Anda di halaman 1dari 308

Politik Ambivalensi:

Nalar Elite di Balik


Pemenangan Pilkada

Kata Pengantar:

Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa-Putra, M.A.


Dr. Asep Nurjaman, M.Si.

Dr. Guno Tri Tjahjoko


Politik Ambivalensi: Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada
Hak cipta © Penerbit PolGov, 2015
All rights reserved

Penulis: Dr. Guno Tri Tjahjoko


Editor: Umi Nurun Ni’mah
Pemeriksa Aksara: Cucuk Radosha
Tata Letak Isi: M. Baihaqi Lathif

Cetakan I, Desember 2015


Diterbitkan oleh Penerbit PolGov
Penerbit PolGov khusus menerbitkan buku-buku politik dan pemerintahan,
berada di bawah payung Research Centre of Politics and Government
(PolGov).
Research Centre for Politics and Government (PolGov) adalah lembaga riset
dan publikasi dari Jurusan Politik dan Pemerintahan (JPP) Fisipol UGM.
Saat ini PolGov berfokus pada empat tema kunci sesuai dengan kurikulum
JPP, yaitu: 1) politik lokal dan otonomi daerah, 2) partai politik, pemilu, dan
parlemen, 3) HAM dan demokrasi, 4) reformasi tata kelola pemerintahan
dan pengembangan sistem integritas.

Gedung BA Lt. 4 Fisipol UGM


Jl. Sosio Yustisia, Bulaksumur, Yogyakarta 55281
http://jpp.fisipol.ugm.ac.id
Telp./Fax:
Surel: polgov.ugm@gmail.com

Perpustakaan Nasional RI. Data Katalog dalam Terbitan (KDT)


Dr. Guno Tri Tjahjoko
Politik Ambivalensi: Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada
Penulis: Dr. Guno Tri Tjahjoko; Editor: Umi Nurun Ni’mah
Cet.1 — Yogyakarta: Penerbit PolGov, Desember 2015
lxxii + 236 hlm. 15 x 23 cm
ISBN
1. Sosial /Politik
I. Judul
SEPATAH KATA
PERSPEKTIF BARU TERHADAP
FENOMENA PATRONASE DI INDONESIA

P
uji syukur kepada Tuhan atas terbitnya buku “POLITIK
AMBIVALENSI: Nalar Elite di Balik Pemenangan
Pilkada”, sehingga buku ini ada di tangan pembaca.
Sesungguhnya, buku ini merupakan disertasi penulis yang
telah diedit dengan bahasa populer, agar mudah dipahami
isinya dan bermanfaat bagi masyarakat luas. Naskah disertasi
secara lengkap penulis ajukan pada Program Studi Pascasarjana
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada
(April 2015). Buku yang bermula dari disertasi memiliki
kelebihan dibanding buku yang lain, karena ia berfokus
pada kebaruan. 1 Dalam buku ini, penulis menawarkan cara
pandang baru berkaitan dengan penalaran elite di balik
pemenangan Pilkada. Penulis mengungkap penalaran makna
yang tersembunyi di balik strategi ofensif dan defensif yang
diterapkan oleh elite dalam kontestasi Pilkada.
Penulisan disertasi ini memerlukan waktu tiga tahun,
sedangkan seluruh proses studi dilakukan dengan durasi
waktu sembilan tahun. Lamanya studi dan riset disebabkan

1 Kata “kebaruan” di sini mengacu pada sebuah pengertian dalam dunia akademis, yang
dalam bahasa Inggris umumnya diistilahkan dengan novelty.

Politik Ambivalensi [ iii ]


banyak faktor. Di antaranya, kesulitan penulis menemukan
kebaruan dalam ilmu politik (patronase), budaya, dan bahasa
serta minimnya literatur tentang nalar elite di Indonesia. Proses
riset buku ini dilakukan di Kalimantan Timur (Agustus 2009).
Untuk mengetahui bekerjanya nalar elite lokal, penulis
melacak budaya Kutai yang merupakan salah satu etnis
berpe­ngaruh pada era Orde Lama dan Orde Baru. Dalam
masa pencarian data tentang nalar elite lokal tersebut,
penulis menemukan adanya tradisi erau. Pada mulanya
erau merupakan tradisi untuk penobatan raja Kutai, tetapi
ketika Kesultanan Kutai menyatakan diri bergabung dengan
Republik Indonesia, statusnya sebagai daerah kesultanan
secara bertahap melebur hilang dan digantikan kabupaten.
Peleburan Kesultanan Kutai menjadi bagian dari Republik
Indonesia memerlukan pergulatan panjang; terjadi konflik
horisontal antara front pendukung Kutai dan front Nasional
yang memakan korban masyarakat di Sangatta. Intinya,
kalangan elite keberatan apabila Kesultanan Kutai bergabung
ke Republik Indonesia, karena hal ini berdampak hilangnya
royalti yang diterima dari Belanda setiap bulan atas sumber
daya alam di Kalimantan Timur.
Ketika rezim Orde Baru berkuasa, tradisi erau dibang­
kitkan kembali. Namun, fungsinya berubah menjadi festival
budaya karena tidak ada lagi penobatan raja Kutai. Festival
erau diselenggarakan setiap tahun bersamaan dengan hari
jadi Kabupaten Kutai Kartanegara (Tenggarong) dan dibiayai
melalui APBD. Adanya festival erau tersebut menjadi pintu
masuk bagi penulis untuk melacak nalar elite lokal, khususnya
dalam transformasi nilai-nilai budaya ke ranah politik.
Salah satu acara penting dalam erau ialah pemberian gelar
bangsawan kepada tokoh masyarakat, politik, dan agama yang
berjasa terhadap Kesultanan Kutai. Di antara mereka, terdapat

[ iv ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


elite politik lokal dan nasional. Pemberian gelar bangsawan
tersebut merupakan investasi politik yang kelak ada imbal
baliknya, khususnya bagi kepentingan elite Kutai. Imbal
balik ini sangat sulit mereka hindarkan karena dalam proses
penerimaan gelar bangsawan Kutai, mereka disumpah untuk
setia dan mendukung eksistensi Kesultanan Kutai.
Selain ritual pemberian gelar bangsawan, dalam tradisi
erau juga dilakukan persembahan hasil panenan kepada raja;
masyarakat dari pedalaman dan tokoh masyarakat (abdi
dalem) membawa hasil bumi untuk dipersembahkan kepada
raja sebagai ungkapan syukur atas panen raya. Sebagai respons
raja terhadap persembahan tersebut, dia menerima dan
mengundang mereka dalam acara jamuan makan bersama.
Memperhatikan tradisi erau dengan adanya budaya
pemberian-penerimaan tersebut, penulis mendapatkan
pencerahan untuk melacak nalar elite lokal melalui relasi
patronase. Dalam hal ini, yang bertindak sebagai patron ialah
elite Kutai, dan sebagai klien ialah elite politik yang menerima
gelar bangsawan. Gelar tersebut diperlukan oleh elite lokal
dalam rangka mendapatkan legitimasi masyarakat. Dengan
demikian, elite lokal niscaya memahami dan mempraktikkan
budaya pemberian-penerimaan sebagai suatu anugerah raja.
Dengan status bangsawan, dia memiliki modal lebih untuk
memengaruhi dan mengikat relasi terhadap tokoh adat, agama,
dan masyarakat yang masih loyal terhadap Kesultanan Kutai.
Di sisi lain, sebagai bangsawan, dia harus banyak memberi
kepada masyarakat, sebab mereka berpandangan kharisma
kebangsawanan ditentukan oleh besar kecilnya pemberian,
baik barang maupun jasa. Semakin besar pemberian, ikatan
patronase yang dirajut dalam masyarakat semakin kuat.
Nalar pemberian-penerimaan sebagai kharisma inilah yang

Politik Ambivalensi [ v ]
penulis maknai sebagai bentuk politik kontekstualisasi. Penulis
menyebut nalar seperti ini dengan istilah nalar politisi.
Namun, menggunakan nalar politisi yang kontekstual
saja tidaklah cukup bagi elite untuk memenangkan kontestasi
dalam Pilkada. Elite dihadapkan dengan regulasi dalam
kontestasi. Alhasil, dia dituntut untuk mencitrakan diri
sebagai figur yang demokrat, taat hukum, anti korupsi, tidak
melanggar HAM, dan mampu mewujudkan kesejahteraan
masyarakat. Oleh karena itu, dia niscaya menginstrumentasi
nalar demokratis/aktivis agar diterima oleh masyarakat
perkotaan. Dia dihadapkan pada dua domain yang simultan
sehingga tak pelak lagi, dia menginstrumentasi dua nalar
secara terpisah atau simultan.
Buku ini menawarkan sebuah cara pandang baru tentang
patronase dalam konteks Indonesia. Cara pandang ini bisa
diterapkan di seluruh daerah Indonesia yang berlatar belakang
monarkhi ataupun non-monarkhi. Selain itu, cara pandang ini
juga relevan untuk diterapkan di negara lain. Hal itu penulis
simpulkan setelah mengadakan studi banding terhadap hasil
riset patronase di Yunani, Afrika, Italia, Amerika Latin, India,
Filipina, Vietnam, Thailand, dan Malaysia, dengan tujuan untuk
menguji apakah cara pandang baru tentang patronase itu dapat
diterapkan di luar Indonesia. Inilah inti temuan baru yang
penulis tawarkan dalam studi ini. Temuan ini menunjukkan
bahwa teori patronase tidak hanya berlaku dalam masyarakat
agraris seperti yang dipersepsi Scott (1972). Hasil studi ini
memberikan cara pandang baru yang mampu mengakomodasi
penerapan teori patronase baik dalam masyarakat agraris,
urban, dan metropolitan.
Temuan baru dalam buku ini tidak bisa terlepas dari
masukan dan bimbingan Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa
Putra, M.A., M.Phil. dan Prof. Dr. Purwo Santoso, M.A.

[ vi ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


Selain itu, penulis juga mendapatkan pencerahan ide dan
pendalaman materi dari Prof. Dr. Pratikno, M.Soc.Sc. dan
Dr. Aris Mundayat, M.A. Pendalaman teori dan kritik tajam
juga diperoleh dari Prof. Dr. Tadjuddin Noer Effendi, M.P.A.;
Prof. Dr. Buhan Djabir Magenda, M.A.; Dr. Suharko, M.Si.;
dan Dr. Erwan Agus Purwanto, M.Si. Kepada mereka, penulis
ucapkan terima kasih yang tak terhingga.
Penulis juga harus akui bahwa tanpa dukungan keluarga,
buku ini tidak akan bisa terselesaikan. Oleh karena itu, penulis
ucapkan terima kasih kepada isteri penulis, Oneng Wardani,
yang setia menemani dan sabar menunggu; juga, kepada kedua
anak penulis, Ebedia Hilda Am dan Justitia Millevania, yang
senantiasa menjadi penyemangat, semoga mereka menjadi
lebih bermakna bagi orang lain. Sudah sepantasnya hasil
pencapaian tertinggi studi ini dipersembahkan kepada Tuhan,
isteri penulis, dan kedua anaknya.
Selain dukungan para pakar dan keluarga tersebut, penulis
juga dibantu oleh para dosen dan peneliti. Oleh karena itu,
penulis berterima kasih kepada Dr. Nanang Mugasejati, M.A.
yang membantu penulis dalam proses diskusi kelompok
dan fasilitasi terhadap para pakar, juga kepada rekan-rekan
diskusi kelompok S3 yang mempertajam pikiran. Penulis juga
berterima kasih kapada Dr. Haryanto, M.A.; Cornelis Lay,
M.A.; Ratnawati, M.A.; Dr. Mada Sukmajati, M.A.; Dr. Asep
Nurjaman, M.A.; Bambang, M.A.; Gus Tommy; mas Hanif;
Utan Parlindungan; dan Joash Tapiheru, M.A.
Tidak lupa penulis juga mengucapkan terima kasih kepada
Dr. Awang Faroek Ishak, M.Si. yang bersedia memberikan
data dan wawancara. Penulis juga mengucapkan terima
kasih kepada Dr. Rudy Koesnendar selaku Ketua KAGAMA
Kaltim yang membantu dalam proses penelitian di lapangan.
Demikian juga penulis berterima kasih kepada Muhammad

Politik Ambivalensi [ vii ]


Arifin, M.Hum. yang membantu dalam pengumpulan data.
Selain itu, banyak kolega penulis di dunia virtual dan para
mahasiswa Kaltim yang tidak bisa disebutkan satu per satu,
kiranya kebaikan mereka dibalas oleh Tuhan yang Maha Baik.
Untuk mengumpulkan data disertasi ini penulis banyak
dibantu oleh staf perpustakaan dan karyawan JPP-Fisipol
UGM. Oleh karena itu, penulis ucapkan terima kasih kepada
bu Ambar, bu Andri, mas Ali, mas Alwan, mbak Ana, mas
Rangga, lik Yadi (alm.), lik Megeng dan staf lain yang tidak
dapat disebutkan satu per satu. Kiranya, kebaikan mereka
mendapatkan balasan yang setimpal dari Tuhan yang Maha
Baik.
Penulis juga memberikan apresiasi kepada kepada Prof.
Gerrit Singgih, Ph.D. dan Pdt. Djaka Soetapa, Th.D (alm.) yang
merekomendasikan penulis sebagai mahasiswa S3, Program
Studi Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada. Penulis juga
memberikan apresiasi kepada Prof. Dr. Warsito Utomo, M.A.
yang menyemangati dan memotivasi untuk menyelesaikan
riset ini. Apresiasi juga penulis berikan kepada Sigit Dwi
Kusrahmadi, M.Hum., Pdt. Tommy Dumgair, M.Th.; Julio
Kristano Andrea Putra, M.Div.; Soeseno Adi; Iranta Bona
Sinaga; Edy Santoso; Yussac Djoko Utomo; Agus Dwi
Haryanto; dan Dr. Kharisma Nugroho, M.Si; karena doa dan
bantuan finansialnya. Penulis memberikan apresiasi kepada
Pdt. Dr. Johanis Siahaya, M.Th. yang memberikan surat
keterangan yang dibutuhkan sebagai syarat masuk Universitas
Gadjah Mada. Selain itu, penulis juga mengucapkan terima
kasih kepada Pdt. Cornelius Sianturi, M.Div.; Dr. Sarwono,
M.Pd. dan Paguyuban Warga Kalasan GKJ Tanjungtirto yang
mendoakan secara kontinu proses penyelesaian riset ini.
Akhirnya, penulis berterima kasih kepada Penerbit
PolGov, Jurusan Politik dan Pemerintahan, Fisipol UGM yang

[ viii ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


telah menerbitkan buku ini. Tidak lupa apresiasi terhadap
rekan kerja penulis di KPU DIY: Hamdan Kurniawan, S.I.P.,
M.A.; Nur Huri Mustofa, S.Ag., M.S.I.; Drs. Farid Bambang
Siswantoro; dan Siti Ghoniyatun, S.H. yang memberi semangat
dan motivasi dalam menyelesaikan penulisan buku ini.

“Sebab segala sesuatu adalah dari Tuhan, dan oleh


Tuhan, dan kepada Tuhan: Bagi Dialah kemuliaan
sampai selama-lamanya! “ (Roma 11:36)

Kaki Merapi, Desember 2015

Dr. Guno Tri Tjahjoko, M.A.

Politik Ambivalensi [ ix ]
KATA PENGANTAR
DARI PRAKTIK POLITIK
KE NALAR POLITIK

Oleh:
Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa-Putra, M.A.
Antropologi Budaya
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada

Pendahuluan

B
uku yang berasal dari disertasi yang dipertahankan
penulisnya, Guno Tri Tjahjoko (selanjutnya ditulis
Dr. Guno), di depan tim penguji program Doktor
Ilmu Politik, UGM, ini pada dasarnya menampilkan sebuah
kajian mengenai praktik-praktik politik yang terlihat dalam
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di sebuah provinsi di
Indonesia, dan nalar politik yang ada di balik praktik politik
tersebut. Kasusnya diambil dari Provinsi Kalimantan Timur—
salah satu provinsi yang kaya dengan sumber daya alam
minyak, gas, dan batubara.

[ x ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


Sebagaimana provinsi-provinsi lainnya di Indonesia,
daerah Kalimantan Timur telah mengalami perubahan
yang sangat mencolok setelah era pemerintahan Orde Baru.
Kebijakan dan proses desentralisasi di era Orde Reformasi
telah memungkinkan pemerintah daerah memperoleh jatah
dana pembangunan daerah yang sangat besar, dan kemudian
mendorong pembangunan fisik dan infrastruktur di daerah-
daerah yang lebih terpencil di provinsi tersebut. Meskipun
demikian, pembangunan fisik tersebut bukanlah satu-satunya
dampak yang terpenting dari kebijakan desentralisasi. Tidak
kalah pentingnya adalah perubahan sistem politik dan
praktik berpolitik di daerah-daerah, yang kemudian sangat
menentukan arah pembangunan sarana dan prasarana.
Sebagaimana kita ketahui, di Indonesia kini pengelolaan
sumber daya alam dan juga sumber daya manusia, sebagian
berada di tangan pemerintah pusat dan sebagian lagi berada di
tangan pemerintah daerah, yang dalam hal ini bisa pemerintah
daerah tingkat provinsi, bisa pula tingkat kabupaten. Kebi­
jakan mana yang lebih menentukan arah perkembangan di
sebuah daerah tampaknya tergantung pada tingkat keeratan
hubungan antara pemerintah daerah kabupaten (Pemkab)
dengan pemerintah tingkat provinsi (Pemprov). Daerah-
daerah dengan gubernur yang memiliki popularitas tinggi,
jaringan sosial luas, dan menerapkan kebijakan yang tepat,
akan merasakan pengaruh Pemprov yang kuat di tingkat
kabupaten hingga tingkat pedesaan. Sedangkan daerah dengan
gubernur yang memiliki jaringan sosial kurang luas dan tingkat
popularitas rendah, tidak akan banyak merasakan dampak
dari berbagai kebijakan Pemprov. Dalam situasi ini, pengaruh
kebijakan Pemkab biasanya akan terasa lebih kuat daripada
pengaruh Pemprov. Di Kalimantan Timur—sebagaimana
terlihat dalam buku ini, situasi yang pertama rupanya yang

Politik Ambivalensi [ xi ]
lebih dirasakan. Meskipun hal ini bisa juga lebih disebabkan
oleh pemilihan unit analisis dalam kajian ini, yaitu pemerintah
tingkat provinsi, daripada gambar realitas yang sebenarnya.
Jika saja unit analisis kajian di sini bukan politik tingkat
provinsi, sangat mungkin pengaruh pemerintah kabupaten
akan terlihat lebih kuat daripada pengaruh pemerintahan
tingkat provinsi.
Membaca buku ini memerlukan kesabaran dan ketelitian
sendiri karena datanya yang rinci. Sebagai ko-promotor
yang kemudian harus menggantikan kedudukan promotor,
saya turut merasakan kesulitan yang dihadapi oleh penulis
untuk menyusun dan menyajikan berbagai data politik dari
lapangan, yang begitu banyak dan rumit. Pada awalnya, penulis
memusatkan perhatiannya pada peristiwa pilkada dan hasilnya
di Kalimantan Timur, yang menurutnya memperlihatkan
gejala menarik, karena keterkaitannya dengan berbagai hal
yang tidak selalu terlihat bersifat “politis”. Salah satunya adalah
sebuah ritual yang dianggap penting oleh sebagian masyarakat
di Kalimantan Timur, terutama oleh penduduk “aslinya”, yaitu
erau.
Erau adalah sebuah ritual penobatan raja yang berasal dari
masa Kesultanan Kutai di masa lampau, yang pergelarannya
selalu disaksikan oleh ribuan penduduk Kalimantan Timur. Di
masa kini, erau tidak semakin surut, tetapi justru semakin kuat
posisinya dalam kehidupan masyarakat Kalimantan Timur
karena dianggap telah pantas menjadi salah satu ikon budaya
penting yang mereka miliki. Ritual ini telah menjadi salah satu
elemen dari perangkat simbol yang merepresentasikan jati diri
masyarakat Kalimantan Timur. Oleh karena penyelenggaraan
ritual ini selalu terkait dengan Kesultanan Kutai, maka posisi
keluarga kerajaan juga semakin menguat dalam alam imajinasi
masyarakat Kalimantan Timur.

[ xii ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


Keterkaitan sebuah fenomena keagamaan (budaya)—
seperti ritual—dengan aktivitas dan kemenangan politik sama
sekali bukan hal yang baru dalam kajian-kajian antropologi
politik dalam skala global. Berbagai penelitian antropologi
politik sangat jelas memperlihatkan keterkaitan “agama” dan
“politik” tersebut (lihat, misalnya, Blok, 1969b; Boissevain,
1977; Errington, 1974; Geertz, 1980; Gluckman, 1965; Turner,
1968; Worsley, 1968). Namun, tidak demikian tampaknya
dengan kajian-kajian politik maupun antropologi politik di
Indonesia. Sangat jarang penelitian mengenai suatu peristiwa
keagamaan (budaya) dihubungkan dengan aktivitas politik.
Demikian juga sebaliknya. Sangat sedikit penelitian mengenai
suatu peristiwa politik yang dihubungkan dengan peristiwa
keagamaan (budaya). Oleh karena itu, kajian Dr. Guno ini
merupakan sebuah kajian fenomena politik yang belum begitu
lazim di Indonesia, baik pada obyek material atau kasusnya,
maupun pada perspektifnya.
Dalam proses pembimbingan penulisan disertasi Dr.
Guno, saya banyak mendengarkan kisah-kisahnya tentang
para politisi dan aktivitas mereka untuk pemenangan pilkada.
Data yang dimilikinya sangat banyak dan rinci. Di satu sisi, hal
ini merupakan sebuah keuntungan atau kelebihan karena Dr.
Guno tidak perlu terlalu bersusah-payah mengumpulkan data
lagi, tetapi di sisi lain hal itu menimbulkan kesulitan dalam
menga­nalisisnya. Tidak mudah merangkum keseluruhan
data dalam sebuah kerangka pemikiran yang utuh, yang akan
membuat orang dapat memahami sistem dan aktivitas politik
di Kalimantan Timur. Pertanyaan yang muncul kemudian
adalah: paradigma apa yang sebaiknya digunakan untuk
menga­na­lisis data fenomena perpolitikan di Kalimantan
Timur dan memahami berbagai praktik politik sebagaimana
yang telah disaksikan dan dialami oleh Dr. Guno?

Politik Ambivalensi [ xiii ]


Setelah melalui proses diskusi dan perenungan yang lama,
Dr. Guno akhirnya dapat menemukan sebuah paradigma yang
tepat untuk memahami, menjelaskan, dan menampilkan
fenomena perpolitikan tersebut, yaitu paradigma aktor dengan
fokus pada hubungan patronase (patronage) atau hubungan
patron-klien (patron-client relationship). Hubungan patronase
sebagai sebuah relasi sosial di antara dua individu yang berbasis
pada proses pertukaran di antara keduanya merupakan sebuah
gejala sosial yang banyak kita temukan di berbagai tempat di
Indonesia, terutama di kalangan masyarakat atau suku bangsa
dengan corak sistem kekerabatan tertentu, yaitu bilateral,
misalnya masyarakat Jawa, Bugis, Makassar, Melayu, Sunda,
dan biasanya sangat terkait dengan aktivitas perpolitikan.
Anehnya, meskipun gejala ini cukup umum di Indonesia,
sangat sedikit ilmuwan sosial dan politik yang tertarik untuk
meneliti gejala ini secara serius. Ketika saya melakukan
penelitian mengenai fenomena sosial ini di akhir 1970an, tidak
ada tulisan dari ilmuwan sosial Indonesia yang membahas
gejala tersebut. Sementara itu, wacana mengenai gejala tersebut
merupakan salah satu wacana yang paling populer di kalangan
ahli antropologi dan ilmuwan politik di Barat. Oleh karena itu,
studi Dr. Guno mengenai politik patronase di sini dapat dilihat
sebagai upaya untuk menghentikan kejanggalan tersebut.
Berkenaan dengan studi mengenai patronase tersebut, buku
ini menurut hemat saya telah memberikan dua sumbangan
penting. Pertama, mencoba menunjukkan perbedaan gejala
patronase dengan sebuah gejala lain yang mirip dan dipandang
negatif, yang hampir selalu muncul dalam setiap pilkada di
Indonesia, yaitu politik uang. Kedua, mencoba menguak nalar
di balik proses pilkada tersebut, yang memanfaatkan relasi
patronase sebagai salah satu siasat utama untuk memenangkan
kontestasi politik.

[ xiv ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


Patron dan Patronase
Istilah patronase berasal dari kata Inggris ‘patronage’, yang
merupakan bentukan lebih lanjut dari kata ‘patron’. Kamus
Oxford1 menyebutkan bahwa kata ‘patron’ berasal dari bahasa
Latin ‘patronus’ yang berarti 'protector of clients’, ‘advocate’,
‘defender’; (a) ‘one who stands to another or others in relations
analogous to those of a father; a lord or master; a protector;
(b) ‘a person of distinction who protected a client in return
for certain services; (c) ‘one who lends his influential support
to advance the interests of a person, cause, art, etc.’. Dengan
demikian, patronage diartikan sebagai a) ‘the office or action of
a patron’; 1) the right of presentation to eccl. benefice; advowson;
2) guardianship, tutelary care as of a divinity or saint; 3) the
action of a patron in supporting, encouraging,, or countenancing
a person, institution, a work of art etc.’; b) protection, defence,
protectorship’.
Dalam bahasa Inggris, istilah patron terkait dengan
istilah lain sebagai pasangannya, yaitu ‘client’, yang maknanya
antara lain adalah ‘one who is at another’s call’. Pada masa
Romawi Kuno, client berarti ‘a plebeian under the protection
of a patrician, in this relation called a patron (patronus)’. Client
juga berarti ‘one who is under the protection or patronage of
another'; 'a dependant’. Dari sini terbentuk kata ‘clientage’
yang maknanya ‘a body of clients'; 'the relation of client to
patron’; kata ‘clientship’ yang bermakna ‘state or relation of
a client’; kata ‘clientele’ yang artinya adalah 1) ‘the relation or
status of a client’; 'clientship'; 'patronage’; 2) ‘a body of clients
of dependants'; 'a body of adhe-rents'; 'a following’.

1 The Shorter Oxford English Dictionary On Historical Principles, 1973.

Politik Ambivalensi [ xv ]
Dari makna patron dan client di atas, terlihat bahwa
patronage tidak berbeda makna denotatif dengan clientage atau
clientelism, tetapi memiliki perbedaan makna konotatif yang
bermuara pada penekanan dan pengambilan sudut pandang.
Dalam analisis politik, fenomena patronase juga sering disebut
dengan istilah-istilah lain yang maknanya kurang lebih sama,
misalnya hubungan patron-klien (patron-client relationship),
clientelism, dan clientage. Ketika seorang peneliti menggunakan
istilah ‘hubungan patron-klien’, apa yang ingin ditekankan
di sini adalah unsur timbal balik antara seorang patron
dengan kliennya, sebagaimana yang dipersepsi oleh James
C.Scott (1972a). Jika peneliti menggunakan istilah patronase
(patronage), maka dia mengambil sudut pandang patron dan
ingin menekankan aspek pemberian yang berasal dari patron,
sebagaimana yang terlihat pada pembahasan Ernest Gellner
(1977) . Jika peneliti menggunakan istilah clientelism, clientship
atau clientage, maka dia sebenarnya mengambil sudut pandang
klien (client) sebagai titik tolaknya, sebagaimana yang terlihat
pada kajian Lucy Mair (1969) dan Steffen W. Schmidt dkk.
(1977).
Sejarah makna istilah patronase dan clientship menun­
jukkan bahwa fenomena tersebut sudah lama dikenal dalam
kehidupan manusia, dan merupakan bagian dari fenomena
perpolitikan. Meskipun demikian, kepopuleran patronase
sebagai sebuah perangkat konsep analitis dalam ilmu
politik ternyata terjadi belum begitu lama. Kajian-kajian
mengenai patronase dalam ilmu sosial diawali dari beberapa
etnografi yang ditulis oleh beberapa ahli antropologi yang
melakukan penelitian di era 1960-1970an mengenai hubungan
antarindividu yang berpola, dan tidak berbasis pada sistem
kekerabatan di kawasan Amerika Selatan (Foster, 1961;
1963; Heath, 1973), Eropa Selatan, dan Laut Tengah (Blok,

[ xvi ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


1969b; Boissevain, 1964; 1966b; Campbell, 1964; Graziano,
1973; Kenny, 1960; Pitt-Rivers, 1961; Weingrod, 1968),
Afrika (Buxton, 1967; Cohen, 1966; Lemarchand, 1971;
Mair, 1969), Asia Selatan (Barth, 1959), dan Asia Tenggara
(Hollnsteiner, 1961; Scott, 1972a; 1972b). Konsep patronase
memungkinkan mereka memahami peristiwa-peristiwa politik
dalam masyarakat tersebut. Dalam perkembangannya lebih
lanjut konsep ini dianggap strategis untuk memahami dan
mendeskripsikan hubungan-hubungan di antara kelompok,
organisasi, dan bahkan juga negara (Eisenstadt dan Roniger,
1980; Kaufmann, 1974; Landé, 1977a; 1977b; Powell, 1970)
sehingga patronase kini tidak hanya merupakan sebuah konsep
yang mengacu pada pola-pola perilaku tertentu pada tataran
individual, tetapi juga mengacu pada pola hubungan yang
ada di antara dua entitas sosial politik pada tingkat nasional
(Shirley, 1972), maupun internasional (Gonzalez, 1972).
Konsep patron-klien memang telah mengalami beberapa
tahap metamorfose. Berawal dari realitas sehari-hari yang
menarik perhatian para ahli antropologi, pola interaksi antara
sang patron dan kliennya kemudian diangkat menjadi fakta
etnografi dan akhirnya menjadi model untuk memahami
realitas sosial yang lebih kompleks. Nama yang digunakan
untuk menyebut gejala sosial ini pun bervariasi. Ada istilah
hubungan patron-klien; ada patronase; ada clientelism; ada
pula clientage. Kini, wacana tentang hubungan patron-klien
itu telah menjadi sebuah fenomena sosial tersendiri dalam
jagat ilmu sosial dan politik.
Popularitas model patron-klien dalam wacana ilmu politik
semakin meningkat ketika sejumlah ahli memanfaatkan model
tersebut untuk memahami berbagai gejala dan peristiwa
politik yang sebelumnya sulit dipahami dengan menggunakan
model-model yang biasa digunakan dalam ilmu politik. Hal

Politik Ambivalensi [ xvii ]


ini terjadi ketika mereka meneliti fenomena politik di negara-
negara berkembang, yang menampilkan partai politik dan
birokrasi pemerintahan sebagai gejala-gejala sosial baru
dalam masyarakat. Di negara-negara tersebut partai politik
dan birokrasi memang sudah ada, akan tetapi kinerjanya
ternyata tidak sepenuhnya sama dengan di negara-negara
Barat, sebagaimana yang biasa dikenal dan diteliti oleh para
ilmuwan politik Barat. Hal ini membuat berbagai “teori” ilmu
politik yang selama ini manjur untuk menjelaskan gejala dan
peristiwa politik di Barat, ternyata mengalami kemandulan
ketika diterapkan di negara-negara berkembang atau negara-
negara yang baru merdeka di tahun 1950an (lihat Scott, 1972a;
Landé, 1977b).
Indonesia termasuk di antara salah satu negara yang
sedang berkembang, dan fenomena patron-klien lazim
ditemui dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, terutama
pada masyarakat dengan sistem kekerabatan bilateral (cf.
Landé, 1977b). Meskipun demikian, kajian mengenai
hubungan patron-klien masih belum cukup populer di
kalangan ilmuwan sosial, politik, dan budaya di Indonesia,
bahkan hingga saat ini. Ini terlihat dari masih sedikitnya
tulisan-tulisan mengenai hubungan semacam itu dalam
jurnal-jurnal ilmu sosial-budaya di Indonesia. Disertasi dan
tesis ilmu-ilmu sosial-politik Indonesia yang membahas gejala
tersebut juga masih belum banyak. Memang, ada beberapa
tulisan tentang fenomena ini, tetapi masih kurang mendalam
dan kurang teoretis (lihat Jackson, 1980; Suparlan, 1978).
Juga ada sebuah buku kecil berwarna kuning—sebuah buku
terjemahan—yang membicarakan gejala tersebut. Buku yang
dalam versi terjemahan berjudul Tuan, Hamba dan Politisi itu
ditulis oleh K. Legg. Namun, itu semua masih terlalu sedikit

[ xviii ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


jika dibandingkan dengan maraknya gejala itu sendiri dalam
masyarakat Indonesia.

Kajian Patronase: Dari Fungsional-Struktural ke Actor


Oriented2
Sebagai suatu gejala sosial-budaya, hubungan patron-
klien selalu dapat dilihat dari berbagai macam perspektif atau
paradigma. Ada beberapa perspektif yang telah digunakan
para ilmuwan untuk memahami gejala ini, tetapi di sini
saya hanya akan mengemukakan dua saja sebagai contoh,
yakni paradigma fungsionalisme-struktural dan paradigma
pelaku (actor-oriented approach). Kebetulan, dua paradigma
ini cukup berseberangan karena paradigma actor-oriented
muncul sebagai reaksi terhadap kelemahan-kelemahan
dari paradigma struktural-fungsional (lihat Vincent, 1986).
Meskipun demikian, keduanya pada dasarnya bersifat saling
melengkapi.

1. Kajian Fungsional-Struktural
Kajian fungsional-struktural atas hubungan patron-klien
terlihat pada upaya untuk mengungkapkan kondisi-kondisi
yang mendukung kehadiran gejala patron-klien dalam suatu
masyarakat, misalnya yang dilakukan oleh Scott (1972a) di
Asia Tenggara dan Cohen (1966) di Bornu, Afrika. Mengapa
kajian mereka dikatakan fungsional-struktural? Padahal, para
penulisnya tidak mengatakan secara eksplisit bahwa mereka
menggunakan pendekatan tersebut.
Salah satu kunci dalam paradigma fungsional-struktural
adalah konsep fungsi. Penerapan konsep ini dalam kajian gejala

2 Uraian di bagian ini sebagian besar diambil dari tulisan saya “Kajian Patron-Klien
dan Paradigma Ilmu-ilmu Sosial di Indonesia: Sebuah Refleksi” dalam Patron-Klien di
Sulawesi Selatan: Sebuah Kajian Fungsional-Struktural (2007).

Politik Ambivalensi [ xix ]


sosial-budaya didasarkan pada analogi atau model organisme.
Di sini, peneliti beranggapan bahwa masyarakat itu seperti
organisme atau mahluk hidup. Suatu masyarakat adalah
sebuah tubuh sosial (social body). Sebagaimana dikatakan oleh
Émile Durkheim (1938), ahli sosiologi dari Perancis, dalam
suatu masyarakat terdapat berbagai macam institusi sosial.
Institusi-institusi ini, seperti halnya bagian-bagian tubuh suatu
mahluk hidup, memiliki fungsinya masing-masing. Fungsi
institusi sosial ini adalah kesesuaiannya (correspondence)
dengan “kebutuhan” (needs) organisme sosial. Di sini muncul
konsep baru yang penting, yakni “kebutuhan”. Sayangnya,
konsep ini menimbulkan masalah ketika digunakan dalam
analisis sosial, karena membuat penalaran fungsionalisme
menjadi terlihat teleologis.
Untuk menghindari kritik tersebut, A. R. Radcliffe-Brown,
seorang ahli antropologi Inggris, mencoba mengembangkan
konsep lain. Konsep “kebutuhan” digantinya dengan conditions
of existence (kondisi-kondisi keberadaan), yaitu kondisi-
kondisi yang diperlukan untuk adanya atau eksistensinya
sesuatu. Radcliffe-Brown (1952: 178) berpendapat bahwa
menggunakan konsep tersebut berarti pula menerima
anggapan (assumption) bahwa untuk adanya masyarakat
manusia atau suatu gejala sosial-budaya tertentu diperlukan
pula adanya kondisi-kondisi tertentu (necessary conditions)
yang mendukungnya, seperti halnya kehidupan pada mahluk
hidup lainnya.
Konsep necessary conditions inilah yang secara implisit
ada di balik sejumlah kajian mengenai hubungan patron-klien
yang dilakukan oleh para ahli antropologi dan ilmuwan politik.
Dalam hal ini masing-masing menemukan kondisi berbeda,
yang mendukung kehadiran hubungan tersebut. Penelitian
Campbell di kalangan orang Sarakatsan (1964) di Yunani

[ xx ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


misalnya, menemukan bahwa hubungan patron-klien antara
kepala desa dan pemilik ternak di situ didukung oleh kondisi
kelangkaan sumber daya alam berupa tanah penggembalaan
yang baik, serta besarnya kekuasaan yang diberikan kepada
kepala desa.
Hasil penelitian Cohen di kalangan orang Bornu di Afrika
(1966) memperlihatkan kondisi yang berbeda lagi. Di sini,
ketidakamanan dan kelangkaan akan alat tukar berupa uang
telah menjadi faktor pendukung utama hubungan-hubungan
patron-klien. Situasi yang tidak aman telah mendorong banyak
orang mencari orang-orang kuat yang dapat melindungi mereka
dari ketidakamanan berupa perampokan, penganiayaan, dan
peperangan, sedang langkanya alat tukar uang telah membuat
perdagangan ataupun transaksi lainnya dilakukan dengan
tukar-menukar barang langsung yang ditukar dengan tenaga.
Kondisi-kondisi inilah yang membuat hubungan patron-klien
menjadi hal yang sangat umum di Afrika.
Di Italia, hasil penelitian Boissevain (1966b) menunjukkan
bahwa pendukung penting hubungan patron-klien adalah
pandangan keagamaan. Agama Katholik telah memberikan
landasan ideologis bagi berlangsungnya hubungan patron-
klien di kalangan orang Sicilia. Dalam agama Katholik, dikenal
adanya santo-santo yang menjadi perantara dalam hubungan
manusia dengan Tuhan. Para santo ini juga menjadi patron
dalam kehidupan sehari-hari. Patronase tokoh-tokoh suci ini
telah menjadi model bagi hubungan antara individu yang lebih
lemah atau rendah status sosial-ekonominya dengan mereka
yang lebih kuat dan lebih tinggi status sosial-ekonominya.
Hal sama juga terlihat pada hasil penelitian Foster (1963) di
kalangan orang Indian Tzintzuntzan, yang dilakukan beberapa
tahun sebelum penelitian Boissevain.

Politik Ambivalensi [ xxi ]


Kalau para peneliti di atas tidak secara eksplisit menyatakan
bahwa mereka bertujuan mengungkap kondisi-kondisi pendu­
kung hubungan patron-klien, tidak demikian halnya dengan
James C. Scott yang melakukan penelitian di Asia Tenggara.
Dengan tegas Scott mengatakan bahwa hubungan patron-klien
didukung oleh kondisi-kondisi tertentu dalam masyarakat
(1972a). Kondisi-kondisi inilah yang dicoba diungkapkannya.
Hal ini menunjukkan bahwa Scott dengan sangat sadar
menggu­nakan pendekatan fungsionalisme-struktural untuk
memahami gejala patronase di Asia Tenggara.
Pendekatan fungsional-struktural ini pula yang saya
gunakan dalam kajian mengenai hubungan patron-klien di
Sulawesi Selatan, karena saya ingin menguji kebenaran penda­
pat Scott mengenai kondisi-kondisi pendukung hubu­ngan
patron-klien di Asia Tenggara. Pendapat Scott memang agak
saya ragukan karena data-datanya hanya sedikit yang berasal
dari Indonesia, dan tidak berasal dari kajian-kajian yang
khusus mengenai hubungan patron-klien. Saya menggunakan
data dari Sulawesi Selatan, karena gejala patron-klien di sini
telah diungkapkan oleh sejumlah peneliti.
Meskipun kajian fungsional-struktural telah memberikan
sumbangan penting terhadap pemahaman para ilmuwan sosial
atas fenomena patronase, akan tetapi kajian ini tidak dapat
mengungkapkan dinamika dalam hubungan antara patron dan
klien, yang tidak selamanya harmonis. Bagaimana patron dan
klien berusaha memanfaatkan relasi di antara mereka untuk
mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya, bagaimana
hubungan ini kadang-kadang sangat erat dan kadang-kadang
melemah, bagaimana hubungan ini dimanfaatkan untuk
mencapai tujuan politis tertentu, adalah hal-hal yang umum­
nya tidak bisa diketahui jika peneliti menggunakan paradigma
fungsionalisme-struktural. Kelemahan inilah yang mendorong

[ xxii ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


para peneliti gejala patronase kemudian mencari paradigma
lain yang dapat memenuhi keinginan mereka. Di kalangan ahli
antropologi politik, paradigma ini dikenal sebagai paradigma
actor-oriented atau paradigma aktor.

2. Kajian Actor-Oriented
Kajian ini berkembang terutama di kalangan ahli
antropologi politik yang lebih menyukai perspektif mikro
daripada makro dalam penelitian mereka. Dalam pendekatan
ini, seorang peneliti lebih mengarahkan perhatiannya pada
apa yang dikerjakan oleh para pelaku dalam sebuah sistem
politik. Untuk itu, peneliti memandang politik sebagai sebuah
permainan (game) atau pertandingan yang menjadi ajang
bagi individu-individu atau kelompok yang bersaing untuk
mendapatkan sesuatu. Sebuah pertandingan pada dasarnya
adalah seperangkat aturan, karena aturan merupakan bagian
yang sangat penting dari sebuah pertandingan. Setiap
pertandingan pasti memiliki aturan ini, baik tertulis maupun
tidak. Yang penting adalah bahwa aturan ini disepakati
bersama. Tanpa ada kesepakatan atas aturan, pertandingan
tidak akan dapat dilaksanakan. Jika demikian, maka sebuah
struktur politik juga dapat didefinisikan sebagai seperangkat
aturan juga, yang digunakan untuk mengatur persaingan atau
perebutan hal-hal tertentu dalam kehidupan (Bailey, 1977).
Dengan perspektif ini, perhatian peneliti akan diarahkan
pada keputusan-keputusan yang diambil oleh para pelaku
serta perilaku dan tindakan mereka. Di sini, para pelaku akan
dilihat sebagai “game players seeking personal goals within
analyzable social, cultural and situational fields”. Asumsinya
di sini adalah bahwa “individuals operating in social situations
seek to maximize their chances of achieving some set of specific
goals” (Strickon dan Greenfield, 1972: 13). Adanya asumsi
mengenai tujuan pelaku ini tidak berarti bahwa di situ ada

Politik Ambivalensi [ xxiii ]


asumsi berkenaan dengan isinya. Isi dari tujuan para pelaku
dalam permainan tersebut masih harus ditentukan melalui
penelitian empiris. Peneliti tidak berhak menentukan terlebih
dahulu apa tujuan para pelaku di situ, karena tujuan mereka
memang bisa berbeda-beda.
Implikasi pandangan ini terhadap penelitiannya adalah
bahwa peneliti harus memperhatikan pandangan aktor,
pandangan pelaku, bukan pandangan peneliti sendiri atau
pandangan pihak-pihak lain. Pandangan pelakulah yang
penting. “The actor’s goals and strategies and tactics for attaining
them, inappropriate though they may be when judged with
respect to conditions as determined by an “objective” third
party…are what we want..”. Oleh karena itulah, di sini peneliti
sangat berkepentingan untuk mengungkap “his [actor’s] view
of the world”. Melalui penelitian semacam ini diharapkan “the
processes through which negotiated relationships are established
and the variety of strategies employed by actors in attaining ends,
along with the factors relevant to their formation” (Strickon and
Greenfiled, 1972: 14).
Dengan menggunakan asumsi-asumsi di atas, beberapa
penelitian mengenai gejala patron-klien telah dilakukan.
Strickon (1972), misalnya, meneliti dengan seksama gerak-
gerik dan sepak-terjang seorang patron yang bernama Carlos
Felipe di Buenos Aires, Argentina. Strickon menempatkan
Carlos Felipe sebagai pusat pembicaraan. Apa yang dipapar­
kannya tidak lain adalah perjalanan hidup Carlos dari seorang
anak bungsu dalam sebuah keluarga pengusaha, yang pada
awalnya tidak banyak berperan dalam kehidupan keluarga
hingga menjadi seorang pejabat penting di daerahnya.
Itu semua berhasil dicapainya bukan karena dia menjadi
anggota sebuah partai politik, tetapi karena relasi-relasi yang
dimilikinya. Selain relasi kekerabatan yang juga dimiliki setiap
orang, Carlos Felipe juga merupakan seorang patron, dan

[ xxiv ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


juga seorang sahabat. Dari relasi persahabatan dan patron-
klien itu, Carlos dapat mencapai tujuan-tujuannya, terutama
dalam bidang ekonomi. Dengan memanfaatkan jaringan sosial
yang dimilikinya, Carlos akhirnya berhasil menjadi pejabat
di daerah. Hal ini tentu saja tidak bisa dilepaskan juga dari
berbagai perubahan yang terjadi dalam masyarakat Argentina
yang kemudian berhasil dimanfaatkan dengan baik oleh
Carlos, dan akhirnya membawa keberuntungan bagi dirinya.
Perspektif actor-oriented seperti itu juga digunakan oleh
Greenfield dalam penelitiannya mengenai tiga peristiwa yang
terjadi di sebuah daerah bernama Zona da Mata, di Minas
Gerais, Brazil. Ada tiga peristiwa yang dianalisis, yakni
pengangkatan seorang wanita menjadi petugas kebersihan
sebuah sekolah, kolam kumuh yang tidak segera dibersihkan,
dan pembangunan sebuah jalan raya yang tidak kunjung
selesai. Untuk memahami tiga peristiwa ini, Greenfield
memaparkan terlebih dulu keadaan masyarakat Brazil dan
perubahan-perubahan yang terjadi di dalamnya. Kemudian,
dipaparkannya pelaku-pelaku yang ada di sekitar tokoh-tokoh
yang menjadi pusat perhatiannya, yakni karyawan wanita yang
baru diangkat, walikota yang ingin membersihkan kolam
kumuh, dan seorang tokoh masyarakat yang menginginkan
jalan raya yang sudah bertahun-tahun terbengkelai segera
diselesaikan pembangunannya. Greenfield bermaksud mema­
hami mengapa pengangkatan karyawan wanita menjadi masa­
lah, tetapi pengangkatan tetap terjadi; mengapa kolam kumuh
tetap dibiarkan selama beberapa tahun walaupun sudah sangat
jelas bahwa hal itu sangat mengganggu ketenangan warga
masyarakat; dan mengapa sebuah jalan raya yang sudah
hampir selesai dan sangat diperlukan warga masyarakat tidak
segera diselesaikan juga.
Ketiga peristiwa tersebut tampaknya tidak akan dapat
dipahami dan dijelaskan dengan baik tanpa memperhatikan

Politik Ambivalensi [ xxv ]


hubungan-hubungan sosial yang dimiliki oleh para pelaku
utama yang terlibat dalam peristiwa-peristiwa tersebut, yakni
karyawan wanita, walikota, dan seorang tokoh masyarakat. Oleh
karena itu, Greenfield kemudian mencoba mengungkapkan
jaringan-jaringan sosial yang dimiliki oleh individu-individu
ini dengan orang-orang lain, dan lewat bantuan mereka ini,
individu tersebut kemudian berhasil mencapai tujuannya
sendiri atau justru dipersulit dan akhirnya gagal mencapai
tujuannya. Selanjutnya, berbagai peristiwa ini ternyata juga
tidak akan dapat dipahami dengan baik, jika latar belakang
sosio-kultural dan perubahan-perubahan yang terjadi dalam
masyarakat Brazil tidak diketahui.
Pengetahuan mengenai dua paradigma yang telah digu­
nakan para ahli antropologi untuk menempatkan dan menje­
laskan gejala patronase dalam berbagai peristiwa dan sistem
politik tersebut diperlukan untuk memahami uraian Dr. Guno
Tri Tjahjoko mengenai politik patronase dan hubungannya
dengan peristiwa pilkada. Secara teoretis, pilihan Dr. Guno
menggunakan paradigma aktor hanya dapat dimengerti jika
dihubungkan dengan kelemahan dari pendekatan fungsional-
struktural ketika digunakan untuk menjelaskan berbagai
peristiwa politik. Sedangkan secara metodologis, pilihan
tersebut hanya dapat dimengerti jika diketahui juga data
seperti apa yang telah berhasil dikumpul­kannya berkenaan
dengan pilkada yang ditelitinya.

Praktik Politik: Politik Patronase dan Politik Uang


Berkenaan dengan wacana patronase, Dr. Guno dalam
pandangan saya telah membuka wacana baru yang relevan
dengan situasi perpolitikan di Indonesia. Sebagaimana kita
ketahui, di mata para pemikir dan penggerak demokrasi di
Indonesia, salah satu hal yang dirasa sangat mengganggu dan

[ xxvi ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


menghambat proses pembangunan demokrasi di Indonesia
adalah “politik uang”, yaitu upaya yang dilakukan oleh pasangan
calon kepala daerah atau calon legislatif untuk mendapatkan
suara dengan memberikan sejumlah uang kepada sejumlah
orang dan suatu kelompok atau suatu komunitas. Gejala ini
cukup banyak ditemui di Indonesia, dan sepintas lalu, hal
itu terlihat mirip dengan apa yang terdapat dalam hubungan
patronase. Jika demikian, kalau patronase memang dianggap
salah satu bentuk “politik uang”, maka patronase adalah salah
satu penghambat atau perusak proses demokrasi sehingga
perlu dihindari atau dibasmi. Pertanyaannya adalah: betulkah
politik patronase termasuk kategori “politik uang”?

1. Politik Patronase
Dr. Guno menunjukkan dengan jelas bahwa politik uang
berbeda dengan politik patronase. Patronase atau hubu­
ngan patron-klien, sebagaimana didefinisikan oleh James
Scott (1972a) adalah relasi pertukaran yang bersifat tatap
muka: antara seseorang yang lebih tinggi kedudukan sosial
ekonominya dengan seseorang yang lebih rendah kedudu­
kannya, dan pihak yang lebih tinggi lebih banyak memberikan
bantuan material atau ekonomi, sedangkan yang lebih rendah
kedudukannya banyak memberikan bantuan berupa jasa.
Dalam relasi ini, ketimpangan dalam pertukaran selalu ada,
bahkan selalu dijaga, sebab keseimbangan pertukaran akan
dapat membuat hubungan pertukaran ini malah berhenti
(Ahimsa-Putra, 2008).
Hubungan pertukaran yang tidak pernah mencapai
keseim­bangan ini kadang lebih berat di pihak patron, kadang
lebih berat di pihak klien, juga bersifat pribadi dan meli­
batkan banyak hal. Sifat pribadi dan tatap-muka dari relasi
ini membuat patron tidak dapat mengembangkan relasi ini

Politik Ambivalensi [ xxvii ]


dengan banyak individu, di samping juga karena sumber daya
yang dibutuhkan untuk mempertahankan relasi akan semakin
membesar dan waktu yang diperlukan untuk melestarikan
juga akan semakin banyak. Dalam politik, unsur uang tentu
tidak akan pernah absen karena inilah salah satu sarana utama
bagi patron untuk melakukan pertukaran dengan kliennya.
Semen­tara itu, faktor jasa—termasuk di dalamnya dukungan
atau “suara”—adalah salah satu sarana utama bagi si klien.
Meskipun demikian, uang dan suara bukanlah segala-
galanya dalam relasi tersebut karena relasi patronase juga
melibat­kan emosi. Di situ ada rasa utang budi. Baik patron
maupun klien merasa telah berutang budi pada pihak yang lain
karena telah dibantu. Si klien, karena kedudukan ekonominya
yang lebih rendah, biasanya merasa berutang budi kepada
patron karena telah mendapatkan banyak bantuan ekonomi.
Di sisi lain, sang patron juga merasa berutang budi pada si klien
karena telah mendapatkan berbagai layanan serta dukungan
sosial darinya. Relasi patron-klien merupakan relasi sosial
yang didasarkan pada rasa saling percaya karena kedua belah
pihak saling mengenal dengan baik, dan relasi semacam ini
hanya dapat tumbuh dalam kurun waktu yang cukup lama.
Relasi patron-klien merupakan relasi yang dibangun
melalui proses tukar-menukar yang terus-menerus dan
senga­ja dibuat untuk selalu timpang, tetapi tidak sampai ter­
la­lu merugikan pihak yang lain karena kedua belah pihak
mera­sa saling membutuhkan. Ketimpangan ini merupakan
sema­cam investasi atau simpanan yang dapat diambil ketika
diper­lukan, seperti halnya orang yang menyimpan tabungan
di bank. Dengan kata lain, patron dan klien di sini sama-
sama merasa dapat mengandalkan bantuan pihak yang lain,
ketika mereka membutuhkannya. Oleh karena itu, patronase
tidak harus selalu dihubungkan dengan upaya memperoleh

[ xxviii ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


kemenangan dalam sebuah persaingan politik karena banyak
sekali hubungan patron-klien yang dibangun tidak dengan
tujuan politik tersebut. Lain halnya dengan politik uang.

2. Politik Uang
Ciri-ciri relasi patron-klien seperti di atas berbeda dengan
“politik uang”. Politik uang memunyai ciri-ciri yang hampir
seluruhnya berlawanan dengan ciri-ciri hubungan patronase.
Salah satu keberatan para pendukung proses demokrasi
terhadap politik uang adalah kemiripannya dengan praktik
dagang atau jual beli, atau bahkan lebih buruk daripada itu.
Dalam proses jual beli, pihak pembeli masih dapat menawar
dan meneliti barang yang akan dibelinya dengan seksama.
Pembeli dapat menolak membeli jika dia merasa barang yang
akan dibelinya tidak sesuai dengan keinginan atau seleranya.
Sampai di sini, kesamaan dengan politik uang masih dapat
diterima karena dalam proses pilkada, seorang pemilih juga
dapat meneliti calon yang akan dipilihnya. Dia dapat menolak
memilih si calon kalau calon tidak sesuai dengan keinginan
atau seleranya.
Akan tetapi, politik uang bisa lebih buruk daripada praktik
jual beli, karena akibat dari politik uang seorang pemilih dapat
saja menjatuhkan pilihannya tanpa mau bersusah payah melihat
kualitas calon yang akan dipilihnya. Ibarat seorang pembeli
yang tidak mau meneliti lebih lanjut kualitas barang yang akan
dibelinya karena dia tidak akan sering menggunakan barang
tersebut walaupun orang lain mungkin sekali akan dirugikan
oleh hasil pilihannya tersebut. Oleh karena itu, seorang
pemi­lih yang memberikan suaranya pada patronnya tidak
sama dengan seorang pemilih yang memberikan suaranya
pada seorang calon yang telah memberinya sejumlah uang,

Politik Ambivalensi [ xxix ]


meskipun calon tersebut tidak begitu dikenalnya atau bahkan
tidak dikenalnya sama sekali.
Perbedaan ciri pertukaran dalam hubungan patronase dan
politik uang membuat keduanya berbeda ketika diterapkan
dalam aktivitas politik. Dalam politik patronase, pemilih
sangat mengenal dan memiliki hubungan yang dekat dengan
calon yang dipilihnya. Pilihan dijatuhkan dengan sangat sadar
dan didasarkan pada pengetahuan yang mendalam, karena
pemilih mengenal orang yang dipilih. Pemilih juga sangat
sadar akan konsekuensi lebih lanjut dari pilihannya. Dia juga
sadar bahwa jika calon yang dipilihnya menang, maka dia
akan banyak mendapatkan manfaat dari kemenangan tersebut.
Dalam politik uang, besar kemungkinan pemilih tidak begitu
mengenal calon yang dipilihnya. Bisa juga dia mengenal calon
tersebut bahkan hingga sisi negatifnya. Namun, karena dia
telah menerima sejumlah uang, maka sisi negatif ini bisa saja
lantas diabaikan atau tidak menjadi bahan pertimbangan
dalam menjatuhkan pilihan. Keinginan dan selera pribadi
juga diabaikan, karena pemilih ingin membalas budi calon
yang telah memberinya uang. Pemilih juga tidak begitu
peduli terhadap akibat lebih lanjut dari pilihannya: apakah
pilihan tersebut akan menguntungkan atau merugikannya
secara pribadi atau akan menguntungkan atau merugikan
kelompoknya—itu semua tidak lagi penting baginya. Yang
paling penting adalah bahwa dia telah mendapat sejumlah
uang yang diperlukannya, dan dia perlu membalas pemberian
tersebut dengan cara memberikan suaranya.
Dengan demikian, upaya memenangkan sebuah proses
pilkada melalui pemanfaatan hubungan patronase bukanlah
sebuah siasat politik yang mudah dan murah. Dibandingkan
dengan politik uang, politik patronase tampaknya lebih mahal,
karena memerlukan waktu yang lebih lama serta biaya yang

[ xxx ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


lebih besar. Diperlukan waktu berbulan-bulan atau bahkan
beberapa tahun untuk membangun hubungan-hubungan
patronase dengan berbagai pihak. Interaksi tatap muka dan
bersifat pribadi juga harus lebih banyak dilakukan dengan
klien-klien. Itu semua memerlukan dana yang tidak sedikit.
Oleh karena itu, hasil dari politik patronase ini lebih dapat
diandalkan. Seorang patron hampir selalu yakin bahwa klien-
kliennya akan memilihnya daripada memilih pesaingnya.
Upaya Dr. Guno untuk mengangkat isu mengenai
patronase dan politik uang ini merupakan langkah yang
penting dalam studi politik. Para pengamat dan peneliti politik
kini perlu lebih berhati-hati dan lebih teliti jika berbicara
mengenai “politik uang”, karena sangat mungkin yang mereka
maksud adalah politik patronase yang pada hakekatnya
berbeda dengan politik uang. Pemahaman Dr. Guno yang
mendalam mengenai fenomena patronase membuatnya berani
mengajak para pendukung proses demokrasi di Indonesia
untuk merenungkan kembali beberapa hal yang selama
ini dianggap sudah sewajarnya dalam proses dan kegiatan
politik, misalnya kehadiran partai politik yang tanpa ideologi
yang jelas, demokrasi yang hanya ada di permukaan saja,
serta proses-proses politik di tingkat lokal yang cenderung
dipandang sebagai penghalang proses demokratisasi.

Nalar Politik: Nalar Aktivis dan Nalar Politisi


Dalam studi fenomena politik, perhatian peneliti biasanya
diarahkan pada perilaku dan siasat politik para aktor, atau
pada berbagai aturan yang ada dalam arena politik. Seorang
peneliti yang menekankan pada pentingnya realitas empiris
akan memberikan perhatian yang lebih besar pada perilaku
dan siasat para aktor, sedangkan peneliti yang menekankan
pada pentingnya aturan akan lebih memperhatikan berbagai

Politik Ambivalensi [ xxxi ]


aturan yang harus ditaati oleh para aktor politik. Dr. Guno
tidak tertarik pada keduanya. Dia lebih tertarik pada nalar
yang mengendalikan perilaku dan siasat para aktor. Dalam hal
ini, dia berasumsi bahwa berbagai perilaku dan siasat aktor
politik pada dasarnya dikendalikan oleh nalar yang mereka
miliki. Menurutnya, nalar adalah ”cara berpikir sistematis atau
kondisi mental yang diwujudkan dalam prinsip-prinsip”.
Sumbangan kedua buku ini terletak pada wacana tentang
nalar politik yang ditampilkannya. Dr. Guno menemukan
dua macam nalar politik di balik berbagai siasat dan perilaku
aktor untuk memenangkan kontestasi politik dalam pilkada
dan merengkuh jabatan sebagai kepala daerah. Nalar tersebut
adalah nalar aktivis dan nalar politisi. Menurut saya, temuan
ini merupakan sumbangan pemikiran terpenting dari Dr.
Guno untuk studi politik di Indonesia. Sayangnya, Dr. Guno
kurang mengkaji dua nalar tersebut dan menjelaskannya secara
mendalam sehingga konsep tentang kedua nalar tersebut
kehilangan kekuatannya sebagai perangkat konseptual untuk
menganalisis fenomena politik pada umumnya.

1. Nalar Aktivis
Dr. Guno kurang ketat mendefinisikan apa yang dimak­
sudnya sebagai nalar aktivis. Dia hanya mengatakan bahwa
para aktivis “tegas menolak praktik pemberian materi dan
non-materi yang diidentikkan dengan praktik money politics
dalam pemilu/pilkada”. Menurut nalar aktivis, elite “yang
melakukan praktik pemberian materi dan non-materi tidak
pantas dipilih oleh rakyat karena dianggap telah mengkhianati
penegakan nilai-nilai demokrasi”. Elite yang melakukan hal
tersebut juga “dianggap telah melanggar undang-undang
dan patut dijatuhi sanksi pidana”. Selain itu, elite seperti itu
juga “layak dibatalkan pencalonannya sesuai undang-undang

[ xxxii ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


yang berlaku”. Pernyataan-pernyataan ini tidak dapat disebut
sebagai definisi karena tidak membentuk sebuah kesatuan.
Seandainya saja Dr. Guno bersedia menelaah makna nalar
sebagaimana yang dikatakannya dengan lebih mendalam,
sangat mungkin dia akan dapat merumuskan dengan lebih
ketat dan jelas nalar aktivis tersebut.
Pernyataan tentang nalar tersebut juga menyimpan masa­
lah karena tidak begitu jelas perbedaannya dengan nilai-
nilai, norma, dan aturan. Apakah yang dimaksud Dr. Guno
adalah perangkat nilai dan norma tersebut, atau yang lain
lagi? Karena nalar berbeda dengan nilai-nilai dan norma-
norma. Pernyataan tersebut memang tajam, karena berfokus
pada persoalan money politics, tetapi pada saat yang sama
ketajaman tersebut juga membuat makna nalar aktivis menjadi
terlalu sempit. Apakah nalar aktivis dalam perpolitikan hanya
mengenai money politics? Tentunya tidak. Di sinilah terletak
tantangan bagi Dr. Guno di masa yang akan datang. Dia masih
perlu membuat rumusan “nalar aktivis” yang lebih cocok,
serta lebih dapat mencakup dan menjelaskan berbagai perilaku
serta aktivitas politik dari para aktor, daripada hanya tentang
money politics.
Dari pernyataan-pernyataan mengenai nalar aktivis di
atas, sedikit banyak kita dapat merumuskan nalar aktivis yang
dimaksud oleh Dr. Guno sebagai “cara berpikir sistematis, yang
di dalamnya terkandung sejumlah prinsip berpolitik sebagai
berikut: a) menolak tegas segala macam bentuk pemberian
materi dan non-materi yang dapat disamakan dengan praktik
money politics dalam pemilu/pilkada; b) menganggap praktik
money politics sebagai bertentangan dengan nilai-nilai demo­
krasi dan melanggar undang-undang; dan c) menganggap
pelaku praktik tersebut patut dijatuhi sanksi pidana dan
layak dibatalkan pencalonannya sesuai undang-undang yang

Politik Ambivalensi [ xxxiii ]


berlaku”. Saya tidak tahu apakah rumusan yang saya sodorkan
ini dapat diterima oleh Dr. Guno. Yang jelas, rumusan ini
tidak terlalu jauh maknanya dari apa yang dimaksudkannya.
Seandainya saja Dr. Guno dapat merumuskan nalar aktivis
seperti itu, dia tentu akan dapat melakukan analisis yang lebih
tajam atas nalar aktivis tersebut serta menerapkannya sebagai
alat analisis atas fenomena pemilihan kepala daerah yang
ditelitinya. Meskipun demikian, rumusan seperti itu juga tetap
belum dapat menyelesaikan masalah-masalah konseptual yang
telah saya sebutkan sebelumnya karena isinya masih sama.

2. Nalar Politisi
Sebagaimana yang dilakukannya pada nalar aktivis, Dr.
Guno juga tidak mendefinisikan secara eksplisit nalar politisi
yang dikemukakannya. Dia katakan bahwa “nalar politisi
cende­rung pragmatis dan kontekstual, khususnya dalam hal
pemberian materi dan non-materi”. Dalam nalar ini, seorang
politisi diasumsikan “memberikan materi kepada masyarakat
yang miskin dan menyejahterakan, tidak bertentangan dengan
hukum, apalagi bagi seorang bangsawan yang memiliki
amanah untuk menyejahterakan masyarakat miskin”. Dalam
nalar tersebut, diasumsikan bahwa masyarakat “menganggap
pemberian seorang bangsawan merupakan suatu kehormatan
atau anugerah” sehingga “mereka tidak mempermasalahkan
pemberian elite tersebut sebagai tindakan money politics”.
Dibandingkan dengan rumusannya mengenai nalar
aktivis, pernyataan-pernyataan Dr. Guno mengenai nalar
politisi ini menyimpan lebih banyak masalah. Pertama, prinsip-
prinsip yang dianut dalam nalar tersebut belum dinyatakan
secara tegas sehingga makna nalar di situ lebih dekat dengan
pandangan-pandangan filosofis, karena berupa sejumlah
asumsi mengenai pola perilaku tertentu dalam perpolitikan.

[ xxxiv ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


Kedua, nalar tersebut sudah dibatasi berlakunya untuk lapisan
sosial tertentu, yaitu lapisan bangsawan karena bangsawanlah
yang dikatakan memiliki amanah untuk menyejahterakan
masya­rakat miskin. Dengan begitu, mereka dapat terhindar
dari tuduhan money politics. Tidak demikian halnya dengan
orang biasa. Ketiga, prinsip-prinsip yang terkandung di
dalamnya belum tersusun secara sistematis sehingga pernya­
taan-pernyataan tersebut agak membingungkan. Lagi-lagi,
tantangan bagi Dr. Guno adalah merumuskan lebih tepat dan
jelas apa yang dimaksudnya dengan “nalar politisi”.
Meskipun demikian, atas dasar pernyataan-pernyataan
terse­but, kita dapat merumuskan nalar politisi sebagai “cara
berpikir sistematis yang di dalamnya terkandung sejum­lah
prinsip berpolitik sebagai berikut: a) memberikan materi
kepada masyarakat miskin dengan tujuan untuk menyejah­
terakan mereka bukanlah tindakan yang melanggar hukum,
apalagi jika yang melakukannya adalah mereka yang tergolong
dalam kelas bangsawan; b) pemberian materi dari kalangan
bangsawan adalah sebuah anugerah atau kehormatan bagi
pihak yang menerimanya, dan karena itu c) pemberian materi
tersebut tidak dapat digolongkan sebagai praktik money
politics”. Apakah definisi yang saya rumuskan ini akan dapat
diterima oleh Dr. Guno? Saya tidak tahu, tetapi rumusan itu
tidak terlalu menyimpang dari pernyataan-pernyataannya
tentang nalar politisi.
Adanya dua nalar yang saling berlawanan itu dalam diri
aktor politik telah membawa Dr. Guno pada kesimpulan bahwa
para aktor politik yang ditelitinya bersifat ambivalen sehingga
politik yang mereka wujudkan adalah politik ambivalensi, yaitu
politik yang mencampuradukkan dua nalar tersebut dalam
suatu aktivitas politik. Masalahnya adalah, apakah memang
tidak demikian sifat dari setiap fenomena politik? Apakah

Politik Ambivalensi [ xxxv ]


politik tidak selalu mengandung hal-hal yang berlawanan satu
sama lain? Bukankah “hakikat” dari politik adalah persaingan
dari dua atau lebih hal yang tidak dapat disatukan? Selain
itu, apakah ambivalensi itu sendiri merupakan masalah? Dari
sudut pandang tertentu mungkin memang demikian, tetapi
dari sudut pandang lain mungkin tidak.

3. Nalar atau Aturan


Bagi mereka yang memandang politik sebagai sebuah
pertan­dingan (competitive game) atau permainan yang kom­
petitif, kehadiran dua nalar tersebut ternyata tidak harus
dimaknai sebagai suatu ambivalensi atau pencampuradukan.
Sebagaimana dikatakan oleh Frederick G. Bailey dalam buku
antropologi politiknya yang sangat terkenal, Stratagems
and Spoils: A Social Anthropology of Politics (1977), sebuah
competitive game atau pertandingan selalu dua macam rules
(aturan-aturan) yang sepintas lalu terlihat saling berlawanan,
tetapi sebenarnya saling mengisi, yaitu normative rules dan
pragmatic rules.
Normative rules adalah aturan-aturan (rules) yang
mewujudkan nilai-nilai paling utama dan yang dapat diterima
oleh umum (“express such ultimate and publicly acceptable
values”). Aturan-aturan tersebut “are very general guides to
conduct; they are used to judge particular actions ethically right
or wrong; and within a particular political structure they can be
used to justify publicly a course of conduct” (1977: 5). Aturan-
aturan normatif ini tidak menentukan atau menetapkan suatu
tindakan tertentu, tetapi menetapkan batas-batas atau rambu-
rambu untuk berbagai tindakan yang mungkin dilakukan.
Dalam kasus yang diteliti oleh Dr. Guno, aturan normatif
ini membuka kemungkinan bagi para aktor politik untuk
melakukan berbagai upaya pemenangan pilkada, kecuali

[ xxxvi ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


misalnya money politics. Money politics menjadi salah satu
batas yang tidak boleh dilanggar.
Berbeda halnya dengan pragmatic rules, yaitu tuntunan-
tuntunan atau petunjuk-petunjuk praktis untuk memenangkan
pertandingan (“practical instructions about how to win”).
Petunjuk-petunjuk ini muncul untuk mengisi ruang-ruang
kosong di antara norma-norma (“to fill the empty spaces left by
norms”) (1977: 5). Pragmatic rules, kata Bailey, “are statements
not about whether a particular line of conduct is just or unjust,
but about whether or not it will be effective. They are normatively
neutral. They may operate within the limits set by the rules of the
game: or they may not. They range from rules of ‘gamesmanship’
(how to win without actually cheating) to rules which advise on
how to win by cheating without being disqualified ” (1977: 6).
Perbedaan nalar aktivis dan nalar politisi sebagaimana
dimaksud oleh Dr. Guno menurut saya tidak terletak pada
kualitas nalarnya, tetapi jenis aturan yang dimanfaatkan oleh
nalar tersebut untuk memenangkan kontestasi politik. Nalar
aktivis adalah nalar yang mengikuti aturan-aturan normatif
dalam sebuah persaingan politik, sedang nalar politisi adalah
nalar yang menggunakan aturan-aturan pragmatis dalam
persaingan tersebut. Oleh karena setiap kontestasi politik
selalu memiliki aturan-aturan normatif dan aturan-aturan
pragmatis, maka dengan sendirinya di situ tidak terdapat
“pencampuradukan” aturan, dan karena itu tidak ada yang
bersifat ambivalen. Akan tetapi kalau kehadiran dua jenis
aturan tersebut dianggap sebagai sebuah ambivalensi,
maka dengan sendirinya semua persaingan politik bersifat
ambivalensi. Semua sistem politik ambivalen, karena selalu
terdapat di dalamnya dua macam aturan: normatif dan
pragmatis. Akan tetapi, jika demikian maka konsep ambvalensi
kehilangan makna analitisnya. Di sinilah terletak dilema teori

Politik Ambivalensi [ xxxvii ]


yang dikemukakan oleh Dr. Guno dan perlunya penelitian
lanjutan.

Penutup
Terlepas dari sejumlah kekurangan di atas, bagaimanapun
juga Dr. Guno telah membuka sebuah arah baru dalam kajian
politik di Indonesia, yaitu kajian mengenai nalar politik. Untuk
Indonesia, arah kajian ini sangat penting karena masyarakat
Indonesia merupakan masyarakat yang sangat majemuk dalam
budayanya. Apakah di Indonesia hanya ada dua nalar politik
seperti yang diidentifikasi oleh Dr. Guno, atau masih ada nalar-
nalar politik yang lain? Apakah nalar politik tersebut terkait
dengan unsur-unsur budaya tertentu atau corak (konfigurasi)
budaya masyarakatnya? Hanya penelitian-penelitian yang
lebih mendalam mengenai nalar politik yang akan dapat
menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Apa yang saya sampaikan dalam “Kata Pengantar” ini pada
dasarnya hanya sebuah upaya untuk menyampaikan kembali
beberapa butir pemikiran penting dari Dr. Guno yang telah
disampaikannya sendiri dalam buku ini, tetapi tidak selalu
dengan cara yang eksplisit dan sistematis. Akibatnya, butir-
butir pemikiran tersebut menjadi agak sulit diidentifikasi.
Dr. Guno juga belum menempatkan hasil kajiannya dalam
konteks studi hubungan patronase dalam antropologi politik
dan ilmu politik, sehingga kontribusi pemikirannya dalam
studi fenomena sosial tersebut juga tidak gampang diketahui.
Mudah-mudahan, “Kata Pengantar” ini dapat membuat
pembaca lebih mudah menempatkan hasil kajian Dr. Guno
ini dalam konteks yang semestinya.

[ xxxviii ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


Daftar Pustaka
Ahimsa-Putra, H.S. 1996. “Hubungan Patron-Klien di Sulawesi
Selatan: Kondisi pada Akhir Abad 19”. Prisma, 6: 29-45.
_________. 2007. Hubungan Paron-Klien di Sulawesi Selatan:
Sebuah Kajian Fungsional-Struktural. Yogyakarta: Kepel
Press.
Bailey, F. G. 1977 (1969). Stratagems and Spoils: A Social
Anthropology fo Politics. Oxford: Basil Blackwell.
Barth, F. 1959. Political Leadership among Swat Pathans.
London: The Athlone Press.
Blok, A.1969a. “Variations in Patronage”. Sociologische Gids,
16: 365-378.
______.1969b. “Peasants, Patrons and Brokers in Western
Sicily”. Anthropological Quarterly, 42 (3): 155-170.
Boissevain, J. 1966a. “Poverty and Politics in a Sicilian Agro-
Town”. International Archives of Ethnography, 50: 198-236.
______. 1966b. “Patronage in Sicily”. Man (NS), 1 (1): 18-33.
______. 1969. “Patrons as Brokers”. Sociologische Gids 16:
379-386.
______. 1974. Friends of Friends: Networks, Manipulators, and
Coalitions. Oxford: Basil Blackwell.
______. 1977. “When the saints go marching out: Reflections
on the decline of patronage in Malta” dalam Patrons
and Clients in Mediterranean Societies, Gellner dan J.
Waterbury (eds.). London: Duckworth.
Breman, J. 1974. Patronage and Exploitation: Changing Agrarian
Relations in South Gujarat, India. Berkeley: University of
Berkeley Press.
Buxton, J. 1967. “’Clientship’ among the Mandari of the
Southern Sudan” dalam Comparative Political Systems,

Politik Ambivalensi [ xxxix ]


R. Cohen dan J. Middleton (eds.). Garden City, N. Y.: The
National History Press.
Campbell, J. K. 1964. Honour, Family and Patronage: A Study
of Institutions and Moral Values in a Greek Mountain
Community. Oxford: Oxford University Press.
Cohen, R. 1966. “The Dynamics of Feudalism in Bornu” dalam
African History, J.Butter (ed.). Boston University Papers
on Africa II. Boston: Boston University Press.
Corbin, J. 1979. “Social Class and Patron-Clientage in
Andalusia: Some Problems in Comparing Ethnographies”.
Anthropological Quarterly, 52 (2): 99-114.
Durkheim, E. (1938). The Rules of Sociological Method.
Glencoe: The Free Press.
Eisenstadt, S. N. dan L. Roniger. 1980. “Patron-Client Relations
as a Model of Structuring Social Exchange”. Comparative
Studies in Society and History, 22: 42-77.
Errington, F. K. 1974. Karavar: Masks and Power in a Melanesian
Ritual. Ithaca: Cornell University Press.
Foster, G. M. 1961. “The Dyadic Contract: A Model for the
Social Structure of a Mexican Peasant Village”. American
Anthropologist, 63 (6): 1173-1192.
______. 1963. “The Dyadic Contract in Tzintzuntzan II:
Patron-Client Relationship”. American Anthropologist,
65: 1280-1294.
Galt, A. H. 1974. “Rethinking Patron-Client Relationships:
The Real Sytem and the Official System in Southern Italy”.
Anthropological Quarterly, 47 (2): 182-202.
Geertz, C. 1980. Negara: The Theatre State in Nineteenth
Century Bali. Princeton: Princeton University Press.
Gerth, H. H. and C. W. Mills. 1974 (1946). From Max Weber.
Essays in Sociology. New York: Oxfrod University Press.

