Anda di halaman 1dari 11

OIKUMENIKA

“UJIAN TENGAH SEMESTER”

DOSEN :
Pdt. Lousje L. Luas M.Th

DISUSUN OLEH :
Benedictha Mamesah

FAKULTAS TEOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA TOMOHON

YAYASAN GMIM DS. A. Z. R. WENAS

2022

Kata Pengantar
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang mana berkat rahmat dan karuniaNya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang “Rangkuman Materi Pekuliahan
Oikumene” yang sudah saya susun untuk memenuhi salah satu Ujian Tengah Semester mata
kuliah Oikumenika. Saya menyadari dalam makalah ini mungkin masih banyak terjadi
kekurangan sehingga hasilnya jauh dari kata sempurna. Saya sangat berharap kepada dosen
Ibu Pdt. Lousje L. Luas M.Th, pihak kiranya memberikan kritik dan saran yang sifatnya
membangun.

Besar harapan saya dengan terselesaikannya makalah ujian tengah semester ini dapat menjadi
bahan tambahan bagi penilaian dan mudah-mudahan isi dari makalah dapat diambil
manfaatnya oleh dosen Ibu Pdt. Lousje L. Luas M.Th, pihak yang membaca makalah ini.
Saya mengucapkan terima kasih kepada diri saya yang telah membuat dan memperjuangkan
hasil makalah yang sudah saya buat sendiri dan saya susun sampai selesai.

Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya
dalam mata kuliah Oikumenika.

Tomohon,Oktober 2022

Benedictha Mamesah

Dalam rangkuman semua materi yang sudah kelompok bahas, disini saya banyak mengetahui
atau banyak belajar baik dari materi pertama maupun sampai dengan yang ke enam, dan
semacam inilah yang menurut pemahaman atau pengertian yang saya kemukakan. Kata
Ekumene atau Oikumene diambil dari Bahasa Yunani οἰκουμένη yang terdiri dari dua suku
kata, yakni όικος ( (Oikos) yang berarti rumah dan μενήιν (Menein) yang artinya berdiam
atau tempat berdiam. Istilah Oikumene ini adalah istilah yang digunakan dalam dunia militer.
Istilah ini menunjuk kepada keseluruhan tempat atau wilayah di bumi yang dihuni manusia.
Pada masa Yunani di bawah Alexander Agung, kata "oikumene" merujuk kepada seluruh
bagian bumi yang didiami oleh manusia. Seringkali kata ini digunakan untuk menyebut
daerah-daerah yang didiami oleh orang-orang Yunani, sementara daerah yang didiami oleh
bangsa-bangsa barbar tidak terhitung sebagai oikumene. Dan disini kata Oikumene ini pada
awalnya tidak memiliki makna yang berkaitan atau berhubungan dengan kehidupan Gereja
atau Kekristenan. Namun sejak Konsili di Nicea (325), yang merupakan konsili oikumene
pertama. Istilah Oikumene ini disahkan atau diteguhkan pemakaiannya sebagai istilah
Gerejawi
Pada usaha-usaha oikumenis telah dijajaki oleh gereja-gereja anggota PGI untuk terwujudnya
gereja Kristen yang esa di Indonesia. Dan nampaknya istilah Oikumene bukan lagi suatu hal
yang asing, bahkan menjadi satu mode dalam suatu kegiatan di antara beberapa gereja. Jiwa
Oikumenis sering diungkapkan dengan mengadakan suatu perayaan hari besar Kristen,
seperti: Paskah dan Natal bersama, dsbnya; sehingga ada sebagian orang mengidentikkan
kegiatan secara bersama-sama itulah Oikumene. Segala usaha berupa pertemuan, konsultasi,
rapat dan mengadakan proyek secara bersama-sama itu sudah menyatakan kesadaran
Oikumenis. Di sini jelas kesadaran Oikumenis hanya dilihat secara lahiriah berupa kegiatan-
kegiatan. Ada sebagian orang melihat Gerakan Oikumene sebagai suatu usaha untuk
menyatukan seluruh gereja, dengan mempunyai satu tata gereja, satu pengakuan iman, satu
papan nama, satu kuasa administratif. Pendek kata, menjadikan satu semuanya (uniformitas).
Hal ini berarti seluruh gereja, dengan berbagai latar belakang, berlainan suku, bahasa,
kebudayaan dan tradisi dileburkan menjadi satu. Akibatnya satu pihak, orang kecewa karena
sampai begitu jauh dan lama tidak ada tanda-tanda peleburan jadi satu gereja Kristen yang
esa di Indonesia. Pada pihak lain, ada orang yang kuatir dan menjadi takut jika seluruh gereja
harus meleburkan diri menjadi satu gereja. Hal ini akan berarti setiap gereja akan kehilangan
identitasnya. Maka ada, sebagian gereja mengambil jarak dalam mengikuti gerakan
Oikumene. Selama keputusan bersama menguntungkan, maka akan ditaati. Jika tidak sesuai
dengan selera dan pendapat, maka akan saling berjalan sendiri-sendiri. Sebenarnya gerakan
Oikumene bukanlah soal menguntungkan atau merugikan; bukan pula suatu target tertentu, di
mana gereja-gereja hanya bersikap memenuhi porsi kewajiban masing-masing untuk
memenuhi target itu. Tetapi Oikumene adalah suatu sikap iman yang mendorong gereja-
gereja untuk berjalan bersama-sama pada satu jalan dan arah yang sama. Pada hakekatnya
gereja itu sudah satu dalam Kristus yang adalah kepala gereja. Dengan kesadaran ini
mendorong gereja-gereja berjalan bersama-sama pada satu jalan, menampakkan kesatuan
gereja Yesus Kristus di dunia ini. Pemahaman ini masih bersifat umum, untuk itu selanjutnya
perlu penelahan lebih khusus dari perspektif Alkitab.
