau Lary Diamond, Juan Linz and Seymour
Martin Lipset (eds). Political and Developing Countries: Comparing Experience with
Democracy (Boulder, Colorado: Lynne Rienner, 1990), hlm. 6-7.
50 Anthony Downs, An Economic Theory of Democracy, (New York: Harper and Row, 1957),
hlm. 3-7.
51 Lih. Lampiran I.
Politik Ambivalensi [ 31 ]
dan jaringan patronase. Pendekatan secara kultural sebagai
bangsawan dimanfaatkan oleh AFI sebagai sarana untuk
mengikat batin masyarakat pedalaman dan pesisir. Dengan
demikian, terkuaklah cara kerja elite (AFI) dalam pemenangan
Pilkada.
Wawancara juga dilakukan dengan akademisi di
Universitas Mulawarman (MA dan HS), tokoh masyarakat,
wartawan, dan aktivis.52 Sebenarnya, MA ikut aktif sebagai
anggota KALIMA, ormas yang dibentuk oleh AFI dalam
rangka memobilisasi massa. Dari wawancara dengan MA,
diperoleh peta konstelasi politik persaingan antarelite di
Kaltim. Dalam hal ini, elite bersaing ketat dan harus menang
dengan segala cara untuk memengaruhi pemilih. Bekerjanya
nalar elite juga ditemukan dalam wawancara dengan MA: elite
memanfaatkan strategi kampanye dengan isu etnis, agama,
dan rekayasa sosial di basis massa AFI.
Data wawancara dengan MA tersebut kemudian dicek
lagi kebenarannya melalui wawancara terhadap masyarakat
awam, seperti ibu rumah tangga, pengusaha, aktivis LSM atau
lembaga lain, sopir, pegawai, dan wartawan. Selain itu, untuk
memperkaya data primer tersebut, hal lain yang dilakukan
adalah menyandingkan data sekunder melalui website http://
awangfaroekishak.info/ yang secara khusus memuat program
kegiatan AFI, visi, misi, strategi, dan riwayat hidupnya.
Artinya, validitas dan kebenaran data dari website tersebut
bisa dipertanggungjawabkan untuk mengungkap nalar elite
politik di balik pemenangan dirinya di Pilkada.
Ketiga, diskusi kelompok bersama mahasiswa Kaltim
(Kutai) yang kuliah di DIY.53 Untuk melacak penalaran elite
di balik kemenangan AFI dalam Pilkada, masukan dari
52 Ibid .
53 Ibid.
Politik Ambivalensi [ 33 ]
HSAP tersebut ialah adanya ketidakseimbangan posisi antara
patron dan klien tidak berarti klien lemah atau tidak mampu
memberikan kepada patron. Dengan kata lain, klien memiliki
posisi tawar-menawar yang harus diperhitungkan oleh patron.
Selanjutnya, dilakukan analisis terhadap 56 tesis atau
disertasi tentang Pilkada di Indonesia yang telah dikerjakan
oleh para mahasiswa Pascasarjana Fisipol UGM. Hal ini
dilakukan untuk mempertajam data awal tentang nalar politisi
dan nalar akitivis yang sudah dikumpulkan. Studi pustaka
tentang kontestasi antarelite dalam Pilkada dilakukan di
Perpustakaan Fisipol Universitas Gadjah Mada, Perpustakaan
Pascasarjana Fisipol Universitas Gadjah Mada, Perpustakaan
Universitas Mulawarman, dan Perpustakaan Pemda Kaltim.
Dalam studi pustaka itu, analisis difokuskan pada Pilkada
di Indonesia dalam kurun waktu lima tahun (2003-2008).
Hasilnya kemudian diklasifikasi ke dalam empat kategori.
Kemudian, metode dan paradigma yang digunakan dalam
bahan-bahan pustaka itu dikritisi.
Kelima, observasi lapangan. Selain pengumpulan data
melalui studi pustaka, wawancara mendalam, diskusi kelom
pok dan pelacakan internet, juga diadakan observasi lapangan
ke Kaltim pascapenelitian 2009. Observasi tersebut dilaksa
nakan selama dua minggu (Februari-Maret 2012) di Kutai
Kartanegara. Observasi ini bertujuan untuk mengamati
kehidupan masyarakat kota dan pedalaman, serta mengadakan
cek data: apakah data yang didapat melalui studi pustaka dan
wawancara terdahulu dapat diandalkan kebenarannya? Studi
ini dibantu oleh asisten peneliti lokal yang memberikan laporan
secara berkala tentang perkembangan politik lokal yang terjadi
di Kaltim baik secara lisan maupun tulisan melalui kliping surat
kabar lokal. Pada tahap observasi lapangan ini, temukan data
tentang tradisi erau yang memengaruhi perilaku masyarakat
Kaltim, khususnya dalam kebiasaan pemberian-penerimaan.
Politik Ambivalensi [ 35 ]
BAB II
DINAMIKA POLITIK LOKAL:
MELACAK JEJAK PERJALANAN
DAN INTERAKSI POLITIK AFI
S
eperti apakah dinamika politik Kaltim di era Orde
Baru dan Reformasi saat AFI menjadi pemenang dalam
Pilkada? Seperti apa jejak perjalanannya dalam mem
bawa diri sehingga dia meraih kemenangan tersebut? Apakah
benar ada embrio dua nalar yang ambivalen, yakni nalar politisi
dan nalar aktivis (demokrasi) dalam taktiknya sebagaimana
disinggung dalam bab sebelumnya? Di sini penulis berusaha
menghadirkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut
secara runtut berdasarkan hasil penelitian (studi lapangan)
yang telah dilakukan.
Mari kita mulai dari gambaran umum Kaltim. Kaltim
adalah salah satu provinsi di Indonesia yang kaya akan
sumber daya alam (SDA), seperti kayu, minyak, gas bumi,
dan batu bara. Dalam sejarah pemerintahan Kaltim sebelum
bergabung dengan Republik Indonesia, berdiri Kesultanan
Kutai Kartanegara. Hal ini menyebabkan nama Kutai lebih
populer dibanding Kaltim pada saat itu, tepatnya pada saat
sebelum era Kemerdekaan. Kutai menjadi kabupaten setelah
bergabung dengan Republik Indonesia pada tahun 1950.
Berbicara tentang SDA Kaltim otomatis berkaitan dengan
1 www.kaltim.go.id/ diakses pada 31 Januari 2015, sumber website resmi Pemda Kaltim.
Data diolah dan dikembangkan oleh penulis. Lih. Lampiran I. Penulis mendapatkan
data tersebut melalui diskusi dan wawancara dengan tokoh masyarakat di Kaltim.
Politik Ambivalensi [ 37 ]
Dalam perkembangannya, berdasarkan Undang-Undang
No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Kaltim
memekarkan diri menjadi 14 kabupatan/kota dengan 140
kecamatan dan 1445 desa/kelurahan. Adapun sepuluh
kabupaten tersebut adalah Kabupaten Paser dengan ibu kota
Tanah Grogot, Kutai Barat dengan ibu kota Sendawar, Kutai
Kartanegara dengan ibu kota Tenggarong, Kutai Timur dengan
ibu kota Sangatta, Berau dengan ibu kota Tanjung Redeb,
Malinau dengan ibu kota Malinau, Bulungan dengan ibu kota
Tanjung Selor, Nunukan dengan ibu kota Nunukan, Penajam
Paser Utara dengan ibu kota Penajam, dan Tana Tidung dengan
ibu kota Tideng Pale (pemekaran dari Kabupaten Bulungan
yang disetujui pembentukannya pada sidang paripurna DPR
RI pada tanggal 17 Juli 2007). Sedangkan empat kota di Kaltim
adalah Balikpapan dengan ibu kota Balikpapan, Samarinda
dengan ibu kota Samarinda, Tarakan dengan ibu kota Tarakan,
dan Bontang dengan ibu kota Bontang.
A. Konstelasi Politik
Pada era Orde Baru, Golkar di Kaltim selalu unggul di
atas 70% pada setiap Pemilu. Namun, kemenangan mutlak
tersebut tidak bertahan di era Reformasi. Pada 1999, Golkar
mengalami kekalahan untuk pertama kalinya dari PDI-P.
Kekalahan ini juga terjadi di tiga daerah yang menjadi basis
massa Golkar dan basis kelompok pendatang (54%), yaitu
Samarinda, Balikpapan, dan Kutai Kartanegara. Kekalahan
tersebut dipengaruhi oleh tiga faktor.
Pertama, soliditas internal guncang ketika Soeharto
lengser dan Golkar dikecam masyarakat.2 Hujatan masyarakat
Soeharto merekayasa masyarakat yang plural sedemikian rupa sehingga mereka tidak
diberi hak untuk memilih dalam Pemilu dengan jujur, langsung, dan adil. Tentang teori
demokrasi di tengah masyarakat majemuk, bisa dibaca Charles Taylor, “The Dynamics
of Democratic Exclusion” dalam Journal of Democracy, 19 (4), 1998, hlm. 148-50; Will
Kymlicka, Multicultural Citizenship: A Liberal Theology of Minority Rights, (Clerendon:
Oxford Press, 1995), hlm. 144-149; A. Philips, The Politics of Presence: Issues in Democracy
and Group Representation, (Oxford: Oxford University Press, 1995).
3 Menurut Liddle, Orde Baru memiliki lima kelemahan, yakni kesenjangan demokrasi
Pancasila dengan demokrasi murni, ketegangan antara elite militer dengan elite sipil,
kesenjangan persepsi massa dengan pemerintah, kepedulian terhadap konsekuensi
distribusi kebijakan ekonomi pemerintah, dan konflik internal antarelite angkatan
bersenjata. Baca R. William Liddle, Pemilu-Pemilu Orde Baru (Jakarta: LP3ES, 1994);
Bandingkan J. Kristiadi (peny.), Menyelenggarakan Pemilu yang Bersifat Luber dan
Jurdil, (Jakarta: CSIS, 1997); Muhammad Asfar, Pemilu dan Perilaku Memilih 1955-
2004, (Surabaya: Pustaka Eureka, 2006); Lih. Hans Antlov and Sven Cederroth, Election
in Indonesia, (London and New York: Routledge Curzon, 2004).
Politik Ambivalensi [ 39 ]
rakyat.4 Dalam setiap Pemilu selama ini, mereka hanya diberi
janji-janji, sementara hasil kekayaan alam Kaltim hanya
dinikmati oleh elite parpol dan pemerintah pusat (Orde
Baru). Mereka semakin sadar dan cerdas menentukan pilihan
mereka dalam Pemilu. Mereka juga mulai menyadari adanya
kesenjangan sosial dan ketertinggalan pembangunan dengan
provinsi-provinsi di pulau Jawa. Mereka menghendaki adanya
pemimpin baru dan pilihan jatuh pada PDI-P yang diketuai
oleh Megawati Soekarnoputeri. Mega menjadi daya tarik
untuk melampiaskan ‘kejengkelan’ mereka. Dengan kata lain,
kemenangan PDI-P pada Pemilu 1999 bukan karena program
PDI-P yang baik, tetapi karena faktor sentimen terhadap elite
Golkar.5
4 “Ia heran mengapa setelah kalah dalam Pemilu dan Pilpres 2009, kader partai Golkar
terbelah. Padahal, setelah Pemilu 1997, Golkar memang kalah terus menerus, baik Pemilu
1999 dan 2004, termasuk dalam Pilpres 2009. Kita kalah beruntun karena setelah kalah
tidak ada evaluasi dan tidak ada pembaruan tekad. Komitmen kader hanya bagaimana
dirinya dapat kursi di DPR/DPRD. Tak ada yang berpikir bagaimana caranya supaya
Golkar menang mayoritas,” kata Herlan Agussalim (Ketua DPRD Kalimantan Timur
2004-2009). Herlan yakin, bila kader Golkar tidak mengedepankan perlunya evaluasi
atas kekalahan, melakukan pembaruan tekad berpartai, bisa jadi pemilih semakin
apatis dengan Golkar. Pasalnya, yang diperagakan kader adalah saling sikut untuk
dapat kekuasaan di kepengurusan partai (www.bongkar.co.id/Terjun Bebasnya Golkar,
29 Agustus 2009); Tingkat kemiskinan di Kabupaten Kutai Kartanegara pada tahun
2005-2006 masih menunjukkan tingkat yang paling tinggi sebesar 20-21%, diikuti oleh
Kabupaten Samarinda 12-13% dan Kutai Timur sebesar 10-11%. Ironisnya, kantong
kemiskinan paling tinggi terjadi justru di kabupaten yang juga memberikan kontribusi
terbesar terhadap PDRB Kaltim, yaitu Kutai Kartanegara (BPS Kaltim, 2008). Bandingkan
Lampiran I.Informasi didapatkan dari tokoh masyarakat Kaltim.
5 Ibid. “Sebagai tokoh senior di Partai Golkar, Achmad Amins tentu sudah punya pengalaman
mengelola partai. Ia sudah terbiasa dengan berbagai tipikal orang-orang partai, termasuk
bagaimana sakitnya hati ketika dikhianati. Pengalaman ketika ia maju sebagai calon
Gubernur Kaltim beberapa waktu lalu adalah pelajaran paling berharga yang tidak
mungkin terlupakan olehnya. Waktu itu Achmad Amins tidak mendapat tempat di Partai
Golkar, padahal ia adalah satu-satunya kader Golkar yang memenuhi syarat menurut
hasil survei untuk maju dalam Pilgub Kaltim tersebut. Berbagai survei menempatkan
dirinya di posisi kedua setelah Awang Faroek Ishak. Puncak kekecewaan Amins saat Golkar
melaksanakan konvensi. DPP Partai Golkar malah mengalokasikan suara votingnya
kepada Jusuf SK yang waktu itu menjabat Walikota Tarakan dan posisinya masih jauh
Politik Ambivalensi [ 41 ]
dan Pasir (35,6%). Perolehan suara Golkar dalam Pemilu 1999
di Kaltim mengalami penurunan hingga 40,3% dibandingkan
dengan hasil Pemilu 1971-1997. Di tahun itu perolehan suara
Golkar mencapai 55% hingga 71%.