[ xl ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


Gilmore, D. 1977. “Patronage and Class Conflict in Southern
Spain”. Man (NS) 12 (3-4), 446-458.
Gluckman, M. G. 1965. Politics, Law and Ritual in Tribal
Society. Oxford: Blackwell.
Gonzalez, N.L. 1972. “Patron-Client Relationships at the
International Level” dalam Structure and Process in
Latin America: Patronage, Clientage and Power Systems,
A.Strickon and S.Greenfield (eds.). Albuquerque:
University of New Mexico Press.
Graziano, L. 1973. “Patron-Client Relationships in Southern
Italy”. European Journal of Political Research, 1 (1): 3-34.
Greenfield, S. 1972. “Charwomen, Cesspools, and Road
Building: An Examination of Patronage, Clientage, and
Political Power in Southeastern Minas Gerais” dalam
Structure and Process in Latin America: Patronage,
Clientage and Power Systems, A. Strickon and S. Greenfield
(eds.). Albuquerque: University of New Mexico Press.
Hanks, L. M. 1966. “The Corporation and the Entourage: A
Comparison of Thai and American Social Organization”
dalam Friends, Followers and Factions: A Reader in Political
Clientelism, S. W. Schmidt et al (eds.). Berkeley: Berkeley
University Press.
Heath, D. B. 1973. “New Patrons for Old: Changing Patron-
Client Relationships in the Bolivian Yungas”. Ethnology,
12 (1): 75-98.
Hollnsteiner. M. R. 1961. “Reciprocity in the Lowland
Philippines”. Philippine Studies, 9.
Jackson, K. D. 1980. Traditional Authority, Islam and Rebellion.
Berkeley: University California Press.

Politik Ambivalensi [ xli ]


Kaufmann, R. R. 1974. “The Patron-Client Concept and Macro
Politics: Prospects and Problems”. Comparative Studies in
Society and History, 16: 284-308.
Kenny, M. 1960. “Patterns of Patronage in Spain”. Anthropo­
logical Quarterly, 33: 14-23.
______. 1968. “Parallel Power Structures in Castille: The Patron-
Client Balance” dalam Contributions to Meditteranean
Sociology, J. G. Peristianny (ed.) The Hague: Mouton.
Landé, C. H. 1977a. “Introduction: The Dyadic Basis of
Clientelism” dalam Friends, Followers and Factions: A
Reader in Political Clientelism, S. W. Schmidt et al. (eds.).
Berkeley: Berkeley University Press.
_______. 1977b. “Group Politics and Dyadic Politics: Notes
for A Theory” dalam Friends, Followers and Factions: A
Reader in Political Clientelism, S. W. Schmidt et al (eds.).
Berkeley: Berkeley University Press.
Legg, K. 1980. Tuan, Hamba dan Politisi. Jakarta.
Lemarchand, R. 1977. “Political Exchange, Clientelism, and
Development in Tropical Africa” dalam Friends, Followers
and Factions: A Reader in Political Clientelism, S. W.
Schmidt et al. (eds.). Berkeley: Berkeley University Press.
Mair, L. 1969. “ Clientship in East Africa” dalam Anthropology
and Social Change, L. Mair. London: The Athlone Press.
Milne, R. S. 1973. “Patrons, Clients, and Ethnicity: The Case
of Sabah and Sarawak in Malaysia”. Asian Survey, 13 (10):
891-907.
Osborn, A. 1968. “Compadrazgo and Patronage: A Colombian
Case”. Man (NS) 3 (4): 593-608.
Pitt-Rivers, J. A. 1961. The People of Sierra. Chicago: Chicago
University Press.

[ xlii ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


Powell, J. D. 1970. “Peasant Society and Clientelist Politics”.
American Political Science Review 64 (2): 411-425.
Radcliffe-Brown, A. R. 1952. Structure and Function in
Primitive Society. London: The Free Press.
Schmidt, S. W. et al. (eds.). 1977. Friends, Followers and
Factions: A Reader in Political Clientelism. Berkeley:
University of California Press.
Scott, J. C. 1972a. “Patron-Client Politics and Political Change
in Southeast Asia”. American Political Science Review 66
(1): 411-425.
______. 1972b. “The Erosion of Patron-Client Bonds and
Social Change in Rural Southeast Asia”. Journal of Asian
Studies, 32 (1): 5-37.
Shirley, R. W. 1972. “Patronage and Cooperation: An Analysis
from Sao Paulo State” dalam Structure and Process in Latin
America: Patronage, Clientage and Power Systems, A.
Strickon and S. Greenfield (eds.). Albuquerque: University
of New Mexico Press.
Silverman, S. 1965. “Patronage and Community-Nation
Relationships in Central Italy”. Ethnology, 4 (2): 172-189.
Strickon, A. 1972. “Carlos Felipe: Kinsman, Patron, and Friend”
dalam Structure and Process in Latin America: Patronage,
Clientage and Power Systems, A. Strickon and S. Greenfield
(eds.). Albuquerque: University of New Mexico Press.
______ and S. M. Greenfield. 1972. “The Analysis of Patron-
Client Relationships: An Introduction” dalam Structure
and Process in Latin America: Patronage, Clientage and
Power Systems, A. Strickon and S. Greenfield (eds.).
Albuquerque: University of New Mexico Press.

Politik Ambivalensi [ xliii ]


Suparlan, P. 1978. Pola Hubungan Patron-Klien: Model dan
Pengetrapannya pada Komunitas Gelandangan. P. P.
Kependudukan UGM, Yogyakarta.
Turner, V. 1968. The Drums of Affliction: A Study of Religious
Processes among the Ndembu of Zambia. Ithaca: Cornell
University Press.
Vincent, J. 1986. “System and Process, 1974-1985”. Annual
Review of Anthropology 15: 99-120.
Weingrod, A .1968. “Patrons, Patronage and Political Parties”.
Comparative Studies in Society and History 10: 377-400.
Worsley, P. 1968. The Trumpet Shall Sound: A Study of “Cargo”
Cults in Melanesia. New York: Schocken Books.

[ xliv ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


KATA PENGANTAR
PRAGMATISME POLITIK:
Menakar “Harga” Partai
dalam Pemilu dan Pilkada

Oleh:
Dr. Asep Nurjaman, M.Si.
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Muhammadiyah Malang

“The political parties created democracy and . . . modern


democracy is unthinkable save in terms of the political parties.”
(E. E. Schattschneider).

Pendahuluan

R
eformasi telah memberi ruang kebebasan politik
dan keterbukaan di Indonesia (Piage, 2004). Situasi
dan kondisi politik pun berubah, termasuk peruba­
han partai dan sistem kepartaian maupun perilaku politik
dalam pemilu. Pola hubungan partai dan konstituen berbasis
kultural tidak lagi signifikan (Baswedan, 2004; Nurjaman,
2013). Figur-figur yang populer seperti artis dan para

Politik Ambivalensi [ xlv ]


pengusaha yang mempunyai kekuatan ekonomi lebih banyak
mendapatkan suara dalam pemilu (Nurjaman, 2011). Di sisi
lain, Jainuri (2010) menemukan bahwa orang kuat di tingkat
lokal menentukan terpilih dan tidaknya seseorang dalam
pemilu baik pemilu legislatif maupun pilkada. Lebih jauh, pola
hubungan partai dan konstituen pada pemilu pasca Orde Baru
tidak lagi mencerminkan politik aliran, justru figur populer
lebih dominan (Liddle dan Mujani, 2007).
Pola hubungan pemilih dan konstituen lebih didasarkan
pada kepentingan pragmatis, transaksional dan jangka
pendek, begitu pun partai politik tidak lagi mengedepankan
visi, misi, dan program partai yang mencerminkan ideologi
partai (Nurjaman, 2011). Konstruksi politik hasil Pemilu 2009
menunjukkan adanya perubahan, pola hubungan sosio-religi,
pola panutan, maupun kepemimpinan kharismatik tidak lagi
signifikan dalam menentukan perilaku politik (Nurjaman,
2014). Akibatnya, proses politik menjadi tidak berkualitas,
dan kepentingan warga semakin terabaikan. Hal ini ditandai
dengan semakin tingginya biaya politik, serta rendahnya
partisipasi dan kepercayaan publik.
Berbeda dengan pola hubungan partai dan konstituen di
negara-negara maju yang sangat rasional dan bertanggung
jawab, di Indonesia, pola hubungan partai dan konstituen
irasi­onal dan kurang bertanggung jawab. Hal tersebut
disebab­kan oleh perilaku memilih masyarakat masih berbasis
primordial dan pragmatis (Nurjaman, 2012). Lebih jauh, hal
ini disebabkan oleh semakin bergesernya pola hubugan partai
dan konstituen dalam menstrukturkan perilaku memilih
masyarakat. Konstituen tidak lagi konsisten memilih partai
berbasis kepentingan ideologisnya, begitu pun partai politik
tidak lagi konsisten visi misinya (platform partai). Kondisi ini

[ xlvi ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


tidak kondusif bagi kehidupan politik baik nasional maupun
lokal.
Realitas yang terjadi menunjukkan bahwa partai politik
sudah tidak berharga dalam setiap pemilu baik nasional
maupun lokal. Kerja keras dari sebuah partai politik dalam
menggalang dukungan massa tidak berpengaruh pada pemilih,
dan mesin partai tidak dapat menjamin menang atau kalahnya
pasangan calon yang diusungnnya. Kemenangan masing-
masing pasangan calon dalam Pilkada lebih ditentukan oleh
figur calon dan dukungan finansial daripada dominasi partai
yang mengusungnya. Oleh karena itu banyak calon, dalam
menggalang dukungan, sering melakukan aliansi dengan
pelaku bisnis guna mendapatkan bantuan dana. Apabila
calon tersebut terpilih, maka bisa dipastikan akan berdampak
pada dirugikannya hak-hak masyarakat untuk mendapatkan
pelayanan publik yang lebih baik, karena kebijakan akan
diarahkan untuk kepentingan pengusaha bukan masyarakat.
Fenomena tersebut di atas menimbulkan pertanyaan,
mengapa keberadaan partai semakin tidak bermakna pada
pemenangan pemilu baik lokal maupun nasional, apakah partai
sudah tidak berharga lagi bagi pemilih? Guna memberikan
gambaran sedikit atas fenomena tersebut, pertama, penulis
mengungkapkan persoalan survival partai. Ketakutan partai
politik akan kehilangan status peserta pada pemilu berikutnya,
dan usaha partai politik memperbesar basis konstituen dengan
mentrasformasi diri menjadi partai catch-all. Kedua, koalisi
pragmatis dalam Pilkada. Koalisi pragmatis ini dimaksudkan
untuk membentuk tim koalisi pemenang (winning coalition)
dengan menghitung jumlah suara partai ketimbang ideologi.
Pada tingkat akar rumput, kondisi ini justru kontra produktif,
karena banyak pendukung partai yang tidak bisa menerima
kenyataan bahwa partainya berkoalisi dengan partai lain yang

Politik Ambivalensi [ xlvii ]


tidak punya kesamaan ideologis. Ketiga, pelembagaan partai
politik yang rendah. Kondisi ini lebih merujuk pada kondisi
yang sering dialami internal partai. Misalnya, perolehan suara
dari pemilu ke pemilu tidak stabil, partai tidak mengakar ke
masyarakat, aturan dan struktur organisasi yang tidak stabil.

Transformasi Partai: Menuju Partai Catch-All


Dengan banyaknya partai politik yang bersaing, baik dalam
Pemilu 1999 (48 partai politik), Pemilu 2004 (24 partai politik),
Pemilu 2009 (38 partai politik)1 dan Pemilu 2014 (12 partai
nasional dan tiga partai lokal) kesulitan untuk mendapatkan
suara yang hanya mengandalkan segmen massa politik yang
terbatas. Banyak partai politik pada Pemilu 1999 harus
gulung tikar akibat kurangnya dukungan untuk memenuhi
electoral threshold. Begitu pun nasib partai politik yang lulus
electoral threshold dengan segmen pemilih yang sempit,
mengalami penurunan jumlah dukungan pemilih akibat
ketidakmampuannya dalam meraih dan mempertahankan
simpati pemilih. Kondisi ini telah mendorong partai-partai
untuk memperluas segmen massa pemilihnya baik secara
langsung maupun tidak langsung. Demi memperoleh suara
yang lebih besar dalam pemilu, ada kecenderungan partai-
partai melakukan pencairan basis ideologi mereka, dengan cara
mengubah sifat organisasi yang eksklusif menjadi inklusif.2

1 Proses politik yang terjadi di DPR hasil Pemilu 2004, pada penghujung masa jabatannya
para anggota Dewan, khususnya dari partai kecil, berupaya mendesak agar partainya
tidak diverifikasi ulang. Untuk itu, mereka mengajukan perubahan sistem threshold, dari
electoral menjadi parliamentary threshold. Hasil verifikasi awal, KPU meloloskan sebanyak
34 partai politik baik yang lolos threshold maupun verifikasi administratif. Namun,
keputusan ini dianggap tidak adil dan dianggap melanggar perundang-undangan. Oleh
karena itu, sebagian partai peserta Pemilu 2004 yang tidak lolos mengajukan peninjauan
kembali ke Mahkamah Konstiusi (MK). MK memutuskan bahwa empat partai politik
berhak ikut dalam Pemilu 2009.
2 Setelah pemilu 1999, partai politik merasa tidak cukup kuat untuk meraih dukungan
pemilih dari basis pemilih tradisionalnya. Maka, mereka berusaha untuk mengembangkan

[ xlviii ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


Partai Nasionalis maupun Partai Islam, menurut I Ketut
Putra Erawan (2008). terus berusaha melakukan pembenahan
agar dapat tetap survive. Salah satu upaya yang dilakukan
adalah dengan membenahi platform ideologi partai. PDI-P
sangat relevan sebagai partai massa karena banyak pendukung
setia (Marhaenis, Soekarnois, Nasionalis, dan mungkin
kelompok populis), dan secara teoretis sudah berada pada
jalur partai massa sejak berdirinya. Namun, kenyataan Pemilu
2004 telah mendorong elite partai PDI-P untuk mengaburkan
partai massa.3
Dengan demikian, demi memperoleh suara yang lebih
besar dalam pemilu, ada kecenderungan partai-partai
melakukan pencairan basis ideologi mereka, dengan cara
mengubah sifat organisasi yang eksklusif menjadi inklusif.
Perubahan ini membuka kemungkinan bagi partai untuk
melakukan reposisi dan redefinisi fungsi mereka yang

segmen pemilihnya. Salah satu cara agar bisa meraih dukungan pemilih dari luar basis
tradisional, partai Islam melakukan pembenahan dalam membangun isu politiknya
dengan tidak menonjolkan syariat Islam secara vulgar walaupun tetap tidak mengubah
jati dirinya sebagai partai Islam. Begitu pun partai Nasionalis berusaha untuk menggaet
pemilih di luar basis tradisionalnya, dengan cara membangun komunikasi dengan tokoh-
tokoh Islam.
3 Di sisi lain, kelompok Islam tradisionalis melakukan sophistikasi dalam pendekatan
dengan kelompok abangan. Partai-partai yang semula dikenal “hijau” mulai mencoba
untuk menampilkan wajah nasionalis dengan mereduksi isu-isu penegakan syariat Islam
dan negara Islam dalam kampanyenya, sebagaimana dilakukan oleh PPP dan PKS. Ketika
masih bernama Partai Keadilan (PK) dengan mengusung isu Islam, partai ini tidak
mendapatkan suara yang signifikan dalam Pemilu 1999; di parlemen hanya memperoleh
tujuh kursi. Namun, setelah melakukan pembenahan dan mengganti nama menjadi
Partai Keadilan Sejahtera (PKS),serta meluncurkan isu yang lebih riil dan menjadi
dambaan masyarakat, seperti penegakan keadilan dan pemberantasan korupsi dengan
semboyan ”bersih dan peduli”, perolehan kursi PKS meningkat menjadi 45 kursi pada
Pemilu 2004. Namun sebaliknya PPP, meskipun sudah memperbaharui isu—dari isu
syariat Islam dan negara Islam menjadi isu “mendukung” Pancasila—tetap saja stagnan
dengan 58 kursi. PBB yang tetap ngotot dengan syariat Islam juga melorot, dari 13 kursi
dalam Pemilu 1999 menjadi 11 kursi dalam pemilu 2004. PDI-P yang unggul dengan
153 kursi dalam Pemilu 1999, juga melorot dengan perolehan 109 kursi saja pada Pemilu
2004.

Politik Ambivalensi [ xlix ]


semakin jelas dan efektif dalam dinamika politik (Katz and
Mair, 1955). Partai tidak sekadar berfungsi sebagai pencari
legitimasi (perspektif partai elite) atau menyalurkan aspirasi
massa (perspektif partai massa). Perubahan ini terjadi karena
masuknya perspektif perilaku rasional ke dalam wacana
perdebatan ilmiah mengenai peran dan fungsi partai politk
(Downs, 1957).
Kenyataan tersebut di atas dipengaruhi oleh adanya
perkembangan aspirasi politik masyarakat yang membangun
kesadaran dari para pelaku politik untuk berpikir bagaimana
bisa merangkul berbagai kepentingan yang ada. Apalagi hal
ini didukung oleh keyakinan LaPalombara dan Weiner (1966),
bahwa kegagalan partai politik dalam menyesuaikan diri
dengan lingkungan yang berkembang merupakan penyebab
utama matinya sebuah partai politik. Dengan demikian, banyak
partai yang aktif dalam menjaring aspirasi yang berkembang,
dan hal ini telah melahirkan format baru dalam partai politik
yang dikenal dengan catch-all party.
Dalam pandangan Riswanda Imawan (2004), terbentuknya
catch-all party di era multi partai merupakan kelanjutan politik
era Orde Baru yang menolak ideologi kiri-kanan, sehingga
kedua spektrum ideologi harus hilang. Hilangnya ideologi
ini menurutnya justru akan menghancurkan negara seperti
yang terjadi di negara-negara sosialis. Untuk melukiskan
kondisi tersebut, Riswanda mengutip pernyataan Bell, ‘bahwa
bangkrutnya negara-negara sosialis adalah akibat kosongnya
makna dikotomi “kiri-kanan” dalam perspektif ideologi politik’.
Ia berpendapat bahwa bila kubu tengah terbentuk karena
penolakan terhadap kubu “kiri atau kanan”, maka format

[ l ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


catch-all party itu sendiri merupakan refleksi dari kehadiran
satu ideologi baru.4
Tanpa ideologi terbuka, kemungkinan politik mengarah
kepada pragmatisme dan oportunisme yang sangat akut.5
Logika produsen-konsumen yang merupakan pondasi
pasar ekonomi menjadi dasar dalam kebijakan partai.
Menurut Riswanda, logika ini mengandaikan bahwa segala
pergulatan politik bergantung pada kreatifitas elite dalam
menggiring massa politik untuk larut ke dalam jualan politik
yang ditawarkan. Selanjutnya, ia mengatakan bahwa bila

4 Untuk lebih jelasnya, lih. Riswanda Imawan, Partai Politik Di Indonesia: Pergulatan
Setengah Hati Mencari Jati Diri, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu
Politik pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta,
4 September 2004.
5 Hingga saat ini, masih terdapat beragam pemahaman atas apa yang dimaksud dengan
partai Islam. Hal ini sejalan dengan pandangan yang berkembang di kalangan umat Islam,
khususnya di Indonesia tentang hubungan antara Islam dan negara yang juga mendapat
beragam tanggapan. Bagi kalangan akademisi, keragaman pandangan ini tidak terlalu
sulit untuk dipahami. Akan tetapi, bagi kalangan awam keragaman ini masih relatif sulit
dipahami dan tidak jarang menimbulkan gesekan-gesekan yang berpotensi memicu
konflik. Untuk itulah, dalam kajian ini penting dikemukakan tentang apa yang dimaksud
dengan partai Islam dan yang terkait dengan hal ini berikut argumentasi-argumentasi
yang melandasinya, agar keragaman pandangan tentang apa yang dimaksud dengan
partai Islam mendapat apresiasi yang proporsional. Pembahasan ini menjadi terasa
penting bila dikaitkan dengan posisi umat Islam Indonesia yang menempati jumlah
terbanyak di dunia, sekaligus yang memiliki jumlah partai Islam terbanyak pula. Sebagian
kalangan berpendapat bahwa yang dimaksud dengan partai Islam adalah partai-partai
yang menggunakan nama atau simbol-simbol keislaman. Sebagian yang lain menyatakan
bahwa yang dimaksud dengan partai Islam adalah partai yang menjadikan Islam sebagai
azasnya. Sebagian kalangan lagi menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan partai
Islam adalah partai yang bertujuan memperjuangkan kepentingan-kepentingan umat
Islam, meskipun tidak menggunakan simbol atau atribut Islam, dan masih banyak lagi
pendapat tentang hal ini. Dari berbagai pendapat tersebut, paling tidak dapat ditemukan
suatu rumusan tentang apa yang dimaksud dengan partai Islam dengan kriteria sebagai
berikut. Pertama, partai yang menggunakan nama, azas, tanda gambar, yang terkait
dengan Islam. Kedua, partai yang konstituen utamanya adalah umat Islam. Ketiga, partai
yang program dan tujuannya memperjuangkan kepentingan semua warga negara, tetapi
konstituennya adalah umat Islam. Jadi, yang dimaksud dengan partai Islam adalah partai
yang di dalamnya mengandung ketiga unsur di atas. Lebih jelas mengenai karakteristik
partai, khususnya partai politik peserta Pemilu 1999, lihat Partai-Partai Politik Indonesia,
Ideologi dan Program, 2004-2009, PT. Kompas Media Nusantara, 2004.

Politik Ambivalensi [ li ]
kalkulasi elitis ini terjadi dalam sistem politik yang masih
memberlakukan personifikasi institusi, maka format catch-
all party berpotensi melahirkan oligarkhi dalam tubuh partai
itu sendiri. Dan, hal ini bertentangan dengan jati diri partai
politik sebagai pilar demokrasi.6
Kenyataan tersebut di atas dipengaruhi oleh adanya
perkembangan aspirasi politik masyarakat yang membangun
kesadaran dari para pelaku politik untuk berpikir bagaimana
bisa merangkul berbagai kepentingan yang ada. Apalagi hal ini
didukung oleh kenyataan bahwa kegagalan partai politik dalam
menyesuaikan diri dengan lingkungan yang berkembang
merupakan penyebab utama matinya sebuah partai politik.
Dengan demikian, banyak partai yang aktif dalam menja­
ring aspirasi yang berkembang, dan hal ini telah melahirkan
format baru dalam partai politik yang dikenal dengan catch-all
party.7 Posisinya berada di antara kutub dikotomi partai elite dan
partai massa. Menurut Riswanda, format ini mengagungkan
pragmatisme dan rasionalitas sebagai pilar penyangga sistem
politik yang demokratis. Dengan prinsip pragmatisme dan
rasionalitas ini, dimungkinkan bagi masyarakat untuk berpikir
tentang “politik tanpa alur” (politics without cliches), tidak

6 Untuk lebih jelasnya, Lih. Riswanda Imawan, Partai Politik Di Indonesia: Pergulatan
Setengah Hati Mencari Jati Diri, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu
Politik pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta,
4 September 2004.
7 Dasar pertimbangan utama mengapa partai politik tergoda untuk membangun catch-
all party adalah keinginan untuk memenangkan pemilu. Baik catch-all party yang
berbasis partai massa maupun partai kader sama-sama berpandangan bahwa untuk
memenangkan pemilu, mereka harus menangkap semua atau berbagai kelompok
kepentingan. Hal ini dilakukan dengan cara memperlunak ideologi mereka agar dapat
masuk ke dalam berbagai kelompok. Semua catch-all party menjanjikan kondisi yang
lebih baik bagi pengusaha, upah dan jaminan sosial yang lebih baik bagi pekerja, harga
terjangkau dan dukungan pada petani, jaminan hari tua, bantuan terhadap pengusaha
kecil, pedidikan dan lapangan kerja yang lebih baik bagi pemuda, dan sebagainya. Lebih
jelasnya, lih. Mark N. Hagopian, Regimes, Movements, and Ideologies, A Comparative
Introduction to Political Science, New York and London, Logman Inc., 1978.

[ lii ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


menjadi tawanan ideologi sehingga masyarakat mampu
menyikapi berbagai masalah tanpa prakonsepsi, tanpa distorsi
ideologis, dan tanpa kekakuan bersikap partisan.
Dalam rangka merealisasikan ambisi partai politik
membangun partai catch-all,8 beragam cara dilakukan, tidak
hanya oleh partai yang punya segmentasi pemilih santri
(Islam), tetapi juga partai yang punya segmentasi pemilih
abangan (Nasionalis). Untuk merambah massa dengan
beragam ideologi, beberapa partai Islam dan Nasionalis
mencoba mengubah citra diri. PDI-P membentuk Baitul
Muslimin untuk merebut simpati generasi muda Islam.
PAN kian bergeser ke arah Nasionalis, sementara PBR
mengawinkan Islam dan Sosialisme. Begitu juga PPP dan
PKS berupaya melunakkan isu syariat Islamnya, dan hanya
PBB yang secara konsisten mengampanyekan Syariat Islam.
Semua pergeseran itu akan membawa konsekuensi politik para
pendukung tradisionalnya. Hal ini didukung oleh hasil temuan
lapangan yang menunjukkan bahwa segmentasi pemilih pada
Pemilu 2009 sudah mengalami perluasan, karena hampir
semua partai telah keluar dari basis tradisionalnya baik secara
terang-terangan maupun tersembunyi.

Koalisi Pragmatis dalam Pilkada


Jika dilihat dari jumlah partai yang memperoleh kursi di
parlemen, sistem kepartaian pasca-Reformasi menunjukkan

8 Partai jenis ini, di permukaan hampir serupa dengan partai massa. Namun, berbeda
dengan partai massa yang mendasarkan diri pada kelas sosial tertentu, partai catch-all
mulai berpikir bahwa dirinya mewakili kepentingan bangsa secara keseluruhan. Partai
jenis ini berorientasi pada pemenangan pemilu sehingga fleksibel untuk berganti-ganti
isu di setiap kampanye. Partai catch-all juga sering disebut sebagai partai electoral-
professional atau partai rational-efficient. Namun, bergesernya posisi ideologis partai
politik akan mengakibatkan hilangnya identitas masing-masing. Bisa jadi, setiap partai
politik punya isu dan program yang sama sehingga tidak ada preferensi yang akan
dijadikan dasar dalam menentukan pilihan politik.

Politik Ambivalensi [ liii ]


pluralisme terpolarisasi. Namun sejatinya, dalam konteks
ideologi masing-masing partai punya kesamaan. Kondisi
ini berpeluang pada terbangunnya koalisi antarpartai tanpa
ada hambatan ideologis. Dalam hal ini, argumen yang bisa
diajukan adalah bahwa dalam rangka memenangkan pilkada,
partai politik akan melakukan koalisi satu sama lain dengan
mudah tanpa ada hambatan ideologis, bahkan cenderung
pragmatis.9
Lebih jauh, di tingkat lokal ditemukan adanya pola persai­
ngan partai yang tidak konsisten di tingkat elektoral. Dalam
pemilu legislatif, persaingan antarpartai begitu tinggi, tetapi
dalam kasus pilkada banyak partai yang bersaing tersebut
justru bahu membahu untuk memenangkan persaingan.
Sebagaimana kita pahami, dalam pemilu legislatif, partai
terlibat persaingan yang sengit yang bersumber pada cleavages
(Islam vs Nasionalis). Namun, dalam kasus Pilkada tampaknya
mereka mengabaikan ideologi, dan justru bekerja sama
walaupun tampaknya berseberangan ideologi.
Fakta terjalinnya koalisi antara partai yang berlainan
ideologi, disinyalir hanya bersumber pada vested interest, yakni
kepentingan untuk meraih kekuasaan, jabatan, dan privilese
ekonomi. Namun demikian, menurut saya kondisi ini juga
dikarenakan jarak ideologi di antara masing-masing partai
yang tidak terlalu ekstrim. Berbeda dengan pandangan saya,
kondisi demikian menurut Ambardhi justru menunjukkan
sebuah sistem kepartaian yang terkartelisasi. Sebagaimana
dikemukakan Ambardhi, kondisi sistem kepartaian yang

9 Teori tentang koalisi digambarkan oleh Lieven De Winter dan Patrick Dumon, “Parties
Into Government: Still Many Puzles”, dalam Richard S Katz dan William Croty (edt),
Handbook of Party Politics, London: SAGE Publication, 2006. Sedangkan teori koalisi
berbasis ideologi dikemukakan oleh de Swan (1973) yang menekankan pentingnya
ideologi partai dalam pembentukan koalisi. Lih. Kuskridho Ambardhi, Mengungkap
Politik Kartel, Jakarta: PT Gramedia, 2009. hlm. 26-27.

[ liv ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


terkartelisasi di Indonesia pasca-Reformasi menjadi ajang
“penjarahan” sumber daya alam atau keuangan negara baik
secara legal maupun ilegal.10 Dampak dari sistem kepartaian
yang terkartelisasi ini adalah terjadinya kolusi antara
pemerintah dan partai politik yang pada akhirnya merugikan
kepentingan konstituen.
Sebagaimana kita pahami bahwa sistem kepartaian
yang terpolarisasi ekstrim sulit untuk terjadinya koalisi di
antara partai politik (marginal turn over) dalam membangun
pemerintahan. Sementara itu, dalam sistem pluralisme
moderat, proses koalisi agak mudah karena tidak terlalu
banyak partai yang bermain sehingga peta koalisi bisa dimini­
malisir. Hasil pemilu menunjukkan bahwa perwakilan di
parlemen masih tergolong pluralisme moderat bila dilihat
dari jarak ideologi. Dengan demikian, PDI-P, Golkar, dan
PKB dapat dengan mudah mendorong kader masing-masing
dalam persaingan pilkada, tetapi mereka lebih memilih aman
dengan cara berbagi kekuasaan di antara mereka. Walaupun
pada mulanya, koalisi (untuk mengusung calon presiden
maupun kepala daerah) dibangun atas dasar kedekatan
ideologi, tetapi dasar utama lebih banyak pada sisi pragmatis.
Maka, dalam kasus tertentu, adakalanya partai-partai yang
sangat berseberangan secara ideologis, bisa berkoalisi dan
bekerja sama dalam mengusung calon kepala daerah karena
kepentingan untuk mengusung calon (kasus Pilkada).11

10 Penjelasan lebih lanjut mengenai sistem politik yang terkartelisasi, lih. Kuskridho
Ambardhi, Mengungkap Politik Kartel, Jakarta: PT Gramedia, 2009.
11 Kasus Pilkada Jatim bisa dijadikan contoh. Untuk memenuhi syarat minimal pencalonan
pasangan Khofifah-Mujiono, PPP dan PDS yang secara ideologis berseberangan harus
menyatu dan berkoalisi. Secara ideologi, PPP menyatakan diri sebagai partai Islam seperti
yang dicantumkan dalam asas partai, sementara PDS merupakan partai yang lahir dari
kalangan Nasrani walaupun secara asas menggunakan Pancasila.

Politik Ambivalensi [ lv ]
Koalisi yang dibangun atas dasar pragmatisme sebagaimana
di atas berdampak pada terciptanya pemerintahan tanpa arah
kebijakan yang jelas. Bahkan kesulitan yang sering terjadi dalam
mengelola pemerintahan bisa dilihat baik di pusat maupun
di daerah. Koalisi demikian, dibangun hanya dalam konteks
berbagi kekuasaan, tetapi tidak linier dengan dukungan partai
dalam persoalan arah kebijakan politik pemerintah yang akan
dijalankan. Lebih lanjut, koalisi pragmatis ini juga berdampak
pada , lahirnya banyak lobi dan transaksi di tingkat parlemen,
yang cenderung bersifat material dalam mengegolkan satu
kebijakan. Hal ini telah mendorong lahirnya genetika parlemen
lama yang penuh dengan perilaku korup. Walaupun demikian,
akibat sistem pemerintahan presidensil yang tidak memberi
ruang kepada rakyat untuk melakukan mosi tidak percaya
kepada pemerintah, maka posisi pemerintahan baik di pusat
maupun di daerah tetap aman, seberapa parah pun hancurnya
bangunan koalisi.
Dilihat dari spektrum ideologis yang ada sekarang, partai-
partai yang punya potensi tinggi untuk memba­ngun koalisi
adalah partai politik yang berideologi nasionalis religius.
Sebagai catatan, apakah sebuah partai tergolong nasionalis
sekuler atau nasionalis religius, sangat sulit dilihat dari
platform partai. Namun, partai nasionalis religius bisa dilihat
dari komposisi dukungan atau basis pemilih yang dibidik
dan tentunya dengan aspek sosiologis dan historis dari partai
tersebut. Melihat dari konfigurasi ideologis yang ada, maka
partai yang termasuk berideologi nasionalis religius dengan
dukungan pemilih yang cukup signifikan adalah Partai Golkar,
Partai Demokrat, dan termasuk juga PAN dan PKB yang
punya kedekatan secara historis dan sosiologis dengan Islam.
Sementara itu, dua kutub yang ekstrim, yang secara ideologis
tidak mungkin dipertemukan, walaupun secara pragmatis bisa

[ lvi ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


ketemu, adalah PDI-P dengan ideologi nasionalisnya pada
satu kutub, serta PKS, PPP,12 dan PBB yang berideologi Islam
pada kutub lainnya.

Rendahnya Tingkat Pelembagaan Partai


Demokrasi di negara-negara Barat didukung oleh
tingginya tingkat pelembagaan partai dan sistem kepartaian
sehingga terwujud akuntabilitas sistem politik yang baik.
Sebaliknya, di negara yang baru menerapkan sistem demokrasi
seperti Indonesia, tingkat pelembagaannya rendah dan hal ini
menyebabkan rendahnya akuntabilitas politik. Mengutip hasil
penelitian Mainwaring dan Scully di Amerika Latin, ada empat
faktor yang menjadi penyebab lemahnya sistem kepartaian.
Pertama, pola elektoral yang tidak stabil. Kedua, rapuhnya akar
partai dalam masyarakat. Ketiga, rendahnya legitimasi partai
dan Pemilu bagi mereka yang memerintah. Keempat, aturan
dan struktur organisasi partai yang tidak stabil.

Rendahnya Stabilitas Elektoral


Rata-rata electoral volatility Indonesia pasca Orde Baru
relatif tinggi (29,38); pada Pemilu 2004 sebesar 28,55 dan
Pemilu 2009 sebesar 29,74. Implikasinya, tingkat keluar
masuk partai ke dalam parlemen sangat tinggi. Hal ini
mendorong partai-partai petahana membangun kerja sama
guna membatasi partai baru masuk dalam sistem. Tingginya
biaya politik untuk mempertahankan kinerja elektoral partai
berimplikasi pada upaya eksploitasi keuangan negara secara
berjamaah.

12 Kembalinya PPP ke Khittah 1973 menandai tekad partai berlambang Ka’bah ini
melepaskan diri dari dilema ideologi. Menghadapi Pemilu 2004 lalu, PPP tetap
mengedepankan prinsip istiqomah dalam melakukan tugasnya sebagai partai politik
yang berasaskan Islam.

Politik Ambivalensi [ lvii ]


Menurunnya jumlah partai yang mendapatkan kursi di
DPR (dari 21, kemudian menjadi 17, dan terakhir sembilan
partai) tetap tidak mendorong ke arah stabilitas politik.
Walaupun jumlah partai semakin sedikit, tetapi nilai effective
number of party (ENP) meningkat, yaitu dari 5,06 pada Pemilu
1999, 8,55 pada Pemilu 2004, dan 9,59 pada Pemilu 2009.
Besarnya ENP berarti semakin meratanya distribusi perolehan
suara sehingga partai yang memperoleh suara signifikan
semakin bertambah. Dengan demikian, pola kompetisi di
tingkat parlemen menjadi semakin tinggi dan berdampak pada
terjadinya kompromi politik yang menegasikan kepentingan
publik. Dan, semakin banyaknya partai yang memperoleh kursi
signifikan di DPR berimplikasi pada semakin kompleksnya
pola komunikasi antarparpol sehingga mendorong terjadinya
bargaining politik yang melahirkan korupsi dan kolusi.

Akar Partai Rapuh


Pada Pemilu 1999, ada sekitar enam partai politik yang
memperoleh suara lebih dari 2,5%, yaitu PDI-P, Golkar, PKB,
PAN, PPP, dan PBB. Namun pada Pemilu 2004, PBB tersingkir
dari pentas pemilu berikutnya karena dengan perolehan suara
2,56% dan kursi 2,09% tidak cukup memenuhi tuntutan
threshold 3%. Sebagai penggati PBB, masuk dua partai politik,
satu partai lama yaitu PKS (pada Pemilu 1999 masih bernama
PK) dan satu lagi partai baru yaitu Partai Demokrat. Kedua
partai ini memperoleh suara cukup berimbang: PKS 7,20%
dan Partai Demokrat 7,46% dengan persentase kursi masing-
masing 8,18% dan 10,36%. Sementara itu, lima partai yang
yang lolos threshold Pemilu 1999, pada Pemilu 2004 tidak
tergoyahkan dan mendapat tiket untuk mengikuti Pemilu
2009, sehingga ada tujuh partai politik yang lolos threshold.
Perolehan suara kelima partai tersebut ialah sebagai berikut:
PDI-P 18,31%, Golkar 21,62%, PKB 12,61%, PAN 6,47%, PPP

[ lviii ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


8,16%, dengan perolehan kursi secara berturut-turut 19,82%,
23,27%, 9,45%, 9,45%, dan 10,55%.
Menurunnya dukungan elektoral konstituen partai
menun­jukkan bahwa tingkat afiliasi politik pemilih pada
partai semakin menurun. Kondisi ini merupakan imbas dari
ketidakjelasan relasi partai dan pemilih yang ditunjukkan
dari tiadanya benang merah antara aspirasi masyarakat dan
kebijakan pemerintah. Hal ini ditambah pula dengan semakin
kaburnya cita-cita ideal partai yang harus merepresentasikan
kehendak rakyat, dan kekaburan ini tampak pada banyak hal,
misalnya perilaku para wakil rakyat yang tidak elok.

Legitimasi Rendah
Tingkat pelembagaan partai politik sangat menentukan
terciptanya sistem keterwakilan politik yang berkualitas.
Reformasi struktural yang telah dilakukan sejak awal periode
Reformasi ternyata tidak serta merta meningkatkan kualitas
keterwakilan partai politik. Seluruh survei yang dilakukan
oleh berbagai lembaga untuk mengukur persepsi publik atas
kinerja partai politik menghasilkan temuan yang sama, yaitu
bahwa sebagian besar rakyat memiliki keraguan yang besar
bahwa partai politik dapat memenuhi harapan-harapan rakyat.
Jajak pendapat yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia
(LSI) memaparkan bahwa tujuh dari sepuluh orang Indonesia
tidak merasa partai-partai politik yang ada merepresentasikan
ide dan kepentingan mereka. Dalam representasi aspirasi, ada
kesenjangan yang cukup besar antara aspirasi pemilih dengan
sikap dan tindakan partai politik. Survei LSI menunjukkan,
65% publik menyatakan bahwa partai politik tidak
merepresentasi aspirasi mereka untuk berbagai isu publik:
posisi kelas sosial partai, isu ideologi dan sistem legal, dan isu
ekonomi. Menurut Nababan (2004), pemilih merasa bahwa

Politik Ambivalensi [ lix ]


partai politik sejauh ini lebih banyak melakukan tindakan yang
hanya menguntungkan kelompok-kelompok tertentu dan para
pemimpin partai, bukan pemilih pada umumnya.
Survei LSDP bulan Januari 2007 memaparkan, ada sekitar
50% pemilih baru yang menyatakan akan memilih partai
baru pada Pemilu 2009. Hasil terbaru jajak pendapat yang
dilakukan oleh Litbang Harian Kompas pada 5-6 September
2007 menginformasikan bahwa mayoritas responden yaitu
63,9% mengakui bahwa partai politik saat itu cenderung
mementingkan kekuasaan daripada kesejahteraan. Sebagian
besar responden mencurigai partai politik saat itu cenderung
dijadikan sebagai komoditas untuk kepentingan elite-elitenya.

Aturan Organisasi Partai Tidak Stabil


Dari sejumlah partai yang mengalami penurunan suara,
PDI-P merupakan partai dengan rata-rata yang tinggi, yaitu
menjadi 10,27%. Pada Pemilu 2004, perolehan suara PDI-P
turun 15,38%, dan pada Pemilu 2009 turun lagi sebesar
5,15%. PKB yang merupakan partai dengan tingkat konflik
elite yang tinggi juga tidak luput dari penurunan dengan rata-
rata 4,65% setelah mengalami penurunan 2,24% dan 7,06%
pada Pemilu 2004 dan 2009. Adapun Golkar yang merupakan
partai nasionalis dengan konstituen yang hampir mirip dengan
Demokrat, harus merelakan sebagian suaranya tergusur pada
Pemilu 2004 dan 2009 sebesar 3,69% dan 5,12% sehingga rata-
rata berjumlah 4,41%. Bagi PAN walaupun secara kumulatif
rata-rata 2,84% tidak besar, tetapi jika dibandingkan dengan
persentase perolehan suaranya, rata-rata penurunan yang
terjadi sangat signifikan. Dari 10,53%, 6,77%, ke 4,86% terlihat
perolehan suara PAN merosot drastis. Bertolak belakang
dengan PAN, PKS yang merupakan partai Islam Modernis
dengan basis massa yang sama dengan PAN justru terus

[ lx ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


mengalami peningkatan kinerja elektoralnya dengan rata-
rata peningkatan suara 3,32%. Pada Pemilu 1999 PKS (ketika
masih bernama PK) hanya memperoleh suara 0,8%, tetapi
pada pemilu 2004 mampu membalik keadaan menjadi 7,16%,
dan pada Pemilu 2009 memperoleh 7,43%.

Penutup
Tingkat persaingan yang sangat tinggi dalam pemilu atau
pilkada telah mendorong para kontestan untuk berusaha
dengan segala cara meraih simpati massa. Kondisi ini telah
mendorong mereka melakukan banyak aktivitas yang
lebih mirip pembelian suara (vote buying), seperti bantuan
pembangunan sarana dan prasarana, pemberian barang dan
layanan sosial, bahkan pemberian uang. Di tingkat lokal, hal
ini berdampak pada perilaku calon terpilih dalam menjalankan
tugasnya, seperti gubernur, bupati/walikota yang mendapat
bantuan pengusaha; mereka berusaha membayarnya dengan
berbagai kebijakan yang mengarah pada kepentingan mereka.
Kondisi ini berdampak pada terabaikannya kepentingan
masyarakat luas karena pelayanan publik yang seharusnya
diberikan kepada masyarakat akan terkurangi akibat kebijakan
yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat. Sementara itu,
keberadaan partai politik menjadi tidak berharga karena tidak
lagi sebagai lembaga yang berpengaruh dalam mengagregasi
kepentingan publik. Dalam penentuan kebijakan, perannya
sudah digantikan oleh para pengusaha yang menjadi penopang
utama dalam pemenangan pilkada. Kondisi ini mendorong
terjadinya abuse of power dalam pembuatan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Politik Ambivalensi [ lxi ]


Daftar Pustaka
Baswedan, Anis Raysid, 2004. Political Islam In Indonesia:
Present and Future Trajectory, Asian Survey, Vol. 44, No. 5.
Campbell, Angus, Gerald Gurin, and Warren Miller. 1960. The
American Voter. New York: John Wiley and Sons.
Down, Anthony. 1957. An Economic Theory of Democracy,
Harver and Brothers.
Geertz, Clifford.1986. Mojokuto: Dinamika Sosial Sebuah Kota
di Jawa, Jakarta: Pustaka Grafiti Pers.
Gaffar, Afan. 1992. Javanese Voters, A Case Study of Election
Under Party a Hegemonic Party System, Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Jaction, Karl D. 1980. Traditional Authority, Islam and Rebellion,
Berkeley: University of California Press .
Jainuri. 2010. Pergumulan Politik Antar Elit Partai di Aras
Lokal: Menguak Lahir dan Dinamika PAN Kota Malang,
Malang: Citra Mentari Press.
King, Dwight Y. 2003. Half-Hearted Reform, Electoral
Institution And The Struggle For Democracy In Indonesia.
USA: Praeger Publisher.
Liddle and Mujani. 2007. “Leadership, Party, and Religion:
Explaining Voting Behavior in Indonesia”. Comparative
Political Studies, July 2007 40: 832-857, May 25.
Harrop, Martin and William L. Miller. 1987. Elections and
Voters, A Comparative Introduction. Hongkong: The
MacMillan Press Ltd.
Nurjaman, Asep. 2012. Pola Hubungan Partai dan Pemilih di
Tengah Memudarnya Politik Aliran. Malang: Citra Mentari
Press.

[ lxii ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


______. 2010. Mangubur Ideologi, Menabur Materi: Perilaku
Politik Pasca Reformasi 2009, Malang : UMM Press.
Tan, Paige Johnson. 2006. “Indonesia Seven Years after Suharto:
Party System Institutionalization in a New Democracy,”
Contemporary Southeast Asia 28, 1.
Ufen, Anreas. 2006. Political Parties in Post-Soeharto Indonesia:
Between Politik Aliran and ‘Philippinasation’, GIGA
Research Programme: Legitimacy and Efficiency of
Political System.
______. 2008. “From Aliran to Dealignment: Political Parties
in Post Soeharto Indonesia”. South East Asia Research,
Vol.16, No. 1, March 2008.
Key, V. O. , 1966. The Responsible Electorate: Rationality in
Presidential Voting, 1936–1960, Massachussetts: Harvard
University Press.
Schattschneider, Elmer Eric.1960. The Semisovereign People:
A Realist’s View of Democracy in America. Holt, Rinehart,
and Winston.

Politik Ambivalensi [ lxiii ]


Daftar Isi

Sepatah Kata
Perspektif Baru Terhadap Fenomena Patronase
di Indonesia.......................................................................... iii
Kata Pengantar - Dari Praktik Politik ke Nalar Politik .. x
Kata Pengantar
Pragmatisme Politik: Menakar “Harga” Partai
dalam Pemilu dan Pilkada.................................................. xlv
Daftar Isi .............................................................................. lxiv
Daftar Gambar .................................................................... lxvii
Daftar Tabel ......................................................................... lxviii
Daftar Akronim dan Glosarium ....................................... lxviv

BAB I
Melacak Nalar Elite Lokal dalam Upaya Pemenangan
pada Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA)................... 1
A. Pilkada Kalimantan Timur (Kaltim) ........................ 6
B. Elite Politik di Kutai Timur (Kutim) dan Kaltim..... 7
C. Melacak Nalar Elite yang Berkontestasi.................... 7
1. Studi-studi tentang Kontestasi Antarelite.......... 16
2. Kajian Penalaran Demokrasi............................... 24
D. Nalar Elite (AFI) dalam Meraih Kemenangan
dalam Pilkada di Kaltim.............................................. 31

BAB II
Dinamika Politik Lokal: Melacak Jejak Perjalanan
dan Interaksi Politik AFI ................................................... 36

[ lxiv ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


A. Konstelasi Politik.......................................................... 38
1. Hasil Pemilu 1999................................................. 41
2. Hasil Pemilu 2004................................................. 44
3. Peta Pilkada Kutim dan Kaltim........................... 45
B. Rekam Jejak AFI .......................................................... 53
1. Aktivis Ormas....................................................... 54
2. Relasi Patron-Klien............................................... 55
C. Melacak Nalar Politisi.................................................. 58
D. Strategi Elite Demokrat............................................... 62
1. Menaati Regulasi .................................................. 63
2. Memengaruhi Perilaku Pemilih.......................... 65
3. Dilema Money Politics.......................................... 69

BAB III
Nalar Politik Sang Bangsawan:
Menelisik Dua Pilkada Kutim (1999-2005)..................... 75
A. Pemberian Gelar Kebangsawanan............................. 76
B. Elite dan Momentum Pemekaran Wilayah............... 82
C. Implikasi Penetapan AFI sebagai Bupati Kutim...... 86
D. Bapak Pembangunan yang Dermawan..................... 99
E. Revitalisasi Pertanian................................................... 100
F. Pemberian Pinjaman Modal ...................................... 103
G. Rekayasa Modal Sosial................................................ 104
H. Merajut Patronase ....................................................... 110
I. Menggalang Dukungan Parpol.................................. 111
J. Safari (Blusukan) dari Desa ke Desa.......................... 112

BAB IV
Ambivalensi Nalar Politik:
Studi Dua Pilkada Kaltim (2003 dan 2008)..................... 116
A. Fenomena Empiris tentang Praktik Money Politics
dan Patronase ............................................................... 117
1. Mengikat Patronase dengan Masyarakat
Pedalaman dan Pesisir ......................................... 121

Politik Ambivalensi [ lxv ]


2. Patronase dengan Ketua Adat............................. 123
3. Menjawab Kebutuhan Masyarakat..................... 128
B. Nalar Aktivis: Dilema Mahar Politik......................... 131
BAB V
Refleksi Teoretis: Konseptualisasi Politik Ambivalensi.. 157
A. Kritik Terhadap Teori Patronase................................ 158
B. Kritik Terhadap Teori Strategi Politik ...................... 163
C. Normalisasi Cara Pandang terhadap Money Politics 165
D. Pemberian-Penerimaan sebagai Budaya .................. 171

BAB VI
Kesimpulan ......................................................................... 184
A. Perspektif Normatif/Idealis ........................................ 184
B. Perspektif Pragmatis ................................................... 185
C. Politik Ambivalensi...................................................... 186
D. Redefinisi Konsep Money Politics............................... 188
E. Konstruksi Politik Ambivalensi................................. 189
F. Paradigma Baru: Sebuah Tawaran ............................ 191
G. Urgensi Rekonstruksi Teori Demokrasi ................... 196
H. Rekomendasi Penulis terhadap Penelitian Sejenis
di Tanah Air.................................................................. 199

Indeks.................................................................................... 201
Kepustakaan......................................................................... 205

66 Lampiran I
Nara Sumber Wawancara/Diskusi............................. 224
66 Lampiran II
Pedoman Wawancara.................................................. 226
66 Lampiran III
Daftar Gubernur Kalimantan Timur......................... 231

[ lxvi ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


Daftar Gambar

66 Gambar 1.1. Nalar Politik Ambivalensi .................... 12


66 Gambar 2.1. Hasil Pemilu 1999 di Kaltim................ 41
66 Gambar 2.2. Peta Politik Kaltim 2004....................... 44
66 Gambar 4.1. Peta Kalimantan Timur........................ 130
66 Gambar 5.1. Kluster Patron-Klien versi Scott.......... 159
66 Gambar 5.2. Kluster Patron-Klien versi Guno......... 160
66 Gambar 5.3. Skema Piramida
Patron-Klien versi Scott.............................................. 162
66 Gambar 5.4. Piramida Dinamika
Patron-Klien versi Guno............................................. 162
66 Gambar 5.5. Patronase dalam Tradisi Erau
(Pemberian sebagai pewujudan kharisma) .............. 175
66 Gambar 5.6. Patronase dalam Tradisi Erau
(Pemberian gelar menaikkan martabat) .................. 176
66 Gambar 5.7. Nalar Politisi
Pemberian sebagai Kebiasaan/Budaya...................... 178
66 Gambar 5.8. Nalar Aktivis Strategi Politik ............... 179
66 Gambar 5.9. Nalar Politik Ambivalensi .................... 179

Politik Ambivalensi [ lxvii ]


Daftar Tabel

66 Tabel 2.1. Penduduk Kaltim Menurut Agama (%).. 43


66 Tabel 2.2. Persentase Hasil Pemilu 1999 di Kaltim.. 43
66 Tabel 2.3. Peta Pilkada Kaltim 2005-2006................. 49
66 Tabel 4.1. Kekuatan Partai Politik
di DPRD Kaltim 2004-2009........................................ 131
66 Tabel 4.2. Komposisi Penduduk Kaltim
Berdasarkan Kelompok Etnis..................................... 140
66 Tabel 4.3. Hasil Pilkada 2008 Kaltim Putaran I........ 151
66 Tabel 4.4. Hasil Pilkada 2008 Kaltim Putaran II...... 153

[ lxviii ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


DAFTAR AKRONIM
DAN GLOSARIUM

• adat: kebiasaan atau budaya yang sudah ada dalam masyarakat


• ABRI: angkatan Bersenjata Republik Indonesia
• AFI: Awang Farouk Ishak
• AHAD: Amins-Hadi
• argumen: pokok pikiran atau alasan dasar
• Awang: gelar bangsawan Kutai
• BPS: Badan Pusat Statistik
• budaya pemberian: kebiasaan pemberian-penerimaan dalam
masyarakat Kaltim
• data: informasi yang relevan dengan topik yang sedang diteliti
• deskripsi: menjelaskan atau memaparkan
• desentralisasi: pengelolaan pemerintahan yang didelegasikan
ke daerah
• DPD: Dewan Perwakilan Daerah
• DPRD: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
• DPR: Dewan Perwakilan Rakyat
• eksekutif: pemerintahan yang memiliki kewenangan untuk
melaksanakan undang-undang
• elite lokal: sekelompok orang yang menguasai pemerintahan
di daerah
• elite politik: sekelompok orang yang mengendalikan
pemerintahan atau partai politik
• elite: bangsawan atau keturunan Sultan yang memiliki pengikut
setia

Politik Ambivalensi [ lxix ]


• erau: pesta penobatan Raja Kutai Kartanegara
• Fisipol: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
• Golkar: Golongan Karya
• hegemoni: otoritas mengontrol atau menguasai masyarakat
• identitas etnis: jati diri yang tampak dalam kesukuan, bahasa,
adat, budaya dan agama
• investasi: upaya pemberian uang dan barang oleh elit kepada
klien
• implikasi: sesuatu yang tersimpul tersirat atau tersugestikan
dalam penelitian
• instrumentasi: pemanfaatan oleh elit politik
• internet: jaringan yang kompleks dan cepat meluas antar
komputer yang saling terjalin
• kader bemper: bangsawan yang loyal terhadap Sultan dan
Soeharto
• KALIMA: lima program unggulan: Ketaqwaan, Kebodohan,
Kesehatan, Kerja, dan kesenjangan
• kandidat: calon dalam Pilkada
• Kaltim: Kalimantan Timur
• kekerabatan: jalinan persaudaraan sekandung satu bapak dan
ibu
• klasifikasi: pemilahan data sesuai dengan variabel penelitian
• kontribusi: sumbangan berharga
• konsolidasi: suatu upaya untuk menghimpun kekuatan baru
yang solid
• KPUD: Komisi Pemilihan Umum Daerah
• KPK: Komisi Pemberantasan Korupsi
• KRB: Koalisi Rakyat Bersatu
• Kutim: Kutai Timur
• legislatif: dewan yang memiliki kewenangan membuat undang-
undang
• LSI: Lingkaran Survei Indonesia
• LP3ES: Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan
Ekonomi dan Sosial

[ lxx ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


• marjinal: kelompok masyarakat yang kurang mampu secara
ekonomi
• metode: cara mengumpulkan data
• money politics: pemanfaatan uang oleh elit politik dalam
memengaruhi massa
• mobilisasi massa: suatu upaya elite politik untuk memengaruhi
masyarakat dengan tujuan memeroleh dukungan
• nalar: berpikir logis dan sistematis
• No: Nomor
• NU: Nahdlatul Ulama
• Orba: Orde Baru
• otonomi daerah: kewenangan daerah untuk mengelola
pemerintahan
• otoriter: pemerintahan yang menguasai atau mengontrol
masyarakat
• PAN: Partai Amanat Nasional
• PDI-P: Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan
• PKB: Partai Kebangkitan Bangsa
• patronase: relasi antara dua pihak yang saling menguntungkan
• patronase ganda: upaya elite memanfaatkan relasi nasional dan
lokal untuk merengkuh kekuasaan
• Pemilu: Pemilihan Umum
• pemenangan: suatu kegiatan yang dilakukan oleh tim sukses
untuk mendukung kandidat
• perilaku pemilih: pikiran, perasaan, dan sikap pemilih
• Perda: Peraturan Daerah
• perspektif: cara pandang
• Pilkada: Pemilihan Kepala Daerah
• politik: seni atau taktik dalam pemerintahan
• politik pemberian: memberi dalam rangka amanah budaya
Kutai
• PKS: Partai Keadilan Sejahtera
• PPP: Partai Persatuan Pembangunan
• pragmatis: tindakan konkret atau langkah praktis
• primordialis: ikatan kekerabatan berdasar atas sedarah daging,
satu bahasa, agama dan adat

Politik Ambivalensi [ lxxi ]


• PTG: Pelaksana Tugas Gubernur
• qualitative research: penelitian untuk menemukan makna dan
implikasi
• rekayasa: upaya untuk menguasai atau memengaruhi
• rezim: cara pemerintahan suatu negara
• ruang publik: memberikan peluang bagi masyarakat untuk
berperan aktif
• sinkretis: pencampuran antara nilai-nilai politik,adat,budaya
dan agama
• sentralisasi: pengelolaan pemerintahan yang dipusatkan ke
Jakarta
• TNI: Tentara Nasional Indonesia
• UGM: Universitas Gadjah Mada
• Untag: Universitas Tujuhbelas Agustus
• Unmul: Universitas Mulawarman
• utang budi: upaya elite mengikat masyarakat dengan
memberikan uang dan barang
• UUD: Undang-Undang Dasar
• UU: undang-undang
• valid: informasi yang sah (akurat)
• www.: world wide web

[ lxxii ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


BAB I
MELACAK NALAR ELITE LOKAL DALAM
UPAYA PEMENANGAN PADA PEMILIHAN
KEPALA DAERAH (PILKADA)

P
enerapan sistem demokrasi di era Reformasi berdam­
pak pada diberlakukannya sistem nilai one man, one
vote, one value pada saat Pilkada berlangsung. Prinsip
dasar penyelenggaraan Pilkada adalah adanya apresiasi
terhadap hak-hak individual untuk menentukan aspirasi
politik. Namun, kenyataan bahwa kontestasi yang digelar
untuk merayakan hak-hak individual ini dilangsungkan dalam
masya­rakat yang mengedepankan kolektivitas, termasuk di
dalamnya kekerabatan, solidaritas etnis dan sebagainya belum
cukup diperhatikan.
Tanpa disadari, ada ketidaksesuaian kultur yang diabaikan
implikasinya oleh para pakar politik. Seolah-olah, kontestasi
untuk menentukan pemenang ini merupakan satu-satunya
cara mewujudkan kedaulatan rakyat. Seakan-akan, penerapan
skema yang diatasnamakan demokrasi tersebut benar-benar
kedap dari sistem budaya kekerabatan dalam masyarakat.
Padahal, masyarakat setempat telah hidup dalam sistem budaya
kekerabatan selama berabad-abad sehingga kapasitasnya
mementahkan skema yang diberlakukan. Faktanya, sepuluh

Politik Ambivalensi [ 1 ]
tahun penerapan skema demokrasi ini tidak menghapuskan
nilai-nilai budaya lokal. Bahkan, pemberlakuan skema tersebut
dibarengi dengan tidak kunjung matangnya—kalau bukan
melemahnya—parpol dalam mengagregasi kepentingan
masyarakat.
Kontestasi yang berlangsung pada tingkat individual tidak
berhenti pada individu itu sendiri. Masing-masing kontestan
memobilisasi dukungan secara jorjoran untuk memastikan
dirinya menang. Mereka rela mempertaruhkan uang dalam
jumlah besar dan terlibat dalam praktik yang disebut
sebagai money politics. Maraknya praktik ini pada Pilkada di
Kalimantan Timur (Kaltim) menjadi sebuah perbincangan
menarik. Elite yang tampil sebagai kontestan dari kalangan
bangsawan sangat cerdas menggunakan kebangsawanannya.
Mereka mengolah status atau posisi itu dan dengan cerdik
mendayagunakannya dalam bentuk relasi patron-klien.1
Patronase diperankan sebagai basis untuk memobilisasi
dukungan masyarakat. Elite mengikat batin tokoh masyarakat/
adat melalui pemberian, baik yang bersifat material maupun
non-material, yang secara derogatif dilabeli sebagai money
politics.2 Dalam hal ini, menarik untuk dicatat bahwa betapa

1 Heddy Shri Ahimsa Putra, Minawang: Hubungan Patron-Klien di Sulawesi Selatan.


(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1988); Heddy Shri Ahimsa Putra, The
Politics of Agrarian Change and Clientelism in Indonesia: Bantaeng, South Sulawesi, 1983
to 1990. Dissertation. (Columbia University,1993); Hans Antlov dan Pujo Semedi, Politik
Negara dalam Desa: Patronase Kepemimpinan Lokal, (Yogyakarta: Lempera Pustaka
Utama, 2002); James C. Scott, “Patron-Client Politics and Political Change in Southeast
Asia” dalam The American Political Science Review, Vol. 66, No.1. March, 1972. Yang
dimaksud dengan istilah elite politik dalam buku ini ialah Awang Farouk Ishak (AFI).
Penulis memfokuskan pada penalaran AFI dalam merengkuh kekuasaan sebagai Bupati
dan Gubernur Kaltim periode 2003-2008.
2 Penulis menggunakan istilah money politics bukan politik uang untuk menjelaskan
fenomena pemberian materi (uang) yang dilakukan oleh elite untuk memengaruhi
masyarakat, karena istilah money politics ini sudah lazim digunakan wartawan di media
nasional maupun lokal.

[ 2 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


pun sinisnya para pengamat terhadap praktik ini, faktanya,
mayoritas masyarakat tidak memersepsikannya demikian.
Justru sebaliknya, praktik tersebut disambut sebagai bentuk
kehor­matan atau kepedulian patron (bangsawan). Proses yang
biasanya dimaknai secara ketat sebagai skema demokrasi
itu dikait-kaitkan dengan kesejahteraan, khususnya sebagai
usaha pengentasan kemiskinan. Hal tersebut menandai
adanya praktik yang dalam studi ini disebut sebagai kebi­
asaan pemberian-penerimaan dalam masyarakat. Gejala ini
mengharuskan adanya pembahasan money politics dari pers­
pektif para pelaku di tingkat lokal.
Pada umumnya, para analis menilai bahwa pemberian
materi dan non-materi kepada masyarakat merupakan pelang­
garan hukum yang menghambat tumbuhnya kemandirian
demo­krasi dalam masyarakat. Berangkat dari vonis moral
tersebut, pengamat Hermawan Sulistyo mendefinisikan
money politics sebagai bentuk penggunaan uang dalam
rangka memperoleh kekuasaan politik.3 Meskipun demikian,
istilah money politics perlu disikapi dengan hati-hati.
Duverger mengingatkan bahwa dalam demokrasi liberal
uang berperan penting. Melalui uang itulah suara pemilih
diperoleh, lalu dikonversi menjadi jabatan publik. Duverger
memang menggunakan istilah money buying democracy untuk
mendeskripsikan pengaruh uang dalam pengisian jabatan
publik termasuk dalam Pilkada.4 Hanya saja, ada keperluan
untuk tidak membabi buta atau secara pukul rata menyatakan
bahwa pemberian tersebut dianggap sebagai tindakan tidak
bermoral.5 Terlepas dari popularitas telaah yang stigmatik

3 Hermawan Sulistyo dan A. Kadar, Uang dan Politik dalam Pemilu 1999, (Jakarta:
KIPP,2000), hlm. 6.
4 Maurice Duverger, Sosiologi Politik, (Jakarta: Rajawali Press, 2003), hlm. 258.
5 Menurut KPK dalam Surat No. B 143/01-13/01/2013 tentang himbauan kepada para
pejabat negara, pemberian uang, barang, dan jasa melanggar UU No.31 Tahun 1999

Politik Ambivalensi [ 3 ]
tersebut, tidak ada jaminan bahwa para pelakunya bersepakat
dengan penghakiman moral yang divoniskannya. Oleh
karena itu, pada masa kini, fenomena kebiasaan pemberian-
penerimaan tersebut perlu dikaji dari perspektif nalar para
pelakunya.
Dalam menyikapi skema Pilkada, elite diwacanakan ambil
bagian dalam menegakkan prinsip: one man, one vote, one
value. Dalam pewacanaan ini, suara individu diasumsikan
sebagai cerminan kedaulatan rakyat. Oleh karena itu, satu suara
sangatlah berharga karena akan menentukan kalah/menangnya
seorang elite dalam Pilkada. Dengan demikian, elite yang
memiliki kapasitas untuk berkontestasi saling adu pengaruh
melalui berbagai cara, termasuk money politics. Yang menjadi
persoalan dalam studi ini bukan akurat tidaknya kategorisasi
cara-cara (modus) melakukan praktik tersebut, melainkan
makna dari tindakan atau interaksi yang dijalin. Tindakan-
tindakan mereka dinilai tidak melibatkan ikatan batin dan
dilakukan dalam waktu yang relatif singkat.6 Pemaknaan
tersebut di atas justru dilakukan dari telaah yang berdurasi
singkat sehingga kesimpulan yang dihasilkan tidak akurat.
Elite bisa dan biasa saja melakukan kegiatan transaksional,

tentang Pemberantasan Tindak Korupsi. Lihat L. Sumartini dan Syaiful Watni, Money
Politics dalam Pemilu (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional,2005). Lihat
juga Amzulian Rifai, Politik Uang dalam Pemilihan Kepala Daerah, (Jakarta: Ghalia
Indonesia,2003). Kwik menyebut politik pemberian dengan sebutan ‘politik dagang
sapi’ yang merusak tatanan demokrasi. Kwik Kian Gie, Kebijakan Ekonomi Politik dan
Hilangnya Nalar, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006). Menurut hasil survei ICW
di Jakarta, Aceh, Jayapura, Banten, Kendari, dan daerah lain, dalam Pilkada masih
terjadi politik transaksional yang dianggap mengancam proses demokrasi di Indonesia.
“Pilkada di Indonesia masih dibajak oleh cukong dan elite lokal. Banyak APBD dipakai
oleh incumbent dan [mereka pun] menang, serta penyelenggara yang mudah diintervensi
politik. Namun, [Pilkada] belum bisa dibilang gagal, tinggal sistem harus diperbaiki. Saat
ini momentum pengawalan dalam pembahasan RUU Pilkada di DPR,” ungkap Abdullah
Dahlan memaparkan hasil riset ICW.
6 Kuskridho Ambardi, Mengungkap Politik Kartel (Jakarta: PT Gramedia-LSI,2009), hlm.
362-365.

[ 4 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


dan transaksi itu ikut mengembangkan kekuasaan. Namun,
tanpa telaah kontekstual, penghakiman yang divoniskan akan
tetap menjadi masalah serius.
Dampaknya, selama ini muncul pemahaman dalam
masya­rakat bahwa maraknya money politics mencerminkan
keke­cewaan terhadap kemajuan demokrasi di Indonesia.
Dalam konteks ini, ada hal penting yang luput dari pengamatan
para pakar. Pada mulanya, elite bersepakat bahwa penerapan
Pilkada langsung diniatkan sebagai pemberlakuan sistem
demo­krasi modern di Indonesia. Namun, hal ini tidak oto­
matis menghilangkan kebiasaan pemberian-penerimaan yang
sudah mengakar selama berabad-abad.7 Kebiasaan itu malah
terus berkembang pesat dalam masyarakat dan pada akhirnya
menjadi budaya.
Kita tahu bahwa budaya (culture) adalah all the arts,
beliefs, social institutions, etc. characteristic of a community,
race.8 Budaya yang mencakup kepercayaan dan institusi sosial
melekat dalam perilaku dan mewujud sebagai karakteristik
komunitas. Nilai-nilai budaya dijiwai dan memengaruhi
pola pikir dan perilaku masyarakat dalam kehidupan sehari-
hari. Sehubungan dengan hal ini, pemberlakuan mekanisme
berdemokrasi tidak semestinya dilepaskan dari konteks
budaya lokal. Telaah terhadap praktik pemberian materi dan
non-materi semestinya dilakukan tidak semata-mata dengan
pendekatan serupa penghakiman moral yang berpotensi
menyesatkan. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman yang
komprehensif dalam memahami nalar elite di balik upaya
pemenangan pada Pilkada. Jadi, fokus buku ini bukan pada

7 David Held, Models of Democracy (Cambridge: Polity Press, 1987); Clifford Geertz (ed.),
Old Societies and New States (New York: Free Press, 1963).
8 AS Hornby, Oxford Advanced Learners Dictionary of Current English (New York, Toronto:
Oxford University Press, 1986), hlm. 210.

Politik Ambivalensi [ 5 ]
tindakan memberi, melainkan pada nalar yang membangun
keyakinan akan keniscayaan untuk menang berkontestasi
dalam Pilkada.
Berdasarkan uraian di atas, dalam buku ini kajian
difokuskan pada Pilkada Kaltim, khususnya periode 2003-
2008.

A. Pilkada Kalimantan Timur (Kaltim)


Ada lima alasan mengapa Pilkada Kaltim menjadi awal
pemba­hasan dalam buku ini. Pertama, belum banyak pakar
yang mengkaji Pilkada Kaltim. Kedua, diterapkannya dua
sistem yang berbeda dalam Pilkada. Pada awal era Reformasi,
kepala daerah ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri. Seba­
liknya, dalam Pemilihan Bupati (2005) dan Gubernur Kaltim
(2008) digunakan sistem Pilkada langsung, yakni masyarakat
lang­sung memilih pemimpin mereka. Ketiga, kondisi
masyarakat majemuk. Hal ini menarik untuk dikaji karena
akan menyediakan berbagai perspektif tentang nalar elite
dalam pemenangan Pilkada. Keempat, stratifikasi sosial dalam
masya­rakat Kaltim menyebabkan kontestan dengan latar bela­
kang bangsawan niscaya menggunakan strategi patronase
dalam mengikat masyarakat. Kelima, dalam tradisi masyarakat
Kaltim, pemberian materi dan non-materi menjadi hal yang
biasa dipraktikkan untuk mempererat relasi. Adanya kebiasaan
pem­berian materi dan non-materi ini perlu digali lebih dalam,
apakah termasuk kasus praktik money politics atau bukan.
Pembahasan Pilkada Kaltim ini memiliki arti penting
sebagai wujud pengembangan teori demokrasi di Indonesia.
Diasumsikan bahwa nalar politik dalam pemenangan kontes­
tasi antarelite terkait dengan posisi elite itu sendiri sehingga
akan mengerangkai kekhasan praktik-praktik yang dilakukan
dalam berdemokrasi. Maka, dengan penghayatan secara

[ 6 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


kontekstual, diharapkan akan tersedia rujukan praktis yang
lebih akurat. Kontekstualisasi teori demokrasi yang bersesuaian
dengan kearifan lokal diharapkan akan mempersempit
kesenjangan antara teori dengan praktik demokrasi. Nalar
politik yang dipaparkan dalam buku ini mudah-mudahan
akan memungkinkan kita menyikapi secara lebih bijak gejala-
gejala yang diungkap dalam istilah money politics.

B. Elite Politik di Kutai Timur (Kutim) dan Kaltim


Studi ini fokus pada figur Awang Faroek Ishak (selanjutnya
disebut sesuai inisialnya: AFI). Pertama, sebagai Bupati Kutim
tahun 1999-2003. Kedua, juga sebagai Bupati Kutim (2005)
dan ketiga sebagai Gubernur Kaltim (2008). Sebagai salah satu
aktor utama dalam Pilkada tidak langsung (DPRD) dan Pilkada
langsung serta sebagai anggota DPR dua periode ketika Orde
Baru, ia figur yang tepat untuk dijadikan model dalam sebuah
perbincangan politik. Bagaimana ia menyikapi skema regulasi
yang diberlakukan dalam Pilkada dan mengelola patronase?
Penalaran seperti apa yang dikembangkannya dalam rangka
pemenangan Pilkada baik tidak langsung maupun langsung?
Berangkat dari adanya permasalahan dua perspektif yang
saling bersinggungan (ambivalen) tersebut, dalam buku ini
diungkap cara kerja nalar elite yang diliputi dua hal: aturan
mekanistik regulasi dalam berdemokrasi, dan keniscayaan
patronase (pemberian-penerimaan) yang lazim dalam
masyarakat.

C. Melacak Nalar Elite yang Berkontestasi


Dalam melacak nalar elite, buku ini berkiblat pada
demokrasi model Dahl, Sartori, Lijphart, Diamond, Linz dan

Politik Ambivalensi [ 7 ]
Lipset.9 Menurut mereka, demokrasi melibatkan kepatuhan
pada serangkaian kaidah. Di samping itu, buku ini juga
mengacu pada penjelasan Schroder, Scott, Wolf, dan Downs
perihal kontestasi antarelite yang tentu menyerap perhatian
dan energi para kontestan sehingga sangat mungkin bahwa
mereka akan mengorbankan kepatuhan pada kaidah-kaidah
berdemokrasi.
Menurut Schroder (2004), untuk merebut kekuasaan
haruslah ada kontestasi antarelite yang diwujudkan secara
demokratis melalui Pemilu.10 Elite bersaing dengan jujur dan
bebas untuk saling berebut kekuasaan dengan cara yang diatur
dalam regulasi. Masing-masing elite haruslah menaati regulasi
dan mengutamakan integritas yang terwujud melalui Pemilu
yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (disingkat
dengan luber dan jurdil). Dengan mengacu pada asumsi
Pemilu harus luber dan jurdil tersebut, elite yang berkontestasi
dan menang akan mendapatkan legitimasi yang kuat. Dalam
konteks kontestasi antarelite tersebut, dia memerlukan strategi
yang efektif agar dapat memenangkan Pemilu secara jujur
dan adil. Menurut Schroder (2004), strategi kontestasi dalam
pemenangan elite ada dua: ofensif dan defensif.11
Strategi ofensif adalah suatu cara untuk memperluas
segmen pemilih dan menembus segmen pemilih baru. Strategi
ofensif ini diperlukan oleh elite dalam rangka merebut massa
sebanyak-banyaknya. Dengan kata lain, strategi ofensif ini
menjadi penentu bagi elite, apakah dia diterima oleh pemilih
atau tidak. Semakin banyak dia memperluas segmen pemilih

9 Lihat Larry Diamond, Developing Democracy Toward Consolidation (Baltimore and


London: The John Hopkins University Press, 1999).
10 Peter Schroder, Strategi Politik (Jakarta: Fridrich Nauman Stiftung, 2004), hlm.4-10.
11 Ibid, hlm. 95-110.

[ 8 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


dan menembus pemilih baru, semakin besar peluangnya
untuk meraih suara banyak.
Sebaliknya, strategi defensif adalah suatu cara elite untuk
mempertahankan basis massa pendukung dari serangan lawan
politik. Dengan kata lain, elite membentengi basis massa
pendukung sedemikian rupa agar mereka tidak terpengaruh
bujukan dari lawan politik. Oleh karena itu, elite harus
dipastikan menjamin kecukupan kebutuhan massa pendukung
agar mereka tidak menerima pemberian uang, barang, dan
jasa dari lawan politik. Ketika mereka berhasil dipengaruhi
untuk menerima uang, barang, dan jasa dari lawan politik,
maka pertahanan basis massa pendukung rentan dan suara
mereka akan beralih ke lawan politik.
Untuk menerapkan strategi ofensif, diperlukan rekayasa
sosial dan program yang inovatif. Pertama, elite merekayasa
adanya ‘musuh bersama’ agar terwujud ‘rasa kekitaan’.
Diperlukan program-program inovatif yang populis dan
pencitraan elite sebagai problem solver terhadap kemiskinan,
kebodohan, perusakan alam, dan sempitnya lapangan kerja.
Dengan adanya program keberpihakan kepada masyarakat
menengah ke bawah dan bukti konkret elite berupa pemberian
bantuan materi, pendidikan gratis, pemberian tanah dan
pupuk, masyarakat akan menaruh simpati dan memilih elite
tersebut.
Bila elite dikenal dengan baik oleh masyarakat, apalagi
memiliki kedekatan dengan mereka, maka peluang untuk
dipilih sangat besar. Oleh karena itu, diperlukan strategi
pendekatan pribadi. Dengan teori Scott, bisa dijabarkan bahwa
elite memanfaatkan kultur patronase dalam berkompetisi
merebut kekuasaan sebagai kepala daerah. Sementara itu,
untuk menjelaskan strategi pendekatan pribadi yang relevan,

Politik Ambivalensi [ 9 ]
bisa diaplikasikan teori Scott dan Eric R. Wolf12 berkaitan
dengan kinship (kekerabatan), friendship (pertemanan), dan
patronase. Menurut Scott, patronase adalah relasi patron-klien
antara dua orang yang berbeda status, di dalamnya terjadi
proses pemberian uang, barang, dan jasa.13
Biasanya, patron berasal dari kalangan bangsawan atau tuan
tanah. Dengan sumber daya dan pengaruh yang sangat besar
di masyarakat, biasanya ia memiliki status yang lebih tinggi. Ia
memberikan pinjaman uang, tanah, peralatan pertanian dan
perlindungan keamanan kepada klien. Sementara itu, klien
yang berasal dari kelas sosial lebih rendah hanya menerima
pemberian tersebut dan membalasnya dengan loyalitas.
Artinya, sang patron menginvestasikan kebaikan melalui
pemberian materi dan non-materi. Dampak dari apa yang
dilakukan sang patron ialah utang budi dan loyalitas. Semakin
besar pemberian sang patron, klien akan merasa berutang
semakin besar sehingga tertutup kemungkinan untuk bisa
membalasnya. Menurut Scott, fenomena patronase tersebut
mengakar kuat dalam masyarakat di Malaysia, Thailand,
Filipina, dan Indonesia. Temuan Scott juga mengindikasikan
adanya penguatan relasi patron-klien dalam masyarakat
agraris. Dengan kata lain, dalam masyarakat Asia Tenggara—
khususnya di Indonesia— masih terikat kuat dengan kebiasaan
patronase yang berimplikasi terhadap perilaku elite lokal.
Ketika elite mencalonkan diri dalam Pilkada, maka relasi
patron-klien tersebut ditransformasi menjadi mobilisasi massa
dan perolehan suara baginya.