Kemudian pendapat yang saya dapat dan kemukakan. Seperti halnya dengan kekristenan di
Indonesia yang merupakan "barang impor" dari Eropa, demikian juga dengan Oikumene.
Oikumene merupakan warisan dari gereja-gereja di Eropa yang kemudian mendarat di bumi
Indonesia. Namun kapan gerakan Oikumene itu dimulai?
Para ahli sejarah gereja cenderung memilih konperensi Pekabaran Injil Sedunia di Edinburgh
1910, sebagai titik mula lahirnya gerakan Oikumene Internasional. Walaupun sebenarnya
Gerakan Oikumene sudah dirintis pada zaman Reformasi bahkan sebelumnya, di mana
gereja-gereja di Eropa mulai mengadakan pendekatan untuk mewujudkan kesatuannya.
Tetapi jika diselidiki lebih jauh, sebenarnya sebelum konperensi Edinburgh 1910, pergerakan
Oikumene baru dirintis oleh beberapa negara dan belum dalam kategori Internasional. Nanti
pada konperensi Edinburgh baru dapat dikatakan Internasional, karena terdiri dari berbagai
negara di dunia dan diikuti oleh 1200 delegasi dari 159 Badan Misi. Salah satu yang berhasil
disimpulkan dalam konperensi itu yakni mengenai kerja sama dan pemupukan keesaan. Hal
ini juga membawa gereja yang muda untuk memikirkan ke arah gereja yang dewasa. Hal-hal
ini penting bagi gerakan keesaan gereja di kemudian hari, khususnya untuk gereja-gereja di
Indonesia yang masih muda. Pada tanggal 22 Agustus 1948 diadakan pembentukan DGD di
Amsterdam, yang merupakan penggabungan dari Gerakan Life and Work dan Gerakan Faith
and Order. Dewan ini mengadakan sidang raya I yang dihadiri oleh 351 utusan dari 147
gereja dan di dalamnya termasuk perutusan dari Indonesia. DGD (Dewan gereja-gereja
sedunia) yang merupakan hasil dari Gerakan Oikumene, memberikan suatu perkembangan
yang baru bagi Gerakan Oikumene. Sebagai realisasi di Indonesia, pada tanggal 6-13
Nopember 1949 diadakan konperensi persiapan pembentukan DGI di Jakarta; dan akhirnya
pada tanggal 25 Mei 1950 terbentuklah DGI (setelah SR X th. 1984 di Ambon, berubah nama
menjadi PGI), yang juga merupakan hasil dari gerakan Oikumene. Dan selanjutnya PGI
menjadi motivator utama bagi gerakan Oikumene di Indonesia.
Berbicara perihal Oikumene, maka juga harus berbicara mengenai Keesaan gereja. Sebab
Oikumene dan Keesaan Gereja mempunyai hubungan yang erat. Tujuan utama dari gerakan
Oikumene adalah perwujudan Keesaan Gereja. Dalam sejarah perwujudan Keesaan Gereja di
Indonesia yang memakan waktu yang panjang, maka di dalamnya juga pengertian 'keesaan'
mengalami berbagai perkembangan. Hal ini dapat dilihat melalui hasil-hasil sidang raya dan
rapat BPL PGI yang sudah diadakan. Wujud keesaan yang dirindukan dan yang berhasil
ditetapkan oleh PGI adalah suatu gereja dengan mempunyai wadah bersama di tingkat lokal,
wilayah dan nasional yang dapat berunding, mengambil keputusan bersama; dengan
mempunyai satu pengakuan iman dan tata gereja yang berlaku bagi semua; serta setiap gereja
saling menerima, saling mengakui sebagai sama-sama wujud pernyataan diri dari gereja
Tuhan yang kudus dan am. Namun rumusan mengenai keesaan gereja ini dirasakan lebih
menekankan organisasi daripada kesatuan dalam paham atau ajaran. Oleh sebab itu ada
beberapa gereja yang menolak pandangan ini, sehingga paling tidak masih ada dua
pandangan lain yang berbeda mengenai keesaan gereja, yakni:
Keesaan Gereja itu secara rohani. Pandangan ini sejalan dengan pernahaman akan arti gereja
yaitu adanya gereja yang kelihatan dan gereja yang tidak kelihatan. Gereja yang
sesungguhnya yang terdiri dari orang yang percaya kepada Tuhan Yesus, sudah mempunyai
satu kesatuan dalam Kristus. Jadi keesaan yang sesungguhnya adalah bersifat rohani.
Keesaan gereja terletak dalam berkata dan berbuat. Seperti yang difirmankan dan diperbuat
oleh Bapa dan Anak; atau dengan kata lain, kesatuan dalam karya/tugas sesuai dengan
kehendak Bapa dan Anak. Kesatuan orang beriman atau kesatuan gereja, jikalau itu adalah
kesatuan seperti yang dirindukan oleh Kristus di dalam doaNya, maka itu terletak di dalam
berkata-kata dan berbuat seperti apa yang difirmankan dan diperbuat oleh Bapa dan Anak.
Pandangan mengenai keesaan gereja ada bermacam-macam. Maka Lukas Vischer seorang
tokoh Oikumene Internasional dalam tulisannya mengungkapkan masih ada berbagai
pandangan yang berbeda mengenai keesaan gereja (Lukas Vischer, Drawn and Held Together
by Recorciling Power of Christ-Faith and Order, hal 69, hal. 13-14).