Selama Orde Baru, PDI-P tidak pernah memperoleh
satu kursi pun di DPR. Namun, setelah Soeharto lengser,
para pendukung Golkar mengalihkan pilihannya ke PDI-P.
Kemenangan PDI-P di basis massa Golkar semacam ini
membuktikan bahwa penurunan 40,3% suara Golkar tersebut
terjadi karena suara-suara itu beralih ke PDI-P.7
Sementara itu, PPP yang berada di urutan ketiga dengan
perolehan suara 10,4% mengalami penurunan suara sekitar
9,6%. Selama Pemilu Orde Baru, PPP mendapatkan suara
minimal 20%, tetapi di era Reformasi mereka mengalami
penurunan perolehan suara. Mengapa PPP mengalami
penurunan suara? Hal tersebut tidak lain karena kemunculan
PAN dan PKB sebagai parpol baru yang mampu merebut
suara yang signifikan.8 Ada indikasi bahwa suara PPP pada
era Reformasi berpindah ke PAN dan PKB. Basis massa
PAN ialah kelompok Muhammadiyah dan kaum terpelajar,
sedangkan basis massa PKB ialah kelompok Nahdlatul Ulama
yang merupakan simpatisan Masyumi. Basis massa kelompok
7 Penurunan suara Golkar pernah juga dialami pada Pemilu 1992 yang disebabkan oleh
enam faktor, yakni sikap Golkar yang terlalu defensif, dampak modernisasi, elite Golkar
arogan, keterbukaan LPU-Depdagri, political realignment, dan identifikasi Golkar sama
dengan birokrasi. Lihat Riswandha Imawan,”Dinamika Pemilih dalam Pemilu 1992”
dalam M. Sudibyo (peny.), Pemilihan Umum 1992: Suatu Evaluasi (Jakarta: CSIS, 1995),
hlm. 49-69; Bandingkan Kwik Kian Gie, “Dinamika Pemilih dalam Pemilu 1992: Suatu
Tanggapan” dalam Sudibyo (peny.), Pemilihan Umum 1992: Suatu Evaluasi.
8 Dengan munculnya PAN dan PKB dalam Pemilu 1999, maka massa Islam terpecah dalam
memberikan suaranya, dan hal ini berdampak pada penurunan suara PPP. Masyarakat
membutuhkan pemimpin baru yang mampu mengakomodasi kepentingan mereka.
9 Umat Islam di Kalimantan Timur mencapai 85,0% dan hal ini menjadi ‘rebutan’ parpol,
khususnya parpol yang mengusung ideologi agama. Namun, dalam realitanya parpol
yang mengusung ideologi nasionalislah yang memenangi Pemilu 1999 (PDI-P) di Kaltim.
Sementara Pemilu 2004 dan 2009 dimenangkan oleh Golkar.
Politik Ambivalensi [ 43 ]
6. Kutai 38,6 29,5 7,9 5,0 4,8
7. Pasir 24,7 35,6 17,1 4,7 5,8
Sumber: KPU, 1999; Litbang Kompas, 2004
Kemenangan PDI-P dalam Pemilu 1999 di Kaltim tersebut
mengubah peta politik lokal. PDI-P menjadi mayoritas dalam
DPRD Provinsi Kaltim yang berjumlah 45 orang. Adapun
rincian komposisi anggota DPRD Provinsi Kaltim adalah
sebagai berikut: PDI-P 14 kursi, Golkar 13 kursi, TNI/Polri 5
kursi, Cahaya Reformasi 5 kursi, PPP-PNU 5 kursi, dan PKB
3 kursi.
Politik Ambivalensi [ 45 ]
Samarinda, Bontang, dan Malinau.13 Dukungan Golkar terha
dap Syaukani (etnis Bugis) dan Samsuri Aspar (etnis Banjar)
mengantarkan mereka menjadi pemenang dalam Pilkada
Kutai Kartanegara 2005 dengan perolehan 159.303 suara
mengalahkan Aji Sofyan dan H. M. Irkham yang diusung oleh
PAN dan PKS (88.625 suara). Kemenangan Syaukani-Samsuri
tersebut menunjukkan betapa kuatnya pengaruh Syaukani di
Kutai Kartanegara. Meskipun Aji Sofyan ialah kerabat dekat
Sultan Kutai dan didukung oleh elite Kutai, pasangan Syaukani-
Samsuri tetap menang.14 Selain itu, perolehan suara Golkar di
Kutai Kartanegara tersebut menunjukkan bahwa infrastruktur
yang telah dibangun Orde Baru melalui birokrasi sangat efektif
untuk mendulang suara. Sayangnya, kemenangan Syaukani-
Syamsuri tersebut tidak diimbangi dengan kinerja yang baik
sehingga mereka berurusan dengan KPK akibat terlibat kasus
korupsi.15
Kemenangan Golkar dalam Pilkada Kutai Kartanegara
tersebut disusul dengan kemenangan Achmad Amins-Syaharie
Djaang (Bugis-Dayak) sebagai walikota/wakil di Samarinda
dengan perolehan suara 110.550 suara. Kemenangan mereka
didukung oleh komunitas Bugis, Dayak, dan Muslim yang
mengalahkan Masykur-Kasmiruddin (57.102 suara) yang
diusung PKS. Pada Pemilu sebelumnya, Samarinda menjadi
basis PDI-P, tetapi calon mereka Awang-Siti ditaklukkan
oleh Amins-Djaang. Awang-Siti hanya memperoleh 49.986
suara dan jauh tertinggal dari Amins-Djaang. Awang Ferdian
Hidayat adalah anak Bupati Kutai Timur, Awang Faroek Ishak
Politik Ambivalensi [ 47 ]
pendatang yang terdiri dari etnis Jawa dan Sunda—dan jumlah
mereka dominan—dengan etnis asli Kaltim yang terdiri dari
etnis Kutai dan Dayak.
Etnis Kutai hanya menang Pilkada di Kutim (2005).
Saat itu, Awang Faroek Ishak-Isran Noor yang diusung oleh
gabungan parpol berhasil memperoleh 66.192 suara. AFI-
Noor mengalahkan Mahyudin-Sulaiman (31.906 suara) yang
diusung oleh Golkar dan gabungan parpol. AFI sebagai ‘putera
daerah’ dengan pengalaman politik nasionalnya yang luas
mampu mengungguli Mahyudin (Ketua Golkar Kaltim).17
Sementara itu, di daerah pemekaran Kutai Kartanegara (Kutai
Barat), etnis Dayak berhasil mengalahkan etnis Kutai. Pada
Pilkada 2006 Ismael Thomas dan Didik Effendi yang diusung
oleh PDI-P dan PAN berhasil menang dengan perolehan 27.639
suara mengalahkan Asia-Encik (22.800 suara) yang diusung
PDS, Partai Demokrat, Partai Pelopor, dan PPDK.18 Persaingan
antarelite politik berdasarkan etnis dan agama sangat efektif
dalam Pilkada untuk diangkat menjadi isu dalam memperoleh
suara. Hasil Pilkada 2006 di daerah industri minyak dan gas,
17 Konflik internal dalam tubuh Golkar sarat dengan kepentingan kelompok yang
menyebabkan Golkar keropos. Mahyudin (Banjar) memiliki kedekatan dengan Syaukani
(Bugis). Sementara itu, Syaukani dengan Faroek berseberangan. Oleh karena Syaukani
mendukung Mahyudin, maka dia pun berseberangan dengan Faroek. Persaingan
antaretnis pun merebak mewarnai pemekaran wilayah di Kaltim. Etnis Jawa, Bugis,
Banjar, Kutai, dan Dayak bersaing dalam Pilkada 2005. Tampaknya, Kutai Timur masih
didominasi oleh orang Kutai dan Jawa. Lihat www.kompas.com/diakses pada 17 Februari
2009, Dinamika Banjar dan Kutai; www.pelita.com/diakses pada 29 Januari 2010, Multi
Etnis Warnai Pertarungan Politik di Dapil Kaltim.
18 Bakal calon petahana Bupati Kubar 2011–2016, Ismael Thomas, menebar pesona
Natal dan Tahun Baru dengan membagi-bagi ‘ang pao’ ke semua umat Kristiani di
sana.‘TERUSKAN!!! Perjuangan & Pembangunan Bersama Masyarakat Kutai Barat
2011–2016.’ Begitu embel-embel pesan yang tertulis di kartu ucapan Natal 25 Desember
2009 dan Tahun Baru 2010 dari Ismael Thomas, salah satu kontestan bakal calon petahana
Bupati Kubar 2011–2016. Kartu ucapan Natal dan Tahun Baru ini dibagikan ke semua
umat Kristiani saat ritual perayaan Natal di semua gereja Katolik yang ada, termasuk
ketika Natal Bersama di Sendawar, ibu kota Kabupaten Kubar (www.bongkar.co.id/
diakses pada 19 Januari 2010, Pesona Natal Ismael Thomas).
Perolehan
Kabupaten/ Kepala
No Suara/ Rivalitas
Kota Daerah
Partai
1. Aji Sofyan Alex dan H.
M. Irkham
H.Syaukani
PAN dan PKS (88.625
HR
Kutai 159.303 suara)
Samsuri
1. Kartanegara suara 2. H M Tajuddin Nor dan
Aspar
1 Juni 2005 GOLKAR Abdul Djafar Bukran
Dilantik 13
PATRIOT, PPP,
Juli 2005
MERDEKA (13.862
suara)
1. Abdul Djalil Fatah dan
Obed Bahwan
GOLKAR (15.819 suara)
2. Enci M. Yunus dan Parir
Budiman O. Singal
Arifin 17.971 suara PDS, PNI Marhaenis dan
Bulungan Liet Ingai PAN, PIB (10.572 suara)
2.
27 Juni 2005 Dilantik PELOPOR 3.Yusuf Abdullah dan
31 Agustus dan PKB Nikodemus
2005 PBSD, Merdeka, PPDK,
PNBK, Demokrat, PKPI,
PPDI, PPNUI, PKPB,
PBR, PSI dan PPD (4.938
suara)
Politik Ambivalensi [ 49 ]
Perolehan
Kabupaten/ Kepala
No Suara/ Rivalitas
Kota Daerah
Partai
1. Yusriansyah Syarkawi
dan Mardi Kansyah
(29.063 suara)-GOLKAR,
Pasir PBB, PDK dan PDI-P
Riduan
29 Juni 2005 2. Ishak Usman dan Aksa
Suwidi
Arsyad (16.346 suara)–
Hatta Garit 34.300 suara
3. PKS, PBR, dan PATRIOT
Dilantik PPP
3. Ajumran Kombeng dan
29 Agustus
Sulaiman E.Merukh
2005
(9.701 suara)-PDI-P
4. Sabaruddin Yasin dan
Noor Sinah (2.224
suara)–gabungan parpol
Makmur
1. Muharam dan Warsito
dan
(23.357 suara)- gabungan
Berau Achmad 34.752 suara
partpol
4. 8 Agustus Rifai Gabungan
2. Saukani dan Abdul Kadir
2005 Dilantik 9 Parpol
(15.513 suara)- gabungan
September
parpol
2005
1. Masykur Samian dan
Kasmiruddin (57.102
Achmad 110.550 suara)-PKS
Amins dan suara 2. Awang Ferdian Hidayat
Samarinda Syaharie GOLKAR, dan Siti Muriah (49.986
5. 19 September Djaang PPP, PKB, suara)-PDI-P
2005 Dilantik 23 PATRIOT, 3. Abdurrrahman Al Hasni
November PELOPOR dan Suryadi Hidjrati
2005 dan PBSD (35.197 suara)-Demokrat,
PDS, PKPB, PNBK NUI,
MERDEKA, PPDI
Politik Ambivalensi [ 51 ]
Perolehan
Kabupaten/ Kepala
No Suara/ Rivalitas
Kota Daerah
Partai
1. Rama A. Asia dan Encik
Mugnidin (22.800 suara)-
PDS, Demokrat, Pelopor
dan PPDK
Ismael
2. Abdul Azis dan Amon
Thomas
Kutai Barat 27.639 suara Nereng (19.767 suara)–
dan Didik
8. 20 Februari PDI-P dan GOLKAR
Effendi
2006 PAN 3. Agustinus Markus dan
Dilantik 19
Hermain D (10.175
April 2006
suara)-Patriot, PPP, PKPI,
PKPB, PNIM, PPDI,
PNBK, PBSD, PSI, PKB,
dan PSI
1. Fredrick Bid dan Amir
Fauzi (8.089 suara)-
Marthin 19.869 suara
PAN, PKPB, PBR, PBSD,
Malinau Billa dan PDI-P,
MERDEKA, PPIB,
9. 23 Februari Dt.Nasir GOLKAR,
Demokrat, dan PKS
2006 dilantik 3 PDS dan
2. Syamsuri dan Kilit Laing
April 2006 Pelopor
(195 suara) –PP, PPDI,
PKB, dan Patriot
1. Mukmin F.Pabotingi dan
Gunawarman (72.326
suara)–GOLKAR, PKS,
122.330
PBR, PKPI, dan PNBK
Imdaad suara
2. Ismed Alimin dan Totok
Hamid PDI-P, PKB,
Balikpapan Sudarto (13.744 suara)
dan Rizal Patriot,
10. 28 Maret –PDS, PBB, PELOPOR,
Effendi PKPB dan
2006 PPDI, PNBK, PPNUI,
Dilantik 28 Partai Karya
PNIM, PPIB, PAN, dan
Mei 2006 Peduli
PPD
Bangsa
3. Jamal Noor dan Priyono
Demo (13.416 suara)-
PPP, Demokrat, PDK
Politik Ambivalensi [ 53 ]
dalam bidang politik. Layaknya siswa yang lain, AFI mengikuti
ayahnya berpindah-pindah tempat. AFI kecil bersekolah di
SR di Tarakan, kemudian melanjutkan pendidikan SMP dan
SMA di Tenggarong.
