Anda di halaman 1dari 18

ALIRAN-ALIRAN DALAM FILSAFAT HUKUM

A. PENDAHULUAN
Tumbuhnya berbagai aliran dalam filsafat hukum menunjukkan pergulatan pemikiran
yang tidak henti-hentinya dalam lapangan ilmu hukum.
Aliran-aliran filsafat hukum adalah meliputi :.
1. ALIRAN HUKUM ALAM
Menurut Friedmann Aliran Hukum Alam timbul karena kegagalan umat manusia dalam
mencari keadilan yang absolut, sehingga hukum alam dipandang sebagai hukum yang berlaku
universal dan abadi. Hukum alam dianggap lebih tinggi dari hukum yang sengaja dibentuk oleh
manusia dan menurut sumbernya Aliran Hukum Alam dapat dibedakan dalam dua macam :
- Aliran Hukum Alam yang irasional berpendapat bahwa hukum yang berlaku
universal dan abadi itu bersumber dari tuhan secara langsung. Pendukung Aliran Hukum
Alam yang irasional adalah Thomas Aquinas, John Salisbury, Dante Alighieri, Piere
Dubois, Marsilius Padua, John Wyclliffe dan Johannes Huss.
- Aliran Hukum Alam rasional berpendapat bahwa sumber dari hukum yang universal
dan abadi itu adalah rasio manusia. Tokoh-tokoh Aliran Hukum Alam yang rasional
adalah Hugo De Groot (Grotius), Christian Thomasius, Immanuel Kant, dan Samuel Von
Pufendorf.
1. Hukum Alam Irasional
A. Thomas Aquinas (1225-1274)
Filsafat Thomas Aquinas berkaitan erat dengan teologia yang mengakui bahwa di
samping kebenaran wahyu juga terdapat kebenaran akal. Menurutnya ada dua
pengetahuan yang berjalan bersama-sama yaitu pengetahuan alamiah (berpangkal pada
akal) dan pengetahuan iman (berpangkal pada wahyu ilahi). Sementara untuk ketentuan
hukum Aquinas mendefinisikannya sebagai ketentuan akal untuk kebaikan umum yang
dibuat oleh orang yang mengurus masyarakat. Ada empat macam hukum yang diberikan
Aquinas yaitu :
a. lex aeterna (hukum rasio tuhan yang tidak dapat ditangkap oleh pancaindera
manusia).
b. lex divina (hukum rasio tuhan yang dapat ditangkap oleh pancaindera manusia).
c. lex naturalis (hukum alam, yaitu penjelmaan lex aeterna ke dalam rasio manusia).
d. lex positivis (penerapan lex naturalis dalam kehidupan manusia di dunia).
B. John Salisbury (1115-1180)
Salisbury adalah rohaniawan pada abad pertengahan yang banyak mengkritik
kesewenang-wenangan penguasa pada waktu itu. Menurutnya jikalau masing-masing
penduduknya bekerja untuk kepentingannya sendiri, kepentingan masyarakat akan
terpelihara dengan sebaik-baiknya. Salisbury juga melukiskan kehidupan bernegara itu
seperti kehidupan sarang lebah, yang sangat memerlukan kerja sama dari semua unsur,
suatu pandangan yang bertitik tolak dari pendekatan organis. Kumpulan bukunya adalah
Policraticus sive de nubis curialtum et vestigiis philosophorum libri dan Metalogicus.
C. Dante Alighieri (1265-1321)
Dante memberikan legitimasi terhadap kekuasaan monarkhi yang bersifat mondial.
Monarkhi dunia inilah yang menjadi badan tertinggi yang memutuskan perselisihan
antara penguasa yang satu dengan yang lainnya. Dasar hukum yang menjadi pegangan
adalah hukum alam yang mencerminkan hukum-hukum tuhan, menurutnya badan
tertinggi yang memperoleh legitimasi dari tuhan sebagai monarkhi dunia ini adalah
Kekaisaran Romawi yang kemudian di abad pertengahan Kekaisaran Romawi sudah
digantikan oleh kekuasaan Jerman dan Perancis di Eropa. Karangan Dante yang
penting berjudul De Monarchia.
D. Piere Dubois (lahir1255)
Dubois adalah salah satu filsuf terkemuka Perancis yang juga sebagai pengacara Raja
Perancis sangat meyakini adanya hukum yang dapat berlaku universal, bahwa penguasa
(raja) dapat langsung menerima kekuasaan dari tuhan. Ia juga menyatakan bahwa raja
pun memiliki kekuasaan membentuk undang-undang, tetapi raja tidak terikat untuk
mematuhinya. Bukunya Dubois adalah De Recuperatione Trre Sancte (tentang
penaklukan kembali tanah suci).
E. Marsilius Padua dan William Occham (1280-1317)
Pemikiran Marsilius Padua dan William Occam seringkali diuraikan bersama-sama
karena banyak persamaannya, keduanya termasuk tokoh penting abad 14 yang sama-
sama dari ordo Fransiscan dan pernah memberi kuliah di universitas di kota Paris.
Pendapatnya tentang kenegaraan banyak dipengaruhi oleh Aristoteles.yaitu bahwa tujuan
negara adalah untuk memajukan kemakmuran dan memberi kesempatan seluas-luasnya
kepada warga negara agar dapat mengembangkan dirinya secara bebas. Bahkan rakyat
boleh menghukum penguasa (raja) yang melanggar undang-undang, termasuk
memberhentikannya karena kekuasaan raja bukanlah kekuasaan absolute melainkan
dibatasi oleh undang-undang. Filsafat Occam sering disebut nominalisme, sebagai lawan
Thomas Aquinas daalam pemikiran Aliran Hukum Alam yang irasional bahwa rasio
manusia untuk mengungkapkan kebenaran, sedangkan Occam sebaliknya rasio manusia
tidak dapat memastikan suatu kebenaran karena pengetahuan yang ditangkap manusia
hanya nama-nama (nomen, nominal) yang digunakan manusia dalam hidupnya. Karang
Padua adalah Defensor Pacis, sedangkan Occam adalah De Imperatorum et Pontifictum
Potestate.