Kata Oikumene dalam Alkitab dipergunakan beberapa kali. Dalam septuaginta, kata
Oikumene diterjemahkan dari bahasa Ibrani untuk kata dunia atau bumi. Sedangkan dalam
Perjanjian Baru sendiri setidaknya ada 15 kali dipergunakan. Kata Oikumene kadang-kadang
dipergunakan dalam arti politis penuh, artinya seluruh wilayah kekaisaran Romawi (Lukas
2:1, bandingkan Kis. 11:28; 19:27; 24:5), tetapi ini asing dari pandangan P.B. itu sendiri.
Pada bagian lain kata Oikumene diartikan secara teologis penuh, yaitu seluruh dunia yang
akan ditaklukkan di bawah pemerintahan Kristus (Ibrani 2:5). Tetapi pada dasarnya kata
Oikumene berarti seluruh dunia yang didiami. Injil diberitakan di seluruh dunia/oikumene
(Mat. 24:14). Dunia/oikumene dihakimi oleh Yesus Kristus (Yoh 3:17, band. Lukas 21:26).
Kerajaan dunia/oikumene ditunjukkan kepada Yesus oleh setan (Lukas 4:5). Demikian juga
bagian-bagian lain (Kis. 17:6; Roma 10:18; Ibrani 1:6; 2:5; Wahyu 3:10; 12:9; 16:14)
diulang, atau pengembangan dari arti di atas. Jadi sebenarnya secara harfiah arti istilah
Oikumene menurut Alkitab jelas berbeda dengan yang diartikan oleh Gerakan Oikumene
dewasa ini.
Keesaan menurut Yohanes 17:20-26. Tujuan utama Gerakan Oikumene yakni terwujudnya
keesaan gereja. Dan sebagai landasan Alkitabnya sering menggunakan Yohanes 17:21. Tetapi
apakah memang Keesaan Gereja yang telah dirumuskan itu sesuai dengan Yoh. 17:21?
Ada beberapa bagian Alkitab yang ada sangkut pautnya membicarakan mengenai keesaan
gereja. Salah satu di antaranya yaitu terdapat di dalam Yohanes 17:20-26. Bagian ini
menunjukkan perhatian Tuhan Yesus yang khusus untuk semua orang percaya/gereja yang
universal. Perhatian yang dominan dalam bagian ini adalah merupakan suatu kesatuan dan
kemuliaan Ilahi. Tetapi apa yang dimaksud kesatuan di sini? Kesatuan orang percaya
dibandingkan dengan kesatuan antara Bapa dan Anak (ay. 21a). Sifat kesatuan ini bukan
persamaan melainkan merupakan suatu analogi. Tetapi yang jelas bahwa kesatuan antara
orang percaya permulaannya hanya mungkin diperoleh dalam hubungan Bapa dan Anak.
Namun selanjutnya kesatuan yang dimaksud dalam doa Tuhan Yesus ini dapat ditafsirkan
dalam dua cara; yaitu:
1. Keberadaan kesatuan di antara orang percaya dan kesatuan antara Bapa dan Anak ada
dalam kekekalan. Keduanya ini jelas sifat dasar kesatuan antara Bapa dan Anak yang rohani
dapat bersatu menghadapi dunia ini. Ketika orang percaya bersatu dalam iman mereka ini,
maka mereka mempunyai kuasa dan pengaruh dalam menghadapi dunia.
2. Kesatuan yang diutarakan oleh Berkouwer, yaitu yang dimaksud dalam bagian ini (Yoh.
17:21), bukan 'kesatuan yang mistik' atau kesatuan batiniah yang tidak kelihatan tetapi
kesatuan kebenaran, pengudusan dan kasih sebagai suatu realitas yang nampak, yang dapat
dilihat oleh tiap-tiap orang. Kedua cara/pandangan di atas mempunyai hubungan satu dengan
yang lain. Kesatuan di antara orang percaya dalam realitas itu akan mungkin karena terlebih
dahulu ada kesatuan kepercayaan dalam Kristus. Sebaliknya kesatuan rohani antara orang
percaya perlu suatu perwujudan supaya dunia boleh melihat dan percaya. Hal keyakinan pada
dasarnya adalah rohani; dan kesatuan di antara orang percaya pada hakekatnya adalah rohani
(I Kor. 1:2,9; 12:12-13), tetapi juga perlu kenyataan/perwujudan dalam kehidupan (band.
Efesus 4:1-6). Tuhan Yesus dalam doaNya mengungkapkan bahwa kesatuan itu pada
dasarnya adalah rohani, namun hendaknya kesatuan itu ada dalam realitas, dapat dilihat oleh
tiap-tiap orang. Pembahasan lebih lanjut akan menelaah mengenai kesatuan (kesatuan
diartikan sama dengan keesaan, hal ini diterima oleh kebanyakan tokoh gereja hingga saat
ini) di antara orang percaya. Kesatuan di antara orang percaya hanya dimungkinkan karena
kepercayaan kepada Kristus (Yoh. 17:20). Kesatuan di antara orang percaya berhubungan
dan berdasarkan pada kesatuan Bapa dan Anak. Kesatuan di sini erat hubungannya dengan
kebenaran, kekudusan (ay. 17-19), kemuliaan (ay. 22,24) dan kasih (ay. 23,26), semuanya
untuk dapat dilihat orang (ay. 21,24).
Bapa dan Anak secara zat/esensi adalah satu (Yoh. 10:30), sehingga apa yang Bapa miliki
juga dimiliki oleh Anak (Yoh. 16:15). Tetapi kesatuan ini tanpa dinyatakan kepada manusia,
maka itu tidak akan berarti dan tidak dimengerti oleh manusia. Sebab itu Kristus yang mulia
harus datang ke dalam dunia untuk menyatakan hal ini (Yoh. 1:14; band. Yoh. 17:24).