1. Aktivis Ormas
Yang menarik dari AFI ketika dia masih muda adalah
keaktifannya dalam berorganisasi. Lambat laun, keaktifannya
di organisasi menjadikan dirinya menduduki peran sebagai
pemimpin. Dalam berorganisasi, AFI berinteraksi dengan
tokoh elite lokal dan nasional. Interaksi ini menjadi sebuah
embrio rajutan relasi dalam dunia politik. Ketika AFI
menginjak SMA, dia menjadi Ketua Ikatan Pelajar Sekolah
Menengah Atas Negeri Tenggarong (1963-1966).19 Selain itu,
AFI juga terpilih menjadi Ketua Umum DPC Gerakan Siswa
Nasional Indonesia (GSNI) Kabupaten Kutai (1963-1966).
Saat menjabat sebagai Ketua GSNI, jangkauan organisasi
AFI meluas hingga tingkat nasional. Semenjak itu, jaringannya
terus berkembang pesat, terlebih ketika dia menjadi maha
siswa di IKIP-Malang (1968-1973) dan bergabung dengan
organisasi Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI).20
Pengalamannya dalam organisasi GMNI inilah yang menempa
ideologinya dan jiwa kepemimpinannya sehingga terbuka
peluang baginya untuk merajut jaringan patronase nasional.21
2. Relasi Patron-Klien
Setelah lulus sarjana dari IKIP-Malang, AFI memenuhi
panggilan Gubernur Kaltim untuk menjadi staf Biro Pemba
ngunan di kantor gubernur (1973-1974). Hal ini menun
jukkan bahwa AFI sudah dikader sejak mahasiswa. Selain
itu, karena AFI juga merupakan keturunan bangsawan, maka
dia mendapat prioritas jabatan dalam pemerintahan. Karir
AFI dalam dunia organisasi sejak muda tampaknya terbaca
oleh Sjachranie selaku Gubernur Kaltim. Oleh karena itu,
Sjachranie menempanya di kantor gubernur. Penempatan
AFI dalam posisi sebagai staf Biro Pembangunan jelas tidak
Politik Ambivalensi [ 55 ]
sesuai dengan latar belakang pendidikannya.23 Tampaknya,
karir AFI tidak bisa lepas dari Sjachranie selaku gubernur
sebagai langkah awal kaderisasi ‘putra daerah’ (bangsawan)
dalam pemerintahan.
Setelah dirasa cukup pengenalan AFI selama satu tahun
dalam birokrasi, berikutnya Sjachranie memindahkan AFI ke
bagian Perencanaan Pembangunan (1974-1976).24 Di bidang
inilah kepiawaian AFI terlatih, khususnya dalam rangka
memahami kebutuhan dan merencanakan pembangunan
Kaltim. Pengalaman AFI ketika aktif di Golkar dan GMNI
Malang sangat membantunya, khususnya dalam perencanaan,
karena untuk bisa terampil sebagai perencana pembangunan
daerah dibutuhkan keahlian manajemen, khususnya mema
hami kebutuhan masyarakat, membuat proposal ke Bappenas,
dan melakukan lobi-lobi nasional. Selain itu, relasi AFI
terhadap Sultan dan elite Golkar dimanfaatkan oleh Sjachranie
guna percepatan pencairan dana pembangunan Kaltim.
Karena latar belakang AFI adalah Sarjana Pendidikan,
maka Sjachranie mulai memfokuskan diri mengadernya pada
pembenahan pendidikan di Kaltim. Kemudian, Sjachranie
memindahkan AFI ke Universitas Mulawarman (Unmul)
sebagai Pembantu Dekan III, Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan (1976-1977).25 Tujuan Sjachranie memindahkan
AFI ke Unmul adalah untuk membenahi dan mempersiapkan
tenaga pendidik yang berkualitas. Tampaknya, karir AFI
dalam dunia pendidikan cepat berkembang. Hanya dalam
kurun waktu satu tahun, AFI sudah diangkat menjadi Kepala
Kemahasiswaan Unmul (1977-1978).
23 Ibid.; Jejak Rekam AFI 2 dalam www.awangfaroekishak.com/ diakses pada 19 Maret 2012
24 Ibid., Jejak Rekam AFI 2.
25 Ibid.
26 Faktor patronase dalam hal ini adalah kedekatan AFI terhadap Sjahranie dan latar
belakang dari keluarga bangsawan mendukung suksesnya karir AFI dalam birokrasi
dan pendidikan.
27 Berdasarkan prosedur yang berlaku secara formal, untuk menjabat sebagai dekan dalam
Perguruan Tinggi, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi. Di antara syarat-syarat ini,
ada yang tidak mungkin dipenuhi AFI, misalnya harus minimal bergelar Doktor dan
berpengalaman mengajar atau mengabdi dalam dunia pendidikan minimal 10 tahun.
Oleh karena patronase antara Sjahranie dengan AFI yang tentunya juga dipengaruhi
oleh Sultan Kutai, maka AFI melenggang pesat dalam karirnya.
28 Wawancara dengan AFI, tanggal 11 Agustus 2009 di kantor Gubernur, Samarinda.
Politik Ambivalensi [ 57 ]
Setelah menjabat sebagai dekan, karir AFI terus berkem
bang dan mencapai puncaknya dengan pangkat Lektor di
Fakultas Ekonomi Unmul (1984-1987). Tidak ada catatan
yang jelas tentang mengapa AFI berpindah jurusan dari
Fakultas Pendidikan ke Fakultas Ekonomi. Secara akademis,
hal ini sangat tidak lazim, karena pada umumnya tradisi
akademisi mengacu jalur linear. Artinya, kalau pada tingkatan
sarjana jurusannya pendidikan, maka pada pascasarjana juga
pendidikan. Namun, hal ini kemudian bisa dimaklumi, karena
faktor intervensi Sjachranie dalam rangka kaderisasi ‘putera
daerah’. Studi pascasarjana AFI berkonsentrasi pada bidang
Studi Ketahanan dan Keamanan di Universitas Indonesia.
Sedangkan pada tingkat doktoral, ia mengambil bidang
Ekonomi di Universitas Airlangga.29 Tampaknya, tradisi
akademis yang sejalur (linear) dengan jabatan akademis tidak
berlaku bagi AFI.
31 Observasi penulis pada tahun 2009-2012 terhadap Koran Kaltim, Tribun Kaltim, dan
Kaltim Post yang merupakan tiga surat kabar berpengaruh di Kaltim. Ada halaman
khusus tentang kegiatan Pemda yang memuat gambar AFI dengan menonjol. Namun,
para aktivis lingkungan mengecam AFI karena maraknya pemberian izin tambang yang
berdampak merusak lingkungan. Lih. Lampiran I.
32 Saat AFI sebagai Bupati Kutai Timur, dia membuat kebijakan yang reformis, yakni dengan
memberikan tanah seluas 5 ha dan sertifikatnya kepada masing-masing kepala keluarga.
Pada waktu bersamaan, AFI menggulirkan program Gerdabangagri (Gerakan Berbasis
pada Pembangunan Agrobisnis).
Politik Ambivalensi [ 59 ]
ritual erau. Sedangkan sebagai klien Sjachranie, AFI bertugas
melayani kepentingan Soeharto dan kroni-kroninya di Kaltim.
Adapun besaran upeti yang diberikan oleh AFI kepada
elite Orde Baru dapat diindikasi melalui Pendapatan Domestik
Regional Bruto (PDRB).33 PDRB Kaltim mencapai tingkat
tertinggi dibanding provinsi lain di Indonesia. Jumlah PDRB
Kaltim mencapai Rp 80 trilyun, Rp 964 milyar, dan Rp 21 juta
(tanpa minyak dan gas) pada tahun 2006.34 Artinya, sebagian
besar PDRB Kaltim tersebut disetor ke Jakarta. Sementara
itu, elite Kutai yang mengklaim memiliki tanah adat yang di
atasnya terdapat tambang dan mineral yang dieksplorasi tidak
mendapatkan royalti. Oleh karena itu, mereka memanfaatkan
AFI sebagai klien untuk memerjuangkan kepentingan elite
Kutai melalui ritual erau yang dibiayai oleh APBD.
Ketiga, pengaderan sebagai klien Soeharto. Implikasi AFI
sebagai klien Sultan adalah memosisikan dirinya sebagai klien
Soeharto juga, khususnya dalam mengamankan pemberian
upeti. Perannya dalam melayani kepentingan Soeharto dan
kroni-kroninya berfokus pada pengeksplorasian kekayaan
alam Kaltim.35 Untuk membantu para kroni dan keluarga
33 Penulis belum menemukan data resmi tentang jumlah upeti yang diberikan oleh elite
Kutai kepada kroni Soeharto.
34 Laporan Pertanggungan Jawab Gubernur Kaltim tahun Anggaran 2000. Hasil PDRB
(tanpa minyak dan gas) Kaltim pada era Orde Baru sebesar Rp.21,61 trilyun (1995)
meningkat menjadi Rp. 24,11 trilyun (1996) dan meningkat lagi menjadi Rp. 27,30
trilyun (1997). Uang setoran PDRB Kaltim tersebut dikawal oleh AFI untuk diberikan
kepada Pemerintah Pusat, tetapi yang kembali ke Kaltim tidak kurang dari 2,1% (Rp.1,2
trilyun). Oleh karena itu, elite Kutai mengadakan bargaining menuntut otonomi adat,
dengan ritual erau yang dibiayai oleh APBD.
35 Pasca-Reformasi, baru diketahui adanya kroni Soeharto yang dijatuhi hukuman, karena
mark up dana reboisasi hutan Kaltim oleh Probosutedjo (adik tiri Soeharto). “Majelis
Hakim tingkat kasasi Mahkamah Agung memutuskan untuk menghukum Probosutedjo
empat tahun penjara serta denda sebesar Rp.30 juta subsider 3 bulan penjara. Ia juga harus
membayar kembali Rp.100,931 miliar sebagai pengganti uang yang dikorupsi tersebut”
dalam id.wikipedia.org/wiki/Probosutedjo/diakses pada 15 Juli 2013; Selain itu, Bob
Hassan selaku tangan kanan Soeharto divonis 2 tahun dan denda Rp.14 milyar. “Bob
Hasan didakwa melakukan korupsi dalam proyek pemotretan dan pemetaan kawasan
hutan seluas 30,6 juta ha di seluruh Indonesia dengan menggunakan dana Asoisasi
Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) sebesar 168,11 juta dolar AS dan dana reboisasi
Dephut sebesar 75,6 juta dolar AS” dalam “Dua Tahun dan 14 milyar untuk Bob Hassan”
http://gatra.com/diakses pada 15 Juli 2013.
36 Wawancara dengan Rudy Iskandar, tanggal 13 Agustus 2009 di Samarinda. Menurut
Rudy, para pemimpin Kaltim yang berasal dari Jawa lebih banyak memperkaya diri
sendiri. Hal ini berbeda dengan AFI yang peduli terhadap pembangunan Kaltim.
Politik Ambivalensi [ 61 ]
Kaltim. Untuk itu, demi suksesnya terus dipantau sampai mana
persiapan yang sudah dilakukan panitia.”37
Perhatian AFI yang sangat besar terhadap ritual erau
merupakan bukti konkret kesetiaannya terhadap Sultan.
Sejak diadakannya kembali ritual erau tahun 1971, AFI
selaku klien yang berstatus sebagai anggota DPR memiliki
tanggung jawab terhadap pendanaan ritual erau. Tampaknya,
Soeharto memahami kebutuhan elite Kutai dan merestui ritual
erau yang diadakan setiap dua tahun dengan pendanaan
yang diambilkan dari APBD. Dalam hal ini, peran AFI ialah
meyakinkan pemerintah bahwa ritual erau adalah warisan
budaya yang dapat dijual kepada wisatawan asing. Dengan
asumsi ritual erau sebagai aset budaya bangsa yang sangat
berharga, maka hal ini selaras dengan program pemerintah
dalam hal pemasukan devisa negara melalui pariwisata.
1. Menaati Regulasi
Melalui parpol diharapkan kontestasi yang sehat dalam
meraih kekuasaan pemerintahan dapat terwujud. Dalam
regulasi Pilkada disyaratkan seseorang yang akan mencalonkan
diri menjadi kepala daerah harus mendapat dukungan
minimal 15% dari anggota DPRD atau dukungan parpol yang
memperoleh suara sah dalam Pemilu paling sedikit 15%. Jika
dukungan parpol belum memenuhi kuota 15%, maka parpol
bisa bergabung dengan parpol lain sampai jumlah minimal
tersebut38 terpenuhi.
Maka, untuk menjadi kepala daerah, AFI harus mendaftar
melalui parpol. Kemudian, parpol akan mendaftarkan dirinya
ke KPUD dan merancang semua program kampanye. Setelah
didaftarkan ke KPUD, ia harus memenuhi sejumlah syarat,
seperti mengumpulkan berkas yang terdiri dari riwayat
hidup dan ijazah minimal SLTA, berusia minimal 30 tahun,
sehat jasmani dan mental, tidak pernah dijatuhi hukuman
pidana, tidak sedang dicabut hak pilihnya, melaporkan harta
38 Peraturan Komisi Pemilihan Umum No.68 Tahun 2009, Pedoman Teknis Tata Cara
Pencalonan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, ps.4. Ketika
penulis mengadakan revisi disertasi ini, DPR sedang merevisi UU No.1 tahun 2014
tentang Pilkada, pasal 38 yang mewajibkan adanya uji publik bagi bakal calon. Waktu
pelaksanaan untuk uji publik yang disepakati DPR hanya satu bulan. Sedangkan dalam
Perppu No.1 tahun 2014, waktu yang disediakan untuk uji publik tiga bulan.