F. John Wycliffe (1320-1384) dan Johannes Huss (1369-1415)
Keduanya filsuf Inggris abad pertengahan yang menyoroti masalah kekuasaan gereja.
Wycliffe mengibaratkan hubungan antara kekuasaan ketuhanan dan kekuasaan duniawi
seperti hubungan pemilik dan penggarap tanah, masing-masing memiliki bidangnya
sendiri sehingga tidak boleh saling mencampuri. Selain itu juga dia berpendapat
pemerintahan yang baik adalah pemerintahan yangn dipimpin para bangsawan. Huss
melengkapi pemikiran Wycliffe yang mengatakan paus dan hirarki gereja tidak diadakan
menurut perintah tuhan.
2. Hukum Alam Rasional
a. Hugo De Groot alias Grotius (1583-1645)
Hugo De Groot atau Grotius adalah Bapak Hukum Internasional karena yang
mempopulerkan konsep hukum dalam hubungan antarnegara seperti hukum perang dan
damai serta hukum laut. Menurutnya sumber hukum adalah rasio manusia karena
karakteristik yang membedakan manusia dan mahluk lain adalah kemampuan akalnya,
seleruh kehidupan manusia harus berdasarkan pada kemampuan akalnya dan hukum alam
adalah hukum yang muncul sesuai kodrat manusia yang tidak mungkin dapat diubah oleh
tuhan sekalipun karena hukum alam diperoleh manusia dari akalnya tetapi tuhanlah yang
memberikan kekuatan mengikatnya. Karyanya yang termasyur adalah De Jure Belli
ac Pacis dan Mare Liberium.

2. Samuel von Pufendorf (1632-1694) dan Christian Thomesius (1655-1728)


Pufendorf berpendapat, bahwa hukum alam adalah aturan yang berasal dari akal pikiran
yang murni. Dalam hal ini unsure naluriah manusia lebih berperan. Akibatnya ketika manusia
mulai hidup bermasyarakat, timbul pertentangan kepentingan atu dengan yang lainnya. Agar
tidak terjadi pertentangan terus-menerus dibuatlah perjanjian secara sukarela diantara rakyat.
Baru setelah itu, diadakan perjanjian berikutnya, berupa perjanjian penaklukan oleh raja. Dengan
adanya perjanjian itu, berarti tidak ada kekuasaan absolute. Semua kekuasaan itu dibatasi oleh
Tuhan, Hukum alam, kebiasaan, dan tujuan dari Negara yang didirikan.
Menurut Thomasius, manusia hidup dengan bermacam-macam naluri yang bertentangan
satu dengan yang lain. Karena itu diperlukan baginya aturan-aturan yang mengikat, agar ia
mendapat kepastian dalam tindakan-tindakannya, baik ke dalam maupun keluar. Dengan
demikian, dalam ajarannya tentang hukum alam, Thomasius sampai kepada pengertian tentang
ukuran, sebagaimana Thomas Aguinas juga mengakuinya dalam hukum alam.
Apabila ukuran itu bertalian dengan batin, manusia, ia adalah aturan kesusilaan, apabila
ia memperhatikan tindakan-tindakan lahiriah, ia merupakan aturan hukum. Jika hendak
diperlakukan, aturan hukum ini harus disertai dengan paksaan. Tentu saja yang dimaksud oleh
Thomasius disini adalah paksaan dari pihak penguasa.
3. Immanuel Kant (1724-1804)
Bertens mengungkapkan, kehidupan Kant sebagai filsuf dapat dibagi atas dua periode,
yakni jaman prakritis dan jaman kritis. Dalam jaman prakritis, Kant menganut pendirian
rasionalistis yang dilancarkan oleh Wolf dan kawan-kawannya. Akibat pengaruh dari David
Hume (1711-1776), berangsur-angsur Kant meninggalkan rasionalismenya. Hume sendiri dalam
filsafat dikenal sebagai tokoh empirisme, suatu aliran yang bertentangan dengan rasionalisme.
Empirisme berpendapat bahwa sumber pengetahuan manusia bukan rasio, melainkan
pengalaman (empiri), tepatnya pengalaman yang berasal dari pengenalan inderawi.
Filsafat Kant merupakan sintesis dari rasionalisme dan empirisme itu. Kritisisme adalah
filsafat yang memulai perjalanannyaa dengan terlebih dahulu menyelidiki kemanpuan dan batas-
batas rasio. Kant menyelidiki unsur-unsur mana dalam pemikiran manusia yang berasal dari
rasio (sudah ada terlebih dulu tanpa dibantu oleh pengalaman) dan mana yang murni berasal dari
empiri. Rasio murni akan melahirkan ilmu pengetahuan, dan rasio praktis melahirkan etika,
sedangkan daya pertimbangan melahirkan kesenian, bagi Kant, titik berat dari kritisismenya ada
pada kritik yang pertama, yakni pada rasio yang murni.
C. POSITIVISME HUKUM
Positivisme Hukum (Aliran Hukum Positif) memandang perlu memisahkan secara tegas
antara hukum dan moral (antara yang berlaku dan hukum yang seharusnya, antara das sein dan
das Sollen). Dalam kaca mata positivis, tiada hukum lain, kecuali perintah penguasa (law is a
command of the lawgivers). Bahkan, bagian dari Aliran Hukum Positif yang dikenal dengan
nama Legisme, berpendapat lebih tegas, bahwa hukum itu identik dengan undang-undang.
Positivisme Hukum dapat dibedakan dalam dua corak : (1) Aliran Hukum Positif Analitis
(Analytical Jurisprudence), dan (2) aliran Hukum Murni (Reine Rechtslehre). Aliran Hukum
Positif yang pertama dipelopori oleh John Austin dan Aliran yang kedua oleh Hans Kelsen.
1. Aliran Hukum Positif Analitis : John Austin (1790-1859)
Hukum adalah perintah dari penguasa Negara. Hakikat hukum sendiri, menurut Austin,
terletak pada unsur “perintah” itu. Hukum dipandang sebagai suatu system yang tetap,logis dan
tertutup. Hukum adalah perintah yang memaksa, yang dapat saja bijaksana dan adil, atau
sebaliknya.