Kedatangan Kristus sejak semula yaitu melakukan kehendak Bapa untuk mati di atas kayu
salib (Yoh. 3:14-17; band. Fil. 2:8). Kristus datang untuk menyatakan Allah Bapa kepada
manusia (Yoh. 14:9-10). Tetapi dalam melihat hubungan Kristus yang unik dengan Allah
Bapa, dan sekaligus memperkenalkan Allah Bapa kepada manusia, maka itu diwujudkan
melalui perbuatan-perbuatanNya (Yoh. 14:11). Segala sesuatu yang Kristus lakukan dan
katakan semuanya sesuai dengan kehendak Allah Bapa (Yoh. 8:28; 14:24).
Jikalau kesatuan orang percaya ada dalam kesatuan Bapa dan Anak (ay. 21), maka kesatuan
itu juga adalah dalam melakukan segala pekerjaan yang sesuai dengan Firman Tuhan, atau
melakukan segala pekerjaan seperti Kristus melakukan pekerjaan Allah. Kesatuan di antara
orang percaya/gereja akan terwujud jikalau orang percaya/gereja melakukan pekerjaan Tuhan
sesuai dengan yang difirmankan Tuhan, dengan demikian barulah dapat membawa orang-
orang untuk percaya kepada Kristus dan mengaku Kristus sungguh diutus Allah, sebagai Juru
Selamat (ay. 21,23). Berhubungan dengan kemuliaan, jika orang-orang percaya menyatakan
kemuliaan Kristus, maka ini akan menghasilkan kesatuan asasi. Pemahaman tentang kesatuan
di antara orang percaya/gereja di atas, hampir sejalan dengan pandangan yang dikemukakan
oleh Dr. Harun Hadiwijono yakni bahwa kesatuan yang dirindukan oleh Kristus dalam
doanya itu, adalah terletak dalam berkata dan berbuat seperti yang difirmankan dan diperbuat
oleh Bapa dan Anak: Perkataan dan perbuatan mereka harus mendemonstrasikan Firman dan
karya Kristus dan Bapa. Di situlah mereka dipersatukan dengan Bapa dan Anak. Jikalau
semua itu terjadi, maka dunia akan percaya bahwa Allah Bapa benar-benar telah mengutus
Kristus untuk menyelamatkan dunia ini. Berdasarkan hal ini, maka tidak benar untuk
menafsirkan doa Tuhan Yesus dalam Yoh. 17:20, 21, sebagai amanat untuk mendirikan satu
gereja yang esa.
Keesaan menuju Kedewasaan Iman. Orang Kristen dipanggil untuk mendemonstrasikan
perbuatan yang sesuai seperti difirmankan Tuhan sehingga tercipta kesatuan asasi. Namun
bagaimana itu dapat terwujud dan apakah itu menjadi tujuan akhir?
Dalam meneropong hal ini, Firman Tuhan akan dilandaskan menurut Efesus 4:1-16, di mana
bagian ini juga sering dipergunakan para ahli/tokoh Oikumene dalam membahas mengenai
Keesaan Gereja. Keesaan (kesatuan) gereja adalah pekerjaan Roh Kudus. Hanya pekerjaan
Roh Kudus sendiri yang memungkinkan kesatuan itu terwujud. Pengalaman dalam kesatuan
ini hanya memungkinkan di antara mereka yang telah diterangi dan didiami oleh Roh Kudus
(ay. 2-3, band. I Kor. 12:12-13). Pada dasarnya kesatuan yang dikerjakan oleh Roh Kudus itu
tidak terlihat, bersifat rohani. Tetapi hal itu kemudian akan diungkapkan secara nyata, terlihat
melalui persekutuan di antara orang percaya. Dalam mencapai keesaan di antara orang
percaya, maka hal pertama harus dimiliki oleh orang Kristen adalah kerendahan hati (ay. 2).
Dengan, kerendahan hati akan mengantar seseorang untuk lemah lembut dan sabar;
selanjutnya dalam kasih akan membawa kerja sama di antara orang percaya, karena kasih itu
tidak mementingkan diri sendiri, tetapi mau toleransi dengan yang lain (I Kor. 13:4-7).
Kesatuan di antara orang percaya/gereja bukan merupakan tujuan akhir, melainkan kesatuan
itu mempunyai tujuan untuk pengembangan pelayanan yaitu pembangunan tubuh Kristus.
Jadi keesaan itu dapat terwujud dalam kepelbagaian karunia (ay. 11-12). Kesatuan dalam
iman dibutuhkan untuk menuju kedewasaan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus. Dalam
perwujudan keesaan, gereja perlu pengenalan yang lebih mendalam tentang Kristus, supaya
dapat bertumbuh bersama dan tetap diikat dalam suatu pelayanan yang dihangatkan dalam
kasih Kristus, yang memungkinkan pertumbuhan setiap anggota menuju kedewasaan iman
(Ef 4:13-16).
Di dunia Internasional dan secara khusus di Amerika Serikat, gereja menjadi anjang
pergulatan pengaruh antara golongan Oikumene dan golongan Injili. Dan ini dampaknya juga
dirasakan dan terjadi jadi di antara gereja-gereja di Indonesia.
Pihak golongan Oikumene melihat golongan Injili terlalu eksklusif dan pistis. Sebaliknya
golongan Injili menilai golongan Oikumene adalah liberal dan telah terseret serta
menyimpang dari panggilan gereja yang sebenarnya. Jadi bagaimanakah seharusnya sikap
gereja? Oikumene atau Injili?