12 Erick R. Wolf, “Kinship, Friendship and Patron-Client Relations in Complex Societies”


dalam Michael Banton, The Social Anthropology of Complex Societies (New York:
Praeger, 1966).
13 Scott, op. cit, hlm. 91-113.

[ 10 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


Selaras dengan itu, Wolf berpendapat bahwa kontrol
kekuasaan tidak hanya berada pada pemerintah pusat, tetapi
juga pada penguasa lokal. Peran tuan tanah/bangsawan
sangat besar. Mereka mengontrol kepemilikan tanah dan
mengikat masyarakat dengan pajak. Dalam hal ini, Wolf
memersepsikan bahwa kekuasaan bisa terjadi karena faktor
kekerabatan, pertemanan, dan patron-klien. Secara khusus
Wolf mendasarkan argumennya pada studi kasus masyarakat
di Amerika Latin dan Eropa Tengah. Benang merah pandangan
Wolf dan Scott terletak pada pengaruh tuan tanah/bangsawan
dengan memanfaatkan patronase untuk menginvestasikan
utang budi dan menumbuhkan loyalitas klien.
Sehubungan dengan hal tersebut, Flyvbjerg menyarankan
agar dalam analisis politik dibedakan antara ‘real rationality’
dan ‘real politics’.14 Dengan mengikuti saran ini kita bisa
menganalisis nalar politik melalui telaah rationality in action.15
Dengan rationality in action kita bisa memahami apa yang
berkecamuk di balik strategi-strategi yang ditempuh dalam
praktik Pilkada selama ini. Pengertaian rationality in action
inilah yang membantu kita memiliki keputusan untuk
mewujudkan demokrasi melalui tindakan untuk mewujudkan
kemenangan dalam kontestasi.
Setelah menganalisis rasionalitas elite dalam proses
berde­mokrasi, tampak bahwa berbagai tuntutan konsistensi
yang tidak selalu terpenuhi. Di satu sisi, elite dituntut untuk
menjadi demokrat, sedangkan di sisi lain ia juga dituntut
menang apapun caranya. Hal ini menjadikan pelacakan
kerun­tutan teori dalam standar rasionalitas yang berlaku tidak

14 Bent Flyvbjerg, Rationality and Power: Democracy Practice (Chicago: The University of
Chicago, 1998). hlm. 4-6.
15 Vohn R. Rearle, Rationality in Action (Massachusette: Massachusette Institute of
Technology, 2001).

Politik Ambivalensi [ 11 ]
dapat terpenuhi. Berangkat dari paparan tersebut, kontestan
yang menjadi kontestan Pilkada terikat untuk melakoni dua
keharusan (ambivalen) sekaligus: keharusan untuk mematuhi
kaidah-kaidah berdemokrasi, dan pada saat yang sama harus
memenangkam kontestasi. Gambar 1.1. mengilustrasikan dua
aras ini dengan warna berbeda: hijau dan oranye.
Gambar 1.1. Nalar Politik Ambivalensi

Aras pertama adalah aras normatif atau idealis (warna


hijau), dan yang kedua adalah aras pragmatis atau kontekstual
(oranye). Warna hijau di atas menggambarkan area perspektif
persemaian nilai-nilai demokrasi yang dikembangkan oleh
para aktivis.16 Ketika masuk ke aras tersebut, elite niscaya
menggunakan perspektif masing-masing. Di aras idealistis,
ia mengadopsi perspektif normatif. Namun, pada saat yang
sama, aktor tersebut juga harus berada di aras praktis dan
tidak memiliki pilihan selain pragmatis.

16 Anders Uhlin, Indonesia and “The Third Wave of Democratization”: The Indonesia Pro-
Democracy Movement in a Changing World (Great Britain: Curzon, 1977), hlm. 84-127.
Uhlin mengategorikan kelompok pro-demokrasi ini menjadi empat kategori, yakni elite
dissident groups and intellectuals, the old generation of NGOs, student activist, dan the
new generation of pro democracy and human rights NGO.

[ 12 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


Dalam posisinya di ranah normatif, kontestan diharapkan
memerankan diri sebagai orang yang taat terhadap nilai-nilai
demokrasi,17 atau sebagai aktivis pro-demokrasi. Maka, jika
pun tidak memperjuangkan secara konstitusional nilai-nilai
kebebasan dan kesetaraan sebagai prasyarat terwujudnya
masyarakat yang demokratis, dalam posisi ini, ia diasumsikan
selalu tunduk.18 Demi terimplementasikannya nilai-nilai
demokrasi ini, semestinya ia bersaing secara bebas dengan
rivalnya dalam memperebutkan kekuasaan.19 Hanya saja,
ia dituntut mengelola persaingan tersebut secara jujur dan
adil. Itu semua dibayangkan sebagai bentuk investasi untuk
mewujudkan demokrasi melalui keterlibatannya dalam
pemerintahan. Dalam posisi seperti ini, ia mengadopsi nalar
yang dilabeli sebagai “nalar aktivis demokrasi”. Dalam jebakan
posisi seperti inilah para elite terstruktur untuk menjanjikan
pemerintahan yang lebih demokratis selama dia memimpin
kelak.
Apa yang terjadi ketika elite berada pada aras pragmatis
(warna oranye)? Penalaran macam apa yang menggerakkan
tindakan-tindakannya? Ketika berada di aras ini, ia harus
menghadapi kenyataan bahwa dirinya berada dalam persaingan
ketat. Artinya, ia harus bisa mempersiapkan kemenangan
dengan menggunakan strategi terbaik dalam merebut duku­
ngan masyarakat. Ada empat strategi yang dipakai elite
untuk memperoleh kemenangan, yaitu mengolah posisi dan
peran kebangsawanan, patronase, investasi utang budi, dan
memenuhi harapan masyarakat. Namun, yang urgen untuk

17 Bandingkan Robert A. Dahl Polyarchy: Participation and Opposition (New Heaven: Yale
University Press, 1971).
18 Bandingkan Dahl, Sartori, dan Diamond.
19 Bandingkan, Democracy in Plural Societies.

Politik Ambivalensi [ 13 ]
dijelaskan di sini bukan detail atau corak strategi itu sendiri,20
melainkan nalar yang menggerakkan strategi itu sendiri. Yang
jelas, dalam posisi ini peran dan kepiawaiannya sebagai politisi
sedang dipertaruhkan. Apapun strategi yang diambil, ia tidak
boleh membiarkan diri menjadi sekadar nomor dua, karena

20 Dalam kasus yang diteliti, kontestan terlibat secara aktif dalam “mengolah” peran
dan posisinya sebagai bangsawan dalam rangka mencitrakan dirinya sebagai problem
solver. Artinya, ia mencitrakan diri sebagai seorang bangsawan yang dermawan
dengan membagi-bagikan materi dan non-materi. Hal ini berkaitan dengan perspektif
masyarakat bahwa seorang bangsawan yang berkharisma harus memberikan materi dan
non-materi. Dengan pemberian itu, masyarakat akan memercayainya. Bagi masyarakat,
pemberian tersebut merupakan kehormatan, bukan tindakan money politics. Karena
masyarakat Indonesia masih menjunjung tinggi kekerabatan, maka strategi pendekatan
pribadi lebih efektif. Selaras dengan hal ini, dalam demokrasi yang menerapkan prinsip
one man, one vote, one value, pengenalan dan kedekatan kontestan dengan masyarakat
sangat menentukan. Oleh karena itu, agar masyarakat terikat batin dan loyal, kontestan
tersebut mengelola pemberian itu secara kontinyu. Dengan kata lain, secara sadar ia
mengadakan rekayasa relasi patron-klien dengan memberikan materi dan non-materi
sebagai simbol pengikat bagi dirinya terhadap tokoh masyarakat, adat, dan agama.
Dengan adanya ikatan relasi patron-klien yang kemudian ‘dilembagakan’ dalam bentuk
ormas dan dikelola secara terus menerus, muncul kedekatan batin dan utang budi.
Pemberian materi dan non-materi tersebut merupakan investasi berupa utang budi yang
besar hingga masyarakat sebagai klien tidak bisa membalas. Investasi tersebut juga
dikelola dengan memanfaatkan dana APBD dan birokrasi, serta dikawal oleh para
penyuluh ke desa-desa. Adakalanya, ketika elite sebagai pejabat atau kepala daerah,
dia membuat kebijakan yang radikal dengan membagi-bagikan tanah secara gratis,
sertifikat tanah gratis, pendidikan gratis, pengobatan gratis, pinjaman dana bagi petani,
dan perlindungan hasil panen melalui koperasi.
Kebijakan ‘sinterklas’ tersebut dilakukan dalam rangka memenuhi harapan masyarakat dan
dengan demikian elite mendapatkan sarana untuk mencitrakan dirinya sebagai problem
solver atas berbagai masalah, baik kemiskinan, kebodohan, maupun perlindungan
terhadap masyarakat. Implikasi penerapan strategi investasi utang budi tersebut
memunculkan citra elite sebagai “bapak pembangunan” yang dermawan dan peduli
terhadap masyarakat. Ketika ia mencalonkan diri sebagai kontestan dalam Pilkada, relasi
patron-klien dan investasi utang budi yang telah ‘ditanamkan’ tersebut ditransformasi
menjadi mobilisasi massa dan dukungan suara terhadapnya.
Dalam hal ini, berlaku penalaran elite bahwa dia perlu mengikat batin masyarakat dengan
memenuhi kebutuhan dasar mereka sehingga mereka loyal kepadanya, dan keterikatan
batin itu dirajut melalui pemberian materi dan non-materi. Namun, agar elite tidak
divonis melakukan tindakan money politics dan terkena sanksi hukum, mekanisme
pemberian ini dikemas secara kultural dengan menyesuaikan adat setempat. Pemanfaatan
adat atau budaya ini dimaksudkan untuk ‘menanamkan’ ikatan batin dan utang budi.
Penanaman ‘utang budi’ tersebut berlangsung bertahun-tahun dan dikelola secara
profesional.

[ 14 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


yang menduduki jabatan kepala daerah hanyalah pemenang
nomor satu. Artinya, dirinya tidak mungkin main-main atau
setengah hati. Sekali memutuskan untuk ikut dalam kontestasi,
ia harus melakukannya dengan sepenuh tenaga. Nalar yang
menuntun perumusan dan keseriusan untuk mengadopsi
strategi di sini adalah nalar politisi.
Dari paparan di atas, teridentifikasi adanya dua nalar
yang niscaya beroperasi saat berlangsungnya kontestasi
dalam Pilkada. Keduanya tidak bisa dihindari, meskipun
ber­sifat kontradiktif. Oleh karena itu, elite yang terlibat
dalam kontestasi Pilkada dihadapkan pada pilihan sulit atau
dilematis dari waktu ke waktu. Peluang manuver yang telah
ter­sedia suatu saat terbuka lebar, meskipun lama kelamaan bisa
menyem­pit. Situasi seperti ini menjadikan dirinya terjebak
dalam ambivalensi.
Ringkasnya, dalam buku ini, diasumsikan bahwa elite
yang masuk dalam kontestasi menyadari bahwa dirinya
memasuki ke dua aras tersebut. Maka, ia harus mengemas diri
sedemikian rupa dan mencitrakan dirinya. Ketika memasuki
tahapan Pilkada, dia akan mencitrakan diri sebagai seorang
demokrat dengan mematuhi regulasi yang berlaku. Sebaliknya,
ketika menghadapi masyarakat secara langsung, nalarnya
sebagai politisi yang kontekstual yang bekerja sehingga ia
mencitrakan diri sebagai sosok bapak pembangunan yang
dermawan. Telaah Pilkada Kaltim yang disajikan dalam
buku ini tampaknya memperlihatkan gejala yang sama. Elite
mencampuradukkan dua nalar, yakni nalar sebagai aktivis dan
nalar sebagai politisi. Pencampuradukan dua nalar yang saling
bertentangan itulah yang disebut dengan politik ambivalensi.
Pencampuradukan ini akan terasa maknanya jika dikontraskan
dengan teori demokrasi dan kontestasi antarelite.

Politik Ambivalensi [ 15 ]
Selanjutnya, untuk melacak nalar di balik strategi yang
diadopsi oleh elite, dan dugaan mengenai penerapan dua
nalar yang bertentangan (ambivalensi), ada dua hal yang
perlu diperhatikan, yaitu hasil-hasil studi tentang kontestasi
antarelite dan penalaran demokrasi.

1. Studi-studi tentang Kontestasi Antarelite


Studi-studi tentang kontestasi antar-elite dalam Pilkada
di Indonesia bisa dikelompokkan menjadi beberapa kategori.
Pertama, studi yang berperspektif bahwa elite kontestan
memadukan strategi ofensif (serangan) dan defensif (bertahan).
Kategori ini muncul dalam studi Mukhlis (2009) yang
meneliti kontestasi antarelite dalam Pilkada Kota Sabang
(2006). Temuan Mukhlis menunjukkan kemenangan elite
ditentukan oleh instrumentasi strategi political marketing.
Elite memadukan dua strategi sekaligus, yakni strategi ofensif
untuk mencari suara sebanyak-banyaknya di basis massa
pesaing. Sebaliknya, di daerah yang dianggap sebagai basis
massanya, ia menggunakan strategi defensif.21 Hasil penelitian
Mukhlis tersebut diperdalam dengan temuan Ismail (2010)
yang mengkaji strategi mobilisasi dukungan pemilih di Kota
Tidore.22 Temuan Ismail menunjukkan bahwa Golkar meraih

21 Mukhlis menggunakan metode penelitian kualitatif eksploratif dengan pengumpulan


data melalui wawancara kontestan, tim sukses, anggota KIP, masyarakat dan studi
literatur. Temuan Mukhlis dipengaruhi oleh pemikiran kontestan dengan penekanan
pada strategi ofensif dan defensif, karena penulis merujuk pada apa kata kontestan.
Independensi penulis dalam hal ini menjadi kurang, karena ia hanya seperti wartawan
yang melaporkan apa yang dikerjakan kontestan (Mukhlis, 2009: 24).
22 Dalam studinya, Ismail menggunakan metode kualitatif. Dia mengumpulkan data melalui
berbagai informan, antara lain elite partai politik, tokoh agama, pebisnis, dan tokoh adat
(Ismail, 2010: 22). Namun, penulis terjebak hanya menganalisis data hasil Pilkada, tetapi
tidak menganalisis strategi di balik kemenangan kontestan. Pertanyaan kritis terhadap
studi ini adalah bagaimana kontestan memobilisasi massa? Apakah ia melakukan
money politics ataukah hanya melakukan mobilisasi etnis? Tampaknya, penulis tidak
memaparkan strategi money politics yang diterapkan oleh kontestan sehingga terkesan,
hasil penelitian tersebut hanya menyuarakan opini kontestan.

[ 16 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


24.046 suara (52,76%), sedangkan PKS dan PAN meraih
21.527 suara (47,24%). Strategi yang digunakan oleh Golkar
ialah pemantapan struktur organisasi sampai ke tingkat desa.
Oleh karena masyarakat Tidore menjunjung tinggi nilai-nilai
agama, maka elemen kesalehan juga menjadi isu utama yang
dikampanyekan kepada masyarakat. Strategi pemenangan
Golkar di Tidore ditentukan oleh empat mobilisasi, yakni
masyarakat adat, kelompok agama, kelompok paguyuban,
dan kekerabatan.
Perpaduan strategi ofensif dan defensif dalam pemenangan
Pilkada juga dipaparkan oleh Ismardi (2009) yang meneliti
pemilihan walikota di Banda Aceh.23 Elite menggunakan
prinsip-prinsip political marketing yang meliputi tiga hal, yakni
segmenting, targeting, dan positioning. Sebaliknya, Nugraheni
(2009) menemukan bahwa kemenangan Rustriningsih
ditopang oleh instrumentasi birokrasi yang dikuasainya.
Elite menginstrumentasi birokrasi dalam rangka positioning
terhadap para pesaingnya. Selain itu, Rustriningsih memiliki
sumber dana yang besar sehingga mampu menguasai media
massa di Kabupaten Kebumen. Penguasaan elite atas media
massa tersebut mampu merekayasa opini publik, khususnya
melalui isu sekolah gratis, kesehatan gratis, dan perbaikan
ekonomi.24 Kelemahan penelitian dengan menggunakan
paradigma ofensif dan defensif ialah bahwa penelitian yang

23 Tampaknya, penulis terjebak dengan teori marketing politics yang menekankan pada
strategi membangun citra, ofensif, dan defensif. Dengan dasar teori tersebut, penulis
menganalisis strategi politik kontestan di daerah pascabencana. Pertanyaan kritis yang
patut diajukan ialah, apakah benar kontestan menggunakan strategi pencitraan, ofensif,
dan defensif? Apakah tanpa money politics kontestan bisa memenangkan Pilkada? Penulis
hanya memaparkan apa yang tampak di luar dan hal ini bisa dimaklumi, karena sumber
data diperoleh melalui elite parpol atau kontestan.
24 Nugraheni tidak memaparkan bagaimana strategi money politics yang dilakukan untuk
memengaruhi citra masyarakat. Padahal, strategi network diduga sarat money politics.
Pendekatan kontestan ke tokoh agama, tokoh adat, dan elite politik menunjukkan adanya
“kesepakatan-kesepakatan khusus” yang tidak tampak ke permukaan (luput dari liputan

Politik Ambivalensi [ 17 ]
dilakukan hanya melihat dari sudut orang di luar aktor. Selain
itu, data-data yang digunakan cenderung sekunder. Hasil
analisis cenderung kurang tajam dan kurang fokus terhadap
penggunaan uang, barang, dan jasa yang menjadi daya dukung
mobilisasi massa. Dengan demikian, hasil penelitian belum
menjawab dan mengungkap nalar elite di balik instrumentasi
strategi ofensif dan defensif.
Kedua, studi yang berperspektif bahwa elite yang terlibat
dalam kontestasi biasanya memiliki modal sosial, modal
finansial, dan modal politis. Kepemilikan modal yang besar
ini menjadi salah satu penentu kemenangan dalam Pilkada.
Termasuk dalam kategori ini ialah studi Hartati (2009) yang
meneliti political marketing kontestan dengan perspektif
permodalan. Temuan Hartati menunjukkan bahwa elite unggul
karena dia memiliki modal ekonomi, sosial, dan politik yang
lebih besar dibanding pesaingnya.25 Selain modal ekonomi,
elite juga harus memiliki agenda politik (program inovasi)
yang jelas yang bisa dijual ke masyarakat. Hal ini ditegaskan
dengan temuan Paskarina (2004) yang meneliti ruang publik
dalam Pilkada dengan studi kasus Pilkada Walikota Bandung.
Paskarina menemukan bahwa elite yang tidak jelas memiliki
agenda atau dukungan sosial tidak akan mendapat dukungan
masyarakat. Dengan kata lain, elite yang tidak memiliki modal
sosial cenderung akan teralienasi dari masyarakat.26

media massa). Penulis hanya mengkaji strategi petahana dari permukaan saja dan tidak
menganalisis secara mendalam di balik bagaimana ia ‘menguasai’ massa.
25 Temuan penulis di lapangan justru menunjukkan bahwa pada umumnya kontestan
belum memiliki modal yang memadai sehingga mereka mendekati para pengusaha untuk
membiayai semua proses kandidasi. Maka, tidak mengherankan jika dalam Pilkada,
marak terjadi praktik money politics dalam rangka memengaruhi pemilih.
26 Dukungan sosial dan agenda yang sistematis tidak cukup memengaruhi pemilih,
khususnya mereka yang masih terikat tradisi, adat, dan agama. Selain itu, faktor money
politics dan kedekatan secara psikologis antara kontestan dengan pemilih juga menjadi
pendorong bagi mereka untuk menentukan pilihan.

[ 18 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


Hal ini selaras dengan temuan Rasyid (2010) yang meneliti
Pilkada Kabupatan Paser, Kaltim. Menurut Rasyid, keme­
nangan elite ditopang oleh tiga modal, yaitu politik, sosial
dan ekonomi.27 Apabila mereka memiliki modal besar dan
melakukan tindakan money politics, kemudian menang
dalam Pilkada, itu adalah hal yang lumrah. Artinya, dalam
proses transaksi antara elite dengan masyarakat telah terjadi
pertukaran uang, barang, dan jasa, tetapi tidak ditindak tegas
oleh pejabat berwenang. Seolah-olah, terjadi pembiaran
atas tindakan money politics. Penelitian ini belum menjawab
bagaimana peran uang, barang dan jasa dalam proses
pemenangan elite dalam Pilkada sehingga paradigma bahwa
elite memiliki modal ekonomi, sosial, dan politik adalah
normatif dan jamak. Padahal, mungkin saja hanya peran modal
ekonomi dan sosial saja yang dominan karena banyaknya
kontestan yang belum matang berpolitik. Kelemahan dari
perspektif ini adalah bahwa studi yang dilakukan tidak secara
detail atau tajam mengurai peran elite dalam memobilisasi
massa dan pemanfaatan sistem nilai budaya.
Ketiga, studi-studi yang berperspektif bahwa elite meman­
faatkan isu kelompok etnis. Tidak sedikit penelitian yang
menelaah etnisitas dari kerangka pikir instrumental. Dalam
studi ini, elite politik diperlakukan sebagai aktor yang secara
sadar menyiasati solidaritas etnis. Dalam pengertian inilah,
istilah ‘elite memanfaatkan isu kelompok etnis’ dipakai.
Penelitian tentang isu etnis dalam pemenangan Pilkada
dilakukan oleh Umasugi (2009), Ramadlan (2008), dan
Syarkawi (2007). Umasugi menemukan bahwa kemenangan

27 Pertanyaan kritis yang patut diajukan ialah apakah kontestan yang tidak memiliki tiga
modal tersebut akan kalah bersaing? Kenyataannya, tidak semua kontestan memiliki tiga
modal tersebut secara penuh. Hal ini dapat dibuktikan dengan maraknya money politics
dalam Pilkada dan keterlibatan para pengusaha dalam membiayai kontestan.

Politik Ambivalensi [ 19 ]
Pilkada di Kabupaten Buru diperoleh dengan memanfaatkan
isu etnis–hal ini diidentifikasi dari fakta bahwa pemilihan
wakil bupati menunjuk kontestan dari suku yang berpengaruh
di Kabupaten Buru. Elite memanfaatkan isu kelompok
etnis dalam rangka membangkitkan ikatan primordialisme
(kesukuan) dan kekerabatan untuk mendukungnya. Dampak
dari hasil Pilkada ini ialah bahwa hanya etnis tertentu yang
menempati posisi strategis dalam pemerintahan.28
Sebaliknya, Ramadlan mengkaji isu etnis Dayak dari
sisi yang berbeda. Temuan Ramadlan menunjukkan bahwa
keme­nangan elite dalam Pilkada ditopang oleh strategi
jejaring etnis. Instrumentasi jejaring etnis yang ditopang
dengan adanya isu ‘putra daerah’ (etnis asli) menarik simpati
pemilih. Pemanfaatan isu ‘putra daerah’ juga ditemukan dalam
penelitian Syarkawi yang meneliti fisibilitas politik iden­titas
dalam Pilkada di Kalimantan Tengah (Kalteng). Syarkawi
menemukan bahwa politik identitas berpengaruh kuat
terhadap masyarakat Kalteng yang masih terikat tradisi dan
adat istiadat. Pasangan Narang dan Diran yang merupakan
per­paduan dua etnis Dayak dan Jawa merepresentasikan
masyarakat dominan tinggal di Kalteng. Temuan Syarkawi
ini selaras dengan temuan Azis (2007) dalam penelitian di
provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) yang mengindikasikan
perlunya akomodasi semua etnis dalam masyarakat, agar
kontestan menang dalam kontestasi.
Sebaliknya, temuan Bangsawan (2007) agak unik; ternyata
kon­testan dari etnis minoritas mampu menang dalam
Pilkada yang mayoritas pemilihnya beretnis dan beragama

28 Dalam masyarakat yang masih terikat kuat dengan adat (suku), tampaknya pengaruh etnis
menjadi dominan. Namun, faktor penentu tak kasat mata yang mampu memobilisasi
mereka—yakni money politics—sering berbaur dan menyatu dalam adat, agama, dan
acara ritual lainnya. Dengan kata lain, instrumentasi etnis tidak dapat terpisahkan dari
praktik money politics.

[ 20 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


berbeda dengannya. Penelitian tentang Ahok dalam Pilkada
di Kabupaten Belitung membuktikan bahwa Ahok selaku
repre­sentasi etnis minoritas mampu mengalahkan ‘putra
daerah’. Kemenangan Ahok ditopang oleh strategi kampanye
pendi­dikan dan kesehatan gratis terhadap masyarakat kota.
Sedangkan terhadap masyarakat pinggiran, Ahok menerapkan
strategi dengan memainkan isu penyediaan lapangan kerja dan
bantuan usaha. Sementara itu, untuk masyarakat pedesaan,
strateginya ialah pencitraan diri sebagai figur yang kredibel,
kapabel, dan bertanggung jawab. Buktinya, Ahok dari etnis
minoritas mampu mengalahkan kelompok etnis mayoritas
karena program yang ditawarkan menjawab kebutuhan
masyarakat.29
Dari kuatnya tradisi analisis etnisitas tersebut, terlihat jelas
bahwa elite berlomba-lomba memanfaatkan isu “kelompok
etnis” untuk mendapatkan dukungan. Namun, rivalitas
antaretnis dalam Pilkada ternyata tidak semudah yang kita
bayangkan. Hal ini dibuktikan oleh Kocu (2007) yang meneliti
perilaku pemilih di tengah rivalitas antarkelompok etnis
di Sorong Selatan, Papua Barat. Kocu menemukan bahwa
loyalitas individu terhadap kesamaan etnis tidak terbukti;
mereka lebih memilih kontestan yang mampu membawa
kesejahteraan masyarakat (perubahan ekonomi). Sekalipun
etnis mereka berbeda dengan kontestan, tetapi apabila mampu
menunjukkan karya nyata dan mampu membangkitkan
solidaritas yang sama untuk mengentaskan kemiskinan,
kontestan tersebut yang akan dipilih oleh masyarakat. Dalam
hal ini, perlu dikedepankan bahwa studi Kocu mengacu pada

29 Dalam kasus Ahok, faktor instrumentasi etnis tampaknya tidak berlaku, karena
masyarakat Belitung sudah mampu memilah dan memilih antara kandidat yang mampu
memberikan solusi atas masalah ekonomi sehingga layak dipilih, dan kandidat yang
tidak mampu. Mereka mampu memilih kandidat yang kredibel dan bertanggung jawab
tanpa membedakan etnis dan agama.

Politik Ambivalensi [ 21 ]
pandangan rational choice. Dengan demikian, pemilih terlihat
tidak dipengaruhi oleh faktor kesamaan etnis, dan mereka
cenderung memilih kontestan yang tidak memicu konflik,
agar terjadi kenyamanan dan perubahan ekonomi dalam
masyarakat.
Paradigma instrumentalistik juga telah dipakai dalam
menelaah peran adat dan agama. Keduanya diperankan
sebagai basis memobilisasi massa. Penelitian ini juga
menjelaskan bagaimana pemberian-pemberian dimaknai
dan pada gilirannya malah bermakna sebagai investasi atau
praktik utang budi. Investasi dalam bentuk penanaman utang
budi ini pada gilirannya dapat dimanfaatkan oleh elite dalam
Pilkada. Selain itu, dalam proses persaingan antarkontestan
tidak bisa dimungkiri adanya tindakan transaksi untuk
memengaruhi masyarakat. Artinya, elite akan melakukan
tindakan apa saja termasuk money politics dalam rangka
mendapatkan dukungan. Jika pesaing berani memberikan
uang lima puluh ribu rupiah per orang, misalnya, maka dia
akan tergoda untuk memberikan seratus ribu rupiah. Namun
demikian, tampaknya, teori rational choice sebagaimana yang
diacu Kocu dalam penelitiannya ini belum sepenuhnya bisa
diyakini, karena masyarakat Indonesia masih terikat dengan
kekerabatan. Dengan asumsi bahwa masyarakat masih kuat
terikat secara etnis dan agama, faktor patronase berpengaruh
besar.
Keempat, studi-studi yang berperspektif bahwa elite
memanfaatkan sistem nilai budaya lokal. Studi demikian
dilakukan oleh Haryanto (2013) yang meneliti Pilkada
Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat (2010).30 Temuan
Haryanto mengindikasikan adanya pelemahan peran parpol

30 Haryanto, Politik Kain Timur: Memahami Kekuasaan dan Mobilisasi Dukungan (Studi
Kasus Pemanfaatan Tradisi untuk Meraih Kekuasaan dalam Pilkada di Kabupaten Sorong

[ 22 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


karena peran partai tumpang tindih dengan peran kelompok
etnis dalam masyarakat. Hal itu tampak pada fenomena
kemenangan Otto Ihalauw. Sebagai pendatang, ia terpilih
menjadi Bupati Sorong Selatan di dalam masyarakat yang
masih kuat ikatan etnisnya. Dalam hal ini, terjadi politisasi
birokrasi dan pemanfaatan tradisi “Kain Timur” yang
dikonkretkan dengan pemberian-penerimaan. Otto selaku
petahana dan Ketua Golkar memberikan posisi strategis dalam
pemerintahan kepada anggota suku-suku mayoritas yang ada
di Sorong. Selain itu, ia juga memberikan jabatan kepala distrik
kepada warga etnis asli. Tampaknya, Otto memahami sistem
nilai “Kain Timur” sehingga ia memberi posisi terhormat
kepada ‘putera daerah’. Hal ini berkaitan dengan pandangan
masyarakat Sorong, bahwa posisi dalam pemerintahan menjadi
suatu kebanggaan yang berkaitan dengan martabat suku.
Menurut Haryanto, kunci kemenangan Otto dalam
Pilkada Sorong Selatan (2010) bukan ditentukan oleh
dukungan Partai Golkar, PKS, dan Hanura. Namun, kuncinya
ialah bahwa selaku petahana, ia memanfaatkan tradisi “Kain
Timur” sebagai investasi utang budi yang dijabarkan secara
konkret dalam pemberian jabatan birokrasi, politik, dan
masyarakat. Konsekuensi logisnya, ketika ia mencalonkan
diri dalam Pilkada, mereka yang menerima jabatan tersebut
membalasnya dengan memberi dukungan atau mobilisasi
massa. Parpol dalam hal ini hanya berperan sebagai formalitas
pengusung kontestan dalam Pilkada. Sementara itu, regulasi
inovasi pembangunan yang dilakukan oleh Otto merupakan
instrumen pencitraan dan legitimasi bagi dirinya. Ringkasnya,
instrumentasi tradisi “Kain Timur” oleh Otto merupakan suatu
keniscayaan yang mewujud dalam pemberian-penerimaan.

Selatan, Papua Barat, 2010). Naskah Disertasi (Yogyakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik-Universitas Gadjah Mada, 2013).

Politik Ambivalensi [ 23 ]
Artinya, pemberian-penerimaan telah menjadi sistem nilai
budaya yang memengaruhi perspektif dan perilaku masyarakat.
Pembahasan dalam buku ini berbeda fokus dengan
pembahasan Haryanto, baik dalam hal pendekatan maupun
teori. Studi Haryanto berkonsentrasi pada praktik-praktik
berkaitan dengan tradisi "Kain Timur" sebagai bagian dari
proses dan strategi pemenangan seorang kontestan sebagai
kepala daerah. Sementara itu, studi ini melacak penalaran elite
yang bekerja di balik pemenangan Pilkada.

2. Kajian Penalaran Demokrasi


Penalaran yang dimaksudkan di sini ialah cara berpikir
sistematis dan logis yang dimanfaatkan oleh elite agar dia bisa
menang dalam Pilkada. Cara berpikir logis dan sistematis
tersebut diwujudkannya melalui orientasi, strategi, dan
hasil. Ada dua nalar yang bertentangan (ambivalensi) dalam
pemenangan Pilkada, yakni nalar aktivis dan nalar politisi.
Kedua nalar tersebut dikelola oleh elite dalam rangka
memenangkan persaingan dalam Pilkada.
Sebagaimana yang disarankan oleh Bent Flyvbjerg31
demokrasi bisa dibayangkan sebagai agenda yang diusung
dalam skema modernitas. Saran tersebut mendapat perhatian
serius dalam studi ini meskipun dipahami bahwa telaah-telaah
yang biasa dilakukan cenderung bersifat normatif. Telaah yang
tersaji biasanya terobsesi menjelaskan apa yang semestinya.
Sehubungan dengan hal itu, perlu dikembangkan kajian
yang mengungkap apa yang senyatanya, termasuk apa
yang dibayangkan oleh para praktisi demokrasi itu sendiri.
Dalam konteks inilah pandangan penalaran elite lokal yang
berpartisipasi dalam skema demokrasi lokal mengajukan diri

31 Bent Flyvbjerg, Rationality and Power: Democracy Practice (Chicago: The University of
Chicago, 1998).

[ 24 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


sebagai kontestan Pilkada hendak dilakukan.32 Yang perlu
digarisbawahi ialah bahwa pemaksaan pandangan normatif itu
menyimpan ‘bahaya’ tersendiri. Studi Flyvbjerg di Denmark
menegaskan bahwa penyebutan ‘pemerintahan demokratis’
saja sebetulnya bisa menyesatkan. Pelabelan suatu negara
sebagai ‘negara demokrasi’ menyimpan elemen propaganda,
karena di dalam tatanan negara yang dilabeli demokratis itu
ada elemen-elemen lain yang tidak demokratis dan justru
dapat menghalangi proses demokratisasi itu sendiri.
Namun, tampaknya pandangan Flyvbjerg tersebut
di atas bertolak belakang dengan asumsi Dahl. Baginya,
demokrasi33 adalah praktik pemerintahan dengan kekuasaan
yang diperebutkan, dan perebutan itu dilakukan secara jujur
dan adil melalui Pilkada.34 Jika dipahami dari sudut pandang
pelaku, demokrasi perlu dimaknai normatif dengan kekuasaan
yang diperebutkan antarelite secara jujur dan adil melalui
Pilkada.35 Keniscayaan untuk memenangkan kontestasi ini
pada akhirnya mengantarkan Dahl menawarkan konsep
demokrasi minimalis yang disebut dengan poliarkhi. Inti dari
gagasan Dahl tentang poliarkhi ialah bahwa totalitas kebebasan
partisipasi masyarakat dalam Pilkada dijamin sepenuhnya
oleh negara. Dengan demikian, elite politik memiliki hak
yang setara dalam memperebutkan kekuasaan dan hak ini
dijamin oleh undang-undang, serta dia harus menggunakan
hak-haknya untuk memenangkan kontestasi. Dahl memang

32 Bandingkan Edward Aspinall and Greg Fealy (ed.), Local Power and Politics in Indonesia
(Singapore: ISEAS, 2003), hlm. 6-108. Adanya otonomi daerah berimplikasi pada
kebangkitan elite lokal yang memanfaatkan tradisi atau adat, agama, dan budaya sebagai
basis mobilisasi massa. Nalar elite lokal sering berlawanan dengan nalar demokrasi
seperti yang tertuang dalam Undang-undang.
33 Robert A. Dahl. Polyarchy: Participation and Opposition (New Heaven: Yale University
Press, 1971).
34 Lihat David Held, Models of Democracy (Cambridge-UK: Polity Press, 1987), hlm. 143-
45.
35 Ibid.

Politik Ambivalensi [ 25 ]
tidak memaparkan tentang bagaimana strategi politik elite
secara detail dalam memperebutkan kekuasaan, tetapi studi
ini memicu pertanyaan: bagaimana bekerjanya nalar elite
yang harus memenangkan kontestasi? Sejauh ini, Dahl hanya
berasumsi bahwa demokrasi yang ideal ialah terwujudnya
kedaulatan rakyat dan dalam perwujudan kedaulatan ini rakyat
mengekspersikan aspirasi politiknya baik secara personal
maupun melalui parpol.36 Dalam ekspresi yang seperti inilah
dibayangkan ada ekspresi kedaulatan rakyat. Dalam berbagai
studi telah jelas ditunjukkan bahwa Pilkada dipahami sebagai
bagian yang tidak terpisahkan dari konsepsi demokrasi di
suatu negara. Bahwa dengan menjalankan pemilihan itu
demokrasi akan terwujud. Lebih lanjut dijelaskan Diamond
(1999), bahwa konsepsi demokrasi terdiri dari dua, yakni
electoral democracy dan liberal democracy.37 Yang dimaksud
dengan electoral democracy ialah sistem pemerintahan dalam
suatu negara bangsa yang dijalankan dengan cara masyarakat
memilih langsung pemimpin negara melalui pemilihan yang
jujur dan adil. Sistem yang diterapkan seperti di Athena tersebut
memiliki kelemahan apabila diterapkan dalam masyarakat
majemuk. Hal ini selaras dengan pemikiran Aristoteles yang
mengkritik pemilihan langsung pemimpin negara. Menu­
rutnya, sistem ini justru akan menghasilkan oligarkhi elite
dan tujuannya untuk menyejahterakan masyarakat justru
cenderung terabaikan.38

36 Bandingkan James Mill, Political Writing, ed. Terrence Ball (Cambridge: Cambridge
University Press, 1992), hlm. 21-24; Hannah Fenichel Pitkin, The Concept of Representation
(Berkeley: University of California Press, 1967), hlm. 232-236; Anne Philips, The Politics
of Presence (Oxford: Clarendon Press,1995), hlm. 5-9.
37 Larry Diamond, Developing Democracy Toward Consolidation (Baltimore and London:
The Johns Hopkins University Press, 1999), hlm. 7; Bandingkan David Held, Models of
Democracy, hlm.143-185.
38 Aristotle, The Politics. ed. and trans. Ernest Barker (Oxford: Clarendon Press, 1946),
hlm.163-9; Lih. David Held, Models of Democracy, hlm.13-34; T. H. Marshall, Class,

[ 26 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


Selaras dengan pemikiran tersebut, Schumpeter mengkritisi
penerapan sistem electoral democracy. Menurutnya, sistem ini
akan meniadakan kontestasi antar-partai politik (parpol).39
Dengan kata lain, kehadiran parpol tidak dibutuhkan lagi.
Selain itu, Schumpeter juga mengajukan kritik bahwa sistem
electoral democracy ini juga meniadakan adanya kontrol
terhadap kekuasaan. Ada kecenderungan bahwa pemilihan
langsung oleh masyarakat tersebut justru menghasilkan
kepemimpinan yang diktator.40 Oleh karena itu, pemimpin
perlu dikontrol oleh masyarakat yang memilihnya dalam suatu
kontrak sosial. Dengan adanya kontrak sosial yang jelas antara
masyarakat dengan pemerintah, kecenderungan pemimpin
yang korup dan absolut akan diminimalisir. 41 Dengan
demikian, diperlukan kritik terhadap sistem demokrasi yang
tidak bisa terlepas dari sistem budaya yang mewarnainya.
Menurut Diamond (1999), yang dimaksud dengan liberal
democracy ialah kebebasan dan kesetaraan masyarakat sipil
untuk memilih anggota legislatif dan eksekutif.42 Pemilihan
tersebut dilakukan secara berkala, dan masyarakat diberikan
kesempatan untuk mendirikan parpol dan menyalurkan
aspirasinya. Dalam sistem liberal democracy, peran parpol
sangat penting, karena aspirasi masyarakat diperjuangkan.
Selaras dengan pandangan Diamond tersebut, menurut

Citizenship and Social Development (Cambridge: Cambridge University Press, 1950),


hlm.10-14.
39 Joseph A. Schumpeter, Capitalism, Socialism and Democracy (London: Unwin University
Books, 1943), hlm. 260-263; Lihat David Held, Models of Democracy, hlm.105-136;
Bandingkan Will Kymlicka and Wayne Norman, “The Return of The Citizen” on Ethics,
104, January, 1994, hlm. 360-367.
40 Bandingkan Thomas Hobbes, Leviathan, ed. C. B. Macpherson (Harmondsworth:
Penguin, 1968), hlm. 239-248.
41 Jean Jacques Rousseau, The Social Contract and Discourse, trans. GDH Cole (London-
New York: Everyman’s Library, 1968), Book I, Chapter VIII, hlm. 15-16.
42 Larry Diamond, loc.cit.

Politik Ambivalensi [ 27 ]
Dahl (1982), demokrasi yang ideal mencakup lima hal,43
yakni persamaan hak sipil, partisipasi efektif, transparansi
informasi, kebebasan masyarakat sipil mengakses kebijakan
pemerintah, dan kesetaraan masyarakat di hadapan hukum.
Kelima kriteria tersebut didasarkan pada premis mayor
bahwa penerapan demokrasi pada suatu negara hendaknya
mengacu pada kemajemukan, historisitas, dan demokrasi
kota. Dalam konteks ini, Dahl mengembangkan pemikiran
bahwa demokrasi tidak tunggal, tetapi ada unsur legislatif,
yudikatif, eksekutif dan lembaga negara lain (poliarkhi). Dahl
berasumsi bahwa dalam masyarakat yang majemuk (plural)
diperlukan suatu sistem demokrasi yang mengekspresikan
suara masyarakat secara bebas dan jujur. Artinya, masyarakat
perlu diberi kewenangan untuk menyampaikan aspirasinya
melalui parpol yang berkontestasi dalam pemilihan yang jujur
dan adil.44
Selaras dengan pikiran Dahl tersebut di atas, Sartori
berpendapat bahwa dasar liberal democracy ialah kebebasan
(liberty) dan kesetaraan (equality).45 Oleh karena liberal
democracy menekankan pada kebebasan dan kesetaraan,
maka sistem ini berimplikasi pada mewujudnya one man,
one vote, one value. Artinya, suara individu diindikasikan
dengan kedaulatan rakyat dan memiliki peran yang sangat
penting dalam menentukan terpilihnya seorang pemimpin.
Namun, konsep one man, one vote, one value ini tidak dengan
sendirinya bebas dari kelemahan.

43 Robert A. Dahl, Dilema Demokrasi Pluralis: Antara Otonomi dan Kontrol (Jakarta: CV
Rajawali, 1982), hlm. 9-10.
44 Robert A. Dahl. Polyarchy: Participation and Opposition (New Heaven: Yale University
Press, 1971), hlm. 2.
45 Giovanni Sartori, The Theory of Democracy Revised (New Jersey: Chatam House
Publishers, 1987), hlm. 383-386.

[ 28 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


Kritik terhadap penerapan sistem demokrasi juga dipa­
parkan oleh Gould. Menurut Gould (1990), sistem liberal
democracy lebih mengedepankan individualisme dan tidak
mengutamakan kepentingan umum. Dampaknya, kepentingan
orang banyak cenderung dinafikan sebab parpol pemenang
Pilkada cenderung mengutamakan kepentingan parpol
daripada kepentingan masyarakat.
Sejalan dengan pemikiran Gould, Lijphart (1977)
mendefinisikan demokrasi dengan ‘government by and
for people’.46 Artinya, demokrasi dimaknai sebagai bentuk
pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat. Definisi Lijphart
tersebut memunculkan pertanyaan: siapa yang dimaksud
rakyat? Jawabannya ialah, mereka yang mayoritas menang
dalam Pilkada. Hal ini memunculkan dilema bagaimana
sikap mayoritas terhadap minoritas? Oleh karena itu, Lijphart
menawarkan konsep perlunya konsensus demokrasi, yaitu
sebuah konsep agar mayoritas pemenang dalam Pilkada
hendaknya mengakomodasi kepentingan kelompok minoritas
dalam pemerintahan. Parpol pemenang Pilkada perlu
membuat grand coalition dengan tujuan mengakomodasi
semua kepentingan kelompok dalam masyarakat.47
Dilema demokrasi juga dipaparkan Cunningham.
Menurutnya, penerapan sistem demokrasi memunculkan
ekses negatif, yakni konflik horisontal dan vertikal, tidak
efektifnya pemerintahan, maraknya money politics, dan
munculnya politik pencitraan.48 Munculnya dampak negatif
tersebut mengindikasikan adanya kelemahan pada aktor

46 Arendt Lijphart, Patterns of Democracy: Government Forms and Performance in Thirty


Six Countries, (New Haven and London: Yale University Press,1999), hlm. 1.
47 Arend Lijphart, Democracy in Plural Societies (New Haven and London: Yale University
Press, 1977), hlm. 25-52.
48 Frank Cunningham, Theories of Democracy: A Critical Introduction, (London and New
York: Routledge, 2002), hlm. 15-26.

Politik Ambivalensi [ 29 ]
dan sistemnya. Cunningham mengkritisi sistem demokrasi
dari perspektif relasi individu terhadap dampak sosial. Ia
pun menawarkan konsepsi tentang holistic socialism, yaitu
individu sebagai pribadi secara internal dan eksternal
(sosial) harus tercukupi kesejahteraannya. Artinya, semakin
demokratis sebuah masyarakat, idealnya semnakin tercukupi
kesejahteraan individu secara materi dan non-materi. Jadi, ada
korelasi antara demokrasi dengan kecukupan kesejahteraan
individu.
Dalam tradisi pemikiran liberal tersebut di atas, demokrasi
mensyaratkan kontestasi, khususnya dalam pengisian jabatan
publik. Diamond, Linz dan Martin Lipset49 berdalih bahwa
suatu negara menganut sistem demokrasi haruslah mampu
menyelenggarakan tiga hal. Pertama, melembagakan kompetisi
antarelite atau kelompok dalam rangka mendudukkan elite
dalam pemerintahan dengan tanpa paksaan atau kekerasan.
Kedua, memaknai kontestasi ini sebagai partisipasi dalam
memilih pemimpin mereka secara langsung, berkala melalui
Pemilu, dan ketiga, menjamin kebebasan sipil dan politik
yang terwujud dalam kebebasan masyarakat mengemukakan
pendapat, kebebasan pers, dan kebebasan untuk membentuk
dan bergabung dengan parpol. Dalam konteks merebut
kekuasaan melalui Pilkada, elite harus berkompetisi secara
jujur dan adil. Kejujuran dan keadilan ini dijalankan dengan
pantauan masyarakat sehingga apabila mereka melakukan
tindakan tidak jujur, misalnya kampanye hitam atau money
politics, mereka mendapat sanksi dengan tidak akan dipilih.
Sejalan dengan pernyataan bahwa kontestasi adalah
keniscayaan, Downs menjelaskannya dengan pendekatan

49 Lary Diamond, Juan Linz and Seymour Martin Lipset (eds.), Democracy in Asia (Boulder,
Colorado: Lynne Rienner, 1989), hlm. xvi atau Lary Diamond, Juan Linz and Seymour
Martin Lipset (eds). Political and Developing Countries: Comparing Experience with
Democracy (Boulder, Colorado: Lynne Rienner, 1990), hlm. 6-7.

[ 30 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


rational choice50 secara menarik. Agar bisa memenangkan
persaingan antarelite dalam Pilkada, kontestan harus
mengal­kulasi dan mengetahui kekuatan dan kelemahan
modal (ekonomi) yang dimiliki pesaing. Selain itu, ia harus
memper­timbangkan kekuatan dan kelemahan diri sendiri
yang dibandingkan dengan kekuatan lawan. Setelah memper­
timbangkan kondisi internal dan eksternal tersebut, ia dapat
menyusun strategi yang efektif untuk meraih tujuan akhir
dalam Pilkada, yaitu memperoleh kemenangan.

D. Nalar Elite (AFI) dalam Meraih Kemenangan dalam


Pilkada di Kaltim
Melalui wawancara mendalam, dokumen tertulis, diskusi
kelompok dan observasi lapangan, data primer mengenai
Pilkada AFI Kaltim 2003-2008 dikumpulkan selama enam
bulan, Juni-November 2009. Setidaknya, ada lima hal
yang dilakukan untuk menguak kinerja nalar elite di balik
pemenangan AFI dalam Pilkada Kaltim tersebut. Pertama,
menemui anggota tim sukses AFI.51 Pertemuan dengan RTK
sebagai salah satu anggota tim sukses di Yogyakarta menjadi
pintu untuk penghimpunan data primer. Melalui RTK
dokumen grand strategy AFI dalam Pilkada 2008, notulen
rapat Dewan Pakar, makalah dan data kependudukan Kaltim
diperoleh. Data primer ini penting untuk dikembangkan dan
dianalisis secara kritis, khususnya tentang bagaimana elite
mengimplementasikan strategi pemenangan Pilkada.
Kedua, wawancara dengan AFI. Dengan bantuan RTK,
wawancara secara langsung dengan AFI di tengah kesibukan
sebagai Gubernur Kaltim bisa terlaksana. Wawancara itu
seputar strategi politik AFI, keluarga, latar belakang keluarga,

50 Anthony Downs, An Economic Theory of Democracy, (New York: Harper and Row, 1957),
hlm. 3-7.
51 Lih. Lampiran I.

Politik Ambivalensi [ 31 ]
dan jaringan patronase. Pendekatan secara kultural sebagai
bangsawan dimanfaatkan oleh AFI sebagai sarana untuk
mengikat batin masyarakat pedalaman dan pesisir. Dengan
demikian, terkuaklah cara kerja elite (AFI) dalam pemenangan
Pilkada.
Wawancara juga dilakukan dengan akademisi di
Universitas Mulawarman (MA dan HS), tokoh masyarakat,
wartawan, dan aktivis.52 Sebenarnya, MA ikut aktif sebagai
anggota KALIMA, ormas yang dibentuk oleh AFI dalam
rangka memobilisasi massa. Dari wawancara dengan MA,
diperoleh peta konstelasi politik persaingan antarelite di
Kaltim. Dalam hal ini, elite bersaing ketat dan harus menang
dengan segala cara untuk memengaruhi pemilih. Bekerjanya
nalar elite juga ditemukan dalam wawancara dengan MA: elite
memanfaatkan strategi kampanye dengan isu etnis, agama,
dan rekayasa sosial di basis massa AFI.
Data wawancara dengan MA tersebut kemudian dicek
lagi kebenarannya melalui wawancara terhadap masyarakat
awam, seperti ibu rumah tangga, pengusaha, aktivis LSM atau
lembaga lain, sopir, pegawai, dan wartawan. Selain itu, untuk
memperkaya data primer tersebut, hal lain yang dilakukan
adalah menyandingkan data sekunder melalui website http://
awangfaroekishak.info/ yang secara khusus memuat program
kegiatan AFI, visi, misi, strategi, dan riwayat hidupnya.
Artinya, validitas dan kebenaran data dari website tersebut
bisa dipertanggungjawabkan untuk mengungkap nalar elite
politik di balik pemenangan dirinya di Pilkada.
Ketiga, diskusi kelompok bersama mahasiswa Kaltim
(Kutai) yang kuliah di DIY.53 Untuk melacak penalaran elite
di balik kemenangan AFI dalam Pilkada, masukan dari

52 Ibid .
53 Ibid.

[ 32 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


mahasiswa juga sangat dibutuhkan. Sebagian besar mahasiswa
yang terlibat dalam diskusi menyatakan keinginannya setelah
selesai studi untuk kembali dan membangun Kaltim. Hal ini
merupakan indikasi keberhasilan program AFI memberikan
beasiswa kepada siswa dan mahasiswa yang berdampak
keterikatan mereka terhadap elite. Tampaknya, rasa mencintai
dan memiliki Kaltim sangat tinggi sehingga mereka ingin
menerapkan ilmu yang didapatnya untuk membangun daerah
mereka.
Keempat, studi literatur. Teori yang mendasari studi ini
adalah teori demokrasi, kontestasi antarelite, dan patronase,
yang dikembangkan di Indonesia dan kemudian dibandingkan
dengan hasil-hasil studi demokrasi di Eropa, Amerika,
Afrika, Amerika Latin, dan Asia. Studi banding ini dilakukan
untuk melacak relasi antara konsep demokrasi dengan nalar
aktivis atau idealis yang berimplikasi pada strategi politik.
Untuk memperdalam pemahaman tentang nalar aktivis
tersebut dilakukanlah pengecekan lewat internet. Melalui
website http://www.jstor.org konsep demokrasinya dianalisis.
Web ini berisi tentang jurnal online yang terpercaya secara
ilmiah. Sementara itu, website yang menjadi rujukan untuk
mengumpulkan data tentang praktik money politics adalah
website ICW, KPK, Kaltim Post, Tribun Kaltim, Koran Kaltim
dan Majalah Bongkar. Kemudian, media massa nasional online
yang menjadi rujukan adalah Kompas, Suara Pembaruan,
Media Indonesia, Suara Karya dan Majalah Tempo.
Untuk melacak dasar teori tentang nalar politisi, hal yang
bisa dilakukan adalah melalui studi mengenai patronase.
Adapun studi tentang patronase itu kemudian dibandingkan
dengan hasil penelitian di Yunani, Italia, Afrika, Amerika
Latin, Filipina, Malaysia, Thailand, dan Makassar. Rujukan lain
berupa temuan disertasi HSAP tentang patronase (minawang)
di Sulawesi Selatan (Sulsel). Temuan penting dalam disertasi

Politik Ambivalensi [ 33 ]
HSAP tersebut ialah adanya ketidakseimbangan posisi antara
patron dan klien tidak berarti klien lemah atau tidak mampu
memberikan kepada patron. Dengan kata lain, klien memiliki
posisi tawar-menawar yang harus diperhitungkan oleh patron.
Selanjutnya, dilakukan analisis terhadap 56 tesis atau
disertasi tentang Pilkada di Indonesia yang telah dikerjakan
oleh para mahasiswa Pascasarjana Fisipol UGM. Hal ini
dilakukan untuk mempertajam data awal tentang nalar politisi
dan nalar akitivis yang sudah dikumpulkan. Studi pustaka
tentang kontestasi antarelite dalam Pilkada dilakukan di
Perpustakaan Fisipol Universitas Gadjah Mada, Perpustakaan
Pascasarjana Fisipol Universitas Gadjah Mada, Perpustakaan
Universitas Mulawarman, dan Perpustakaan Pemda Kaltim.
Dalam studi pustaka itu, analisis difokuskan pada Pilkada
di Indonesia dalam kurun waktu lima tahun (2003-2008).
Hasilnya kemudian diklasifikasi ke dalam empat kategori.
Kemudian, metode dan paradigma yang digunakan dalam
bahan-bahan pustaka itu dikritisi.
Kelima, observasi lapangan. Selain pengumpulan data
melalui studi pustaka, wawancara mendalam, diskusi kelom­
pok dan pelacakan internet, juga diadakan observasi lapangan
ke Kaltim pascapenelitian 2009. Observasi tersebut dilaksa­
nakan selama dua minggu (Februari-Maret 2012) di Kutai
Kartanegara. Observasi ini bertujuan untuk mengamati
kehidupan masyarakat kota dan pedalaman, serta mengadakan
cek data: apakah data yang didapat melalui studi pustaka dan
wawancara terdahulu dapat diandalkan kebenarannya? Studi
ini dibantu oleh asisten peneliti lokal yang memberikan laporan
secara berkala tentang perkembangan politik lokal yang terjadi
di Kaltim baik secara lisan maupun tulisan melalui kliping surat
kabar lokal. Pada tahap observasi lapangan ini, temukan data
tentang tradisi erau yang memengaruhi perilaku masyarakat
Kaltim, khususnya dalam kebiasaan pemberian-penerimaan.

[ 34 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


Erau bermula dari tradisi pada penobatan raja, kemudian
berkembang menjadi kebiasaan pemberian-penerimaan
dalam masyarakat. Pada tahap ini, langkah selanjutnya adalah
dengan mengontraskan pemberian-penerimaan dengan
money politics. Tampaknya, di sinilah sisi kebaruan (novelty)
studi ini, pertemuan antara nalar aktivis dan nalar politisi
terjadi. Elite memanfaatkan kebiasaan pemberian-penerimaan
dalam rangka mengikat konstituen. Sebaliknya, tindakan elite
memberikan materi dan non-materi divonis kelompok aktivis
sebagai tindakan melanggar hukum dan menghambat proses
demokratisasi.
Buku ini terdiri dari enam bab. Pada bab pertama,
diuraikan tentang apa itu money politics, serta sekilas tentang
elite dan strateginya dalam memenangkan Pilkada. Bab dua
membahas tentang dinamika politik di Kaltim yang memberi
gambaran konstelasi politik pasca-Orde Baru dalam rangka
melacak peta Pilkada dan jejak rekam AFI, baik di era Orde
Baru maupun era Reformasi.
Adapun paparan dalam bab ketiga adalah tentang per­
paduan dua nalar. Pada bab ini, dinamika politik lokal yang
berkaitan dengan pemberian gelar bangsawan mulai dipa­
parkan. Sementara itu, nalar elite dalam memenangkan
Pilkada tersaji dalam bab keempat. Dalam konteks ini, elite
meman­faatkan berbagai strategi untuk memenangkan kon­
testasi dalam Pilkada. Selanjutnya, bab kelima mere­fleksikan
konseptualisasi ambivalensi antara nalar aktivis dan politisi
yang bertitik temu pada pemberian dan money politics. Per­
bedaan mendasar antara pemberian dan money politics yang
selama ini dipersepsi secara salah oleh kelompok aktivis mulai
digali. Adapun bab terakhir, yakni bab keenam dalam buku
ini menegaskan inti temuan yang diwujudkan dalam sebuah
kesimpulan.

Politik Ambivalensi [ 35 ]
BAB II
DINAMIKA POLITIK LOKAL:
MELACAK JEJAK PERJALANAN
DAN INTERAKSI POLITIK AFI

S
eperti apakah dinamika politik Kaltim di era Orde
Baru dan Reformasi saat AFI menjadi pemenang dalam
Pilkada? Seperti apa jejak perjalanannya dalam mem­
bawa diri sehingga dia meraih kemenangan tersebut? Apakah
benar ada embrio dua nalar yang ambivalen, yakni nalar politisi
dan nalar aktivis (demokrasi) dalam taktiknya sebagaimana
disinggung dalam bab sebelumnya? Di sini penulis berusaha
menghadirkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut
secara runtut berdasarkan hasil penelitian (studi lapangan)
yang telah dilakukan.
Mari kita mulai dari gambaran umum Kaltim. Kaltim
adalah salah satu provinsi di Indonesia yang kaya akan
sumber daya alam (SDA), seperti kayu, minyak, gas bumi,
dan batu bara. Dalam sejarah pemerintahan Kaltim sebelum
ber­gabung dengan Republik Indonesia, berdiri Kesultanan
Kutai Kartanegara. Hal ini menyebabkan nama Kutai lebih
populer dibanding Kaltim pada saat itu, tepatnya pada saat
sebelum era Kemerdekaan. Kutai menjadi kabupaten setelah
bergabung dengan Republik Indonesia pada tahun 1950.
Berbicara tentang SDA Kaltim otomatis berkaitan dengan

[ 36 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


hasil hutannya (kayu) yang banyak diekspor ke luar negeri.
Setelah hutan-hutan itu gundul karena pohon-pohonnya habis
ditebangi, pencarian SDA dialihkan pada tambang, khususnya
batu bara, minyak, dan gas bumi.
Secara administratif, wilayah Kaltim sebelah utara berse­
belahan dengan Sabah, sebelah timur berbatasan dengan
Selat Makassar dan Laut Sulawesi, sebelah selatan berbatasan
dengan Kalimantan Selatan, dan sebelah barat berbatasan
dengan Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, dan Serawak.1
Dengan wilayah daratan seluas 198.441,17 km2 dan laut
seluas 10.216,57 km2, Kaltim terletak antara 113,440 bujur
timur dan 1190 bujur barat, serta 4,240 lintang utara dan 2,250
lintang selatan. Penduduk Kaltim pada tahun 2003 berjumlah
2.704.851 jiwa, kemudian berkembang menjadi 3.553.143
jiwa pada tahun 2010. Jumlah penduduk laki-laki sebanyak
1.871.690 jiwa (52,68%) dan penduduk perempuan 1.681.453
jiwa (47,32%).
Lambat laun, Kaltim mengalami pemekaran wilayah di
era Reformasi (1999). Pemekaran wilayah itu diatur dalam
Undang-Undang No. 47 tahun 1999 yang mengatur pem­
bentukan Kabupaten Kutai menjadi Kutai Timur dan Kutai
Barat, serta pembentukan Kabupaten Malinau, Nunukan, dan
Kota Bontang. Selanjutnya, masih dalam era yang sama dite­
rapkan pola otonomi daerah. Kebijakan otonomi daerah diatur
dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1999. Dengan demi­
kian, sejak tahun 1999 Kaltim telah dimekarkan menjadi 12
wilayah Administrasi Pemerintahan yang terdiri dari delapan
kabupaten dan empat kota madya.

1 www.kaltim.go.id/ diakses pada 31 Januari 2015, sumber website resmi Pemda Kaltim.
Data diolah dan dikembangkan oleh penulis. Lih. Lampiran I. Penulis mendapatkan
data tersebut melalui diskusi dan wawancara dengan tokoh masyarakat di Kaltim.

Politik Ambivalensi [ 37 ]
Dalam perkembangannya, berdasarkan Undang-Undang
No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Kaltim
meme­karkan diri menjadi 14 kabupatan/kota dengan 140
kecamatan dan 1445 desa/kelurahan. Adapun sepuluh
kabupaten tersebut adalah Kabupaten Paser dengan ibu kota
Tanah Grogot, Kutai Barat dengan ibu kota Sendawar, Kutai
Kartanegara dengan ibu kota Tenggarong, Kutai Timur dengan
ibu kota Sangatta, Berau dengan ibu kota Tanjung Redeb,
Malinau dengan ibu kota Malinau, Bulungan dengan ibu kota
Tanjung Selor, Nunukan dengan ibu kota Nunukan, Penajam
Paser Utara dengan ibu kota Penajam, dan Tana Tidung dengan
ibu kota Tideng Pale (pemekaran dari Kabupaten Bulungan
yang disetujui pembentukannya pada sidang paripurna DPR
RI pada tanggal 17 Juli 2007). Sedangkan empat kota di Kaltim
adalah Balikpapan dengan ibu kota Balikpapan, Samarinda
dengan ibu kota Samarinda, Tarakan dengan ibu kota Tarakan,
dan Bontang dengan ibu kota Bontang.

A. Konstelasi Politik
Pada era Orde Baru, Golkar di Kaltim selalu unggul di
atas 70% pada setiap Pemilu. Namun, kemenangan mutlak
ter­sebut tidak bertahan di era Reformasi. Pada 1999, Golkar
menga­lami kekalahan untuk pertama kalinya dari PDI-P.
Kekalahan ini juga terjadi di tiga daerah yang menjadi basis
massa Golkar dan basis kelompok pendatang (54%), yaitu
Samarinda, Balikpapan, dan Kutai Kartanegara. Kekalahan
tersebut dipengaruhi oleh tiga faktor.
Pertama, soliditas internal guncang ketika Soeharto
lengser dan Golkar dikecam masyarakat.2 Hujatan masyarakat

2 Bandingkan John C. Pevenhouse, Democracy from Above (Cambridge: Cambridge


University Press, 2005); faktor yang memengaruhi jatuhnya rezim otoriter ialah
tekanan dunia internasional, krisis eknomi dan resistensi masyarakat. Selama Orde
Baru memerintah, demokrasi yang dibangun hanya semu (democracy from above).

[ 38 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


terhadap Golkar sangat gencar baik secara nasional maupun
lokal terhadap Golkar sebagai partai yang ikut bertanggung
jawab atas krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Masyarakat
menghendaki partai ini dibubarkan sebagai parpol dan dilarang
ikut Pemilu 1999. Hal ini menyebabkan para pendukungnya
banyak yang berpindah ke PDI-P atau partai lainnya.
Kedua, kekalahan Golkar di basis massa Kutai dan
kelompok pendatang merupakan indikasi adanya penolakan
terhadap keotoriteran yang diwariskan oleh Orde Baru dalam
setiap Pemilu.3 Kemenangan Golkar di era Orde Baru tampak
tidak wajar karena banyak kejanggalan dalam Pemilu-Pemilu
tersebut, baik dalam hal penyelenggaraan, surat suara, maupun
saksi penghitungan suara. Ketika Soeharto lengser (1998),
rakyat Kaltim menghendaki perubahan kepemimpinan.
Mereka sudah bosan dengan kepemimpinan otoriter yang
tercermin dengan keterlibatan militer dan birokrasi dalam
setiap Pemilu.
Ketiga, masyarakat Kaltim ingin memberi pelajaran bagi
elite Golkar yang mengabaikan kesejahteraan dan aspirasi

Soeharto merekayasa masyarakat yang plural sedemikian rupa sehingga mereka tidak
diberi hak untuk memilih dalam Pemilu dengan jujur, langsung, dan adil. Tentang teori
demokrasi di tengah masyarakat majemuk, bisa dibaca Charles Taylor, “The Dynamics
of Democratic Exclusion” dalam Journal of Democracy, 19 (4), 1998, hlm. 148-50; Will
Kymlicka, Multicultural Citizenship: A Liberal Theology of Minority Rights, (Clerendon:
Oxford Press, 1995), hlm. 144-149; A. Philips, The Politics of Presence: Issues in Democracy
and Group Representation, (Oxford: Oxford University Press, 1995).
3 Menurut Liddle, Orde Baru memiliki lima kelemahan, yakni kesenjangan demokrasi
Pancasila dengan demokrasi murni, ketegangan antara elite militer dengan elite sipil,
kesenjangan persepsi massa dengan pemerintah, kepedulian terhadap konsekuensi
distribusi kebijakan ekonomi pemerintah, dan konflik internal antarelite angkatan
bersenjata. Baca R. William Liddle, Pemilu-Pemilu Orde Baru (Jakarta: LP3ES, 1994);
Bandingkan J. Kristiadi (peny.), Menyelenggarakan Pemilu yang Bersifat Luber dan
Jurdil, (Jakarta: CSIS, 1997); Muhammad Asfar, Pemilu dan Perilaku Memilih 1955-
2004, (Surabaya: Pustaka Eureka, 2006); Lih. Hans Antlov and Sven Cederroth, Election
in Indonesia, (London and New York: Routledge Curzon, 2004).

Politik Ambivalensi [ 39 ]
rakyat.4 Dalam setiap Pemilu selama ini, mereka hanya diberi
janji-janji, sementara hasil kekayaan alam Kaltim hanya
dinikmati oleh elite parpol dan pemerintah pusat (Orde
Baru). Mereka semakin sadar dan cerdas menentukan pilihan
mereka dalam Pemilu. Mereka juga mulai menyadari adanya
kesenjangan sosial dan ketertinggalan pembangunan dengan
provinsi-provinsi di pulau Jawa. Mereka menghendaki adanya
pemimpin baru dan pilihan jatuh pada PDI-P yang diketuai
oleh Megawati Soekarnoputeri. Mega menjadi daya tarik
untuk melampiaskan ‘kejengkelan’ mereka. Dengan kata lain,
kemenangan PDI-P pada Pemilu 1999 bukan karena program
PDI-P yang baik, tetapi karena faktor sentimen terhadap elite
Golkar.5

4 “Ia heran mengapa setelah kalah dalam Pemilu dan Pilpres 2009, kader partai Golkar
terbelah. Padahal, setelah Pemilu 1997, Golkar memang kalah terus menerus, baik Pemilu
1999 dan 2004, termasuk dalam Pilpres 2009. Kita kalah beruntun karena setelah kalah
tidak ada evaluasi dan tidak ada pembaruan tekad. Komitmen kader hanya bagaimana
dirinya dapat kursi di DPR/DPRD. Tak ada yang berpikir bagaimana caranya supaya
Golkar menang mayoritas,” kata Herlan Agussalim (Ketua DPRD Kalimantan Timur
2004-2009). Herlan yakin, bila kader Golkar tidak mengedepankan perlunya evaluasi
atas kekalahan, melakukan pembaruan tekad berpartai, bisa jadi pemilih semakin
apatis dengan Golkar. Pasalnya, yang diperagakan kader adalah saling sikut untuk
dapat kekuasaan di kepengurusan partai (www.bongkar.co.id/Terjun Bebasnya Golkar,
29 Agustus 2009); Tingkat kemiskinan di Kabupaten Kutai Kartanegara pada tahun
2005-2006 masih menunjukkan tingkat yang paling tinggi sebesar 20-21%, diikuti oleh
Kabupaten Samarinda 12-13% dan Kutai Timur sebesar 10-11%. Ironisnya, kantong
kemiskinan paling tinggi terjadi justru di kabupaten yang juga memberikan kontribusi
terbesar terhadap PDRB Kaltim, yaitu Kutai Kartanegara (BPS Kaltim, 2008). Bandingkan
Lampiran I.Informasi didapatkan dari tokoh masyarakat Kaltim.
5 Ibid. “Sebagai tokoh senior di Partai Golkar, Achmad Amins tentu sudah punya pengalaman
mengelola partai. Ia sudah terbiasa dengan berbagai tipikal orang-orang partai, termasuk
bagaimana sakitnya hati ketika dikhianati. Pengalaman ketika ia maju sebagai calon
Gubernur Kaltim beberapa waktu lalu adalah pelajaran paling berharga yang tidak
mungkin terlupakan olehnya. Waktu itu Achmad Amins tidak mendapat tempat di Partai
Golkar, padahal ia adalah satu-satunya kader Golkar yang memenuhi syarat menurut
hasil survei untuk maju dalam Pilgub Kaltim tersebut. Berbagai survei menempatkan
dirinya di posisi kedua setelah Awang Faroek Ishak. Puncak kekecewaan Amins saat Golkar
melaksanakan konvensi. DPP Partai Golkar malah mengalokasikan suara votingnya
kepada Jusuf SK yang waktu itu menjabat Walikota Tarakan dan posisinya masih jauh

[ 40 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


1. Hasil Pemilu 1999
Berikut hasil lengkap Pemilu 1999 di Kaltim yang menun­
jukkan bahwa parpol PDI-P paling unggul.
Gambar 2.1. Hasil Pemilu 1999 di Katim

Sumber: KPU 1999; Litbang Kompas, 2004


Tampilan Gambar 2.1. di atas menunjukkan dengan
jelas bahwa PDI-P menang di daerah basis penduduk
asli Kutai dan pendatang. Padahal, sebelum itu, mereka
membe­rikan kontribusi terhadap kemenangan mutlak
Golkar. PDI-P menang di Balikpapan (37,3%), Samarinda
(33,2%) dan Kutai (38,6%). Kejadian ini mengejutkan para
pengamat politik. Mereka tidak habis pikir mengapa Golkar
yang sangat solid selama 32 tahun di ketiga daerah tersebut
menga­lami kekalahan mutlak. Kemenangan PDI-P di basis
Golkar merupakan kemenangan yang mengundang banyak
pertanyaan.6 Sebaliknya, Golkar menang di empat Kabupaten,
yakni Berau (30,6%), Bulungan (48,3%),) Tarakan (38,9%),

dalam survei-survei.” (www.bongkar.co.id/ diakses pada 31Agustus 2009, Amunisi Baru


Demokrat).
6 Penulis berpendapat bahwa kemenangan PDI-P dalam Pemilu 1999 di basis massa
Golkar dipengaruhi oleh ‘sentimen politik anti-Golkar’, karena Golkar dikatakan
sebagai penyebab krisis nasional. Selengkapnya, baca Akbar Tanjung, The Golkar Way.;
Bandingkan Cornelis Lay, “Arti Strategis Pelaksanaan Pemilu 1997 yang Luber dan
Jurdil Bagi Pembangunan Nasional: Analisis Perspektif PDI” dalam J. Kristiadi (peny.),
Menyelenggarakan Pemilu yang Bersifat Luber dan Jurdil (Jakarta: CSIS, 1997), hlm. 74-
85.

Politik Ambivalensi [ 41 ]
dan Pasir (35,6%). Perolehan suara Golkar dalam Pemilu 1999
di Kaltim mengalami penurunan hingga 40,3% dibandingkan
dengan hasil Pemilu 1971-1997. Di tahun itu perolehan suara
Golkar mencapai 55% hingga 71%.
Selama Orde Baru, PDI-P tidak pernah memperoleh
satu kursi pun di DPR. Namun, setelah Soeharto lengser,
para pendukung Golkar mengalihkan pilihannya ke PDI-P.
Kemenangan PDI-P di basis massa Golkar semacam ini
membuktikan bahwa penurunan 40,3% suara Golkar tersebut
terjadi karena suara-suara itu beralih ke PDI-P.7
Sementara itu, PPP yang berada di urutan ketiga dengan
perolehan suara 10,4% mengalami penurunan suara sekitar
9,6%. Selama Pemilu Orde Baru, PPP mendapatkan suara
minimal 20%, tetapi di era Reformasi mereka mengalami
penurunan perolehan suara. Mengapa PPP mengalami
penurunan suara? Hal tersebut tidak lain karena kemunculan
PAN dan PKB sebagai parpol baru yang mampu merebut
suara yang signifikan.8 Ada indikasi bahwa suara PPP pada
era Reformasi berpindah ke PAN dan PKB. Basis massa
PAN ialah kelompok Muhammadiyah dan kaum terpelajar,
sedangkan basis massa PKB ialah kelompok Nahdlatul Ulama
yang merupakan simpatisan Masyumi. Basis massa kelompok

7 Penurunan suara Golkar pernah juga dialami pada Pemilu 1992 yang disebabkan oleh
enam faktor, yakni sikap Golkar yang terlalu defensif, dampak modernisasi, elite Golkar
arogan, keterbukaan LPU-Depdagri, political realignment, dan identifikasi Golkar sama
dengan birokrasi. Lihat Riswandha Imawan,”Dinamika Pemilih dalam Pemilu 1992”
dalam M. Sudibyo (peny.), Pemilihan Umum 1992: Suatu Evaluasi (Jakarta: CSIS, 1995),
hlm. 49-69; Bandingkan Kwik Kian Gie, “Dinamika Pemilih dalam Pemilu 1992: Suatu
Tanggapan” dalam Sudibyo (peny.), Pemilihan Umum 1992: Suatu Evaluasi.
8 Dengan munculnya PAN dan PKB dalam Pemilu 1999, maka massa Islam terpecah dalam
memberikan suaranya, dan hal ini berdampak pada penurunan suara PPP. Masyarakat
membutuhkan pemimpin baru yang mampu mengakomodasi kepentingan mereka.