Membedakan hukum dalam dua jenis :
(1) Hukum dari Tuhan untuk manusia (the divine laws);
(2) Hukum yang dibuat oleh manusia
Hukum yang dibuat manusia dibedakan :
1. hukum yang sebenarnya, Hukum dalam arti yang sebenarnya ini (disebut juga hukum
positif) . meliputi hukum yang dibuat oleh penguasa dan hukum yang disusun oleh manusia
secara individu untuk melaksanakan hak-hak yang diberikan kepadanya
2. hukum yang tidak sebenarnya. Hukum yang tidak sebenarnya adalah hukum yang
tidak dibuat oleh penguasa, sehingga tidak memenuhi persyaratan sebagai hukum, seperti
ketentuan dari suatu organisasi olahraga. Hukum yang sebenarnya memiliki empat unsur yaitu :
(1) perintah (command), (2) sanksi (sanction), (3) kewajiban (duty), dan (4) kedaulatan
(sovereignty)
2. Aliran Hukum Murni : Hans Kelsen (1881-1973)
Menurut Kelsen, hukum harus dibersihkan dari anasir-anasir yang nonyuridis, seperti
unsure sosiologis, politis, historis, bahka etis. Dikenal dengan teori Hukum Murni (Reine
Rechtslehre) dari Kelsen. Jadi hukum adalah suatu Sollenskategorie (kategori keharusan/ideal),
bukan seinskategorie (kategori factual). Hukum adalah keharusan yang mengatur tingkah laku
manusia sebagai mahluk rasional. Dalam hal ini yang dipersoalkan oleh hukum bukanlah
“bagaimana hukum itu seharusnya “ (what the law ought to be), tetapi “apa hukumnya” (what the
law is). Dengan demikian, walaupun hukum itu Sollenkategorie, yang dipakai adalah hukum
positif (ius contitutum, bukan yang dicita-citakan (ius contituendum).
Bagi Kelsen, hukum berurusan dengan bentuk (forma), bukan isi (material). Jadi keadilan
sebagai isi hukum berada di luar hukum. Suatu hukum dengan demikian dapat saja tidak adil,
tetapi ia tetaplah hukum karena dikeluarkan oleh penguasa.
Kelsen, selain dikenal sebagai pencetus teori Hukum Murni, juga dianggap berjasa
mengembangkan Teori Jenjang (Stuffentheorie) yang semula dikemukakan oleh Adolf Merk
(1836-1896). Teori ini melihat hukum sebagai suatu system yang terdiri dari susunan norma
berbentuk piramida. Norma yang lebih rendah memperoleh kekuatannya dari suatu norma yang
lebih tinggi. Semakin tinggi suatu norma, akan semakin abstrak sifatnya, dan sebaliknya,
semakin rendah kedudukannya, akan semakin konkret norma tersebut. Norma yang paling tinggi,
yang menduduki puncak pyramid, disebut oleh Kelsen dengan nama Grundnorm (norma dasar)
atau Ursprundnorm
D. UTILITARIANISME
Utilitarianisme atau Utilisme adalah aliran yang meletakan kemanfaatan sebagai tujuan
utama hukum. Kemanfaatan diartikan sebagai kebahagian (happiness). Jadi, baik buruk atau adil
tidaknya suatu hukum, bergantung kepada apakah hukum itu memberikan kebahagian kepada
manusia atau tidak. Aliran ini sesungguhnya dapat pula dimasukan ke dalam Positivisme
Hukum, mengingat faham ini pada akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa tujuan hukum
adalah menciptakan ketertiban masyarakat, di samping untuk memberikan manfaat yang sebesar-
besarnya kepada jumlah orang yang terbanyak. Ini berarti hukum merupakan pencerminan
perintah penguasa juga, bukan pencerminan dari rasio semata.
1. Jeremy Bentham (1748 -1832)
Betham berpendapat bahwa alam memberikan kebahagian dan kesusahan. Manusia selalu
berusaha memperbanyak kebahagian dan mengurangi kesusahannya. Kebaikan adalah
kebahagian, dan kejahatan adalah kesusahan. Ada keterkaitan erat antara kebaikan dan kejahatan
dengan kebahagian dan kesusahan. Tugas hukum adalah memeliharan kebaikan dan mencegah
kejahatan. Tegasnya memelihara kegunaan.
Pandangan Betham sebenarnya beranjak dari perhatiannya yang besar terhadap individu. Ia
menginginkan agar hukum pertama-tama dapat memberikan jaminan kebahagian kepada
individu-individu, bukan langsung ke masyarakat secara keseluruhan. Walaupun demikian,
Betham tidak menyangkal bahwa disamping kepentingan individu, kepentingan masyarakat pun
perlu diperhatikan. Agar tidak terjadi bentrokan, kepentingan individu dalam mengejar
kebahagian sebesar-besarnya itu perlu dibatasi. Jika tidak, akan terjadi apa yang disebut homo
homini lupus (manusia menjadi srigala bagi manusia yang lain)
Untuk menyimbangkan antar kepentingan (individu dan masyarkat) Betham menyarakan
agar ada simpati dari tiap-tiap individu. Walaupun demikian titik berat perhatian harus tetap pada
individu itu, karena apabila setiap individu telah memperoleh kebahagiaanya dengan sendirinya
kebahagian (kesejahteraan) masyarakat akan dapat diwujudkan secara simultan.
2. John Stuart Mill (1806-1873)
Pemikiran Mill banyak dipengaruhi oleh pertimbangan psikologis, ia menyatakan bahwa
tujuan manusia adalah kebahagian. Manusia berusaha memperoleh kebahagian itu melalui hal-
hal yang membangkitkan nafsunya. Jadi, yang dicapai oleh manusia itu bukanlah benda atau
sesuatu hal tertentu, melainkan kebahagian yang dapat ditimbulkannya.
Bagi Mill, psikologi justru merupakan ilmu yang paling fundamental. Psikologi
mempelajari penginderaan-penginderaan (sensations) dan cara susunannya. Susunan
penginderaan-penginderaan terjadi menurut asosiasi. Psikologi harus memperhatikan bagaimana
asosiasi penginderaan satu dengan penginderaan lain diadakan menurut hukum-hukum tetap.