Golongan Injili mulai menjauhi gerakan Oikumene dan membuat organisasi/kubu sendiri (di
Indonesia menyebut diri PII), karena menyadari gerakan Oikumene telah menyimpang dan
menganggap tujuan Gerakan Oikumene itu utopis dan tidak realistis. Sebaliknya golongan
Oikumene lebih luwes sikapnya (khususnya di Indonesia) dan mencoba mendekati bahkan
jika dapat merangkul golongan Injili untuk bekerja sama dalam pelayanan. Dalam
perkembangan Gerakan Oikumene di dunia Internasional memang terjadi pergeseran dalam
tujuan dan cara kerjanya. Namun jika menyimak melalui sejarah, perintis Gerakan Oikumene
adalah John R. Mott yang merupakan pendiri Badan Misi Dunia. Dan bahkan William Carey
'Bapak Misi Modern' merindukan adanya kesatuan di antara para pemimpin Kristen dan
semua denominasi di dunia. Jadi Gerakan Oikumene sebenarnya dirintis oleh tokoh Injili.
Dan dapat dikatakan bahwa gerakan Oikumene lahir dalam misi. Jadi menjadi jelas bahwa
Gerakan Oikumene dalam arti yang benar dan misinya semula mempunyai hubungan erat
dengan golongan Injili. Gerakan Oikumene di Indonesia agak berbeda perkembangannya
dengan Gerakan Oikumene di dunia Internasional. Beberapa gereja yang ikut dalam Gerakan
Oikumene juga ada dari golongan Injili. Namun tanda awas harus diberikan kepada Gerakan
ini yaitu agar jangan sampai Gerakan Keesaan menelan seluruh perhatian gereja, sedangkan
aspek lain (baca: penginjilan) diabaikan. Penginjilan merupakan suatu ujian bagi gerakan
Oikumene. Tugas gereja yang paling urgen adalah penginjilan. Maka gereja-gereja
seharusnya bekerja sama, bersatu untuk penginjilan. Dalam proporsi yang benar, maka gereja
itu seharusnya Injili dan juga Oikumene.
Dan sekali lagi saya memperjelaskan bahwa Pada bulan November 1949 bertempat di Jakarta
telah diadakan Konperensi persiapan pembentukan DGI. Waktu itu kedaulatan Indonesia
belum sepenuhnya terwujud. Konperensi persiapan ini dihadiri juga oleh Sekjen Dewan
Gereja-gereja Sedunia Dr Visser t Hooft dan Sekjen IMC Dr Ranson. Konperensi menyusun
konsep peraturan dasar dan disetujui pula bahwa pembentukan Dewan Gereja-gereja di
Indonesia harus diadakan sekitar hari raya Pentakosta tahun Menuju Keesaan Gereja-gereja
di Indonesia - Pembentukan DGI Tanggal 25 Mei 1950 merupakan tonggak sejarah penting
dalam sejarah pergerakan Oikumene di Indonesia. Pada saat itu beberapa gereja di Indonesia
(termasuk Dewan daerah) secara sadar dan sengaja bersama-sama mencanangkan sebuah
tekad untuk pembentukan gereja yang esa di Indonesia. Tekad itu tidak sekedar mereka tulis
diatas kertas, namun dituangkan melalui sebuah wadah usaha bersama yang diberi nama
Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI). Sejak lahirnya, DGI merupakan wadah dari gereja-
gereja di Indonesia dengan satu sasaran tujuan yaitu Pembentukan Gereja yang esa di
Indonesia. 5. Perkembangan Dewan Gereja-gereja di Indonesia untuk mewujudkan keesaan
DGI mempunyai peranan yang sangat positif dalam menghimpun dan mempersatukan gereja-
gereja yang ada di Indonesia. Melaluinya gereja-gereja di Indonesia semakin dipertemukan
satu sama lain untuk bergumul bersama dan bekerja bersama serta mengambil keputusan
secara bersama pula. Walaupun disadari bahwa jalan menuju keesaan itu tidaklah mudah.
Keadaan geografis Indonesia dengan segala kesulitan komunikasinya, ditambah beraneka
ragam corak gereja-gereja di Indonesia baik ditinjau dari latarbelakang Injil, semua itu
membuat kita tidak dapat membayangkan bagaimana hubungan antar gereja di Indonesia itu
akan terjadi sekiranya tidak ada DGI. Upaya-upaya gereja terus dilakukan guna mencari
bentuk keesaan, dan seharusnya adalah keesaan dalam kepelbagaian yang secara konkrit
federasi. 7 Begitu banyak upaya DGI demi kesatuan gereja-gereja yang ada di Indonesia,
misalnya melalui pertemuan gereja-gereja dalam Sidang Raya DGI untuk membicarakan
berbagai hal menyangkut masa depan dan kesatuan gereja-gereja. Menurut Zakaria Ngelow
8, ada tiga perkembangan DGI dalam mewujudkan keesaan gereja-gereja, yaitu : Sekitar
keesaan seragam Pada waktu pembentukan DGI hanya ditetapkan tujuannya tetapi belum
diberi isi terhadap tujuan itu serta cara-cara untuk mencapai keesaan. Lewat Sidang Raya
DGI II (20-30 Juni 1953) dirumuskan pengertian tujuan DGI, yaitu Pembentukan gereja yang
esa adalah pembentukan satu gereja Kristus di Indonesia yang mempunyai satu Pengakuan
Percaya dan satu dasar Tata Gereja. Pada Sidang Raya III (8-17 Juli 1956) ada keseragam
pemikiran tentang keesaan yang berdasarkan tubuh Kristus. Selanjutnya pada Sidang IV juga
masih dibicarakan tentang keesaan, dimana ditekankan kesatuan dalam kepelbagaian, yaitu
supaya warisanwarisan yang beraneka ragam dari berbagai latarbelakang suku dapat
menyatukan dan menjadi berkat di Indonesia yang didasarkan pada Yesus Kristus Terang
Dunia. Pada Sidang Raya V, keesaan dibicarakan bertolak dari ceramah yang dibawakan oleh
Ds.G.Siahaan dari HKBP, Ds.P.H.Rompas GPI, Dr.R.Soedarmo dari gereja-gereja Jawa.