Politik Ambivalensi [ 63 ]
kekayaannya, tidak memiliki tanggungan hutang, belum pernah
menjabat sebagai kepala daerah dua kali, dan sebagainya.39
Syarat-syarat tersebut dilengkapi dengan dukungan parpol,
kemudian diverifikasi oleh KPUD dan hasilnya disampaikan
kepada parpol sehingga dapat diputuskan apakah AFI lolos
sebagai kontestan atau tidak. Jika ternyata lolos, maka tahap
berikutnya dia harus melakukan kampanye baik tertutup
maupun terbuka. Kontestan juga diwajibkan untuk membuat
laporan dana kampanye, karena semua pemasukan dan
pengeluaran selama kampanye akan diaudit oleh akuntan
publik.
Selain melalui jalur parpol, untuk mencalonkan diri
sebagai kepala daerah ada jalur lain, yakni melalui jalur perseo
rangan. Jalur perseorangan diatur dengan regulasi berdasarkan
banyaknya jumlah penduduk yang dibuktikan melalui Kartu
Tanda Penduduk. Secara umum, syarat pengajuan sebagai
kepala daerah sama dengan jalur parpol. Namun, ada tamba
hannya, yakni kontestan yang tidak didukung oleh parpol
harus mendapatkan dukungan dari masyarakat yang besarnya
didasarkan pada banyaknya jumlah penduduk yang ditetapkan
melalui regulasi. Persentase dukungan masyarakat terhadap
calon perseorangan diatur PKPU40 sebagai berikut:
a. Calon di provinsi dengan jumlah penduduk sampai dengan
2.000.000 jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 6,5 %
dari jumlah penduduk;
b. Calon di provinsi dengan jumlah penduduk antara
2.000.000-6.000.000 jiwa harus didukung sekurang-
kurangnya 5% dari jumlah penduduk;
41 Menurut Perppu No.1 tahun 2014, pasal 40 dukungan parpol pengusung terhadap
kontestan naik menjadi 20% dari jumlah kursi atau 25% dari akumulasi perolehan sah
dalam Pemilu legislatif.
Politik Ambivalensi [ 65 ]
kultural. Menurut Lazarsfeld, Berelson, dan Gaudet (1944),
perilaku pemilih memiliki kaitan erat dengan empat faktor yang
saling memengaruhi, yakni status sosial ekonomi (pendidikan,
jenis pekerjaan, pendapatan, dan kelas), agama, etnis, dan
wilayah tempat tinggal (kota, pesisir, desa dan pedalaman).42
Penelitian Lazarsfeld, Berelson, dan Gaudet memfokuskan
pada perilaku pemilih dalam pemilihan Presiden Amerika
(1940). Sampel yang diambil berjumlah 600 orang dan data
dikumpulkan melalui wawancara.
Hasil dari penelitian Lazersfeld dan kawan-kawannya
tersebut menunjukkan bahwa ada perilaku pemilih yang
dominan dipengaruhi oleh faktor etnis dan agama.43 Faktor
etnis ini diwujudkan dengan status sosial kontestan (elite
politik) dalam kaitannya dengan latar belakang etnis pemilih.
Orang kulit putih akan cenderung memilih kontestan dari
kulit putih. Sebaliknya, orang kulit hitam atau pendatang akan
cenderung memilih kontestan (kulit hitam) atau kontestan
yang mengangkat isu tentang hak-hak kelompok minoritas.
Dari sisi pendekatan agama, pemilih yang beragama Kristen
Protestan cenderung pemilih kontestan dari Partai Republik.
Sementara itu, pemilih yang beragama Katolik cenderung
memilih kontestan dari Partai Demokrat. Pendekatan perilaku
pemilih dengan perspektif sosiologis ini dipelopori oleh pakar
politik dari University of Columbia, sehingga perspektif ini
disebut dengan Columbia Model.
Kedua, pendekatan perilaku pemilih dengan pendekatan
psikologi sosial. Penelitian ini bertujuan untuk menyanggah
teori Columbia Model yang dipelopori oleh Lazerfeld,
42 Paul Lazarfeld, Bernard Berelson, dan Hazel Gaudet, The People Choice: How the Voter
Makes Up His Mind in a Presidential Campaign. (New York: Columbia University Press,
1948).
43 Ibid., The People Choice.
44 Angus Campbell, Philip E. Converse, Warren E. Miller and Donal E. Stokes, The American
Voter. (New York: John Wiley, 1960).
45 Anthony Downs, An Economic Theory of Democracy. (New York: Harper and Row, 1957).
Politik Ambivalensi [ 67 ]
tidak berkarya nyata dalam masyarakat, khususnya dalam
pemberdayaan ekonomi masyarakat, maka dia cenderung
tidak akan didukung. Dalam hal ini, pertimbangan pemilih
ialah cost and benefits (untung dan rugi) yang mungkin akan
mereka peroleh dalam menentukan pilihan kepada kontestan.
Kalau menurut mereka kontestan yang berkompetisi tidak
mampu membawa perubahan dalam bidang ekonomi dan
politik, mereka cenderung golput (golongan putih, yakni tidak
akan memilih siapa pun).
Ketiga teori tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan
yang dapat dipakai AFI untuk memengaruhi perilaku pemilih
di Kaltim. Upaya untuk menggabungkan perilaku pemilih
dengan perspektif ekonomi, sosial, dan psikologi dapat
menjelaskan tentang fenomena perilaku pemilih dalam
Pemilu/Pilkada. Artinya, AFI bisa memenangkan kontestasi
dalam Pilkada tanpa harus melakukan tindakan money politics.
Berdasarkan tiga teori tersebut, AFI cukup membutuhkan tiga
modal untuk menang dalam Pilkada, yakni modal sosial, modal
kedekatan, dan modal pencitraan. Modal sosial diwujudkan
melalui kesetaraan AFI dengan pemilih dari segi status sosial,
agama, etnis, dan kedaerahan. Jika AFI dapat menempatkan
diri setara dengan pemilihnya dalam tiga hal tersebut, maka
dia secara teoretis akan mudah memengaruhi pemilih.
Untuk menyiapkan modal kedua, diperlukan terobosan
baru karena masyarakat Kaltim terdiri dari berbagai suku
dan latar belakang yang berbeda dengan AFI. ‘Blusukan’ ke
kampung-kampung atau desa kiranya menjadi terobosan
yang bisa dipakai guna mendekatkan diri kepada para
pemilih. Mayoritas pemilih cenderung memilih kontestan
yang dekat dengan mereka, mereka kenal, dan terbukti nyata
menyejahterakan masyarakat. Dalam sistem Pemilu/Pilkada
yang menganut nilai one man, one vote, one value–strategi
Politik Ambivalensi [ 69 ]
menonjol dalam studi yang menggunakan perspektif ini adalah
Alkostar,46 Saldi Isra, Mulyana W. Kusumah, Kacung Maridjan,
PUKAT-UGM, ICW, dan KPK. Dalam sistem hukum formal
yang berlaku di Indonesia, memang sudah dirumuskan ciri-
ciri dari tindakan yang melawan hukum, dan rumusan ini
menjadi dasar penghakiman terhadap praktik money politics.
Salah satu ketentuan hukum yang menjadi rujukan tindakan
itu tertera pada Undang–undang No. 32 Tahun 2004 pasal 117
ayat 2, yang berbunyi sebagai berikut:
“Setiap orang yang dengan sengaja memberi atau menjan
jikan uang atau materi lainnya kepada seseorang……
atau memilih Pasangan calon tertentu…..diancam dengan
pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan dan paling
lama 12 (dua belas) bulan dan atau denda paling sedikit
Rp.1.000.000 (satu juta rupiah) dan paling banyak Rp.
10.000.000 (sepuluh juta rupiah).”
Atas dasar adanya ketentuan dalam UU No.32 tahun 2004
tersebut, khususnya dengan spesifikasi istilah yang diper
gunakan ‘memberi uang’ atau ‘menjanjikan uang’, maka setiap
transaksi yang masuk dalam kategori itu disebut money politics.
Dengan demikian, pelaku harus dikenai hukum pidana.
Namun, perlu juga dicermati bahwa pendekatan legalitas
kasus pidana terhadap elite politik tidak memberikan efek jera,
karena sanksi atau denda yang diberikan sangat ringan. Dalam
46 Artidjo Alkostar, Korupsi Politik di Negara Modern, (Yogyakarta: FH UII Press, 2008).
Selain itu, KPK dan ICW juga sering mengutamakan pendekatan legalis dalam mengkaji
gratifikasi. Menurut UU No. 20 Tahun 2001, pasal 12 B tindakan gratifikasi tersebut
dianggap pelanggaran hukum. Lihat KPK, Memahami Untuk Membasmi: Buku Saku
untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi (Jakarta: KPK, 2006), hlm. 94-98. Bandingkan
John Girling, Corruption, Capitalism and Democracy (London and New York: Routledge,
1997), hlm. 1-41. Baca juga Michael Johnston, Syndromes of Corruption (Cambridge-UK:
Cambridge University Press, 2005), hlm. 89-119.Bnd. S.H. Alatas, Korupsi: Sifat, Sebab
dan Fungsi (Jakarta: LP3ES, 1987), hlm. 120-176. Baca Susan Rose-Ackerman, Korupsi
Pemerintahan, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2006), hlm. 127-154.
47 Gregorius Sahdan dan Muhtar Haboddin (ed.), Evaluasi Kritis Penyelenggaraan Pilkada
di Indonesia, (Yogyakarta: IPD, 2009), hlm. 120-149.
48 Kacung Marijan, Demokrasi di Daerah Pelajaran dari Pilkada Secara Langsung (Surabaya:
Eureka, 2006), hlm. 94.
Politik Ambivalensi [ 71 ]
Elite sadar bahwa memberi uang kepada pengurus partai
adalah tindakan melanggar hukum, tetapi pada saat yang
sama dia membayar/membeli dengan sangat mahal. Artinya,
ada sesuatu yang sifatnya berada di luar jangkauan moralitas
elite itu sendiri.
Dengan cara pandang itu, para tokoh dalam mazhab ini
merasa telah membeberkan gejala money politics menjadi
rahasia umum. Hanya saja mereka tidak dapat memberikan
penjelasan mengapa solusi berupa tindakan tegas oleh penegak
hukum tidak pernah dijalankan secara efektif. Oleh karena
itu, Rifai menganalisis maraknya money politics dalam Pilkada
berdampak pada ketidakpercayaan masyarakat terhadap
penegak hukum.49 Ini pertanda bahwa cara pandang legalis
tidak mampu menjelaskan tetapi hanya menilai gejala tersebut,
sedangkan hukum yang menjadi dasar untuk menilai ternyata
juga dianggap sebagai hukum yang tidak efektif. Maka, sangat
mungkin bahwa dalam masyarakat ada sesuatu yang mengikat
sebagaimana hukum dan perkara ini tidak pernah ditelaah.
Ikatan itu adalah budaya.
Singkatnya, dalam konsepsi para pakar, pemberian yang
dilakukan oleh AFI kepada masyarakat ditafsirkan identik
dengan money politics. Padahal, pemberian dalam bentuk
tanah, barang, dan jasa biasa diberikan oleh kaum bangsawan
dalam rangka menyejahterakan masyarakat. Pemberian AFI
kepada masyarakat tidak harus dihakimi sebagai praktik
pelanggaran hukum yang populer dengan sebutan money
politics. Dalam banyak kasus, elite tidak dapat mengelak
untuk mengikatkan diri dalam relasi patronase yang mewujud
dengan pemberian uang, barang, dan jasa tersebut. Memang
batas antara keperluan untuk menjaga harmoni sosial melalui
49 Amzulian Rifai, Politik Uang dalam Pemilihan Kepala Daerah, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
2003), hlm. 91-109.
Politik Ambivalensi [ 73 ]
mendapat kekuasaan ialah mentaati regulasi. Namun,
AFI dihadapkan dengan dilema money politics yang harus
disikapinya dengan arif. Jadi, dalam diri AFI terkristal adanya
dua nalar, yakni politisi dan aktivis.
P
ada Bab II, telah dipaparkan jejak rekam AFI dan
interaksi politiknya semenjak Orde Baru hingga
Reformasi. Dalam interaksi politik AFI dihadapkan
pada dua perspektif yang menjadikannya harus memerankan
diri sebagai seorang politisi sekaligus sebagai seorang
demokrat.
Selanjutnya, pada Bab III ini dipaparkan cara kerja nalar
politisi secara kontekstual,1 yakni seputar latar sosio-kultural
yang melingkupi AFI. Dengan pemahaman tentang nalar
tersebut, kiranya dapat dimengerti mengapa elite niscaya
memanfaatkan pemberian-penerimaan dan relasi patronase
baik lokal maupun nasional sebagai strategi politik dalam
rangka merengkuh kekuasaan.
Untuk memahami interaksi politik AFI yang berkaitan
dengan perannya sebagai klien elite Kutai, ada baiknya kita
1 Dalam Bab III ini, elite politik yang dimaksud oleh penulis adalah AFI, sosok yang
menjadi fokus pembicaraan dalam buku ini. Sedangkan yang dimaksud dengan elite
Kutai oleh penulis adalah Sultan Kutai atau keturunan langsung dari Sultan. Sumber
informasi, lih. Lampiran I.
Politik Ambivalensi [ 75 ]
pahami stratifikasi sosial masyarakat Kutai terlebih dahulu.2
Dengan demikian, kita dapat menganalisis interaksi AFI secara
obyektif dan mendalam. Menurut Badaranie Abbas, stratifikasi
sosial masyarakat Kutai terdiri dari tiga strata,3 yakni strata
atas, tengah, dan bawah. Yang termasuk dalam strata atas ini
ialah para bangsawan yang ditandai dengan pemakaian gelar
Aji, misalnya Aji Mohammad Parikesit. Golongan ini terkait
langsung dengan keturunan Sultan Kutai. Sementara itu, strata
tengah terdiri dari golongan yang dekat dengan strata pertama.