Itulah sebabnya psikologi merupakan dasar bagi semua ilmu lain, termasuk juga logika
Menurut Friedman, peran Mill dalam ilmu hukum terletak dalam penyelidikannya mengenai
hubungan antara keadilan,kegunaan,kepentingan individu dan kepentingan umum. Mill
menganalisis hubungan antara kegunaan dan keadilan. Pada hakekatnya perasaan individu akan
keadilan akan membuat individu itu menyesal dan ingin membalas dendam kepada tiap yang
tidak menyenangkannya. Rasa kesal dan keinginan demikian dapat diperbaiki dengan perasaan
sosialnya. Mill juga menyatakan hal bahwa orang-orang yang baik menyesalkan tindakan yang
tidak baik terhadap masyarakat, walaupun tidak mengenai dirinya sendiri. Sebaliknya, orang-
orang yang baik tidak menyesalkan perbuatan tidak baik terhadap diri sendiri, walaupun
menimbulkan rasa sakit, kecuali kalau masyarakat bermaksud menindasnya. Apa yang
digambarkan tersebut merupakan ungkapan dari rasa adil. Ia berpendapat bahwa perilaku kita
akan sedemikian rupa, sehingga semua mahluk berakal dapat menyesuaikan keuntungan dengan
kepentingan mereka bersama. “Nafsu binatang untuk menolak atau membalas perbuatan jahat
yang melukai atau merugikan diri sendiri” bertambah, dan dengan demikian “memperbaiki
ahlak”. Penonjolan diri dan kesadaran atas kebaikan bersama bergabung dengan rasa adil.
Karangan Mill menonjol antara lain berjudul On Liberty.
3. Rudolf von Jhering (1818-1892)
Ajaran Bentham dikenal sebagai Utilitarianisme individual. sedangkan rekannya Rudolf
von Jhering (dalam beberapa buku ditulis "Ihering") mengembangkan ajaran yang bersifat sosial.
Teori von Jhering merupakan gabungan antara teori Bentham, Stuart Mill, dan Positivisme
Hukum dari John Austin (Rasjidi, 1990: 45).
Mula-mula von Jhering menganut Mazhab Sejarah yang dipelopori von Savigny dan
Puchta, tetapi lama-kelaman ia melepaskan diri, bahkan menentang pandangan von Savigny
tentang hukum Romawi (Huijbers, 1988: 130). Perlu diketahui bahwa pemikiran yang gemilang
dari Jhering memang timbul setelah ia melalakukan studi yang mendalam tentang hukum
Romawi. Huijbers memasukkan Jhering sebagai salah satu tokoh penting Positivisme Hukum.
Menurut von Savigny, seluruh hukun Romawi merupakan pernyataan jiwa bangsa
Romawi, dan karenanya merupakan hukum nasional. Hal ini dibantah oleh von Jhering. Seperti
dalam hidup sebagai perkembangan biologi, senantiasa terdapat asimilasi dari unsur-unsur yang
mempengaruhinya, demikian pula halnya dalam bidang kebudayaan karena pergaulan intensif
antar bangsa terdapat asimilasi pandangan-pandangan dan kebiasaan-kebiasaan. Hukum Romawi
dalam perkembangannya berfungsi sebagai ilustrasi kebenaran tersebut. Sudah barang tentu
lapisan tertua hukum Romawi adalah bersifat nasional, tetapi pada tingkat-tingkat
perkembangannya yang lebih lanjut hukum itu makin mendapat ciri-ciri universal. Inilah jalan
biasa dalam perkembangan suatu sistem hukum; ciri-ciri hukum lain makin diasimilasikan dalam
hukum nasional, sehingga hukum yang pada mulanya nasional makin menjadi hukum universal.
Dengan mengetengahkan gagasan ini, von Jhering mendukung pandangan von Savigny bahwa
hukum Romawi dapat digunakan sebagai dasar hukum nasional Jerman, tetapi alasannya
berlainan. Hukum Romawi dapat menjadi dasar hukum Jerman bukan karena hukum Romawi itu
bersifat nasional, tetapi justru karena hukum Romawi dalam perkembangannya sudah
berhadapan dengan banyak aturan hidup lain, sehingga hukum itu lebih ber sifat universal
daripada nasional (Huijbers, 1988: 130).
Pertimbangan ini diperkuat oleh pandangan von Jhering mengenai timbulnya hukum.
Menurut von Savigny, hukum timbul dari jiwa bangsa secara spontan, tetapi menurut von
Jhering hal ini tidak dapat dibenarkan. Bagi Jhering, tujuan hukum adalah untuk melindungi
kepentingan-kepentingan. Dalam mendefinisikan "kepentingan ia mengikuti Bentham, dengan
melukiskannya sebagai pengejaran kesenangan dan menghindari penderitaan, tetapi kepentingan
individu dijadikan bagian dari tujuan sosial dengan menghubungkan tujuan pribadi seseorang
dengan kepentingan-kepentingan orang lain (Friedmann, 1990a: 124).
Karya-karya Jhering antara lain berjudul: (1) Der Zweck im Recht, (2) Scherz und Ernst
in der Jurisprudenz, (3) Der Schuldmoment im romischen Privatrecht.

E. MAZHAB SEJARAH
Mazhab Sejarah (Historische rechtsschule) merupakan reaksi terhadap tiga hal (Basuki,
1989: 32), yaitu :
1. rasionalisme Abad ke-18 yang didasarkan atas hukum alam, kekuatan akal, dan prinsip-
prinsip dasar yang semuanya berperan pada filsafat hukum, dengan terutama mengandalkan jalan
pikiran deduktif tanpa memperhatikan fakta sejarah, kekhususan,dan kondisi nasional;
2. semangat Revolusi Perancis yang menentang wewenang tradisi dengan misi
kosmopolitannya (kepercayaan kepada rasio dan daya kekuatan tekad manusia untuk mengatasi
lingkungannya, yaitu seruannya ke segala penjuru dunia (Soekanto, 1979: 26);
3. pendapat yang berkembang saat itu yang melarang hakim menafsirkan hukvm karena
undang-undang dianggap dapat memecahkan semua masalah hukum. Code Civil dinyatakan
sebagai kehendak legislatif dan harus dianggap sebagai suatu sistem hukum yang harus disimpan
dengan baik sebagai sesuatu yang suci karena berasal dari alasan-alasan yang murni.