Kesepakatan yang diambil adalah Gerejagereja bertekad meningkatkan usaha menuju
pembentukan serta saling mengerti dalam perbedaan paham baik menyangkut waktu, cara
dan prosedur pembentukan itu. Berdasarksan itu disusunlash titik pertemuan paham sebagai
pegangan untuk memberikan isi dan bentuk pada gereja Kristen yang ada di Indonesia Tata
Sinogi Pada Sidang Raya VI 29 Okt 8 Nop 1967 di Makasar periode keesaan lebih terarah
daripada periode sebelumnya, dimana konsep Pengakuan Iman dan Tata Gereja/Liturgi lebih
ditekankan (Tata Sinode Oikumene). Terjadi Keesaan dalam kepelbagaian. Sidang Raya VII
(18-28) April 1971 di Pematang Siantar yang didalam dibahas 7 Dr. Christiaan De Jonge,
Menuju Keesaan Gereja,(Jakarta: BPK GUnung Mulia),87 8 Zakaria Jusuf Ngelow, konsep
menyangkut keesaan, menganjurkan supaya gereja-gereja anggota DGI mempergunakan
bentuk-bentuk liturgi yang dihasilkan, sedangkan Konsep Pemahamn Iman bersama masih
perlu digumuli lebih lanjut dan mendalam oleh gereja-gereja anggota Dasarwasa Pencarian
Bentuk Keesaan Sidang Raya VIII di Salatiga, 1-12 Juli 1976, didalamnya diupayakan
pencarian terhadap bentuk-bentuk Gereja Kristen yang esa di Indonesia. Didalamnya
diusulkan perubahan nama DGI namun ditolak dengan berbagai alasan bahwa perubahan
nama tanpa disertai tanggung jawab dan kesadaran penuh tentang persekutuan, akan tidak
berguna dalam mencapai tujuan. Sidang Raya IX (19-31 Juli 1980) di Tomohon, usul tentang
perubahan nama juga masih di tolak, Sidang Raya berpendapat bahwa DGW-DGW harus
diberikan tempat sebagai bagian integral dari DGI sesuai usul. Pada Sidang Raya X di
Ambon akhirnya beberapa rencana dapat terwujud, seperti penetapan Piagam Saling
Mengakui dan Saling Menerima (PSMSM) dan Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK),
yang disepakati dalam apa yang dinamakan Lima Dokumen Keesaan Gereja (LDKG), 9 akan
tetapi gereja yang esa belum terwujud. 10 Didalam Sidang Raya tersebut juga terjadi
perubahan nama dari Dewan Gereja-gereja di Indonesia menjadi Persekutuan Gereja-gereja
di Indonesia. Perubahan ini mungkin mencerminkan kesulitan yang dihadapi dan dialami
DGI, kemudian PGI, untuk memberi bentuk konkrit kepada keesaan gereja. Pada Sidang
Raya XI PGI 1989 Surabaya, ditekankan supaya Lima Dokumen Keesaan Gereja (LDKG)
dimiliki, dibaca, dipahami dan dilaksanakan oleh seluruh warga gereja terutama pejabat
gereja dari tingkat Majelis Jemaat sampai tingkat Majelis Sinode. Pada SR XII PGI 1994 di
Jayapura, LDKG belum dijalankan sebagaimana janji gereja-gereja. Sidang Raya XIV PGI
2009 di Mamasa juga masih dibicarakan tentang pentingnya keesaan gereja. Berbagai upaya
dilakukan PGI dalam mempersatukan gerejagereja menuju keesaan. Menurut Simatupang,
daya upaya PGI yang berhubungan dengan tugas kesaksian dan pelayanan adalah 11 ; a) 9
LDKG terdiri dari: Pokok-pokok Tugas Panggilan Bersama (PTPB), Pemahaman Bersama
Iman Kristen (PBIK), Piagam Saling Mengakui dan menerima (PSMSM), Tata dasar DGI,
Menuju Kemandirian Teologi, Daya dan Dana. 10 Ibid. 11 DGI Dep Kekes, Diutus Ke
Dalam Dunia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia),28 Pembentukan Departemen Keesaan dan
Kesaksian yang bertugas mendorong pemikiran dan kegiatan gereja-gereja untuk bertumbuh
kearah keesaan yang lebih nyata melalui kesaksian dan pelayanan bersama di tengah
masyarakat. Departemen ini harus mengadakan konsultasi-konsultasi Nasional dan Regional
untuk mencari bentuk keesaan yang cocok. b) Departemen Pelayanan dan Pembangunan yang
bertugas mendorong dan membantu gereja-gereja untuk menyatakan Kasih Tuhan bukan saja
melalui perkataan tetapi juga melalui perbuatan dalam bentuk program-program. c)
Departemen Pendidikan dan Komunikasi bertugas mendorong dan membentuk gereja-gereja
dalam mempersiapkan anggota-anggota mereka untuk mengambil bagian yang aktif dalam
proses pertumbuhan kearah keesaan diantara gereja-gereja dan dalam kegiatan pelayanan dan
kesaksian. 6. Kendala yang dihadapi Adalah 3 masalah pokok yang berhubungan dengan
upaya PGI dalam mempersatukan gereja-gereja di Indonesia, adalah : a. Sukuisme yang
tinggi Hadirnya Badan Zending dalam melaksanakan Pekabaran Injil di Indonesia didaerah-
daerah dengan latarbelakang budaya, adat istiadat dan bahasa yang berbeda, membuat gereja-
gereja terus bertumbuh dan menjadi gereja yang kuat. Namun kekuatan gereja itu bukan
dilihat sebagai kesatuan dalam kepelbagaian, namun kekuatan itu membentuk identitas gereja
sebagai Gereja Suku. Atau dengan kata lain karena Pekabaran Injil bekerja menurut garis-
garis suku atau unsur sukuismenya sangat berpengaruh, dengan demikian identitas gereja
menjadi sama dengan identitas suku, sehingga sulit ditinggalkan demi keesaan gerejani. Ini
yang menghambat keesaan, malah menyebabkan perpecahanperpecahan dalam gereja-gereja
anggota DGI. Oleh sebab itu berbagai upaya dilakukan PGI agar supaya keanekaragaman
yang dimiliki masing-masing daerah dipadukan demi terciptanya pemahaman bersama dalam
mencapai satu kesatuan yang utuh sebagaimana doa Yesus supaya mereka menjadi satu. b.