[ 42 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


agama cukup signifikan di Kaltim.9 Hal ini ditunjukkan dengan
Tabel 2.1. berikut:
Tabel 2.1. Penduduk Kaltim Menurut Agama (%)
No Agama Prosentase
1. Islam 84,02
2. Katholik 4,53
3. Kristen Protestan 9,34
4. Hindu 0,97
5. Buddha 1,08
6. Konghuchu 0,01
7. Lainnya 0,05
Sumber: Bapeda, Kaltim dalam Angka 2014
Secara keseluruhan, hasil Pemilu 1999 di Kaltim menun­
jukkan, PDI-P memperoleh suara 33,8%, Golkar memperoleh
suara 29,7%, dan PPP memperoleh suara 10,4%. Hasil Pemilu
1999 tersebut menunjukkan adanya gejolak masyarakat pada
tataran bawah yang tidak puas terhadap kepemimpinan Orde
Baru (Golkar) dan kemudian hal ini berdampak pada hasil
Pemilu. Selengkapnya hasil Pemilu 1999 di Kaltim ditunjukkan
dengan Tabel 2.2. berikut:
Tabel 2.2. Persentase Hasil Pemilu 1999 di Kaltim
No. KABUPATEN/KOTA PDI-P GOLKAR PPP PAN PKB
1. Berau 23,9 30,6 10,3 3,4 5,2
2. Bulongan 23,7 48,3 7,3 2,7 1,3
3. Kota Balikpapan 37,3 22,1 10,4 11,0 4,9
4. Kota Samarinda 33,2 22,5 12,5 9,1 6,0
5. Kota Tarakan 33,2 38,9 5,9 5,1 4,7

9 Umat Islam di Kalimantan Timur mencapai 85,0% dan hal ini menjadi ‘rebutan’ parpol,
khususnya parpol yang mengusung ideologi agama. Namun, dalam realitanya parpol
yang mengusung ideologi nasionalislah yang memenangi Pemilu 1999 (PDI-P) di Kaltim.
Sementara Pemilu 2004 dan 2009 dimenangkan oleh Golkar.

Politik Ambivalensi [ 43 ]
6. Kutai 38,6 29,5 7,9 5,0 4,8
7. Pasir 24,7 35,6 17,1 4,7 5,8
Sumber: KPU, 1999; Litbang Kompas, 2004
Kemenangan PDI-P dalam Pemilu 1999 di Kaltim tersebut
mengubah peta politik lokal. PDI-P menjadi mayoritas dalam
DPRD Provinsi Kaltim yang berjumlah 45 orang. Adapun
rincian komposisi anggota DPRD Provinsi Kaltim adalah
sebagai berikut: PDI-P 14 kursi, Golkar 13 kursi, TNI/Polri 5
kursi, Cahaya Reformasi 5 kursi, PPP-PNU 5 kursi, dan PKB
3 kursi.

2. Hasil Pemilu 2004


Duet Suwarna dan Yurnalis sebagai kepala daerah yang
didukung oleh PDI-P, Golkar, dan TNI/Polri justru memperkuat
sisi internal Golkar yang sedang goyah. Konsolidasi nasional
yang dilakukan oleh Golkar berdampak pada keberhasilan
Golkar memenangi Pemilu legislatif (2004) dan Pilkada (2005)
di Kaltim. Gambar 2.2. di bawah ini menunjukkan keberhasilan
Golkar merebut kembali basis massa yang dikuasai oleh PDI-P
dalam Pemilu 1999.
Gambar 2.2. Peta Politik Kaltim 2004

Sumber: KPU, 2004; Litbang Kompas, 2004

[ 44 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


Dari Gambar 2.2. tersebut tampak jelas bahwa PDI-P
hanya menang di dua kabupaten, yakni Kutai Barat dan
Malinau. Adapun di basis massa masyarakat asli Kutai dan
kelom­pok pendatang (Samarinda, Balikpapan, dan Kutai
Kartanegara) yang merupakan penyumbang suara terbesar
(54%), Golkar menang. Golkar dalam Pemilu 2004 ini berhasil
menang di 11 kabupaten/kota, sedangkan PKS sebagai partai
baru menarik pemilih muda atau kalangan menengah di
Samarinda dan Balikpapan.10 Sementara itu, PPP mengalami
penurunan suara, karena basis massa Islam terbagi ke dalam
tiga parpol, yakni PKS, PAN, dan PKB. Sedangkan Partai
Demokrat sebagai partai baru memperoleh dukungan yang
signifikan di Balikpapan dan Samarinda sehingga menggusur
posisi PAN dan PKB. Selengkapnya persentase perolehan
suara dalam Pemilu 2004 di Kaltim adalah sebagai berikut:
Golkar (27,4%), PDI-P (13,9%), PKS (9,6%), PPP (8,56%),
dan Demokrat (5,97%).11 Kemenangan Golkar dalam Pemilu
2004 di Kaltim ini menandai ‘kebangkitannya’.12 Golkar tidak
runtuh pada saat Soeharto lengser (1998) karena infrastruktur
yang dibangun melalui birokrasi sangat solid sampai ke desa-
desa. Golkar di Kaltim mampu mengatasi konflik internal
maupun eksternal. Bahkan, dia mengalami konsolidasi yang
mantap.

3. Peta Pilkada Kutim dan Kaltim


Kebangkitan Golkar di Kaltim ditandai dengan keme­
nangan pemilihan bupati/walikota di Kutai Kartanegara,

10 Lihat www.elshinta.com; www.kompas.com; www.kpu.go.id.


11 www.kpu.go.id/Kalimantan_Timur.
12 Kata ‘kebangkitannya’ sengaja ditulis dalam tanda petik. Artinya, tampaknya saja Golkar
solid, tetapi perkembangan selanjutnya menampakkan bahwa Golkar keropos sehingga
mengalami penurunan perolehan kursi (suara) dalam Pemilu 2009.

Politik Ambivalensi [ 45 ]
Samarinda, Bontang, dan Malinau.13 Dukungan Golkar terha­
dap Syaukani (etnis Bugis) dan Samsuri Aspar (etnis Banjar)
mengantarkan mereka menjadi pemenang dalam Pilkada
Kutai Kartanegara 2005 dengan perolehan 159.303 suara
mengalahkan Aji Sofyan dan H. M. Irkham yang diusung oleh
PAN dan PKS (88.625 suara). Kemenangan Syaukani-Samsuri
tersebut menunjukkan betapa kuatnya pengaruh Syaukani di
Kutai Kartanegara. Meskipun Aji Sofyan ialah kerabat dekat
Sultan Kutai dan didukung oleh elite Kutai, pasangan Syaukani-
Samsuri tetap menang.14 Selain itu, perolehan suara Golkar di
Kutai Kartanegara tersebut menunjukkan bahwa infrastruktur
yang telah dibangun Orde Baru melalui birokrasi sangat efektif
untuk mendulang suara. Sayangnya, kemenangan Syaukani-
Syamsuri tersebut tidak diimbangi dengan kinerja yang baik
sehingga mereka berurusan dengan KPK akibat terlibat kasus
korupsi.15
Kemenangan Golkar dalam Pilkada Kutai Kartanegara
tersebut disusul dengan kemenangan Achmad Amins-Syaharie
Djaang (Bugis-Dayak) sebagai walikota/wakil di Samarinda
dengan perolehan suara 110.550 suara. Kemenangan mereka
didukung oleh komunitas Bugis, Dayak, dan Muslim yang
mengalahkan Masykur-Kasmiruddin (57.102 suara) yang
diusung PKS. Pada Pemilu sebelumnya, Samarinda menjadi
basis PDI-P, tetapi calon mereka Awang-Siti ditaklukkan
oleh Amins-Djaang. Awang-Siti hanya memperoleh 49.986
suara dan jauh tertinggal dari Amins-Djaang. Awang Ferdian
Hidayat adalah anak Bupati Kutai Timur, Awang Faroek Ishak

13 Akbar Tanjung , loc. cit.


14 Gelar Aji menunjukkan seseorang masih keluarga Sultan Kutai, sebab gelar ini hanya
disandang oleh bangsawan Kutai.
15 Lih. www.detik.com/diakses pada 21 September 2007, Syaukani Paling Fenomenal; www.
kompas.com/diakses pada 15 Desember 2007, Korupsi, Syaukani Dihukum 2,5 Tahun;
www.kompas.com/diakses pada 15 Februari 2008, Syaukani: Ya.. Mau Apa Lagi.

[ 46 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


adalah kerabat Sultan Kutai, dan yang menjadi kontestan di
sini adalah Awang Ferdian Hidayat.
Kekuatan Amins-Djaang dalam meraup suara di Pilkada
ini tidak terbantahkan. Hal ini terbukti dengan kemampuan
mereka mengalahkan popularitas PKS dan Awang Ferdian
Hidayat. Dari dua kasus (Kutai Kartanegara dan Samarinda)
tersebut dapat ditengarai bahwa peran kelompok pendatang
seperti Bugis, Banjar, dan Dayak sangat dominan di basis massa
orang Kutai. Ikatan sentimen suku dan agama berpengaruh
besar dalam mendulang suara di Pilkada 2005. Selain itu,
perubahan komposisi penduduk di Kaltim tampaknya mulai
menggeser dominasi orang Kutai dalam pemerintahan.
Akibatnya, pengaruh mereka kurang dalam masyarakat,
khususnya di Samarinda, Balikpapan, dan Kutai Kartanegara.16
Kota Balikpapan merupakan wilayah Kutai pada zaman
Belanda. Namun, dalam perkembangannya Balikpapan men­
jadi kota modern dengan kelompok pendatang mendo­minasi
(Jawa, Sunda, Bugis, Banjar, Toraja, dan Batak) mencari kerja
dan menetap. Hal ini memengaruhi komposisi penduduk
di Balikpapan yang menyebabkan kelompok pendatang
memenangi Pilkada 2006. Hamid-Effendi yang diusung PDI-P
dan gabungan parpol berhasil menang dalam Pilkada 2006
dengan perolehan 122.330 suara mengungguli Pabotingi-
Gunawarman (72.326 suara) yang diusung oleh Golkar. Pilkada
2006 di Balikpapan merupakan kompetisi antara kelompok

16 Wawancara dengan Awang Faroek Ishak di Samarinda, 11 Agustus 2009; Wawancara


dengan Mohammad Arifin di Universitas Mulawarman, 11 Agustus 2009. Pertambahan
jumlah kelompok pendatang dari Jawa, Sunda, Bugis, dan Banjar dalam sepuluh tahun
terakhir menyebabkan pergeseran sosial politik. Dalam sistem pemilihan kepala daerah
yang proporsional terbuka sangat dimungkinkan sentimen sektarian dan primordialisme
menentukan seseorang terpilih sebagai kepala daerah. Oleh karena kelompok pendatang
mayoritas di Samarinda, Balikpapan, dan Kutai Kartanegara, maka diprediksi mereka
yang akan menang dalam Pilkada, bukan etnis Kutai atau Dayak yang merupakan suku
asli Kalimantan Timur.

Politik Ambivalensi [ 47 ]
pendatang yang terdiri dari etnis Jawa dan Sunda—dan jumlah
mereka dominan—dengan etnis asli Kaltim yang terdiri dari
etnis Kutai dan Dayak.
Etnis Kutai hanya menang Pilkada di Kutim (2005).
Saat itu, Awang Faroek Ishak-Isran Noor yang diusung oleh
gabungan parpol berhasil memperoleh 66.192 suara. AFI-
Noor mengalahkan Mahyudin-Sulaiman (31.906 suara) yang
diusung oleh Golkar dan gabungan parpol. AFI sebagai ‘putera
daerah’ dengan pengalaman politik nasionalnya yang luas
mampu mengungguli Mahyudin (Ketua Golkar Kaltim).17
Sementara itu, di daerah pemekaran Kutai Kartanegara (Kutai
Barat), etnis Dayak berhasil mengalahkan etnis Kutai. Pada
Pilkada 2006 Ismael Thomas dan Didik Effendi yang diusung
oleh PDI-P dan PAN berhasil menang dengan perolehan 27.639
suara mengalahkan Asia-Encik (22.800 suara) yang diusung
PDS, Partai Demokrat, Partai Pelopor, dan PPDK.18 Persaingan
antarelite politik berdasarkan etnis dan agama sangat efektif
dalam Pilkada untuk diangkat menjadi isu dalam memperoleh
suara. Hasil Pilkada 2006 di daerah industri minyak dan gas,

17 Konflik internal dalam tubuh Golkar sarat dengan kepentingan kelompok yang
menyebabkan Golkar keropos. Mahyudin (Banjar) memiliki kedekatan dengan Syaukani
(Bugis). Sementara itu, Syaukani dengan Faroek berseberangan. Oleh karena Syaukani
mendukung Mahyudin, maka dia pun berseberangan dengan Faroek. Persaingan
antaretnis pun merebak mewarnai pemekaran wilayah di Kaltim. Etnis Jawa, Bugis,
Banjar, Kutai, dan Dayak bersaing dalam Pilkada 2005. Tampaknya, Kutai Timur masih
didominasi oleh orang Kutai dan Jawa. Lihat www.kompas.com/diakses pada 17 Februari
2009, Dinamika Banjar dan Kutai; www.pelita.com/diakses pada 29 Januari 2010, Multi
Etnis Warnai Pertarungan Politik di Dapil Kaltim.
18 Bakal calon petahana Bupati Kubar 2011–2016, Ismael Thomas, menebar pesona
Natal dan Tahun Baru dengan membagi-bagi ‘ang pao’ ke semua umat Kristiani di
sana.‘TERUSKAN!!! Perjuangan & Pembangunan Bersama Masyarakat Kutai Barat
2011–2016.’ Begitu embel-embel pesan yang tertulis di kartu ucapan Natal 25 Desember
2009 dan Tahun Baru 2010 dari Ismael Thomas, salah satu kontestan bakal calon petahana
Bupati Kubar 2011–2016. Kartu ucapan Natal dan Tahun Baru ini dibagikan ke semua
umat Kristiani saat ritual perayaan Natal di semua gereja Katolik yang ada, termasuk
ketika Natal Bersama di Sendawar, ibu kota Kabupaten Kubar (www.bongkar.co.id/
diakses pada 19 Januari 2010, Pesona Natal Ismael Thomas).

[ 48 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


sang kontestan yang diusung Golkar berhasil menang, yakni
Yusuf Serang Kasim dan Thamrin AD di Kota Tarakan, serta
Sofyan Hasdam dan Syahid Daroini di Kota Bontang. Dalam
Tabel 2.3. di bawah ini secara detail dipaparkan hasil Pilkada
2005-2006 di Kaltim.
Tabel 2.3. Peta Pilkada Kaltim 2005-2006

Perolehan
Kabupaten/ Kepala
No Suara/ Rivalitas
Kota Daerah
Partai
1. Aji Sofyan Alex dan H.
M. Irkham
H.Syaukani
PAN dan PKS (88.625
HR
Kutai 159.303 suara)
Samsuri
1. Kartanegara suara 2. H M Tajuddin Nor dan
Aspar
1 Juni 2005 GOLKAR Abdul Djafar Bukran
Dilantik 13
PATRIOT, PPP,
Juli 2005
MERDEKA (13.862
suara)
1. Abdul Djalil Fatah dan
Obed Bahwan
GOLKAR (15.819 suara)
2. Enci M. Yunus dan Parir
Budiman O. Singal
Arifin 17.971 suara PDS, PNI Marhaenis dan
Bulungan Liet Ingai PAN, PIB (10.572 suara)
2.
27 Juni 2005 Dilantik PELOPOR 3.Yusuf Abdullah dan
31 Agustus dan PKB Nikodemus
2005 PBSD, Merdeka, PPDK,
PNBK, Demokrat, PKPI,
PPDI, PPNUI, PKPB,
PBR, PSI dan PPD (4.938
suara)

Politik Ambivalensi [ 49 ]
Perolehan
Kabupaten/ Kepala
No Suara/ Rivalitas
Kota Daerah
Partai
1. Yusriansyah Syarkawi
dan Mardi Kansyah
(29.063 suara)-GOLKAR,
Pasir PBB, PDK dan PDI-P
Riduan
29 Juni 2005 2. Ishak Usman dan Aksa
Suwidi
Arsyad (16.346 suara)–
Hatta Garit 34.300 suara
3. PKS, PBR, dan PATRIOT
Dilantik PPP
3. Ajumran Kombeng dan
29 Agustus
Sulaiman E.Merukh
2005
(9.701 suara)-PDI-P
4. Sabaruddin Yasin dan
Noor Sinah (2.224
suara)–gabungan parpol
Makmur
1. Muharam dan Warsito
dan
(23.357 suara)- gabungan
Berau Achmad 34.752 suara
partpol
4. 8 Agustus Rifai Gabungan
2. Saukani dan Abdul Kadir
2005 Dilantik 9 Parpol
(15.513 suara)- gabungan
September
parpol
2005
1. Masykur Samian dan
Kasmiruddin (57.102
Achmad 110.550 suara)-PKS
Amins dan suara 2. Awang Ferdian Hidayat
Samarinda Syaharie GOLKAR, dan Siti Muriah (49.986
5. 19 September Djaang PPP, PKB, suara)-PDI-P
2005 Dilantik 23 PATRIOT, 3. Abdurrrahman Al Hasni
November PELOPOR dan Suryadi Hidjrati
2005 dan PBSD (35.197 suara)-Demokrat,
PDS, PKPB, PNBK NUI,
MERDEKA, PPDI

[ 50 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


Perolehan
Kabupaten/ Kepala
No Suara/ Rivalitas
Kota Daerah
Partai
1. Mahyudin dan
Awang Ardiansyah Sulaiman
Faroek (31.906 suara)–gabungan
Ishak partpol
Kutai Timur 66.192 suara
danIsran 2. Abdal Nanang dan
6. 12 Desember Gabungan
Noor Mujiono (4.247 suara)-
2005 Parpol
Dilantik 13 gabungan parpol
Februari 3. Irsyadi dan Siti Nur Aeni
2006 (1.416 suara)-gabungan
partpol
1. Zulkifli Arman dan
Suroyo (22.819 suara)-
25.818 suara PAN, PKB, Demokrat dan
Sofyan
GOLKAR, Patriot
Hasdam
PBSD, PDK, 2. Gunawan Wiratomo dan
Bontang dan Syahid
MERDEKA, Nukman Fadli (14.130
7. 30 Januari Daroini
PNUI, suara)- PDI-P dan PKS
2006 Dilantik
PNIM, 3. HM Yamin dan Adam
23 Maret
PELOPOR, Malik (7.359 suara)-
2006
PDS dan PSI Patriot, PBB, PBR, PPIB,
PKPB, PPD, PKPI, PNBK
dan PPDI

Politik Ambivalensi [ 51 ]
Perolehan
Kabupaten/ Kepala
No Suara/ Rivalitas
Kota Daerah
Partai
1. Rama A. Asia dan Encik
Mugnidin (22.800 suara)-
PDS, Demokrat, Pelopor
dan PPDK
Ismael
2. Abdul Azis dan Amon
Thomas
Kutai Barat 27.639 suara Nereng (19.767 suara)–
dan Didik
8. 20 Februari PDI-P dan GOLKAR
Effendi
2006 PAN 3. Agustinus Markus dan
Dilantik 19
Hermain D (10.175
April 2006
suara)-Patriot, PPP, PKPI,
PKPB, PNIM, PPDI,
PNBK, PBSD, PSI, PKB,
dan PSI
1. Fredrick Bid dan Amir
Fauzi (8.089 suara)-
Marthin 19.869 suara
PAN, PKPB, PBR, PBSD,
Malinau Billa dan PDI-P,
MERDEKA, PPIB,
9. 23 Februari Dt.Nasir GOLKAR,
Demokrat, dan PKS
2006 dilantik 3 PDS dan
2. Syamsuri dan Kilit Laing
April 2006 Pelopor
(195 suara) –PP, PPDI,
PKB, dan Patriot
1. Mukmin F.Pabotingi dan
Gunawarman (72.326
suara)–GOLKAR, PKS,
122.330
PBR, PKPI, dan PNBK
Imdaad suara
2. Ismed Alimin dan Totok
Hamid PDI-P, PKB,
Balikpapan Sudarto (13.744 suara)
dan Rizal Patriot,
10. 28 Maret –PDS, PBB, PELOPOR,
Effendi PKPB dan
2006 PPDI, PNBK, PPNUI,
Dilantik 28 Partai Karya
PNIM, PPIB, PAN, dan
Mei 2006 Peduli
PPD
Bangsa
3. Jamal Noor dan Priyono
Demo (13.416 suara)-
PPP, Demokrat, PDK

[ 52 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


Perolehan
Kabupaten/ Kepala
No Suara/ Rivalitas
Kota Daerah
Partai
1. Asmah Gani dan Amin
Syawal (16.372 suara)-
GOLKAR
Abdul
2. Mashur M.Alias daYepta
H.Achmad
30.097 suara Berto (11.263 suara)-
Nunukan dan Kamir
11. PBB dan PDK, PBR, PELOPOR,
17 April 2006 Forets
PKS PSI, Demokrat, PFPI,
Dilantik
PDS, dan PKB
Juni 2006
3. Yakup MP dan Arifuddin
Ali (1.645 suara)-PAN,
dan PDI-P
Sumber: KPU Kaltim, 2008 Pengolahan data oleh penulis
Mengacu dari paparan Tabel 2.3. di atas tampak jelas
bahwa Golkar sebagai pengusung tunggal kontestan bupati
menang di Kutai Kartanegara, Berau, dan Penajam Paser
Utara. Golkar berkoalisi dengan parpol lain menang di
Tarakan, Bontang, dan Samarinda. Sementara itu, PDI-P
sebagai pengusung Bupati yang berkoalisi dengan parpol lain
menang di Tarakan, Malinau, Kutai Barat, dan Balikpapan.
Sedangkan PPP sebagai pengusung tunggal bupati menang di
Pasir. PPP sebagai pengusung bupati yang berkoalisi dengan
partai lain menang di Kutai Timur.

B. Rekam Jejak AFI


Dengan memperhatikan konstelasi politik dan peta
Pilkada Kaltim, tidak bisa disangkal bahwa peran figur
dan parpol sangat berpengaruh pada pemenangan Pilkada.
Untuk melacak interaksi politik AFI, mari kita perhatikan
jejak rekamnya mulai dari saat dia masih siswa, kemudian
mahasiswa, dan ketika menjadi seorang politikus. Latar
belakang AFI selama menjadi siswa tidak begitu istimewa

Politik Ambivalensi [ 53 ]
dalam bidang politik. Layaknya siswa yang lain, AFI mengikuti
ayahnya berpindah-pindah tempat. AFI kecil bersekolah di
SR di Tarakan, kemudian melanjutkan pendidikan SMP dan
SMA di Tenggarong.

1. Aktivis Ormas
Yang menarik dari AFI ketika dia masih muda adalah
keaktifannya dalam berorganisasi. Lambat laun, keaktifannya
di organisasi menjadikan dirinya menduduki peran sebagai
pemimpin. Dalam berorganisasi, AFI berinteraksi dengan
tokoh elite lokal dan nasional. Interaksi ini menjadi sebuah
embrio rajutan relasi dalam dunia politik. Ketika AFI
menginjak SMA, dia menjadi Ketua Ikatan Pelajar Sekolah
Menengah Atas Negeri Tenggarong (1963-1966).19 Selain itu,
AFI juga terpilih menjadi Ketua Umum DPC Gerakan Siswa
Nasional Indonesia (GSNI) Kabupaten Kutai (1963-1966).
Saat menjabat sebagai Ketua GSNI, jangkauan orga­nisasi
AFI meluas hingga tingkat nasional. Semenjak itu, jaringannya
terus berkembang pesat, terlebih ketika dia menjadi maha­
siswa di IKIP-Malang (1968-1973) dan bergabung dengan
organisasi Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI).20
Pengalamannya dalam organisasi GMNI inilah yang menempa
ideologinya dan jiwa kepemimpinannya sehingga terbuka
peluang baginya untuk merajut jaringan patronase nasional.21

19 Curriculum Vitae AFI dalam www.awangfaroekishak.com/ diakses pada 19 Maret 2012.


20 Ibid.
21 Saat AFI bergabung dengan GMNI di Malang, Theo Sambuaga, Taufik Kiemas, dan
Siswono Yudhohusodo menjadi pengurus GMNI pusat. Hal ini dapat dimaknai bahwa
AFI sudah mengenal baik sosok Theo, Kiemas, dan Siswono sejak mahasiswa. Komunikasi
mereka terus terjalin hingga AFI menjadi politisi Golkar dan Kepala Daerah Kaltim.
Ayah Siswono bernama dokter Siswondo yang tak lain adalah rekan ayah AFI sewaktu
ayahnya menjadi petinggi di Kaltim. Hubungan pertemanan antara AFI dengan senior
GMNI tersebut merupakan embrio bagi AFI dalam mengembangkan patronase politik
baik dalam internal Golkar maupun di luar seperti PDI-P.

[ 54 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


Karir politik AFI muda kali pertama dimulai ketika dia
bergabung dengan Golkar (1971) di Malang. Tahun 1970 di
bawah kepemimpinan Soeharto, Golkar mengalami masa
kejayaan. Oleh karena ideologi Golkar yang nasionalis dan
pluralis inilah AFI muda tertarik untuk bergabung dengannya.
Selain aktif di Golkar, AFI muda juga aktif di organisasi
pendidikan sesuai dengan ilmu yang digelutinya.
Tampaknya, keaktifan dalam organisasi sudah menjadi
gaya hidup AFI muda. Bahkan, bisa dikatakan bahwa semua
organisasi muda dikuasainya. Benih-benih haus kekuasaan
sudah tampak dalam diri AFI muda. Jiwa AFI yang suka
berorganisasi, memimpin, dan tidak suka dipimpin sudah
tampak sejak muda.22 Melalui organisasi GMNI, pengalaman
politik dan mentalnya ditempa oleh senior-seniornya. Penga­
laman AFI dalam organisasi masyarakat telah memupuk
keteram­pilannya dalam berorganisasi dan memimpin. Semen­
tara itu, motif bergabungnya AFI dengan Golkar adalah untuk
meraih kekuasaan atau kedudukan.

2. Relasi Patron-Klien
Setelah lulus sarjana dari IKIP-Malang, AFI memenuhi
panggilan Gubernur Kaltim untuk menjadi staf Biro Pemba­
ngunan di kantor gubernur (1973-1974). Hal ini menun­
jukkan bahwa AFI sudah dikader sejak mahasiswa. Selain
itu, karena AFI juga merupakan keturunan bangsawan, maka
dia mendapat prioritas jabatan dalam pemerintahan. Karir
AFI dalam dunia organisasi sejak muda tampaknya terbaca
oleh Sjachranie selaku Gubernur Kaltim. Oleh karena itu,
Sjachranie menempanya di kantor gubernur. Penempatan
AFI dalam posisi sebagai staf Biro Pembangunan jelas tidak

22 Loc.cit., Curriculum Vitae AFI.

Politik Ambivalensi [ 55 ]
sesuai dengan latar belakang pendidikannya.23 Tampaknya,
karir AFI tidak bisa lepas dari Sjachranie selaku gubernur
sebagai langkah awal kaderisasi ‘putra daerah’ (bangsawan)
dalam pemerintahan.
Setelah dirasa cukup pengenalan AFI selama satu tahun
dalam birokrasi, berikutnya Sjachranie memindahkan AFI ke
bagian Perencanaan Pembangunan (1974-1976).24 Di bidang
inilah kepiawaian AFI terlatih, khususnya dalam rangka
memahami kebutuhan dan merencanakan pembangunan
Kaltim. Pengalaman AFI ketika aktif di Golkar dan GMNI
Malang sangat membantunya, khususnya dalam perencanaan,
karena untuk bisa terampil sebagai perencana pembangunan
daerah dibutuhkan keahlian manajemen, khususnya mema­
hami kebutuhan masyarakat, membuat proposal ke Bappenas,
dan melakukan lobi-lobi nasional. Selain itu, relasi AFI
terhadap Sultan dan elite Golkar dimanfaatkan oleh Sjachranie
guna percepatan pencairan dana pembangunan Kaltim.
Karena latar belakang AFI adalah Sarjana Pendidikan,
maka Sjachranie mulai memfokuskan diri mengadernya pada
pembenahan pendidikan di Kaltim. Kemudian, Sjachranie
memindahkan AFI ke Universitas Mulawarman (Unmul)
sebagai Pembantu Dekan III, Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan (1976-1977).25 Tujuan Sjachranie memindahkan
AFI ke Unmul adalah untuk membenahi dan mempersiapkan
tenaga pendidik yang berkualitas. Tampaknya, karir AFI
dalam dunia pendidikan cepat berkembang. Hanya dalam
kurun waktu satu tahun, AFI sudah diangkat menjadi Kepala
Kemahasiswaan Unmul (1977-1978).

23 Ibid.; Jejak Rekam AFI 2 dalam www.awangfaroekishak.com/ diakses pada 19 Maret 2012
24 Ibid., Jejak Rekam AFI 2.
25 Ibid.

[ 56 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


Karir AFI berkembang pesat dalam birokrasi, karena
intervensi Sjachranie selaku gubernur. Hal ini bisa ditengarai
dengan kepindahan AFI dari kantor gubernur ke Unmul
atas penunjukan Sjachranie.26 AFI dalam usia yang relatif
muda (29 tahun) menjadi Dekan Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan Unmul dengan pangkat Eselon I/b (1980-
1984).27 Umumnya, untuk menjadi seorang dekan, setidaknya
diperlukan jam terbang yang tinggi yang dimulai dengan proses
menjadi dosen puluhan tahun, minimal bergelar Magister (S2),
menulis buku ilmiah, dan publikasi penelitian. Namun, AFI
tidak melalui proses-proses itu. Karirnya terlihat cenderung
dipengaruhi oleh unsur intervensi politik Sjachranie. Hal ini
tidak mengherankan, sebab AFI memiliki jaringan patronase
terhadap Sjachranie.
Melejitnya karir AFI dalam birokrasi dan pendidikan,
khususnya di kantor gubernur dan Unmul disebabkan oleh
faktor relasi patron-klien dan status kebangsawanannya.
Kakek dan ayah AFI dikenal oleh Sultan dan Sjachranie,
sementara sudah menjadi kebijakan yang tidak tertulis bahwa
keturunan kelas menengah (Awang) mendapat prioritas untuk
menduduki posisi strategis dalam pemerintahan di Kaltim.
Ayah AFI bekerja dan loyal terhadap Sultan28 sehingga ia
diangkat sebagai petinggi dan camat di Sangasanga.

26 Faktor patronase dalam hal ini adalah kedekatan AFI terhadap Sjahranie dan latar
belakang dari keluarga bangsawan mendukung suksesnya karir AFI dalam birokrasi
dan pendidikan.
27 Berdasarkan prosedur yang berlaku secara formal, untuk menjabat sebagai dekan dalam
Perguruan Tinggi, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi. Di antara syarat-syarat ini,
ada yang tidak mungkin dipenuhi AFI, misalnya harus minimal bergelar Doktor dan
berpengalaman mengajar atau mengabdi dalam dunia pendidikan minimal 10 tahun.
Oleh karena patronase antara Sjahranie dengan AFI yang tentunya juga dipengaruhi
oleh Sultan Kutai, maka AFI melenggang pesat dalam karirnya.
28 Wawancara dengan AFI, tanggal 11 Agustus 2009 di kantor Gubernur, Samarinda.

Politik Ambivalensi [ 57 ]
Setelah menjabat sebagai dekan, karir AFI terus berkem­
bang dan mencapai puncaknya dengan pangkat Lektor di
Fakultas Ekonomi Unmul (1984-1987). Tidak ada catatan
yang jelas tentang mengapa AFI berpindah jurusan dari
Fakultas Pendidikan ke Fakultas Ekonomi. Secara akademis,
hal ini sangat tidak lazim, karena pada umumnya tradisi
akademisi mengacu jalur linear. Artinya, kalau pada tingkatan
sarjana jurusannya pendidikan, maka pada pascasarjana juga
pendidikan. Namun, hal ini kemudian bisa dimaklumi, karena
faktor intervensi Sjachranie dalam rangka kaderisasi ‘putera
daerah’. Studi pascasarjana AFI berkonsentrasi pada bidang
Studi Ketahanan dan Keamanan di Universitas Indonesia.
Sedangkan pada tingkat doktoral, ia mengambil bidang
Ekonomi di Universitas Airlangga.29 Tampaknya, tradisi
akademis yang sejalur (linear) dengan jabatan akademis tidak
berlaku bagi AFI.

C. Melacak Nalar Politisi


Oleh karena jasa dan prestasinya memajukan Kaltim,
AFI diberikan gelar Awang Ngebei Setia Negara oleh
Sultan. Hal inilah yang membawa konsekuensi politik dan
loyalitas baginya. Selain itu, AFI mengemban amanah untuk
mempertahankan eksistensi dan kekuasaan Sultan di era Orde
Baru. Dia memiliki kewajiban memperjuangkan pelaksanaan
ritual erau30 sebagai simbol eksistensi elite Kutai. Supaya
ritual erau tersebut dapat berlangsung lancar, AFI memiliki
peran untuk melobi elite Orde Baru, khususnya dalam hal

29 Loc.cit, Curriculum Vitae AFI.


30 Erau berasal dari bahasa lokal/daerah Kutai, dan disebut juga dengan eroh yang berarti
ramai, hilir mudik, bergembira, berpesta ria. Erau dilaksanakan secara adat oleh
Kesultanan atau kerabat kerajaan dengan maksud tertentu dan diikuti oleh seluruh
masyarakat umum dalam wilayah administratif kesultanan. Diambil dari http://budaya-
indonesia.org/Erau-Pesta-Adat-Budaya-Kutai/ pada tanggal 4 Agustus 2015.

[ 58 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


pendanaan. Strategi yang diterapkan oleh elite Kutai melalui
AFI ialah dengan memberikan upeti, yakni hak pengelolaan
hutan kepada elite Orde Baru. Sebagai imbalannya, Soeharto
merestui pendanaan ritual erau yang dianggarkan melalui
APBD.
Sebelum AFI menjadi klien Sultan untuk mengemban
ama­nah tersebut, dia dikader melalui beberapa tahapan.
Pertama, pengaderan melalui pendidikan formal dan peme­
rin­tahan (birokrasi Kaltim). Nama AFI cepat dikenal oleh
masya­rakat Kaltim, karena prestasi dan karyanya dalam
bidang pemerintahan (birokrasi) dan pendidikan. Wajah
AFI setiap hari menghiasi koran-koran lokal di Kaltim31 dan
ini menjadi modal pencitraan baginya. Selain itu, AFI juga
berprestasi dalam karya nyata baik dalam pemerintahan dan
mema­jukan pendidikan, khususnya pembenahan Universitas
Mulawarman.
Kedua, pengaderan melalui klien ganda. AFI dikenal
dekat dengan masyarakat, khususnya para petani.32 Kondisi
ini dimanfaatkannya untuk merajut jejaring lokal. Dengan
modal pencitraan dan modal sosial yang cukup serta
dukungan Sjachranie (gubernur), AFI dikader menjadi klien
Golkar di era Orde Baru. Dalam hal ini, AFI berperan sebagai
klien ganda, yakni klien Sultan dan Sjachranie. Sebagai klien
Sultan, dia harus menjalankan amanah untuk memberikan
upeti (konsesi hutan), agar Sultan memperoleh pembiayaan

31 Observasi penulis pada tahun 2009-2012 terhadap Koran Kaltim, Tribun Kaltim, dan
Kaltim Post yang merupakan tiga surat kabar berpengaruh di Kaltim. Ada halaman
khusus tentang kegiatan Pemda yang memuat gambar AFI dengan menonjol. Namun,
para aktivis lingkungan mengecam AFI karena maraknya pemberian izin tambang yang
berdampak merusak lingkungan. Lih. Lampiran I.
32 Saat AFI sebagai Bupati Kutai Timur, dia membuat kebijakan yang reformis, yakni dengan
memberikan tanah seluas 5 ha dan sertifikatnya kepada masing-masing kepala keluarga.
Pada waktu bersamaan, AFI menggulirkan program Gerdabangagri (Gerakan Berbasis
pada Pembangunan Agrobisnis).

Politik Ambivalensi [ 59 ]
ritual erau. Sedangkan sebagai klien Sjachranie, AFI bertugas
melayani kepentingan Soeharto dan kroni-kroninya di Kaltim.
Adapun besaran upeti yang diberikan oleh AFI kepada
elite Orde Baru dapat diindikasi melalui Pendapatan Domestik
Regional Bruto (PDRB).33 PDRB Kaltim mencapai tingkat
tertinggi dibanding provinsi lain di Indonesia. Jumlah PDRB
Kaltim mencapai Rp 80 trilyun, Rp 964 milyar, dan Rp 21 juta
(tanpa minyak dan gas) pada tahun 2006.34 Artinya, sebagian
besar PDRB Kaltim tersebut disetor ke Jakarta. Sementara
itu, elite Kutai yang mengklaim memiliki tanah adat yang di
atasnya terdapat tambang dan mineral yang dieksplorasi tidak
mendapatkan royalti. Oleh karena itu, mereka memanfaatkan
AFI sebagai klien untuk memerjuangkan kepentingan elite
Kutai melalui ritual erau yang dibiayai oleh APBD.
Ketiga, pengaderan sebagai klien Soeharto. Implikasi AFI
sebagai klien Sultan adalah memosisikan dirinya sebagai klien
Soeharto juga, khususnya dalam mengamankan pemberian
upeti. Perannya dalam melayani kepentingan Soeharto dan
kroni-kroninya berfokus pada pengeksplorasian kekayaan
alam Kaltim.35 Untuk membantu para kroni dan keluarga

33 Penulis belum menemukan data resmi tentang jumlah upeti yang diberikan oleh elite
Kutai kepada kroni Soeharto.
34 Laporan Pertanggungan Jawab Gubernur Kaltim tahun Anggaran 2000. Hasil PDRB
(tanpa minyak dan gas) Kaltim pada era Orde Baru sebesar Rp.21,61 trilyun (1995)
meningkat menjadi Rp. 24,11 trilyun (1996) dan meningkat lagi menjadi Rp. 27,30
trilyun (1997). Uang setoran PDRB Kaltim tersebut dikawal oleh AFI untuk diberikan
kepada Pemerintah Pusat, tetapi yang kembali ke Kaltim tidak kurang dari 2,1% (Rp.1,2
trilyun). Oleh karena itu, elite Kutai mengadakan bargaining menuntut otonomi adat,
dengan ritual erau yang dibiayai oleh APBD.
35 Pasca-Reformasi, baru diketahui adanya kroni Soeharto yang dijatuhi hukuman, karena
mark up dana reboisasi hutan Kaltim oleh Probosutedjo (adik tiri Soeharto). “Majelis
Hakim tingkat kasasi Mahkamah Agung memutuskan untuk menghukum Probosutedjo
empat tahun penjara serta denda sebesar Rp.30 juta subsider 3 bulan penjara. Ia juga harus
membayar kembali Rp.100,931 miliar sebagai pengganti uang yang dikorupsi tersebut”
dalam id.wikipedia.org/wiki/Probosutedjo/diakses pada 15 Juli 2013; Selain itu, Bob
Hassan selaku tangan kanan Soeharto divonis 2 tahun dan denda Rp.14 milyar. “Bob

[ 60 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


Cendana tersebut, AFI bekerja sama dengan Sjachranie yang
merupakan orang kepercayaan Soeharto di Kaltim. Program-
program mereka dikemas atas nama “Pembangunan”. Hal
ini terindikasi dengan adanya penamaan Bukit Soeharto di
area hutan lindung Kutai Kartanegara. Nama Bukit Soeharto
sengaja diberikan dalam rangka mengenang jasa Soeharto
yang telah membangkitkan ritual erau sebagai festival budaya.
Fakta tersebut mempertegas pendapat penulis tentang adanya
kesepakatan khusus antara Soeharto dan elite Kutai dengan
adanya pemberian privelege terhadap elite Kutai oleh Soeharto.
Sebaliknya, elite Kutai memberikan upeti kepada Soeharto
dan kroni-kroninya dengan hak untuk mengeksplorasi hutan.
Keempat, pengaderan sebagai pengemban amanah
budaya. AFI selaku ‘putra daerah’ mengemban amanah sesuai
sumpah yang diucapkan ketika menerima gelar Awang Ngebei
Setia Negara. Tugas utama AFI sebagai seorang klien harus
memperjuangkan eksistensi Sultan yang mewujud melalui
pelaksanaan ritual erau. Hal ini memungkinkan terjadi, karena
posisi AFI sebagai anggota DPR (1987-1992) mewakili Golkar
Kaltim,36 di samping kemampuannya untuk memengaruhi elite
Orde Baru. Kemampuan tersebut didukung oleh kepemilikan
aksesnya secara langsung dengan Soeharto dan Golkar.
Dengan demikian, dia memiliki pengaruh dalam pengambilan
keputusan yang berhubungan dengan kepentingan elite Kutai.
Selanjutnya, AFI berkata kepada wartawan “Provinsi Kaltim
dalam waktu dekat bakal semarak dengan digelarnya erau

Hasan didakwa melakukan korupsi dalam proyek pemotretan dan pemetaan kawasan
hutan seluas 30,6 juta ha di seluruh Indonesia dengan menggunakan dana Asoisasi
Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) sebesar 168,11 juta dolar AS dan dana reboisasi
Dephut sebesar 75,6 juta dolar AS” dalam “Dua Tahun dan 14 milyar untuk Bob Hassan”
http://gatra.com/diakses pada 15 Juli 2013.
36 Wawancara dengan Rudy Iskandar, tanggal 13 Agustus 2009 di Samarinda. Menurut
Rudy, para pemimpin Kaltim yang berasal dari Jawa lebih banyak memperkaya diri
sendiri. Hal ini berbeda dengan AFI yang peduli terhadap pembangunan Kaltim.

Politik Ambivalensi [ 61 ]
Kaltim. Untuk itu, demi suksesnya terus dipantau sampai mana
persiapan yang sudah dilakukan panitia.”37
Perhatian AFI yang sangat besar terhadap ritual erau
merupakan bukti konkret kesetiaannya terhadap Sultan.
Sejak diadakannya kembali ritual erau tahun 1971, AFI
selaku klien yang berstatus sebagai anggota DPR memiliki
tanggung jawab terhadap pendanaan ritual erau. Tampaknya,
Soeharto memahami kebutuhan elite Kutai dan merestui ritual
erau yang diadakan setiap dua tahun dengan pendanaan
yang diambilkan dari APBD. Dalam hal ini, peran AFI ialah
meyakinkan pemerintah bahwa ritual erau adalah warisan
budaya yang dapat dijual kepada wisatawan asing. Dengan
asumsi ritual erau sebagai aset budaya bangsa yang sangat
berharga, maka hal ini selaras dengan program pemerintah
dalam hal pemasukan devisa negara melalui pariwisata.

D. Strategi Elite Demokrat


Sejak adanya perubahan rezim otoriter ke rezim
demokrasi, elite politik berlomba-lomba mencitrakan dirinya
sebagai seorang demokrat. Hal ini menjadi isu utama Pilkada.
Dalam konteks elite memerankan diri sebagai seorang yang
demokrat, strategi pemenangan dalam Pilkada identik dengan
mematuhi regulasi dan memengaruhi perilaku pemilih, agar
dia menang dalam Pilkada. Mematuhi regulasi berarti apa
yang dilakukan oleh elite harus konstitusional dan legal.
Sebaliknya, menjalankan strategi berdasar ideologi
berarti elite bekerja secara sistematis, rasional, dan ilmiah.
Artinya, kepatuhan terhadap regulasi dan teori adalah bagian
dari mewujudkan demokrasi. Dengan adanya regulasi yang
jelas dan tegas, maka elite bisa berkompetisi dengan bebas,

37 Manuntung, 26 Juli 1991.

[ 62 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


jujur, dan adil. Oleh karena itu, kelompok aktivis mendorong
terbentuknya parpol dalam masyarakat sebagai bentuk
perwujudan nilai-nilai demokrasi, sebab keberadaan parpol
adalah suatu keniscayaan dalam demokrasi. Pembentukan
parpol bertujuan untuk mengagregasi kepentingan masyarakat.
Dengan kata lain, parpol merupakan representasi dan
aktualisasi kebutuhan masyarakat. Melalui parpol diharapkan
elite memperjuangkan dan mewujudkan kesejahteraan rakyat.

1. Menaati Regulasi
Melalui parpol diharapkan kontestasi yang sehat dalam
meraih kekuasaan pemerintahan dapat terwujud. Dalam
regulasi Pilkada disyaratkan seseorang yang akan mencalonkan
diri menjadi kepala daerah harus mendapat dukungan
minimal 15% dari anggota DPRD atau dukungan parpol yang
memperoleh suara sah dalam Pemilu paling sedikit 15%. Jika
dukungan parpol belum memenuhi kuota 15%, maka parpol
bisa bergabung dengan parpol lain sampai jumlah minimal
tersebut38 terpenuhi.
Maka, untuk menjadi kepala daerah, AFI harus mendaftar
melalui parpol. Kemudian, parpol akan mendaftarkan dirinya
ke KPUD dan merancang semua program kampanye. Setelah
didaftarkan ke KPUD, ia harus memenuhi sejumlah syarat,
seperti mengumpulkan berkas yang terdiri dari riwayat
hidup dan ijazah minimal SLTA, berusia minimal 30 tahun,
sehat jasmani dan mental, tidak pernah dijatuhi hukuman
pidana, tidak sedang dicabut hak pilihnya, melaporkan harta

38 Peraturan Komisi Pemilihan Umum No.68 Tahun 2009, Pedoman Teknis Tata Cara
Pencalonan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, ps.4. Ketika
penulis mengadakan revisi disertasi ini, DPR sedang merevisi UU No.1 tahun 2014
tentang Pilkada, pasal 38 yang mewajibkan adanya uji publik bagi bakal calon. Waktu
pelaksanaan untuk uji publik yang disepakati DPR hanya satu bulan. Sedangkan dalam
Perppu No.1 tahun 2014, waktu yang disediakan untuk uji publik tiga bulan.

Politik Ambivalensi [ 63 ]
kekayaannya, tidak memiliki tanggungan hutang, belum pernah
menjabat sebagai kepala daerah dua kali, dan sebagainya.39
Syarat-syarat tersebut dilengkapi dengan dukungan parpol,
kemudian diverifikasi oleh KPUD dan hasilnya disampaikan
kepada parpol sehingga dapat diputuskan apakah AFI lolos
sebagai kontestan atau tidak. Jika ternyata lolos, maka tahap
berikutnya dia harus melakukan kampanye baik tertutup
maupun terbuka. Kontestan juga diwajibkan untuk membuat
laporan dana kampanye, karena semua pemasukan dan
pengeluaran selama kampanye akan diaudit oleh akuntan
publik.
Selain melalui jalur parpol, untuk mencalonkan diri
sebagai kepala daerah ada jalur lain, yakni melalui jalur perseo­
rangan. Jalur perseorangan diatur dengan regulasi berdasarkan
banyaknya jumlah penduduk yang dibuktikan melalui Kartu
Tanda Penduduk. Secara umum, syarat pengajuan sebagai
kepala daerah sama dengan jalur parpol. Namun, ada tamba­
hannya, yakni kontestan yang tidak didukung oleh parpol
harus mendapatkan dukungan dari masyarakat yang besarnya
didasarkan pada banyaknya jumlah penduduk yang ditetapkan
melalui regulasi. Persentase dukungan masyarakat terhadap
calon perseorangan diatur PKPU40 sebagai berikut:
a. Calon di provinsi dengan jumlah penduduk sampai dengan
2.000.000 jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 6,5 %
dari jumlah penduduk;
b. Calon di provinsi dengan jumlah penduduk antara
2.000.000-6.000.000 jiwa harus didukung sekurang-
kurangnya 5% dari jumlah penduduk;

39 Ibid, ps. 9-10.


40 Ibid, ps. 8.

[ 64 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


c. Calon di provinsi dengan jumlah penduduk antara
6.000.000-12.000.000 jiwa harus didukung sekurang-
kurangnya 4 % dari jumlah penduduk; dan
d. Calon di provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari
12.000.000 jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 3
% dari jumlah penduduk.
Dengan memperhatikan minimal syarat dukungan
terhadap calon kontestan perseorangan tersebut, maka
representasi masyarakat terwakili. Apabila kontestan dari
parpol disyaratkan mendapat dukungan minimal 15% suara
dari anggota DPRD,41 maka untuk calon perseorangan jumlah
dukungan berkisar antara 3%-6,5% dari jumlah penduduk.
Semakin besar jumlah penduduk, semakin besar pula
dukungan yang diperlukan oleh kontestan tersebut.

2. Memengaruhi Perilaku Pemilih


Dalam konteks Pemilu/Pilkada dengan sistem one man,
one vote, one value, AFI harus memahami latar belakang
pemilih dan melakukan pendekatan terhadap mereka. AFI
harus memahami dan mengenal benar siapa konstituennya
dan memperhitungkan secara matang perolehan suara dari
masing-masing desa. Tanpa perencanaan dan kalkulasi detail
tentang perolehan jumlah pemilih, dia akan cenderung kalah
bersaing dengan elite lain.
Menurut para pakar, ada tiga teori yang menjadi strategi
elite politik dalam memengaruhi perilaku pemilih di Pemilu/
Pilkada. Ketiga teori tersebut adalah sosiologis atau sosial
struktural, psikologi sosial, dan pilihan rasional (rational
choice). Pertama, pendekatan perilaku pemilih secara sosial

41 Menurut Perppu No.1 tahun 2014, pasal 40 dukungan parpol pengusung terhadap
kontestan naik menjadi 20% dari jumlah kursi atau 25% dari akumulasi perolehan sah
dalam Pemilu legislatif.

Politik Ambivalensi [ 65 ]
kultural. Menurut Lazarsfeld, Berelson, dan Gaudet (1944),
perilaku pemilih memiliki kaitan erat dengan empat faktor yang
saling memengaruhi, yakni status sosial ekonomi (pendidikan,
jenis pekerjaan, pendapatan, dan kelas), agama, etnis, dan
wilayah tempat tinggal (kota, pesisir, desa dan pedalaman).42
Penelitian Lazarsfeld, Berelson, dan Gaudet memfokuskan
pada perilaku pemilih dalam pemilihan Presiden Amerika
(1940). Sampel yang diambil berjumlah 600 orang dan data
dikumpulkan melalui wawancara.
Hasil dari penelitian Lazersfeld dan kawan-kawannya
terse­but menunjukkan bahwa ada perilaku pemilih yang
dominan dipengaruhi oleh faktor etnis dan agama.43 Faktor
etnis ini diwujudkan dengan status sosial kontestan (elite
politik) dalam kaitannya dengan latar belakang etnis pemilih.
Orang kulit putih akan cenderung memilih kontestan dari
kulit putih. Sebaliknya, orang kulit hitam atau pendatang akan
cenderung memilih kontestan (kulit hitam) atau kontestan
yang mengangkat isu tentang hak-hak kelompok minoritas.
Dari sisi pendekatan agama, pemilih yang beragama Kristen
Protestan cenderung pemilih kontestan dari Partai Republik.
Sementara itu, pemilih yang beragama Katolik cenderung
memilih kontestan dari Partai Demokrat. Pendekatan perilaku
pemilih dengan perspektif sosiologis ini dipelopori oleh pakar
politik dari University of Columbia, sehingga perspektif ini
disebut dengan Columbia Model.
Kedua, pendekatan perilaku pemilih dengan pendekatan
psikologi sosial. Penelitian ini bertujuan untuk menyanggah
teori Columbia Model yang dipelopori oleh Lazerfeld,

42 Paul Lazarfeld, Bernard Berelson, dan Hazel Gaudet, The People Choice: How the Voter
Makes Up His Mind in a Presidential Campaign. (New York: Columbia University Press,
1948).
43 Ibid., The People Choice.

[ 66 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


Berelson, dan Gaudet di atas. Penelitian ini diprakarsai oleh
Angus Campbell dan Robert Kahn (1948) dengan metode
pengumpulan data melalui wawancara responden pemilihan
presiden.44 Hasil temuan Campbell dan Kahn menunjukkan
bahwa perilaku pemilih tidak dipengaruhi secara langsung oleh
faktor sosial, tetapi lebih banyak oleh faktor psikologis. Yang
dimaksud faktor psikologis ialah kedekatan kontestan dengan
pemilih, kharisma kontestan, karakter kontestan di hadapan
pemilih dan kepedulian kontestan terhadap para pemilih.
Dengan kata lain, Campbell dan Kahn menyanggah temuan
kelompok Columbia dengan cara membuktikan bahwa faktor
psikologis pemilih lebih dominan berperan memengaruhi
pemilih dibanding faktor sosial budaya. Campbell dan Kahn
merupakan pakar Michigan University sehingga hasil temuan
mereka disebut Michigan Model.
Ketiga, pendekatan perilaku pemilih secara rasional.
Pendekatan perilaku pemilih dengan perspektif rational
choice ini dipelopori oleh Anthony Downs.45 Argumen yang
diajukan Downs ialah, perilaku pemilih ditentukan pada
saat dia memberikan suaranya di tempat pemungutan suara
(TPS). Pemilih secara rasional memberikan penilaian terhadap
kontestan secara proporsional dan tidak dipengaruhi oleh
lingkungan sosial atau faktor psikologis. Pemilih yang rasional
ini biasanya memiliki latar belakang pendidikan tinggi
dan mereka tinggal di perkotaan. Pada umumnya, mereka
memiliki tingkat pemahaman politik yang matang. Mereka
akan memilih kontestan yang telah terbukti berkarya secara
nyata dalam mengentaskan kemiskinan dan memberantas
korupsi, serta berintegritas. Sebaliknya, apabila kontestan

44 Angus Campbell, Philip E. Converse, Warren E. Miller and Donal E. Stokes, The American
Voter. (New York: John Wiley, 1960).
45 Anthony Downs, An Economic Theory of Democracy. (New York: Harper and Row, 1957).

Politik Ambivalensi [ 67 ]
tidak berkarya nyata dalam masyarakat, khususnya dalam
pemberdayaan ekonomi masyarakat, maka dia cenderung
tidak akan didukung. Dalam hal ini, pertimbangan pemilih
ialah cost and benefits (untung dan rugi) yang mungkin akan
mereka peroleh dalam menentukan pilihan kepada kontestan.
Kalau menurut mereka kontestan yang berkompetisi tidak
mampu membawa perubahan dalam bidang ekonomi dan
politik, mereka cenderung golput (golongan putih, yakni tidak
akan memilih siapa pun).
Ketiga teori tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan
yang dapat dipakai AFI untuk memengaruhi perilaku pemilih
di Kaltim. Upaya untuk menggabungkan perilaku pemilih
dengan perspektif ekonomi, sosial, dan psikologi dapat
menjelaskan tentang fenomena perilaku pemilih dalam
Pemilu/Pilkada. Artinya, AFI bisa memenangkan kontestasi
dalam Pilkada tanpa harus melakukan tindakan money politics.
Berdasarkan tiga teori tersebut, AFI cukup membutuhkan tiga
modal untuk menang dalam Pilkada, yakni modal sosial, modal
kedekatan, dan modal pencitraan. Modal sosial diwujudkan
melalui kesetaraan AFI dengan pemilih dari segi status sosial,
agama, etnis, dan kedaerahan. Jika AFI dapat menempatkan
diri setara dengan pemilihnya dalam tiga hal tersebut, maka
dia secara teoretis akan mudah memengaruhi pemilih.
Untuk menyiapkan modal kedua, diperlukan terobosan
baru karena masyarakat Kaltim terdiri dari berbagai suku
dan latar belakang yang berbeda dengan AFI. ‘Blusukan’ ke
kampung-kampung atau desa kiranya menjadi terobosan
yang bisa dipakai guna mendekatkan diri kepada para
pemilih. Mayoritas pemilih cenderung memilih kontestan
yang dekat dengan mereka, mereka kenal, dan terbukti nyata
menyejahterakan masyarakat. Dalam sistem Pemilu/Pilkada
yang menganut nilai one man, one vote, one value–strategi

[ 68 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


blusukan ke pasar-pasar dan desa sangat efektif meningkatkan
elektabilitas.
Sebaliknya, untuk memengaruhi masyarakat perkotaan
yang cenderung apolitis dan kurang peduli terhadap politik,
AFI menerapkan strategi berupa pencitraan diri sebagai
problem solver. Artinya, AFI membuktikan dirinya layak
dipilih sebagai kepala daerah, karena telah terbukti mampu
mengatasi kemiskinan, kebodohan, dan memberikan kepastian
tercukupinya kesejahteraan masyarakat. Strategi tersebut dila­
kukan karena pertimbangan utama masyarakat (para pemilih)
kota adalah untung dan rugi, atau ada perubahan atau tidak.
Jadi, apabila AFI mampu membuktikan diri membawa peru­
bahan dalam menyejahterakan masyarakat, maka secara
teoretis dia akan cenderung dipilih, walau dia tidak dikenal
secara pribadi oleh masyarakat.

3. Dilema Money Politics


Dalam memerankan diri sebagai seorang yang demokrat,
AFI tidak akan pernah terlepas dari perkara money politics,
sebab semua lawan politiknya akan menggunakan strategi
membagi-bagi materi dan non-materi dalam rangka meme­
ngaruhi perilaku para pemilih. Pertanyaan mendasar di sini
adalah apakah pemberian materi dan non-materi yang telah
dilakukan oleh AFI sebelum Pilkada berlangsung termasuk
money politics? Pertanyaan ini layak diajukan dengan
mengingat bahwa pemahaman kaum aktivis mengenai
tindakan elite yang memberikan materi dan non-materi
terhadap pemilih merupakan bentuk pelanggaran hukum. Bagi
mereka, pemberian materi dan non-materi tersebut identik
sebagai money politics dan menghambat proses demokratisasi.
Berkaitan dengan money politics, secara patologis tersirat
cara pandang legalistik. Tokoh dan organisasi yang paling

Politik Ambivalensi [ 69 ]
menonjol dalam studi yang menggunakan perspektif ini adalah
Alkostar,46 Saldi Isra, Mulyana W. Kusumah, Kacung Maridjan,
PUKAT-UGM, ICW, dan KPK. Dalam sistem hukum formal
yang berlaku di Indonesia, memang sudah dirumuskan ciri-
ciri dari tindakan yang melawan hukum, dan rumusan ini
menjadi dasar penghakiman terhadap praktik money politics.
Salah satu ketentuan hukum yang menjadi rujukan tindakan
itu tertera pada Undang–undang No. 32 Tahun 2004 pasal 117
ayat 2, yang berbunyi sebagai berikut:
“Setiap orang yang dengan sengaja memberi atau menjan­
jikan uang atau materi lainnya kepada seseorang……
atau memilih Pasangan calon tertentu…..diancam dengan
pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan dan paling
lama 12 (dua belas) bulan dan atau denda paling sedikit
Rp.1.000.000 (satu juta rupiah) dan paling banyak Rp.
10.000.000 (sepuluh juta rupiah).”
Atas dasar adanya ketentuan dalam UU No.32 tahun 2004
tersebut, khususnya dengan spesifikasi istilah yang diper­
gunakan ‘memberi uang’ atau ‘menjanjikan uang’, maka setiap
transaksi yang masuk dalam kategori itu disebut money politics.
Dengan demikian, pelaku harus dikenai hukum pidana.
Namun, perlu juga dicermati bahwa pendekatan legalitas
kasus pidana terhadap elite politik tidak memberikan efek jera,
karena sanksi atau denda yang diberikan sangat ringan. Dalam

46 Artidjo Alkostar, Korupsi Politik di Negara Modern, (Yogyakarta: FH UII Press, 2008).
Selain itu, KPK dan ICW juga sering mengutamakan pendekatan legalis dalam mengkaji
gratifikasi. Menurut UU No. 20 Tahun 2001, pasal 12 B tindakan gratifikasi tersebut
dianggap pelanggaran hukum. Lihat KPK, Memahami Untuk Membasmi: Buku Saku
untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi (Jakarta: KPK, 2006), hlm. 94-98. Bandingkan
John Girling, Corruption, Capitalism and Democracy (London and New York: Routledge,
1997), hlm. 1-41. Baca juga Michael Johnston, Syndromes of Corruption (Cambridge-UK:
Cambridge University Press, 2005), hlm. 89-119.Bnd. S.H. Alatas, Korupsi: Sifat, Sebab
dan Fungsi (Jakarta: LP3ES, 1987), hlm. 120-176. Baca Susan Rose-Ackerman, Korupsi
Pemerintahan, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2006), hlm. 127-154.

[ 70 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


pendekatan legalistik tindakan money politics yang dilakukan
oleh elite juga diperhadapkan sebagai pelanggaran PP No. 6
Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan,
dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah,
pasal 64 ayat 1 dan 2 menuliskan, sebagai berikut:
“Pasangan calon dan/atau tim kampanye dilarang menjan­
jikan atau memberikan uang atau materi lainnya untuk
mempengaruhi pemilih. Pasangan calon/tim kampanye
yang terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana
dimaksud ayat 1, berdasarkan putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum akan dikenai sanksi
pembatalan sebagai pasangan calon oleh DPRD.”
Dengan kata lain, tindakan memberikan uang (money
politics) tersebut diperlakukan sebagai pelanggaran Undang-
Undang yang berlaku dan dapat dikenai sanksi pembatalan
sebagai pasangan oleh DPRD. Namun, tidak bisa disangkal
bahwa anggota DPRD sendiri juga ikut menerima pemberian
uang dari kontestan, sehingga mereka cenderung menutupi
praktik money politics.
Sebagaimana dituliskan oleh Sahdan dan Haboddin,
mahalnya biaya Pilkada disebabkan oleh pembelian dukungan
parpol atau anggota DPRD.47 Rinakit memaparkan biaya untuk
menjadi gubernur dalam Pilkada minimal Rp. 100 miliar dan
bisa bervariasi tergantung daerahnya. Sedangkan biaya untuk
mencalonkan menjadi bupati berkisar antara Rp 1,8–Rp 16
miliar.48 Biaya kandidasi ini bervariasi tergantung Pendapatan
Asli Daerah (PAD). Semakin tinggi PAD, maka biaya kandidasi
semakin mahal. Di sini ada hal yang tidak mudah dimengerti.

47 Gregorius Sahdan dan Muhtar Haboddin (ed.), Evaluasi Kritis Penyelenggaraan Pilkada
di Indonesia, (Yogyakarta: IPD, 2009), hlm. 120-149.
48 Kacung Marijan, Demokrasi di Daerah Pelajaran dari Pilkada Secara Langsung (Surabaya:
Eureka, 2006), hlm. 94.

Politik Ambivalensi [ 71 ]
Elite sadar bahwa memberi uang kepada pengurus partai
adalah tindakan melanggar hukum, tetapi pada saat yang
sama dia membayar/membeli dengan sangat mahal. Artinya,
ada sesuatu yang sifatnya berada di luar jangkauan moralitas
elite itu sendiri.
Dengan cara pandang itu, para tokoh dalam mazhab ini
merasa telah membeberkan gejala money politics menjadi
rahasia umum. Hanya saja mereka tidak dapat memberikan
penjelasan mengapa solusi berupa tindakan tegas oleh penegak
hukum tidak pernah dijalankan secara efektif. Oleh karena
itu, Rifai menganalisis maraknya money politics dalam Pilkada
berdampak pada ketidakpercayaan masyarakat terhadap
penegak hukum.49 Ini pertanda bahwa cara pandang legalis
tidak mampu menjelaskan tetapi hanya menilai gejala tersebut,
sedangkan hukum yang menjadi dasar untuk menilai ternyata
juga dianggap sebagai hukum yang tidak efektif. Maka, sangat
mungkin bahwa dalam masyarakat ada sesuatu yang mengikat
sebagaimana hukum dan perkara ini tidak pernah ditelaah.
Ikatan itu adalah budaya.
Singkatnya, dalam konsepsi para pakar, pemberian yang
dilakukan oleh AFI kepada masyarakat ditafsirkan identik
dengan money politics. Padahal, pemberian dalam bentuk
tanah, barang, dan jasa biasa diberikan oleh kaum bangsawan
dalam rangka menyejahterakan masyarakat. Pemberian AFI
kepada masyarakat tidak harus dihakimi sebagai praktik
pelanggaran hukum yang populer dengan sebutan money
politics. Dalam banyak kasus, elite tidak dapat mengelak
untuk mengikatkan diri dalam relasi patronase yang mewujud
dengan pemberian uang, barang, dan jasa tersebut. Memang
batas antara keperluan untuk menjaga harmoni sosial melalui

49 Amzulian Rifai, Politik Uang dalam Pemilihan Kepala Daerah, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
2003), hlm. 91-109.

[ 72 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


pelaksanaan peran patronase dengan eksplorasi kultur lokal
diten­tukan manakala elite yang bersangkutan memang ber­
ambisi dan dengan sadar mengeksplorasi peran patronase itu
untuk pemenangan dirinya sebagai pejabat publik.
Secara global kita bisa melihat adanya persaingan sengit
antarelite lokal dalam berebut kekuasaan pemerintah. Di satu
sisi, elite berada di aras normatif/idealis dengan memerankan
diri sebagai seorang yang demokrat, agar mendapat simpati
masyarakat dalam Pilkada. Namun, di sisi lain, dia dituntut
harus memenangkan persaingan dengan cara apapun. Artinya,
elite dalam hal ini memasuki aras pragmatis yang menuntut
strategi kontekstual.
Akhirnya, terjawablah sudah pertanyaan-pertanyaan
menarik yang tertulis di awal bab ini. Dari pemaparan jejak
rekam dan interaksi politik AFI, tampak bahwa ada dua
aras yang secara bergantian dimanfaatkan oleh elite, yakni
aras patronase dan aras aktivis. Dalam aras patronase, relasi
patron-klien ini mewarnai jejak rekam AFI sejak dia merintis
karir sebagai PNS di kantor gubernur sampai keterlibatannya
dalam memajukan Universitas Mulawarman. Dalam hal ini,
peran sang patron (elite Kutai dan Gubernur) sangat dominan
meme­ngaruhi karir AFI. Puncak dari relasi patron-klien ini
mentrans­­formasi AFI menjadi anggota DPR selama dua
periode.
Sedangkan dalam aras aktivis, AFI muda aktif beroga­nisasi
dan menjadi seorang idealis. Oleh karena itu, tidak menghe­
rankan ketika Soeharto lengser oleh desakan masyarakat
Indonesia yang dipelopori mahasiswa, dia juga memerankan
diri sebagai seorang pro-demokrasi. Gerakan mahasiswa
ter­sebut menyebabkan Soeharto lengser pada tahun 1998.
Lengsernya Soeharto juga diikuti dengan kembalinya AFI
ke Kaltim. Upaya konkret yang dilakukan oleh AFI untuk

Politik Ambivalensi [ 73 ]
mendapat kekuasaan ialah mentaati regulasi. Namun,
AFI dihadapkan dengan dilema money politics yang harus
disikapinya dengan arif. Jadi, dalam diri AFI terkristal adanya
dua nalar, yakni politisi dan aktivis.

[ 74 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


BAB III
NALAR POLITIK SANG BANGSAWAN:
MENELISIK DUA PILKADA KUTIM
(1999-2005)

P
ada Bab II, telah dipaparkan jejak rekam AFI dan
interaksi politiknya semenjak Orde Baru hingga
Reformasi. Dalam interaksi politik AFI dihadapkan
pada dua perspektif yang menjadikannya harus memerankan
diri sebagai seorang politisi sekaligus sebagai seorang
demokrat.
Selanjutnya, pada Bab III ini dipaparkan cara kerja nalar
politisi secara kontekstual,1 yakni seputar latar sosio-kultural
yang melingkupi AFI. Dengan pemahaman tentang nalar
tersebut, kiranya dapat dimengerti mengapa elite niscaya
memanfaatkan pemberian-penerimaan dan relasi patronase
baik lokal maupun nasional sebagai strategi politik dalam
rangka merengkuh kekuasaan.
Untuk memahami interaksi politik AFI yang berkaitan
dengan perannya sebagai klien elite Kutai, ada baiknya kita

1 Dalam Bab III ini, elite politik yang dimaksud oleh penulis adalah AFI, sosok yang
menjadi fokus pembicaraan dalam buku ini. Sedangkan yang dimaksud dengan elite
Kutai oleh penulis adalah Sultan Kutai atau keturunan langsung dari Sultan. Sumber
informasi, lih. Lampiran I.

Politik Ambivalensi [ 75 ]
pahami stratifikasi sosial masyarakat Kutai terlebih dahulu.2
Dengan demikian, kita dapat menganalisis interaksi AFI secara
obyektif dan mendalam. Menurut Badaranie Abbas, stratifikasi
sosial masyarakat Kutai terdiri dari tiga strata,3 yakni strata
atas, tengah, dan bawah. Yang termasuk dalam strata atas ini
ialah para bangsawan yang ditandai dengan pemakaian gelar
Aji, misalnya Aji Mohammad Parikesit. Golongan ini terkait
langsung dengan keturunan Sultan Kutai. Sementara itu, strata
tengah terdiri dari golongan yang dekat dengan strata pertama.
Strata ini ditandai dengan gelar Awang atau Encik, misalnya
Awang Farouk Ishak. Selanjutnya, yang termasuk strata bawah
ialah rakyat biasa yang tidak terkait dengan strata atas (lapis
pertama) maupun strata tengah (lapis kedua).

A. Pemberian Gelar Kebangsawanan


Pemberian gelar Awang merupakan penghargaan dan
peristiwa luar biasa bagi rakyat jelata. Pemberian gelar
tersebut bermakna kenaikan strata sosial dari rakyat jelata
ke lapis kedua (Awang). Biasanya, tokoh masyarakat yang
menunjukkan loyalitas tinggi terhadap Sultan dan terbukti
dalam karya nyata setia terhadap Sultan berpotensi diberi
gelar Awang. Menurut Abbas, implikasi dari adanya perbedaan
strata sosial tersebut tampak dalam pemilihan pegawai.
Perekrutan pegawai yang dilakukan Sultan tidak berdasarkan
keahlian atau keterampilan, tetapi berdasarkan patronase atau
nepotisme.4 Hanya mereka yang berasal dari keluarga strata

2 Istilah Kutai mengacu pada wilayah kekuasaan Kesultanan Kutai sebelum bergabung ke
Republik Indonesia. Setelah bergabung dengan RI, wilayah ini disebut dengan Kaltim.
Dalam buku ini, istilah Kutai identik dengan Kaltim.
3 Badaranie Abbas, “Pengaruh Faktor Lingkungan terhadap Aspek-aspek Tradisional dalam
Birokrasi Kesultanan Kutai di Tenggarong” dalam Anwar Soetoen, Dari Swapraja ke
Kabupaten Kutai (Tenggarong: Pemda Kutai, 1975), hlm. 137-138
4 Ibid., Pengaruh Faktor Lingkungan, hlm.155-161. Mereka yang diberikan gelar Awang
dan diberi posisi strategis tersebut disumpah untuk setia terhadap Sultan Kutai. Sumpah

[ 76 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


atas dan menengah serta telah terbukti setialah yang layak
diangkat sebagai pegawai kesultanan. Pengangkatan tersebut
melalui beberapa tahap dan seleksi. Apabila mereka lolos di
tahap pertama, mereka diwajibkan magang dua hingga tiga
tahun untuk diangkat sebagai pegawai tetap. Sebagai contoh,
kakek AFI dipercaya menjadi juru tulis keraton. Itulah mengapa
kakek AFI benar-benar memahami seluk beluk kebijakan
keraton dan keinginan Sultan.5 Lantaran kedekatan kakek dan
nenek AFI terhadap Sultan, ayahnya mendapat kepercayaan
sebagai petinggi dengan tugas utama mengumpulkan pajak
dan menjaga keamanan masyarakat.6
Dalam sistem monarki konstitusional, Sultan memiliki
hak penuh dan boleh berinisiatif memberikan gelar bangsawan
kepada mereka yang setia (berjasa) dan terbukti dapat dipercaya.
Selain itu, Sultan juga memberi fasilitas, kedudukan, dan
pendidikan (beasiswa) kepada para Awang. Dengan kata lain,
relasi patronase antara keluarga AFI dengan Sultan tersebut
berimplikasi pada bidang pendidikan yang menyebabkan
keluarga AFI mendapatkan beasiswa sekolah pamong praja
di Makassar.7 Dalam wawancara, AFI menjelaskan bahwa
seluruh keluarganya diberi beasiswa oleh Sultan untuk sekolah
pamong praja di Makassar. “Ayah saya disekolahkan oleh Sultan
untuk menjadi pamong di Makassar. Tidak semua orang bisa
Sekolah Pamong, karena syarat untuk masuk sekolah harus dari

setia ini menjadi bukti adanya relasi patron-klien. Sang patron memberikan jabatan/gelar,
sedangkan si klien sebagai pelaksana tugas yang harus setia kepada Sultan.
5 Wawancara dengan AFI, tanggal 11 Agustus 2009 di Samarinda.
6 Ibid.
7 Ibid., Sultan Kutai mengader pamong praja dengan cara menyekolahkan mereka di
Makassar. Setelah tamat, mereka menjadi pejabat di Kaltim yang wajib setia kepada Sultan
Kutai. Hal ini terlihat jelas sebagaimana dalam keluarga AFI yang sangat setia terhadap
Kesultanan Kutai. Sekalipun Kesultanan Kutai sudah bubar tahun 1960, semangat untuk
membangkitkan kejayaan Kutai ada dalam diri AFI.

Politik Ambivalensi [ 77 ]
kalangan keluarga raja atau bangsawan.”8 Dari pernyataan ini,
tampak bahwa ayah AFI bisa bersekolah pamong praja karena
menda­patkan beasiswa dari Sultan. Artinya, tanpa bantuan
Sultan, keluarga AFI tidak akan menduduki posisi strategis
dalam pemerintahan. Tampaknya, relasi patronase antara
kakek AFI dengan Sultan tersebut mewaris ke dalam dirinya
sehingga dia mengemban amanah untuk memperjuangkan
otonomi khusus bagi Sultan.
Memang, dilihat dari perspektif pemerintahan kesultanan,
posisi ayah AFI sebagai petinggi berada dalam posisi
rendah, tetapi perannya sangat penting dalam masyarakat.
Para petinggi tersebut merupakan tokoh masyarakat yang
meru­pakan tangan kanan atau ‘penyambung lidah’ Sultan.
Mereka memiliki tugas utama menerapkan kebijakan dan
keputusan Sultan agar mudah dipahami dan ditaati oleh
seluruh masyarakat. Selain itu, mereka juga bertugas untuk
memungut pajak dari masyarakat atau memberikan rasa aman
bagi mereka. Mereka merupakan orang yang setia, karena telah
disumpah setia sampai mati terhadap Sultan. Apa yang mereka
kerjakan berdampak pada ketaatan masyarakat terhadap
Sultan, khususnya dalam hal membayar pajak (upeti). Oleh
karena jasa mereka, Sultan memberikan penghargaan kepada
mereka berupa gelar Awang.9 Dengan demikian, keluarga AFI

8 Loc.cit, Wawancara AFI. Sekolah pamong praja di Makassar hanya untuk kelompok
lapis atas dan menengah, sedangkan lapis bawah terkesan tidak diperhitungkan.
Kebijakan Sultan Kutai dalam hal perekrutan kader pamong praja didasarkan pada
nepotisme atau patronase. Sultan Kutai merekomendasikan keluarga bangsawan yang
setia terhadapnya. Oleh karena kebijakan Sultan cenderung menafikan masyarakat, maka
pada saat keruntuhan kesultanan Kutai (1960), masyarakat cenderung mendukung untuk
bergabung ke Republik Indonesia. Saat ini, Kesultanan Kutai hanya dipahami sebagai
simbol tanpa pengaruh dalam masyarakat.
9 Nenny Wirakusumah, From Kutai to Dayak (Samarinda: Pemda Kabupaten Kutai, 1977),
hlm. 9-32. Masyarakat Kutai Kartanegara mengenal adanya tiga lapisan masyarakat
(kasta). Pertama, Sultan dan keluarganya yang terdiri dari Aji Pangeran (anak laki-laki
Sultan), Aji Puteri (anak perempuan Sultan), Aji Raden, Aji Bambang, dan Aji. Gelar

[ 78 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


termasuk dalam kategori Awang (strata kedua) yang dipercaya
dan memiliki relasi patron-klien terhadap Sultan.
Budaya pemberian yang terjadi di Kutai tersebut selaras
dengan pandangan Scott. Menurut Scott munculnya budaya
pemberian dilatarbelakangi oleh adanya stratifikasi sosial
dalam masyarakat.10 Scott mendefinisikan patronase sebagai
hubungan dua orang yang bebeda status dengan kedudukan
patron (orang kaya) memengaruhi klien dengan cara membe­
rikan uang, barang, dan proteksi.11 Scott berpendapat bahwa
patronase terjadi apabila orang yang tinggi status ekonominya
mem­beri perlindungan atau keuntungan kepada orang yang
lebih rendah statusnya (klien). Dalam konteks apa yang
dibahas dalam buku ini, Sultan berperan sebagai patron,
sedang­kan AFI sebagai klien. Unsur-unsur patronase tampak
di sini. Pertama, Sultan selaku patron memberikan kepada AFI
gelar bangsawan, beasiswa, dan posisi dalam pemerintahan.12
Tujuan pemberian tersebut dilakukan dalam rangka kaderisasi
politik.
Unsur kedua, AFI selaku klien menganggap pemberian
Sultan tersebut sangat berharga baginya sehingga pemberian
tersebut diterima sebagai kehormatan dan kepedulian kepada
Sultan. Dengan adanya pemberian tersebut, AFI berkewajiban
untuk membalasnya di kemudian hari. Fenomena relasi
patron-klien ini disebut dengan investasi politik. Dalam hal
ini, Sultan memberikan gelar bangsawan, beasiswa, dan posisi

Aji diberikan kepada kerabat Sultan, sedangkan gelar Raden dan Bambang diberikan
dengan upacara. Kedua, aristokrat yang terdiri dari Awang (gelar diberikan oleh Sultan
kepada tokoh masyarakat laki-laki) dan Dayang (gelar untuk perempuan), Aji keturunan
Arab: Aji Sayid (laki-laki) dan Aji Saripah (perempuan). Ketiga, rakyat biasa.
10 Loc.cit,The Erosion of Patron-Client Bonds and Social Change in Rural Southeast Asia
11 James Scott,”Patron-Client Politics and Political Change in Southeast Asia” in The
American Political Science Review, Vol. 66, No. 1 (Mar, 1972), hlm. 91.
12 Ibid., hlm. 92-97.