Di samping itu, terdapat faktor lain, yaitu masalah kodifikasi hukum Jerman setelah
berakhirnya masa Napoleon Bonaparte, yang diusulkan oleh Thibaut (1772-1840), guru besar
pada Universitas Heidelberg di Jerman dalam tulisannya yang terbit tahun 1814, berjudul Uber
die Notwendigkeit Allegemeinen Burgerlichen Rechts fur Deutchland (Tentang Keharusan Suatu
Hukum Perdata bagi Jerman). Karena dipengaruhi oleh keingiannya akan kesatuan negara, ia
menyatakan keberatan terhadap hukum yang tumbuh berdasarkan sejarah. Hukum itu sukar
untuk diselidiki, sedangkan jumlah sumbernya bertambah banyak sepanjang masa, sehingga
hilanglah keseluruhan gambaran darinya. Karena itulah harus diadakan perubahan yang tegas
dengan jalan penyusunan undang-undang dalam kitab. Hal ini merupakan kebanggaan Jerman.
Keberatan yang dikemukakan ialah bahwa di berbagai daerah, Hukum itu harus disesuaikan
dengan keadaan setempat yang khas dan bahua orang harus menghormati apa yang dijadikan
adat, tidak dapat mengimbangi keuntungan yang dibawa olehnya. Sudah saatnya melaksanakan
sesuatu yang luar biasa yang mungkin direalisasikan (Schmid, 1979: 62-63).
Tokoh-tokoh penting Mazhab Sejarah adalah :
1. Friedrich Karl von Savigny (1770-1861)
Savignyy menganalogikan timbulnya hukum itu dengan timbublnya bahasa suatu bangsa.
Masing-masing bangsa memiliki ciri khusus dalam berbahasa. Hukum pun demikian. Karena
tidak ada bahasa yang universal, tiada pula hukum yang universal. Pandangannya ini jelas
menolak cara berpikir penganut Aliran Hukum Alam.
Hukum timbul, menuru Savigny, bukan karena perintah penguasa atau karena kebiasaan,
tetapi karena perasaan keadilan yang terletak di dalam jiwa bangsa itu (instinktif). Jiwa bangsa
(Volksgeisf) itulah yang menjadi sumber hukum. Seperti diungkapkannya, "Law is expression of
the common consciousness or spirit of people." Hukum tidak dibuat, tetapi ia tumbuh dan
berkembang bersama masyarakat (Das Rechts wird nicht gemacht, es ist und wird mit dem
Volke). Pendapat Savigny seperti ini, bertolak belakang pula dengan pandangan Positivisme
Hukum. Ia mengingatkan, untuk membangun hukum, studi terhadap sejarah suatu bangsa mutlak
perlu dilakukan.Paton (1951: 16) memberikan sejumlah catatan terhadap pemikiran Savigny
sebagai berikut: (1) jangan sampai kepentingan dari golongan masyarakat tertentu dinyatakan
sebagai Volksgeist dari masyarakat secara keseluruhannya; (2) tidak selamanya peraturan
perundang-undangan itu timbul begitu saja, karena dalam kenyataannya banyak ketentuan
mengenai serikat kerja di Inggris yang tidak akan terbentuk tanpa perjuangan keras; (3) jangan
sampai peranan hakim dan ahli hukum lainnya tidak mendapat perhatian, karena walaupun
Volksgeist itu dapat menjadi bahan kasarnya, tetap saja perlu ada yang menyusunnya kembali
untuk diproses menjadi bentuk hukum; (4) dalam banyak kasus peniruan memainkan peranan
yang lebih besar daripada yang diakui penganut Mazhab Sejarah.
2. Puchta (1798-1846)
Puchta adalah murid von Savigny yang mengembangkan lebih lanjut pemikiran gurunya.
Sama dengan Savigny, ia berpendapat bahwa hukum suatu bangsa terikat pada jiwa bangsa
(Volksgeist) yang bersangkutan. Hukum tersebut, menurut Puchta, dapat berbentuk: (1) langsung
berupa adat istiadat, (2) melalui undang-undang, (3) melalui ilmu hukum dalam bentuk karya
para ahli hukum (Huijbers, 1988: 120). Lebih lanjut Puchta membedakan pengertian "bangsa" ini
dalam dua jenis: (1) bangsa dalam pengertian etnis, yang disebutnya "bangsa alam", dan (2)
bangsa dalam arti rasional sebagai kesatuan organis yang membentuk satu negara. Adapun yang
memiliki hukum yang sah hanyalah bangsa dalam pengertian nasional (negara), sedangkan
"bangsa alam" memiliki hukum sebagai keyakinan belaka. Menurut Puchta, keyakinan hukum
yang hidup dalam jiwa bangsa harus disahkan melalui kehendak umum masyarakat yang
terorganisasi dalam negara. Negara mengesahkan hukum itu dengan membentuk undang-undang.
Puchta mengutamakan pembentukan hukum dalam negara sedemikian rupa, sehingga akhirnya
tidak ada tempat lagi bagi sumber-sumber hukum lainnya, yakni praktik hukum dalam adat
istiadat bangsa dan pengolahan ilmiah hukun oleh ahli-ahli hukum. Adat istiadat bangsa hanya
berlaku sebagai hukum sesudah disahkan oleh negara. Sama halnya, dengan pengolahan hukum
oleh kaum yuris, pikiran-pikiran mereka tentang hukum memerlukan pengesahan negara; supaya
berlaku sebagai hukum. Di lain pihak, yang berkuasa dalam negara tidak membutuhkan
dukungan apa pun. Ia berhak untuk membentuk undang-undang tanpa bantuan kaum yuris, tanpa
menghiraukan apa yang hidup dalam jiwa orarg dan dipraktikkan sebagai adat istiadat Oleh
karena itu, menurut Huijbers (1988: 120-121), pemikiran Puchta ini sebenarnya tidak jauh dari
Teori Absolutisme negara dan Positivisme Yuridis. Buku Puchta yang terkenal berjudul
Geworhnheitsrecht.