Strata ini ditandai dengan gelar Awang atau Encik, misalnya
Awang Farouk Ishak. Selanjutnya, yang termasuk strata bawah
ialah rakyat biasa yang tidak terkait dengan strata atas (lapis
pertama) maupun strata tengah (lapis kedua).
2 Istilah Kutai mengacu pada wilayah kekuasaan Kesultanan Kutai sebelum bergabung ke
Republik Indonesia. Setelah bergabung dengan RI, wilayah ini disebut dengan Kaltim.
Dalam buku ini, istilah Kutai identik dengan Kaltim.
3 Badaranie Abbas, “Pengaruh Faktor Lingkungan terhadap Aspek-aspek Tradisional dalam
Birokrasi Kesultanan Kutai di Tenggarong” dalam Anwar Soetoen, Dari Swapraja ke
Kabupaten Kutai (Tenggarong: Pemda Kutai, 1975), hlm. 137-138
4 Ibid., Pengaruh Faktor Lingkungan, hlm.155-161. Mereka yang diberikan gelar Awang
dan diberi posisi strategis tersebut disumpah untuk setia terhadap Sultan Kutai. Sumpah
setia ini menjadi bukti adanya relasi patron-klien. Sang patron memberikan jabatan/gelar,
sedangkan si klien sebagai pelaksana tugas yang harus setia kepada Sultan.
5 Wawancara dengan AFI, tanggal 11 Agustus 2009 di Samarinda.
6 Ibid.
7 Ibid., Sultan Kutai mengader pamong praja dengan cara menyekolahkan mereka di
Makassar. Setelah tamat, mereka menjadi pejabat di Kaltim yang wajib setia kepada Sultan
Kutai. Hal ini terlihat jelas sebagaimana dalam keluarga AFI yang sangat setia terhadap
Kesultanan Kutai. Sekalipun Kesultanan Kutai sudah bubar tahun 1960, semangat untuk
membangkitkan kejayaan Kutai ada dalam diri AFI.
Politik Ambivalensi [ 77 ]
kalangan keluarga raja atau bangsawan.”8 Dari pernyataan ini,
tampak bahwa ayah AFI bisa bersekolah pamong praja karena
mendapatkan beasiswa dari Sultan. Artinya, tanpa bantuan
Sultan, keluarga AFI tidak akan menduduki posisi strategis
dalam pemerintahan. Tampaknya, relasi patronase antara
kakek AFI dengan Sultan tersebut mewaris ke dalam dirinya
sehingga dia mengemban amanah untuk memperjuangkan
otonomi khusus bagi Sultan.
Memang, dilihat dari perspektif pemerintahan kesultanan,
posisi ayah AFI sebagai petinggi berada dalam posisi
rendah, tetapi perannya sangat penting dalam masyarakat.
Para petinggi tersebut merupakan tokoh masyarakat yang
merupakan tangan kanan atau ‘penyambung lidah’ Sultan.
Mereka memiliki tugas utama menerapkan kebijakan dan
keputusan Sultan agar mudah dipahami dan ditaati oleh
seluruh masyarakat. Selain itu, mereka juga bertugas untuk
memungut pajak dari masyarakat atau memberikan rasa aman
bagi mereka. Mereka merupakan orang yang setia, karena telah
disumpah setia sampai mati terhadap Sultan. Apa yang mereka
kerjakan berdampak pada ketaatan masyarakat terhadap
Sultan, khususnya dalam hal membayar pajak (upeti). Oleh
karena jasa mereka, Sultan memberikan penghargaan kepada
mereka berupa gelar Awang.9 Dengan demikian, keluarga AFI
8 Loc.cit, Wawancara AFI. Sekolah pamong praja di Makassar hanya untuk kelompok
lapis atas dan menengah, sedangkan lapis bawah terkesan tidak diperhitungkan.
Kebijakan Sultan Kutai dalam hal perekrutan kader pamong praja didasarkan pada
nepotisme atau patronase. Sultan Kutai merekomendasikan keluarga bangsawan yang
setia terhadapnya. Oleh karena kebijakan Sultan cenderung menafikan masyarakat, maka
pada saat keruntuhan kesultanan Kutai (1960), masyarakat cenderung mendukung untuk
bergabung ke Republik Indonesia. Saat ini, Kesultanan Kutai hanya dipahami sebagai
simbol tanpa pengaruh dalam masyarakat.
9 Nenny Wirakusumah, From Kutai to Dayak (Samarinda: Pemda Kabupaten Kutai, 1977),
hlm. 9-32. Masyarakat Kutai Kartanegara mengenal adanya tiga lapisan masyarakat
(kasta). Pertama, Sultan dan keluarganya yang terdiri dari Aji Pangeran (anak laki-laki
Sultan), Aji Puteri (anak perempuan Sultan), Aji Raden, Aji Bambang, dan Aji. Gelar
Aji diberikan kepada kerabat Sultan, sedangkan gelar Raden dan Bambang diberikan
dengan upacara. Kedua, aristokrat yang terdiri dari Awang (gelar diberikan oleh Sultan
kepada tokoh masyarakat laki-laki) dan Dayang (gelar untuk perempuan), Aji keturunan
Arab: Aji Sayid (laki-laki) dan Aji Saripah (perempuan). Ketiga, rakyat biasa.
10 Loc.cit,The Erosion of Patron-Client Bonds and Social Change in Rural Southeast Asia
11 James Scott,”Patron-Client Politics and Political Change in Southeast Asia” in The
American Political Science Review, Vol. 66, No. 1 (Mar, 1972), hlm. 91.
12 Ibid., hlm. 92-97.
Politik Ambivalensi [ 79 ]
dalam birokrasi dengan motif memanfaatkan AFI sebagai
kliennya.
Pemberian gelar bangsawan sepenuhnya merupakan
hak raja. Sedangkan masyarakat biasa dalam posisi pasif
tidak berhak menuntut. Kemungkinan, pemberian gelar
Awang hanya diberikan kepada masyarakat lapis kedua,
yakni keluarga bangsawan yang terbukti setia terhadap
Sultan. Hal ini terindikasi dengan gelar bangsawan AFI yang
diwariskan dari ayahnya—yakni Awang Ishak— yang meru
pakan mantan wakil Kepala Kepolisian di Tenggarong dan
camat di Sangasanga.13 Posisi Awang Ishak menjadi wakil
Kepala Kepolisian merupakan pemberian jabatan yang
istimewa, karena hal tersebut memiliki arti bahwa dia adalah
orang kepercayaan Sultan dalam hal penegakan hukum dan
keamanan. Gelar bangsawan yang diterima oleh AFI tidak
pernah bisa dilepaskan dari kesetiaan dan karya ayahnya
terhadap Sultan. Hal ini terindikasi dari karir Awang Ishak
selama menjabat sebagai petinggi Kutai.
Selain itu, Awang Ishak pernah menjabat sebagai Camat
Sangasanga—sebuah daerah penghasil minyak terbesar kedua
setelah Balikpapan. Posisi Awang Ishak sebagai camat di
daerah minyak merupakan bukti kepercayaan Sultan kepada
Awang Ishak. Sultan tidak akan memberikan jabatan tersebut
kepada sembarang orang, karena penempatan Awang Ishak
memiliki tujuan tertentu. Sultan menginginkan Awang Ishak
menjaga keamanan Sangasanga karena daerah ini memberikan
makna ekonomi baginya. Dengan adanya minyak yang
dieksplorasi setiap hari oleh Belanda, royalti yang diterima
Sultan akan lancar diberikan setiap bulan. Di daerah penghasil
Politik Ambivalensi [ 81 ]
B. Elite dan Momentum Pemekaran Wilayah
Ketika elite tidak lagi memiliki jabatan strategis di pemerin
tahan dan kembali ke daerah, dia memanfaatkan momentum
otonomi daerah. Dengan adanya perubahan rezim Orde Baru
ke Orde Reformasi, peluang pemekaran suatu daerah terbuka
lebar. Ide pemekaran wilayah selaras dengan keinginan elite
Kutai yang menghendaki agar ‘putera daerah’ memimpin di
Kaltim. Keinginan tersebut disambut oleh AFI sebagai klien.
Oleh karena itu, AFI meminta restu elite Kutai agar mereka
mendukung pemekaran wilayah Kutai menjadi Kutai Timur
(Kutim). Tujuan pemekaran ialah menyejahterakan dan
mengefektifkan pelayanan administrasi kepada masyarakat.
Salah satu cara yang dilakukan AFI ialah memanfaatkan
persoalan tanah pawatasan (tanah ulayat) Sultan yang masih
bermasalah dengan PT. KPC. Persoalan tanah pawatasan atau
tumpang tindih tanah dengan perusahaan tambang menjadi
isu yang krusial di Kaltim.
Sejak Kesultanan Kutai melebur ke dalam Republik
Indonesia tahun 1950, sebagian tanah milik Kesultanan telah
dihibahkan kepada masyarakat. Namun, masih ada sebagian
tanah pawatasan yang menjadi milik keluarga Sultan Kutai yang
belum terurus secara administratif. Dengan adanya otonomi
daerah, masalah tanah pawatasan mencuat ke permukaan.
Sebagian tanah ini ada di Kutai Timur yang kaya dengan
batubara, gas, dan minyak dan sebagian besar dari tanah ini
berada di areal tambang PT. KPC (milik Aburizal Bakrie)
yang merupakan salah satu perusahaan batubara terbesar di
dunia. Namun, pihak PT. KPC mengklaim memiliki sertifikat
dan bukti-bukti autentik yang dapat dipertanggungjawabkan
secara hukum. Sebaliknya, pihak elite Kutai juga bersikukuh
bahwa sebagian tanah yang diklaim PT. KPC tersebut adalah
17 Diperkirakan, tahun 2010 PT. KPC memproduksi 50 juta metric ton batubara dari
Kutim, tetapi dari hasil batubara tersebut tidak ada royalti untuk Sultan Salehuddin
II selaku pemilik tanah seluas 33.385 hektar. Dengan produksi 50 juta metric ton per
tahun, pendapatan kotor PT. Bumi sekitar Rp. 35 trilyun per tahun. Lihat “Kaki Tangan
KPC” dalam www.bongkar.com, diakses pada 23 September 201. Sementara itu, setiap
pemegang izin PKP2B memang diwajibkan membayar royalti kepada pemerintah sebesar
13,5% dari nilai produksi. Secara rinci, dari 13,5 % itu, pembagian royalti diatur sebagai
berikut: 40% untuk pusat, 20% untuk pemerintah provinsi, dan 40% lainnya daerah
penghasil. Namun, kewajiban PKP2B itu terbentur PP (Peraturan Pemerintah) No.
144/2000 tentang barang dan jasa yang tidak dikenakan pajak penambahan nilai (PPN).
Batubara sendiri tidak dikenai PPN. Lihat “Rp. 4,5 trilyun Royalti Tambang Macet” dalam
www.bongkar.com, di akses pada 4 Maret 2009.
18 Ibid. Saham terbesar pemilik PT. KPC telah dibeli oleh PT. Bumi Resources pada tahun
2003. Di dalamnya tercantum nama Aburizal Bakrie sebagai pemilik PT. Bumi Resources.
Politik Ambivalensi [ 83 ]
dana, baik bagi Pemda maupun bagi diri Syaukani. Oleh karena
itu, bagi Syaukani, pemekaran wilayah menjadi ancaman.
Kedua, masyarakat mengharapkan AFI sebagai ‘putra
daerah’ memimpin Kaltim.19 Sekembalinya ke Kaltim, AFI
tidak memiliki posisi strategis dalam pemerintahan. Namun,
citra AFI sebagai bangsawan yang telah berhasil mereng
kuh kekuasaan melalui DPR tidak pudar. Ketika AFI tidak
lagi memiliki jabatan politik di DPR dan kembali ke Kaltim,
masyarakat masih berharap AFI memajukan Kaltim. Mereka
merindukan ‘putra daerah’ yang telah berhasil dalam pentas
nasional mampu meningkatkan kesejahteraan dan membe
rantas kebodohan.
Ketiga, AFI dituntut untuk mampu mengolah kebangsawa
nannya. Harapan masyarakat yang tinggi agar AFI mengatasi
masalah kemiskinan dan kebodohan, serta amanah Sultan
membuat AFI dihadapkan pada keniscayaan untuk mengolah
kebangsawanannya. Harapan dan amanah tersebut harus
dipenuhi, kalau AFI ingin tetap eksis dan dihormati. Oleh
karena itu, dia harus menginstrumentasi adat, budaya, dan
agama sebagai modal sosial dan kultural.
Untuk mewujudkan harapan masyarakat tersebut, AFI
menginisiasi kelompok masyarakat pro-pemekaran Kutai
Timur. Masyarakat pendukung pemekaran itu menamakan
diri Kerukunan Warga Kutai Timur (KWKT). Sebagian besar
anggota KWKT ialah loyalis terhadap elite Kutai. Dukungan
masyarakat semakin banyak dan mereka mendukung AFI agar
dia mau memimpin pemekaran wilayah Kutim. Sebenarnya,
motif utama pemekaran wilayah Kutim bagi elite politik lokal
adalah penguasaan hasil sumber daya alam. Selama ini, hasil
19 Tokoh adat di Kutim dan Kubar sangat setia kepada Sultan Kutai sehingga AFI tidak
mengalami kesulitan untuk memobilisasi mereka.
Politik Ambivalensi [ 85 ]
Semua SDA tersebut merupakan modal bagi elite yang
akan berkontestasi dalam Pilkada. Secara khusus, PT. KPC
sudah mengeksplorasi batubara bertahun-tahun, tetapi
kontribusi untuk pembangunan daerah masih kurang. Oleh
karena itu, dengan adanya pemekaran daerah, maka elite dapat
menekan perusahaan-perusahaan besar untuk memberikan
kontribusi konkret baginya.
Politik Ambivalensi [ 87 ]
menyikapi adanya konflik dengan Mahyudin tersebut, AFI
mencitrakan diri sebagai ‘bapak pembangunan’ melalui media
internet. Hal ini didukung oleh faktor harapan masyarakat
(KWKT) yang sangat besar, khususnya dukungan terhadap
AFI sebagai ‘putera daerah’ untuk memimpin Kutim. AFI
menghadapi realita adanya penentangan dan dukungan, yang
mau tidak mau akan memengaruhi sikap politiknya. Dengan
posisinya sebagai klien elite Kutai dan elite Orde Baru, AFI
sangat memahami bagaimana Soeharto mempertahankan
kekuasaannya. Tampaknya, strategi politik yang diterapkan
Soeharto tersebut ditiru oleh AFI. Hal ini terindikasi dalam
paparan AFI melalui websitenya yang mencitrakan dirinya
sebagai ‘bapak pembangunan’ untuk mengeliminasi adanya
tentangan lawan politik terhadapnya.
Melalui media internet, AFI memaparkan betapa beratnya
dulu ketika pertama kali dia diserahi tugas sebagai Pejabat
Bupati Kutai Timur.22 AFI menegaskan bahwa dia berjuang
membangun Kutim tanpa bantuan Mahyudin dan Syaukani.
Dia mampu membangun kantor pemerintahan yang modern
dan maju di Kutim. Pada mulanya, AFI harus berkantor di
kecamatan, karena kantor Pemda belum ada. Begitu juga
dengan gedung DPRD, saat itu belum dibangun. Selanjutnya,
kutipan di bawah ini menggambarkan bagaimana keadaan
Kecamatan Sangatta sebagai cikal bakal Kabupaten Kutim
pada awal AFI sebagai bupati:
“Karena keterbatasan sarana dan prasarana, Sangatta sebenarnya
belum mampu menunjukkan diri sebagai ibu kota kabupaten yang
representatif. Maklum saja, sebagai kabupaten baru, infrastruktur
Kutim masih terbatas. Kantor bupati saja masih menumpang di
Balai Desa Sangatta Utara. Demikian pula dengan kantor-kantor
23 Ibid.
24 Ibid., Prospek Pusat Pengembangan Kawasan Industri Maloy.
25 Ibid.
Politik Ambivalensi [ 89 ]
dari Kutim—yakni Bontang—sudah maju. Wilayah ini
merupakan daerah industri gas. Dengan dijadikannya Bontang
sebagai kota industri dan sentra ekonomi, kemajuan sarana
dan prasarana hadir di daerah tersebut.
Gambaran tentang terisolirnya Sangatta pada waktu itu
dipaparkan oleh AFI melalui websitenya sebagai berikut, “Bila
masyarakat hendak bepergian ke Samarinda (ibukota Propinsi
Kaltim), mereka harus melalui hutan Taman Nasional Kutai
(TNK) dan memerlukan waktu sekitar dua hari.”26 Ketika musim
hujan datang, sering terjadi tanah longsor yang menutupi jalan
sehingga jalan licin dan tidak bisa dilalui kendaraan. Sebaliknya,
pada waktu musim kemarau, sering terjadi kebakaran hutan di
TNK yang mengakibatkan penduduk Sangatta tidak bisa pergi
ke Samarinda.27 Hambatan lain bagi masyarakat Sangatta yang
akan ke Samarinda ialah gangguan orang utan dari TNK yang
sering mencegat mereka yang melewati hutan untuk meminta
makanan."
Kondisi Sangatta yang terisolir tersebut menjadi peluang
bagi AFI untuk mencitrakan dirinya sebagai ‘bapak pemba
ngunan’ yang mampu menjadikan Sangatta menjadi kota
yang modern setara dengan Bontang, Balikpapan, dan
Samarinda. Untuk mengejar ketertinggalan tersebut, AFI
mulai memprioritaskan pembangunan sarana dan prasarana,
seperti jalan antarkabupaten, jembatan, sekolah, rumah sakit,
dan sarana umum untuk mendukung pertumbuhan ekonomi
Kutim.28
Harapan masyarakat terhadap AFI sangat tinggi, khususnya
dalam memajukan Kutim. Oleh karena itu, tidaklah cukup
baginya mencitrakan diri sebagai kepala daerah yang maju
26 Ibid.
27 Ibid., Sang Entrepreneur yang Visioner.
28 Ibid., Prospek Pusat Pengembangan Kawasan Industri.
29 Ibid.
30 AFI mendapatkan penghargaan MURI, sebagai bupati tercepat di Indonesia dalam
pelayanan kepada investor (36 menit). Selain itu, AFI juga mendapat penghargaan
sebagai pelopor implementasi e-goverment peringkat pertama (majalah Pilar Bisnis) dan
penghargaan sebagai pelopor e-government/ one stop service (OSS) peringkat kedua dari
majalah Warta Ekonomi.
31 Penghargaan sebagai pelopor e-goverment dalam layanan satu atap (Simtap) one stop
service (OSS) diberikan oleh Kantor Menteri Negara Komunikasi & Informasi RI.
Politik Ambivalensi [ 91 ]
tertinggal menjadi kabupaten yang modern dan maju diakui
oleh Hamzah Haz sehingga dia menyampaikan:
“Berbagai pemikiran serta program yang sudah dijalankan
Awang Faroek benar-benar mampu merubah daerah ini.
Dia adalah sahabat saya saat menjadi anggota DPR, dia
telah berhasil melaksanakan tugas dan membangun Kutim
sehingga layak kita hormati.”32
Hamzah Haz merupakan kolega AFI yang mengajak
masyarakat Kutim untuk mendukungnya melakukan program
pembangunan. Pembangunan pusat pemerintahan di Bukit
Pelangi dirancang dengan matang oleh para ahli yang sudah
direncanakan sedemikian rupa dan disesuaikan dengan tata
ruang pengembangan Sangatta sebagai pusat kabupaten/kota
yang modern.33 Perancangan melibatkan para ahli tata kota
dari berbagai perguruan tinggi ternama di Indonesia yang
meliputi penataan infrastruktur yang dibangun secara terpadu
yang menghubungkan pusat pemerintahan dengan kecamatan
atau desa di Kutim sehingga transportasi menuju ke Sangatta
dapat diakses masyarakat dengan mudah.
Semua itu dilakukan AFI untuk memenuhi dambaan
masyarakat. Di balik upaya memodernkan Kutim, tersimpan
nalar politik AFI yang ingin mencengkeram kekuasaan
32 Ibid., peresmian Pusat Perkantoran Pemda Kutim di Bukit Pelangi diresmikan oleh
Wapres yang merupakan Pimpinan PPP. Hal ini bisa dimaknai bahwa AFI memiliki
kedekatan dengan pimpinan PPP. Patut dicatat di sini bahwa sebagian masyarakat Kutim
menjadi anggota partai tersebut. Kehadiran Wapres untuk meresmikan perkantoran
Pemda tersebut menunjukkan adanya jejaring patronase AFI pada ranah nasional. Hal
ini membenarkan argumen penulis bahwa pemekaran Kutim merupakan upaya AFI
dalam rangka menginstrumentasi patronase politik yang sudah dirajut sejak dia menjabat
sebagai anggota DPR selama dua periode. Jaringan patronase tersebut sudah terbentuk
sehingga pada saat AFI membutuhkannya pemekaran dan legitimasi politik, mereka
yang berada dalam jaringan itu siap membantunya.
33 Pembangunan Kantor Pemerintahan di Bukit Pelangi melibatkan tenaga ahli dari UGM,
ITB, IPB, dan Unmul.
34 Ibid.
Politik Ambivalensi [ 93 ]
kemudahan pengurusan izin usaha, ribuan tenaga kerja
masyarakat menjadi terserap.
Di balik inovasi teknologi tersebut, selain memenuhi
harapan masyarakat dalam kecepatan pengurusan dokumen
penting—AFI memanfaatkan kerja sama dengan para pengu
saha baik yang bergerak di bidang telekomunikasi, batubara,
minyak, maupuan agro industri. Para pengusaha yang
menginvestasikan modalnya ke Kutim tersebut tidak luput dari
kewajiban memberikan fee kepada elite politik. Hal ini sudah
menjadi rahasia umum agar pemilik bisnis usahanya lancar
dan aman. Mereka harus memberikan dukungan dana kepada
elite politik yang mencalonkan dirinya sebagai kepala daerah.
Dukungan modal para investor kepada elite lokal tersebut
sebagai wujud balas budi, karena mereka pernah ditolong
mengurus ijin usaha. Ada kalanya mereka menyumbang dana
dalam proses kontestasi dengan harapan akan mendapatkan
proyek pembangunan jika kontestan menang dalam Pilkada.
Akan tetapi, dalam rangka memenuhi harapan masyarakat
untuk memajukan Kutim setara dengan kabupaten lain, AFI
membutuhkan modal besar. Yang menjadi kendala AFI untuk
memenuhi harapan masyarakat tersebut adalah tidak ada dana
dari Pemda untuk pembangunan kantor pemerintahan. Oleh
karena itu, AFI mengajukan usulan pinjaman dana ke BPD
Kaltim. Rencana peminjaman Pemda ke BPD Kaltim sebesar
Rp. 270 miliar. Melalui dana APBD peminjaman Pemda
tersebut diangsur setiap bulan dalam kurun waktu lima tahun.
Jadi, bisa dikatakan bahwa jaminan pinjaman Pemda tersebut
adalah APBD Kutim.
Dalam usaha memperoleh pinjaman dana melalui BPD
Kaltim tersebut, Awang menginstrumentasi relasi jaringan
birokrasi lokal yang sudah dirajut ketika dia menjadi staf
ahli gubernur. AFI melobi pimpinan BPD Kaltim yang dia
Politik Ambivalensi [ 95 ]
Apa yang dipaparkan AFI di atas merupakan suatu
ungkapan kebanggaan atas keberhasilannya dalam membangun
Kutim menjadi kabupaten yang maju dan modern. Ungkapan
tersebut juga menjadi ekspresi AFI dalam menginstrumentasi
simbol-simbol kekuasaan untuk melegitimasi dirinya yang
mewujud secara fisik dalam bentuk kantor Pemda dan DPRD.
Pembangunan perkantoran di Bukit Pelangi tersebut mampu
mengubah hutan belantara menjadi pusat pemerintahan
yang modern dan maju. Hal ini pun diakui oleh Hamzah
Haz selaku Wakil Presiden (Wapres) yang meresmikan Bukit
Pelangi pada tahun 2003, sebagai berikut “Pembangunan
pusat pemerintahan ini benar-benar bagus untuk menciptakan
pelayanan yang terpadu serta mendorong dan menciptakan
good government sehingga bisa menjadi percontohan bagi
daerah lain di Indonesia.”
Hal ini disampaikan mantan Wapres ketika meresmikan
pusat pemerintahan di Bukit Pelangi.36 Pembangunan kantor
pemerintah yang modern di Bukit Pelangi tersebut mengha
biskan dana sekitar Rp. 578 miliar. Pembangunan kantor Bukit
Pelangi selesai dalam kurun waktu sekitar tiga tahun. Dengan
selesainya pembangunan perkantoran tersebut, efektivitas
pelayanan terhadap masyarakat menjadi nyata.
Namun demikian, tampaknya ada keganjilan dalam hal
ini. AFI mengajukan dana pinjaman pembangunan kantor
Bukit Pelangi kepada BPD Kaltim sebesar Rp. 270 miliar,
tetapi dana pembangunan membengkak menjadi Rp. 578
miliar sehingga kekurangan dana sebesar Rp. 308 miliar.
Pertanyaan pun muncul: dari mana AFI mendapatkan dana
untuk menutupi kekurangan tersebut?
36 Ibid.
37 Dengan asumsi fee yang diterima elite politik sebesar 10%, maka dia menerima dana
segar minimal Rp. 50 miliar.
38 “Bagaimana Kronologi Penjualan Saham PT. KPC?” dalam www.kaltim.go.id/diakses
pada tanggal 15 Juli 2010.
39 Informasi dari HM Ketua Teknik Tambang batubara di Sangasanga Kutai Kartanegara
dalam diskusi kelompok tanggal 19 Desember 2011 di Yogyakarta.
Politik Ambivalensi [ 97 ]
pawatasan Sultan. Oleh karena itu, AFI dan Suwarna bertekad
memperjuangkan saham yang menjadi milik Pemda Kutim.
“Perjuangan dilaksanakan bersama-sama Gubernur Kaltim
saat itu (H. Suwarna AF) dan Ketua DPRD Kaltim. Inti
perjuangan adalah mendapatkan divestasi saham KPC
sebesar 51% sebagai wujud komitmen dan kepedulian
pimpinan daerah saat itu untuk memperjuangkan hak
rakyat Kaltim.”40
Tampaknya, perjuangan AFI dan Suwarna tersebut
disambut oleh kebijakan pemerintah. Dalam Sidang Kabinet
Terbatas tanggal 31 Juli 2002, pemerintah memutuskan saham
51% PT. KPC, dengan calon pembeli 20% saham ialah PT.