Politik Ambivalensi [ 79 ]
dalam birokrasi dengan motif memanfaatkan AFI sebagai
kliennya.
Pemberian gelar bangsawan sepenuhnya merupakan
hak raja. Sedangkan masyarakat biasa dalam posisi pasif
tidak berhak menuntut. Kemungkinan, pemberian gelar
Awang hanya diberikan kepada masyarakat lapis kedua,
yakni keluarga bangsawan yang terbukti setia terhadap
Sultan. Hal ini terindikasi dengan gelar bangsawan AFI yang
diwariskan dari ayahnya—yakni Awang Ishak— yang meru­
pakan mantan wakil Kepala Kepolisian di Tenggarong dan
camat di Sangasanga.13 Posisi Awang Ishak menjadi wakil
Kepala Kepolisian merupakan pemberian jabatan yang
istimewa, karena hal tersebut memiliki arti bahwa dia adalah
orang kepercayaan Sultan dalam hal penegakan hukum dan
keamanan. Gelar bangsawan yang diterima oleh AFI tidak
pernah bisa dilepaskan dari kesetiaan dan karya ayahnya
terhadap Sultan. Hal ini terindikasi dari karir Awang Ishak
selama menjabat sebagai petinggi Kutai.
Selain itu, Awang Ishak pernah menjabat sebagai Camat
Sangasanga—sebuah daerah penghasil minyak terbesar kedua
setelah Balikpapan. Posisi Awang Ishak sebagai camat di
daerah minyak merupakan bukti kepercayaan Sultan kepada
Awang Ishak. Sultan tidak akan memberikan jabatan tersebut
kepada sembarang orang, karena penempatan Awang Ishak
memiliki tujuan tertentu. Sultan menginginkan Awang Ishak
menjaga keamanan Sangasanga karena daerah ini memberikan
makna ekonomi baginya. Dengan adanya minyak yang
dieksplorasi setiap hari oleh Belanda, royalti yang diterima
Sultan akan lancar diberikan setiap bulan. Di daerah penghasil

13 Rekam Jejak AFI dalam www.awangfaroekishak.com/diakses pada 19 Maret 2012.

[ 80 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


minyak seperti Balikpapan, Semboja, dan Sangasanga, perlu
ditempatkan orang yang dapat dipercaya oleh Sultan.
Kepercayaan Sultan terhadap Awang Ishak tidak lepas
dari peran kakeknya yang telah dipercaya sebagai juru tulis
Sultan.14 Tugas utama kakeknya ialah mencatat, mendokumen­
tasikan, dan menyampaikan informasi kepada para petinggi
istana. Posisi tersebut sangat penting, karena dia harus bisa
menerjemahkan keinginan dan kehendak Sultan tanpa
mengurangi atau menambahi. Sang juru tulis tidak boleh
menafsirkan menurut pengertian dirinya, tetapi dia harus
mencatat dan menyampaikan sama persis seperti yang
dikehendaki oleh Sultan.
Posisi kakeknya menjadi juru tulis berimbas pada keluarga
AFI sehingga mereka pun berpotensi menjadi orang keper­
cayaan Sultan. Kesetiaan kakek dan ayahnya mewaris ke dalam
diri AFI. Oleh karena itu, dia diberi gelar Awang Ngebei Setia
Negara yang bermakna kesetiaan sampai mati terhadap Sultan.15
Gelar Awang Ngebei Setia Negara tersebut paralel dengan
‘sumpah’ atau komitmen yang melekat dalam diri AFI. Gelar
Awang diberikan kepadanya karena dia dianggap setia dan
patuh terhadap kebijakan kesultanan. Pada mulanya, keluarga
AFI dari kalangan rakyat jelata, tetapi karena kesetiaan mereka
terhadap Sultan, mereka menerima gelar Awang.16 Relasi
patron-klien yang turun temurun tersirat dalam pemberian
gelar Awang Ngebei Setia Negara; selaku klien, keluarga AFI
harus taat dan memerjuangkan kepentingan Sultan.

14 Wawancara dengan AFI, tanggal 11 Agustus 2009 di Samarinda.


15 H. Achmad Bahrah, Kamus Bahasa Kutai Umum–Indonesia (Tenggarong: Lembaga
Pembinaan Kebudayaan Kutai, 2000), hlm. 14. Gelar Awang ditujukan kepada masyarakat
Kutai yang berasal dari tanah Melayu. Hal ini bisa dimaknai bahwa keluarga AFI bukan
dari keluarga Kesultanan Kutai secara langsung (darah ningrat), tetapi dari rakyat jelata
yang menerima gelar Awang karena kesetiaan dan loyalitasnya terhadap Kesultanan.
16 Ibid.

Politik Ambivalensi [ 81 ]
B. Elite dan Momentum Pemekaran Wilayah
Ketika elite tidak lagi memiliki jabatan strategis di pemerin­
tahan dan kembali ke daerah, dia memanfaatkan momentum
otonomi daerah. Dengan adanya perubahan rezim Orde Baru
ke Orde Reformasi, peluang pemekaran suatu daerah terbuka
lebar. Ide pemekaran wilayah selaras dengan keinginan elite
Kutai yang menghendaki agar ‘putera daerah’ memimpin di
Kaltim. Keinginan tersebut disambut oleh AFI sebagai klien.
Oleh karena itu, AFI meminta restu elite Kutai agar mereka
mendukung pemekaran wilayah Kutai menjadi Kutai Timur
(Kutim). Tujuan pemekaran ialah menyejahterakan dan
mengefektifkan pelayanan administrasi kepada masyarakat.
Salah satu cara yang dilakukan AFI ialah memanfaatkan
persoalan tanah pawatasan (tanah ulayat) Sultan yang masih
bermasalah dengan PT. KPC. Persoalan tanah pawatasan atau
tumpang tindih tanah dengan perusahaan tambang menjadi
isu yang krusial di Kaltim.
Sejak Kesultanan Kutai melebur ke dalam Republik
Indonesia tahun 1950, sebagian tanah milik Kesultanan telah
dihi­bahkan kepada masyarakat. Namun, masih ada sebagian
tanah pawatasan yang menjadi milik keluarga Sultan Kutai yang
belum terurus secara administratif. Dengan adanya otonomi
daerah, masalah tanah pawatasan mencuat ke permukaan.
Sebagian tanah ini ada di Kutai Timur yang kaya dengan
batubara, gas, dan minyak dan sebagian besar dari tanah ini
berada di areal tambang PT. KPC (milik Aburizal Bakrie)
yang merupakan salah satu perusahaan batubara terbesar di
dunia. Namun, pihak PT. KPC mengklaim memiliki sertifikat
dan bukti-bukti autentik yang dapat dipertanggungjawabkan
secara hukum. Sebaliknya, pihak elite Kutai juga bersikukuh
bahwa sebagian tanah yang diklaim PT. KPC tersebut adalah

[ 82 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


tanah pawatasan. Konflik kepemilikan tanah oleh PT. KPC
sampai hari ini masih dalam proses pengadilan.
Untuk merebut tanah pawatasan, diperlukan suatu
kekuatan besar secara hukum, politik, dan ekonomi. Keinginan
merebut kembali tanah tersebut sangat dimungkinkan,
karena adanya otonomi daerah memberi ruang bagi Pemda
untuk mengelola SDA. Dengan restu elite Kutai, Awang
memanfaatkan permasalahan tanah pawatasan sebagai sarana
untuk merengkuh kekuasaan. Sementara itu, pihak PT. KPC
dianggap telah mengeruk batubara17 di lahan milik Sultan,
tetapi perusahaan tidak memberikan royalti kepadanya.
Masalah sengketa tanah tersebut sampai hari ini belum tuntas.
Oleh karena itu, Awang sebagai mantan Ketua DPD Golkar
yang memiliki relasi dengan Aburizal Bakrie ditunjuk oleh
Sultan untuk menangani masalah ini.18
Menyikapi amanah elite Kutai tersebut, AFI menghadapi
tiga realitas. Pertama, Syaukani selaku Bupati Kutai tidak
menyetujui rencana pemekaran wilayah Kutai menjadi Kutai
Timur (Kutim), sebab pemekaran ini akan menurunkan
Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kutai secara drastis. Penurunan
PAD akan menghambat pembangunan Kutai dan pemasukan

17 Diperkirakan, tahun 2010 PT. KPC memproduksi 50 juta metric ton batubara dari
Kutim, tetapi dari hasil batubara tersebut tidak ada royalti untuk Sultan Salehuddin
II selaku pemilik tanah seluas 33.385 hektar. Dengan produksi 50 juta metric ton per
tahun, pendapatan kotor PT. Bumi sekitar Rp. 35 trilyun per tahun. Lihat “Kaki Tangan
KPC” dalam www.bongkar.com, diakses pada 23 September 201. Sementara itu, setiap
pemegang izin PKP2B memang diwajibkan membayar royalti kepada pemerintah sebesar
13,5% dari nilai produksi. Secara rinci, dari 13,5 % itu, pembagian royalti diatur sebagai
berikut: 40% untuk pusat, 20% untuk pemerintah provinsi, dan 40% lainnya daerah
penghasil. Namun, kewajiban PKP2B itu terbentur PP (Peraturan Pemerintah) No.
144/2000 tentang barang dan jasa yang tidak dikenakan pajak penambahan nilai (PPN).
Batubara sendiri tidak dikenai PPN. Lihat “Rp. 4,5 trilyun Royalti Tambang Macet” dalam
www.bongkar.com, di akses pada 4 Maret 2009.
18 Ibid. Saham terbesar pemilik PT. KPC telah dibeli oleh PT. Bumi Resources pada tahun
2003. Di dalamnya tercantum nama Aburizal Bakrie sebagai pemilik PT. Bumi Resources.

Politik Ambivalensi [ 83 ]
dana, baik bagi Pemda maupun bagi diri Syaukani. Oleh karena
itu, bagi Syaukani, pemekaran wilayah menjadi ancaman.
Kedua, masyarakat mengharapkan AFI sebagai ‘putra
daerah’ memimpin Kaltim.19 Sekembalinya ke Kaltim, AFI
tidak memiliki posisi strategis dalam pemerintahan. Namun,
citra AFI sebagai bangsawan yang telah berhasil mereng­
kuh kekuasaan melalui DPR tidak pudar. Ketika AFI tidak
lagi memiliki jabatan politik di DPR dan kembali ke Kaltim,
masyarakat masih berharap AFI memajukan Kaltim. Mereka
merindukan ‘putra daerah’ yang telah berhasil dalam pentas
nasional mampu meningkatkan kesejahteraan dan membe­
rantas kebodohan.
Ketiga, AFI dituntut untuk mampu mengolah kebangsawa­
nan­nya. Harapan masyarakat yang tinggi agar AFI mengatasi
masalah kemiskinan dan kebodohan, serta amanah Sultan
membuat AFI dihadapkan pada keniscayaan untuk mengolah
kebangsawanannya. Harapan dan amanah tersebut harus
dipenuhi, kalau AFI ingin tetap eksis dan dihormati. Oleh
karena itu, dia harus menginstrumentasi adat, budaya, dan
agama sebagai modal sosial dan kultural.
Untuk mewujudkan harapan masyarakat tersebut, AFI
menginisiasi kelompok masyarakat pro-pemekaran Kutai
Timur. Masyarakat pendukung pemekaran itu menamakan
diri Kerukunan Warga Kutai Timur (KWKT). Sebagian besar
anggota KWKT ialah loyalis terhadap elite Kutai. Dukungan
masyarakat semakin banyak dan mereka mendukung AFI agar
dia mau memimpin pemekaran wilayah Kutim. Sebenarnya,
motif utama pemekaran wilayah Kutim bagi elite politik lokal
adalah penguasaan hasil sumber daya alam. Selama ini, hasil

19 Tokoh adat di Kutim dan Kubar sangat setia kepada Sultan Kutai sehingga AFI tidak
mengalami kesulitan untuk memobilisasi mereka.

[ 84 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


kekayaan alam Kutim sebagian besar disetor ke pemerintah
pusat, dan yang kembali ke daerah tidak lebih dari 10%.
Hal ini terbukti dengan minimnya pembangunan sarana
dan prasarana di Kutim: belum ada jembatan penghubung
antardesa, belum ada jalan raya penghubung antardaerah,
banyak gedung sekolah rusak, belum ada rumah sakit,
listrik belum masuk kampung, sarana telekomunikasi belum
ada, dan lain-lain.20 Selain faktor minimnya pembangunan
sarana dan prasarana tersebut, tidak bisa disangkal adanya
kepentingan elite lokal memanfaatkan momen pemekaran
wilayah sebagai ajang untuk merebut posisi strategis dalam
pemerintahan. Biasanya, mereka terdiri dari elite lokal yang
tidak mendapatkan posisi yang penting dalam pemerintahan
atau DPRD sehingga kecewa dan memobilisasi massa, dan
akhirnya mendesak pemerintah pusat untuk memekarkan
wilayah.
Sebenarnya, pemekaran Kutai menjadi Kabupaten
Kutim sarat dengan pergulatan antarelite lokal dalam rangka
menguasai sumber daya alam. Hal ini bisa dimaklumi, sebab
secara faktual kekayaan alam wilayah ini sangat besar. Luas
areal minyak bumi di Sangatta mencapai 6.000 ha dan di
Sangkulirang 12.000 ha. Selain itu, kekayaan alam Kutai Timur
berupa sumber gas bumi terdapat di Bengalon (20.000 ha), di
Teluk Golok Sangkulirang (11.000 ha), dan di Pulau Miang
Besar (8.000 ha).21 Sebagian besar kekayaan alam tersebut
ada di atas tanah pawatasan Sultan Kutai. Selain itu, di Kutim
beroperasi perusahaan batubara terbesar di Indonesia, yakni
PT. KPC yang memiliki aset triliunan rupiah.

20 Membangun Kutai Timur dalam www.awangfaroekishak.com/diakses pada 8 Februari


2012.
21 Ibid.

Politik Ambivalensi [ 85 ]
Semua SDA tersebut merupakan modal bagi elite yang
akan berkontestasi dalam Pilkada. Secara khusus, PT. KPC
sudah mengeksplorasi batubara bertahun-tahun, tetapi
kontribusi untuk pembangunan daerah masih kurang. Oleh
karena itu, dengan adanya pemekaran daerah, maka elite dapat
menekan perusahaan-perusahaan besar untuk memberikan
kontribusi konkret baginya.

C. Implikasi Penetapan AFI sebagai Bupati Kutim


Dengan ditetapkannya AFI sebagai Bupati Kutim oleh
Mendagri, maka dia memiliki kuasa atas SDA Kutim yang
kaya dengan batubara, gas bumi, dan minyak. Secara faktual,
dia membutuhkan modal ekonomi yang sangat besar untuk
menjadi bupati. Oleh karena itu, dia melakukan manuver
politik dengan memanfaatkan patronase nasional dan lokal.
Manuver tersebut sangat menonjol sehingga berdampak pada
munculnya konflik antarelite lokal.
Pasca-pemekaran Kutim, setidaknya ada dua kelompok
yang saling bersaing untuk berebut kekuasaan. Pertama,
kelompok pro AFI. Kelompok ini menamakan diri Kerukunan
Warga Kutai Timur (KWKT). Anggota kelompok ini terdiri
dari tokoh masyarakat Kutai dan Banjar yang merupakan
penduduk asli Kaltim. Selain itu, AFI juga mendapat du­
kungan dari elite Kutai. Memang, secara legal formal, AFI
telah ditunjuk Mendagri sebagai Pejabat Bupati Kutim secara
definitif. Penunjukan ini ditindaklanjuti dengan pelantikannya
sebagai bupati oleh Gubernur Suwarna. Artinya, posisi AFI
sebagai bupati sudah sah secara hukum dan diakui oleh
pemerintah. Namun, Kutim belum memiliki anggota DPRD
yang dipilih oleh masyarakat secara langsung melalui Pemilu.
Padahal, pemerintahan yang demokratis tidak cukup hanya

[ 86 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


dijalankan oleh bupati selaku eksekutif. Tanpa dukungan
DPRD dalam pemerintahan, stabilitas akan terganggu.
Kedua, kelompok Mahyudin. Mahyudin selaku Ketua
DPD Golkar Kutai mengklaim dirinya dipilih oleh masyarakat
secara langsung melalui Pemilu 1999. Mahyudin mengklaim
memiliki legitimasi yang sah untuk menjadi kepala daerah
dibanding AFI yang ditunjuk oleh Mendagri. Mengapa
Mahyudin ngotot untuk menjabat sebagai bupati? Tampaknya,
hal ini bertumpu pada bujukan Syaukani yang sama-sama
menolak pemekaran wilayah Kutim. Hubungan keduanya
sangat dekat sehingga sangat memungkinkan Syaukani untuk
memengaruhi Mahyudin agar merebut tampuk kekuasaan di
Kutim. Kepentingan elite tersebut berdampak pada konflik
vertikal antara AFI dengan Mahyudin yang memunculkan
dualisme kepemimpinan.
Menyikapi realitas tersebut, AFI melakukan kompromi
politik: dia rela berbagi kekuasaan. Mahyudin menghendaki
adanya pembagian kekuasaan dengan tujuan menguasai hasil
SDA di Kutim. Kompromi (kesepakatan) politik antara AFI
dengan Mahyudin tersebut disahkan dalam Sidang Paripurna
DPRD. Tampaknya, dalam pergulatan antarelite politik
tersebut, tersirat adanya deal khusus antara keduanya yang
berujung pada pemberlakuan praktik transaksi politik. Hal ini
kelak terkuak dengan adanya kasus divestasi saham PT. KPC:
AFI dan Mahyudin terlibat dalam proses penjualan saham
Pemda.
Konflik kepentingan antarelite tersebut menjadikan AFI
menyadari adanya elite lain yang berupaya untuk merebut
tampuk pimpinan di Kutim. Konspirasi antara Mahyudin
dan Syaukani yang memiliki dukungan kuat dalam parlemen
dan masyarakat membuat AFI berhadapan dengan kekuatan
Partai Golkar yang mengakar dalam masyarakat. Untuk

Politik Ambivalensi [ 87 ]
menyikapi adanya konflik dengan Mahyudin tersebut, AFI
mencitrakan diri sebagai ‘bapak pembangunan’ melalui media
internet. Hal ini didukung oleh faktor harapan masyarakat
(KWKT) yang sangat besar, khususnya dukungan terhadap
AFI sebagai ‘putera daerah’ untuk memimpin Kutim. AFI
menghadapi realita adanya penentangan dan dukungan, yang
mau tidak mau akan memengaruhi sikap politiknya. Dengan
posisinya sebagai klien elite Kutai dan elite Orde Baru, AFI
sangat memahami bagaimana Soeharto mempertahankan
kekuasaannya. Tampaknya, strategi politik yang diterapkan
Soeharto tersebut ditiru oleh AFI. Hal ini terindikasi dalam
paparan AFI melalui websitenya yang mencitrakan dirinya
sebagai ‘bapak pembangunan’ untuk mengeliminasi adanya
tentangan lawan politik terhadapnya.
Melalui media internet, AFI memaparkan betapa beratnya
dulu ketika pertama kali dia diserahi tugas sebagai Pejabat
Bupati Kutai Timur.22 AFI menegaskan bahwa dia berjuang
membangun Kutim tanpa bantuan Mahyudin dan Syaukani.
Dia mampu membangun kantor pemerintahan yang modern
dan maju di Kutim. Pada mulanya, AFI harus berkantor di
kecamatan, karena kantor Pemda belum ada. Begitu juga
dengan gedung DPRD, saat itu belum dibangun. Selanjutnya,
kutipan di bawah ini menggambarkan bagaimana keadaan
Kecamatan Sangatta sebagai cikal bakal Kabupaten Kutim
pada awal AFI sebagai bupati:
“Karena keterbatasan sarana dan prasarana, Sangatta sebenarnya
belum mampu menunjukkan diri sebagai ibu kota kabupaten yang
representatif. Maklum saja, sebagai kabupaten baru, infrastruktur
Kutim masih terbatas. Kantor bupati saja masih menumpang di
Balai Desa Sangatta Utara. Demikian pula dengan kantor-kantor

22 Sang Entrepreneur yang Visioner dalam www.awangfaroekishak.com/diakses pada 31


Januari 2012.

[ 88 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


dinas dan badan, yang umumnya masih menumpang di bangunan
milik warga maupun sekolah. Termasuk ruang tempat kalangan
pejabat legislatif (DPRD) berkantor dan bersidang adalah bekas
gedung bioskop yang sudah tidak beroperasi lagi.”23

Kutipan tersebut di atas adalah cerita versi AFI ketika


mulai bekerja sebagai pejabat bupati dengan fasilitas yang
sederhana dalam melaksanakan tugas sehari-hari, dikarenakan
tidak adanya sarana dan prasarana yang mendukung.
Demikian juga kantor Pemda dan DPRD belum ada, padahal
kantor merupakan representasi atau simbol dari kewibawaan
pemerintahan. Dalam hal ini, peran Mahyudin sebagai wakil
bupati tidak disebutkan sehingga menimbulkan kesan bahwa
seolah-olah yang berjasa membangun Kutim adalah AFI.
Tampaknya, AFI ingin mencitrakan dirinya sebagai ‘bapak
pembangunan’ yang tidak mudah putus asa, sekalipun ada
keterbatasan sarana dan prasarana dalam menjalankan
aktivitas pemerintahan sehari-hari. Selain itu, kondisi
jalan antardaerah yang belum terbangun atau rusak parah
memerlukan perhatian secara serius dari pemerintah pusat
karena sarana dan prasarana yang rusak berdampak pada
pertumbuhan ekonomi di Kutim.24
AFI mengisahkan betapa sulitnya masyarakat pada waktu
itu untuk membawa hasil panen ke pusat Kecamatan Bontang:
setiap penduduk Kutim harus naik perahu kecil (ketinting)
dan menempuh perjalanan lewat sungai selama dua jam.25 Hal
ini mengindikasikan sarana jalan darat belum ada atau tidak
memungkinkan untuk dilalui. Kalau tidak teratasi, hal itu akan
memperlambat pertumbuhan ekonomi Kutim dan masyarakat
akan terisolir dari modernisasi. Padahal, kecamatan terdekat

23 Ibid.
24 Ibid., Prospek Pusat Pengembangan Kawasan Industri Maloy.
25 Ibid.

Politik Ambivalensi [ 89 ]
dari Kutim—yakni Bontang—sudah maju. Wilayah ini
merupakan daerah industri gas. Dengan dijadikannya Bontang
sebagai kota industri dan sentra ekonomi, kemajuan sarana
dan prasarana hadir di daerah tersebut.
Gambaran tentang terisolirnya Sangatta pada waktu itu
dipaparkan oleh AFI melalui websitenya sebagai berikut, “Bila
masyarakat hendak bepergian ke Samarinda (ibukota Propinsi
Kaltim), mereka harus melalui hutan Taman Nasional Kutai
(TNK) dan memerlukan waktu sekitar dua hari.”26 Ketika musim
hujan datang, sering terjadi tanah longsor yang menutupi jalan
sehingga jalan licin dan tidak bisa dilalui kendaraan. Sebaliknya,
pada waktu musim kemarau, sering terjadi kebakaran hutan di
TNK yang mengakibatkan penduduk Sangatta tidak bisa pergi
ke Samarinda.27 Hambatan lain bagi masyarakat Sangatta yang
akan ke Samarinda ialah gangguan orang utan dari TNK yang
sering mencegat mereka yang melewati hutan untuk meminta
makanan."
Kondisi Sangatta yang terisolir tersebut menjadi peluang
bagi AFI untuk mencitrakan dirinya sebagai ‘bapak pemba­
ngunan’ yang mampu menjadikan Sangatta menjadi kota
yang modern setara dengan Bontang, Balikpapan, dan
Samarinda. Untuk mengejar ketertinggalan tersebut, AFI
mulai memprioritaskan pembangunan sarana dan prasarana,
seperti jalan antarkabupaten, jembatan, sekolah, rumah sakit,
dan sarana umum untuk mendukung pertumbuhan ekonomi
Kutim.28
Harapan masyarakat terhadap AFI sangat tinggi, khususnya
dalam memajukan Kutim. Oleh karena itu, tidaklah cukup
baginya mencitrakan diri sebagai kepala daerah yang maju

26 Ibid.
27 Ibid., Sang Entrepreneur yang Visioner.
28 Ibid., Prospek Pusat Pengembangan Kawasan Industri.

[ 90 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


dengan membangun kantor modern di Bukit Pelangi. Sebagai
‘bapak pembangunan’, dia harus berinovasi dalam berbagai
bidang. Salah satunya dalam bidang informasi teknologi.
Oleh karena itu, dia mencanangkan Kutim sebagai cyber city.
Dia berargumen bahwa untuk meningkatkan kecepatan dan
ketepatan pelayanan terhadap masyarakat, Pemda Kutim perlu
menerapkan sistem electronic government (e-gov). Pusat kantor
Bukit Pelangi dilengkapi dengan hot spot dan dijadikan cyber
city yang berbasis informasi dan teknologi. Kantor bupati
dilengkapi perpustakaan dengan fasilitas komputer online
dengan Sistem Informasi Manajemen Pemerintahan Kabupaten
(Simpekab) atau yang disebut juga dengan Sistem Informasi
Manajemen Satu Atap (Simtap). Hal ini guna memberikan
pelayanan masyarakat secara lebih cepat, murah, transparan,
dan akurat.29
Selain itu, AFI juga mencitrakan diri sebagai figur modernis,
inovatif, dan ‘melek teknologi’. Hal ini terbukti dengan inovasi
teknologi dalam bidang administrasi publik, khususnya
dalam pengurusan dokumen pribadi dan perusahaan yang
merupakan suatu prestasi unggul dibandingkan dengan
kabupaten lain di Kaltim.30 Pelayanan pengurusan dokumen
bagi investor paling lama hanya 36 menit—sebuah terobosan
luar biasa. Oleh karena prestasi pelayanan yang cepat dan efisien
tersebut, AFI mendapatkan penghargaan dari pemerintah.31
Keberhasilan AFI dalam mengubah citra Kutim dari daerah

29 Ibid.
30 AFI mendapatkan penghargaan MURI, sebagai bupati tercepat di Indonesia dalam
pelayanan kepada investor (36 menit). Selain itu, AFI juga mendapat penghargaan
sebagai pelopor implementasi e-goverment peringkat pertama (majalah Pilar Bisnis) dan
penghargaan sebagai pelopor e-government/ one stop service (OSS) peringkat kedua dari
majalah Warta Ekonomi.
31 Penghargaan sebagai pelopor e-goverment dalam layanan satu atap (Simtap) one stop
service (OSS) diberikan oleh Kantor Menteri Negara Komunikasi & Informasi RI.

Politik Ambivalensi [ 91 ]
tertinggal menjadi kabupaten yang modern dan maju diakui
oleh Hamzah Haz sehingga dia menyampaikan:
“Berbagai pemikiran serta program yang sudah dijalankan
Awang Faroek benar-benar mampu merubah daerah ini.
Dia adalah sahabat saya saat menjadi anggota DPR, dia
telah berhasil melaksanakan tugas dan membangun Kutim
sehingga layak kita hormati.”32
Hamzah Haz merupakan kolega AFI yang mengajak
masyarakat Kutim untuk mendukungnya melakukan program
pembangunan. Pembangunan pusat pemerintahan di Bukit
Pelangi dirancang dengan matang oleh para ahli yang sudah
direncanakan sedemikian rupa dan disesuaikan dengan tata
ruang pengembangan Sangatta sebagai pusat kabupaten/kota
yang modern.33 Perancangan melibatkan para ahli tata kota
dari berbagai perguruan tinggi ternama di Indonesia yang
meliputi penataan infrastruktur yang dibangun secara terpadu
yang menghubungkan pusat pemerintahan dengan kecamatan
atau desa di Kutim sehingga transportasi menuju ke Sangatta
dapat diakses masyarakat dengan mudah.
Semua itu dilakukan AFI untuk memenuhi dambaan
masyarakat. Di balik upaya memodernkan Kutim, tersimpan
nalar politik AFI yang ingin mencengkeram kekuasaan

32 Ibid., peresmian Pusat Perkantoran Pemda Kutim di Bukit Pelangi diresmikan oleh
Wapres yang merupakan Pimpinan PPP. Hal ini bisa dimaknai bahwa AFI memiliki
kedekatan dengan pimpinan PPP. Patut dicatat di sini bahwa sebagian masyarakat Kutim
menjadi anggota partai tersebut. Kehadiran Wapres untuk meresmikan perkantoran
Pemda tersebut menunjukkan adanya jejaring patronase AFI pada ranah nasional. Hal
ini membenarkan argumen penulis bahwa pemekaran Kutim merupakan upaya AFI
dalam rangka menginstrumentasi patronase politik yang sudah dirajut sejak dia menjabat
sebagai anggota DPR selama dua periode. Jaringan patronase tersebut sudah terbentuk
sehingga pada saat AFI membutuhkannya pemekaran dan legitimasi politik, mereka
yang berada dalam jaringan itu siap membantunya.
33 Pembangunan Kantor Pemerintahan di Bukit Pelangi melibatkan tenaga ahli dari UGM,
ITB, IPB, dan Unmul.

[ 92 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


dalam birokrasi dan masyarakat. Namun, AFI mengemasnya
dengan bahasa teknologi sehingga terkesan maju, canggih,
dan modern. Simtap tersebut meliputi 11 sistem informasi
yang dikelola secara terpadu dengan teknologi canggih. Sistem
informasi tersebut meliputi manajemen satu atap, manajemen
statistik, perlengkapan daerah, kepegawaian, pariwisata,
keuangan daerah, geografi, agrobisnis, penanaman modal
daerah, tanaga kerja, dan manajemen lingkungan daerah.
Dengan adanya penerapan Simtap di Kutim, AFI dengan
mudah mengendalikan masyarakat, birokrasi, ekonomi
daerah, dan SDA (lingkungan) Kutim.
Adapun pelayanan administrasi dengan Simtap secara
cepat yang dapat diberikan kepada masyarakat meliputi
pembuatan KTP, akta kelahiran, akta kematian, surat izin
usaha, tanda daftar perusahaan, tanda daftar industri, dan
akta koperasi. Selain surat-surat penting tersebut, Simtap
juga memberikan pelayanan cepat pengurusan dokumen
pembuatan surat izin tempat usaha, izin reklame, pajak
bumi dan bangunan, izin mendirikan bangunan, sertifikat
tanah, izin lokasi dan pembuatan kartu kuning.34 Masyarakat
diuntungkan dengan adanya Simtap yang membantu mereka
dalam mengurus dokumen-dokumen penting dengan mudah,
cepat, dan gratis.
Bagi para pengusaha atau investor, hal ini sangat
menguntungkan, karena Pemda kooperatif dalam pengurusan
izin dan memberikan kepastian hukum. Manfaat dari adanya
Simtap tersebut adalah timbulnya gairah para pengusaha untuk
menginvestasikan modalnya ke Kutim. Dengan demikian,
perekonomian Kutim berkembang. Selain itu, dengan adanya

34 Ibid.

Politik Ambivalensi [ 93 ]
kemudahan pengurusan izin usaha, ribuan tenaga kerja
masyarakat menjadi terserap.
Di balik inovasi teknologi tersebut, selain memenuhi
harapan masyarakat dalam kecepatan pengurusan dokumen
penting—AFI memanfaatkan kerja sama dengan para pengu­
saha baik yang bergerak di bidang telekomunikasi, batubara,
minyak, maupuan agro industri. Para pengusaha yang
menginvestasikan modalnya ke Kutim tersebut tidak luput dari
kewajiban memberikan fee kepada elite politik. Hal ini sudah
menjadi rahasia umum agar pemilik bisnis usahanya lancar
dan aman. Mereka harus memberikan dukungan dana kepada
elite politik yang mencalonkan dirinya sebagai kepala daerah.
Dukungan modal para investor kepada elite lokal tersebut
sebagai wujud balas budi, karena mereka pernah ditolong
mengurus ijin usaha. Ada kalanya mereka menyumbang dana
dalam proses kontestasi dengan harapan akan mendapatkan
proyek pembangunan jika kontestan menang dalam Pilkada.
Akan tetapi, dalam rangka memenuhi harapan masyarakat
untuk memajukan Kutim setara dengan kabupaten lain, AFI
membutuhkan modal besar. Yang menjadi kendala AFI untuk
memenuhi harapan masyarakat tersebut adalah tidak ada dana
dari Pemda untuk pembangunan kantor pemerintahan. Oleh
karena itu, AFI mengajukan usulan pinjaman dana ke BPD
Kaltim. Rencana peminjaman Pemda ke BPD Kaltim sebesar
Rp. 270 miliar. Melalui dana APBD peminjaman Pemda
tersebut diangsur setiap bulan dalam kurun waktu lima tahun.
Jadi, bisa dikatakan bahwa jaminan pinjaman Pemda tersebut
adalah APBD Kutim.
Dalam usaha memperoleh pinjaman dana melalui BPD
Kaltim tersebut, Awang menginstrumentasi relasi jaringan
birokrasi lokal yang sudah dirajut ketika dia menjadi staf
ahli gubernur. AFI melobi pimpinan BPD Kaltim yang dia

[ 94 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


kenal. Sementara itu, Mahyudin selaku wakil bupati dan ketua
DPD Golkar mengadakan komunikasi dengan anggota dan
pimpinan DPRD Kutim. Tampaknya, anggota DPRD juga
membutuhkan kantor yang representatif untuk menjalankan
tugas sehari-hari. Namun, kenyataannya DPRD belum
memiliki tempat yang representatif sehingga dengan ironis
mereka mesti berkantor di bekas gedung bioskop yang sudah
tutup. Adanya kebutuhan yang sama antara Pemda dan
DPRD atas kantor yang berfungsi membantu mengefektifkan
pemerintahan. Maka terjadilah relasi simbiosis mutualisme.
Di satu pihak, AFI selaku bupati mengajukan rencana
pinjaman kepada BPD Kaltim. Sementara itu, di pihak lain,
Mahyudin melakukan lobi-lobi politik terhadap pimpinan
DPRD. Peran Mahyudin sebagai ketua DPD Golkar Kutim
sangat besar dalam memengaruhi keputusan DPRD. Oleh
karena anggota fraksi Golkar dalam DPRD cukup berpengaruh,
maka rapat yang membahas usulan pemerintah tersebut
berjalan lancar. Hasil rapat DPRD Kutim menyetujui usulan
Bupati mengajukan peminjaman dana ke BPD Kaltim. Dengan
adanya dana segar sebesar RP. 270 miliar tersebut, AFI mulai
melakukan pembangunan perkantoran Pemda dan gedung
DPRD di Bukit Pelangi.
”Kita bisa lihat Bukit Pelangi ini. Ini adalah [hal] yang paling
monumental. Lahan seluas 600 hektar di Gunung Tim yang
dahulunya hutan, diubah menjadi pusat kompleks perkantoran
dan pemerintahan. Sebanyak 42 gedung dibangun. Ada kantor
Bupati, DPRD, Gedung Serbaguna, Lanal, Kodim, Polres,
Kejaksaan, Pengadilan, kantor-kantor badan ada lima, kantor
dinas ada 15, perumahan DPRD, rumah jabatan bupati dan
lainnya.”35

35 Membangun Kutai Timur.

Politik Ambivalensi [ 95 ]
Apa yang dipaparkan AFI di atas merupakan suatu
ungkapan kebanggaan atas keberhasilannya dalam membangun
Kutim menjadi kabupaten yang maju dan modern. Ungkapan
tersebut juga menjadi ekspresi AFI dalam menginstrumentasi
simbol-simbol kekuasaan untuk melegitimasi dirinya yang
mewujud secara fisik dalam bentuk kantor Pemda dan DPRD.
Pembangunan perkantoran di Bukit Pelangi tersebut mampu
mengubah hutan belantara menjadi pusat pemerintahan
yang modern dan maju. Hal ini pun diakui oleh Hamzah
Haz selaku Wakil Presiden (Wapres) yang meresmikan Bukit
Pelangi pada tahun 2003, sebagai berikut “Pembangunan
pusat pemerintahan ini benar-benar bagus untuk menciptakan
pelayanan yang terpadu serta mendorong dan menciptakan
good government sehingga bisa menjadi percontohan bagi
daerah lain di Indonesia.”
Hal ini disampaikan mantan Wapres ketika meresmikan
pusat pemerintahan di Bukit Pelangi.36 Pembangunan kantor
pemerintah yang modern di Bukit Pelangi tersebut mengha­
biskan dana sekitar Rp. 578 miliar. Pembangunan kantor Bukit
Pelangi selesai dalam kurun waktu sekitar tiga tahun. Dengan
selesainya pembangunan perkantoran tersebut, efektivitas
pelayanan terhadap masyarakat menjadi nyata.
Namun demikian, tampaknya ada keganjilan dalam hal
ini. AFI mengajukan dana pinjaman pembangunan kantor
Bukit Pelangi kepada BPD Kaltim sebesar Rp. 270 miliar,
tetapi dana pembangunan membengkak menjadi Rp. 578
miliar sehingga kekurangan dana sebesar Rp. 308 miliar.
Pertanyaan pun muncul: dari mana AFI mendapatkan dana
untuk menutupi kekurangan tersebut?

36 Ibid.

[ 96 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


Di sisi lain, pembangunan perkantoran Bukit Pelangi tidak
melalui tender terbuka, tetapi AFI menunjuk langsung rekanan
perusahaan pelaksana. Dengan demikian, terindikasi adanya
ketidakberesan dalam proses tender dan pembangunan. Ada
kemungkinan investor yang mendapatkan proyek Bukit Pelangi
memberikan fee kepada elite politik.37 Namun, hal ini tidak bisa
dibuktikan karena tidak ada tanda terima tertulis atau saksi
mata. Pada umumnya, pemberian fee pembangunan tersebut
dilakukan di ranah yang tersembunyi. Ada kemungkinan uang
fee dari para investor tersebut dimanfaatkan oleh elite lokal
dalam mengakhiri konflik kepentingan di Kutim. Konkretnya
uang tersebut dibagi secara proporsional ke semua elite lokal,
agar mereka tidak melaporkan ke KPK.
Tampaknya, kekurangan dana pembangunan kantor
Pemda di Bukit Pelangi tersebut diambilkan dari penjualan
divestasi saham milik Pemda Kutim yang ada di PT. KPC. AFI
tidak bisa mengelak untuk mengupayakan dana tambahan
agar citranya tidak pudar. Dia sudah terlanjur mengikuti
keinginan masyarakat. Oleh karena itu, dirinya mengupayakan
untuk menutupi kekurangan dana tersebut lewat kerja sama
dengan Suwarna untuk mendapatkan saham PT. KPC sebesar
51%.38 PT. KPC merupakan perusahaan batu bara terbesar
di Indonesia dengan produksi sekitar 40 juta m3 per tahun.39
Namun, hasil penjualan saham PT. KPC tersebut tidak
berdampak pada kesejahteraan masyarakat Kutim. Padahal,
lahan PT. KPC adalah milik Pemda Kutim dan sebagian tanah

37 Dengan asumsi fee yang diterima elite politik sebesar 10%, maka dia menerima dana
segar minimal Rp. 50 miliar.
38 “Bagaimana Kronologi Penjualan Saham PT. KPC?” dalam www.kaltim.go.id/diakses
pada tanggal 15 Juli 2010.
39 Informasi dari HM Ketua Teknik Tambang batubara di Sangasanga Kutai Kartanegara
dalam diskusi kelompok tanggal 19 Desember 2011 di Yogyakarta.

Politik Ambivalensi [ 97 ]
pawatasan Sultan. Oleh karena itu, AFI dan Suwarna bertekad
memperjuangkan saham yang menjadi milik Pemda Kutim.
“Perjuangan dilaksanakan bersama-sama Gubernur Kaltim
saat itu (H. Suwarna AF) dan Ketua DPRD Kaltim. Inti
perjuangan adalah mendapatkan divestasi saham KPC
sebesar 51% sebagai wujud komitmen dan kepedulian
pimpinan daerah saat itu untuk memperjuangkan hak
rakyat Kaltim.”40
Tampaknya, perjuangan AFI dan Suwarna tersebut
disambut oleh kebijakan pemerintah. Dalam Sidang Kabinet
Terbatas tanggal 31 Juli 2002, pemerintah memutuskan saham
51% PT. KPC, dengan calon pembeli 20% saham ialah PT.
Tambang Batubara Bukit Asam. Sedangkan yang 31% saham
dibagi menjadi 12,4% untuk pemerintah provinsi Kaltim
melalui Perusda Melati Bhakti Satya (MBS) dan 18,6% jatah
pemerintah kabupaten Kutim melalui Perusda Pertambangan
dan Energi Kutim (Perusda PEKT). AFI memperjuangkan
saham Pemda Kutim dalam kapasitasnya sebagai bupati pada
periode 12 Oktober 2002-21 Mei 2003.41
Upaya AFI berhasil. Pemda Kutim mendapatkan saham
PT. KPC sebesar 18,6%. Namun, Pemda tidak memiliki dana
untuk membeli saham tersebut. Sementara itu, AFI non-aktif
sebagai bupati karena sedang mengikuti proses kontestasi
dalam pemilihan Gubernur Kaltim (2003). Mahyudin selaku
wakil bupati menggantikannya dan menandatangani surat jual
beli saham sebesar 18,6% tanggal 13 Oktober 2003.42 Surat
ditandatangani oleh Mahyudin dari pihak Pemda Kutim, dan
oleh Ari S. Hudaya dari pihak PT. Bumi Resources. Pihak
PT. Bumi Resources menjual kembali saham sebesar 13,6%

40 Ibid., Bagaimana Kronologi Penjualan Saham PT. KPC.


41 Ibid.
42 Ibid.

[ 98 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


dan Pemda Kutim mendapatkan golden share saham sebesar
5%. Untuk mengelola saham PT. KPC sebesar 5% tersebut,
Mahyudin mendirikan PT. Kutai Timur Energi (KTE).43
Mahyudin tidak menyerahkan hasil uang penjualan saham
5% PT. KPC tersebut ke Bendahara Kas Daerah Kutim dan
hal ini di kemudian hari dipermasalahkan.44

D. Bapak Pembangunan yang Dermawan


Oleh karena proses pemekaran Kutim sarat dengan
perburuan hasil SDA dan pergulatan antarelite lokal, maka
AFI memanfaatkan kekuasaan yang direngkuhnya untuk
membangun citra dirinya sebagai bangsawan yang dermawan.
Dia sudah terlanjur terjebak dalam citra diri tersebut. Sementara
itu, tuntutan elite Kutai dan masyarakat ialah kepemilikan
tanah dan kesejahteraan yang meningkat. Oleh karena itu,
ketika elite berkuasa, dia memanfaatkan program Gerakan
Berbasis Pada Pembangunan Agrobisnis (Gerdabangagri)
untuk melegitimasi dirinya sebagai bangsawan yang
dermawan. Melalui Gerdabangagri, terimplisit elite ingin
memenuhi harapan masyarakat dengan menempatkan dirinya
sebagai bangsawan yang dermawan. Untuk mengonkretkan
citra diri tersebut dalam masyarakat, maka kebijakan yang

43 Ibid.
44 Ibid., penjualan saham PT. KPC sebesar 5% yang dikelola PT. KTE dan bukan oleh Pemda
Kutim tersebut semakin meruncingkan konflik antara AFI dengan Mahyudin. Karena
hal ini terjadi ketika AFI menjabat bupati, maka kesalahan tersebut menjadi tanggung
jawab AFI. Isu yang beredar melalui media massa, dana tersebut dimanfaatkan oleh
AFI sebagai dana kontestasi dalam Pilkada 2003. Namun, isu ini dibantah oleh AFI,
karena pendirian PT. KTE sepenuhnya menjadi tanggung jawab Mahyudin. Hal ini juga
semakin mempertegas jawaban AFI ketika dia mencalonkan diri sebagai kepala daerah
dan dia mengundurkan diri sebagai bupati. Namun, di lain kesempatan AFI berbicara
melalui media massa bahwa dia tidak mengundurkan diri sebagai Bupati Kutim ketika
mencalonkan diri sebagai gubernur.

Politik Ambivalensi [ 99 ]
dilakukannya ialah revitalisasi pertanian, pemberian pinjaman
modal usaha,45 dan rekayasa modal sosial.

E. Revitalisasi Pertanian
Mengingat lahan di Kutim sedemikian luas dan tuntutan
masyarakat atas kepemilikan tanah tinggi, maka AFI
mengambil kebijakan memperkuat ekonomi kerakyatan
melalui revitalisasi pertanian. “Kalau kita merasa bagian
dari masyarakat, maka segala upaya yang kita lakukan akan
mengarah kepada masyarakat dan demi kebaikan masyarakat,”
kata AFI.46 Bidang pertanian merupakan fokus dari kebijakan
AFI dalam arti luas yang meliputi revitalisasi perkebunan,
perikanan, peternakan, dan kehutanan. Salah satu bentuk
regulasi radikal yang dilakukan oleh AFI adalah memberikan
tanah gratis seluas 5 ha kepada setiap kepala keluarga. Kebijakan
pemberian tanah gratis kepada masyarakat ini diambil, untuk
memenuhi tuntutan mereka. Dalam hal ini, AFI memerankan
dirinya sebagai bangsawan yang dermawan. Dalam pandangan
masyarakat, seorang bangsawan harus memberikan tanah,
barang, dan jasa agar mereka setia kepadanya. Semakin besar
pemberian bangsawan kepada masyarakat, maka citra dirinya
semakin naik.
Hal ini ditunjukkan AFI dengan mengambil kebijakan
pemberian sertifikat tanah secara gratis. Kebijakan pemberian
tanah dan sertifikat gratis tersebut dimaksudkan untuk
memberikan kepastian hukum atas kepemilikan lahan bagi
para petani. Hal ini menjawab kebutuhan masyarakat atas
status tanah mereka yang selama ini tidak jelas.47 Selain itu, ada
sebagian tanah masyarakat yang ditambang oleh perusahaan

45 AFI, Prospek Pengembangan Kawasan Industri Maloy, Power Point. Tidak diterbitkan
46 Ibid.
47 Loc.cit, Patron-Client Politics and Poitical Change in Southeast Asia, hlm. 109.

[ 100 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


tanpa ganti rugi yang layak. Dengan kejelasan status hukum
atas kepemilikan tanah, diharapkan masyarakat menjadi
giat dalam mengelola lahan secara mandiri. Dalam hal ini,
AFI sepertinya ingin menunjukkan komitmennya terhadap
perekonomian rakyat kecil. Dia mencitrakan diri sebagai elite
yang pro-rakyat. AFI mengemas kebijakan ini sebagai grand
strategy masa depan Kutim yang berfokus pada agrobisnis.
Kebijakan AFI tentang regulasi pertanian tersebut berim­
plikasi dua hal: pertama, terjadinya relasi patron-klein. Untuk
memenuhi harapan masyarakat, AFI selaku bangsawan
Kutai menginstrumentasi sistem nilai budaya yang dikemas
dengan bahasa pembangunan. AFI menempatkan dirinya
sebagai patron yang dermawan dengan memberikan tanah
dan sertifikat kepada masyarakat. Sementara itu, masyarakat
ditempatkan sebagai klien yang hanya pasif menerima bantuan
dari sang patron.
Kedua, tumbuhnya rasa utang budi masyarakat. Tampak­
nya, kebijakan regulasi pertanian berimplikasi pada mun­
cul­nya utang budi masyarakat kepada AFI. Apabila kelak
AFI membutuhkan dukungan politik dalam Pilkada, mereka
yang telah berutang budi tersebut–mau tidak mau harus siap
untuk mendukungnya. Dengan demikian, kebijakan tersebut
menum­buhkan kebergantungan dan loyalitas (kesetiaan).
Rasa kebergantungan dan loyalitas tersebut harus dijaga
dengan cara memberikan rasa aman bagi mereka. Ini berarti
mencukupi kebutuhan dasar yang meliputi sandang, papan,
pangan, dan pekerjaan. Oleh karena itu, AFI yang didambakan
sebagai ‘putra daerah’ harus mampu mencukupi kebutuhan
mereka. AFI dihadapkan dengan pilihan yang sulit. Oleh
karena itu, AFI meniru apa yang telah dilakukan Soeharto. Pada
era Orde Baru, Soeharto menerapkan kebijakan swasembada
pangan dengan fokus perhatian pembangunan diarahkan pada

Politik Ambivalensi [ 101 ]


tercukupinya pangan bagi masyarakat. Regulasi pertanian
tersebut didasarkan pada realita bahwa Kutim memiliki 1,3
juta ha lahan pertanian potensial yang siap digarap oleh
masyarakat dan investor.48 Lahan tersebut harus dikelola secara
arif agar mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakat. Di luar
itu, secara kultural AFI mengetahui bahwa hak memberikan
tanah adalah hak prerogatif elite Kutai. Oleh karena itu, AFI
memaknai pemberian tanah sebagai amanah elite Kutai dalam
rangka menyejahterakan masyarakat. Dalam tradisi adat Kutai,
yang berhak memberikan tanah adalah Sultan, tetapi AFI telah
mendapatkan mandat dari elite Kutai.49
Tampaknya, dampak kebijakan revitalisasi pertanian
tersebut menarik para investor untuk menanamkan modalnya
ke Kutim, karena adanya kemudahan pengurusan pembebasan
tanah, kepastian hukum, dan keamanan terjamin.
“Tiga komponen penting untuk pembangunan: sektor swasta,
masyarakat dan pemerintah. Pemerintah hanya perlu bertindak
sebagai fasilitator yang menciptakan kemudahan kepada dunia
swasta untuk berinvestasi dan sekaligus menciptakan tantangan
kepada masyarakatnya untuk mengembangkan diri mengikuti
tuntutan kehidupan masa depan.”50

Kebijakan revitalisasi pertanian diinstrumentasi oleh bupati


yang juga bangsawan tersebut dalam rangka mengentaskan
masyarakat dari kemiskinan. Sebagai seorang bangsawan, ia
harus mampu mengentaskan kemiskinan masyarakat. Jika

48 Ibid., Membangun Kutai Timur.


49 Menurut Undang-Undang Panji Selaten, kepemilikan tanah di wilayah Kesultanan Kutai
semua dikuasai oleh Sultan Kutai. Namun, pasca-bergabungnya Kesultanan Kutai dengan
Republik Indonesia, kepemilikan tanah sebagian diberikan kepada masyarakat dan
sebagian dimiliki oleh keluarga kesultanan. Sebagian tanah di Kutim adalah tanah milik
kesultanan, tetapi dieksplorasi oleh PT. KPC tanpa ganti rugi. Upaya AFI memberikan
tanah kepada masyarakat adalah hak dari seorang bangsawan dan hal ini mungkin terjadi
kalau AFI mendapatkan amanah dari Sultan Kutai (Salehuddin II).
50 Ibid.

[ 102 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


tidak, mereka akan kehilangan wibawa dan tidak dipercaya
masyarakat. Apabila AFI tidak membantu masyarakat, maka
masyarakat akan mencari bangsawan lain yang dianggap mau
membantu mengentaskan kemiskinan. Di satu sisi, AFI benar-
benar menyadari bahwa sebagai seoranag bangsawan, dia
bertanggung jawab untuk mengentaskan kemiskinan, tetapi
di sisi lain dia harus taat regulasi dan mencitrakan diri sebagai
seorang yang demokrat.

F. Pemberian Pinjaman Modal


Walaupun para petani sudah diberikan tanah 5 ha dan
sertifikat oleh pemerintah, tetapi mereka belum memiliki
modal untuk membeli bibit dan pupuk. Jika hal ini dibiarkan
oleh pemerintah, maka para petani akan datang kepada
tengkulak atau pengijon untuk meminjam uang. Program
pemberian tanah kepada masyarakat ini akan sia-sia jika
mereka tidak memiliki modal usaha. Oleh karena itu, AFI
membuat kebijakan peminjaman (pemberian) modal usaha
tanpa bunga kepada para petani melalui Bank Perkreditan
Rakyat (BPR). Pendirian BPR dan lembaga keuangan mikro
tersebut meliputi 18 kecamatan yang mencakup 136 desa.
Harapannya, dengan kemudahan pinjaman modal tanpa
bunga, para petani dapat memanfaatkannya untuk memulai
usaha. Di satu sisi masyarakat membutuhkan modal usaha,
tetapi di sisi lain AFI membutuhkan legitimasi masyarakat.
Pemberian tanah, sertifikat, dan modal usaha kepada setiap
kepala keluarga di Kutim merupakan investasi bagi AFI dalam
rangka merekayasa relasi patron-klien. Salah satu kelemahan
para petani adalah mereka belum mampu mengelola atau
menjual hasil panenan. Hasil panen sering dibeli oleh
tengkulak dengan harga rendah sehingga para petani hanya
mendapatkan keuntungan kecil. Selain itu, para tengkulak ini
sering menawari mereka modal untuk beli pupuk dan bibit

Politik Ambivalensi [ 103 ]


dengan syarat hasil panen dibeli olehnya. Dengan adanya
sistem ijon, maka yang banyak diuntungkan adalah sang
tengkulak. Petani tetap hidup miskin karena mereka tidak
menikmati keuntungan maksimal dari hasil panen.
Oleh karena itu, AFI membuat kebijakan mengatur
sistem produksi yang memroteksi hasil panenan, agar para
petani bebas dari jeratan utang. Dengan adanya kebijakan ini
diharapkan mereka dapat menikmati hasil keuntungan panen
lebih banyak. Tujuan AFI mengatur sistem produksi, agar
masyarakat dapat bercocok tanam, berkebun atau melaut dan
hasil dari produksi tani dikelola oleh koperasi. AFI membuat
kebijakan yang tampaknya populis dan hal ini diwujudkan
dengan memroteksi dan memerluas pasar, agar para petani
tidak bergantung pada tengkulak atau pengijon. Implikasi
adanya sistem produksi yang diterapkan oleh AFI tersebut,
maka para petani mudah mendapatkan bibit dan pupuk
dengan harga terjangkau. Sistem produksi yang diterapkan
oleh AFI tersebut membuat para petani merasa nyaman dan
terlindungi. Selain itu, mereka mendapatkan untung yang lebih
besar sehingga dapat meningkatkan perekonomian keluarga.

G. Rekayasa Modal Sosial


AFI berupaya memperkokoh gotong-royong masyarakat
dengan menempatkan kader Gerdabangagri di desa-
desa. Semua masalah masyarakat (petani) dicari solusinya
melalui kelompok Gerdabangagri yang dibentuk oleh AFI.
Tampaknya, ide ini diinspirasi oleh Soeharto dengan model
Kelompencapir. AFI menirunya dengan membuat kelompok
Gerdabangagri di setiap desa dengan menempatkan fasilitator/
penyuluh yang digaji khusus dengan tugas mendampingi para
petani atau masyarakat. Fasilitator Gerdabangagri yang ada
di desa inilah yang menjadi ujung tombak AFI dalam rangka

[ 104 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


menginstrumentasi modal sosial. Tugas utama mereka adalah
mendampingi dan mencari solusi bersama atas masalah yang
dihadapi para petani.
Implikasi kebijakan AFI dalam menginstrumentasi
kelompok Gerdabangagri adalah terbentuknya relasi patron-
klien. Tampaknya, AFI ingin menandingi apa yang dilakukan
oleh Syaukani di Kabupaten Kutai yang berhasil mengikat
masyarakat dengan cara memberikan dana pembangunan
Rp. 1 miliar ke desa-desa.51 Tampaknya, kebiasaan masyarakat
menerima uang dari pemerintah (bupati) ini sudah menjadi
budaya pemberian di Kaltim sehingga AFI niscaya melakukan
hal yang sama. Tampaknya, pemberian AFI lebih kreatif, karena
memberdayakan masyarakat bekerja dengan bercocok tanam
atau berbisnis. Bukan hanya itu, AFI juga menerjunkan tim
pendamping (penyuluh) untuk memroteksi petani, khususnya
penjualan hasil panen agar tidak dikuasai para tengkulak.
Oleh karena budaya pemberian (patronase) adalah
keniscayaan dalam masyarakat, maka AFI mau tidak mau
mengikuti kebiasaan itu. Masyarakat sangat mendambakan
adanya ‘putra daerah’ yang mampu mengentaskan kemis­
kinan dan kebodohan. Oleh karena itu, AFI menerapkan
kebijakan memberikan uang insentif kepada para penyuluh
Gerdabangagri. Tenaga penyuluh ini diambil dari alumni
Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian yang didirikan oleh Pemda.
Selain itu, AFI juga merekut para dai yang ditugaskan
ke desa-desa. Tugas para dai yang utama ialah memberikan
pencerahan rohani dan moral kepada masyarakat di pedesaan.
Mereka mendapatkan gaji yang dialokasikan dari APBD.
Mereka bertugas ke desa-desa dan mendapatkan fasilitas

51 Wawancara dengan Sri Wahyuni (lurah), tanggal 13 April 2012 di Desa Pendingin,
Kecamatan Sangasanga-Kaltim.

Politik Ambivalensi [ 105 ]


sepeda motor dalam menjalankan tugas sehari-hari. Selain
itu, bagi masyarakat yang mengalami kesulitan modal, AFI
juga mempersiapkan kader koperasi yang siap memberikan
bantuan penyuluhan dan pinjaman modal usaha. Bantuan
sosial biasanya disalurkan melalui para kader yang digunakan
untuk pembangunan jalan, sekolah, rumah ibadah, kantor
kelurahan, Puskesmas, dan Posyandu .
AFI memahami bahwa masalah yang dihadapi keluarga
dalam menyekolahkan anak ialah mahalnya biaya dan kualitas
pendidikan. Selain itu, AFI juga dihadapkan pada masalah
umum di Kaltim, yaitu kualitas sumber daya manusia yang
rendah sehingga mereka kalah bersaing terhadap kelompok
pendatang dalam dunia kerja. Sebagai bangsawan, AFI harus
memenuhi kebutuhan masyarakat dan tantangan tersebut.
Kalau dia tidak memenuhinya, maka status kebangsawanannya
bisa pudar. Selanjutnya, dia mengatakan sebagai berikut, “Ini
tugas kita. Bagaimana sebisa mungkin berperan membenahi
dunia pendidikan di Kaltim. Mumpung kita diberi kekuasaan,
maka sudah sepatutnya kekuasaan itu digunakan untuk
membela masa depan anak-anak kita.”52
Oleh karena itu, AFI bertekad menyejahterakan masyarakat
Kaltim melalui pendidikan gratis 12 tahun yang diterapkan
mulai dari tingkat Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah
Atas. “Diterapkannya Wajib Belajar 12 tahun, karena Kutim
merasa mampu untuk itu. Ini juga untuk meningkatkan daya
saing kita dengan daerah lain, baik di dalam maupun di luar
Kaltim” kata AFI.53 Dia bertekad mewujudkan pendidikan

52 Pendidikan untuk semua dalam www.awangfaroekishak.com/diakses pada tanggal 31


Januari 2012. Istilah ‘mumpung kita diberi kekuasaan’ menunjukkan sikap AFI yang
menginstrumentasi kekuasaan dalam rangka mengikat masyarakat dengan program
pendidikan. Agenda di balik sikap politik AFI tersebut, dia ingin menciptakan relasi
patronase yang mengikat masyarakat.
53 Ibid.

[ 106 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


gratis bagi semua siswa/siswi sesuai amanat UUD 1945 dan
UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Langkah-langkah kebijakan konkret yang diambil oleh AFI
ialah mengalokasikan dana pendidikan 20% dari APBD. Pada
tahun 2006 dialokasikan dana sebesar Rp. 202 miliar dan tahun
2007 sebesar Rp. 262 miliar.54
Ternyata beasiswa tidak hanya diberikan kepada siswa saja,
tetapi juga kepada mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian.
Pemberian beasiswa kepada mahasiswa dimaksudkan untuk
menunjang tersedianya tenaga ahli yang terampil di bidang
agrobisnis. Tampaknya, AFI mempersiapkan kader orang-
orang yang setia dengannya yang kelak menjadi ujung tombak
Gerdabangagri. Beasiswa kepada mahasiswa diberikan
sampai mereka lulus sarjana, dan mereka siap ditempatkan
kerja oleh Pemda sebagai tenaga penyuluh pertanian di desa-
desa. Selain itu, AFI juga menerapkan kebijakan pemberian
beasiswa kepada mahasiswa berprestasi dan kurang mampu ke
jenjang S1, S2, dan S3 sebanyak 2.222 orang.55 Tindakan AFI
memberikan beasiswa kepada mahasiswa mengindikasikan
adanya budaya pemberian yang dialokasikan melalui APBD.
Selain memberikan beasiswa kepada para siswa dan
mahasiswa, AFI juga memberikan insentif kepada para guru
dan dosen. AFI menerapkan kebijakan tersebut kepada semua
guru Sekolah Dasar di Kutim dengan kriteria sarjana. Kepada
guru yang belum lulus sarjana, diberikan beasiswa melanjutkan
studi sarjana. Sedangkan bagi mereka yang sudah sarjana,
diterapkan kebijakan agar mereka bisa mengikuti sertifikasi.
Sementara itu, dosen S1 yang mengajar di STIPER, diwajibkan
mengambil gelar S2 sebagai persyaratan mengajar. Mereka
yang mengambil studi S2 tersebut dibiayai sepenuhnya oleh

54 Prospek Pengembangan Kawasan Industri Maloy.


55 Ibid.

Politik Ambivalensi [ 107 ]


Pemda Kutim. Guru dan dosen yang sudah lulus sertifikasi
dan berprestasi selain menerima gaji pokok sebagai PNS,
juga diberi insentif sebesar Rp. 700 ribu sampai Rp. 1,2 juta
per bulan. Hal ini dilakukan AFI dalam rangka memotivasi
mereka agar mengajar dengan baik dan berkualitas.56 Di balik
pemberian insentif tersebut, tersirat keinginan AFI untuk
mengikat relasi pataronase terhadap para guru dan dosen.
AFI merekayasa utang budi terhadap guru dan dosen sebagai
investasi yang kelak dimanfaatkannya dalam Pilkada.
Selain memberikan beasiswa dan insentif kepada guru
dan dosen, AFI juga memberikan mobil kepada setiap kepala
sekolah. Sedangkan untuk guru dan dosen, disediakan
kendaraan bermotor. Bagi mereka yang menjadi penyuluh
pertanian, AFI memberikan motor dalam rangka melancarkan
tugas penyuluhan dan pendampingan kepada petani.57
Pemberian mobil dan motor untuk guru, dosen, dan tenaga
penyuluh mengindikasikan adanya budaya pemberian yang
dikemas dalam program pendidikan. Dalam hal ini AFI, ingin
mencitrakan dirinya sebagai bangsawan yang dermawan
sehingga terwujud ikatan relasi patronase antara AFI dengan
para guru dan dosen.
Pemberian beasiswa, insentif, dan kendaraan bermotor
bagi para guru, dosen, dan siswa tidak bisa menjadikan mereka
pandai tanpa sarana dan prasarana yang memadai. Oleh karena
itu, dalam rangka meningkatkan infrastruktur pendidikan,
AFI menjalankan program pembangunan sekolah baru di
desa-desa. Sekolah-sekolah baru dibangun secara terpadu,
mulai dari SD, SMP, SMA hingga Perguruan Tinggi. Selain

56 Ibid. Apa yang dilakukan oleh AFI tampaknya legal dan sesuai dengan peraturan, tetapi
di balik hal tersebut terselubung adanya ikatan ‘utang budi’ yang direkayasa oleh AFI.
Kelak AFI akan menggunakan ‘utang budi’ ini sebagai bagian dari strategi politik dalam
rangka pemenangan Pilkada.
57 Ibid.

[ 108 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


itu, sekolah yang rusak direnovasi agar layak dijadikan tempat
belajar untuk anak-anak. Selain itu, AFI juga membangun
Sekolah Menengah Atas Unggulan (berasrama) berstandar
nasional/internasional.58
Untuk memajukan pendidikan tinggi, AFI membangun
kampus STIPER sebagai tempat kaderisasi para penyuluh
pertanian, peternakan, perikanan, dan perkebunan. Lulusan
STIPER diharapkan menjadi penyuluh atau pegawai Pemda
dengan tugas khusus mendampingi masyarakat dalam bertani,
beternak, budi daya ikan, dan berkebun. Mereka diharapkan
kelak menjadi mediator antara AFI dengan masyarakat dalam
mengimplementasikan program Gerdabangagri. Selain itu,
AFI juga membangun Sekolah Tinggi Agama Islam Sangatta
(STAIS) dengan tujuan untuk mendidik para sarjana agama.
Lulusan dari STAIS ini diharapkan kelak juga menjadi penyuluh
moral (dai) masyarakat di desa-desa. Mereka diharapkan
menjadi juru bicara AFI dan memengaruhi masyarakat agar
setia kepadanya.
AFI juga memberikan bantuan dana pembangunan kepada
sekolah swasta. Di antaranya melalui Yayasan Perguruan
Swasta: SDIT Darussalam, Yayasan Muhammadiyah, dan
Yayasan Al Ma’arif.59 Dana bantuan tersebut dialokasikan dari
APBD. Dalam hal ini, AFI mencitrakan dirinya sebagai figur
dermawan yang menyantuni masyarakat. Melalui pemberian
bantuan sarana dan prasarana tersebut, AFI menginvestasikan
hutang budi kepada masyarakat.
Pasca kekalahan elite (AFI) dalam pemilihan gubenur
(tidak langsung), tampaknya, dia mulai mengoreksi diri
bahwa untuk berkompetisi dalam pemilihan gubernur

58 Ibid.
59 Ibid.

Politik Ambivalensi [ 109 ]


2003 modal finansialnya belum cukup. Selain itu, AFI juga
kehilangan posisinya sebagai Bupati Kutim. Mahyudin
menganggapnya mengundurkan diri sebagai bupati ketika
mencalonkan diri dalam pemilihan gubernur. Namun, AFI
menyanggah anggapan bahwa dia maju sebagai kontestan
dalam pemilihan gubernur berarti mengundurkan diri sebagai
bupati. Selanjutnya, AFI mengatakan, sebagai berikut, “Saya
luruskan dan tegaskan, saya tidak pernah memundurkan diri
dari jabatan Bupati Kutim.”60 Memang menurut ketentuan
Mendagri, seorang bupati harus mengundurkan diri, bila
mencalonkan diri sebagai gubernur (kepala daerah). Oleh
karena itu, AFI menerapkan strategi untuk merebut kembali
jabatan Bupati Kutim, sebagai berikut:

H. Merajut Patronase
AFI membutuhkan dukungan dari masyarakat Kutim
sebagai bentuk legitimasi terhadap dirinya pasca-kekalahan
dalam pemilihan gubernur 2003. Untuk mendapatkan
dukungan masyarakat Kutim tidaklah sulit baginya karena
rajutan patronase yang terbentuk sudah mengakar sampai
ke desa-desa. Hal ini terbukti, dalam waktu relatif singkat
AFI berhasil mendapatkan dukungan ribuan orang. Langkah
awal yang diambil oleh AFI dalam rangka merebut kekuasaan
ialah dengan mengaktifkan kembali relasi patron-klien yang
sudah dirajut di desa-desa. Selain itu, AFI merekayasa relasi
patron-klien lokal dengan sebutan Kerukunan Warga Kutim
Pro-Pembaharuan (KWKPP).
“Terbentuknya KWKPP sebenarnya jauh hari sebelum
Pilkada digelar, yakni kurang lebih satu setengah tahun.
Selama itu, KWKPP menghimpun aspirasi dari masyarakat

60 Sang Entrepreneur yang Visioner dalam www.awangfaroekishak.com/ diakses pada


tanggal 31 Januari 2012.

[ 110 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


bawah dan berhasil menarik puluhan ribu anggota.
Lembaga swadaya masyarakat ini juga menghimpun
aspirasi di Kutim, apakah Awang Faroek masih dikehendaki
memimpin Kutim. Ternyata mayoritas masyarakat, mulai
dari kota sampai ke pelosok, mendukung kepemimpinan
Awang Faroek dan siap memperjuangkannya.”61
Anggota KWKPP terdiri dari tokoh masyarakat, adat,
agama, dan kader Gerdabangagri. KWKPP dibentuk satu
setengah tahun sebelum Pilkada Kuti. Mereka mendesak
AFI untuk bersedia dicalonkan sebagai Bupati Kutim. AFI
mengatakan sebagai berikut:
“Ini bentuk tanggung jawab saya, karena setelah Kutim saya
tinggalkan selama dua tahun, ternyata pembangunan tidak
terlaksana dengan baik dan grand strategy Gerdabangagri
yang merupakan pijakan pembangunan di Kutim tidak
dijalankan. Itulah yang mendorong saya untuk kembali dan
menerima permintaan masyarakat Kutim untuk memimpin
daerah ini lagi.”62

I. Menggalang Dukungan Parpol


Belajar dari kegagalan dalam pemilihan gubernur (2003),
maka AFI mulai menggalang dukungan parpol besar. Sebab,
tanpa dukungan parpol, maka dia akan mengalami kesulitan
untuk menang dalam Pilkada (langsung). Oleh karena itu,
langkah politik AFI berikutnya ialah melobi parpol besar
sebagai pengusungnya dalam Pilkada. Sebab, syarat kontes­
tansi kepala daerah diatur berdasar UU No. 32 tahun 2004
pasal 59 ayat 2, AFI membutuhkan dukungan minimal 15%

61 Langkah yang Tertunda dalam www.awangfaroekishak.com/ diakses pada tangagal 19


April 2012.
62 Ibid., Sang Entrepreneur yang Visioner.

Politik Ambivalensi [ 111 ]


suara anggota DPRD untuk mencalonkan diri sebagai Bupati
Kutim.63
Oleh karena itu, tim sukses mengadakan pendekatan
kepada sembilan partai politik dalam rangka pencalonan
AFI sebagai Bupati Kutim. Partai pendukung AFI dalam
Pilkada 2005 antara lain PDI-P, PKB, PAN, PPP, PDS, PNBK,
PIB, PKPB, dan Partai Pelopor. AFI berpasangan dangan
Isran Noor (etnis Banjar). Tampaknya, AFI hanya diusung
oleh gabungan partai kecil, maka strategi politik tim sukses
untuk memenangkan kontestasi Pilkada Kutim dengan cara
menginstrumentasi jaringan patronase.

J. Safari (Blusukan) dari Desa ke Desa


Tim sukses mengaktifkan jaringan patronase dalam
masyarakat dengan cara safari dari desa ke desa. Empat bulan
sebelum Pilkada dimulai, tim sukses sudah mengaktifkan
jaringan patronase di 11 kecamatan Kutim yang terdiri dari
76 desa.
“Sejauh ini telah berdiri sekitar 17 posko AFI di seluruh
kecamatan di Kutim. Pembagiannya, terdapat minimal satu
posko dukungan untuk setiap pedesaan sampai ke tingkat RT.
Bahkan untuk lebih mengefektifkan kinerja bagian humasnya,
tim ini membekali anggotanya dengan kamera digital, laptop,
dan fasilitas pendukung lainnya. Posko-posko itu belum termasuk
posko pekerja, perusahaan dan multietnis secara spontan yang
juga menyebar di seluruh Kutim,” tambah Hendrik, Ketua
Kesekretariatan G-Centre.64

63 UU No. 12 tahun 2008 pasal 59 ayat 2: “Partai politik atau gabungan parpol sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat mendaftarkan pasangan calon apabila memenuhi
persyaratan perolehan sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi
DPRD atau 15% (lima belas persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan
umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan.”
64 Menengok Kesibukan Tim Sukses Calon Bupati Kutim,dalam www.kaltimpost.web.id/
diakses pada tanggal 20 Juni 2011.

[ 112 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


Kutipan dari Kaltimpost di atas menunjukkan dengan
jelas bahwa jaringan patronase yang dirajut oleh AFI masih
mengakar kuat sampai ke tingkat RT. AFI membutuhkan
dukungan suara minimal 31% untuk menang dalam Pilkada
Kutim 2005. Oleh karena itu, dia membentuk posko untuk
memobilisasi dukungan kelompok multietnis.65 Pendekatan
multietnis berperan penting dalam rangka memobilisasi
kelompok pendatang, seperti etnis Jawa, Batak, Bugis,
Makassar, Toraja, Mandar, dan Tionghoa.
Dengan kata lain, tim sukses memanfaatkan strategi
mobilisasi etnis untuk menunjang pemenangan AFI. Tim
sukses bersafari dari desa ke desa untuk bertemu dengan ketua
adat, lurah, camat dan tokoh masyarakat yang merupakan
klien AFI. Mereka sudah mengenal AFI melalui kebijakan
revitalisasi pertanian dan sekolah gratis yang sudah mereka
nikmati. Selain itu, AFI adalah bangsawan Kutai yang sudah
berdedikasi membangun Kutim sehingga masyarakat sangat
mendukungnya.
Untuk meyakinkan masyarakat agar memilihnya dalam
Pilkada 2005, AFI mengaktifkan jaringan patronase yang sudah
dirajut. Dia bersafari dari desa ke desa untuk bersilaturahmi
dengan tokoh adat dan agama, sebelum kontestan lain
berkampanye dalam Pilkada. Isu yang ditawarkan oleh AFI
dalam kunjungan ke desa-desa tersebut ialah pengentasan
kemiskinan dan pendidikan gratis dengan alokasi dana APBD
sebesar 20%. Program pendidikan gratis dari Sekolah Dasar
sampai Sekolah Menengah Atas akan dilanjutkan. Selain itu,
untuk menyejahterakan masyarakat, program AFI berfokus
pada agrobisnis dengan mengaktifkan Gerdabangagri yang
macet selama dua tahun.

65 Wawancara dengan AFI pada tanggal 11 Agustus 2009 di Samarinda.

Politik Ambivalensi [ 113 ]


Hasil Pilkada Kutim 2005 sudah dapat diprediksi bahwa
AFI yang berpasangan dengan Isran Noor (etnis Banjar)
akan unggul, karena dia sudah menguasai lebih dari 50%
daerah pemilihan sebelum Pilkada dilangsungkan. Upaya
tim sukses mengaktifkan patronase (memobilisasi massa)
dengan cara memberikan bantuan sosial dan bersafari dari
desa ke desa berdampak pada peningkatan dukungan suara
terhadapnya. Hasil akhir perolehan suara Pilkada Kutim 2005,
sebagai berikut AFI-Isran Noor memperoleh 66.192 suara atau
sekitar 63%, disusul pasangan Mahyudin-Ardiansyah dengan
perolehan 31.706 suara atau sekitar 30%, Abdal Nanang-
Mujiono memperoleh 4.247 suara atau 4% dan Irysadi-Siti
Nur Aeni memperoleh 1.416 suara atau sekitar 1%.66
Dengan demikian, pasangan AFI-Isran Noor menang
secara mutlak (63%). Hal tersebut menunjukkan bahwa dia
masih memiliki basis massa yang kuat pada tataran pedesaan.
Dalam sistem one man, one vote, one value, mobilisasi massa
dengan cara mengaktifkan relasi patron-klien terbukti sangat
efektif untuk memengaruhi pemilih yang masih terikat pada
tradisi atau adat. Pengaruh ketua adat atau tokoh masyarakat
masih kuat, anggota masyarakat akan memilih kontestan
sesuai yang dipilih oleh ketua adat atau tokoh masyarakat.