3. Henry Sumner Maine (1822-1888)
Maine banyak dipengaruhi oleh pemikiran von Savigny sehingga ia dianggap sebagai
pelopor Mazhab Sejarah di Inggris. Pemikiran Savigny tersebut kemudian dikembangkan lebih
lanjut oleh Maine dalam berbagai penelitian yang dilakukannya. Salah satu penelitiannya yang
terkenal ialah tentang studi perbandingan perkembangan lembaga-lembaga hukum yang ada pada
masyarakat sederhana dan masyarakat yang telah maju yang dilakukannya berdasarkan
pendekatan sejarah. Kesimpulan penelitian itu kembali memperkuat pemikiran von Savigny,
yang membuktikan adanya pola evolusi pada berbagai masyarakat dalam situasi sejarah yang
sama.Sumbangan Maine bagi studi hukum dalam masyarakat, terutama tampak pada penerapan
metoae empiris, sistematis, dan sejarah untuk. menarik kesimpulan-kesimpulan umum.
Pendekatan ilmiahnya jauh berbeda dengan pendekatan yang lazim dipergunakan dalam
pemikiran-pemikiran filosofis dan spekulatif (Soekanto, 1985: 12-14).Karya Maine yang penting
berjudul: (1) Ancient Law, dan (2) Early Law and Custom.
F. SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE
Istilah sociological dalam menamai aliran ini, menurut Paton (1951: 17-21), kurang tepat
dan dapat menimbulkan kekacauan. Ia lebih senang menggunakan istilah "metode fungsional".
Oleh karena itu, ada pula yang menyebut Sociological Jurisprudence ini dengan Functional
Anthropological. Dengan menggunakan istilah "metode fungsional" seperti diungkapkan di atas,
Paton ingin menghindari kerancuan antara Sociological Jurisprudence dan sosiologi hukum (the
sociology of law). Menurut Lily Rasjidi (1990: 47-48), perbedaan antara Sociological
Jurisprudence dan sosiologi hukum adalah sebagai berikut. Pertama, Sociological Jurisprudence
adalah nama aliran dalam filsafat hukum, sedangkan sosiologi hukum adalah cabang dari
sosiologi. Kedua, walaupun obyek yang dipelajari oleh keduanya adalah tentang pengaruh timbal
balik antara hukum dan masyarakat, namun pendekatannya berbeda. Sociological Jurisprudence
menggunakan pendekatan hukum ke masyarakat, sedangkan sosiologi hukum memilih
pendekatan dari masyarakat ke hukum. Perbedaan yang mencolok antara kedua hal tersebut
adalah, bahwa sosiologi hukum berusaha menciptakan suatu ilmu mengenai kehidupan sosial
sebagai suatu keseluruhan dan pembahasannya meliputi bagian terbesar dari sosiologi (secara
umum) dan ilmu politik. Titik berat penyelidikan sosiologi hukum terletak pada masyarakat dan
hukurn sebagai suatu manifestasi semata, sedangkan Sociological Jurisprudence (seperti yang
dikemukakan Pound) menitikberatkan pada hukum dan memandang masyarakat dalam
hubungannva dengan hukum (Paton, 1951; 21). Menurut aliran Sociological Jurirudence ini,
hukum yang baik haruslah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dimasyarakat. Aliran
ini memisahkan secara tegas antara hukum positif (the positive law) dan hukum yang hidup (the
living law). Aliran ini timbul dari proses dialektika antara (tesis) Positivisme Hukun dan
(antitesis) Mazhab Sejarah. Aliran Socioligical Jurisprudence ini memiliki pengaruh yang sangat
luas dalam pernbangunan hukum Indonesia. Uraian tentang hal ini akan dibahas dalam Bab V
tentang peranan hukum sebagai sarana pembaruan masyarakat.

Tokoh-tokoh aliran Sociological Jurisprudence adalah :


1. Eugen Ehrlich (1862-1922)
Eugen Ehrlich dapat dianggap sebagai pelopor aliran Sociological Jursprudence,
khususnya di Eropa. Ia adalah seorang ahli hukum dari Austria dan tokoh pertama yang
meninjau hukum dari sudut sosiologi.
Ehrlich melihat ada perbedaan antara hukum positif di satu pihak dengan hukum yang
hidup dalam masyarakat (living law) di lain pihak. Menurutnya, hukum positif baru akan
memiliki daya berlaku yang efektif apabila berisikan, atau selaras dengan hukum yang hidup
dalam masyarakat tadi (Rasjidi, 1988: 55). Di sini jelas bahwa Ehrlich berbeda pendapat dengan
penganut Positivisme Hukum.
Ehrlich ingin membuktikankebenaran teorinya bahwa titik pusat perkembangan hukum
tidak terletak pada undang-undang, putusan hakim, atau ilmu hukum, tetapi pada masyarakat itu
sendiri. Dengan demikian, sumber dan bentuk hukum yang utama adalah kebiasaan. Hanya
sayangnya, seperti dikatakan oleh Friedmann (1990a: 104), dalam karyanya, Ehrlich pada
akhirnya justru meragukan posisi kebiasaan ini sebagai sumber dan bentuk hukum pada
masyarakat modern. Selanjutnya Ehrlich beranggapan bahwa hukum tunduk pada kekuatan-
kekuatan sosial tertentu. Hukum sendiri tidak akan mungkin efektif, oleh karena ketertiban
dalam masyarakat didasarkan pada pengakuan sosial terhadap hukum, dan bukan karena
penerapannya secara resmi oleh negara. Bagi Ehrlich, tertib sosial didasarkan pada fakta
diterimanya hukum yang didasarkan pada aturan dan norma sosial yang tercermin dalam sistem
hukum. Secara konsekuen Ehrlich beranggapan bahwa mereka yang berperan sebagai pihak yang
mengembangkan sistem hukum harus mempunyai hubungan yang erat dengan nilai-nilai yang
dianut dalam masyarakat bersangkutan. Kesadaran itu harus ada pada setiap anggota profesi
hukum yang bertugas mengembangkan hukum yang hidup dan menentukan ruang lingkup
hukum positif dalam hubungannya dengan hukum yang hidup (Soekanto, 1985: 20-21).