Tambang Batubara Bukit Asam. Sedangkan yang 31% saham
dibagi menjadi 12,4% untuk pemerintah provinsi Kaltim
melalui Perusda Melati Bhakti Satya (MBS) dan 18,6% jatah
pemerintah kabupaten Kutim melalui Perusda Pertambangan
dan Energi Kutim (Perusda PEKT). AFI memperjuangkan
saham Pemda Kutim dalam kapasitasnya sebagai bupati pada
periode 12 Oktober 2002-21 Mei 2003.41
Upaya AFI berhasil. Pemda Kutim mendapatkan saham
PT. KPC sebesar 18,6%. Namun, Pemda tidak memiliki dana
untuk membeli saham tersebut. Sementara itu, AFI non-aktif
sebagai bupati karena sedang mengikuti proses kontestasi
dalam pemilihan Gubernur Kaltim (2003). Mahyudin selaku
wakil bupati menggantikannya dan menandatangani surat jual
beli saham sebesar 18,6% tanggal 13 Oktober 2003.42 Surat
ditandatangani oleh Mahyudin dari pihak Pemda Kutim, dan
oleh Ari S. Hudaya dari pihak PT. Bumi Resources. Pihak
PT. Bumi Resources menjual kembali saham sebesar 13,6%
43 Ibid.
44 Ibid., penjualan saham PT. KPC sebesar 5% yang dikelola PT. KTE dan bukan oleh Pemda
Kutim tersebut semakin meruncingkan konflik antara AFI dengan Mahyudin. Karena
hal ini terjadi ketika AFI menjabat bupati, maka kesalahan tersebut menjadi tanggung
jawab AFI. Isu yang beredar melalui media massa, dana tersebut dimanfaatkan oleh
AFI sebagai dana kontestasi dalam Pilkada 2003. Namun, isu ini dibantah oleh AFI,
karena pendirian PT. KTE sepenuhnya menjadi tanggung jawab Mahyudin. Hal ini juga
semakin mempertegas jawaban AFI ketika dia mencalonkan diri sebagai kepala daerah
dan dia mengundurkan diri sebagai bupati. Namun, di lain kesempatan AFI berbicara
melalui media massa bahwa dia tidak mengundurkan diri sebagai Bupati Kutim ketika
mencalonkan diri sebagai gubernur.
Politik Ambivalensi [ 99 ]
dilakukannya ialah revitalisasi pertanian, pemberian pinjaman
modal usaha,45 dan rekayasa modal sosial.
E. Revitalisasi Pertanian
Mengingat lahan di Kutim sedemikian luas dan tuntutan
masyarakat atas kepemilikan tanah tinggi, maka AFI
mengambil kebijakan memperkuat ekonomi kerakyatan
melalui revitalisasi pertanian. “Kalau kita merasa bagian
dari masyarakat, maka segala upaya yang kita lakukan akan
mengarah kepada masyarakat dan demi kebaikan masyarakat,”
kata AFI.46 Bidang pertanian merupakan fokus dari kebijakan
AFI dalam arti luas yang meliputi revitalisasi perkebunan,
perikanan, peternakan, dan kehutanan. Salah satu bentuk
regulasi radikal yang dilakukan oleh AFI adalah memberikan
tanah gratis seluas 5 ha kepada setiap kepala keluarga. Kebijakan
pemberian tanah gratis kepada masyarakat ini diambil, untuk
memenuhi tuntutan mereka. Dalam hal ini, AFI memerankan
dirinya sebagai bangsawan yang dermawan. Dalam pandangan
masyarakat, seorang bangsawan harus memberikan tanah,
barang, dan jasa agar mereka setia kepadanya. Semakin besar
pemberian bangsawan kepada masyarakat, maka citra dirinya
semakin naik.
Hal ini ditunjukkan AFI dengan mengambil kebijakan
pemberian sertifikat tanah secara gratis. Kebijakan pemberian
tanah dan sertifikat gratis tersebut dimaksudkan untuk
memberikan kepastian hukum atas kepemilikan lahan bagi
para petani. Hal ini menjawab kebutuhan masyarakat atas
status tanah mereka yang selama ini tidak jelas.47 Selain itu, ada
sebagian tanah masyarakat yang ditambang oleh perusahaan
45 AFI, Prospek Pengembangan Kawasan Industri Maloy, Power Point. Tidak diterbitkan
46 Ibid.
47 Loc.cit, Patron-Client Politics and Poitical Change in Southeast Asia, hlm. 109.
51 Wawancara dengan Sri Wahyuni (lurah), tanggal 13 April 2012 di Desa Pendingin,
Kecamatan Sangasanga-Kaltim.
56 Ibid. Apa yang dilakukan oleh AFI tampaknya legal dan sesuai dengan peraturan, tetapi
di balik hal tersebut terselubung adanya ikatan ‘utang budi’ yang direkayasa oleh AFI.
Kelak AFI akan menggunakan ‘utang budi’ ini sebagai bagian dari strategi politik dalam
rangka pemenangan Pilkada.
57 Ibid.
58 Ibid.
59 Ibid.
H. Merajut Patronase
AFI membutuhkan dukungan dari masyarakat Kutim
sebagai bentuk legitimasi terhadap dirinya pasca-kekalahan
dalam pemilihan gubernur 2003. Untuk mendapatkan
dukungan masyarakat Kutim tidaklah sulit baginya karena
rajutan patronase yang terbentuk sudah mengakar sampai
ke desa-desa. Hal ini terbukti, dalam waktu relatif singkat
AFI berhasil mendapatkan dukungan ribuan orang. Langkah
awal yang diambil oleh AFI dalam rangka merebut kekuasaan
ialah dengan mengaktifkan kembali relasi patron-klien yang
sudah dirajut di desa-desa. Selain itu, AFI merekayasa relasi
patron-klien lokal dengan sebutan Kerukunan Warga Kutim
Pro-Pembaharuan (KWKPP).
“Terbentuknya KWKPP sebenarnya jauh hari sebelum
Pilkada digelar, yakni kurang lebih satu setengah tahun.
Selama itu, KWKPP menghimpun aspirasi dari masyarakat
63 UU No. 12 tahun 2008 pasal 59 ayat 2: “Partai politik atau gabungan parpol sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat mendaftarkan pasangan calon apabila memenuhi
persyaratan perolehan sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi
DPRD atau 15% (lima belas persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan
umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan.”
64 Menengok Kesibukan Tim Sukses Calon Bupati Kutim,dalam www.kaltimpost.web.id/
diakses pada tanggal 20 Juni 2011.
P
ada Bab III, penulis telah memaparkan bagaimana
seorang elite politik dihadapkan dengan dua kondisi
yang tidak bisa dihindarinya. Pertama, penetapan
sebagai bupati oleh Mendagri, dan kedua, Pilkada langsung.
Implikasi AFI ditetapkan sebagai Bupati Kutim adalah
timbulnya konflik antarelite. Namun, ketika ia mencalonkan
diri dalam Pilkada langsung (bupati), konflik bisa diredam.
Ia mencitrakan diri sebagai seorang demokrat yang menaati
regulasi Undang-Undang Pilkada yang mengharuskan adanya
dukungan parpol dan pemilihan dari masyarakat secara
langsung. Namun, ia juga memanfaatkan nalar kebangsawa
nannya dalam rangka mengikat batin masyarakat (dengan cara
patronase). Menyikapi dua kondisi tersebut, ia memadukan
dua nalar, yakni nalar politisi dan nalar aktivis/demokrat.
Pada Bab IV ini penulis akan memaparkan cara dua nalar
di balik pemenangan elite dalam Pilkada Gubernur 2008 di
Kaltim secara bersamaan. Pencampuran dua nalar ini mewujud
dalam pemberian-penerimaan yang divonis sebagai tindakan
money politics.
1 Menurut RTK (anggota tim sukses AFI), semua kontestan melakukan money politics
dengan cara ‘membeli suara’ anggota DPRD.
2 Sang Enterpreneur yang Visioner dalam www.awangfaroekishak.com/diakses pada tanggal
19 April 2012. Tidak terungkap jelas berapa jumlah uang yang diberikan tim sukses AFI
kepada elite PKB dan PAN.
3 Wawancara dengan AFI tanggal 11 Agustus 2009 di kantor Gubernur Kaltim, Samarinda.
4 Wawancara dengan RTK , anggota tim sukses AFI, pada Juni 2009 di Yogyakarta.
7 Suwarna Terpilih Jadi Gubernur Kaltim 2003-2008 dalam www.kaltim.go.id/2 Juni 2003.
8 “Theo Syafei dan Korupsi” dalam www.suarapembaruan.com/19 Juni 2003.
12 Ibid.
13 Wawancara dengan AFI pada 11 Agustus 2009 di Samarinda.
15 Ibid.
19 Masyarakat yang tinggal di pedalaman pada umumnya kekurangan guru, buku, dan
gedung sekolah yang layak. Dalam mengajar, guru sering merangkap lebih dari satu
kelas. Selain itu, kesejahteraan meraka juga kurang diperhatikan. Untuk menafkahi
hidup sehari-hari seorang guru harus bercocok tanam dengan hasil panen untuk makan
sehari-hari. Biasanya, murid-murid sepulang sekolah diminta membantu guru di sawah.
Kab. Nunukan
Kota Tarakan
Kab. Bulungan
Kab. Malinau
Kab. Berau
Kota Bontang
Kab. Kutai Kartanegara
Kota Samarinda
Kab. Kutai Barat
Kota Balikpapan
Kab. Penajam Paser Utara
Kab. Pasir
21 Menurut Rinakit, dana yang dibutuhkan untuk menjadi gubernur berkisar Rp. 50-100
miliar, dengan asumsi tersebut ‘pembelian’ dukungan parpol menurut penulis berkisar
antara Rp.1-5 miliar. Pertanyaan kritis yang patut diajukan: dari mana sumber dana AFI
dalam Pilkada 2008? Tim sukses AFI yang kecewa terhadapnya membocorkan bahwa
salah satu sumber dana berasal dari para pengusaha yang memiliki investasi di Kaltim.
Hal ini terindikasi pasca AFI terpilih sebagai gubernur, dia menerapkan mega proyek
pembangunan, yakni jalan tol Samarinda-Balikpapan, pelabuhan Internasional Maloy,
Kaltim Airline, pembangunan Bandara Sepinggan, dan lain-lain.
22 Awang Faroek Ishak, Visi, Misi dan Strategi Pembangunan Kalimantan Timur 2008-2013.
23 Ibid.; BPS, Kalimantan Timur dalam Angka 2007.
24 Loc.cit., Wawancara dengan Rudy Koesnandar. Diskusi kelompok aktivis LSM Perempuan
tanggal 13 Agustus 2009 di Samarinda Seberang. Diskusi kelompok dengan mahasiswa
Kutai 26 Agustus 2009 di Yogyakarta.
25 Op.cit., wawancara dengan AFI dan Arifin.
29 Ibid.
30 Op. cit., Bab III Jejak Rekam AFI.
31 Dana Kampanye AFI dalam www.jawapos.com/ diakses pada tanggal 20 Juni 2011. Dari
temuan penulis di lapangan tampaknya dana kampanye AFI masih ‘misterius’. Hal ini
terbukti dengan laporan kekayaan AFI kepada KPK yang tidak mencapai Rp. 15 miliar,
tetapi biaya kampanye mencapai puluhan miliar rupiah. Dari mana datangnya dana
bantuan sosial kepada masyarakat? Pada waktu AFI menjabat Bupati Kutim dana bansos
berasal dari APBD. Namun, pada saat AFI kampanye Pilkada 2008, darimana dananya?
Menurut pengakuan anggota tim sukesnya AFI mendapatkan dana dari pengusaha,
tetapi tidak dilaporkan ke KPUD Kaltim. Lih. Awang Faroek di demo Timsesnya dalam
www.korankaltim.com/ diakses pada tanggal 20 Juni 2011.Pasca kemenangan AFI dalam
Pilkada salah satu anggota tim sukses tidak mendapatkan proyek pembangunan, mereka
yang tidak mendapat proyek dari AFI mengadakan demonstrasi menuntut janji AFI pada
saat kampanye.
32 Ibid., Organisasi KALIMA.
34 Wawancara dengan AFI, tanggal 11 Agustus 2009 di Samarinda. Menurut AFI, dia
mendekati 24 paguyuban etnis yang ada di Kaltim. Semua anggota paguyuban tersebut
mendukung AFI dalam Pilkada 2008. Tentu dukungan mereka terhadap AFI tidak gratis;
tim sukses AFI memberikan dana sosial dan bantuan bagi paguyuban tersebut.
35 Ibid., AFI memanfaatkan budaya pemberian dengan cara memberikan sekolah gratis 12
tahun, bantuan sosial, dan pembangunan.
36 Penulis telah melacak data Kaltim dalam angka 2014 yang diterbitkan Bapeda Kaltim,
tetapi tidak terdapat komposisi penduduk berdasar etnis. Pertumbuhan penduduk Kaltim
37 Isu kampanye AHAD cenderung sektarian dan hanya mementingkan kelompok tertentu.
Maka, banyak orang Kristen dan Katholik mendukung AFI yang mengayomi dan
menerima berbagai suku dan agama.
38 Deklarasi KALIMA dalam www.awangfaroekishak.com/diakses pada tanggal 18 Juni
2011. Untuk menyosialisasikan visi dan misi AFI kepada masyarakat, dibuatlah website,
agar masyarakat dapat mengetahui program yang dilakukan oleh tim sukses dan AFI.
Selain itu, AFI juga menerima dan menanggapi saran dan kritik dari masyarakat. Dengan
demikian, relasi patron-klien antara AFI dan masyarakat terjalin. Namun, setelah tiga
tahun AFI memimpin Kaltim banyak protes dari masyarakat, karena program yang
dijanjikan tidak diwujudkan, khususnya pembangunan sarana dan prasarana di Kaltim.
39 Ibid.
40 Wawancara dengan MT dan AM pada tanggal 8 Juni 2011 di Yogyakarta. Hal ini juga
dibenarkan oleh CS dalam wawancara melalui telpon bulan Juni 2011, dia memaparkan
bahwa kelompok pendatang identik dengan ‘penjarah’ atau ‘penjajah’ SDA Kaltim. Pada
masa kini ada gerakan di antara para aktivis untuk ‘mengevaluasi kembali’ eksplorasi SDA
Kaltim oleh perusahaan nasional atau asing. Mereka menghendaki adanya pembagian
SDA yang fair dalam rangka menyejahterakan masyarakat Kaltim.
41 Op.cit, Bab III Nalar Politik Sang Bangsawan.
47 Ibid.
48 Ibid.
49 “Pihak Awang Faroek menggugat KPUD Kaltim sebesar Rp 2 miliar, karena penyelenggara
Pilkada itu dianggap tidak konsisten dalam menggunakan dasar hukum penyelenggaraan
Pilkada. Awalnya KPU menggunakan UU No 32 Tahun 2004, tetapi saat penghitungan
hasil suara, KPU menggunakan UU No. 12 Tahun 2008. Menurut sumber yang dapat
dipercaya, ada dugaan ‘permainan’ antara ketua KPUD dengan pasangan Amins-Hadi;
Ketua KPUD dan Amins berasal dari etnis Bugis. Dalam UU No 32 Tahun 2004, pemenang
Pilkada harus memperoleh pemilih minimal 25%, sementara pada UU No.12 Tahun 2008
pemenang Pilkada minimal memperoleh suara 30% plus 1” dalam www.okezone.com/15
Oktober 2008, Sidang Gugatan Pilkada Kaltim Memasuki Tahap Putusan.
50 Wawancara dengan Charles Siahaan melalui telepon di Samarinda-Yogyakarta pada
tanggal 10 Juni 2011.
51 AHAD menguasai Samarinda dan daerah sekitar sungai Mahakam, karena komunitas
Bugis, Banjar, dan Jawa. Sementara itu, AFI menguasai daerah pedalaman Kutai dan
kelompok komunitas Jawa serta massa PDI-P dan massa Golkar baik di desa maupun
di kota.
52 Nusyirwan adalah tokoh muda nasionalis yang sangat dekat dengan AFI pada waktu
perintisan ormas KALIMA. Oleh karena dia tidak dicalonkan sebagai wakil gubernur,
padahal dia memiliki pendukung yang banyak, maka dia maju mencalonkan diri sebagai
calon gubernur yang didukung PDI-P.
K
ajian Bab II hingga Bab IV memungkinkan kita
memahami secara kritis penalaran di balik gejala
yang populer dengan sebutan nalar aktivis dan nalar
politisi. Ada dua perspektif yang berjalan secara ambivalen
tetapi sepertinya dibiarkan begitu saja dan dianggap tidak
serius. Puncaknya, maraknya money politics dalam setiap
Pilkada menjadi kambing hitam. Penyelenggaraan Pilkada
divonis sebagai tidak efektif dan memboroskan biaya. Pilkada
tidak menghasilkan kepala daerah yang berkualitas dan
mampu membawa perubahan bagi masyarakat.
Oleh karena itu, anggota DPR hasil Pemilu 2014 mem
perhatikan celah-celah ini sebagai batu loncatan untuk
mengembalikan Pilkada ke DPRD. Dengan kata lain, Pilkada
bukanlah rezim Pemilu (demokrasi) seperti yang dipersepsi
Dahl, Diamond, Lipset, dan Linz.1 Bila usaha mengembalikan
Pilkada kepada DPRD itu berhasil, kontestasi antarelite politik
melalui parpol akan direduksi menjadi sidang paripurna DPRD
yang rawan juga dengan transaksi politik. Yang lebih parah lagi
1 Berdasarkan Putusan MK No.97/PUU-XI/2013 dan UUD 1945 Pasal 18, ayat 3-4.
2 Ibid, Patron-Client Politics and Political Change in Southeast Asia, hlm. 96.
B A C
D E
4 Ibid; Bandingkan Fredrik Barth, Political Leadership among Swat Pathans (New York:
Humanities Press, 1965); Andre Beteille, Caste, Class and Power (Berkeley: University
of Californis Press, 1965); Bandingkan D. W. Atwood, “Patrons and Mobilizers: Political
Entrepreneurs in an Agrarian State” dalam Journal of Anthropological Research, Vol. 30, No.
4 (Winter, 1974), hlm. 225-241/diakses dari http://www.jstor.org/stable/3629715, tanggal
9 Mei 2012 jam 06:49; Jeremy Boissevain, Friends of Friends: Networks,Manipulators
and Coalitions (Oxford: Basil Blackwell,1974; Bandingkan Jacqueline Vel,”Kampanye
Pemekaran di Sumba Barat” dalam Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken
(editor), Politik Lokal di Indonesia (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), hlm.116-
153. Vel memaparkan, elite politik Sumba Barat memanfaatkan agama dan etnis untuk
memengaruhi masyarakat, agar pro-pemekaran Sumba Tengah.
5 Berdasarkan laporan tim sukses AFI, Koalisi Rakyat Bersatu (KRB) ke KPU Kaltim, dana
kampanye Rp 3,3 miliar masing-masing berasal dari AFI sendiri Rp 833 juta, perusahaan
atau badan usaha Rp 2,15 miliar, dan sumbangan perorangan Rp 335 juta. Informasi
diakses dari www.kaltimpost.co.id, Sabtu, 01 November 2008, jam 10:55:00. Dana Rp.
3,3 miliar tersebut yang dilaporkan resmi kepada KPUD Kaltim. Tentu saja, masih ada
dana lain yang tidak dilaporkan oleh tim sukses AFI.
Raja
Masyarakat
persembahan hasil bumi
Raja
Awang
sumpah setia
Elite (AFI)
Masyarakat
Pedalaman/Pesisir
Masyarakat
Kota
Ambivalensi:
Kontestasi Kekuasaan
Money Politics vs
Antarelite
Pemberian
Nalar Politisi
M
enyikapi skema regulasi yang diberlakukan dalam
Pilkada dan pengelolaan patronase, elite (AFI)
merujuk pada politik ambivalensi. Di satu sisi,
dia harus memerankan diri sebagai seorang yang demokrat
yang taat terhadap regulasi yang berlaku. Namun, di sisi lain
dia dihadapkan pada persaingan yang sengit baik secara
internal dalam parpol maupun eksternal dengan kontestan
lainnya. Persaingan ketat tersebut memacu para kontestan
untuk melakukan apa saja untuk meraih kemenangan. Dalam
konteks ini, AFI niscaya menggunakan dua nalar supaya
menjadi pemenang dalam Pilkada.
A. Perspektif Normatif/Idealis
Sikap AFI terhadap skema regulasi Pilkada cenderung
normatif dan prosedural. Artinya, dia berupaya untuk menaati
aturan main dalam tahapan Pilkada yang ditentukan berda
sarkan undang-undang yang berlaku. Melalui parpol sebagai
pengusung, dia mendaftarkan diri ke KPUD untuk dapat ikut
dalam kontestasi Pilkada. Dia pun memenuhi persyaratan
administrasi dan mengikuti berbagai tahapan yang ditetapkan
oleh KPUD. Hal ini dilakukannya dalam rangka memerankan
diri sebagai seorang yang demokrat agar muncul simpati
B. Perspektif Pragmatis
Dalam konteks nalar politisi, orientasi dan strategi
politik, AFI cenderung pragmatis dan kontekstual. Dia
berorientasi untuk merebut kekuasaan dengan pendekatan
kultural (patronase). Artinya, dia mengikatkan diri dalam
relasi patron-klien dengan tokoh adat, masyarakat, dan agama
agar terjadi ikatan batin. Untuk memelihara relasi tersebut,
dia memberikan berbagai bantuan, baik materi maupun non-
materi. Baginya, pemberian bukanlah suatu tindakan yang
melanggar hukum karena dilakukan dalam konteks membantu
dan mengatasi kemiskinan. Hal ini bisa dimaklumi karena
kebiasaan saling memberi sudah menjadi budaya masyarakat
di Kaltim. Peran seorang bangsawan (elite) dalam masyarakat
adalah mengemban amanah mengentaskan kemiskinan dalam
masyarakat. Kalau seorang bangsawan tidak memberikan
bantuan, hilanglah kharismanya. Masyarakat tidak mau lagi
menjadi kliennya dan mereka akan beralih ke patron lain
(elite) yang mau memberikan bantuan dalam berbagai bentuk.
Orientasi AFI dalam memperebutkan kekuasaan sebagai
kepala daerah (bupati) hanyalah merupakan sasaran politik.
Baginya, yang terpenting adalah mengumpulkan modal
finansial sebanyak-banyaknya untuk merengkuh jabatan
Kaltim-1 (gubernur). Untuk itu, dia memanfaatkan nalar
kebangsawanannya yang mewujud melalui relasi patronase.
Dia juga memanfaatkan birokrasi, regulasi, dan rekayasa
C. Politik Ambivalensi
Penalaran adalah cara berpikir sistematis atau kondisi
mental yang diwujudkan dalam prinsip-prinsip. Pemahaman
penalaran adalah cara berpikir sistematis yang bermuara pada
mental. Sementara itu, dalam konteks AFI, dalam rangka
pemenangan Pilkada baik secara langsung maupun tidak
langsung, dikembangkan dua penalaran, yakni nalar aktivis
dan nalar politisi. Kedua nalar tersebut saling bertentangan
dalam hal orientasi dan strategi politik, tetapi bekerja secara
bersama-sama. Perbedaan kedua penalaran tersebut tampak
dalam menyikapi pemberian materi dan non-materi.
Para aktivis tegas menolak praktik pemberian materi dan
non-meteri yang diidentikkan sebagai praktik money politics
dalam Pemilu/Pilkada. Mereka beranggapan pemberian dalam
bentuk materi dan non-materi identik dengan praktik money
politics. Elite yang melakukan praktik pemberian materi dan
non-materi tidak pantas dipilih oleh rakyat, karena dianggap
telah mengkhianati penegakan nilai-nilai demokrasi. Elite yang
merengkuh kekuasaan dengan tidak jujur dan mengandalkan
pemberian materi dianggap telah melanggar undang-undang
dan patut dijatuhi sanksi pidana. Oleh sebab itu, sikap para
aktivis terhadap elite yang melakukan money politics dalam
Pilkada/Pemilu jelas dan tegas. Elite dianggap melanggar
hukum dan layak dibatalkan pencalonannya sesuai undang-
undang yang berlaku.
Nama :………………………
Umur :………………………
Tanggal Lahir :………………………
Alamat :………………………
Pekerjaan :………………………
Telpon /HP :………………………
1. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan Penelitian ialah mencari data tentang pemanfaatan
budaya pemberian dan money politics dalam Pemenangan
Pilkada Kaltim. Semua data responden akan dijaga keraha
siaannya sesuai dengan prosedur penelitian ilmiah. Penelitian
ini ingin mendeskripsikan tentang mobilisasi jejaring etnisitas
kaitannya dengan politik pencitraan.
3. JEJARING KEKERABATAN
a. Berapa saudara Awang dan Farid? Apakah mereka juga
aktif dalam politik/pemerintahan?
b. Apakah Awang dan Farid masih ada hubungan dengan
keluarga Sultan Kutai dan Banjar?
c. Sejauh yang Anda tahu dari mana asal istri Awang dan
Farid?
d. Apakah AFI memiliki jejaring dengan kesultanan Kutai?
e. Apakah AFI memiliki jejaring dengan komunitas/
bangsawan Banjar?
f. Menurut Anda apakah komunitas Kutai dan Banjar sangat
kuat di Kaltim dan menentukan pemenangan Pilkada
Kaltim? Mengapa?
g. Apakah paguyuban etnis Kutai dan Banjar lebih cenderung
mendukung AFI dibanding pasangan yang lain?
h. Apakah etnis Jawa, Bugis, Makasar, Toraja, dan etnis lain
juga mendukung AFI? Mengapa? Apa nama paguyuban
etnis tersebut?
i. Apakah ada organisasi masyarakat (agama, sosial
dan budaya) yang mendukung AFI? Mengapa mereka
mendukung?
j. Apakah AFI dalam berkampanye juga menggunakan
simbol-simbol agama dan budaya? Dalam bentuk seperti
apa?
k. Menurut Anda mengapa Awang memilih Farid (Banjar)
dan bukannya etnis Jawa yang mayoritas?
6. POLITIK PENCITRAAN
a. Apa yang tema dicitrakan AFI dalam media untuk
menang?
b. Apakah AFI dalam pencitraannya menargetkan kelompok
etnis tertentu?
7. STRATEGI POLITIK
a. Apakah AFI pernah menyerang lawannya dalam kampa
nye? (isu putra daerah)
b. Apa tema utama kampanye AFI?
c. Siapa segmen yang dibidik AFI?
d. Apa keunggulan AFI dibanding dengan kandidat yang
lain?
e. Apakah AFI dapat diterima oleh komunitas Jawa, Bugis,
Banjar, Makasar, dan Toraja?
f. Apa saja program AFI dalam memberdayakan komunitas
etnis?
g. Apakah AFI memberikan bantuan kepada paguyuban/
kelompok etnis dalam meraih simpati masyarakat?
Bentuknya barang atau uang? Apakah efektif mendulang
suara dengan bantuan tersebut?
h. Menurut Anda bagaimana cara kerja tim sukses dalam
memberdayakan jejaring etnisitas untuk memenangkan
Pilkada?
8. MODAL EKONOMI
a. Apakah Anda tahu jumlah kekayaan AFI? Berapa? Dalam
bentuk uang atau aset?
1962
1.
(etnis Kutai/birokrat)
I.A. Moeis
1959
1959
2. (etnis Banjar/
politikus)
14 September 1966
10 Agustus 1962
Moeis Hasan
3.
(etnis Jawa/militer)
Soekadio
1966
1967
4.
(etnis Jawa/militer)
Abdoel Wahab
1967
1978
5. Sjahranie
(etnis Banjar/militer)
1983
6.
(etnis Jawa/militer)
H. Soewandi
1983
1988
7.
(etnis Jawa/militer)
H.M. Ardans, SH
1988
1998
8.
(etnis Banjar/birokrat)
Suwarna A.F.
1998
2006
9.
(etnis Sunda/militer)
8 Desember 2006
3 Juli 2008
Drs. Yurnalis Ngayoh
10.
(etnis Dayak/birokrat)
17 Desember 2008
3 Juli 2008
Tarmizi Abdul Karim
(etnis Aceh/birokrat)
17 Desember 2008
Desember 2013