66 Hasil Pilkada Kutim 2005, dalam www.suarakaryaonline.com/ diakses pada tanggal


21 Juni 2011. Kemenangan AFI secara mutlak (63%) membuktikan kuatnya jaringan
patronase yang telah dibangun oleh tim sukses pada ranah massa. Selain itu, untuk
menguatkan jaringan tersebut, AFI ‘memupuknya’ dengan bantuan sosial yang menyentuh
kebutuhan dasar masyarakat. Hal ini—khususnya instrumentasi etnis Kutai dan Banjar
yang merupakan penduduk asli Kaltim— tampaknya kurang diperhatikan oleh kandidat
lain. Kandidat pesaing AFI sebagai kelompok pendatang merasa yakin akan menang,
karena jumlah mereka mayoritas. Namun, dalam politik segala sesuatu bisa berubah
sesuai kepentingan elite politik. Pesaing terkuat AFI, Mahyudin, memang pimpinan
DPD Golkar Kutim dan petahana. Namun, dia lupa bahwa AFI adalah seniornya dan
arsitek pemekaran Kutim. Masyarakat lebih dekat dengan AFI, karena dia telah berkarya
nyata membangun Kutim.

[ 114 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


Akhirnya, AFI dilantik kembali sebagai Bupati Kutim untuk
kedua kalinya pada tanggal 13 Februari 2006.

Politik Ambivalensi [ 115 ]


BAB IV
AMBIVALENSI NALAR POLITIK:
STUDI DUA PILKADA KALTIM
(2003 dan 2008)

P
ada Bab III, penulis telah memaparkan bagaimana
seorang elite politik dihadapkan dengan dua kondisi
yang tidak bisa dihindarinya. Pertama, penetapan
sebagai bupati oleh Mendagri, dan kedua, Pilkada langsung.
Implikasi AFI ditetapkan sebagai Bupati Kutim adalah
timbulnya konflik antarelite. Namun, ketika ia mencalonkan
diri dalam Pilkada langsung (bupati), konflik bisa diredam.
Ia mencitrakan diri sebagai seorang demokrat yang menaati
regulasi Undang-Undang Pilkada yang mengharuskan adanya
dukungan parpol dan pemilihan dari masyarakat secara
langsung. Namun, ia juga memanfaatkan nalar kebangsawa­
nannya dalam rangka mengikat batin masyarakat (dengan cara
patronase). Menyikapi dua kondisi tersebut, ia memadukan
dua nalar, yakni nalar politisi dan nalar aktivis/demokrat.
Pada Bab IV ini penulis akan memaparkan cara dua nalar
di balik pemenangan elite dalam Pilkada Gubernur 2008 di
Kaltim secara bersamaan. Pencampuran dua nalar ini mewujud
dalam pemberian-penerimaan yang divonis sebagai tindakan
money politics.

[ 116 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


A. Fenomena Empiris tentang Praktik Money Politics dan
Patronase
Selama dua tahun AFI merajut jalinan patronase dengan
mem­b erikan materi dan non-materi kepada masyarakat
Kutim. Dia menganggap dirinya telah memiliki modal
sosial yang kuat. Oleh karena itu, dia pun percaya diri untuk
mengi­kuti kontestasi dalam pemilihan gubernur 2003 (tidak
langsung). Dia juga mengandalkan pengalamannya selama 10
tahun sebagai anggota DPR dan lobi-lobi elite politik di ranah
nasional. Oleh karena jaringan AFI secara nasional luas, maka
dia yakin akan memenangkan pemilihan gubernur. Hal ini
juga ditopang dengan kepemilikan modal finansialnya yang
cukup untuk berkompetisi dalam kontestasi tersebut.
Namun, kalkulasi politik AFI tersebut meleset. Hal ini
ditengarai dengan belum adanya dukungan parpol besar
seperti Golkar atau PDI-P dalam parlemen. Dukungan parpol
besar tersebut menentukan kemenangan, karena pemilihan
gubernur berdasarkan Sidang Paripurna DPRD. Artinya, AFI
memerlukan dukungan konkret anggota parlemen, karena
tanpa mereka dia tidak akan terpilih sebagai kepala daerah.
Tampaknya, dia hanya mengandalkan dukungan parpol kecil.
Sementara itu, Syaukani selaku Ketua DPD Golkar Kaltim
tidak memberikan dukungan terhadapnya. Demikian juga
dengan PDI-P yang sudah memiliki kontestan tersendiri.
Pesaing terberat AFI ialah pasangan Suwarna dan Yurnalis
Ngayoh yang merupakan petahana yang didukung oleh Golkar
dan Fraksi TNI. Menghadapi realita tersebut, AFI membentuk
tim sukses dalam rangka pemenangan pemilihan Gubernur
Kaltim. Tim sukses mendapat tugas utama melobi anggota
DPRD agar mereka memberikan dukungan kepada AFI.
Mereka berhasil melobi anggota PAN dan PKB, agar suara
mereka tidak ‘terjual’ ke kontestan lain. Dukungan PAN dan

Politik Ambivalensi [ 117 ]


PKB terhadap AFI tidak gratis, tetapi berdasarkan transaksi
politik.1 Dalam hal ini AFI ‘membeli dukungan’ PKB dan
PAN agar mencalonkan dirinya. Akhirnya, AFI berpasangan
dengan Abu Thalib Chair yang didukung oleh PAN dan PKB
memantapkan diri maju dalam Pilkada 2003.2 Namun, upaya
yang dilakukan oleh tim sukses terhadap anggota Golkar
dan PDI-P kurang maksimal. “Saya kalah dalam pemilihan
gubernur 2003, karena kurang gizi,” katanya.3
Istilah ‘kurang gizi’ yang disampaikan AFI menunjukkan
bahwa dia kalah bersaing terhadap Suwarna karena faktor
kurangnya ‘mahar politik’ yang diberikan kepada anggota
DPRD. Suwarna selaku petahana memiliki relasi yang kuat
terhadap anggota DPRD (Golkar dan PDI-P) dan memiliki
modal yang besar. ”Semua kandidat dalam pemilihan Gubernur
Kaltim 2003 melakukan tindakan money politics, hanya Awang
kurang besar memberikan uang kepada anggota DPRD sehingga
kalah terhadap Suwarna.”4 kata salah satu anggota tim sukses.
Tampaknya, indikasi money politics dalam pemilihan
Gubernur Kaltim 2003 semakin terkuak ketika tim sukses
Suwarna memberikan uang kepada anggota DPP PDI-P, agar
mereka mewajibkan kadernya mendukung Suwarna. Hal ini
yang menyebabkan Theo Syafei mengajukan pengunduran
diri, tetapi pengunduran diri Theo ditolak oleh pimpinan
PDI-P. Kutipan di bawah ini memberikan gambaran tentang
adanya praktik money politics di balik kemenangan Suwarna:

1 Menurut RTK (anggota tim sukses AFI), semua kontestan melakukan money politics
dengan cara ‘membeli suara’ anggota DPRD.
2 Sang Enterpreneur yang Visioner dalam www.awangfaroekishak.com/diakses pada tanggal
19 April 2012. Tidak terungkap jelas berapa jumlah uang yang diberikan tim sukses AFI
kepada elite PKB dan PAN.
3 Wawancara dengan AFI tanggal 11 Agustus 2009 di kantor Gubernur Kaltim, Samarinda.
4 Wawancara dengan RTK , anggota tim sukses AFI, pada Juni 2009 di Yogyakarta.

[ 118 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


“Salah satu penyebab kekalahan Imam Mundjiat (PDI-P)
diduga karena kedatangan Theo dan Agnita ke Surabaya,
bertemu sebagian anggota F-PDI-P Kaltim. Keduanya
mengaku diutus ketua umum DPP PDI-P, Megawati
Soekarnoputeri dengan menyampaikan bahwa F-PDI-P
Kaltim harus mendukung Suwarna. Pasca-terpilihnya
Suwarna sebagai Gubernur Kaltim, beredar foto copy
tanda terima [yang] ditandatangani ketua DPRD yang juga
Sekretaris DPD PDI-P Kaltim, Sukardi Jarwo Putro, yang
menyebutkan menerima Rp 6 miliar dari Suwarna untuk
dana operasional Theo-Agnita. Dan selanjutnya, kasus itu
bergulir ke Mabes Polri.”5
Dari paparan koran Tempo di atas, tampak jelas adanya
tindakan money politics yang dilakukan oleh tim sukses
Suwarna untuk membeli dukungan anggota DPRD (PDI-P).
Dukungan PDI-P terhadap Suwarna menentukan kemenangan
dalam pemilihan gubernur sebab, semua suara anggota DPRD
Golkar sudah dikuasai oleh Syaukani. Oleh karena itu, semua
anggota DPRD Golkar dikarantina oleh Syaukani di Pulau
Kemala dengan tujuan agar suara mereka tidak ‘terjual’ ke
kontestan lain.6 Dalam menyikapi situasi seperti ini, sangat
sulit bagi Awang dan tim sukses untuk mendapatkan suara
50% plus 1 untuk menang dalam pemilihan Gubernur Kaltim.
Akhirnya, Sidang Paripurna DPRD Kaltim tanggal 2 Juni 2003
memutuskan pemilihan gubernur/wakil gubernur, dengan
hasil sebagai berikut:
Suwarna Abdul Fatah dan Yurnalis Ngayoh mendapat 24
suara. AFI dan Abu Thalib Chair (PAN dan PKB) mendapat

5 “PDI Perjuangan Tolak Pengunduran Diri Theo Syafei” dalam www.korantempo.com/23


Juli 2003.
6 Wawancara dengan RTK, Juni 2009 di Yogyakarta.

Politik Ambivalensi [ 119 ]


14 suara. Imam Mundjiat dan Hifnie Syarkawie (PDI-P)
mendapat 7 suara.7
Dengan adanya keputusan hasil Sidang Paripurna DPRD
tersebut, maka Suwarna dan Yurnalis terpilih kembali sebagai
gubernur dan wakil gubernur periode 2003-2008, karena
telah memenuhi aturan pemilihan kepala daerah. Prediksi
teoretis, pasangan AFI-Abu akan menang dalam pemilihan
gubernur tersebut jika didukung Golkar. Meskipun dia
berpengalaman dalam berpolitik dan hal ini dibuktikan
dengan 10 tahun menjadi anggota DPR (1987-1992 dan
1992-1997) serta merupakan kader senior Golkar Kaltim,
akan tetapi, pengalaman politik dan patronase yang sudah
dirajutnya baik secara lokal maupun nasional belum mampu
menandingi kekuatan Suwarna selaku petahana.
Lobi-lobi tim sukses Suwarna efektif, dan hal ini terwujud
ketika para anggota DPRD Golkar dikarantina di pulau Kemala
(Tenggarong). Syaukani selaku Ketua DPD Golkar memimpin
langsung karantina anggota DPRD Golkar. Tindakan
Syaukani tersebut sepertinya balas dendam terhadap AFI,
karena AFI menginisiasi pemekaran Kutim yang dianggap
merugikannya. Selain itu, pertemuan antara tim sukses dengan
anggota DPRD PDI-P di Batu-Malang sangat memengaruhi
perolehan suara Suwarna. Para anggota DPRD tersebut diberi
uang muka sebagai jaminan untuk memberikan dukungan
terhadap Suwarna. Pertemuan tersebut jelas mengindikasikan
adanya money politics sehingga menimbulkan polemik yang
berkepanjangan.8
Untuk menelisik strategi pemenangan AFI pasca-kegagalan
dalam pemilihan gubernur 2003, perlu kita pahami nalar elite

7 Suwarna Terpilih Jadi Gubernur Kaltim 2003-2008 dalam www.kaltim.go.id/2 Juni 2003.
8 “Theo Syafei dan Korupsi” dalam www.suarapembaruan.com/19 Juni 2003.

[ 120 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


dalam memengaruhi perilaku masyarakat. Tampaknya, AFI
telah belajar dari kegagalan pemilihan gubernur 2003 yang
dilaksanakan berdasarkan hasil Rapat Paripurna DPRD. Oleh
karena itu, AFI mulai mempersiapkan diri dengan matang
untuk berkontestasi dalam Pilkada (2008) yang dilaksanakan
dengan cara pemilihan langsung oleh masyarakat. Strategi
yang ditempuh AFI dalam memengaruhi masyarakat
pedalaman atau pesisir adalah dengan memanfaatkan nalar
kebangsawanannya. Sebab, pada umumnya masyarakat
pedalaman dan pesisir masih sangat menghormati seorang
bangsawan.
Agar kebangsawanan AFI berkharisma di mata mereka,
dia menggulirkan program sekolah gratis 12 tahun. AFI sebagai
bangsawan ingin menjawab kebutuhan masyarakat. Program
sekolah gratis 12 tahun ini membidik segmen kelompok
menengah ke bawah, sebab jumlah mereka lebih dari 50%9
penduduk Kaltim. Program sekolah gratis 12 tahun ini hanya
sebagai stimuli untuk memengaruhi masyarakat agar mereka
tertarik pada AFI. Langkah konkret yang diterapkan AFI
dalam memengaruhi masyarakat adalah sebagai berikut:

1. Mengikat Patronase dengan Masyarakat Pedalaman


dan Pesisir
Citra AFI agak pudar pasca-kekalahannya dalam pemi­
lihan gubernur 2003. Dia menebusnya dengan tebar pesona
melalui pemberian bantuan sosial ke masyarakat. Ketika AFI
menjabat sebagai Bupati Kutim (2005), dia memanfaatkan
fasilitas Pemda Kutim dan dana APBD dengan argumen
menye­j ah­t erakan masyarakat. Sasaran patronase AFI
adalah masyarakat pedalaman dan pesisir yang bermukim
di 14 Kabupaten/Kota. AFI berupaya menguasai massa

9 BPS, Kalimantan Timur dalam Angka 2007.

Politik Ambivalensi [ 121 ]


melalui ormas yang didirikannya—KALIMA—dengan isu
utama membebaskan masyarakat dari masalah kemiskinan,
kebodohan, pengangguran, perusakan lingkungan, dan
kesehatan.
AFI berupaya menguasai 50% suara penduduk yang ber­
diam di kabupaten. Untuk itu, ia memulai blusukan (bersa­fari)
lebih awal satu tahun dibanding kandidat lain.10 Sebagian besar
masyarakat Kaltim berdomisili di Balikpapan, Samarinda,
dan Kutai Kartanegara, dan ia memulai penerapan sekolah
gratis 12 tahun di Kutim. Setelah program ini berhasil, AFI
blusukan ke Bontang dan Berau. Selanjutnya, dia bersafari
dan memberikan dana bantuan sosial ke Tarakan, Nunukan,
Bulungan, dan Malinau. Secara formal, AFI melakukan
safari-safarinya itu selaku Ketua Dewan Pendidikan Kaltim.
Namun, agenda sesungguhnya ialah merajut relasi patron-
klien dengan cara bertemu langsung tokoh adat, agama, dan
masyarakat. Dalam kesempatan-kesempatan itu, ia tidak
hanya menyosialisasikan sekolah gratis 12 tahun11, tetapi juga
memberikan bantuan sosial berupa materi dan non-materi.
Tampaknya, strategi blusukan tersebut secara eksplisit
bertujuan untuk menarik simpati masyarakat pedalaman
dan pesisir dengan memanfaatkan pemberian materi dan
isu sekolah gratis 12 tahun. Strategi ini tampaknya sangat
cerdik karena dikemas dengan label pembangunan dan
pemberian materi yang menjawab kebutuhan nyata. Hasil yang
diharapkan dari blusukan ke desa-desa tersebut, mewujudnya
citra AFI sebagai ‘putra daerah’ yang mampu membebaskan
masyarakat Kaltim dari kemiskinan dan kebodohan. Tentu
masyarakat tanpa curiga menerima kedatangan AFI sebagai

10 Wawancara dengan AFI di Samarinda.


11 Wawancara dengan AFI, tanggal 11 Agustus 2009 di Samarinda.

[ 122 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


Ketua Dewan Pendidikan Kaltim yang menawarkan solusi
dan bantuan nyata.
Blusukan AFI ke desa-desa tersebut dimaksudkan sebagai
langkah awal sosialisasi pra-kampanye Pilkada Kaltim. 12
Dengan blusukan ke desa-desa, dapat diketahui kebutuhan
nyata dan penerimaan masyarakat terhadapnya. Tampaknya,
80% masyarakat yang dikunjunginys merespons positif
program sekolah gratis 12 tahun tersebut, seperti yang telah
dilakukan di Kutim. Tidak ada kesulitan bagi AFI untuk
meme­ngaruhi masyarakat dengan isu sekolah gratis dan
bantuan sosial.

2. Patronase dengan Ketua Adat


Oleh karena masyarakat pedalaman/pesisir masih terikat
kuat dengan adat dan agama, maka AFI merajut relasi patron-
klien dengan para tokoh tersebut. Pada umumnya, masyarakat
masih menjunjung tinggi kekerabatan (komunal) dan nilai-
nilai adat, yang bertentangan dengan Pilkada dengan sistem
one man, one vote, one value yang mengedepankan pilihan
individual. Norma yang berlaku dalam masyarakat ialah
bahwa apa yang menjadi pilihan ketua adat atau agama, maka
itulah yang akan menjadi pilihan mereka. Pilihan berbeda
dengan pilihan ketua adat akan mendatangkan konflik atau
sanksi pengucilan. Dengan pendekatan kekerabatan, AFI
selaku bangsawan merajut relasi patron-klien terhadap ketua
adat dan agama.
Tentunya dalam safari ke desa-desa tersebut, AFI didam­
pingi tim KALIMA untuk bertemu tokoh adat, agama, atau
masyarakat selama kurun waktu satu tahun.13 Tampaknya, apa
yang dilakukan oleh AFI tersebut selaras dengan pandangan

12 Ibid.
13 Wawancara dengan AFI pada 11 Agustus 2009 di Samarinda.

Politik Ambivalensi [ 123 ]


Scott. Menurut Scott, untuk menginisiasi dan memelihara relasi
patron-klien diperlukan tatap muka secara intensif. Tujuan
dari pertemuan tatap muka tersebut ialah untuk mengenal
lebih dekat elite kontestan dan sosialisasi program yang dita­
warkan.14 Hal ini diterapkan dalam strategi pemenangan AFI.
Dalam setiap safari ke desa-desa, diharapkan terjalin ikatan
batin antara AFI dengan tokoh masyarakat. Simbolisasi adanya
ikatan batin diwujudkan melalui pemberian bantuan sosial
berupa uang dan barang sebagai tanda silaturahmi.
Ada empat sasaran yang dikunjungi oleh AFI dalam
rangka menjalin relasi dengan tokoh adat atau agama.
Pertama, safari ke kabupaten Berau dan kota Bontang. Kedua
kabupaten tersebut merupakan daerah yang terdekat dengan
Kutim. Berau terletak di sebelah utara Kutim dan Bontang di
sebelah selatan Kutim. Oleh karena AFI bersafari atas nama
Ketua Dewan Pendidikan Kaltim, maka langkah pertama
dalam setiap kunjungannya adalah mendatangi kantor DPRD,
bupati, Dewan Pendidikan Kabupaten, dan tokoh adat. Pada
kunjungan ke DPRD, AFI memberikan himbauan agar
DPRD membuat kebijakan mengalokasikan anggaran dana
APBD sebesar 20% untuk pendidikan gratis bagi masyarakat.
Sedangkan kunjungan ke bupati dan tokoh adat, isu yang
disampaikan adalah pentingnya sekolah gratis selama 12 tahun
bagi anak-anak. Hal ini hanya mungkin dilaksanakan bila
AFI menjadi kepala daerah. AFI memohon dukungan tokoh
adat dan para pemimpin daerah atas rencana pencalonannya
sebagai Gubernur Kaltim. Untuk mengikat relasi antara tokoh
adat dan agama dengan AFI, maka KALIMA memberikan
materi. Dalam hal ini, AFI menginvestasikan ‘hutang budi’
kepada masyarakat. Ketika AFI mencalonkan diri dalam

14 Op. cit., Patron-Client Politics, hlm. 91.

[ 124 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


Pilkada, relasi patron-klien tersebut berubah menjadi duku­
ngan suara baginya.
Kedua, safari ke Tarakan. Di kota inilah AFI dibesarkan.
Dalam hal ini, AFI memanfaatkan relasi pertemanan sebagai
modal sosial. Selain itu, banyak kerabat dan relasinya, juga
kolega ayahnya bermukim di Tarakan sehingga kedatangannya
dengan membawa misi pendidikan gratis disambut dengan
tangan terbuka. Dari Tarakan, rombongan melanjutkan safari
ke Nunukan, Bulungan, dan Malinau untuk menyosialisasikan
sekolah gratis 12 tahun. Ketiga daerah tersebut merupakan
daerah tertinggal dari segi pendidikan, ekonomi, sarana, dan
prasarana. Tampaknya, kedatangan tim safari AFI membawa
harapan baru, khususnya bantuan sosial dan pendidikan gratis.
Seperti yang terjadi di Tarakan, rombongan juga disambut
dengan ramah, karena apa yang mereka sampaikan merupakan
jawaban atas kebutuhan masyarakat. Dalam setiap safari ke
daerah AFI mengatakan, “Kalau saya terpilih sebagai Gubernur
Kaltim, maka saya akan menggratiskan biaya sekolah selama
12 tahun.”15 Masyarakat Nunukan, Bulungan, dan Malinau
merupakan basis masyarakat Dayak yang masih menjunjung
tinggi kekerabatan dan pentingnya pendidikan. Oleh karena
itu, AFI memanfaatkan budaya pemberian (uang, barang,
dan jasa) dalam rangka mengikat batin Ketua Adat Dayak.
Dalam sebuah upacara adat, AFI ‘diadati’. Konsekuensinya,
seluruh masyarakat Dayak akan mendukungnya, dan dia harus
konsisten memenuhi janjinya mewujudkan sekolah gratis 12
tahun serta membangun sarana dan prasarana.
Ketiga, safari ke Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kutai
Barat. Kutai Kartanegara merupakan tempat basis pendu­
kung Syaukani (Golkar) yang menentang pemekaran Kutim.

15 Ibid.

Politik Ambivalensi [ 125 ]


Masyarakat Kutai Kartanegara sangat setia kepada Syaukani,
sekalipun dia ditahan karena kasus korupsi. Mereka masih
tetap setia dan menghendaki Syaukani tetap menjabat sebagai
bupati. Kedatangan tim AFI tidak bisa dilakukan secara
terbuka, karena AFI rival Syaukani. Kroni Syaukani tidak
menghendaki upaya tim safari memengaruhi masyarakat
Kutai Kartanegara. Oleh karena itu, langkah yang ditempuh
oleh AFI ialah mendatangi elite Kutai selaku patron untuk
silaturahmi dan menyampaikan program yang telah diterapkan
di Kutim (sekolah gratis dan Gerdabangagri). Selain itu, AFI
juga mendatangi tokoh adat dan agama untuk silaturahmi dan
sosialisasi program sekolah gratis.
Sebaliknya, safari AFI di Kabupaten Kutai Barat diterima
oleh seluruh lapisan masyarakat dengan tangan terbuka.
Sebagian besar masyarakat Kutai Barat beretnis Dayak yang
menghendaki adanya kemajuan daerahnya. Mereka sangat
mendam­bakan adanya sekolah gratis 12 tahun di daerah.
Mereka menginginkan program tersebut diterapkan secepatnya
di Kabupaten Kutai Barat. Mereka ingin merasakan kemajuan
pendidikan dan fasilitas pendidikan yang memadai, sehingga
anak-anak dapat menempuh pendidikan tanpa kendala biaya.
Pada silaturahmi kepada tokoh adat dan agama, tim KALIMA
menyampaikan bantuan sosial. Bantuan sosial berupa uang
dan barang dimaksudkan untuk mengikat batin mereka agar
mendukung AFI dalam Pilkada.
Keempat, safari ke daerah Pasir, Penajam Paser Utara, dan
Balikpapan. Di ketiga daerah tersebut, AFI menyosialisasikan
kepada tokoh adat Pasir, Bugis, dan kelompok pendatang, bila
dia terpilih sebagai Gubernur Kaltim, maka sekolah gratis
12 tahun akan diterapkan di seluruh Kaltim seperti yang dia
lakukan di Kutim. AFI, selaku Ketua DPPKT, menghimbau
DPRD agar menganggarkan dana APBD sebesar 20% untuk

[ 126 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


pendidikan masyarakat Kaltim. “Diterapkannya Wajib Belajar
12 tahun, karena Kutim merasa mampu untuk itu. Ini juga
untuk meningkatkan daya saing kita dengan daerah lain, baik
di dalam maupun di luar Kaltim,”16 katanya ketika ditanya
wartawan tentang pentingnya Wajib Belajar 12 tahun bagi
masyarakat.
Ternyata, safari-safari yang dilakukan AFI ke kabupaten/
kota tersebut berdampak positif: DPRD Kaltim merespons
dan mengalokasikan anggaran APBD sebesar 20% atau
sekitar Rp. 700 miliar (2007), yang totalnya mencapai Rp.
3,9 triliun.17 Dengan adanya inisiatif yang positif dari DPRD,
maka pelaksanaan sekolah gratis 12 tahun di Kaltim bisa
dilaksanakan.
Argumen yang sering diajukan AFI ialah, kalau semua
kabupaten telah menerapkan wajib belajar 12 tahun dan meng­
alokasikan dana 20% dari APBD, maka sumber daya manusia
Kaltim mampu bersaing terhadap kelompok penda­tang.
Masyarakat akan cerdas dan sejahtera bila pendidikan mereka
tinggi. AFI menceritakan kepada wartawan sebagai berikut
“Karena memang cukup ironis, daerah kaya sumber daya alam,
tapi tak bisa mengelola sumber daya manusia dengan baik.”18
Di balik pernyataan ini, terkandung maksud bahwa dialah
‘putera daerah’ yang memahami dunia pendidikan dan layak
untuk dipilih sebagai kepala daerah.
Sebenarnya, blusukan ke masyarakat pedalaman/pesisir
tersebut dalam rangka inisiasi relasi patron-klien. AFI mena­
warkan solusi mengatasi kebodohan dengan sekolah gratis 12
tahun. Selain itu, secara konkret ia memberi bantuan sosial

16 Pendidikan untuk Semua dalam www.awangfaroekishak.com/diakses pada tanggal 31


Januari 2012.
17 Ibid.
18 Ibid.

Politik Ambivalensi [ 127 ]


berupa pembangunan rumah ibadah, sarana, dan prasarana
di desa. Simbolisasi ikatan batin dalam wujud pemberian
bantuan tersebut merupakan investasi politik yang kelak
dimanfaatkannya untuk memobilisasi massa dalam Pilkada.

3. Menjawab Kebutuhan Masyarakat


Kendala terbesar yang dihadapi oleh AFI ialah adanya
isolasi geografis masyarakat Kaltim. Hal ini mengingat kondisi
geografis Kaltim sangat unik, yakni bahwa sebagian besar
daerahnya dipenuhi hutan. Sebagian daerah di Kaltim berupa
perbukitan dengan pusat pemerintahan di pinggiran Sungai
Mahakam. Pada umumnya, penduduk Kaltim tinggal di
perkotaan, tetapi masih banyak yang menetap di pedalaman
atau perbatasan dan sulit dijangkau melalui transportasi darat.
Dengan memahami komposisi penduduk secara geografis
terse­but, AFI dapat memahami keragaman kebutuhan
masyara­kat. Dengan memahami kebutuhan masing-masing
daerah, maka AFI dapat menawarkan program yang sesuai
kebutuhan masyarakat. Dari paparan kondisi geografis
terse­but, tampaknya masyarakat Kaltim terbagi menjadi
tiga kelompok, pertama, masyarakat petani atau peladang.
Masyarakat petani atau peladang banyak bermukim di
Nunukan, Bulungan, Berau, dan daerah transmigrasi di Kutai
Kartanegara. Masyarakat petani atau peladang masih menjun­
jung tinggi tradisi dan kekerabatan. Dengan adanya budaya
kekerabatan, budaya patronase (pemberian) mendapat lahan
subur untuk berkembang.
Kebutuhan utama para petani atau peladang ialah terpe­
nuhinya bibit, pupuk, modal usaha, dan penjualan hasil panen.
Selain itu, mereka membutuhkan perbaikan ekonomi keluarga,
khususnya untuk menyekolahkan anak. Pada umumnya,
anak-anak yang tinggal di pedalaman tidak berpendidikan,

[ 128 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


karena kurangnya tenaga guru dan sarana pendidikan.19
Masya­rakat petani, peladang atau nelayan sangat terbuka
ter­hadap pemberian bantuan. Siapa saja yang memberikan
ban­tuan konkret untuk perbaikan ekonomi akan diterima dan
didukung. Oleh karena itu, fokus pertama AFI untuk meme­
ngaruhi massa daerah pinggiran ialah dengan cara memberikan
tanah, sertifikat, benih, kemudahan mendapatkan modal, dan
proteksi hasil panen.
Kedua, masyarakat perkotaan. Pada umumnya, masya­
rakat kota berprofesi sebagai pekerja tambang, PNS, atau
wira­swasta. Mereka tinggal di kota (industri) seperti Tarakan,
Bontang, Samarinda, Balikpapan, dan Kutai Kartanegara.
Mereka cenderung berpikir rasional, individualistis, dan
meng­inginkan pemimpin yang mampu membawa perubahan
ekonomi secara konkret. Pada umumnya, penduduk kota
kurang memperhatikan faktor etnisitas dan agama kontestan.
Oleh karena masyarakat kota berpendidikan tinggi, mereka
cenderung berpikir rasional dan kritis. Dalam menentukan
sikap terhadap kontestan, mereka lebih banyak dipengaruhi
opini media elektronik dan cetak. Oleh karena itu, strategi yang
diterapkan AFI untuk memengaruhi masyarakat kota ialah
dengan merekayasa adanya ‘musuh bersama’. Dengan adanya
isu ‘musuh bersama’ diharapkan akan muncul kebutuhan ‘rasa
kekitaan’, dengan penawaran diri AFI sebagai problem solver
atas masalah mereka.

19 Masyarakat yang tinggal di pedalaman pada umumnya kekurangan guru, buku, dan
gedung sekolah yang layak. Dalam mengajar, guru sering merangkap lebih dari satu
kelas. Selain itu, kesejahteraan meraka juga kurang diperhatikan. Untuk menafkahi
hidup sehari-hari seorang guru harus bercocok tanam dengan hasil panen untuk makan
sehari-hari. Biasanya, murid-murid sepulang sekolah diminta membantu guru di sawah.

Politik Ambivalensi [ 129 ]


Gambar 4.1. Peta Kalimantan Timur

Kab. Nunukan

Kota Tarakan

Kab. Bulungan

Kab. Malinau
Kab. Berau

Kab. Kutai Timur

Kota Bontang
Kab. Kutai Kartanegara
Kota Samarinda
Kab. Kutai Barat

Kota Balikpapan
Kab. Penajam Paser Utara

Kab. Pasir

Ketiga, masyarakat pendatang. Mereka pada umumnya


tinggal di daerah tambang, seperti Kutai Kartanegara, Bontang,
Balikpapan, Tarakan, dan Samarinda. Secara sosial, mereka
tersekat-sekat dalam berbagai paguyuban kelompok etnis dan
cenderung kurang menyatu dengan masyarakat lokal. Mereka
membawa nilai-nilai budaya asal ke dalam masyarakat. Hal
ini ditengarai dengan hadirnya warung makan khas daerah,
kesenian daerah, perkumpulan daerah, dan acara budaya.
Kelompok pendatang pada umumnya memiliki pendidikan
dan keterampilan yang lebih dibanding penduduk asli. Dalam
menyikapi kontestan, mereka cenderung memperhatikan
apakah kontestan mampu mendukung keragaman etnis dan
memperbaiki ekonomi secara konkret ataukah tidak. Mereka
menghendaki perubahan nyata, bukan janji-janji. Oleh karena
itu, jejak rekam kontestan sangat memengaruhi keputusan
mereka. AFI rajin blusukan menemui ketua paguyuban dan

[ 130 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


memberikan bantuan berupa uang dan barang. Tawaran
program konkret AFI terhadap masyarakat pendatang berupa
jaminan atas kelancaran bisnis dan rasa nyaman tinggal di
Kaltim.20

B. Nalar Aktivis: Dilema Mahar Politik


Untuk mencalonkan diri dalam Pilkada, seorang kontestan
harus mendapatkan dukungan minimal 15% anggota DPRD.
Dukungan sebesar itu dapat diperoleh dengan mudah apabila
seseorang menjadi calon dari parpol besar. Karena AFI tidak
dicalonkan parpol besar seperti Golkar atau PDI-P, maka dia
dihadapkan dengan realita yang sama pada Pilkada 2003. Di
satu sisi, dia membutuhkan dukungan minimal sehingga harus
membayar ‘mahar politik’, dan di sisi lain dia sadar bahwa
pemberian ‘mahar politik’ melanggar undang-undang yang
berlaku.
Sementara itu, hasil Pemilu 2004 di Kaltim menempatkan
kader Golkar pada posisi pertama dengan 13 kursi di DPRD.
Pada posisi kedua ditempati kader PDI-P dengan tujuh kursi,
PPP memperoleh enam kursi, PAN memperoleh lima kursi,
dan PKS memperoleh empat kursi. Hasil Pemilu anggota
DPRD periode 2004-2009 selengkapnya adalah sebagai
berikut:
Tabel 4.1. Kekuatan Partai Politik di DPRD Kaltim 2004-2009
Periode
No. Partai Politik Ketua Fraksi
2004-2009
1. Golkar 13 kursi Hatta Zainal
2. Demokrat 2 kursi Wibowo Handoko
3. PDI-P 7 kursi Sudarno
4. PKS 4 kursi Zainal Haq
5. PPP 6 kursi Kasriyah

20 Wawancara dengan AFI di Samarinda.

Politik Ambivalensi [ 131 ]


Periode
No. Partai Politik Ketua Fraksi
2004-2009
Darlis Pattalongi (PAN-
6. PAN 5 kursi
Hanura)
Andi Harun (Patriot-
7. Patriot 2 kursi
PDK-PBB)
Syaifuddin (PDS-
8. PDS 1 kursi
Gerindra)
9. PDK 1 kursi
10. PBB 1 kursi
Belum ikut
11. Gerindra
Pemilu
Belum ikut
12. Hanura
Pemilu
13. PKB 3 kursi
TOTAL 45 kursi
Sumber: KPUD Kalimantan Timur, 2004
Dari paparan Tabel 4.1. di atas, tampak bahwa peluang
AFI dalam kontestasi tergantung dukungan gabungan parpol
kecil, di antaranya PPP, PAN, PDS, Demokrat, PDK, PBB, dan
PKB, karena Golkar, PDI-P, dan PKS sudah memiliki kontestan
tersendiri. Untuk mendapatkan dukungan gabungan parpol
tersebut, tim sukses mengadakan ‘transaksi politik’.21 Memang
tidak terungkap ke ranah publik berapa uang yang diberikan
tim sukses kepada elite partai pendukung karena transaksi
tersebut berlangsung secara tersembunyi.

21 Menurut Rinakit, dana yang dibutuhkan untuk menjadi gubernur berkisar Rp. 50-100
miliar, dengan asumsi tersebut ‘pembelian’ dukungan parpol menurut penulis berkisar
antara Rp.1-5 miliar. Pertanyaan kritis yang patut diajukan: dari mana sumber dana AFI
dalam Pilkada 2008? Tim sukses AFI yang kecewa terhadapnya membocorkan bahwa
salah satu sumber dana berasal dari para pengusaha yang memiliki investasi di Kaltim.
Hal ini terindikasi pasca AFI terpilih sebagai gubernur, dia menerapkan mega proyek
pembangunan, yakni jalan tol Samarinda-Balikpapan, pelabuhan Internasional Maloy,
Kaltim Airline, pembangunan Bandara Sepinggan, dan lain-lain.

[ 132 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


Setelah satu tahun bersafari ke daerah-daerah, tiba saatnya
AFI menguasai masyarakat Samarinda. AFI mencari waktu
yang tepat untuk merekayasa opini masyarakat Samarinda
dan sekitarnya. Diperlukan persiapan yang matang, karena
persaingan antarelite lokal sangat ketat. Pesaing terberat Awang
dalam Pilkada 2008 adalah pasangan Amins-Hadi. Amins
sebagai Walikota Samarinda memiliki jaringan birokrasi dan
basis massa pendukung yang kuat. Selain itu, Amins didukung
oleh kelompok Bugis yang menguasai sentra ekonomi dan
transportasi di Samarinda. Sedangkan Hadi merupakan
figur tokoh PKS yang juga memiliki basis massa yang kuat
di Samarinda.
Selain pasangan Amins-Hadi, kuda hitam bagi Awang
adalah Nusyirwan yang merupakan koleganya dalam KALIMA,
tetapi dia keluar dan mencalonkan diri sebagai kontestan
Gubernur dengan dukungan PDI-P, komunitas Banjar, dan
Jawa. Untuk menginisiasi adanya ‘musuh bersama’, Awang
merekayasa opini publik melalui media cetak dan elektronik
dengan memunculkan isu kemiskinan, kebodohan, dan
penjarahan sumber daya alam (SDA). AFI ingin menginisiasi
adanya ‘musuh bersama’, agar terwujud ‘rasa kekitaan’ atau
senasib sepenanggungan. Kondisi masyarakat kota direka­
yasa seolah-olah tidak berdaya menghadapi kemiskinan,
kebodohan, dan penjarahan hasil SDA oleh kelompok
pendatang. Masyarakat membutuhkan solusi yang tepat dan
AFI sebagai ‘putra daerah’ menawarkan program konkret
beasiswa sekolah 12 tahun seperti yang telah dilakukannya
di Kutim.
AFI prihatin atas kebodohan dan kemiskinan yang masih
banyak dialami masyarakat Kaltim. Menurutnya, penduduk
miskin di Kaltim mencapai 300 ribu jiwa lebih pada tahun

Politik Ambivalensi [ 133 ]


2004. Kalau hal ini tidak segera diatasi,22 maka kemiskinan
akan meningkat setiap tahun. Ironinya penduduk miskin
banyak bermukim di daerah yang kaya SDA, seperti kabupaten
Kutai Kartanegara jumlah penduduk miskin mencapai 20%.23
Hal ini mengindikasikan bahwa daerah ini kaya SDA, akan
tetapi kekayaan alam dieksplorasi oleh para pengusaha dari
luar Kaltim tanpa disertai pemberdayaan masyarakat, sehingga
menimbulkan kemiskinan.
Memperhatikan data BPS 2007 tentang tingkat kemiskinan
di Kaltim tersebut, tampaknya ada tiga Kabupaten/Kota yang
menduduki peringkat tiga teratas, yakni: Kutai Kartanegara,
Pasir, dan Samarinda. Oleh karena itu, strategi AFI dalam
memengaruhi massa di tiga daerah tersebut dengan cara
membagi-bagikan materi dan non-materi. Pemberian materi
dan non-materi dikemas melalui dana bantuan sosial, sehingga
terkesan kehadiran AFI sebagai bangsawan yang dermawan
dan ‘putra daerah’ yang peduli terhadap masyarakat. Selain
itu, AFI juga menjalin relasi patron-klien terhadap tokoh adat
dan agama yang memiliki pengaruh besar dalam masyarakat.
Untuk memobilisasi massa perkotaan, AFI memerlukan
adanya ‘musuh bersama’ yang jelas dan dirumuskan secara
konkret. Dengan adanya ‘musuh bersama’ yang direkayasa
sedemikian rupa, maka AFI dengan mudah memanfaatkan
pemberian. Selain itu, dengan dimunculkannya isu penjara­
han SDA oleh kelompok pendatang—mereka seperti telah
menemukan niche (rasa kekitaan) yang senasib sepenang­
gungan. Masyarakat sudah mulai resah dengan semakin
marak­­nya dekadensi moral, kemiskinan, kebodohan, dan
menurunnya kesejahteraan sebagai dampak ekspansi kelom­
pok pendatang.

22 Awang Faroek Ishak, Visi, Misi dan Strategi Pembangunan Kalimantan Timur 2008-2013.
23 Ibid.; BPS, Kalimantan Timur dalam Angka 2007.

[ 134 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


Pemahaman masyarakat terhadap kelompok pendatang
yang diidentikkan ‘penjarah’ penulis temukan melalui wawan­
cara dengan wartawan, aktivis LSM dan pekerja tambang yang
semuanya penduduk asli atau mereka yang sudah lahir dan
menetap di Kaltim. Ungkapan yang sering dilontarkan oleh
masyarakat yang penulis temui ialah, “Orang Jawa (militer)
telah menjarah kekayaan alam Kaltim” dan “Orang Jakarta
mengeruk kekayaan alam Kaltim.”24 Ungkapan seperti ini
sudah terbiasa terdengar dalam percakapan sehari-hari, tetapi
mereka mengendapkannya dalam memori dan alam bawah
sadar. Temuan penulis tentang citra kelompok pendatang yang
diidentifikasikan dengan ‘penjarah’ bertendensi negatif.
Dengan adanya isu ‘penjarah’ dalam memori masyarakat,
maka tim sukses mengolah isu ini menjadi ‘musuh bersama’.
Sebenarnya, isu adanya ‘musuh bersama’ tersebut merupakan
rekayasa opini Dewan Pakar yang dibentuk AFI. Anggota
Dewan Pakar terdiri dari para cendekiawan dengan tugas
utama merancang suatu konsep gerakan Kaltim Bangkit.25
Embrio gerakan Kaltim Bangkit ini sudah dirintis dari Kutim
dengan program unggulan sekolah gratis 12 tahun dan AFI
mencitrakan diri sebagai problem solver.
Esensi dari gerakan Kaltim bangkit ialah bangkitnya
‘putra daerah’ untuk merengkuh kekuasaan yang selama ini
didominasi oleh militer (etnis Jawa). Untuk mengokohkan
posisi AFI sebagai calon gubernur, diperlukan kepeloporannya
dalam mengentaskan kemiskinan dan keterpurukan secara
konkret. Selain itu, Dewan Pakar merancang suatu ormas
yang dinamakan KALIMA. Sebenarnya embrio KALIMA

24 Loc.cit., Wawancara dengan Rudy Koesnandar. Diskusi kelompok aktivis LSM Perempuan
tanggal 13 Agustus 2009 di Samarinda Seberang. Diskusi kelompok dengan mahasiswa
Kutai 26 Agustus 2009 di Yogyakarta.
25 Op.cit., wawancara dengan AFI dan Arifin.

Politik Ambivalensi [ 135 ]


sudah dibentuk sejak AFI merintis karir sebagai Bupati
Kutim. Adapun visi KALIMA adalah “Kalimantan Timur
Sejahtera 2015, dengan terwujudnya kesejahteraan bagi seluruh
masyarakat Kaltim yang bertumpu pada pengembangan sumber
daya terbarukan dengan memanfaatkan sumber daya alam
secara bijaksana.”26
Dari kutipan visi KALIMA tersebut tampak jelas bahwa
AFI menargetkan masyarakat Kaltim akan sejahtera pada
tahun 2015. Visi tersebut menjawab permasalahan kemiskinan,
kebodohan, penjarahan SDA, dan kesehatan. Namun, AFI
menyadari SDA yang bebasis fosil tumbuhan tidak dapat
diperbaharui, sehingga dia memfokuskan pada sumber daya
yang terbarukan (pertanian).
Pada mulanya KALIMA hanya bersifat elitis, tetapi dalam
perkembangannya KALIMA menjadi ormas yang menjabarkan
program AFI.27 KALIMA adalah ormas yang berfokus pada
lima hal, yakni meningkatkan keimanan dan ketaqwaan,
memberantas kemiskinan, memberantas kobodohan,
memberi kesempatan kerja, dan kesehatan. Yang menarik
dalam pendirian KALIMA ini, ditampilkannya isu krusial
yang menjawab kebutuhan masyarakat28 perkotaan. Kelima
isu yang ditawarkan oleh KALIMA tersebut mengakomodasi
semua kebutuhan masyarakat kota.
Tampaknya, Dewan Pakar yang merancang KALIMA
tersebut ingin mencitrakan AFI senasib dan sependeritaan
dengan masyarakat, karena dizalimi oleh kelompok pendatang
yang ‘menjarah’ kekayaan alam Kaltim. Dalam konteks ini,

26 Visi dan Misi KALIMA dalam www.awangfaroekishak.com.


27 Indikasi perubahan dari KALIMA yang bersifat elitis menjadi kekuatan ormas dapat
dibaca dengan lengkap dalam www.awangfaroekishak.com
28 Ormas KALIMA dalam www.awangfaroekishak.com/diakses pada tanggal 18 Februari
2012. Hal ini semakin menguatkan argumen penulis bahwa strategi AFI untuk
menduduki kota berbeda dengan strategi memengaruhi daerah pinggiran.

[ 136 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


AFI diposisikan sebagai figur yang mampu mengatasi masalah
moral, kemiskinan, kebodohan, menciptakan lapangan kerja,
dan kesehatan. Dengan kata lain, AFI direkayasa sebagai
problem solver atas permasalahan yang dihadapi masyarakat
kota.
Ormas KALIMA dideklarasikan pada tanggal 24 Maret
2007 oleh 34 orang yang terdiri dari pendiri dan tokoh
masyarakat dari berbagai daerah. Pendiri KALIMA terdiri
dari enam orang, yakni Awang Farouk Ishak, Prof. Dr. H.
Daddy Ruchiyati, Prof. Dr. H. Siti Muri’ah, Ronald Lolang, H.
Sapari, dan Anjar Wantara.29 Dari keenam pendiri tersebut,
pengaruh AFI dan kelompok cendekiawan Unmul sangat
menonjol, sebagaimana penulis paparkan dalam Bab II bahwa
Awang dirinya memiliki relasi patron-klien yang kuat terhadap
cendekiawan Unmul dan Untag, karena dia pernah menjadi
Dekan Fakultas Ekonomi.30 Relasi patron-klien antara AFI
dengan para cendekiawan Unmul yang telah dirajut sejak muda
diinstrumentasinya dalam rangka merengkuh kekuasaan.
Untuk menindaklanjuti rajutan patronase yang telah
dibentuk AFI di pedalaman dan pesisir, maka dibentuklah
kepengurusan KALIMA. Agar kepengurusan KALIMA efektif
bekerja, maka mereka diberikan dana, barang, dan fasilitas
kantor. Ada sinyalemen bahwa bantuan yang digunakan
oleh KALIMA menggunakan fasilitas Pemda dan dana
para pengusaha yang tidak dilaporkan ke KPUD. Hal ini
terungkap melalui aksi demonstrasi pasca terpilihnya AFI
sebagai gubernur; salah satu tokoh demonstran yang tidak
mendapatkan proyek pembangunan yang dijanjikan oleh AFI.

29 Ibid.
30 Op. cit., Bab III Jejak Rekam AFI.

Politik Ambivalensi [ 137 ]


Mereka kecewa kepada AFI yang dinilai lebih memprioritaskan
pengusaha dari luar Kaltim daripada pengusaha lokal.31
Dengan demikian, KALIMA bukan sekadar gerakan
sosial, tetapi lebih cenderung sebagai ‘kendaraan politik’ AFI
dalam rangka pemenangan Pilkada 2008.32 Praktik pemberian
yang diterapkan oleh AFI dilakukan bersamaan dengan
inisiasi relasi patron-klien yang diorganisir secara struktural
melalui ormas KALIMA. Setelah sosialisasi KALIMA sebulan
berlangsung melalui media massa, maka masyarakat mulai
mengenal AFI secara dekat. Praktik pemberian dilakukan oleh
tim KALIMA, khususnya untuk membiayai operasional kantor
dari tingkat provinsi sampai ke desa-desa. Bentuk pemberian
uang dimaksudkan untuk mengganti uang lelah atau transport
para relawan. Selain itu, untuk menarik simpati masyarakat,
KALIMA mengadakan bakti sosial dan membagi-bagikan
pengobatan gratis, sembako, dan kaus.
Untuk mendapatkan legitimasi masyarakat, AFI memer­
lukan dukungan semua kelompok etnis dan agama di Kaltim.
Yang menjadi permasalahannya, AFI hanya didukung oleh
etnis Kutai dan Banjar yang bermukim di Kutim, Kubar, dan
Kutai Kartanegara. Kalau AFI hanya mengandalkan modal
sosial di Kutim saja, maka peluang untuk memenangkan

31 Dana Kampanye AFI dalam www.jawapos.com/ diakses pada tanggal 20 Juni 2011. Dari
temuan penulis di lapangan tampaknya dana kampanye AFI masih ‘misterius’. Hal ini
terbukti dengan laporan kekayaan AFI kepada KPK yang tidak mencapai Rp. 15 miliar,
tetapi biaya kampanye mencapai puluhan miliar rupiah. Dari mana datangnya dana
bantuan sosial kepada masyarakat? Pada waktu AFI menjabat Bupati Kutim dana bansos
berasal dari APBD. Namun, pada saat AFI kampanye Pilkada 2008, darimana dananya?
Menurut pengakuan anggota tim sukesnya AFI mendapatkan dana dari pengusaha,
tetapi tidak dilaporkan ke KPUD Kaltim. Lih. Awang Faroek di demo Timsesnya dalam
www.korankaltim.com/ diakses pada tanggal 20 Juni 2011.Pasca kemenangan AFI dalam
Pilkada salah satu anggota tim sukses tidak mendapatkan proyek pembangunan, mereka
yang tidak mendapat proyek dari AFI mengadakan demonstrasi menuntut janji AFI pada
saat kampanye.
32 Ibid., Organisasi KALIMA.

[ 138 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


kontestasi dalam Pilkada 2008 sangatlah kecil, karena mayoritas
penduduk Kaltim bermukim di Samarinda, Balikpapan,
Kutai Kartanegara, Bontang, dan Tarakan. Oleh karena itu,
dimanfaatkannya isu etnis dan agama agar dia tampil sebagai
figur pemersatu yang membawa kebangkitan Kaltim.
Tim sukses berupaya mencari dukungan dari semua
elemen kelompok pendatang yang mayoritas berdomisili di
kota. Praktik pemberian dilakukan dengan cara memberikan
bantuan dana pembangunan dan sejumlah uang untuk
kegiatan organisasi paguyuban etnis. Menurut pengakuan AFI
hampir semua kelompok pendatang memberikan dukungan
kepadanya.33 Tentunya dukungan kelompok pendatang
seperti etnis Jawa dan Bugis/Makassar terhadapnya tidak
gratis. Mereka mau memberikan dukungan kepada AFI,
kalau ada ‘transaksi politik’ yang konkret. Kelompok etnis
Jawa membutuhkan rasa aman dan kemudahan dalam bisnis
di Kaltim. Posisi orang Jawa di perusahaan agak terganggu
dengan munculnya isu sentimen ‘anti Jawa’ yang disebut
sebagai ‘penjarah’ SDA.
Sementara itu kelompok Bugis/Makassar membutuhkan
jaminan kelancaran bisnis mereka di Kaltim. Oleh karena
pesaing pasangan AFI-Amins dari etnis Bugis, maka tim sukses
berupaya merebut simpati dengan memberikan bantuan dana
sosial kepada kelompok Bugis/Makassar. Hal yang tampak ke
permukaan adalah bahwa tim sukses memberikan bantuan
sosial dalam bentuk pembangunan rumah ibadah, acara
keagamaan, dan pembiayaan paguyuban Bugis/Makassar.
Tampaknya, pendekatan terhadap kelompok etnis dalam
rangka memperoleh dukungan massa baik melalui tokoh adat
maupun agama efektif dimanfaatkan oleh AFI.

33 Wawancara dengan AFI tanggal 11 Agustus 2001 di Samarinda.

Politik Ambivalensi [ 139 ]


Sebenarnya AFI memanfaatkan kelompok etnis dengan
cara mobilisasi paguyuban-paguyuban yang tersebar di
seluruh Kaltim.34 Paguyuban etnis biasanya menjadi tempat
yang nyaman bagi pendatang, karena mereka merasa nyaman
(niche) hidup sesuai dengan budaya, adat, dan agama yang
sama di perantauan. Pemanfaatan isu etnis sebagai bagian dari
strategi politik untuk memobilisasi massa dalam mendukung
kon­tesan tampaknya efektif.35 Berikut penyebaran penduduk
Kaltim berdasarkan etnis dipaparkan melalui Tabel 1.5:
Tabel 4.2. Komposisi Penduduk Kaltim
Berdasarkan Kelompok Etnis
Kabupaten/
No. Jawa Dayak Banjar Bugis Kutai Total
Kota
1. Pasir 82.021 7.262 32.323 54.953 860 177.419
2. Kutai Barat 14.424 78.681 6.658 5.242 22.297 127.302
3. Kutai 122.105 19.026 57.506 68.459 118.328 385.424
4. Kutai Timur 37.503 14.593 11.380 24.192 36.934 124.603
5. Berau 26.031 15.059 9.659 26.210 979 77.938
6. Malinau 1.327 26.081 490 1.207 20 29.125
7. Bulungan 16.873 27.499 3.315 10.839 188 58.714
8. Nunukan 5.131 29.783 1.124 34.574 55 70.667
9. Balikpapan 163.281 1.866 63.010 83.613 2.759 314.529
10 Samarinda 183.195 10.725 140.761 68.536 39.315 442.532
11. Tarakan 29.881 10.690 8.766 39.264 334 88.935
12. Bontang 36.428 599 5.328 28.677 2.760 73.792
718.200 241.864 340.320 445.766 244.829 1.990.979
Jumlah Total
(36%) (12%) (17%) (22%) (12%) (99%)
Sumber: Biro Pusat Statistik Kalimantan Timur, 200336

34 Wawancara dengan AFI, tanggal 11 Agustus 2009 di Samarinda. Menurut AFI, dia
mendekati 24 paguyuban etnis yang ada di Kaltim. Semua anggota paguyuban tersebut
mendukung AFI dalam Pilkada 2008. Tentu dukungan mereka terhadap AFI tidak gratis;
tim sukses AFI memberikan dana sosial dan bantuan bagi paguyuban tersebut.
35 Ibid., AFI memanfaatkan budaya pemberian dengan cara memberikan sekolah gratis 12
tahun, bantuan sosial, dan pembangunan.
36 Penulis telah melacak data Kaltim dalam angka 2014 yang diterbitkan Bapeda Kaltim,
tetapi tidak terdapat komposisi penduduk berdasar etnis. Pertumbuhan penduduk Kaltim

[ 140 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


Tabel 4.2. di atas memaparkan kelompok etnis Jawa
berjumlah 718.200 jiwa, mereka pada umumnya bermukim
di Samarinda (183.195 jiwa), Balikpapan (163.281 jiwa), dan
Kutai (122.105 jiwa). Selain menjangkau kelompok pendatang,
AFI berupaya memanfaatkan ketermarginalan etnis Dayak
di era Orde Baru. Tim sukses berupaya mencitrakan AFI
sebagai figur yang terbuka terhadap semua kelompok etnis,
baik penduduk asli maupun pendatang. “Kaltim untuk Semua”
menjadi jargon AFI dalam rangka merangkul semua kelompok
etnis.
Mencermati keragaman suku dan sebaran geografis
tersebut, AFI menyikapinya dengan cara blusukan ke desa-
desa. Dalam setiap blusukan tersebut, AFI memberikan
bantuan berupa barang sebagai tanda silaturahmi, agar terjadi
‘ikatan batin’. Selain itu, AFI menyosialisasikan sekolah gratis
12 tahun yang akan terealisasi kalau dia terpilih sebagai
gubernur. Oleh karena pesaing AFI memanfaatkan agama,
maka dia memilih Farid Wadjdy sebagai calon wakil gubernur.
Figur Farid sangat dikenal sebagai tokoh agama di Kaltim dan
tidak diragukan integritasnya. Selain itu, Farid berasal dari
keluarga NU yang sangat berpengaruh di Kaltim. Tim AFI
merekayasa figur Farid, untuk menandingi Hadi tokoh PKS
dari keluarga tokoh Jawa yang dikenal luas oleh masyarakat
Kaltim.
Tampaknya, massa NU banyak yang mendukung AFI-
Farid, dibanding pasangan Amins-Hadi (AHAD). Sebaliknya,
kelompok Muhammadiyah cenderung mendukung pasangan
AHAD, karena Hadi adalah ketua PKS di Samarinda.

setiap tahun berjumlah 100 ribu jiwa (2011-2013).

Politik Ambivalensi [ 141 ]


Sementara itu, kelompok Katholik dan Kristen cenderung
memberikan suaranya kepada AFI daripada ke AHAD.37
Setelah KALIMA merekayasa isu ‘musuh bersama’ dan
melakukan silaturahmi ke tokoh agama dan adat, maka
langkah berikutnya ialah menumbuhkan ‘rasa kekitaan’. Rasa
kekitaan ini perlu direkayasa, agar selaras dengan pencitraan
AFI sebagai ‘bapak pembangunan’ yang dermawan dan terbuka
untuk semua kelompok etnis (masyarakat). Rasa kekitaan
dibutuhkan oleh AFI sebagai modal sosial untuk melegitimasi
dirinya. Rasa kekitaan tampak dalam alinea pertama naskah
terbentuknya KALIMA yang dimulai dengan kalimat, sebagai
berikut:
“Pembangunan sebagai upaya sistematis untuk mening­
katkan kualitas hidup dan kehidupan masyarakat secara
berkelanjutan, harus sejalan dengan upaya memelihara
kelestarian sumber daya alam. Inilah paradigma pemba­
ngunan yang harus kita kembangkan. Kalimantan Timur
meru­pakan salah satu bagian dari wilayah Indonesia
dengan kepemilikan sumber daya alam yang melimpah
ruah, namun ironisnya angka kemiskinan di wilayah ini
masih tinggi seiring dengan merosotnya nilai-nilai keimanan
dan ketakwaan yang ditandai dengan semakin maraknya
dekadensi moral di tengah masyarakat. Rendahnya kualitas
kesehatan rakyat mengiringi rendahnya peringkat dan
kualitas pendidikan merupakan ciri khas gambaran kemiski­
nan yang terjadi. Hal semacam ini tidak bisa dibiarkan
terlalu lama berkepanjangan maka harus segera diatasi.”38

37 Isu kampanye AHAD cenderung sektarian dan hanya mementingkan kelompok tertentu.
Maka, banyak orang Kristen dan Katholik mendukung AFI yang mengayomi dan
menerima berbagai suku dan agama.
38 Deklarasi KALIMA dalam www.awangfaroekishak.com/diakses pada tanggal 18 Juni
2011. Untuk menyosialisasikan visi dan misi AFI kepada masyarakat, dibuatlah website,
agar masyarakat dapat mengetahui program yang dilakukan oleh tim sukses dan AFI.
Selain itu, AFI juga menerima dan menanggapi saran dan kritik dari masyarakat. Dengan

[ 142 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


Dari alinea pertama deklarasi berdirinya KALIMA ter­
sebut, secara eksplisit ada lima permasalahan pokok yang
disam­paikan AFI yang memicu kebutuhan ‘rasa kekitaan’,
yakni perlunya paradigma pembangunan yang berkelanjutan,
kemiskinan, merosotnya nilai keimanan dan ketakwaan,
rendahnya kualitas kesehatan, dan rendahnya kualitas
pendidikan. Oleh karena itu, AFI melakukan langkah strategis
dalam rangka mewujudkan ‘rasa kekitaan’ sebagai berikut:
Pertama, menginisiasi jejaring patronase. Pelibatan wakil
masyarakat sebagai pengurus KALIMA mengindikasikan
adanya relasi patron-klien yang dirajut oleh AFI. Anggota
KALIMA terdiri dari perwakilan tokoh masyarakat, seperti
Paser (Sardani Usman dan Harly), Penajem Paser Utara
(Willis Tanjung dan Malisa), Balikpapan (Jainuddin dan
Sismono), Samarinda (Nusyirwan Ismail, Jamiran dan Aras
Jaga), Kutai Kartanegara (Syahril Setia dan Sarbini), Kutai
Barat (Mathius dan Adnan), Bontang (Gunawan Wirutomo
dan Raking), Kutai Timur (Sukarni Joyo, Sholeh Kongbeng
dan Alex Rohmanu), Berau (Dody dan A.Faizal), Bulungan
(Sufirmanto dan Suhardi), Tarakan (Syafrudin dan Hamid),
Malinau (Sitorus dan Ahmad Jais), dan Nunukan (Baslan dan
Saparudin).
Anggota tim KALIMA tersebut merupakan representasi
dari perwakilan masyarakat kabupaten/kota yang menjadi
korban eksplorasi SDA. Mereka terdiri dari berbagai suku
yang mewakili keberagaman masyarakat, seperti Jawa,
Bugis, Banjar, Batak, Kutai, Dayak, Paser, Nunukan, Tarakan,
dan lain-lain. Pelibatan berbagai etnis dalam KALIMA ini

demikian, relasi patron-klien antara AFI dan masyarakat terjalin. Namun, setelah tiga
tahun AFI memimpin Kaltim banyak protes dari masyarakat, karena program yang
dijanjikan tidak diwujudkan, khususnya pembangunan sarana dan prasarana di Kaltim.

Politik Ambivalensi [ 143 ]


dimaksudkan untuk mencitrakan bahwa AFI didukung oleh
semua kelompok masyarakat di Kaltim.
Kedua, pengentasan kemiskinan. Untuk rekayasa sosial
agar tumbuh ‘rasa kekitaan’ di antara masyarakat Kaltim,
maka tim sukses memunculkan isu kemiskinan sebagai
‘musuh bersama’. Pada kenyataannya, yang menikmati hasil
kekayaan alam Kaltim adalah kelompok pendatang. Adanya isu
kemiskinan didasari pada kenyataan bahwa banyak masyarakat
di sekitar tambang hidupnya di bawah garis kemiskinan.
Sementara itu, pengusaha tambang yang mayoritas didominasi
kelompok pendatang menikmati kesejahteraan yang berlebih.
Oleh karena itu, KALIMA merumuskan langkahnya sebagai
problem solvers untuk mengatasi kemiskinan, sebagai berikut:
“Otonomi daerah memberi ruang dan peluang emas kepada
masyarakat di daerah untuk melakukan inovasi-inovasi strategis
dan kompetitif dalam membangun daerahnya yang berorientasi
pada pemberdayaan dan kesejahteraan masyarakat. Salah satu
kunci menuju kemakmuran adalah ketika masyarakat setempat
benar-benar memperoleh prioritas dalam menikmati kekayaan
alamnya. Memegang kunci tersebut bukan berarti bebas menjarah
kekayaan alam, melainkan lahirnya kesadaran akan sebuah
tanggung jawab untuk mengelolanya melalui seperangkat regulasi
dan kebijakan daerah yang pro-rakyat.”39

Solusi yang ditawarkan KALIMA dalam mengatasi kemis­


kinan ada dua hal, yakni inovasi pemberdayaan masyarakat
dan regulasi yang pro-rakyat. Pertama, inovasi pemberdayaan
masyarakat diperlukan dalam rangka menyejahterakan
rakyat. Tawaran program KALIMA tampaknya menarik
bagi masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Seperti tertulis dalam deklarasi KALIMA bahwa salah satu

39 Ibid.

[ 144 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


kunci kemakmuran ketika masyarakat setempat benar-benar
memperoleh prioritas dalam menikmati kekayaan alam.
Artinya, selama ini masyarakat Kaltim belum memperoleh
prioritas menikmati kekayaan alam yang dimilikinya.
Hal ini tampak dalam kalimat berikutnya yang mene­
kankan pada “memegang kunci bukan berarti bebas menjarah
kekayaan alam”. Istilah ‘menjarah kekayaan alam’ berkonotasi
negatif dan hal ini tampaknya ditujukan kepada kelompok
pendatang (etnis Jawa).40 Tim sukses merekayasa opini publik
seolah-olah masyarakat hidup dalam kemiskinan karena
ulah kelompok pendatang yang menguasai SDA. Tujuan
rekayasa sosial tersebut untuk menimbulkan niche atau rasa
nyaman yang dibutuhkan oleh masyarakat. Hal ini terbukti
dengan dimunculkannya isu kemiskinan yang sangat efektif
memengaruhi dukungan masyarakat Kaltim terhadapnya
dalam Pilkada 2008.
Kedua, regulasi pro-rakyat. Salah satu cara untuk menga­
tasi kemiskinan adalah dengan mewujudkan program-
program pro-rakyat. AFI telah membuat regulasi pertanian
dalam rangka pengentasan kemiskinan di Kutim. Dia mem­
berikan tanah, sertifikat, pinjaman modal kepada masya­­rakat,
pendampingan kepada petani, serta beasiswa dan insentif
kepada guru atau dosen.41 Dengan kata lain, dia sudah berkarya
nyata dalam mengentaskan kemiskinan bukan hanya sekedar
janji-janji politik. Regulasi yang pro-rakyat terse­but dikemas
secara rapi dengan kemasan pembangunan dan bantuan sosial

40 Wawancara dengan MT dan AM pada tanggal 8 Juni 2011 di Yogyakarta. Hal ini juga
dibenarkan oleh CS dalam wawancara melalui telpon bulan Juni 2011, dia memaparkan
bahwa kelompok pendatang identik dengan ‘penjarah’ atau ‘penjajah’ SDA Kaltim. Pada
masa kini ada gerakan di antara para aktivis untuk ‘mengevaluasi kembali’ eksplorasi SDA
Kaltim oleh perusahaan nasional atau asing. Mereka menghendaki adanya pembagian
SDA yang fair dalam rangka menyejahterakan masyarakat Kaltim.
41 Op.cit, Bab III Nalar Politik Sang Bangsawan.

Politik Ambivalensi [ 145 ]


yang dibutuhkan oleh masyarakat. Dengan adanya program
pro-rakyat tersebut diharapkan terjadi ‘ikatan batin’ antara
masyarakat dengannya.
Selain itu, lewat ormas KALIMA Awang melakukan
rekayasa sosial dengan menumbuhkan harapan baru. Melalui
KALIMA akan terjadi perubahan ekonomi yang berpihak pada
rakyat. Perubahan yang dimaksud ialah terjadinya kebijakan
Pemda yang pro-rakyat. Isu ini sengaja dimunculkan AFI,
karena selama ini Pemda mengacu pada kebijakan pemerintah
pusat. Oleh karena kebijakan pengolahan SDA mengacu pada
pemerintah pusat, maka kepentingan daerah cenderung
terabaikan. Dengan kata lain, KALIMA ingin memosisikan
dirinya sebagai ormas yang mewakili kepentingan masyarakat.
Secara implisit pernyataan KALIMA tersebut menunjukkan
peran elite politik lokal gagal mengadakan bargaining terhadap
pemerintah pusat, khususnya dalam perimbangan bagi hasil
pengelolaan SDA. AFI merasa berpengalaman sebagai klien
elite Kutai dan dia tahu tentang seluk-beluk pemberian kepada
elite politik (Orde Baru). Oleh karena itu, dia mencitrakan
diri identik dengan masyarakat yang termarginal dan dia
mau menjadi fasilitator bagi semua lapisan dalam rangka
menumbuhkan ‘rasa kekitaan’.
Rasa kekitaan yang direkayasa tersebut mewujud dalam
bentuk ormas KALIMA dengan relasi patron-klien dan
pemberian sebagai pelumas yang diwujudnyatakan. Tanpa
adanya relasi patron-klien yang mengakar ke desa-desa,
maka politik pemberian tidak efektif memobilisasi massa.
Oleh karena itu, tim sukses merekayasa adanya ‘musuh
bersama’ yang harus dilawan secara bersama. Untuk melawan
‘musuh bersama’ tersebut diperlukan figur pemimpin yang
berpengalaman dan dapat mempersatukan seluruh elemen
masyarakat. Oleh sebab itu, AFI mencitrakan diri sebagai

[ 146 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


‘bapak pembangunan’ yang dapat diterima oleh semua lapisan
masyarakat tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras, dan
antar golongan.
Pemanfaatan dua nalar politik tidak bisa terhindarkan
AFI dalam menghadapi ketatnya persaingan antar kontestan.
Nalar aktivis dimanfaatkan oleh AFI dalam menyikapi regulasi
Pilkada dan proses demokrasi prosedural. Sementara itu,
nalar politisi bekerja pada ranah praktis yang dijabarkan
oleh elite dalam merajut relasi patron-klien. Secara teoretis,
tidak mungkin AFI hanya mengandalkan dukungan gabungan
partai kecil untuk menang dalam Pilkada. Pengalaman
kegagalannya dalam pemilihan gubernur 2003 menjadi
pembelajaran yang berarti. Oleh karena itu, dia memanfaatkan
relasi patron-klien menjadi pilihan utama untuk meraih suara
sebanyak-banyaknya, khususnya terhadap tokoh adat dan
atau masyarakat. Sebab, dalam Pilkada langsung, peran tokoh
adat atau masyarakat sangat menentukan pilihan pemilih.
Artinya, suara pemilih dalam masyarakat sangat bergantung
pada pilihan tokoh adat atau masyarakat. Oleh karena itu,
kedekatan elite dengan tokoh adat atau masyarakat menjadi
kunci perolehan suara sebanyak-banyaknya.
Di samping itu, AFI juga dihadapkan dengan realita
apatisme masyarakat kota terhadap elite yang mencalonkan
diri dalam Pilkada. Oleh karena itu, dia harus merekayasa
opini publik agar mendapat simpati dan legitimasi yang besar
dari masyarakat. Simpati publik dibutuhkan dalam rangka
mengonversi suara sebanyak-banyaknya. Tanpa adanya simpati
dan pengenalan terhadap kontestan, maka publik tidak akan
menentukan pilihan terhadapnya. AFI mencampur-adukkan
dua nalar tersebut dalam rangka memperoleh dukungan suara
dari masyarakat pedalaman, pesisir, dan perkotaan.

Politik Ambivalensi [ 147 ]


Persaingan ketat antarelite dalam Pilkada ditandai dengan
saling menyerang dan terjadi black campaign dan money
politics di beberapa daerah.42 Untuk kali pertama, masyarakat
Kaltim memilih kepala daerah secara langsung yang diadakan
tanggal 26 Mei 2008. Partisipasi masyarakat dalam Pilkada
putaran pertama mencapai 67% dan jumlah mereka yang
Golput mencapai 33%. Mereka yang Golput sebagian besar
berasal dari kelompok aktivis lingkungan (LSM), cendekiawan,
dan masyarakat yang rasional. Alasan mereka Golput, karena
kecewa terhadap jejak rekam semua kontestan yang tidak
berpihak pada kemandirian ekonomi kerakyatan, di samping
bahwa para pemilih Golput itu menolak eksplorasi tambang
yang berdampak merusak lingkungan alam. Mereka berasumsi
dana kampanye kontestan berasal dari para investor tambang
dan perkebunan yang merusak hutan dan lingkungan di
Kaltim.43
Pemilihan Gubernur Kaltim diikuti oleh empat pasang
calon, yakni Achmad Amins-Hadi Mulyadi (PKS, Patriot,
PP, dan PDK),44 Awang Faroek Ishak-Farid Wadjdy (PDS,

42 Wawancara dengan Arifin di Samarinda; Wawancara melalui telpon dengan Charles


Siahaan. Menurut kedua narasumber ini, untuk menarik massa, kontestan berkampanye
dengan cara ‘menyerang’ kandidat lain. Isu yang diangkat biasanya seputar etnis, agama,
dan premanisme. Semua kandidat dalam kampanye melakukan tindakan money politics,
misalnya memberi uang bensin, kaus, door prize, memberi sembako, memberi hand
phone dan lain-lain.
43 Op.cit, AFI Didemo Timses. WALHI Kaltim memprotes kepala daerah, karena adanya
masalah tumpang tindih tanah lebih dari 740 kasus yang diindikasi melibatkan permainan
antarpejabat dan investor dalam memberikan perizinan.WALHI menuntut penutupan
lahan penambangan batu bara yang merusak lingkungan dan merugikan masyarakat.
44 Achmad Amins dan Awang Faroek Ishak adalah kader Golkar senior, tetapi Syaukani
selaku ketua DPD Golkar Kaltim merekomendasi Jusuf Serang Kasim (mantan
Bupati Tarakan). Amins dan Jusuf keturunan Bugis, sementara Faroek keturunan
Kutai. Tampaknya, Syaukani kecewa terhadap AFI, karena pemekaran Kutim yang
diprakarsainya. Oleh karena itu, Amins pasca-pemilihan gubernur 2008 memutuskan
pindah ke Demokrat, karena kecewa dengan Golkar. Sementara itu, Faroek yang
memenangi pemilihan gubernur masih tetap di Golkar. Tampaknya, Syaukani pun
berambisi menjadi Gubernur Kaltim. Oleh karena itu, dia dicalonkan secara aklamasi

[ 148 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


PD, PPP, PB, PM, PBR, dan PAN), Nusyirwan Ismail-Heru
Bambang (PDI-P), dan Jusuf Serang Kasim-Luther Kombong
(Partai Golkar). Pasangan Amins-Hadi yang diusung oleh PKS
dan Patriot merupakan representasi etnis Bugis-Jawa yang
merupakan penduduk mayoritas di Samarinda. Sedangkan
Awang-Farid merepresentasikan etnis Kutai-Banjar yang
merupakan penduduk asli Kaltim. Nusyirwan-Bambang
merepresentasikan pemimpin muda Jawa, sedangkan Jusuf-
Kombong beretnis Bugis-Toraja yang merupakan kelompok
pendatang di Kaltim yang didukung oleh Syaukani (Golkar).
Kontestan yang disusung Golkar dan PDI-P merasa percaya
diri akan menang dalam Pilkada 2008 sehingga mereka
tidak memerlukan koalisi dengan parpol lain. Sementara itu,
dukungan Golkar tidak diberikan kepada kader senior (AFI)
yang sudah berpengalaman politik. Demikian juga PDI-P tidak
mendukung Yurnalis Ngayoh (etnis Dayak) sebagai kontestan.
Oleh karena etnis Dayak tidak terakomodasi dalam pemilihan
gubernur tersebut, maka suara orang Dayak dan orang Jawa
cenderung diberikan ke AFI daripada ke Nusyirwan-Bambang
atau Amins-Hadi.
Kemenangan AFI dalam Pilkada 2008 rupanya ditentukan
dengan strategi pemanfaatan kearifan lokal yang dikemas
dalam bentuk relasi patron-klien di desa-desa. Relasi patron-
klien di Kutim telah dirajut AFI ketika dia menjabat sebagai
Bupati Kutim. Selain itu, sebagai bangsawan, dia telah
disumpah setia terhadap elite Kutai, maka dalam dirinya telah
terikat sebagai klien yang loyal.45 Dia memanfaatkan relasi
patron-klien tersebut dalam rangka mengemban amanah
elite Kutai. Oleh karena itu, kebijakannya membuat regulasi

oleh Golkar. Lihat www.kutaikartenegara.com/12 September 2006, Golkar Kukar Dukung


Syaukani Calon Tunggal Gubernur Kaltim.
45 Op. cit., Bab II Rekam Jejak AFI.

Politik Ambivalensi [ 149 ]


pertanian terkesan populis, tetapi sebenarnya hal ini dilakukan
dalam rangka mengikat batin masyarakat sebagai klien.46 Hal
ini dilakukan dalam rangka investasi politik; dia mengikat
masyarakat dengan relasi patron-klien yang dimanfaatkannya
untuk memobilisasi massa ketika Pilkada.
AFI sebagai kontestan dalam Pilkada harus menaati
regulasi yang diatur dalam undang-undang, seperti prosedur
pencalonan, kampanye dan rekap, dan penentuan pemenang.
Prosedur demokrasi tersebut harus diikutinya dalam proses
kontestasi. Selain itu, dia juga harus mengolah prosedur
demokrasi tersebut agar dapat mengungguli kontestan lain.
AFI juga mengetahui bahwa pemberian materi dan non-
materi dalam kampanye melanggar undang-undang. Oleh
kerena itu, dia memberikan materi dan non-materi jauh hari
sebelum kampanye.
Adapun strategi AFI memengaruhi masyarakat kota
adalah dengan melakukan rekayasa sosial dengan membentuk
ormas KALIMA. Melalui KALIMA, dia merekayasa relasi
patron-klien dengan masyarakat lewat isu ‘rasa kekitaan’ dan
‘musuh bersama’. Dengan adanya rekayasa sosial tersebut, dia
memosisikan diri sebagai patron (putra daerah) yang mampu
mengatasi permasalahan kemiskinan dan kebodohan yang
dialami masyarakat. Segmentasi yang dibidik AFI berfokus
pada kelompok menengah ke bawah. Oleh karena itu, isu
program konkret seperti sekolah gratis 12 tahun menjadi daya
tarik bagi masyarakat.
Selain itu, AFI juga memanfaatkan relasi pertemanan
dengan elite politik (nasional). Hal ini terindikasi ketika
elite politik PDS, PD, PPP, PKB, PM, PBR, dan PAN ikut
aktif mendukung kampanyenya. Hadirnya tokoh politik

46 Op. cit., Bab III Nalar Politik Sang Bangsawan.

[ 150 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


nasional dalam kampanye Pilkada menaikkan popularitasnya
yang berdampak pada simpati masyarakat terhadapnya.
Tampaknya, dia telah belajar dari kegagalan dalam pemilihan
gubernur 2003. Oleh karena itu, dia mempersiapkan strategi
politik dengan matang. 47 Dia sadar bahwa dukungan
parpol sangat penting dalam proses kontestasi, tetapi hal
ini tidak menentukan perolehan suara. Dengan demikian,
dia memanfaatkan patronase lokal dalam rangka meraih
dukungan masyarakat.48 Hasil pemilihan Gubernur Kaltim
putaran pertama, sebagai berikut :
Tabel 4.3. Hasil Pilkada 2008 Kaltim Putaran I
No. Pasangan Calon Partai Pengusung Perolehan Suara
Amins-Hadi PKS, Patriot, PP,
1. 396.784 (26,9%)
(AHAD) dan PDK
PDS, PD, PPP,
2. Awang-Farid (AFI) PKB, PM, PBR, 426.325 (28,9%)
dan PAN
3. Nusyriwan-Heru PDI-P 280.949 (19,04%)
4. Jusuf-Kombong Golkar 371.229 (25,16%)
Sumber: KPUD Kalimantan Timur, 2008
Hasil Pilkada putaran pertama tersebut tidak jauh ber­
beda dengan hasil survei LSI (2007) yang memprediksi
popularitas dan elektabilitas AFI 27,3%. Sementara itu, hasil
Pilkada putaran pertama AFI memperoleh suara 426.325
(28,9%). Namun, kemenangan AFI pada putaran I tersebut
menimbulkan gugatan terhadap KPUD, karena tim AFI
menilai KPUD tidak konsisten dalam menetapkan pemenang
Pilkada. KPUD awalnya mengacu UU No.32 Tahun 2004
pasal 107 ayat 2 yang menyatakan bahwa pemenang Pilkada
minimal memperoleh 25%. Dengan mengacu undang-undang

47 Ibid.
48 Ibid.

Politik Ambivalensi [ 151 ]


tersebut, maka hasil Pilkada tersebut telah dimenangkan oleh
AFI.49 Namun, KPUD ternyata menggunakan dasar UU No. 12
Tahun 2008 yang menyatakan bahwa pemenang Pilkada harus
memperoleh 30% plus 1. Oleh karena tidak ada pemenang
yang memperoleh suara 3% plus 1, KPUD menetapkan Pilkada
putaran kedua yang akan diikuti oleh Amins-Hadi dan AFI-
Farid.
Tim Awang tetap bersikukuh dan menggugat KPUD-
Kaltim ke Mahkamah Konstitusi. Hasil persidangan
Mahkamah Konstitusi memutuskan, KPUD diwajibkan
menyelenggarakan Pilkada putaran kedua, karena belum ada
kontestan yang meraih suara 30% plus 1. Dengan demikian,
tim sukses AFI kalah dalam gugatannya terhadap KPUD
dan Pilkada putaran kedua harus dilaksanakan. Akhirnya,
putaran Pilkada kedua dilaksanakan tanggal 23 Oktober 2008
dan hasilnya diumumkan tanggal 7 November 2008. Pada
Pilkada putaran kedua ini, terjadi penurunan 7% partisipasi
masyarakat: dari 67% menjadi 60%. Golput mencapai 40%
dan hal ini mengindikasikan adanya kejenuhan masyarakat
terhadap proses Pilkada yang lama (lima bulan). Menurut SH,
pada putaran kedua ini masing-masing pasangan bersaing
ketat dan tampaknya dana mereka semakin menipis, sehingga
putaran ini bisa disebut sebagai persaingan antarkontestan
murni;50 faktor money politics hanya sedikit mewarnai, tidak

49 “Pihak Awang Faroek menggugat KPUD Kaltim sebesar Rp 2 miliar, karena penyelenggara
Pilkada itu dianggap tidak konsisten dalam menggunakan dasar hukum penyelenggaraan
Pilkada. Awalnya KPU menggunakan UU No 32 Tahun 2004, tetapi saat penghitungan
hasil suara, KPU menggunakan UU No. 12 Tahun 2008. Menurut sumber yang dapat
dipercaya, ada dugaan ‘permainan’ antara ketua KPUD dengan pasangan Amins-Hadi;
Ketua KPUD dan Amins berasal dari etnis Bugis. Dalam UU No 32 Tahun 2004, pemenang
Pilkada harus memperoleh pemilih minimal 25%, sementara pada UU No.12 Tahun 2008
pemenang Pilkada minimal memperoleh suara 30% plus 1” dalam www.okezone.com/15
Oktober 2008, Sidang Gugatan Pilkada Kaltim Memasuki Tahap Putusan.
50 Wawancara dengan Charles Siahaan melalui telepon di Samarinda-Yogyakarta pada
tanggal 10 Juni 2011.

[ 152 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


sebanyak pada putaran pertama. Adapun hasil Pilkada Kaltim
putaran kedua selengkapnya, sebagai berikut:
Tabel 4.4. Hasil Pilkada 2008 Kaltim Putaran II
AWANG FAROEK
ACHMAD AMINS
Kabupaten/Kota ISHAK
HADI MULYADI
FARID WADJDY
1. Kab Pasir 44.001 29.795
2. Kab Kutai Barat 41.775 16.035
3. Kab Kutai
143.572 82.239
Kartanegara
4. Kab Kutai
68.814 24.374
Timur
5. Kab Berau 29.906 26.799
6. Kab Malinau 17.551 4.408
7. Kab Bulungan 21.639 15.307
8. Kab Nunukan 25.282 24.490
9. Kab Penajam
25.505 23.962
Paser Utara
10. Kota
102.267 83.112
Balikpapan
11. Kota
158.189 140.451
Samarinda
12. Kota Tarakan 34.906 40.065
13. Kota Bontang 27.317 26.643
740.724 537.680
Total Suara
(57,94%) (42,06%)
Sumber: KPUD Kalimantan Timur, 2008
Memperhatikan perolehan suara AFI pada putaran
Pilkada kedua tersebut, tampaknya AHAD hanya menang
di kota Tarakan. Hal ini mengindikasikan pemberian yang
dikemas oleh elite dengan rajutan patronase pada tataran akar
rumput telah mengakar di seluruh kabupaten/kota, kecuali
di Kota Tarakan. Tampaknya, pendukung Jusuf-Kombong
(Golkar) mengalihkan suara kepada Amins yang merupakan

Politik Ambivalensi [ 153 ]


kader Golkar. Pasangan AHAD memperoleh 40.065 suara,
sedangkan Awang memperoleh 34.906 suara.
Perolehan suara AHAD di Tarakan unggul, karena duku­
ngan konstituen Jusuf-Kombong (Golkar). Namun, dukungan
Jusuf-Kombong ke AHAD tidak gratis, tentu ada ‘transaksi
politik’ yang tidak terungkap ke media massa. Persaingan ketat
terjadi di Samarinda, Balikpapan, dan Kutai Kartanegara yang
merupakan basis Golkar, Demokrat, dan PDI-P. Tampaknya,
basis massa AHAD berdomisili di Samarinda, sebab Amins
menjabat sebagai walikota, sedangkan Hadi adalah tokoh PKS
yang populer.
Hasil perolehan suara AHAD di Samarinda berjumlah
140.451, sedangkan AFI memperoleh 158.189. Di kota
Balikpapan dan Kutai Kartanegara, antara perolehan AFI dan
AHAD terdapat selisih lebih dari 20.000 jumlah suara. Hal ini
menunjukkan kuatnya pengaruh patronase yang dimanfaatkan
oleh AFI, khususnya terhadap kelompok pendatang dan etnis
Kutai.51 Tampaknya, basis massa PDI-P dan kelompok Jawa
cenderung memberikan suaranya kepada AFI. Dukungan
kelompok Jawa kepada AFI juga terindikasi dengan adanya
pemanfaatan patronase yang melibatkan tim suksesnya melobi
pasangan Nusyirwan-Bambang agar memberikan dukungan
suara kepadanya.52
Memperhatikan hasil Pilkada putaran kedua tersebut,
tam­pak­nya patronase sebagai pelumas yang dikemas melalui

51 AHAD menguasai Samarinda dan daerah sekitar sungai Mahakam, karena komunitas
Bugis, Banjar, dan Jawa. Sementara itu, AFI menguasai daerah pedalaman Kutai dan
kelompok komunitas Jawa serta massa PDI-P dan massa Golkar baik di desa maupun
di kota.
52 Nusyirwan adalah tokoh muda nasionalis yang sangat dekat dengan AFI pada waktu
perintisan ormas KALIMA. Oleh karena dia tidak dicalonkan sebagai wakil gubernur,
padahal dia memiliki pendukung yang banyak, maka dia maju mencalonkan diri sebagai
calon gubernur yang didukung PDI-P.

[ 154 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


ormas KALIMA yang telah bekerja di seluruh kabupaten/
kota. Demikian juga pemanfaatan adat dan agama efektif
dilakukan oleh AFI melalui relasi patron-klien.53 Sementara
itu, di Kutai Kartanegara yang merupakan basis massa Golkar,
terbukti mayoritas pemilih memberikan suara mereka kepada
AFI. Hal ini merupakan implikasi dari inisiasi relasi patron-
klien antara AFI dengan elite Kutai.54 Pada tataran komunitas
orang Kutai, kampanye AFI menonjolkan isu politik tentang
pentingnya ‘putra daerah’ memimpin Kaltim. Sementara itu,
di kota besar seperti Balikpapan, isu kampanye AFI bersifat
umum dan terbuka untuk kelompok pendatang dengan isu
politik perbaikan ekonomi dan ‘Kaltim Untuk Semua’.55
Kampanye dengan menggunakan isu etnis pun dilakukan
oleh AHAD, khususnya di komunitas Bugis atau Makassar
yang sangat fanatik mendukung Amins.56 Walaupun dalam
Undang-Undang Pemilu, kampanye dengan isu etnis dilarang,
tetapi pada tataran praktis bagi masyarakat yang bermukim
di pedalaman, ternyata isu etnis dan agama sangat efektif
meme­ngaruhi perilaku pemilih. Namun, AHAD kalah
dalam hal pengambilan waktu memulai kampanye, sebab
AFI telah merajut relasi patron–klien satu tahun sebelum
kam­panye dimulai. AFI telah merajut jejaring patronase dan
memanfaatkan bantuan sosial di desa-desa. Selain itu, efek­
tivitas kerja tim sukses dengan memanfaatkan bantuan sosial
yang dikemas patronase tersebut berhasil menghantarkan
AFI menang di 12 kabupaten/kota. Dalam Pilkada Gubernur
2008 putaran kedua tersebut, dia memperoleh suara 57,94%,
sedangkan AHAD memperoleh 42,06%. Dengan demikian,

53 Loc.cit,Wawancara dengan AFI.


54 Ibid.
55 Loc.cit,Wawancara dengan Mohammad Arifin.
56 Wawancara dengan Mohammad Arifin, tanggal 11 Agustus 2009 di Unmul-Samarinda.

Politik Ambivalensi [ 155 ]


AFI (Kutai) dan Farid Wadjdy (Banjar) menjabat sebagai
Gubernur dan Wakil Gubernur Kaltim 2008-2013.

[ 156 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


BAB V
REFLEKSI TEORETIS:
KONSEPTUALISASI POLITIK AMBIVALENSI

K
ajian Bab II hingga Bab IV memungkinkan kita
mema­hami secara kritis penalaran di balik gejala
yang populer dengan sebutan nalar aktivis dan nalar
politisi. Ada dua perspektif yang berjalan secara ambivalen
tetapi sepertinya dibiarkan begitu saja dan dianggap tidak
serius. Puncaknya, maraknya money politics dalam setiap
Pilkada menjadi kambing hitam. Penyelenggaraan Pilkada
divonis sebagai tidak efektif dan memboroskan biaya. Pilkada
tidak menghasilkan kepala daerah yang berkualitas dan
mampu membawa perubahan bagi masyarakat.
Oleh karena itu, anggota DPR hasil Pemilu 2014 mem­
per­hatikan celah-celah ini sebagai batu loncatan untuk
mengembalikan Pilkada ke DPRD. Dengan kata lain, Pilkada
bukanlah rezim Pemilu (demokrasi) seperti yang dipersepsi
Dahl, Diamond, Lipset, dan Linz.1 Bila usaha mengembalikan
Pilkada kepada DPRD itu berhasil, kontestasi antarelite politik
melalui parpol akan direduksi menjadi sidang paripurna DPRD
yang rawan juga dengan transaksi politik. Yang lebih parah lagi

1 Berdasarkan Putusan MK No.97/PUU-XI/2013 dan UUD 1945 Pasal 18, ayat 3-4.

Politik Ambivalensi [ 157 ]


ialah hak dan kedaulatan rakyat untuk memilih pemimpin
secara langsung dihapuskan. Oleh karena itu, dua perspektif
yang ambivalen tersebut krusial untuk diformulasikan, agar
Pilkada di Indonesia dilaksanakan efektif dan efisien.
Untuk melacak konsep politik ambivalensi tersebut, ada
baiknya kita mencari titik temu dari dua perspektif yang
terlibat di dalamnya. Tampaknya, titik temu bekerjanya dua
perspektif tersebut dalam Pilkada terletak pada pemberian
materi dan non-materi, yang dimaknai oleh kelompok aktivis
sebagai money politics. Tidaklah adil bila gejala pemberian
tersebut dibaca secara hitam-putih.
Dalam bagian pertama Bab V ini, penulis mengkritisi
teori patronase Scott dan Schroder. Kemudian pada bagian
kedua, penulis menormalisasi cara pandang money politics
yang kurang tepat dalam memvonis tindakan para politisi
memberikan materi dan non-materi. Sedangkan pada bagian
ketiga, penulis menegaskan bahwa pemberian-penerimaan
sudah menjadi budaya dalam masyarakat. Pada bagian keempat,
penulis memaparkan rekonstruksi konsep politik ambivalensi.
Kesediaan untuk melihat di balik dua perspektif tersebut dari
sudut pandang elite justru membukakan tabir dilema yang
pada gilirannya membantu memetakan konseptualisasi politik
ambivalensi yang dikehendaki dalam studi ini.

A. Kritik Terhadap Teori Patronase


Studi ini dipicu dari permasalahan bagaimana elite
(AFI) menyikapi regulasi dalam Pilkada dan mengelola
patronase. Ketika elite diperhadapkan pada regulasi, niscaya
dia akan menggunakan nalar aktivis (demokrasi). Kalau hal
ini diterapkan secara konsisten, akan dihasilkan masyarakat
yang demokratis. Namun, para aktivis lupa bahwa pada aras
praktis, para politisi dihadapkan pada tuntutan untuk menang

[ 158 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


dalam kontestasi di Pilkada. Bagi mereka, regulasi diperlukan
agar dia dapat ikut Pilkada, tetapi untuk menang, regulasi bisa
dilanggar. Oleh karena munculnya permasalahan bermuara
pada inisiasi elite merajut jejaring patronase, ada baiknya kita
mengkritisi teori patronase dan kontestasi antar elite.
Dengan memperhatikan temuan lapangan di Kaltim
tersebut, maka teori patronase yang dipaparkan oleh Scott
dalam konteks politik di Asia Tenggara tidak sepenuhnya dapat
menjawab permasalahan studi ini. Oleh karena itu, diperlukan
kajian kritis atas teori patronase, agar kita menemukan teori
politik yang dapat membingkai studi ini. Kajian kritis penulis
terhadap teori Scott, khususnya tentang patronase kluster dan
patronase piramida, sebagai berikut:
Pertama, patronase bukan keharusan dua orang yang
berbeda status dan berbentuk kluster. Scott menggambarkan
relasi patron-klien sebagai relasi antara dua orang yang berbeda
status sebagaimana terilustrasi pada Gambar 5.1. berikut:2
Gambar 5.1. Kluster Patron-Klien versi Scott

Scott berasumsi bahwa patron memiliki relasi vertikal dan


terbatas hanya pada tiga orang klien (kelompok) di bawahnya.
Asumsi di balik pemikiran Scott tersebut, patronase terjadi
karena klien membutuhkan patron. Namun, asumsi Scott
tersebut tidak bisa menjelaskan tentang bekerjanya nalar

2 Ibid, Patron-Client Politics and Political Change in Southeast Asia, hlm. 96.

Politik Ambivalensi [ 159 ]


klien ganda. Dalam politik lokal Kaltim, si klien memiliki
potensi untuk mandiri dari patron dengan alasan tidak lagi
memerlukan jasa baiknya. Dengan demikian, relasi patron-
klien tidaklah harus berlaku sama, karena masing-masing
daerah memiliki kearifan lokal yang berbeda-beda.
Tampaknya, relasi patronase bisa saja dilakukan terhadap
orang yang sama statusnya dan tidak dimulai dengan adanya
kesenjangan sosial. Prinsip ‘investasi kebaikan’ terhadap
sesama patron bisa saja terjadi, karena sang patron memiliki
kepentingan politik. Selain itu, relasi tidak harus bersifat satu
arah (bottom up) dengan kondisi klien yang lemah tanpa
kekuatan penyeimbang. Temuan penulis menunjukkan adanya
varian lain dalam perspektif patronase (politik lokal), sebagai
berikut:
Gambar 5.2. Kluster Patron-Klien versi Guno

B A C

Kedua, patronase bisa terjadi karena sang patron membu­


tuhkan legitimasi si klien. Pada Gambar 5.2. di atas, tampak
jelas bahwa relasi patron-klien bisa datang dari patron A.
Artinya, patron A menjalin relasi dengan klien di bawah­nya.
Oleh karena itu, dia memberikan materi dan non-materi.
Pemberian sang patron dipersepsi sebagai kehormatan, dan
si klien membalas dengan pemberian materi atau non-materi.
Dalam hal ini ada ‘kesetaraan’ pemberian, sekalipun mereka
berbeda status. Ketika si klien sudah memberikan hasil

[ 160 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


panenan kepada patron, maka tanggung jawabnya dianggap
sudah selesai.
Dengan kata lain, relasi patronase tersebut bisa temporer
atau terus menerus. Itu sebabnya, pemberian patron diupayakan
lebih besar dari si klien, agar klien tidak bisa memberikan
yang setara. Dengan adanya pemberian yang tidak setara
tersebut, makna money politics menjadi kurang tepat untuk
dipraktikkan sebab dalam perspektif money politics, pemberian
sang patron bisa dipahami sebagai tindakan yang melanggar
hukum. Sebaliknya, dalam perspektif patronase, pemberian
adalah sah secara kultural dan tidak melanggar hukum. Dalam
konteks ini, pendapat penulis berbeda dengan pendapat Scott;
menurut penulis, si klien memiliki kemampuan penyeimbang.
Artinya, si klien pun mampu menjadi penyeimbang dalam
menentukan relasi, bahkan dia pun dapat memutuskan relasi
terhadap patron.
Ketiga, relasi patronase bisa terjadi antarpatron. Artinya,
patron A bisa menjalin relasi dengan patron B dan C, tetapi
relasi ini tidak secara otomatis berpengaruh terhadap klien A.
Demikian sebaliknya, patron B juga tidak memiliki pengaruh
terhadap klien C. Dalam hal ini, relasi antarpatron A, B, dan
C bermotifkan ‘pertemanan’ dan cenderung tidak berkaitan
langsung dengan si klien, meskipun relasi dapat dimanfaatkan
oleh masing-masing patron. Jadi, relasi antarpatron lebih
bersifat ‘investasi kebaikan’ yang kelak dapat dimanfaatkan
oleh masing-masing dari mereka. Oleh karena relasi ini
berdasarkan ‘suka sama suka’ dan menguntungkan, mereka
cenderung mempertahankan patronase untuk kepentingan
jangka panjang.
Keempat, patronase multipiramida. Scott berfokus pada
relasi patron-klien dengan memperluas jangkauan sang patron
terhadap klien. Artinya, dalam relasi patron-klien, sang patron

Politik Ambivalensi [ 161 ]


berhubungan langsung dengan si klien yang di bawahnya ia
memiliki pengikut atau jaringan. Scott menggambarkan relasi
patron-klien tersebut dalam skema piramida sebagai berikut:
Gambar 5.3. Skema Piramida Patron-Klien versi Scott

Gambar 5.3. menampilkan relasi patron-klien yang cende­


rung bersifat satu arah (vertikalis) dan sang patron menghe­
gemoni klien. Pemberian materi dan non-materi cenderung
untuk mengukuhkan posisi patron atas ketergantungan klien
terhadapnya. Hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis
buku ini menunjukkan hal yang tidak demikian: sang klien
bisa berperan ganda, yakni bahwa dia bisa menjadi klien dua
patron sekaligus.
Gambar 5.4. Piramida Dinamika Patron-Klien versi Guno
A B C

D E

Gambar 5.4. di atas menunjukkan adanya relasi dua


arah yang saling bersinergi. Posisi B dalam gambar tersebut
menunjukkan bahwa dia bisa menjadi klien bagi A dan C.
Dengan kata lain, B bisa menjadi patron dan sekaligus menjadi

[ 162 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


klien. Dalam hal ini, posisi B bisa disebut berwajah ganda.
Terhadap patron A dan C, si B sebagai klien. Sedangkan
terhadap D dan E, dia sebagai patron. Logika patronase ini
saya gunakan untuk menganalisis nalar elite dalam studi ini.
Artinya, B sudah terbiasa mencampuradukkan nalar ganda; dia
bisa menjadi patron dan klien sekaligus. Oleh karena itu, ketika
dia berpolitik praktis, nalar ganda tersebut dimanfaatkannya
dalam rangka memengaruhi perilaku dan memobilisasi massa.

B. Kritik Terhadap Teori Strategi Politik


Teori Dahl, Lary, Diamond, Linz, dan Lipset tentang
demo­krasi dijabarkan secara praktis dalam strategi kon­
testasi antarelite oleh Schroder. Teori strategi politik yang
dipa­parkan oleh Schroder tampak jelas bernalar aktivis,
karena semangatnya dilatarbelakangi idealisme demokrasi.
Menurut Schroder, untuk memenangkan kontestasi dalam
Pilkada, elite harus memengaruhi masyarakat dengan dua
pendekatan strategi, yakni ofensif dan defensif. Strategi ofensif
diperlukan dalam rangka menembus basis massa lawan politik
atau memperluas jangkauan. Sedangkan strategi defensif
diperlukan dalam rangka mempertahankan basis massa agar
mereka tidak membelot ke lawan politik. Selain itu, strategi
defensif juga diperlukan dalam rangka ‘melepas’ massa untuk
berkoalisi dengan elite politik yang lain.
Teori Schroder tentang kontestasi antarelite ini hanya
cocok untuk elite yang terikat kuat dengan konstituennya.
Artinya, teori ini hanya cocok diterapkan terhadap elite
politik yang memiliki dukungan massa yang kuat. Selain itu,
dukungan partai politik mesti efektif berfungsi—mesin politik
bekerja menggerakkan basis massa pendukung yang setia. Pada
kenyataannya, elite politik yang berkompetisi dalam Pilkada
tidak semua didukung oleh parpol. Artinya, elite politik bisa

Politik Ambivalensi [ 163 ]


jadi mencalonkan diri karena dukungan masyarakat yang
tidak berafiliasi dengan parpol.
Selain itu, pada kenyataannya, parpol kurang efektif
mewu­judkan aspirasi masyarakat. Ada kesan, elite politik
hanya memanfaatkan parpol menjelang Pilkada/Pemilu karena
kontes­tan harus memberikan mahar. Tidak mengherankan,
masyarakat tidak terikat kuat terhadap parpol. Oleh karena
itu, mereka cenderung apolitis. Strategi ofensif lebih disenangi
elite politik dalam kontestasi Pilkada, khususnya untuk
membangun citra diri sebagai elite yang kapabel, elektabel,
dan populer. Bagaimanapun, strategi ofensif hanya efektif
dilakukan terhadap masyarakat kota. Adapun masyarakat
pedalaman atau pesisir tidak membutuhkan pencitraan elite
politik. Artinya, strategi ofensif ini tidak bisa diterapkan di
semua lapisan masyarakat.
Untuk masyarakat pedalaman atau pesisir yang masih
terikat kuat pada kekerabatan dan keterbatasan akses infor­
masi, strategi ofensif dengan pencitraan tidak relevan.
Mereka lebih membutuhkan uang, barang, jasa, dan ikatan
kekeluargaan. Oleh karena itu, patronase tepat diterapkan
dengan mengikatkan diri elite sebagai kerabat ketua adat
atau tokoh masyarakat. Ikatan batin antara elite dengan
tokoh adat atau masyarakat menjadi kunci keberhasilan
elite tersebut dalam memenangkan pilihan masyarakat. Elite
yang menjalin relasi patron-klien dengan tokoh adat atau
masyarakat merupakan bukti adanya ikatan batin yang kelak
dapat dikonversi menjadi mobilisasi massa dan dukungan
suara dalam Pilkada.
Realitanya, elite tidak hanya menggunakan strategi
ofensif dan defensif, tetapi juga memanfaatkan nalar politisi
(patronase) dalam rangka mengikat batin masyarakat. Tampak
bahwa teori ini mengabaikan kultur masyarakat lokal yang

[ 164 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


heterogen. Dengan demikian, teori Schroder tidak cocok
diterapkan dalam masyarakat heterogen dengan sebagian
besar mereka masih menghormati nilai-nilai adat dan budaya
kekerabatan (komunal) seperti Katim. Secara khusus, teori ini
hanya relevan diterapkan dalam masyarakat yang homogen,
rasional, dan individual.

C. Normalisasi Cara Pandang terhadap Money Politics


Uraian di atas berinti pada kesimpulan bahwa percampuran
nalar aktivis dan politisi berimplikasi pada perolehan suara
yang signifikan terhadap elite. Pada mulanya, elite memberi
dalam rangka mencari celah-celah politik yang kemudian
berkembang menjadi relasi patron-klien. Rajutan patronase
tersebut mengakarkan ikatan batin antara elite dengan
masyarakat yang dirawat secara kontinyu.
Dalam perspektif Scott, pemberian uang, barang, atau jasa
cenderung mengakibatkan ‘penguasaan’ sang patron terhadap
klien. Artinya, pemberian-pemberian tersebut menjadi sarana
untuk mengikat klien, agar setia atau taat kepadanya.
Sebaliknya, pandangan Ahimsa menekankan bahwa
klien memiliki posisi tawar dan bisa berganti patron.
Artinya, klien bisa menolak pemberian sang patron, kalau
pemberian tersebut dianggap tidak memenuhi kriteria yang
mereka harapkan. Dengan kata lain, relasi inequality tersebut
terjadi karena adanya ‘pemaksaan’ otoritas terhadap si klien.
Selain itu, patronase bisa terjadi tidak hanya pada orang yang
berbeda status, tetapi orang dengan status yang sama pun
bisa saling terikat dalam relasi ‘pertemanan’. Dengan kata lain,
patronase bisa terjadi antara elite lokal dengan elite nasional
atau antarelite lokal. Patronase sesama elite tersebut sering
penulis sebut dengan istilah ‘pertemanan’ atau ‘perkoncoan’.
Motif elite lokal (patron) memberikan uang, barang, dan jasa

Politik Ambivalensi [ 165 ]


kepada elite nasional ialah, pemberian itu sebagai‘investasi
politik’.
Mengacu pandangan Scott tersebut di atas, minimal ada
tujuh perbedaan mendasar antara konsep patronase yang
dimanafaatkan oleh para elite dengan konsep money politics.
Pertama, relasi patron-klien terbentuk dengan adanya
per­b e­d aan status atau persamaan status. Sang patron
memberikan uang, barang, dan jasa “berdasarkan kebutuhan
dan permintaan si klien”. Dalam hal ini, relasi bersifat pribadi
dan dilakukan tidak dalam rangka merengkuh kekuasaan
politik. Selain itu, relasi membutuhkan pengenalan pribadi,
rasa saling percaya, dan interaksi dalam rentang waktu yang
lama. Dalam konteks AFI, dia sebagai patron menjalin relasi
demikian terhadap tokoh masyarakat secara kontinyu.3
Kedua, tindakan money politics dilakukan dengan motif
untuk merengkuh kekuasaan. Biasanya, praktik money politics
terjadi menjelang Pilkada/Pemilu dengan sistem one man, one
vote, one value—suara individual pemilih sangat menentukan
kemenangan kontestan. Oleh karena itu, kontestan ‘membeli
suara’ masyarakat dengan cara membagikan uang, sembako,
ternak, bantuan sosial, dan alat elektonik. Sebaliknya, dalam
patronase, tidak dikenal adanya usaha merengkuh kekuasaan
melalui pemberian. Sebab, sang patron sudah memiliki
kekuasaan (dengan posisinya sebagai bangsawan). Karena
itu, motif utama pemberian ialah terwujudnya legitimasi
serta kharisma dari masyarakat kepada sang patron sehingga
mereka—sebagai klien—setia kepadanya. Semakin besar
pemberian, semakin besar pula legitimasi dan kharisma sang
bangsawan, serta kesetiaan masyarakat terhadapnya.

3 Op.cit, Wawancara dengan AFI.

[ 166 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


Ketiga, elite yang ingin menang dalam Pilkada dihadapkan
pada keniscayaan pemanfaatan patronase yang sudah menga­
kar dalam masyarakat. Pada umumnya, masyarakat agraris
masih menjunjung tinggi kekerabatan dan adat istiadat. Dalam
budaya masyarakat agraris, pemberian elite selaku patron
dimaknai sebagai amanah budaya dalam rangka pengentasan
kemiskinan dan penyejahteraan masyarakat. Karena amanah,
praktik pemberian ini harus dilaksanakan. Semakin banyak
dan besar pemberiannya kepada masyarakat, semakin besar
penghormatan masyarakat kepadanya sebagai bangsawan
(patron) yang berkharisma. Ada kecenderungan masyarakat
(klien) selaku penerima uang, barang, dan jasa untuk tidak
menganggap pemberian tersebut sebagai tindakan money
politics. Dalam pemikiran mereka, sudah tertanam suatu
sistem nilai budaya bahwa menerima pemberian dari seorang
bangsawan (patron) menjadi suatu kehormatan atau anugerah
bagi mereka. Sebagai balasan atas pemberian patron tersebut,
si klien taat dan setia.
Keempat, adanya ambivalensi antara nalar politisi dan
nalar aktivis. Dalam konteks nalar aktivis yang mengacu pada
tradisi demokrasi (Barat), peran individu sebagai pemegang
kedaulatan rakyat sangat dihargai. Artinya, individulah yang
akan memilih kontestan dalam Pemilu atau Pilkada. Ironinya,
tindakan money politics terjadi di era demokrasi, dengan sistem
one man, one vote, one velue diberlakukan. Dalam budaya
demokrasi, pemberian uang, barang, dan jasa dianggap sebagai
tindakan money poitics yang melanggar undang-undang.
Para pakar politik menilai pemberian-pemberian tersebut
identik dengan tindakan money politics, karena hal ini sering
dimanfaatkan oleh elite dalam rangka merengkuh kekuasaan.
Bagaimanapun, fenomena itu bisa dibaca dengan cara
lain: justru adanya nalar politisi yang masih memberlakukan

Politik Ambivalensi [ 167 ]


patronase di era demokrasi mengindikasikan terjadinya
ketidaksesuaian (incompatibility) antara sistem nilai budaya
Barat dan Timur. Dalam hal ini, terjadi ‘pemaksaan’ nilai-
nilai Barat ke dalam masyarakat tradisional (budaya Timur).
Tampaknya, kelompok patologis dan legalis lebih cenderung
menganut cara pandang Barat yang menganggap pemberian
dalam patronase identik dengan money politics yang merusak
tatanan dan proses demokratisasi di Indonesia.
Kelima, loyalitas klien cenderung kontinyu. Perbedaan
mendasar antara pemberian (patronase) dengan money politics
terdapat pada sifat kesetiaan: pada patronase, kesetiaan bersifat
terus menerus, dan pada money politics, kesetiaan bersifat
temporer. Selain itu, masyarakat sudah mampu melakukan
tindakan tandingan: menyikapi pemberian-pemberian dari
beragam kontestan, mereka hanya memberikan suara kepada
kontestan dengan pemberian paling besar. Kalau pemberian
yang diterima sedikit, si klien akan beralih ke kontesan
lain yang memberikan lebih banyak uang. Tampaknya, ada
kecenderungan masyarakat mulai ‘melek politik’ dan tidak
mau dimanfaatkan oleh elite. Sebaliknya, mereka melakukan
aksi menuntut banyak hal yang semua kontestan harus
memberikan uang dan barang. Tindakan ini dilakukan
dalam rangka memberikan pelajaran kepada kontestan yang
ingkar janji ketika Pilkada atau Pemilu sebelumnya. Artinya,
praktik money politics memunculkan ‘loyalitas semu’ yang
menempatkan klien bisa saja menerima pemberian semua
kontestan, tetapi dia tidak terikat secara batin terhadap
sang kontestan. Dia menerima uangnya, tetapi pada hari
pencoblosan, dia bisa tidak memilih kontestan tersebut.
Dengan demikian, dalam konteks money politics, kesetiaan
klien hanya berlangsung temporer pada saat Pilkada (Pemilu).
Setelah Pilkada usai, klien tidak lagi terikat relasi terhadap

[ 168 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


elite politik (kontestan), karena sasaran utama money politics
berfokus merengkuh kekuasaan dalam Pilkada. Sebaliknya,
relasi patron-klien mewujudkan rajutan ikatan batin dan
cenderung berlangsung terus menerus, kecuali si klien sudah
merasa tidak membutuhkan lagi sang patron, karena sudah
merasa membalas hutang budi. Si klien bisa memutuskan
relasi terhadap sang patron, kalau dia menganggap sudah tidak
memerlukannya lagi.
Keenam, tujuan akhir pemberian dalam patronase berbeda
dengan tujuan adalam money politics. Dalam pemberian
(patronase) bisa terjadi proses saling memberi (reproksitas):
seorang klien tidak hanya menerima, tetapi juga memberikan
barang atau hasil panenan kepada sang patron. Sementara
itu, sang klien dalam money politics, hanya pasif menerima
uang dari sang kontestan. Dia tidak memberikan barang atau
hasil panenan kepada sang kontestan. Dalam konteks money
politics, motif elite politik memberikan uang atau barang dalam
rangka ‘membeli’ suara pemilih. Tujuan akhir elite melakukan
tindakan money politics ialah memperoleh kekuasaan.
Sebaliknya, dalam konteks patronase (pemberian) motif
sang patron memberikan bukan ‘membeli suara’, tetapi
‘mendapatkan legitimasi dan loyalitas’. Bila klien yang sudah
loyal terhadap patron, akan terjadi ikatan batin. Ikatan batin
atau kedekatan tersebut merupakan modal sosial yang dapat
dikonversikan menjadi dukungan suara bagi elite dalam
Pilkada.4 Namun, sang patron yang sudah memiliki kekuasaan

4 Ibid; Bandingkan Fredrik Barth, Political Leadership among Swat Pathans (New York:
Humanities Press, 1965); Andre Beteille, Caste, Class and Power (Berkeley: University
of Californis Press, 1965); Bandingkan D. W. Atwood, “Patrons and Mobilizers: Political
Entrepreneurs in an Agrarian State” dalam Journal of Anthropological Research, Vol. 30, No.
4 (Winter, 1974), hlm. 225-241/diakses dari http://www.jstor.org/stable/3629715, tanggal
9 Mei 2012 jam 06:49; Jeremy Boissevain, Friends of Friends: Networks,Manipulators
and Coalitions (Oxford: Basil Blackwell,1974; Bandingkan Jacqueline Vel,”Kampanye

Politik Ambivalensi [ 169 ]


cenderung tidak memanfaatkan patronase tersebut untuk
merengkuh kekuasaan.
Ketujuh, dalam patronase, terjadi ikatan batin dan
utang budi. Hal ini berbeda dengan praktik money politics
yang hanya sesaat dilakukan menjelang Pilkada sehingga
tidak berdampak pada tumbuhnya utang budi; relasi antara
kontestan dengan pemilih hanya bersifat transaksional dan
temporer. Setelah Pilkada, relasi keduanya tidak berlanjut.
Artinya, kontestan hanya berkepentingan ‘membeli’ suara
pemilih. Setelah ‘harga’ disetujui, nilai pemberian dibayarkan
dan dukungan diberikan. Dengan kata lain, sang kontestan
tidak memiliki ikatan emosi terhadap pemilih. Tanpa ikatan
batin (emosi) antara elite dengan pemilih, dia tidak mengenal
mereka. Dalam praktik money politics, yang penting bagi elite
adalah perolehan suara sebanyak-banyaknya, bukan utang
budi antara kontestan dengan masyarakat.
Sebaliknya, apa yang dilakukan elite dalam konteks
patronase bermotif mengikat batin yang dilakukan jauh hari
sebelum Pilkada. Pada awalnya, motif elite memberi ialah
dalam rangka mengentaskan masyarakat dari kemiskinan
dan kebodohan. Dalam konteks AFI, bisa dikatakan bahwa ia
bersafari ke desa-desa memberikan bantuan sosial dalam rangka
memerluas rajutan patronase ke seluruh lapisan masyarakat.5
Dia memberikan bantuan dalam kapasitas sebagai bangsawan

Pemekaran di Sumba Barat” dalam Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken
(editor), Politik Lokal di Indonesia (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), hlm.116-
153. Vel memaparkan, elite politik Sumba Barat memanfaatkan agama dan etnis untuk
memengaruhi masyarakat, agar pro-pemekaran Sumba Tengah.
5 Berdasarkan laporan tim sukses AFI, Koalisi Rakyat Bersatu (KRB) ke KPU Kaltim, dana
kampanye Rp 3,3 miliar masing-masing berasal dari AFI sendiri Rp 833 juta, perusahaan
atau badan usaha Rp 2,15 miliar, dan sumbangan perorangan Rp 335 juta. Informasi
diakses dari www.kaltimpost.co.id, Sabtu, 01 November 2008, jam 10:55:00. Dana Rp.
3,3 miliar tersebut yang dilaporkan resmi kepada KPUD Kaltim. Tentu saja, masih ada
dana lain yang tidak dilaporkan oleh tim sukses AFI.

[ 170 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


yang memiliki amanah untuk menyejahterakan masyarakat.
Dengan demikian, pada mulanya, dia mempraktikkan pem­
berian bukan untuk mendapatkan suara sebanyak-banyaknya,
melainkan untuk memenuhi amanah budaya yang diembannya.
Dampak dari inisiasi relasi patron-klien yang telah dira­
jutnya selama waktu bertahun-tahun itu memunculkan
ikatan batin antara dirinya dengan masyarakat. Pada saat
dia memerlukan dukungan masyarakat dalam Pilkada,
relasi patron-klien tersebut dimanfaatkannya sebagai modal
sosial dalam rangka merengkuh kekuasaan. Dalam hal ini,
dia memadukan dua nalar politik yang memanfaatkan nalar
politisi (patronase) dan nalar aktivis (demokrasi) untuk
memengaruhi perilaku masyarakat agar terjadi konversi suara
terhadapnya.

D. Pemberian-Penerimaan sebagai Budaya


Pasca-rezim Orde Baru runtuh, bermunculan parpol
baru yang saling bersaing ketat dalam setiap Pemilu maupun
Pilkada. Adapun salah satu tujuan utama pendirian parpol
adalah mendudukkan orang dalam pemerintahan. Dengan
kata lain, parpol merupakan sarana yang dimanfaatkan oleh
elite untuk merengkuh kekuasaan. Logika pemanfaatan parpol
sebagai sarana mendudukkan seseorang dalam pemerintahan
merupakan hal normatif. Konsepsi ini selaras dengan nalar
aktivis yang memerjuangkan tegaknya nilai-nilai demokrasi.
Namun, apa yang terjadi pasca-Reformasi? Parpol hanya
dimanfaatkan oleh sekelompok elite sehingga memunculkan
oligarki dalam parlemen. Elite cenderung bernalar pragmatis
dan kontekstual dalam menyikapi persaingan dalam Pilkada.
Oleh karena itu, implikasinya muncul oligarki dalam
pemerintahan yang menyebabkan terjadinya kesenjangan
antara elite dengan masyarakat. Hal ini dapat kita tengarai

Politik Ambivalensi [ 171 ]


dalam perkembangan selanjutnya: seorang elite memanfaatkan
parpol hanya sebagai ritual lima tahunan (Pemilu/Pilkada)
untuk merengkuh kekuasaan. Sebaliknya, masyarakat yang
sudah merasa ‘dibohongi’ oleh elite dengan janji-janji yang
tidak ditepati cenderung antipati terhadap partai dan elitnya.
Hal ini terindikasi semakin menguat dan hal ini mewujud
pada gejala peningkatan golput dalam Pemilu atau Pilkada.
Hal demikian sangat dipahami AFI. Menghadapi realita
tersebut, dia cenderung memenuhi kebutuhan masyarakat.
Agar pemberian tersebut tidak terkesan sebagai tindakan money
politics yang melanggar undang-undang, dia mengolahnya
dalam kemasan bantuan sosial, program beasiswa 12 tahun,
pengobatan gratis, pembangunan sarana dan pra-sarana, dan
lain-lain. Dalam konteks ini, batasan antara patronase dan
money politics sangat tipis dan tampaknya sulit dibuktikan
dengan saksi-saksi yang kuat. Dalam konteks nalar aktivis, jelas
pemberian-pemberian semacam itu merupakan pelanggaran
undang-undang dan harus dikenakan sanksi pidana atau
pembatalan sebagai peserta Pilkada.
Sebaliknya, dalam konteks nalar politisi, saling memberi
adalah kebiasaan yang sudah ada di masyarakat. Artinya,
pemberian-penerimaan sudah menjadi budaya dalam
masyarakat. Praktik pemberian tidaklah dimaknai sebagai
tindakan melanggar hukum. Sebaliknya, praktik-praktik
ini malah dianjurkan untuk dilakukan sebagai kebiasaan
yang baik. Dalam hal ini, pemberian-penerimaan dilakukan
dengan tulus ikhlas untuk membantu memenuhi kebutuhan
masyarakat tanpa maksud tersembunyi.
Tidak bisa disangkal bahwa dalam negara dengan latar
belakang monarki dan masyarakat agraris, pengaruh adat,
budaya, dan agama sangat kuat. Adat dan budaya dalam
masyarakat berperan sebagai pengarah sekaligus pengatur

[ 172 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


perilaku masyarakat. Kristalisasi adat dan budaya yang
mengakar dalam masyarakat mewujudkan sistem nilai
budaya. Sistem nilai budaya itulah yang memengaruhi cara
pikir, perilaku, dan sikap masyarakat, termasuk para elite
politik. Sistem nilai budaya yang sudah tumbuh subur dalam
masyarakat inilah yang merawat interaksi antara elite dan
masyarakat. Adapun patronase merupakan salah satu wujud
dari sistem nilai budaya yang memengaruhi cara pandang dan
perilaku bangsawan (patron).
Oleh karena itu, untuk merawat relasi dengan masyarakat
yang diposisikan sebagai klien, maka elite memberikan materi
dan non-materi. Pemberian tersebut dimaksudkan untuk
memelihara relasi dan kesetiaan klien terhadapnya. Selain
itu, secara substansial pemberian tersebut mengindikasikan
kebesaran kharismanya. Semakin besar pemberian, semakin
besar kharisma dan pengaruhnya. Jadi, ada korelasi antara
pemberian yang dilakukan elite dengan kharismanya.
Pemberian tersebut dilakukan dengan tulus ikhlas tanpa
ada paksaan. Masyarakat selaku pihak penerima memaknai
pemberian tersebut sebagai suatu kehormatan atau anugerah.
Dengan demikian, pada mulanya, tidak ada aspek politisasi
dalam pemberian tersebut.
Meskipun zaman berubah dan rezim berganti, budaya
patronase tersebut tidak punah. Sebaliknya, budaya tersebut
semakin menguat seiring dengan melemahnya kepercayaan
masyarakat terhadap elite di era Reformasi. Oleh karena itu,
pemanfaatan budaya patronase tersebut tidak terhindarkan
bagi elite yang berkompetisi dalam Pilkada. Elite memanfaatkan
budaya patronase, karena dia ingin menampilkan diri sebagai
bangsawan yang berkharisma. Dengan nalar ini, dia berupaya
untuk memengaruhi masyarakat agar setia kepadanya. Elite
sebagai bangsawan memosisikan dirinya sebagai patron,

Politik Ambivalensi [ 173 ]


sedangkan masyarakat diposisikan sebagai klien yang pasif
dan taat. Sebagai patron, elite merawat relasi terhadap klien
tersebut secara kontinyu, bahkan sampai keturunan yang
ketiga. Oleh karena itu, klien merasa berhutang budi dan
harus taat. Untuk melegitimasi ketaatan tersebut, adat dan
agama dimanfaatkan. Melalui sumpah adat atau agama, klien
dikondisikan setia sampai mati terhadap patron (bangsawan).
Selain itu, untuk tetap menjaga kharisma sang bangsawan,
direkayasalah memori sosial masyarakat melalui mitos agar
mewujud dua hal. Pertama, raja dicitrakan sebagai titisan dewa.
Oleh karena masyarakat agraris masih percaya dengan hal-hal
yang bersifat mistis, maka raja menempatkan dirinya dalam
ranah mistis. Seorang raja dimitoskan sebagai keturunan Dewa
yang Maha Sakti. Artinya, seorang raja memiliki kesaktian yang
tidak terbatas, karena dia titisan dewa. Untuk mengidentifikasi
kesaktian seorang raja, diperlukan ritual erau sebagai pengikat
rasa takjub masyarakat kepadanya.
Pada mulanya, ritual erau digelar dalam rangka penobatan
seorang raja. Ritual ini dilangsungkan selama 40 hari dan
disertai persembahan korban. Mitos raja sebagai titisan dewa
mengindikasikan adanya nalar hegemoni terhadap masyarakat.
Dalam hal ini, masyarakat diposisikan sebagai klien yang tidak
memiliki hak untuk tawar-menawar. Selain itu, kehadiran raja
atau bangsawan juga ditandai dengan kepemilikan pusaka
dalam bentuk tombak, keris, dan perisai. Kepemilikan
pusaka tersebut mengindikasikan kesaktian yang dimiliki
bangsawan sehingga menimbulkan rasa takjub dan ketaatan
bagi masyarakat. Raja yang sakti tersebut memberikan tanah,
barang, dan jasa kepada masyarakat agar mewujud kebesaran
kharismanya.
Kedua, pemberian dimaknai sebagai kehormatan atau anu­
gerah. Respons masyarakat terhadap pemberian raja tersebut

[ 174 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


ialah memberikan persembahan hasil bumi dalam ritual erau.
Mereka sangat bersyukur karena telah diberi tanah, barang, dan
jasa oleh raja sehingga mereka dapat mencukupi kebutuhan
keluarga. Artinya, mereka menyadari bahwa saling memberi
adalah suatu kehormatan, dan bukan tindakan tercela. Bagi
mereka, pemberian seperti ini mengindikasikan martabat dan
harga diri mereka. Kalau mereka bisa memberikan kepada raja
hasil bumi, maka harga diri mereka akan terangkat.
Ketiga, raja memberikan gelar Awang (bangsawan)
kepada tokoh masyarakat. Gelar ini diberikan kepada tokoh
masyarakat yang dianggap berjasa kepada raja dengan tujuan
agar masyarakat terus setia. Artinya, tidak semua masyarakat
bisa memperoleh gelar Awang. Hanya mereka yang telah
terbukti berjasa, setia, dan layak mengabdi kepada raja yang
diberi gelar bangsawan. Bagi masyarakat (rakyat jelata),
menerima gelar bangsawan berarti ‘kenaikan derajat’ mereka.
Namun, konsekuensi bagi Awang ialah, mereka harus setia
sampai mati kepada raja. Para Awang inilah yang menjadi
klien elite Kutai di Orde Baru sampai sekarang. Gambar 5.5.
dan Gambar 5.6. berikut menjelaskan nalar politisi tersebut:
Gambar 5.5. Patronase dalam Tradisi Erau
(Pemberian sebagai pewujudan kharisma)
erau: pemberian materi dan non-materi

Raja

Masyarakat
persembahan hasil bumi

Politik Ambivalensi [ 175 ]


Gambar 5.6. Patronase dalam Tradisi Erau
(Pemberian gelar menaikkan martabat)
erau: gelar bangsawan

Raja

Awang

sumpah setia

Dari gambar di atas, tampak jelas bahwa dalam tradisi


erau, peran patronase sangat penting. Ada tiga peran strategis
patronase dalam masyarakat. Pertama, pem­berian materi dan
non-materi mewujudkan kharisma seorang raja (patron).
Artinya, raja yang mengklaim dirinya sebagai titisan dewa
mengindentifikasi diri sebagai dermawan yang diwujudkan
dengan memberi materi dan non-materi kepada masyarakat.
Namun, pemberian tersebut dimaksudkan untuk melegitimasi
diri (sehingga dia berkharisma).
Kedua, pemberian masyarakat kepada raja berupa hasil
panen merupakan ucapan syukur atau penghormatan. Dalam
konsep demikian, pemberian tersebut tidak memuat tendensi
politis, karena raja memberikan tanah, uang, barang, dan jasa
dalam rangka memperbesar kharismanya. Maka, pemberian
tersebut tidak ditujukan untuk mendapatkan kekuasaan.
Sebaliknya, masyarakat memersepsikan pemberian raja
sebagai bentuk kehormatan, dan mereka membalasnya dengan
mempersembahkan hasil panen sebagai bentuk ketaatan atau
kesetiaan.
Ketiga, pemberian gelar bangsawan kepada tokoh
masyarakat dimaknai sebagai ‘kenaikan martabat’ seseorang.
Namun, implikasi pemberian gelar tersebut mengandung

[ 176 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


konsekuensi kepatuhan atau ketaatan terhadap raja. Artinya,
seorang rakyat jelata yang menyandang gelar bangsawan
niscaya untuk taat dan melaksanakan kepentingan raja. Saya
menyebut ketaatan bangsawan tersebut dengan istilah klien;
dia harus menjadi abdi raja baik untuk kepentingan pribadi
maupun masyarakat.
Di era Reformasi yang menganut sistem demokrasi,
pene­­rapan tata nilai demikian menghadapi masalah. Untuk
menjadi kepala daerah (bupati/gubernur), bangsawan tersebut
harus melalui tahapan Pemilu/Pilkada yang dipilih oleh rakyat
secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber
dan jurdil). Dia harus memerankan diri sebagai seorang yang
demokrat yang taat terhadap regulasi. Dia harus bersih dari
pelanggaran HAM dan KKN. Sebaliknya, dalam konteks
pragmatis, seorang kepala daerah yang dipilih oleh masyarakat
secara langsung harus mampu memenuhi kebutuhan mereka,
dan pemenuhan ini mesti diwujudkan melalui pemberian
materi dan non-materi.
Di sini tampak ambivalensi politik yang banyak dinafikan
oleh para pakar. Ambivalensi ini juga tampak jelas pada
pengalaman AFI sebagai elite Kaltim ketika mencalonkan diri
sebagai kepala daerah. Di satu sisi, dia seharusnya menegakkan
nilai-nilai demokrasi, tetapi di sisi lain dia dihadapkan pada
tuntutan masyarakat yang pragmatis. Masyarakat seolah-olah
menghukumnya dengan mengajukan banyak tuntutan dan
menetapkan harga per satu suara. Mereka terang-terangan
meminta uang kepadanya sebagai prasyarat agar mereka
memberikan dukungan dan suara mereka kepadanya.
Tentunya, fenomena ini tidak muncul dengan sendirinya.
Sebenarnya apa yang mereka lakukan merupakan bentuk balas
dendam atau sekadar mencari untung. Dalam Pilkada atau
Pemilu sebelumnya, bisa jadi mereka merasa dikecewakan oleh

Politik Ambivalensi [ 177 ]


elite yang ingkar janji. Oleh karena itu, ketika elite tersebut
mencalonkan diri lagi dalam Pilkada, dia mendapat sanksi
masyarakat yang mewujud melalui berbagai tuntutan.
Konsekuensi logisnya, AFI berpijak pada dua penalaran
yang berbeda yang memosisikan tradisi pemberian sebagai
bentuk kehormatan untuk menaikkan kharisma seseorang.
Sementara itu, dalam tradisi demokrasi, pemberian dianggap
sebagai tindakan money politics. Dalam perspektif patologis
maupun legalis, pemberian uang atau barang di atas satu juta
rupiah dianggap gratifikasi. Tindakan pemberian tersebut bisa
dikategorikan sebagai tindakan korupsi yang diancam dengan
sanksi pidana. Hal ini benar-benar disadarinya. Oleh karena
itu, dia merekayasa pencampuran dua nalar tersebut dalam
rangka memengaruhi perilaku dan memobilisasi pemilih.
Pencampuran dua nalar yang ambivalen tersebut dikelola
dalam pemberian yang dikemas melalui relasi patron-klien
dan rekayasa sosial. Selanjutnya, dia juga mencitrakan diri
sebagai problem solver. Percampuran dua nalar itu disebut
dengan istilah politik ambivalen. Gambar-gambar berikut
menjelaskan istilah ini:
Gambar 5.7. Nalar Politisi
Pemberian sebagai kebiasaan/budaya

pemberian materi dan non-materi

Elite (AFI)
Masyarakat
Pedalaman/Pesisir

hutang budi dan kesetiaan

[ 178 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


Gambar 5.8. Nalar Aktivis Strategi Politik

rekayasa sosial: musuh bersama

AFI (Elite) lem solver: rasa kekitaan

Masyarakat
Kota

Gambar 5.9. Nalar Politik Ambivalensi


Nalar Aktivis

Ambivalensi:
Kontestasi Kekuasaan
Money Politics vs
Antarelite
Pemberian

Nalar Politisi

Dari paparan gambar-gambar di atas, tampak jelas bahwa


politik ambivalensi mewujud dalam percampuran dua nalar,
politisi dan aktivis. Pertama, nalar politisi. AFI memahami
bahwa masyarakat pedalaman dan pesisir masih terikat kuat
dengan adat, agama, dan budaya. Mereka juga masih menaati
ketua adat dan agama. Memperhatikan realita tersebut, maka
dia merajut relasi patronase melalui pendekatan budaya dan
adat. Implikasi dari relasi patronase tersebut, terjadi ikatan
batin antara elite dan ketua adat. Ikatan batin antara dirinya
dengan ketua adat tersebut ditandai dengan pemberian
materi dan non-materi. Jadi pemberian itu menjadi ‘perekat’
yang berimplikasi pada munculnya ‘utang budi’. Ketika dia
mencalonkan diri sebagai kepala daerah, rajutan patronase

Politik Ambivalensi [ 179 ]


tersebut dimanfaatkannya untuk memengaruhi ketua adat agar
massa mendukungnya. Oleh karena ketua adat telah percaya
bahwa dia akan memberikan bantuan, maka relasi patron-
klien terkonversi menjadi dukungan suara terhadapnya.
Kedua, nalar aktivis. Bersamaan pemanfaatan nalar patro­
nase tersebut, AFI merekayasa sebuah fenomena sosial dengan
memunculkan isu ‘musuh bersama’ di antara masyarakat kota.
Implikasi dari rekayasa ini ialah munculnya rasa kekitaan di
tengah masyarakat. Dengan adanya rasa kekitaan, maka dia
mencitrakan diri sebagai ‘bapak pembangunan’ untuk semua
kelompok dan menginisiasi rajutan patron-klien terhadap
masyarakat kota. Semangat rasa kekitaan tersebut juga
dimanfaat­kannya dalam rangka memobilisasi massa.
Sementara itu, Gambar 2.3. memaparkan bagaimana AFI
menge­lola dua nalar tersebut dan mewujudkannya dalam
bentuk strategi politik. Percampuran antara nalar politisi
dengan nalar aktivis terjadi ketika dia mencalonkan diri
dalam Pilkada. Hal ini dilakukan dalam rangka memengaruhi
perilaku masyarakat dalam menentukan pilihan. Bagi masya­
rakat pedalaman/pesisir yang sudah menerima bantuan, dapat
diprediksi, minimal 80% mereka akan memilihnya.
Sementara itu, bagi masyarakat kota yang tidak menerima
bantuan secara langsung, maka mereka membutuhkan bukti
konkret jejak rekam kapabilitas dan elektabilitas elite. Oleh
karena itu, AFI mengelola nalar aktivis dengan menjawab
kesangsian masyarakat kota. Dia mengampanyekan karya
konkretnya dalam rangka mengentaskan kemiskinan, kebo­
dohan, pengangguran, dan perusakan sumber daya alam.
Dengan memosisikan diri sebagai ‘bapak pembangunan’
dan terbuka untuk semua kelompok masyarakat, dia
berha­rap akan muncul kepercayaan mereka terhadapnya.
Kepercayaan masyarakat ini dimanfaatkannya dalam rangka

[ 180 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


memengaruhi perilaku pemilih. Artinya, dia memanfaatkan
kepercayaan masyarakat dan mentransformasikannya ke
dalam konversi suara terhadapnya. Dengan demikian, nalar
politisi dimanfaatkan melalui pemberian yang mengikat batin
masyarakat. Sementara itu, nalar aktivis mewujud melalui
strategi politik dalam rangka memengaruhi, memobilisasi,
dan konversi suara pemilih.
Kajian ini menjawab permasalahan tentang nalar seperti
apa yang dikembangkan oleh elite—yang dalam hal ini diwakili
oleh AFI—dalam menyikapi dua perspektif tersebut? Yang perlu
dikritisi ialah apakah politik ambivalen yang dimanfaatkan oleh
elite dalam Pilkada tersebut dibiarkan saja sehingga merusak
penegakan demokrasi di Indonesia? Ataukah sebaliknya:
apakah diperlukan penghapusan patronase dari budaya
Indonesia sehingga nilai-nilai demokrasi dapat berkembang
dengan efektif dan efisien. Setelah ditemukan adanya nalar
ambivalensi dalam Pilkada? Lalu apa langkah selanjutnya
untuk mengatasinya? Bukankah substansi politik praktis ialah
ambivalen? Ada dua hal yang penulis formulasikan sebagai
konsep, sebagai berikut:
Pertama, pemberlakuan regulasi yang ketat terhadap
kontestan dan parpol. Secara normatif atau idealis, diperlukan
adanya pengaturan regulasi yang mengontrol perilaku kontestan
yang bersaing. Selain itu, perlu diberlakukan sanksi yang tegas
terhadap kontestan dan parpol. Terhadap kontestan yang akan
bersaing dalam Pilkada sudah ditegaskan bahwa pelanggaran
regulasi berakibat pada pembatalan pencalonannya. Demikian
juga dengan parpol, berlaku aturan yang sama: kalau terbukti
bahwa elite parpol menerima ’mahar politik’, maka parpol
tersebut mendapat sanksi hukum yang berat dan pembatalan
sebagai peserta Pilkada. Sanksi berat tersebut dimaksudkan
untuk membersihkan elite dari tindakan pelanggaran.

Politik Ambivalensi [ 181 ]


Selain itu, perlu juga diadakan kontrol terhadap penggu­
naan dana kampanye kontestan, agar tertib dan efektif.
Idealnya, semua kegiatan dana kampanye ditanggung oleh
pemerintah melalui APBN. Dengan adanya kontrol terhadap
dana kampanye, maka transaksi politik berupa money
politics akan diminimalisir. Diharapkan semua kontestan
yang berkontestasi akan bersaing secara jujur dan terbuka.
Semua aktivitas kampanye dilaporkan dan diaudit oleh para
profesional dan dipertanggungjawabkan kepada publik.
Kedua, kedewasaan berpolitik. Bersamaan dengan pene­
gakan hukum yang tegas, diperlukan kedewasaan berpolitik.
Yang dimaksud dengan kedewasaan berpolitik di sini ialah
terbuktinya integritas kontestan melalui suatu mekanisme
pengujian. Atau dengan kata lain, masyarakat mengenal dan
mengetahui bahwa kontestan dapat dipercaya dan memiliki
kemampuan untuk memajukan daerah.
Menurut hemat penulis, patronase tidak bertentangan
dengan regulasi yang berlaku asal dilakukan dengan tulus
dan ikhlas. Rajutan patronase bisa diinisiasi jauh hari sebelum
Pilkada dilangsungkan sehingga yang bersangkutan tidak
melanggar regulasi dan terkena sanksi. Dengan diberlakukan
inisiasi patronase jauh hari sebelum Pilkada, maka elite diberi
kesempatan berkarya nyata dalam pengentasan kemiskinan
dan memajukan masyarakat.
Dengan demikian, ada baiknya kontestan yang akan ber­
kon­testasi diwajibkan untuk membuktikan terlebih dahulu
dengan karya nyata dalam masyarakat, khususnya dalam
pengentasan kemiskinan minimal dua tahun. Adanya kewajiban
ini dimaksudkan untuk menguji integritas kontestan secara
efektif. Artinya, diperlukan suatu pembuktian terbalik: seorang
kontestan yang akan berkontestasi dalam Pilkada bukan adu
program saja. Sebaliknya, mereka juga berkontestasi secara

[ 182 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


nyata bekerja memajukan masyarakat. Hendaknya, kontestan
yang akan mendaftar dalam Pilkada sudah membuktikan
dirinya dengan jejak rekam yang konkret: bebas KKN dan
pelanggaran HAM, serta memajukan masyarakat.
Dengan adanya kontestasi karya nyata antar kontestan,
diharapkan akan muncul pemimpin yang berkualitas karena
materi penilaian masyarakat ialah kualitas kontestan dalam
bekerja. Dengan demikian, masyarakat disodori jejak rekam
kontestan. Jika ini terlaksana, akan terjadi perubahan dari
yang berlaku selama ini: masyarakat hanya disodori nama-
nama kontestan tanpa kejelasan akan karya mereka dalam
memajukan masyarakat.

Politik Ambivalensi [ 183 ]


BAB VI
KESIMPULAN

M
enyikapi skema regulasi yang diberlakukan dalam
Pilkada dan pengelolaan patronase, elite (AFI)
merujuk pada politik ambivalensi. Di satu sisi,
dia harus memerankan diri sebagai seorang yang demokrat
yang taat terhadap regulasi yang berlaku. Namun, di sisi lain
dia dihadapkan pada persaingan yang sengit baik secara
internal dalam parpol maupun eksternal dengan kontestan
lainnya. Persaingan ketat tersebut memacu para kontestan
untuk melakukan apa saja untuk meraih kemenangan. Dalam
konteks ini, AFI niscaya menggunakan dua nalar supaya
menjadi pemenang dalam Pilkada.

A. Perspektif Normatif/Idealis
Sikap AFI terhadap skema regulasi Pilkada cenderung
nor­matif dan prosedural. Artinya, dia berupaya untuk menaati
aturan main dalam tahapan Pilkada yang ditentukan berda­
sarkan undang-undang yang berlaku. Melalui parpol sebagai
pengusung, dia mendaftarkan diri ke KPUD untuk dapat ikut
dalam kontestasi Pilkada. Dia pun memenuhi persyaratan
administrasi dan mengikuti berbagai tahapan yang ditetapkan
oleh KPUD. Hal ini dilakukannya dalam rangka memerankan
diri sebagai seorang yang demokrat agar muncul simpati

[ 184 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


masyarakat terhadapnya. Selain itu, dia juga mencitrakan diri
bersih dari pelanggaran HAM dan KKN, serta berintegritas
sehingga layak untuk dipilih. Selain itu, untuk merebut
kekuasaan, dia harus bersaing dengan elite lain secara bebas
dan jujur. Persaingan antarelite tersebut diatur dalam regulasi
yang diwujudkan melalui Pilkada/Pemilu secara berkala.

B. Perspektif Pragmatis
Dalam konteks nalar politisi, orientasi dan strategi
politik, AFI cenderung pragmatis dan kontekstual. Dia
berorientasi untuk merebut kekuasaan dengan pendekatan
kultural (patronase). Artinya, dia mengikatkan diri dalam
relasi patron-klien dengan tokoh adat, masyarakat, dan agama
agar terjadi ikatan batin. Untuk memelihara relasi tersebut,
dia memberikan berbagai bantuan, baik materi maupun non-
materi. Baginya, pemberian bukanlah suatu tindakan yang
melanggar hukum karena dilakukan dalam konteks membantu
dan mengatasi kemiskinan. Hal ini bisa dimaklumi karena
kebiasaan saling memberi sudah menjadi budaya masyarakat
di Kaltim. Peran seorang bangsawan (elite) dalam masyarakat
adalah mengemban amanah mengentaskan kemiskinan dalam
masyarakat. Kalau seorang bangsawan tidak memberikan
bantuan, hilanglah kharismanya. Masyarakat tidak mau lagi
menjadi kliennya dan mereka akan beralih ke patron lain
(elite) yang mau memberikan bantuan dalam berbagai bentuk.
Orientasi AFI dalam memperebutkan kekuasaan sebagai
kepala daerah (bupati) hanyalah merupakan sasaran politik.
Baginya, yang terpenting adalah mengumpulkan modal
finansial sebanyak-banyaknya untuk merengkuh jabatan
Kaltim-1 (gubernur). Untuk itu, dia memanfaatkan nalar
kebangsawanannya yang mewujud melalui relasi patronase.
Dia juga memanfaatkan birokrasi, regulasi, dan rekayasa

Politik Ambivalensi [ 185 ]


sosial untuk menegaskan dirinya sebagai ‘putera daerah’
yang mampu mengatasi persoalan kemiskinan, kebodohan,
perusakan moral, dan perusakan alam. Melalui berbagai
pemberian, dia berupaya untuk menginvestasikan hutang budi
kepada masyarakat sehingga mereka akan setia kepadanya.

C. Politik Ambivalensi
Penalaran adalah cara berpikir sistematis atau kondisi
mental yang diwujudkan dalam prinsip-prinsip. Pemahaman
pena­laran adalah cara berpikir sistematis yang bermuara pada
mental. Sementara itu, dalam konteks AFI, dalam rangka
peme­nangan Pilkada baik secara langsung maupun tidak
lang­sung, dikembangkan dua penalaran, yakni nalar aktivis
dan nalar politisi. Kedua nalar tersebut saling bertentangan
dalam hal orientasi dan strategi politik, tetapi bekerja secara
bersama-sama. Perbedaan kedua penalaran tersebut tampak
dalam menyikapi pemberian materi dan non-materi.
Para aktivis tegas menolak praktik pemberian materi dan
non-meteri yang diidentikkan sebagai praktik money politics
dalam Pemilu/Pilkada. Mereka beranggapan pemberian dalam
bentuk materi dan non-materi identik dengan praktik money
politics. Elite yang melakukan praktik pemberian materi dan
non-materi tidak pantas dipilih oleh rakyat, karena dianggap
telah mengkhianati penegakan nilai-nilai demokrasi. Elite yang
merengkuh kekuasaan dengan tidak jujur dan mengandalkan
pemberian materi dianggap telah melanggar undang-undang
dan patut dijatuhi sanksi pidana. Oleh sebab itu, sikap para
aktivis terhadap elite yang melakukan money politics dalam
Pilkada/Pemilu jelas dan tegas. Elite dianggap melanggar
hukum dan layak dibatalkan pencalonannya sesuai undang-
undang yang berlaku.

[ 186 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


Sebaliknya, nalar politisi cenderung pragmatis dan kon­
tekstual, khususnya dalam hal pemberian materi dan non-
materi. Dengan asumsi para politisi, memberikan materi
kepada masyarakat yang miskin dan menyejahterakan tidak
bertentangan dengan hukum—apalagi bagi seorang bangsawan
yang memiliki amanah untuk menyejahterakan masyarakat
yang miskin. Selain itu, masyarakat juga menganggap bahwa
pemberian seorang bangsawan merupakan suatu kehormatan
atau anugerah. Artinya, mereka tidak mempermasalahkan
pemberian elite tersebut sebagai tindakan money politics.
Dalam hal Pilkada Kaltim, AFI menyadari bahwa pemanfa­
atan pemberian materi dan non-materi dalam ranah nalar
aktivis divonis sebagai tindakan money politics yang melanggar
hukum. Oleh karena itu, dia mengelolanya dalam strategi
politik, khususnya untuk memengaruhi perilaku masyarakat
kota dengan rekayasa sosial. Dia menggaungkan isu musuh
bersama agar mewujud rasa kekitaan. Pemberian materi
dikemas dan dilabeli bantuan sosial, bantuan pendidikan,
bantuan kesehatan, dan bantuan pembangunan. Dia juga
mengelola pemberian tersebut secara rasional dan dapat
dipertanggungjawabkan sebagai biaya politik.
Motif di balik patronase ialah investasi hutang budi. AFI
menga­karkan pengaruhnya terhadap ketua adat dan tokoh
masyarakat agar terwujud ikatan batin. Pencampuradukkan
dua nalar politik tersebut, penulis sebut sebagai nalar politik
ambivalensi. Tampaknya, nalar politik ambivalensi tersebut
efektif dimanfaatkannya. Hal ini terbukti dengan perolehan
suara yang dimenangkannya di daerah pedalaman dan pesisir
sangat signifikan. Artinya, dia telah berhasil memengaruhi
masyarakat pedalaman dan pesisir melalui relasi patron-
klien. Sementara itu, perolehan suara yang dimenangkannya
di kota-kota besar terpaut tipis dengan kontestan lain. Hal ini

Politik Ambivalensi [ 187 ]


mengindikasikan persaingan ketat terjadi di kota-kota besar
dengan adanya kontestan lain yang memiliki basis massa
cukup kuat, dan mengindikasikan adanya money politics yang
ditebarkan oleh masing-masing kontestan. Hampir semua
kontestan dalam Pilkada melakukan tindakan money politics
untuk memengaruhi massa. Permasalahannya, tindakan
money politics tersebut berlangsung di ranah yang tersembunyi
sehingga tidak cukup bukti untuk diungkap ke ranah publik
untuk ditindaklanjuti secara hukum.

D. Redefinisi Konsep Money Politics


Berdasarkan uraian di atas, perlu kita kaji ulang secara
kritis tentang makna pemberian materi dan non-materi yang
dimaknai oleh para aktivis sebagai money politics. Dalam
konteks kultural, pemberian materi dan non-materi sah dan
tidak bertentangan dengan undang-undang. Sebaliknya,
dalam konteks nalar aktivis, pemberian materi dan non-materi
melanggar undang-undang. Oleh karena itu, perlu dicari titik
temu, yang menempatkan pemberian materi dan non materi
tidak melanggar undang-undang dan sebaliknya.
Batasan antara pemberian dan money politics sangat
tipis, dan hal ini bergantung pada tiga hal. Pertama, motif
elite memberikan materi dan non-materi. Bagi para politisi,
pemberian dimaknai sebagai amanah moral untuk menyejah­
terakan. Artinya, elite (bangsawan) memiliki tanggung
jawab moral dan secara konkret menyantuni mereka dengan
pemberian-pemberian tersebut. Namun, bagi para aktivis,
pembe­rian materi dan non-materi adalah pelanggaran
regu­lasi, karena didasarkan atas motif membeli dukungan
pemilih. Di sini, tampak adanya dua perbedaan motif. Motif
elite memberi jelas bukan untuk membeli suara, melainkan
melak­sa­nakan amanah budaya-menyejahterakan masyarakat.

[ 188 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


Dengan demikian, vonis terhadap para politisi tidak tepat,
karena dia menjalankan amanah budaya. Jadi, dapat ditarik
suatu kesimpulan, jika motif elite memberikan materi dan non-
materi dalam rangka membeli suara pemilih, maka tindakan
tersebut melangar regulasi. Sebaliknya, bila melalui pemberian
tersebut dia berupaya menyejahterakan masyarakat, dia tidak
bisa divonis melanggar regulasi.
Kedua, waktu pemberian. Bila elite memberikan materi
dan non-materi pada tahapan kampanye, maka tindakannya
termasuk dalam kategori money politics dan bisa divonis
melanggar regulasi. Dia bisa dikenai sanksi pembatalan
pencalonannya atau sanksi pidana. Sebaliknya, bila dia
memberikan bantuan-bantuan itu di luar tahapan kampanye
dan jauh hari sebelum dia mencalonkan diri sebagai kontestan,
maka tindakan elite tersebut tidak bisa dikategorikan money
politics.
Ketiga, tujuan pemberian. Elite memberikan materi dan
non-materi tentu memiliki maksud dan tujuan. Jika tujuannya
untuk membeli suara pemilih dalam Pilkada, maka tindakan
tersebut jelas melanggar regulasi. Sebaliknya, bila tujuannya
menyejahterakan masyarakat, maka apa yang dilakukannya
tidak melanggar regulasi.

E. Konstruksi Politik Ambivalensi


Di balik bekerjanya nalar politisi, ada amanah budaya
yang memosisikan seorang bangsawan harus bertanggung
jawab atas problema masyarakat. Sementara itu, para aktivis
berasumsi pemberian materi dan non-materi adalah tindakan
money politics, karena elite membeli suara untuk pemenangan
dalam Pilkada. Praktiknya, para politisi mewujudkan
pemberian melalui relasi patron-klien. Dalam hal ini, elite
ingin mendekatkan diri dengan tokoh adat, agama atau

Politik Ambivalensi [ 189 ]


masyarakat. Sedangkan dalam praktik money politics, elite
melakukannya di ranah yang tersembunyi.
Selain itu, nalar politisi bermuara dalam tradisi atau
adat istiadat yang sudah menjadi sistem nilai budaya dalam
kehi­dupan masyarakat. Sementara itu, konsep money politics
berakar dalam budaya modern (demokrasi) yang diman­
faatkan oleh elite dalam rangka membeli suara pemilih.
Nalar politisi mewujud dengan adanya relasi patron-klien
yang cenderung mengikat batin dan berlangsung secara terus
menerus, sedangkan money politics bersifat temporer dan tidak
mengikat batin antara elite dengan masyarakat.
Dengan demikian, nalar politisi (patronase) tidak iden­
tik dengan money politics, karena motif dan cara kerja yang
berbeda. Patronase berkonotasi positif, karena bermotif
menyejah­terakan masyarakat. Adapun money politics cen­
derung berkonotasi negatif, karena bermotif membeli suara
pemilih dalam Pilkada. Namun, penulis menyadari keduanya
sulit dibedakan pada tataran praktiknya, karena batasannya
sangat tipis.
Realitasnya, patronase sudah diketahui secara umum
dalam masyarakat dan mewujud dalam perilaku sehari-hari.
Adanya perbedaan nalar dan cara kerja antara patronase
dengan money politics tersebut mengisyaratkan adanya dua
pola pikir yang berbeda. Menurut penulis patronase sudah
menjadi sistem nilai budaya dalam masyarakat di Kaltim.
Oleh karena itu, gejala ini tidak bisa divonis sebagai penyakit
demokrasi. Memberantas budaya patronase dalam masyarakat
berarti menghapus budaya yang sudah mengakar berabad-
abad lamanya dalam masyarakat Indonesia.
Patronase sudah menjadi bagian dalam kehidupan masya­
rakat, dan berakar dalam sistem nilai budaya. Oleh karena
itu, pemberian dalam konteks relasi patron-klien cenderung

[ 190 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


berlangsung terus menerus dan bertahun-tahun. Sebaliknya,
money politics dilakukan oleh elite politik dalam rangka
transaksi politik sesaat untuk merengkuh kekuasaan. Oleh
karena itu, tindakan money politics bersifat transaksional dan
tidak mengikat batin antara elite dengan masyarakat.
Seperti dua sisi mata uang, antara patronase dan money
politics berbatasan tipis. Oleh karena itu, elite menginstru­
mentasi keduanya dalam rangka memenangkan kontestasi
dalam Pilkada. Elite menginstrumentasi patronase dalam
rangka menginvestasikan hutang budi. Bisa jadi elite juga
mela­kukan tindakan money politics di ranah yang tersembunyi
sehingga tidak diketahui orang lain.

F. Paradigma Baru: Sebuah Tawaran


Sebagai penutup, buku ini menawarkan paradigma baru
untuk menjelaskan politik ambivalensi yang bekerja di balik
pemenangan Pilkada. Studi terdahulu dalam konteks politik
di Asia Tenggara yang dilakukan Scott (1972) menawarkan
tesis bahwa relasi patron-klien terindikasi dari tiga hal, yakni
adanya relasi yang berbeda status (jenjang), pertemuan face
to face (pertemanan), dan relasi luwes dan meluas. Teori
patronase yang ditawarkan Scott tersebut hanya berlaku untuk
dua orang yang memiliki status sosial yang berbeda. Hal ini
selaras dengan tesis yang diajukan Kerkvliet (1995) dan Wolf
(1966) bahwa relasi patron-klien di Filipina, Amerika Latin,
Rusia, dan Jawa dimulai dari relasi pribadi (pertemanan) yang
kemudian berlanjut ke ranah politik.
Bagaimanapun, teori Scott ini mengandung kelemahan.
Pertama, teori ini hanya berfokus pada relasi patron-klien
antara dua orang yang berbeda status. Sementara itu, kajian ini
membuktikan bahwa relasi patron-klien terjadi bukan hanya
antara dua orang yang berbeda status, melainkan juga sesama

Politik Ambivalensi [ 191 ]


patron yang berstatus sama. Selain itu, secara vertikal, elite
berperan sebagai klien ganda terhadap elite Kutai dan elite
Orde Baru. Sebaliknya, secara horisontal, elite berperan sebagai
patron bagi masyarakat pedalaman/pesisir dan perkotaan.
Kedua, Scott tidak menyentuh sama sekali penalaran
aktor politik dalam usaha memenangkan kontestasi. Buku
ini membuktikan, ada kaitan kuat antara penalaran dengan
praktik politik dan kaitan ini melahirkan politik ambivalensi.
Ketiga, teori Scott tentang patronase tidak menyinggung
adanya pemanfaatan sistem nilai budaya, khususnya dalam
instrumentasi oleh elite untuk merengkuh kekuasaan. Padahal,
sistem nilai budaya pemberian tersebut memiliki pengaruh
yang kuat terhadap cara pandang dan perilaku masyarakat. Elite
memanfaatkan patronase untuk menghegemoni masyarakat
pedalaman dan pesisir. Sedangkan untuk memengaruhi
masyarakat kota, elite merekayasa adanya isu ‘musuh bersama’
dan ‘rasa kekitaan’.
Tujuan utama penerapan nalar politisi dan nalar aktivis
(pencitraan) ialah dalam rangka menciptakan ketergantungan
(utang budi) masyarakat terhadap elite. Ketika elite mencalon­
kan diri dalam Pilkada, maka patronase tersebut dikonversikan
menjadi dukungan suara. Demikian juga dengan rekayasa opini
publik (pencitraan) yang mengkristal menjadi popularitas dan
elektabilitas. Masyarakat kota yang rasional akan cenderung
menentukan pilihan kepada elite yang populer (dikenal) dan
ter­bukti telah berkarya nyata mengentaskan kemiskinan
masya­rakat. Nalar di balik pemanfaatan patronase dan pen­
citraan ialah bahwaw elite membutuhkan legitimasi dan kese­
tiaan. Dia ingin dipercaya dan terlegitimasi sehingga dia mela­
kukan inisiasi patron-klien dan rekayasa opini publik.
Hal lain yang terungkap dalam kajian ini ialah adanya
indikasi pudarnya peran parpol dalam Pilkada. Peran parpol

[ 192 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


bertendensi hanya sebagai lokus perburuan rente. Hal ini bisa
ditelisik pada fenomena yang menunjukkan bahwa di satu sisi,
elite parpol merasa dibutuhkan oleh kontestan dalam Pilkada,
tetapi di sisi lain parpol membutuhkan dana operasional. Oleh
karena itu, elite akan mematok ‘mahar politik’ bagi kontestan
yang mendaftar ke parpol dalam proses kontestasi di Pilkada.
Maka, yang sesungguhnya terjadi ialah kecenderungan
menguatnya politik lokal elite yang mencampur-adukkan
patronase dan demokrasi prosedural untuk merengkuh
kekuasaan. Elite memosisikan dirinya sebagai patron untuk
menghegemoni masyarakat melalui pemberian, serta menaati
regulasi dan prosedur demokrasi yang diatur oleh pemerintah.
Transaksi politik berupa ‘mahar politik’ (money politics)
sudah menjadi wacana umum. Bahkan, independensi
penyelenggara Pilkada seperti KPUD pun sempat disangsikan
oleh kontestan. Tidak menutup kemungkinan, anggota KPUD
pun menerima ‘mahar politik’ dari elite lokal dengan tujuan
untuk memengaruhi hasil Pilkada. Maraknya money politics
dalam Pilkada merupakan cerminan kurangnya independensi,
profesionalitas, integritas, dan ketegasan sikap anggota KPUD.
Kurangnya independensi penyelenggara Pilkada memicu
konflik horisontal antarpendukung kontestan. Penggugatan
keputusan KPUD dilakukan massa jika ada kontestan yang
mereka dukung dirugikan. Sebaliknya, kontestan yang
diuntungkan akan mempertahankan keputusan KPUD.
Adanya pengerahan massa dalam jumlah yang besar sangat
rawan terhadap konflik horisontal, seperti yang terjadi pada
Pilkada di berbagai wilayah: Jayapura, Papua Barat, Sumatera
Utara, Palembang, Palopo, Makassar, Mojokerto, dan lain-lain.
Kajian ini juga mengungkap bahwa politik ambivalensi
relatif otonom terhadap sistem politik nasional. Artinya, elite
mencampur-adukkan politik lokal (patronase) dengan politik

Politik Ambivalensi [ 193 ]


nasional (demokrasi) sebagai basis memperoleh dukungan
massa. Oleh karena elite memanfaatkan adat, budaya, dan
agama, maka pemberian materi dan non-materi sebagai
perekat relasi patron-klien dianggap hal yang wajar. Pada
awalnya, motif elite memberi ialah dalam rangka mengentaskan
kemiskinan. Jadi, tindakan elite dinilai positif oleh ketua adat,
karena memberikan solusi yang konkret. Kemudian terjadilah
relasi patron-klien antara elite dengan ketua adat. Patronase
tersebut dipupuk dan dipelihara bertahun-tahun hingga
melahirkan kesetiaan kepada elite. Ketika elite mencalonkan
diri dalam Pilkada, relasi patron-klien tersebut dikonversi
menjadi dukungan suara baginya. Hal ini sah-sah saja, karena
elite sudah berjasa membantu masyarakat. Artinya, elite telah
berkarya nyata mengentaskan kemiskinan.
Semestinya, parpol menjadi cerminan agregrasi aspirasi
masyarakat, yang menempatkan seorang elite politik menja­
lankan tugasnya mengembangkan nilai-nilai demokrasi dengan
tujuan akhir menyejahterakan masyarakat lahir dan batin.
Namun, yang terjadi sebagaimana terungkap dalam kajian
ini, justru aktor-aktor pemegang kuasa parpol melakukan
‘transaksi politik’ dengan kontestan di Pilkada. Aktor-aktor
tersebut lebih mementingkan kepentingan pribadi daripada
kepentingan rakyat. Dengan demikian, mereka mengingkari
visi dan misi partai yang mereka rumuskan sendiri. Sebaliknya,
orientasi elite politik peserta kontestasi hanya berorientasi
pada perburuan rente melalui Pilkada. Tidak bisa disangkal
bahwa fenomena ini lazim terjadi di berbagai daerah yang
kaya minyak, gas, dan batubara, seperti Pekanbaru, Sumut,
Sumsel, Kalteng, Kalsel, Papua, dan Kaltim.
Tampaknya, sudah bukan rahasia lagi bahwa seorang kon­
testan mesti memberikan ‘mahar politik’ kepada pimpinan
partai untuk mendapat dukungan. Kontestan yang tidak

[ 194 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


memiliki modal besar akan meminjam dana kepada para
pengusaha (investor). Pasca-Pilkada dan dia menjabat sebagai
kepala daerah, dia mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya
untuk membayar utang kepada para investor yang telah
membiayainya. Hal itu dilakukannya bisa dengan cara menca­
nangkan mega proyek pembangunan sebagai cara mencari
fee, atau dengan cara lain, yakni dia memberikan mega
proyek tersebut kepada inverstor. Tender terbuka dilakukan,
tetapi pemenang tender sudah ditentukan sebelumnya. Yang
memenangkan tender proyek tersebut ialah mereka yang
mengin­ves­tasikan uang terhadap elite dalam Pilkada. Dalam hal
ini, praktik money politics juga dilakukan oleh para pengusaha
(investor), khususnya dalam pembiayaan kampanye Pilkada.
Orientasi investor melakukan tindakan money politics dengan
tujuan untuk memenangkan tender proyek pembangunan.
Dengan demikian, uang yang diinvestasikan tidak gratis, tetapi
kelak menjadi mega proyek yang mendatangkan keuntungan
baginya.
Kajian ini juga memotret buramnya peran elite dan parpol,
khususnya dalam mengawal proses demokrasi di Indonesia.
Kecenderungan sikap elite politik yang pragmatis berdampak
peniadaan ideologi partai sebagai pengawal tegaknya nilai-
nilai demokrasi. Parpol tanpa ideologi ibarat orang berjalan
tanpa dua kaki. Artinya, esensi parpol cenderung menjauhi
tujuan yang diharapkan, yakni terwujudnya masyarakat
sejahtera lahir dan batin. Dengan kata lain, ideologi parpol
tidak berfungsi sebagaimana mestinya, tetapi ideologi partai
digantikan dengan perburuan rente. Dengan demikian, ada
kecenderungan bahwa parpol gagal menjalankan amanah
rakyat untuk menyejahterakan masyarakat lahir dan batin.
Munculnya fenomena politik ambivalensi menunjukkan
penguatan politik lokal yang berbeda dengan nalar aktivis

Politik Ambivalensi [ 195 ]


(demokrasi). Nalar politik lokal ini dimanfaatkan oleh elite
dalam rangka memengaruhi perilaku pemilih. Sementara itu,
para pakar politik memaksakan penerapan sistem demokrasi
Barat yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya Indonesia.
Adanya nalar politisi yang tidak sesuai dengan sistem politik
nasional tersebut menjadi masalah yang krusial dan perlu
solusi secepatnya. Kalau masalah ini tidak segera diatasi, maka
Pilkada dengan biaya miliaran rupiah akan terus menghasilkan
kepala daerah yang korup dan rawan konflik horisontal.

G. Urgensi Rekonstruksi Teori Demokrasi


Selain kesimpulan-kesimpulan di atas, kajian ini juga
mengungkapkan bahwa terjadi incompatibility dalam
penerapan sistem demokrasi di Indonesia, tetapi para pakar
politik alpa dan kurang berani mengkritisinya. Oleh karena
itu, menjadi hal yang penting agar dalam ranah akademik,
dirancang agenda penelitian politik lokal yang terfokus
pada pencarian kearifan lokal atau demokrasi yang berbasis
budaya di Indonesia. Teori demokrasi yang diajarkan di
Perguruan Tinggi didominasi oleh teori Barat yang berbeda
dengan budaya Indonesia. Teori demokrasi Barat tidak bisa
terlepas dengan sistem nilai yang memengaruhinya, yakni
individualisme, sedangkan budaya yang berlaku di Indonesia
mengedepankan kebersamaan (komunal), kekerabatan dan
gotong royong. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian kritis,
apakah sistem one man, one vote, one value selaras dengan
budaya Indonesia?
Sistem nilai budaya yang ada dalam masyarakat itulah
yang memengaruhi cara pandang, sikap, dan perilaku
masyarakat. Memang diperlukan suatu penelitian yang
komprehensif untuk membuat sistematisasi teori demokrasi
di Indonesia yang berbasis pada kearifan lokal. Maka, urgen

[ 196 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


untuk mengupayakan riset bersama antar-Perguruan Tinggi
di Indonesia yang bekerja sama dengan lembaga pemerintah
dalam rangka merekonstruksi teori demokrasi Barat. Tentu
saja, saran ini tidak mengindikasikan penolakan teori demo­
krasi Barat, tetapi sebuah bangsa sudah semestinya menerap­
kan sistem yang cocok untuk dirinya. Oleh karena itu, sudah
saatnya para peneliti dan pakar politik Indonesia berani
merekonstruksi dan merumuskan teori demokrasi yang ber­
basis kearifan lokal.
Berdasarkan kearifan lokal yang berlaku di Indonesia,
menurut penulis, tidak salah sistem demokrasi menggunakan
perspektif komunal yang menempatkan musyawarah sebagai
pilar utama dalam memecahkan masalah. Artinya, untuk
masyarakat yang hidup di pedalaman dan perbatasan seperti
Kalimantan, Papua, Maluku, Sulawesi, dan Sumatera yang
nomaden dan tidak mengenal baca tulis tentu akan kesulitan
dengan sistem one man, one vote, one value. Bukankah mereka
yang hidup di pedalaman juga warga negara Indonesia?
Mereka tidak memahami tata cara mencoblos parpol atau
nama caleg yang tidak pernah dikenalnya. Tentu saja, ini
merupakan paksaan sistem nilai yang tidak dipahami oleh
masyarakat lokal.
Dalam perspektif komunal yang sangat lekat dengan
kekerabatan, pilihan seseorang ditentukan oleh ketua adat
atau tokoh masyarakat. Pilihan individu untuk menentukan
partai atau caleg dapat memicu kerawanan konflik horisontal,
karena bisa berbeda dengan pilihan ketua adat. Oleh karena
itu, diperlukan inovasi dalam berdemokrasi di Indonesia,
karena keragaman budaya yang berbeda-beda. Sistem one
man, one vote, one value nampaknya demokratis, tetapi tidak
memberikan solusi terhadap masyarakat yang masih terikat

Politik Ambivalensi [ 197 ]


dengan adat yang memiliki pola pikir dan perilaku individu
yang sangat dipengaruhi oleh ketua adat (komunitas).
Menurut penulis, dengan adanya pengaruh adat terhadap
individu, maka budaya pemberian sebagai pengikat relasi
patron-klien suatu keniscayaan. Dalam hal ini, elite tidak salah
melakukan pemberian materi dan non-materi dengan motif
mengentaskan kemiskinan dan kebodohan. Sebaliknya, dia
juga dapat mewakili kepentingan adat atau komunitas yang
disantuninya untuk menyuarakan aspirasi mereka terhadap
pemerintah. Namun, elite salah dan melanggar undang-
undang apabila dia memberikan bantuan dengan maksud
untuk membeli suara pemilih.
Memperhatikan adanya kesenjangan budaya antara
masyarakat kota dengan pedalaman atau pesisir, mungkin
penerapan alternatif perpaduan sistem proporsional terbuka
dan sistem distrik perlu dikaji serius. Sistem proporsional
terbuka diterapkan untuk masyarakat kota, sedangkan sistem
distrik untuk masyarakat pedalaman dan pesisir. Perma­
salahan yang muncul adalah adanya dua sistem Pilkada
yang diterapkan sekaligus akan mengalami kesulitan dalam
imple­mentasinya. Sistem distrik selama ini diterapkan untuk
memilih anggota DPD yang tampaknya juga kurang efektif
menyu­arakan aspirasi masyarakat pedalaman atau pesisir,
karena mereka yang mencalonkan diri belum tentu dikenal
dan mewakili distrik. Hal ini dapat ditengarai dengan jejak
rekam calon anggota DPD yang belum berkarya nyata bagi
masyarakat. Idealnya, syarat calon anggota DPD sudah ber­
karya nyata dalam masyarakat yang dibuktikan dengan
program-program konkret pengentasan kemiskinan minimal
tiga tahun. Dalam hal ini, revisi terhadap Undang-Undang
Pemilu penting dilakukan, agar peran calon DPD diutamakan
bagi mereka yang sudah berkarya nyata mengentaskan

[ 198 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


kemiskinan dalam masyarakat. Namun, sistem distrik juga
memiliki kelebihan. Sistem ini memaksa elite utnuk berlomba-
lomba berkarya nyata dalam pengentasan kemiskinan dan
kebodohan. Elite akan dikenal dekat oleh masyarakat, karena
dia merajut patronase jauh hari sebelum Pilkada. Masyarakat
akan menikmati pembangunan secara konkret, karena dia
harus berkarya nyata dahulu sebelum dipilih.

H. Rekomendasi Penulis terhadap Penelitian Sejenis di


Tanah Air
Penulis menyadari penelitian yang dikemas dalam buku
ini memiliki keterbatasan dalam hal metodologi, karena
hanya berdasarkan studi kasus Pilkada di Kaltim (2003-
2008). Namun, penulis telah menemukan dan meletakkan
argumen dasar bahwa politik ambivalensi relatif otonom
terhadap demokrasi prosedural. Tidak efektifnya peran parpol
dalam mengagregasi kepentingan masyarakat menyebabkan
menguatnya nalar politisi dalam Pilkada.
Oleh karena itu, untuk para peneliti selanjutnya, penulis
menya­rankan dua hal. Pertama, perlunya penelitian nalar
politisi dan nalar aktivis di balik pemenangan Pilkada di
daerah lain, seperti Sumatera dan Papua. Daerah Sumatera
yang kaya sumber daya alam (SDA) dan keberagaman etnis
serta agama menarik untuk diteliti. Demikian juga dengan
Papua yang kaya SDA dan multietnis. Kesamaan kedua daerah
yang kaya SDA tersebut menarik untuk diteliti, khususnya
pemanfaatan elite terhadap adat dan politik modern dalam
rangka merengkuh kekuasaan. Sasaran utama mereka dalam
perebutan kekuasaan ini tak lain adalah untuk menguasai
hasil SDA. Secara faktual, kekayaan SDA menjadi magnet bagi
para investor untuk menginvestasikan modalnya. Oleh karena

Politik Ambivalensi [ 199 ]


itu, peran investor terhadap elite lokal, khususnya dalam
pembiayaan Pilkada menarik juga untuk diteliti.
Kedua, perlunya penelitian studi banding tentang nalar
aktivis (demokrasi) dalam merengkuh kekuasaan antara India,
Filipina, Thailand, dan Indonesia. Kondisi sosial budaya di
India, Filipina, dan Thailand hampir sama dengan Indonesia,
khususnya dalam hal menguatnya pengaruh adat, kekerabatan,
dan agama. Maraknya parpol dan proses demokratisasi di
India, Filipina, Thailand, dan Indonesia memiliki kemiripan.
Dengan adanya studi komparasi yang mendalam tersebut
diharapkan argumen dasar penelitian ini dapat diuji kebena­
rannya. Apakah ada pencampuradukan nalar politisi dan nalar
aktivis (demokrasi) dalam merengkuh kekuasaan? Sebaliknya,
untuk menguji argumen dalam penelitian ini dapat diajukan
pertanyaan terbalik, “Mengapa perilaku pemilih mudah
dipengaruhi oleh elite melalui pemberian dan rekayasa sosial?”

[ 200 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


Indeks

O 132, 149, 151, 152


PKB 42, 43, 44, 45, 49, 50, 51,
otonomi daerah 24, 37, 82, 83 52, 53, 112, 118, 119, 132,
151, 152
P PKPB 42, 43, 44, 45, 49, 50, 51,
partai politik 16, 27, 112, 163 52, 53, 112, 118, 119, 132,
Golkar 16, 17, 23, 38, 39, 40, 41, 151, 152
42, 43, 44, 45, 46, 47, 48, PKS 42, 43, 44, 45, 49, 50, 51,
53, 54, 55, 56, 59, 61, 83, 52, 53, 112, 118, 119, 132,
87, 95, 114, 117, 118, 119, 151, 152
120, 125, 131, 132, 149, PNBK 49, 50, 51, 52, 112
152, 154, 155 PP 52, 71, 83, 149, 151
Masyumi 42 PPDK 52, 71, 83, 149, 151
MERDEKA 49, 50, 51, 52 PPP 52, 71, 83, 149, 151
PAN 16, 42, 43, 45, 46, 48, 49, patron 52, 71, 83, 149, 151
51, 52, 53, 112, 118, 119, bangsawan 2, 3, 6, 10, 11, 13, 31,
131, 132, 149, 151, 152 35, 46, 55, 56, 57, 72, 76,
Partai Demokrat 45, 48, 66 77, 78, 79, 80, 84, 99, 100,
Partai Pelopor 48, 112 101, 102, 103, 106, 108,
Patriot 51, 52, 132, 149, 151 113, 121, 123, 134, 150,
PBB 50, 51, 52, 53, 132 166, 167, 170, 173, 174,
PBR 49, 50, 51, 52, 53, 149, 151, 175, 176, 177, 185, 187,
152 188, 189
PDI-P 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44, tuan tanah 10, 11
45, 46, 47, 48, 50, 51, 52, patronase 6, 7, 9, 10, 11, 13, 22, 31,
53, 54, 112, 117, 118, 119, 33, 54, 57, 72, 73, 75, 76,
120, 131, 132, 133, 149, 77, 78, 79, 86, 92, 105, 106,
152, 154, 155 108, 110, 112, 113, 114,
PDK 50, 51, 52, 53, 132, 149, 151 116, 117, 120, 121, 128,
PDS 48, 49, 50, 51, 52, 53, 112, 137, 143, 151, 154, 155,
132, 149, 151, 152 156, 158, 159, 160, 161,
PIB 48, 49, 50, 51, 52, 53, 112, 163, 164, 165, 166, 167,
168, 169, 170, 171, 172, 185, 186, 187, 188, 189,
173, 176, 179, 180, 181, 190, 192, 196, 199, 200
182, 184, 185, 187, 190, Abdal Nanang 51, 114
191, 192, 193, 199 Abu Thalib Chair 51, 114
Pejabat Bupati Kutim 86 Achmad Amins 51, 114
pejabat publik 73 Aji Sofyan 51, 114
Pemda 34, 37, 59, 76, 78, 83, 84, Amins 51, 114
87, 88, 89, 91, 92, 93, 94, Ardiansyah 51, 114
95, 96, 97, 98, 99, 105, 107, Asia 51, 114
108, 109, 121, 137, 146 Awang Faroek Ishak, AFI 14, 15,
pemekaran wilayah 37, 48, 82, 83, 24, 33, 34, 35, 36, 54, 74,
84, 85, 87 75, 116, 147, 157, 158, 164,
Pemilihan Kepala Daerah 37, 48, 165, 167, 171, 172, 175,
82, 83, 84, 85, 87 179, 180, 181, 185, 186,
Pemilu 37, 48, 82, 83, 84, 85, 87 187, 188, 189, 190, 192,
pencitraan 9, 17, 21, 23, 29, 59, 68, 196, 199, 200
69, 142, 164, 192 Awang Ishak 51, 114
Pendapatan Asli Daerah (PAD) Didik Effendi 48, 52
71, 83 Diran 20, 51, 114
Pendapatan Domestik Regional Djaang 46, 50
Bruto (PDRB) 60 Effendi 47, 48, 52
Perusda Pertambangan dan Energi Encik 48, 52, 76
Kutim (Perusda PEKT) 98 Farid Wadjdy 142, 149, 156
petahana 17, 23, 48, 114, 117, 118, Gunawarman 47, 52
120 Hadi Mulyadi 149
Pilkada 17, 23, 48, 114, 117, 118, Hamid 47, 52, 144
120 Hamzah Haz 92, 96
PKPU 17, 23, 48, 114, 117, 118, Heru Bambang 149
120 Hifnie Syarkawie 120
poliarkhi 25, 28 H. M. Irkham 46, 49
political marketing 16, 17, 18 Imam Mundjiat 119, 120
positioning 17 Irysadi 114
segmenting 17 Ismael Thomas 48, 52
targeting 17 Isran Noor 47, 112, 114
politik Jusuf Serang Kasim 149
Ferdian Hidayat 46, 50 Kasmiruddin 46, 50
politik dagang sapi 4, 17 Luther Kombong 149
politik lokal 34, 35, 44, 84, 146, Mahyudin 48, 51, 87, 88, 89, 95,
160, 193, 195, 196 98, 99, 110, 114
politisi 14, 15, 24, 33, 34, 35, 36, Masykur 46, 50
54, 74, 75, 116, 147, 157, Mujiono 51, 114
158, 164, 165, 167, 171, Narang 20
172, 175, 179, 180, 181, Nusyirwan Ismail 144, 149
Otto Ihalauw 22 R
Pabotingi 47, 52
Rustriningsih 17 rational choice 21, 22, 30, 65, 67
Samsuri 45, 46, 49 rationality in action 11
Samsuri Aspar 45, 49 real politics 11
Siti Nur Aeni 51, 114 real rationality 11
Sjachranie 55, 56, 57, 58, 59, 60, regulasi 7, 8, 15, 23, 62, 63, 64,
61 74, 100, 101, 103, 116, 145,
Soeharto 38, 39, 42, 45, 55, 59, 146, 147, 150, 158, 159,
60, 61, 62, 73, 88, 101, 104 177, 181, 182, 184, 185,
Sofyan Hasdam 48, 51 188, 189, 193
Sulaiman 48, 50, 51 rekayasa sosial 9, 32, 144, 145,
Sultan Kutai 46, 57, 75, 76, 77, 146, 151, 178, 185, 187, 200
78, 82, 84, 85, 102 relasi patron-klien 2, 10, 14, 57,
Suwarna 44, 86, 97, 98, 117, 118, 73, 77, 79, 103, 105, 110,
119, 120 114, 122, 123, 124, 125,
Syahid Daroini 48, 51 127, 134, 137, 138, 143,
Syaukani 45, 46, 48, 49, 83, 84, 147, 150, 151, 155, 159,
87, 88, 105, 117, 119, 120, 160, 161, 162, 164, 165,
125, 126, 149 166, 169, 171, 178, 180,
Thamrin AD 48 185, 187, 189, 190, 191,
Theo Syafei 118, 119, 120 194, 198
Yurnalis Ngayoh 117, 119, 149 Republik Indonesia 36, 76, 78, 82,
Yusuf Serang Kasim 48 102
pro-demokrasi 12, 73
elite dissident groups and intel-
S
lectuals 12 saksi penghitungan suara 39
student activist 12 Sidang Paripurna DPRD 87, 117,
the new generation of pro de- 119, 120
mocracy and human rights sistem budaya 1, 27
NGO 12 kekerabatan 1, 10, 11, 14, 17, 19,
the old generation of NGOs 12 22, 123, 125, 128, 164, 165,
program pemerintah 62 167, 196, 197, 200
Gerakan Berbasis Pada Pemban- kolektivitas 1
gunan Agrobisnis 59, 99 sistem demokrasi 1, 5, 27, 28, 29,
Wajib Belajar 12 tahun 106, 127 30, 177, 196, 197
proses kandidasi 18 sistem monarki konstitusional 77
PT. KPC 82, 83, 85, 86, 87, 97, 98, solidaritas etnis 1, 19
99, 102 strategi kampanye 20, 32
putera daerah 20, 23, 48, 56, 58, strategi pemenangan 24, 31, 62,
61, 82, 84, 88, 101, 105, 120, 124
122, 127, 133, 134, 135, defensif 8, 9, 16, 17, 18, 42, 163,
151, 155, 186 164
ofensif 8, 9, 16, 17, 18, 163, 164 Ismail 16, 144, 149
musuh bersama 9, 129, 133, Ismardi 17
134, 135, 142, 144, 147, Kacung Maridjan 70
151, 180, 187, 192 Kerkvliet 191
rasa kekitaan 9, 129, 133, 134, Kocu 21, 22
142, 143, 144, 147, 151, Lazarsfeld 66
180, 187, 192 Lijphart 7, 29
suara 3, 4, 8, 9, 10, 14, 16, 28, 39, Linz 7, 30, 157, 163
40, 41, 42, 43, 45, 46, 47, Lipset 7, 30, 157, 163
48, 49, 50, 51, 52, 53, 63, Mukhlis 16
65, 67, 112, 113, 114, 118, Mulyana W. Kusumah 70
119, 120, 122, 125, 147, Nugraheni 17
148, 150, 151, 152, 153, Paskarina 18
154, 155, 156, 164, 165, Ramadlan 19, 20
166, 168, 169, 170, 171, Rasyid 18
177, 180, 181, 187, 188, Robert Kahn 67
189, 190, 192, 194, 198 Sahdan 71
sumber daya alam (SDA) 36, 133, Saldi Isra 70
199 Sartori 7, 13, 28
surat suara 39 Schroder 8, 158, 163, 165
Schumpeter 26, 27
T Scott 2, 8, 9, 10, 11, 79, 124, 158,
tanah pawatasan (tanah ulayat) 82 159, 161, 162, 165, 166,
teoritikus 191, 192
Alkostar 70 Syarkawi 19, 20, 50
Angus Campbell 67 Umasugi 19
Anthony Downs 30, 67 Wolf 8, 9, 10, 11, 191
Aristoteles 26 U
Azis 20, 52
Badaranie Abbas 76 utang budi 10, 11, 13, 14, 22, 23,
Berelson 66, 67 108
Cunningham 29
Dahl 7, 12, 13, 25, 27, 28, 157,
163
Diamond 7, 13, 26, 27, 30, 157,
163
Downs 8, 30, 67
Flyvbjerg 11, 24, 25
Gaudet 66, 67
Gould 28, 29
Haboddin 71
Hartati 18
Haryanto 22, 23
KEPUSTAKAAN

Abbas, Badaranie, ”Pengaruh Lingkungan terhadap Aspek-


aspek Tradisionil dalam Birokrasi Kesultanan Kutai di
Tenggarong” dalam Soetoen, Anwar (ed.), 1975. Dari
Swapraja ke Kabupaten Kutai. Tenggarong: Pemda Kutai.
Ackerman, Susan Rose, 2006. Korupsi Pemerintahan. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan.
Adas, M., 1979. Prophets of Rebellion: Millenarian Protest
Movements against the European Colonial Order. Chapel
Hill: The University of North Caroline Press.
Adriani, Awang, 1996. Wujud Arti dan Fungsi Puncak-
Puncak Kebudayaan Lama dan Asli di Kaltim. Samarinda:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Ahimsa Putra, Heddy, Shri, 1988. Minawang : Hubungan
Patron-Klien di Sulawesi Selatan. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
______________________, ”Hubungan Patron-Klien di
Sulawesi Selatan” dalam PRISMA, No.6 Th. XXV, Juni
1996.
______________________, 1993. The Politics of Agrarian
Change and Clientelism in Indonesia: Bantaeng, South
Sulawesi, 1983 to 1990. Dissertation. Columbia University.
Alatas, S.H., 1987. Korupsi: Sifat,Sebab dan Fungsi. Jakarta:
LP3ES.

Politik Ambivalensi [ 205 ]


Alkostar, Artidjo, 2008. Korupsi Politik di Negara Modern.
Yogyakarta: FH UII Press.
Antlov, Hans, “Not Enough Politics! Power, Participation and
the New Democratic Polity in Indonesia” dalam Aspinal,
Edward and Greg Fealey (ed.), 2003. Local Power and
Politics in Indonesia. Singapore: ISEAS.
Antlov, Hans dan Pujo Semedi, 2002. Politik Negara dalam
Desa: Patronase Kepemimpinan Lokal.Yogyakarta:
Lempera Pustaka Utama.
Antlov, Hand dan Sven Cederroth (ed.), 2001. Kepemimpinan
Jawa: Perintah Halus Pemerintahan Otoriter. Jakarta :
Yayasan Obor.
Ardans, H.M., 1992. Sejarah Pemerintahan di Kalimantan
Timur dari Masa ke Masa. Samarinda: Pemda Kaltim.
Arghiros, Daniel, 2001. Democracy Development and
Decentralization in Provincial Thailand. Surrrey: Suzon.
Attwood, D.W., ”Patrons and Mobilizers: Political Entrepeneurs
in an Agrarian State’ dalam Journal of Anthropological
Research, Vol. 30, No.4. Winter, 1974.
Aspinal, Edward and Greg Fealey (ed.), 2003. Local Power and
Politics in Indonesia Singapore: ISEAS.
Aziz, Abdul, 1986. Pola Penguasaan, Pemilikan dan Penggunaan
Tanah Secara Tradisional Daerah Kalimantan Timur.
Samarinda: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Bahrah, Achmad, 2000. Kamus Bahasa Kutai Umum-Indonesia.
Tenggarong: Lembaga Pembinaan Kebudayaan Kutai.
Barth, Frederik, 1965. Political Leadership among Swat Pathans.
New York: Humanities Prsss.
Barth, Frederik, 1969. Ethnic Groups and Boundaries. Boston:
Little Brown.

[ 206 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


Bell, Daniel, 1975. “Ethnicity and Social Change “ dalam N.
Glazer and D.P. Moynihan (ed.), Ethnicity. Cambridge:
Harvard University Press.
Berghe, van den Piere,1995 ”Does Race Matter ?” dalam
Nations and Nationalism, 1:3.
Beteille, Andre, 1965. Caste, Class and Power. Berkeley:
University of Californis Press.
Biro Pusat Statistik, 2002. Kalimantan Timur. Jakarta: BPS.
Biro Pusat Statistik, 2008. Kalimantan Timur dalam Angka
2007. Samarinda: BPS.
Blau, Peter M., 1964. Exchange and Power in Social Life. New
York: Wiley.
Boissevain, Jeremy, “Patronage in Sicily” dalam Man, New
Series, Vol.1, No.1, March,1966.
________________, 1974. Friends of Friends: Networks,
Manipulators and Coalitions. Oxford: Basil Blacwell.
Brass, Paul R.,1991.Ethnicity and Nationalism. New Delhi-
London: Sage Publication
Brown, David, 1994. The State and Ethnic Politics in Southeast
Asia. London : Routledge
Budhisantoso, S., 1992. Salasila Kutai. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Campbell, J.K., 1974. Honour, Family, and Patronage. Oxford:
Oxford University Press.
Cohen, Abner, 1969. Customs and Politics in Urban Africa:
A Study of Hausa Migrants in a Yoruba Town. Berkeley:
University of California Press.
Cohen, R., 1966. African History. Boston: Boston University.
Cohen, J. L. and J. Rogers, 1983. On Democracy. New York:
Penguin.

Politik Ambivalensi [ 207 ]


Dachlan, Oemar, 2000. Kalimantan Timur dengan Aneka
Ragam Permasalahannya. Jakarta: Yayasan Bina Ruhui
Rahayu.
_____________, 2002. Sekelumit Sejarah Kalimantan Timur
dalam Bidang Pemerintahan. Samarinda: Biro Hubungan
Masyarakat Propinsi Kalimantan Timur.
Danandjaja, J. dan Koentjaraningrat, 2004. “Penduduk
Kepulauan Sebelah Barat Sumatra” dalam Manusia dan
Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.
Dharma, Aji Surya, 2001. Erau Kutai-Kalimantan Timur.
Tenggarong: Dinas Pariwisata Kabupaten Tingkat II-Kutai.
Diamond, Larry, 1999. Developing Democracy Toward
Consolidation. Baltimore and London: The John Hopkins
University Press.
Duverger, Maurice, 2003. Sosiologi Politik. Jakarta: Rajawali
Press.
Eller, Jack and Reed Coughlan, 1993. ”The Poverty
of Primordialism: The Demystification of Ethnic
Attachments” dalam Ethnic and Racial Studies, 16:2.
Erb, Maribeth, ”Kebangkitan Adat di Flores Barat: Budaya,
Agama dan Tanah” dalam Davidson, Jamie S., David
Henley dan Sandra Moniaga (ed.), 2010. Adat dalam
Politik Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Feith, Herbert, 1971. The Indonesian Election of 1955. Ithaca-
New York: Cornell University.
Fenny. D., ”The Moral or rational Peasant? Competing
Hypotheses of Collective Action” dalam Journal of Asian
Studies Vol. 42, No. 4, Th. 1983.
Fitzpatrick, Daniel, ”Tanah, Adat dan Negara di Indonesia
Pasca Soeharto: Perspektif Seorang Ahli Hukum Asing”
dalam Davidson, Jamie S., David Henley dan Sandra

[ 208 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


Moniaga (ed.), 2010. Adat dalam Politik Indonesia. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Foster, George, ”The Dyadic Contract in Tzintzuntzan,
II: Patron-Client Relationship” dalam American
Anthropologist, New Series, Vol. 65, No.6. December, 1963.
____________“The Dyadic Contract: A Model for the Social
Structure of a Mexican Peasant Village” dalam American
Anthropologist, New Series, Vol. 63, No.6. December, 1961.
Husserl, Edmund, 1970. Logical Investigation. New York:
Humanities Press.
Geiger, W., 1960. Culture of Ceylon in Medieval Times.
Wiesbaden: Otto Harrassowits.
Gamson, A. William, 1968. Power and Discontent. Homewood-
Illinois: Dorsey.
Geiger, W., 1960. Culture of Ceylon in Medieval Times.
Weisbaden: Otto Harrassowits.
Geertz, Clifford (ed.), 1963. Old Societies and New States. New
York: Free Press.
_________________”Afterword: The Politics of Meaning”
dalam Claire Holt (ed.), 1972. Culture and Politics in
Indonesia. Ithaca-London: Cornell University Press
Gie, Kwik Kian, 2006. Kebijakan Ekonomi Politik dan Hilangnya
Nalar. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Girling, John, 1997. Corruption, Capitalism, and Democracy.
London and New York: Routledge.
Gouldne, A., “The Norm of Reciprocity: A Prelimanary
Statement” dalam S.W. Schimdt et al., 1977. Friends,
Followers, and Factions. Berkeley: University of California
Press.

Politik Ambivalensi [ 209 ]


Gunawan, I Ketut, 2004. A Rise of Forest Conflict in
East Kalimantan during Indonesia’ Early Stage of
Democratization. Gottingen: Cuvilier Verlag Gottingen.
Hadiz, Vedi R., “Reorganizing Political Power in Indonesia: A
Reconsideration of So- Called Democratic Transitions”
in M. Erb, P. Sulistiyanto and C. Fucher (ed.), 2005.
Regionalism in post Suharto Indonesia. London: Routledge-
Curzon.
Harrison, Selig, 1986. ”Ethnicity and Political Stalemate” dalam
Ali Banuazizi and Myron Weiner (eds), The State, Religion,
and Ethnic Politics: Afghanistan, Iran and Pakistan. New
York: Syracuse University Press.
Hecter, Michael, 1986. ”A Rational Choice Approach to
Race and Ethnic Relations” dalam D. Mason and J. Rex
(eds.), Theories of Race and Ethnic Relations. Cambridge:
Cambridge University Press.
Held, David, 1987. Models of Democracy. Cambridge: Polity
Press.
Held, David and J. Keane, ”Socialism and The Limits of State
Action” dalam J.Curran (ed.),1984. The Future of the Left.
Cambridge: Polity Press.
Hidyat, Syarif. ”Pilkada, Money Politics and the Dangers of
Informal Governance Practice” dalam Maribert Erb dan
Priyambudi Sulistiyanto (ed.), 2009. Deepening Democracy
in Indonesia? Direct Election for Local Leaders (Pilkada).
Singapore: ISEAS.
Hollnsteiner, Mary R., 1963. The Dynamic of Power in a
Philippine Municipality. Quezon City-Philippines:
Community Development Research Center.

[ 210 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


Hornby, AS, 1986. Oxford Advanced Learners Dictionary of
Current English. New York-Toronto: Oxford University
Press.
Horowitz, Donald L., 1985. Ethnic Groups in Conflict. Barkeley:
University of Califronia Press.
Huberman, Michael A., and Matthew B. Miles, “Data
Management and Analysis Methods” dalam Denzin,
K.Norman and Yvonna S. Lincoln, 1994. Handbook of
Qualitative Research. London : Sage Publications
Hutchinson, John dan Anthony D. Smith, 1996. Ethnicity.
Oxford-NewYork: Oxford University Press.
Hyland, James. L., 1995. Democratic Theory: The Philosophical
Foundations. Oxford Road, Manchester: Manchester
Unversity Press.
Ishak, Awang Faroek, tt. Prospek Pengembangan Kawasan
Industri Maloy dan Pelabuhan Maloy dalam Menyongsong
Era Globalisasi. Bahan presentasi profil Kutim. Tidak
diterbitkan.
Ishak, Awang Faroek, tt. Visi, Misi dan Strategi Pembangunan
Kalimantan Timur 2008-2013. Bahan presentasi, tidak
diterbitkan.
Janowitz, Morris, 1985. Hubungan-hubungan Sipil Militer.
Jakarta: Bina Aksara.
______________,1964. The Military in the Political
Development of New Nations. Chicago: The University of
Chicago Press.
Johnston, Michael, 2005. Syndromes of Corruption. UK:
Cambridge University Press.
KPK, 2006. Memahami untuk Membasmi: Buku Saku untuk
Memahami Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: KPK.

Politik Ambivalensi [ 211 ]


Karim, Abdul Gafar (ed.), 2006. Kompleksitas Persoalan
Otonomi Daerah di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
dan Jurusan Ilmu Pemerintahan-Fisipol UGM.
Kahn, Joel S., 1988. Southeast Asian Identities: Culture and the
Politics of Representation in Indonesia, Malaysia, Singapore,
and Thailand. Singapore-London: Institute of Southeast
Asian Studies.
Kaufman, Robert R., “The Patron-Client Concept and Macro-
Politics: Prospects and Problems” dalam Comparative
Studies in Society and History,Vol. 16, No.3, June 1974.
Kellas, James G. 1991. The Politics of Nationalism and Ethnicity.
New York: St.Martin’s Press Inc.
Kitschelt, Herbert dan Steven I. Wilkinson (ed.), 2007.
Patrons,Clients and Politicies: Patterns of Democratic
Accountability and Political Competition. Cambridge:
Cambridge University Press.
Kerkvliet, Benedict J. Tria, “Toward a More Comprehensive
Analysis of Philippine Politics: Beyond the Patron-Client”
dalam Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 26, No.2,
September 1995.
Koentjaraningrat, 1993. Masalah Kesukubangsaan dan Integrasi
Nasional. Jakarta: UI Press.
_____________, 2004. ”Kebudayaan Penduduk Pantai Utara
Irian Jaya” dalam Manusia dan Kebudayaan Indonesia.
Jakarta: Penerbit Djambatan.
Kuncoro, Mudrajad, 2008. Visi, Misi dan Strategi AFI untuk
Kaltim Bangkit 2013. Yogyakarta: tp.
Lande, Carl, 1964. Leaders, Factions and Parties: The Structure
of Philippine Politics. New Haven: Yale Southeast Asia
Studies.

[ 212 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


_________“Networks and Groups in Southeast Asia : Some
Observations on the Group Theory of Politics” dalam S. W.
Schmidt dkk. (eds.),1977. Friends, Followers and Factions.
Berkeley : University of California Press.
Lane, Jan-Erik dan Svante Ersson, 2003. Democracy: A
Comparative Approach, London-New York: Routledge.
Lazarfeld, Paul, Bernard Berelson dan Hazel Gaudet, 1948.
The People Choice: How the Voter Makes Up His Mind in
a Presidential Campaign. New York: Columbia University
Press.
Lemarchand, Rene dan Shmuel Noah E., 1972. Political
Clientelism, Patronage and Development. London: Sage
Publishing.
Liddle, William R., 1970. Ethnicity, Party, and National
Integration. New York-London: Yale University.
Magenda, Burhan, 1991. East Kalimantan: The Decline of
Commercial Aristocracy. Ithaca-New York: Cornell
Modern Indonesian Project.
Marijan, Kacung, 2006. Demokrasi di Daerah Pelajaran dari
Pilkada Secara Langsung. Surabaya: Eureka.
Mas’oed, Mohtar, 1989. Ekonomi dan Struktur Politik Orde
Baru 1966-1971. Jakarta: LP3ES.
Maunati, Yekti, 2004. Identitas Dayak: Komodifikasi dan Politik
Kebudayaan .Yogyakarta: LKIS.
Mauss, Marcel, 1954. The Gift: Forms and Functions of Exchange
in Archaic Societies. Glencoe-Illinois: The Free Press of
Glencoe.
Mees, C.A., 1935. De Kroniek van Koetei. Leiden-NV Uitgev:
Santport.

Politik Ambivalensi [ 213 ]


Michie, Barry H., “The Transformation of Agrarian Patron-
Client Relations: Illustration from India” dalam American
Ethnologist, Vol.8, No.1. February, 1981.
Moedjanto, G., 1993. The Concept of Power in Javanese Culture.
Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Morse, Richard M., ”Latin American Cities: Aspects of
Function and Structure” dalam Comparative Studies in
Society and History,Vol. IV, No.4. July, 1962.
Myrdal, Gunnar, 1957. Rich Lands and Poor. New York: Harper
& Row.
Nash, Manning, 1965. The Golden Road to Modernity. New
York: Wiley.
Neuman, Lawrence W., 1997. Social Research Methods:
Qualitative and Quantitative Research Approaches. Third
Edition.Boston: Allyn and Bacon.
Nordholt, Henk Schult dan Gerry van Klinklen, 2007. Politik
Lokal di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
O’Donnell, Guillermo, Philiepe C. Schmitter dan Laurence
Whitehead (eds.), 1986. Transition from Authoritarian
Rule: Comparative Perspective. Baltimore: John Hopkins
University Press.
Pelras, Christian, “Patron-Client ties among the Bugis and
Makassarese of South Sulawesi” dalam Bijdragen tot de
Taal, Land en Volkenkunde, Vol.156, No.3, Authority and
Enterprise among the peoples of South Sulawesi, 2000.
______________“Hubungan Patron-Klien pada Masyarakat
Bugis dan Makassar di Sulawesi Selatan” dalam Tol, Roger,
Kess van Dijk dan Greg Acciaioli (ed.), 2009. Kuasa dan
Usaha di Masyarakat Sulawesi Selatan. Jakarta: Ininnawa-
KITLV.

[ 214 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


Philips, Herbert, 1965. Thai Peasant Personality. Berkeley:
University of California.
Popkin, S. L., 1979. The Rational Peasant. Berkeley: University
of California Press.
Powell, John Duncan, ”Peasant Society and Clientelist Politics”
dalam American Political Science Review, 64. June, 1970.
Pratikno,”Political Parties in Pilkada: Some Problems
for Democratic Consolidation” in Maribeth Erb and
Priyambudi Sulistiyanto, 2009. Deepening Democracy in
Indonesia?. Singapore: ISEAS.
Ranawidjaja, Usep, 1955. Swapraja Dahulu dan di Hari
Kemudian. Jakarta: Djambatan.
Rasyid, M. Ryass, ”Regional and Local Politic in Indonesia”
Aspinal, Edward and Greg Fealey (eds.), 2003. Local Power
and Politics in Indonesia. Singapore: ISEAS.
Rifai, Amzulian, 2003. Politik Uang dalam Pemilihan Kepala
Daerah. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Rothschild, Joseph, 1981. Ethnopolitics. New York: Columbia
University Press.
Rousseau, Jerome, 1990. Central Borneo: Ethnic Identity and
Social Life in Stratified Society. Oxford: Clarendon Press.
______________“Ethnicity Identity and Social Relations in
Central Borneo” dalam Judith A. Nagata (ed.), , 1974.
Pluralism in Malaysia: Myth and Reality. Contribution to
Asian Studies, Vol. 7. Leiden: Brill.
Sahdan, Gregorius dan Muhtar Haboddin (ed.), 2009. Evaluasi
Kritis Penyelenggaraan Pilkada di Indonesia. Yogyakarta:
IPD.
Sartori, Giovanni, 1987. The Theory of Democracy Revisited.
New Jersey: Chatham House Publishers.

Politik Ambivalensi [ 215 ]


Schimpp, Michele dan Gene Ward, 2003. Money in Politics
Handbook: A Guide to Increasing Transparancy in Emerging
Democracies. Washington: USAID, November.
Schmitter, Phillipe C., ”Still the Century of Corporation” dalam
F.B. Pike dan T.Stritch (eds.), 1974. The New Corporation.
World Dame: University of Nitre Dame Press.
Schutz, A., 1970. On Phenomenology and Social Relations.
Chicago: University Chicago Press.
Scott, James C., ”Patron-Client Polities and Political Change
in Southeast Asia” dalam The American Political Science
Review, Vol. 66, No.1, March, 1972.
____________“The Erosion of Patron-Client Bonds and
Social Change in Rural Southeast Asia” dalam The Journal
of Asian Studies, Vol. 32, No.1, November, 1972.
Schiller, James W., 1978. Development Ideology in New Order
the Soeharto Regime and Its Critique. Thesis. Ohio: Ohio
University.
Schroder, Peter, 2004. Strategi Politik. Jakarta: Fridrich Nauman
Stiftung.
Seaton, S. Lee and Henri J.M. Claessen (ed.), 1979. Political
Anthropology: The State of The Art. The Hague: Mouton.
Smith, Anthony D., 1992. Ethnic and Racial Studies, Vol. 15.
No.3. London: Routledge.
Smith, B. C., 1985. Decentralization: The Territorial Dimension
of the State. London: Asia Publishing House.
Skinner, G. William, 1959. Local, Ethnic and National Loyalties
in Village Indonesia: A Symposium. New Haven-Conn: Yale
University Southeast Asia Studies.
Spradley, James, P., 1979. The Ethnographic Interview. New
York: Holt, Rinehart and Winston.

[ 216 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


Suksamran, Somboon, 1981. Political Patronage and Control
Over the Sanga. Singapore: ISEAS.
Soemargono (ed.), 1992. Profil Propinsi Republik Indonesia:
Kalimantan Timur. Jakarta: Yayasan Bhakti Wawasan
Nusantara.
Soetoen, Anwar (ed.), 1975. Dari Swapraja ke Kabupaten
Kutai. Tenggarong: Pemda Kutai.
Stack, John F. (ed.), 1986. The Primordial Challenge. Westport:
Greenwood Press.
Strauss, Anselm, 1987. Qualitative Analysis for Social Scientists,
New York: Cambridge University Press.
Strickon, Arnold dan S. M. Greenfield (eds.), 1972. Structure
and Process in Latin America: Patronage,Clientage and
Power Systems. Albuquerque: University of New Mexico
Press.
Sulistyo, Hermawan dan A. Kadar, 2000, Uang dan Politik
dalam Pemilu 1999. Jakarta: KIPP.
Sumartini. L., dan Syaiful Watni, 2005.Money Politics dalam
Pemilu. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional.
Suwondo, Bambang, 1978. Sejarah Kebangkitan Nasional
Daerah Kalimantan Timur. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Silverman, Sydel F., “Patronage and Community-Nation
Relationship in Central Italy” dalam Ethnology, No.4.
Swift, M.G., 1965. Malay Peasant Society in Jelebu. London:
Athlone Press.
Tri Ratnawati, ”Desentralisasi dalam Konsep dan Implemen­
tasinya di Indonesia di Masa Transisi: Kasus UU No.22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah” dalam Karim,
Abdul Gafar (ed.), 2006. Kompleksitas Persoalan Otonomi

Politik Ambivalensi [ 217 ]


Daerah di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan
Jurusan Ilmu Pemerintahan-Fisipol UGM.
Tri Tjahjoko, Guno, 2005. “The Story of Erau: Analisis
Strukturalisme Levi-Strauss. Makalah. Yogyakarta:
Program Pascasarjana UGM.
van de Walle, Nicolas, “Meet The New Boss, Same As The Old
Boss? The Evolution of Political Clientelism in Africa”
dalam Herbert Kitschelt dan Steven I. Wilkinson (eds.),
2007. Patrons, Clients, and Policies: Patterns of Democratic
Accountability and Political Competition. Cambridge:
Cambridge University Press.
van Klinklen, Gerry, “Kembalinya para Sultan:Pentas Gerakan
Komunitarian dalam Politik Lokal” dalam Davidson, Jamie
S., David Henley dan Sandra Moniaga (ed.), 2010. Adat
dalam Politik Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Vel, Jacqueline, ”Kampanye Pemekaran di Sumba Barat” dalam
Davidson, Jamie S., David Henley, dan Sandra Moniaga
(ed.), 2010. Adat dalam Politik Indonesia. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia.
Dinas Pertambangan dan Energi Propinsi Kalimantan Timur,
1991. Visualisasi Kegiatan Minyak dan Gas Bumi di
Kalimantan Timur, Samarinda : Dinas Pertambangan dan
Energi Propinsi Kalimantan Timur.
Ward, Gene, Michael Pinto Duschinsky dan Herbert Alexander,
2003. Money in Politics Handbook: A Guide to Increasing
Transparancy in Emerging Democraciesn, Washington:
USAID, November.
Weber, Max, “Ethnic Groups” in G. Roth and C. Wittich (eds.),
1978. Economy and Society. Vol 1., Berkeley-Los Angeles:
University of California Press.

[ 218 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


Weingrod, Alex dan Emma Morin, ”Post Peasant”, The
Character of Contemporary Sardinian Society: Comparative
Studies in Society and History, Vol. 13.
___________________________“Patron,Patronage and
Political Parties” dalam Comparative Studies in Societies
and History, Vol. 10, 1968.
Wilson, Monica dan Godfrey, 1945. The Analysis of Social
Change: Based on Observation in Central Africa.
Cambridge: The University Press.
Wirakusumah, Nenny, 1977. From Kutai to Dayak. Samarinda:
Pemda Kabupaten Kutai.
Wolhoff, G. J., 1955. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Republik Indonesia. Jakarta: Timun Mas.
Wolf, Eric, ”Kinship, Friendship and Patron-Client
Relationships in Complex Societies” dalam Banton,
Michael, 1966. The Social Anthropology of Complex
Societies. New York: Praeger.
________, 1966, Peasant. Englewood Clieffs: Prentice Hall.

SITUS INTERNET DAN KORAN


Suwarna Terpilih Kembali Jadi Gubernur Kalimantan Timur,
www.tempointeraktif.com/2 Juni 2003
Suwarna Terpilih Jadi Gubernur Kaltim 2003-2008, www.
kaltim.go.id/2 Juni 2003
Theo Syafei dan Korupsi, www.suarapembaruan.com/19 Juni
2003
PDI Perjuangan Tolak Pengunduran Diri Theo Syafei, www.
korantempo.com/23 Juli 2003
Mencari Solusi dari Konflik di Kutai Kartanegara, www.
jawapos.co.id/27 Januari 2005

Politik Ambivalensi [ 219 ]


Golkar Kukar dukung Syaukani Calon Tunggal Gubernur
Kaltim, www.kutaikartenegara.com/12 September 2006
Isra, Saldi, “Perahu Pukat Harimau” dalam Kompas, 25 Juli
2007
Syaukani Paling Fenomenal, www.detik.com/ 21 September
2007
Bupati Kutim Siap Diperiksa Terkait dugaan Korupsi Bukit
Pelangi, www.merdeka.com/diakses 27 November 2007
Korupsi, Syaukani Dihukum 2,5 Tahun, www.kompas.com/15
Desember 2007
Syaukani: Ya.. Mau Apa Lagi, www.kompas.com/15 Februari
2008
Sidang Gugatan Pilkada Kaltim Memasuki Tahap Putusan,
www.okezone.com/15 Oktober 2008
Dinamika Banjar dan Kutai, www.kompas.com/17 Februari
2009
Rp.4,5 Trilyun Royalti Tambang Macet, www.bongkar.com /4
Maret 2009
Terjun Bebasnya Golkar, www.bongkar.co.id/ 29 Agustus 2009
Amunisi Baru Demokrat , www.bongkar.co.id/31 Agustus 2009
Golkar Sepi Peminat, www.bongkar.co.id/19 September 2009
Multi Etnis Warnai Pertarungan Politik di Dapil Kaltim, www.
harianpelita.com/diakses 29 Januari 2010
Pesona Natal Ismael Thomas, www.bongkar.co.id/19 Januari
2010
Mogok Massa di Kukar, www.kaltimpost.co.id/diakses 1
Februari 2010
Bagaimana Kronologi Penjualan Saham PT KPC?, www.kaltim.
go.id/15 Juli 2010

[ 220 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


Awang Faroek Siap Mental, www.tribunkaltim.co.id/diunduh
tanggal 29 Juli 2010,
Taring media massa di ranah politik, www.kompas.com/diakses
7 Februari 2011
Suwarna Turut terima Keuntungan Proyek Damkar, www.
hukumonline.com/diakses 18 Juni 2011
Sogok Miliaran Rupiah Ulah Siapa ?, 18 Juni 2011
Warga Hancurkan Kantor Golkar dan PDI-P Kaltim, www.
gatra.com/diakses 18 Juni 2011
Rahasiakan Kegiatan, Siapkan Waktu TemuiKonstituen, www.
kaltimpost.web.id/diakses 18 Juni 2011
Kunjungi 76 Desa, Awang pun Bisa Tertawa, www.kaltimpost.
co.id/diakses 18 Juni 2011
Awang Faroek dari Kasus Bukit Pelangi ke Saham KPC, www.
tribunnews.com/diakses 19 Juni 2011
Menengok Kesibukan Tim Sukses Calon Bupati Kutim, www.
kaltimpost.web.id/diakses 20 Juni 2011
Abdal Resmi Dicopot dari PDIP Kutim, www.suarakaryaonline.
com/diakses 20 Juni 2011
Syaukani Menyesal Mengangkat Suwarna, www.
dprdkutaikartanegara.go.id/diakses 20 Juni 2011
Korupsi Bansos Kutim 2007, www.bongkaronline.com/diakses
20 Juni 2011
Dana Kampanye AFI, www.jawapos.com/diakses 20 Juni 2011
KPK Umumkan Kekayaan Para Pejabat di Kaltim, www.kpk.
go.id/diakses 20 Juni2011
Hasil Pilkada Kaltim, www.kpudkaltim.go.id/diakses 20 Juni
2011
Awang Faroek di demo Timsesnya, www.korankaltim.com/
diakses 20 Juni 2011

Politik Ambivalensi [ 221 ]


Saya Siap Mundur Kalau Terbukti Korupsi, www.
awangfaroukishak.com/diakses 20 Juni 2011
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia/
No.380K/Pid Sus/2007, www.mahkamahagung.go.id/
diakses 20 Juni 2011
Proyek Ratusan Miliar Rupiah di Kaltim diduga di Mark Up,
www.eramuslim.com/diakses 21 Juni 2011
Mayoritas Fraksi DPRD Kaltim Setuju Menonaktifkan Suwarna,
www.suarakaryaonline.com/diakses 22 Juni 2011
Hasil Pemilu 2004, www.elshinta.com/diakses 29 Juni 2011
Hasil Pemilu 2004, www.kpu.go.id/diakses 29 Juni 2011
Hasil Pemilu 2004, www.kpu.go.id/Kalimantan Timur/diakses
29 Juni 2011
Korupsi Divestasi KPC, www.infokorupsi.com/diakses 21 Juli
2011
Kaki Tangan KPC, www.bongkar.com/diakses 23 September
2011
155 Kepala Daerah Jadi Terangka Korupsi,www. vivanews.com/
diakses 24 Nov.2011
Sang entrepreneur yang visioner, www.awangfaroekishak.com/
diakses 31 Januari 2012
Pendidikan untuk semua, awangfaroekishak.com/diakses 31
Januari 2012
Membangun Kutai Timur, www.awangfaroekishak.com/
diakses 8 Februari 2012
Ormas KALIMA, www.awangfaroekishak.com/diakses18
Februari 2012
Jejak Rekam AFI 1, www.awangfaroekishak.com/diakses 19
Maret 2012

[ 222 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


Jejak Rekam AFI 2, www.awangfaroekishak.com/diakses 19
Maret 2012
Curriculum Vitae AFI, www.awangfaroekishak.com/diakses
19 Maret 2012
Jejak Tanah Kesultanan Kutai, Blog Charles Siahaan Cyndicate/
diakses 2 April 2012
Rekam Jejak AFI 4: Membangun Kutai Timur, www.
awangfaroekishak.com/diakses 19 April 2012
Langkah yang tertunda, www.awangfaroekishak.com/diakses
19 April 2012
PKS Dituding Minta Rp. 50 milyar untuk dukung Jokowi, dalam
www.tempo.co.id/diakses 17 Agustus 2012
Jangan Biarkan Koruptor Menjabat Kembali Sebagai Kepala
Daerah, www.antikorupsi.org/diakses 21 Agustus 2012

TESIS DAN DISERTASI


Andi, Abdul Azis, 2007. Kepemimpinan Akomodatif dalam
Keberagaman Etnis: Studi Kasus Model Kepemimpinan
Gubernur Provinsi Sulteng Pasca Pilkada 2005. Tesis.
Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana UGM.
Bangsawan, Anugra, 2007. Perilaku Memilih dalam Pilkada
Langsung: Studi Kasus terhadap Kemenangan Ahok di
Kabupaten Belitung Timur. Tesis. Yogyakarta: Program
Pascasarjana UGM.
Hartati, Andi, 2009. Comparasi Political Marketing Pasangan
Calon Bupati/Wakil Bupati dalam Pemilihan Kepala
Daerah Langsung di Kabupaten Bantaeng Propinsi Sulsel
2008. Tesis. Yogyakarta: PLOD-Fisipol UGM.
Haryanto, 2013. Politik Kain Timur: Memahami Kekuasaan
dan Mobilisasi Dukungan (Studi Kasus Pemanfaatan
Tradisi untuk Meraih Kekuasaan dalam Pilkada di

Politik Ambivalensi [ 223 ]


Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat, 2010). Naskah
Disertasi. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Gadjah Mada.
Ismail, Bakri, 2010. Strategi Politik dalam Memobilisasi
Dukungan Pemilih (Kasus Pilkada Kota Tidore Kepulauan
2005). Tesis. Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana UGM.
Ismardi, 2009. Strategi Politik Kandidat di Daerah Pasca-
Bencana: Studi tentang Strategi Politik Kandidat Walikota/
Wakil Walikota Banda Aceh pada Pilkada Langsung Kota
Banda Aceh 2006. Tesis. Yogyakarta: PLOD-Fisipol UGM.
Kaya, N., Dominggus, 2005. Pemilihan Kepala Daerah
Langsung dalam Sistem Kepartaian Pluralis (Studi
Identifikasi Strategi Koalisi PKS, PKPB dan PKBI dalam
Pilkada 2005 di Kabupaten Seram bagian Timur, Provinsi
Maluku). Tesis. Yogyakarta: PLOD Fisipol UGM.
Kocu, Edward M., 2007. Prisoner’s Dilema: Studi Kasus tentang
Rivalitas Etnis terhadap Perilaku Memilih dalam Pilkada
Sorong Selatan, Papua Barat. Tesis. Yogyakarta: PLOD
Fisipol UGM.
Lubis, Zulkifli, 2008. Strategi Kampanye dalam Pilkada: Studi
kasus tentang Strategi Kampanye dalam Pilkada Walikota
Magelang 2005. Tesis. Yogyakarta: PLOD Fisipol UGM.
Muklis, 2009. Strategi Pemenangan Pemilihan Kepala Daerah:
Kemenangan Pasangan Munawar L. Zainal dan Islamuddin
di Kota Sabang 2006. Tesis. Yogyakarta: PLOD Fisipol
UGM.
Namba, Seiko, 2007. Political Marketing dalam Pilkada
Langsung (Studi Kasus Kemenangan Herry Zudianto
dan Haryadi Suyuti dalam Pilkada Langsung di Kota
Yogyakarta).Tesis.Yogyakarta: Program Pascasarjana
UGM.

[ 224 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


Nugraheni, Cici, 2009. Strategi Incumbent Mempertahankan
Kursi Kepala Daerah (Studi Kemenangan Rustriningsih
pada Pilkada Kebumen 2005). Tesis. Yogyakarta: Sekolah
Pascasarjana UGM.
Paskarina, Caroline, 2004. Ruang Publik dalam Pemilihan
Kepala Daerah: Studi terhadap Pemilihan Walikota
Bandung 2003.Tesis. Yogyakarta: PLOD Fisipol UGM.
Pratomo, Joko, 2006. Strategi Calon Kepala Daerah (Studi Kasus
Kemenangan Ratna Ani Lestari pada Pilkada Banyuwangi
2005). Tesis. Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana UGM.
Rasyid, Abdul, 2010. Modalitas dan Kontestasi Politik (Studi
tentang Modalitas dan Strategi Pemenangan Pilkada pada
pasangan Kandidat Yusriansyah Syarkawi dan Azhar
Baharudin dalam Pilkada 2010 di Kabupaten Paser-
Kaltim). Tesis. Yogyakarta: PLOD Fisipol UGM.
Ramadlan, Mohammad, 2008. Strategi Memenangkan Pilkada
di Tanah Dayak. Tesis. Yogyakarta: PLOD Fisipol UGM.
Syafruddin, 2006. Demokrasi di Bantul: Studi Kasus tentang
Pemilihan Kepala Daerah di Kabupaten Bantul 2005. Tesis.
Yogyakarta: PLOD Fisipol UGM.
Syarkawi, 2007. Fisibilitas Politik Identitas dalam Pemilihan
Kepala Daerah secara Langsung (Studi Kasus Pemilihan
Gubernur Kalteng). Tesis. Yogyakarta: PLOD Fisipol UGM.
Umasugi, S., Achdjan, 2009. Instrumentasi Etnis dalam Pilkada
Langsung (Studi tentang Peran Etnis dalam Kontestasi
Politik di Pilkada Langsung Kabupaten Buru, Provinsi
Maluku 2006). Tesis. Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana
UGM.
Umasugi, M., Isa, 2007. Perilaku Memilih Birokrat Kasus Pilkada
Langsung di Kabupaten Sula 2005. Tesis. Yogyakarta:
Sekolah Pascasarjana UGM.

Politik Ambivalensi [ 225 ]


[ 226 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada
LAMPIRAN I
NARA SUMBER WAWANCARA/DISKUSI

No. NAMA PROFESI


1. Awang Farouk Ishak Gubernur
2. Rudy T. Koesnandar Tim Sukses AFI/Dewan Pakar
3. Mohammad Arifin Tim Sukses AFI
4. H. Sudiaja MS Tim Sukses AFI
Mantan Plt. Bupati Kukar/
5. Awang Dharma Bhakti
Kolega AFI
Aktivis LSM Perempuan/
6. Diah Purwanti
Demokrasi
Aktivis LSM Lingkungan/
7. Wardhana
Demokrasi
Aktivis LSM Kebudayaan/
8. David Antony
Demokrasi
9. Charles Siahaan Jurnalis/Aktivis Demokrasi
10. Bukhori Tokoh Masyarakat /Penyuluh
11. B.Nazarudin Tokoh Masyarakat/Ketua LPM
12. Sukarji Tokoh Masyarakat/Lurah
13. Junaidi Tokoh Masyarakat/Lurah
14. Sunaryo Tokoh Masyarakat/Lurah
15. Sri Wahyuni Tokoh Masyarakat/Lurah
Mahasiswa Kaltim/MIPA
16. Bagus PS
UGM

Politik Ambivalensi [ 227 ]


Mahasiswa Kaltim/Geologi
17. Fajar Hariyanto
UGM
18. M.Lutfi Pratama Mahasiswa Kaltim/ F.A.UGM
Mahasiswa Kaltim/ Geologi
19. Agus Aryandi
UGM
Mahasiswa Kaltim/Teknologi
20. Dika Harmadi
Industri UGM
Mahasiswa Kaltim/ Farmasi
21. Achmad Baghaoy
UGM
Mahasiswa Kaltim/Teknik Sipil
22. Dwi Waluyo Nugroho
UII
Mahasiswa Kaltim/ Teknologi
23. Sigit Aditomo
Informasi Akakom
Mahasiswa Kaltim/Perikanan
24. Agus Berata Wijaya
UGM
Mahasiswa Kaltim/STIMIK
25. Hary Kurniawan
Akakom
26. Bernard Mahasiswa Unmul
Mahasiswa Kaltim/Kedokteran
27. Gandhy Irawan
UGM
28. Syarifudin Sekdes/PNS
29. Sunaryo PNS/Staf Kelurahan
30. Urip Tokoh Masyarakat/Swasta
31. Alimudin Tokoh Masyarakat/Swasta
32. Abdul Wahab Tokoh Masyarakat/Swasta
33. Arief Marsudi Tokoh Masyarakat/Swasta
34. Margaretha Tokoh Masyarakat/Swasta

[ 228 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


LAMPIRAN II
PEDOMAN WAWANCARA

Nama :………………………
Umur :………………………
Tanggal Lahir :………………………
Alamat :………………………
Pekerjaan :………………………
Telpon /HP :………………………

1. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan Penelitian ialah mencari data tentang pemanfaatan
budaya pemberian dan money politics dalam Pemenangan
Pilkada Kaltim. Semua data responden akan dijaga keraha­
siaannya sesuai dengan prosedur penelitian ilmiah. Penelitian
ini ingin mendeskripsikan tentang mobilisasi jejaring etnisitas
kaitannya dengan politik pencitraan.

2. PENGENALAN TERHADAP KANDIDAT


a. Apakah Anda mengenal Awang Farouk Ishak dan Farid
Wadjdy (AFI)? Secara pribadi atau lewat media?
b. Sudah berapa lama Anda mengenal beliau (AFI )?
c. Dalam kapasitas apa Anda mengenal atau mengetahui
AFI?
d. Berapa anak Awang dan Farid? Awang dari etnis apa?
Farid dari etnis apa?

Politik Ambivalensi [ 229 ]


e. Apakah masyarakat Kaltim sudah mengenal AFI?
f. Apa profesi Awang dan Farid?
g. Apakah AFI pernah berperan konkret dalam masyarakat?
(pendidikan, kesehatan, agama, ekonomi, dll.)

3. JEJARING KEKERABATAN
a. Berapa saudara Awang dan Farid? Apakah mereka juga
aktif dalam politik/pemerintahan?
b. Apakah Awang dan Farid masih ada hubungan dengan
keluarga Sultan Kutai dan Banjar?
c. Sejauh yang Anda tahu dari mana asal istri Awang dan
Farid?
d. Apakah AFI memiliki jejaring dengan kesultanan Kutai?
e. Apakah AFI memiliki jejaring dengan komunitas/
bangsawan Banjar?
f. Menurut Anda apakah komunitas Kutai dan Banjar sangat
kuat di Kaltim dan menentukan pemenangan Pilkada
Kaltim? Mengapa?
g. Apakah paguyuban etnis Kutai dan Banjar lebih cenderung
mendukung AFI dibanding pasangan yang lain?
h. Apakah etnis Jawa, Bugis, Makasar, Toraja, dan etnis lain
juga mendukung AFI? Mengapa? Apa nama paguyuban
etnis tersebut?
i. Apakah ada organisasi masyarakat (agama, sosial
dan budaya) yang mendukung AFI? Mengapa mereka
mendukung?
j. Apakah AFI dalam berkampanye juga menggunakan
simbol-simbol agama dan budaya? Dalam bentuk seperti
apa?
k. Menurut Anda mengapa Awang memilih Farid (Banjar)
dan bukannya etnis Jawa yang mayoritas?

[ 230 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


l. Apakah jejaring etnisitas merupakan faktor yang penting
dalam pemenangan Pilkada? Bagaimana cara kerjanya?
apakah faktor kekerabatan juga menjadi faktor penentu
pemenangan Pilakda?
m. Dalam proses kampanye Pilkada ada ’janji-janji’ yang
diberikan AFI kepada kelompok etnis atau paguyuban.
Apa janji-janji AFI yang menonjol, sehingga menarik
kelompok etnis lain memilih AFI?

4. PERAN KELUARGA AFI


a. Apakah ada peran istri AFI dalam Pilkada? Dalam hal apa
mereka berperan?
b. Apakah anak-anak AFI juga ikut berkampanye? Dalam
bentuk apa mereka berkampanye?
c. Apakah saudara-saudara AFI juga mendukung?

5. JEJARING TIM SUKSES


a. Apakah AFI memiliki tim sukses? Apa program mereka
dalam Pilkada? Bagaimana kerja mereka?
b. Apakah tim sukses AFI terdiri dari multietnis, multiagama?
(segmen, program, kendali)
c. Menurut Anda faktor-faktor apa yang menyebabkan AFI
menang? (product, promote, price, position)
d. AFI didukung oleh gabungan partai kecil, mengapa AFI
menang? Bagaimana cara mengalahkan partai besar?

6. POLITIK PENCITRAAN
a. Apa yang tema dicitrakan AFI dalam media untuk
menang?
b. Apakah AFI dalam pencitraannya menargetkan kelompok
etnis tertentu?

Politik Ambivalensi [ 231 ]


c. Apakah AFI menunjukkan merangkul semua kelompok
etnis di Kaltim?
d. Bagaimana stategi pencitraan AFI merangkul
kemajemukan etnis dan agama di Kaltim?
e. Menurut Anda mengapa AFI mencitrakan dirinya seperti
itu?
f. Apakah strategi pencitraan AFI melalui media efektif di
masyarakat? Buktinya apa?

7. STRATEGI POLITIK
a. Apakah AFI pernah menyerang lawannya dalam kampa­
nye? (isu putra daerah)
b. Apa tema utama kampanye AFI?
c. Siapa segmen yang dibidik AFI?
d. Apa keunggulan AFI dibanding dengan kandidat yang
lain?
e. Apakah AFI dapat diterima oleh komunitas Jawa, Bugis,
Banjar, Makasar, dan Toraja?
f. Apa saja program AFI dalam memberdayakan komunitas
etnis?
g. Apakah AFI memberikan bantuan kepada pagu­yuban/
kelompok etnis dalam meraih simpati masyara­kat?
Bentuknya barang atau uang? Apakah efektif mendu­lang
suara dengan bantuan tersebut?
h. Menurut Anda bagaimana cara kerja tim sukses dalam
memberdayakan jejaring etnisitas untuk memenangkan
Pilkada?

8. MODAL EKONOMI
a. Apakah Anda tahu jumlah kekayaan AFI? Berapa? Dalam
bentuk uang atau aset?

[ 232 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


b. Apakah Anda tahu berapa biaya kampanye AFI?
c. Apakah AFI mendapat bantuan dari pemerintah dalam
kampanye? Pengusaha, atau partai politik?
d. Menurut Anda apakah AFI menggunakan dana dari hasil
penjualan saham sewaktu dia menjabat sebagai Bupati
Kutim?

Politik Ambivalensi [ 233 ]


LAMPIRAN III
DAFTAR GUBERNUR KALIMANTAN TIMUR

No. Foto Nama Dari Sampai

A.P.T. Pranoto 1956

1962
1.
(etnis Kutai/birokrat)

I.A. Moeis
1959

1959

2. (etnis Banjar/
politikus)
14 September 1966
10 Agustus 1962

Moeis Hasan
3.
(etnis Jawa/militer)

[ 234 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada


No. Foto Nama Dari Sampai

Soekadio

1966

1967
4.
(etnis Jawa/militer)

Abdoel Wahab

1967

1978
5. Sjahranie
(etnis Banjar/militer)

Ery Soepardjan 1978

1983
6.
(etnis Jawa/militer)

H. Soewandi
1983

1988

7.
(etnis Jawa/militer)

H.M. Ardans, SH
1988

1998

8.
(etnis Banjar/birokrat)

Politik Ambivalensi [ 235 ]


No. Foto Nama Dari Sampai

Suwarna A.F.

1998

2006
9.
(etnis Sunda/militer)

8 Desember 2006

3 Juli 2008
Drs. Yurnalis Ngayoh
10.
(etnis Dayak/birokrat)

17 Desember 2008
3 Juli 2008
Tarmizi Abdul Karim
(etnis Aceh/birokrat)
17 Desember 2008

Desember 2013

Awang Faroek Ishak


11.
(etnis Kutai/politikus)

[ 236 ] Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada

Anda mungkin juga menyukai