Sampai di situ terlihat bahwa pendapat Ehrlich mirip dengan von Savigny. Hanya saja,
Ehrlich lebih senang menggunakan istilah kenyataan sosial daripada istilah volksgeist
sebagaimana yang digunakan Savigny. Kenyataan-kenyataan sosial yang anormatif itu dapat
menjadi normtif, sebagai kenyataan hukum (facts of law) atau hukum yang hidup (living law,
yang juga dinamakan Ehrlich dengan Rechtsnormen), melalui empat cara. Huijbers (1988: 213)
menyebut empat cara (jalan) itu: (1) kebiasaan (Uebung), (2) kekuasaan efektif, (3) milik efektif,
dan (4) pernyataan kehendak pribadi.
Friedmann (1990a: 108) membentangkan tiga kelemahan utama pemikiran Ehrlich
karena keinginannya meremehkan fungsi negara dalam pembentukan undang-undang. Pertama,
Ehrlich tidak memberikan kriteria yang jelas yang membedakan norma hukurm dengan norna
sosial yang lain. Akibatnya, teori sosiologi dari Ehrlich dalam garis besamya merupakan
sosiologi umum saja. Kedua, ia meragukan posisi kebiasaan sebagai sumber hukum dan sebagai
suatu bentuk hukum. Pada masyarakat primitif posisi kebiasaan itu sangat penting sebagai
sumber dan bentuk hukum, tetapi tidak demikian lagi pada masyarakat modern. Pada masyarakat
modern, posisi tersebut digantikan oleh undang-undang, yang selalu—dengan derajat bermacam-
macam—bergantung pada kenyataan-kenyataan hukum (facts of law), namun berlakunya sebagai
hukum tidak bersumber pada ketaatan faktual ini. Friedmann menyatakan. kebingungan ini
merembes ke seluruh karya Ehrlich. Ketiga, Ehrlich menolak mengikuti logika perbedaan yang
ia sendiri adakan antara norma hukum negara yang khas dan norma hukum di mana negara
hanya memberi sanksi pada kenyataan-kenyataan sosial. Norma yang pertama melindungi tujuan
khusus negara, seperti kehidupan konstituional, serta keuangan dan administrasi. Dalam
masyarakat modern, norma ini terus bertambah banyak, sehingga menuntut pengawasan yang
lebih banyak dari negara. Konsekuensinya, peranan kebiasaaan terus berkurang, bahkan sebelum
pembuatan undang-undang secara terinci. Sementara itu, undang-undang yang dikeluarkan
pemerintah pusat mempengaruhi kebiasaan masyarakat sama banyaknya dengan pengaruh pada
dirinya sendiri. Buku Ehrlich yang terkenal antara lain berjudul Grundlegung der Soziologie des
Rechts.
2. Roscoe Pound (1870-1964)
Pound terkenal dengan teorinya bahwa hukum adalah alat untuk memperbarui
(merekayasa) masyarakat (law as n tool of social engineering). Untuk dapat memenuhi
peranannya sebagai alat tersebut, Pound lalu membuat penggolongan atas kepentingan-
kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum sebagai berikut.
a. Kepentingan umum (public interest) : 1. kepentingan negara sebagai badan hukum; 2.
kepentingan negara sebagai penjaga kepentingan masyarakat.
b. Kepentingan masyarakat (social interest) : 1. kepentingan akan kedamaian dan
ketertiban; 2. perlindungan lembaga-lembaga sosial; 3. pencegahan kemerosotan akhlak;
4. pencegahan pelanggaran hak; 5. kesejahteraan sosial.
G. Realisme Hukum
Dalam pandangan penganut realisme (para realis), hukum adalah hasildari kekuatan-kekuatan
sosial. Seorang realis terkemuka (Llewellyn), bahwa hal pokok dalam ilmu hukum realis adalah
gerakan dalam pemikiran dan kerja tentang hukum. Dalam rumusan lain, Llewellyn
menyebutkan formula dari realisme sebagai berikut : don't get your law form rules, but get your
rules from the law thats is.
Karl N. Llewellyn juga dikenal sebagai seseorang ahli soosiologi hukum, menyebutkan
beberapa ciri dari realism, yang terpenting diantaranya adalah:
1. tidak ada mazhab realis; realisme adalah gerakan dari pemikiran dan kerja tentang hukum
2. realisme adalah konsepsi hukum yang terus berubah dan alat untuk tujuan sosial,
sehingga setiap bagian harus diuji tujuan dan akibatnya
3. realisme menganggap adanya pemisahan sementara antara hukum yang ada dan yang
seharusnya ada, untuk tujuan-tujuan studi
4. realisme tidak percaya pada ketentuan-ketentuan dan konsepsi-konsepsi hukum, sepanjang
ketentuan-ketentuan dan konsepsi hukum menggambarkan apa yang sebenarnya
dilakukan oleh pengadilan-pengadilan dan orang-orang.
5. Realisme menekankan evolusi tiap bagian dari hukum dengan mengingat akibatnya.
Dengan demikian, realisme berpendapat bahwa tidak ada hukum yang mengatur
suatu perkara sampai ada putusan hakim terhadap perkara itu.
1. Realisme Amerika.
Tokoh-tokoh utama Realisme Amerika Antara lain, yaitu :
a. William James (1842-1910)
Menurut James, Pragmatisme adalah “nama baru untuk beberapa pemikiran yang sama”,
yang juga sebenarnya positivis. Iya menyatakan bahwa seseorang pragmatis menolak
abstraksi dan hal-hal yang tidak memadai, penyelesaian secara verbal, alasan apriori yang
tidak baik, prinsip yang ditentukan, yang sistem tertutup, dan hal-hal yang dianggap mutlak
dan asli.

b. Jhon Dewey (1859-1952)


Inti ajaran Dewey adalah bahwa logika bukan berasal dari kepastian-kepastian dari
prinsip-prinsip teoritis, seperti silogisme, tetapi suatu studi tentang kemungkinan-kemungkinan.