Masalah Kader/ Kepemimpinan Kristen Yang dimaksudkan dengan Kader atau
kepemimpinan Kristen adalah daya upaya agar setiap anggota gereja terus menerus
dipersiapkan untuk menjadi pelayan dan saksi yang hidup di tengah-tengah masyarakat
Indonesia yang majemuk. Ada banyak jemaatjemaat dan gereja-gereja yang letaknya sangat
terpencil dan masih jauh dari yang diharapkan. Untuk penatalayanan pelayanan yang baik
maka diperlukan kader/ para pemimpin yang baik, terdidik dan trampil untuk melayani dan
memajukan jemaat yang dipimpinnya. Letak geogarafis yang jauh dan belum meratanya
pemimpin gereja dalam hal ini Pendeta di jemaat-jemaat terpencil, menyebabkan lambannya
sosialisasi dan pembinaan tentang pentingnya Keesaan gereja. Ditambah lagi gerakan
keesaan masih didominasi oleh para pemimpin tingkat atas, misalnya Sinode, PGIW, dan
para Pendeta, sehingga jemaat lambat untuk menerima informasi penting. Oleh sebab itu
dalam membentuk pemahaman yang baik dari warga jemaat tentang keesaan maka
diperlukan pemimpin yang berkepribadian baik dan memiliki integritas kepemimpinan yang
tinggi serta bertanggungjawab untuk kemudian dapat menjelaskan hal-hal yang tidak
dipahami oleh warga, menuntun dan membimbing warga pada kebenaran yang hakiki dalam
hidup dan kerjanya. Sebagai gembala, ia harus menjaga dombanya dari setiap serangan,
ancaman dan bahaya musuh yang datang menghadangnya. c. Masalah keuangan gereja-
gereja. Segi keuangan merupakan kelemahan kita dalam hidup DGI dan hidup gereja-gereja
kita. Oleh sebab itu masalah ini harus mendapat perhatian, tidak hanya sebagai masalah
materi, tetapi dengan melihatnya dalam rangka hidup spiritual dan khususnya stewardship
pekerjaan pelayanan kita. 7. Harapan Jika kita mencermati dari awal sejarah perjalanan gereja
menuju satu kesatuan dengan apa yang disebut keesaan gereja-gereja yang ada di Indonesia,
maka sebenarnya perjuangan menuju keesaan gereja itu tidaklah mudah dan gampang seperti
membalik telapak tangan. Banyak suka duka yang dialami bahkan tantangan dan
persoalannya baik secara intern maupun ekstern seringkali menjadi penghambat. Namun
ibarat batu karang yang kokoh berdiri menghadapi setiap badai dunia, demikian pun gereja
Tuhan tetap berdiri kokoh menghadapi serangan-serangan dunia dengan dinamika persoalan
dan tantangan yang datang menerpa. Gereja harus tetap eksis sebab Kepala Gereja yaitu
Yesus Kristus setia menyertainya. Oleh sebab itu dalam harapan yang sungguh untuk
mencapai keesaan gereja, hendaknya gereja-gereja yang ada didaerah-daerah meninggalkan
batas-batas kesukuannya. Memang tidak dapat disangkal bahwa terdapat keanekaragaman
konteks budaya dan berbagai hal dari tiap-tiap daerah, namun itu haruslah dipakai untuk
membangun kebersaamaan, bukan sebaliknya menciptakan perpecahan. Tugas Imamat orang
percaya adalah bagaimana melaksanakan Tri panggilan Gereja : bersekutu, bersaksi dan
melayani serta menjadikan semua orang murid Yesus. Tugas ini tidak dibatasi oleh gereja
maupun suku bangsa. Tugas ini bersifat universal. Dengan demikian tidak ada lagi tembok-
tembok pemisah/batas-batas gereja yang menjadi penghalang. Tantangan dan persoalan yang
dihadapi oleh salah satu gereja merupakan tantangan dan persoalan bersama. Paulus memberi
nasihat kepada jemaat Roma ; bersukacitalah dengan orang yang bersukacita dan
menangislah dengan orang yang menangis (Roma 12:15) Ini memberi inspirasi bagi gereja
untuk semakin membenahi pelayananya dalam kebersamaan. Kiranya lewat DGI/PGI sebagai
lembaga formal gereja yang terus berjuang untuk membangun keesaan di Indonesia dapat
juga mendengar, melihat, mengkaji dan bersama menangani serta menggumuli persoalan-
persoalan yang dihadapi oleh gereja-gereja yang ada di Indonesia. Janganlah membiarkan
gereja-gereja itu sendiri menyelesaikan persoalannya sendiri, tetapi bersama-sama mencari
jalan keluarnya demi terciptanya keesaan dalam kepelbagaian. 8. Kesimpulan dan Saran a.