Dengan demikian hukum adalahproses eksprimental di mana faktor logika hanya salah satu dari
faktor-faktor yang utama untuk menarik kesimpulan tertentu. Karya terpenting dari Dewey
antara lain, logic, the theory of Inquiry, dan My Philosophy of Law.
c. Benjamin Nathan Cardozo (1870-1938)
Tokoh ini beranggapan bahwa hukum mengikuti perangkat aturan umum dan yakin
bahwa penganutan terhadap perseden seharusnya merupakan aturannya dan bukan merupakan
pengecualian dalam pelaksanaan peradilan.
Namun preseden tidak dianggap sebagia kebenaran mutlak dan abadi tetapi disesuaikan
dengan kebutuhan dan kemajuan. Cardoza beranggapan bahwa kekuatan sosial mempunyai
pengaruh instrumental terhadap pembentukan hukum misalnya logika sejarah, adat-istiadat,
kegunaan dan standarr moralitas. Ditambahkan pula bahwa perkmbangan hukum sebagai gejala
sejarah ditentukan oleh perubahan-perubahan dalam masyarakat serta pandangan masyarakat
mengenai adat-istiadat dan moralitas. Bagi Cardoza hukum harus menyesuaikan diri dengan
perubahan-perubahan dalam masyarakat sedangkan para legislator harus menadapatkan
pengetahuan mengenai perubahan dari pengalaman serta studi terhadap kehidupan maupun
pencerminannya.
d. Jerome Frank (1889-1957)
Menurut Frank hukum tidak dapat disamakan dengan suatu aturan yang tetap. Dalam
aturan tetap norma kaidah hukum berperan seakan-akan merupakan prinsip – prinsip logika.
Manusia moderen berpendapat bahwa hukum sebenarnya hanya terdiri dari putusan – putusan
pengadilan namun dalam putusan itu banyak dipangaruhi oleh faktor politik, ekonomi, moral,
bahkan simpati dan antipati pribadi.
2. Realisme Skandinavia
Axel Hagerstrom (1868 – 1939)
Hagestrom menyatakan bahw hukum seharusnya diselidiki dan bertitik tolak pada data
empiris, yang dapat ditemukan dalam perasaan psikologis. Adapun yangg imaksud rasa
psikologis ini adalah rasa wajib, rasa kuasa dalam mendapat untung, rasa takut akan reaksi dari
lingkungan dan sebaginya.
Karl Olivecrona (1897 – 1980)
Olivercrona menyamakan hukum dengan perintah-perintah yang bebas. Ia beranggapan
bahwa hukum bukanlah perintah dari seorang manusia, karena tidak mungkin ada manusia yang
dapat memberikan semua perintah yang terkandung dalam hukum. Olivecrona menyangkal
keberadaan hukum normatif. Ketentuan undang-undang itu sendiri hanyalah kata-kata di atas
kertas. Kenyataan yang berkenaan dengan pembicaraan ilmiah tentang hukum haruslah berkenan
dengan reaksi-rekasi psikologis dari para individu, yakni ide tentang tindakan apa dan perasaan
apa yang timbul apabila mereka mendengar atau melihat suatu ketentuan.
Alf Ross ( 1899 – 1979)
Ross berpendapat bahwa hukum adalah suatu realitas sosial. Perkembangan hukum
menurut Ross melewati empat tahapan :
- Hukum adalah suatu sistem paksaan aktual
- Hukum adalah suatu cara berlaku sesuai dengan kecenderungan dan keinginan
anggota komunitas, tahapan ini baru diterapkan apabila orang mulai takut akan paksaan
sehingga paksaan itu mulai ditinggalkan
- Hukum adalah suatu yang berlaku dan mewajibkan dalam arti yuridis yang benar.
Ini bisa terjadi karena anggota komunitas sudah terbiasa dengan pola ketaatan terhadap
hukum.
- Supaya hukum berlaku maka harus ada kompetensi pada orang-orang yang
membentuknya.
H.L.A. Hart ( lahir 1907)
Hukum dilihat dari dua aspek yaitu aspek eksteren maupun intern. Aspek ekteren dilihat
hukum sebagai perintah penguasa, sedanggkan aspek interen yaitu keterkaitan dengan perintah
dari penguasa itu secara batiniah.
Hart berpendapat bahwa norma hukum dapat dibagi dua :
a. Norma Primer , yakni norma yang menetukan kelakuan subjek-subjek hukum dengan
menyatakan apa yang harus dilakukan dan apa yang dilarang.
b. Norma sekunder merupakan syarat-syarat berlakunya norma primer, atau merupakan
petunjuk pengenal.
Hart berpendapat bahwa hukum hanyalah menyangkut aspek formal. Artinya suatu hukum
hanya dapat saja disebut hukum, walaupun secara materil tidak layak untuk ditaati karena
bertentangan dengan prinsip-prinsip moral.
Julius Stone
Julius Stone memandang hukum sebagai suatu kenyataan sosial. Makna dari kenyataan
sosial ini dapat ditangkap melalui penyelidikan logis analitis. Ia juga berpendapat bahwa hukum
harus dibedakan dari moral. Hukum adalah semua aturan ,baik yang mengandung aspek moral
maupun tidak.
Jhon Rawls (akhir 1921)
Rawls meyakini bahwa prinsip-prinsip etika dapat menjadi dasar yang kuat dalam
membangun masyarakat yang adil. Rawls mengembangkan pemikirannya tentang masyarakat
yagn adil dengan teori keadilannya yang dikenal dengan teori posisi asli. Teorinya banyak
dipengruhi oleh aliran Utilitarianisme.
H. Freirechtslehre
Freirechtslehre (Ajaran hukum bebas) merupakan penentang paling keras positivisme
hukum. Hukum bebas ini bukanlah peradilan tidak terikat pada undang-undang, hanya saja
undang-undang tidak merupakan peranan utama, tetapi sebagai alat bantu untuk memperoleh
pemecahan yang tepat menurut hukum dan yang tidak perlu harus sama dengan penyelesaian
undang-undang.
Aliran hukum bebas berpendapat bahwa hakim mempunyai tugas menciptakan hukum.
Penemu hukum yang bebas tugasnya bukanlah menerapkan undang-undang, tetapi menciptakan
penyelesaian yang tepat untuk peristiwa konkret, sehingga peristiwa berikutnya dapat
dipecahkan menurut norma yang diciptakan oleh hakim.

Anda mungkin juga menyukai