Kesimpulan Berdasarkan penjelasan awal tentang sejarah pergerakan Oikumene pada Skala
Nasional, maka ada beberapa hal yang dapat disimpulkan yaitu bahwa ternyata dalam
perjalanan menuju pembentukan gereja yang esa di Indonesia pertama-tama dimotori oleh
gerakan Pemuda Kristen di Indonesia seperti CVS of Java, yang pada perkembangan
selanjutnya bernama GMKI. Awal mula pembentukan gerakan Pemuda Kristen selain karena
situasi perang yang bergejolak, tetapi juga sebagai wadah untuk melaksanakan kegiatan-
kegiatan kerohanian, seperti Penelaan Alkitab, Kebaktian Anggota serta diskusi-diskusi
umum. Gerakan Pemuda ini kemudian menjadi pendorong/motivasi bagi setiap langkah awal
gerakan Oikumene. Pembentukan DGI merupakan puncak kebersamaan gereja-gereja di
Indonesia. Walaupun disadari bahwa untuk membentuk suatu organisasi gereja dalam
menyatukan/menciptakan keesaan dalam kepelbagaian tersebut tidaklah mudah. Ada
berbagai hambatan dan persoalan. Namun dalam semangat iman para Pemuda dan
tokohtokoh/pemimpin gereja yang merasa bahwa kebersamaan adalah kekuatan untuk
menatalayani pelayanan Allah dibumi (Indonesia), maka segala upaya dan daya dikerahkan
untuk terbentuknya satu lembaga gereja yang menjadi wadah/payung kebersamaan gereja.
Ada sejumlah faktor yang mendorong dicanangkan pembentukan DGI, sebagaimana yang
telah dibahas dalam point 3. Bentangan Sejarah Historis memang sangat panjang dalam
pencapaian gereja yang mandiri dan esa. ini menjadi motivasi dalam perjuangan yang
sungguh bahwa dalam program Oikumene, Pekabaran Injil maupun gerakan Pemuda turut
berperan. Badan-badan Zending ikut berpengaruh, gereja-gereja juga sibuk menata organisasi
untuk kemandirian. Gerakan Oikumene dunia (DGD) juga berpengaruh bagi proses panjang
pembentukan DGI. Muncul tokoh-tokoh pribumi Kristen yang bertanggungjawab dalam
memupuk solidaritas persaudaraan. Pertemuan dan konferensi diadakan, Panitia Perancang
dibentuk dalam membentuk menuju pembentukan DGI. Dalam pembentukan DGI pada 25
Mei 1950, gereja-gereja adalah wadah Pekabaran Injil dalam memupuk kebersamaan. Tujuan
pembentukannya adalah untuk membentuk gereja Kristen yang esa di Indonesia. Oleh sebab
itu dalam perkembangannya dibuat berbagai program untuk menggalang keesaan, baik lewat
pertemuan formal maupn non formal. Sidang-sidang Raya yang dilakukan diberbagai tempat
di Indonesia merupakan tempat berbicara, tempat mengkaji dan menganalisa berbagai
persoalan dan perkembangan, serta mengumuli berbagai program pelayanan untuk mencari
bentukbentuk keesaan gereja yang tepat sesuai kebutuhan. Keputusan yang diambil dan
diputuskan dalam Sidang merupakan keputusan bersama atas dasar kesepahaman bersama.
Program-program DGI dalam membaharui, membangun dan mempersatukan gereja
diharapkan dapat mempersiapkan gereja menjadi gereja yang mandiri dan mampu
menatalayani pelayanannya secara baik. DGI (yang kemudian menjadi PGI dalam Sidang
Raya X di Ambon) dalam memperjuangkan keesaan, senantiasa menyerukan kepada gereja-
gereja untuk harus terbuka bagi kepelbagian. Dibentuklah Lima Dokumen Keesaan Gereja
(LDKG) dan Tata Sinode Oikumene Gereja Indonesia (Tata Sinogi) sebagai pendekatan baru
terhadap gerakan Oikumene di Indonesia yaitu penjalinan keesaan melalui Kesaksian sebagai
dasar pelayanan, dan sesudah itu dikaji lebih lanjut dalam kaitan dengan pemahaman keesaan
dalam kepelbagaian dan keesaan disetiap tempat. DGI/PGI dalam menuntun gereja di
Indonesia pada jalan keesaan, masih perlu dilakukan terus pembenahan dan pembaharuan.
Ada banyak kegagalan yang dihadapi, ada banyak hal yang belum dicapai, tujuan keesaan
gereja masih terus berjalan dalam sejarah waktu dan masih digumuli. Gereja sementara ada
dalam perjalanan panjang dan berliku-liku. Dijalan itulah TUHAN memanggil gerejanya
untuk membangun, membaharui dan mempersatukan. Gereja harus bertumbuh dan eksis
dalam menyatakan Syalom Damai Sejaterah Allah bagi Umat manusia. b. Saran Berdasar
pada uraian-uraian tentang Keesaan Gereja pada Skala Nasional dalam rentang sejarah yang
panjang sampai pada pembentukan DGI/PGI sekarang, maka ada beberapa hal yang menjadi
saran kami, antara lain : Gereja-gereja harus semakin terbuka/inklusif untuk saling mengakui
dan menerima satu dengan yang lainnya. Perbedaan diterima dan dihormati, tetapi tidak
ditonjolkan dalam kedudukan yang kontradiktif, melainkan di tempat dalam kedudukan
keragaman yang saling memperkaya. Perlu dibangun kemitraan dengan gereja-gereja didalam
maupun diluar negeri baik secara bilateral maupun multilateral, yang direncanakan,
ditetapkan dan dilaksanakan bersama-sama dalam jiwa kemitraan untuk saling melayani,
saling membantu dalam ketenagaan, pengalaman, sesuai dengan kebutuhan, kemampuan dan
kerelaan masing-masing. LDKG yang mencerminkan pergumulan teologis dan eklesiologi
(terutama PTPB, PBIK, dan Tata Dasar) dalam upaya keesaan : membaharui, membangun
dan mempersatukan gereja-gereja hendaknya tidak saja di atas kertas namun perlu dilakukan
dalam konteks nyata gereja-gereja di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai