Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

PENAFSIRAN SUBJEKTIFIS MUHAMMAD SYAHRUR

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Pemikiran Tafsir Modern dan Kontemporer

Dosen Pengampu: Achris Achsanudtaqwin, M.Ud

Disusun oleh Kelompok 9:

Nasywa Nabila Az Zahro (1860301222059)

Soraida Nusful Laili (1860301222061)

Mukhamat Alfi Zaini (1860301223130)

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH

UIN SAYYID ALI RAHMATULLAH TULUNGAGUNG

2024
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kami ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
Rahmat serta hidayah-Nya kepada kita sehingga kami mahasiswa dari program
studi Ilmu Al-Qur‘an dan Tafsir dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada
waktunya. Makalah ini ditujukan untuk memenuhi Tugas mata kuliah Pemikiran
Tafsir Modern Kontemporer. Tidak lupa kami berterima kasih kepada pihak-pihak
UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung :
1. Prof. Dr. Abd. Aziz, M.Pd.I selaku Rektor Universitas Islam Negeri
Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung
2. Prof. Dr. Akhmad Rizqon Khamami, L.C.,M.A, selaku Dekan Fakultas
Ushuluddin Adab dan Dakwah Universitas Islam Negeri Sayyid Ali
Rahmatullah Tulungagung
3. Ali Abdur Rohman S.Ud.,M. Ag selaku Koordinator Program Studi
Ilmu Al-qur’an dan Tafsir Universitas Islam Negeri Sayyid Ali
Rahmatullah Tulungagung
4. Achris Achsanudtaqwin, M.Ud selaku Dosen Pengampu Mata Kuliah
Kajian Barat Atas Al-qur’an yang telah memberikan tugas serta
membimbing kami dalam menyelesaikan makalah ini
5. Teman-teman seluruhnya yang senantiasa memberikan semangat serta
dorongan selama pembuatan makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan
kelemahannya. Adapun kesalahan dalam penyusunan kata, kalimat, ataupun ejaan,
berasal dari keterbatasan wawasan dan pengetahuan serta ketidaksengajaan
penulis. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun
dari pembaca agar makalah ini menjadi lebih baik lagi. Akhir kata, semoga
makalah ini dapat memberikan manfaat dan berkah yang melimpah, bagi penulis
khususnya, dan bagi pembaca pada umumnya.
Tulungagung, 06 Mei 2024

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii


DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 1
C. Tujuan Penelitian ......................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................... 3
A. Biografi dan Riwayat Pendidikan Muhammad Syahrur .............................. 3
B. Pemikiran Muhammad Syahrur Terhadap Al-Quran ................................... 4
C. Penafsiran Subyektifitas Muhammad Syahrur ............................................. 7
BAB III PENUTUP ............................................................................................. 18
A. KESIMPULAN .......................................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 19

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al-Qur’an dan tafsir sejatinya tidaklah sama. Al-Qur’an adalah
Kalāmullah yang suci dan terjaga kemurniannya, baik dari segi bacaan
maupun tulisannya, serta pernyataannya bersifat mutlak dan final.
Sedangkan tafsir merupakan usaha manusia itu sendiri untuk
mengkaji,menyingkap, menjelaskan, serta memahami nash Al-Qur’an.
Maka setiap usaha manusia dalam proses menafsirkan Al-Qur’an, tentunya
secara teoritis sedikit banyak ada unsur subjektivitas di dalamnya.
Kepribadian seorang mufassir akan terpancar melalui produk tafsir yang
dihasilkannya. Mufassir yang cenderung kepada satu disiplin ilmu
tertentu, akan mewarnai produk penafsiranAl-Qur’an sesuai dengan
kecenderungan keilmuannya itu. Oleh karenanya muncullah berbagai
aliran tafsir seperti tafsir sufi, Mu’tazili, Syi’i, lughawi, fiqh falsafi,adabi
ijtima’i, haraki, dan lain sebagainya yang merupakan corak dari para
mufassirAl-Qur ’an.
Maka dengan demikian, pembaharuan dalam khazanah keilmuan
Islam,khususnya kajian Al-Qur’an harus terus dilakukan. Salah satu
mufassir kontemporer yang telah melakukan pembaharuan dalam kajian
penafsiran Al-Qur’an ialah Muhammad Syahrur. Makalah ini akan
memaparkan profil dan riwayat pendidikan Muhammad Syahrur dan
penafsiran subjektifis Muhammad Syahrur terhadap Al-Qur’an

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Biografi dan Riwayat Pendidikan Muhammad Syahrur?
2. Bagaimana Pemikiran Muhammad Syahrur Terhadap Al-Quran?
3. Bagaimana Penafsiran Subyektifitas Muhammad Syahrur?

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui dan memahami biografi dan Riwayat Pendidikan
Muhammad Syahrur.

1
2. Untuk mengetahui dan memahami pemikiran Muhammad Syahrur
Terhadap Al-Quran.
3. Untuk mengetahui dan memahami penafsiran subyektifitas
Muhammad Syahrur.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Biografi dan Riwayat Pendidikan Muhammad Syahrur


Muhammad Syahrur adalah seorang pemikir Islam yang fenomenal
dan juga kontroversial. Beliau dilahirkan di Suriah, tepatnya di kota
Damaskus, pada tanggal 11 April 1938 M. Ayahnya bernama Dayb ibn
Dayb dan ibunya bernama Shiddiqah binti Ṣalih Filyun. Tokoh yang juga
dikenal sebagai mufassir kontemporer ini mengawali pengembaraan
ilmunya di kota kelahirannya sendiri, yakni lembaga pendidikan
Abdurrahman al-Kawakibi. Ia bersekolah disana sejak memasuki
Pendidikan Dasar sampai Pendidikan Menengah. Setelah lulus dari
pendidikan menengah, dalam usia 19 tahun, Syahrur meninggalkan Syria
untuk melanjutkan studi sarjananya dalam bidang teknik sipil pada
Moscow Institute of Engineering di Saratow Moskow dengan beasiswa
dari pemerintah sejak Maret 1959 hingga 1964.1
Sepulang dari Moskow, Syahrur mengawali karir intelektualnya
sebagai dosen pada Fakultas Teknik Sipil di Universitas Damaskus pada
1965. Dua tahun berikutnya (1967), Syahrur mendapatkan kesempatan
melanjutkan studi ke Imperial College di London Inggris tetapi terhalang
persoalan politis berupa putusnya hubungan diplomatik dengan Inggris
ketika terjadi perang antara Syria dan Israel. Hambatan ini membawa
Syahrur memilih Dublin Irlandia untuk melanjutkan studi pada program
Magister mulai tahun 1968 dan dilanjutkannya hingga memperoleh gelar
Doktor di Ireland National University pada 1972 dengan spesialisasi pada
bidang Mekanika tanah dan Fondasi.2
Sepanjang masa belajarnya di Irlandia inilah terbentuk ketertarikan
Syahrur pada studi Islam dan secara khusus pada studi al-Quran. Di

1
Mubarok, ‘BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN INTELEKTUAL MUHAMMAD
SYAHRUR’, 2001, 32–47.
2
Fitrah Sugiarto, Avif Alfiyah, and Harni Ratna Tara, ‘Pemikiran Muhammad Syahrur;
Teori Nadzariyah Hudud Dan Aplikasinya’, El-’Umdah, 4.1 (2021), 45–58
<https://doi.org/10.20414/el-umdah.v4i1.3109>.

3
Irlandia Syahrur memiliki kesempatan menekuni lagi bidang filsafat
sehingga berkenalan dengan banyak pemikir yang membentuk
pandangannya di kemudian hari. Syahrur mendiskusikan pemikiran para
filosof positivisme dari Jerman seperti Immanuel Kant, Fichte dan G.F.
Hegel, di samping pemikiran filsafat spekulatif Alfred North Whitehead,
Bertrand Russel, dan lainnnya. Dalam analisa Christman, pemikiran
Syahrur merupakan sintesa dari filsafat spekulatif Whitehead,rasionalisme
idealis para filosof Jerman serta strukturalisme dari nalar matematika-
teknik yang membentuk suatu pemikiran yang tidak lazim (unorthodox).3
Sesuai spesialisasinya, publikasi Syahrur berkisar pada bidang
teknik fondasi bangunan sebanyak tiga volume serta karya dalam bidang
mekanika tanah yang diterbitkan di Damaskus. Sementara karya syahrur
dalam kajian keislaman hingga saat ini adalah al-Kitab wa al-Qur’an,
Qira’ah Mu’asirah (1990), Dirasat Islamiyyah Mu’asvirah fi Daulah wa
al-Mujtama’ (1994), Al-Islam wa al-iman, Manzumah al-Qiyam (1996),
Masyru’ Misaq al-‘Amal al-Islami (1999), Nahwa Usul Jadidah fi al-Fiqh
al-Islami, Fiqh al-Mar’ah, al-wasiyyah, al-Irs, al-Qawamah, at-
Ta’addudiyah dan al-Libas (2000). Tajfif Manabi’ al-Irhab (2008), The
Qur’an, Morality and Critical Reason- The Essential. Muhammad Shahrur
(2009), al-Qasas al-Qur’ani, Qira’ah Mu’asirah (2012) dan as-Sunnah
ar-Rasuliyyah wa as-Sunnah an-Nabawiyyah (2012).4

B. Pemikiran Muhammad Syahrur Terhadap Al-Quran


Muhammad Syahrur merupakan seorang cendekiawan Muslim
yang berasal dari Suriah yang dikenal dengan pemikirannya yang
kontroversial mengenai interpretasi Al-Quran. Muhammad Syahrur
meyakini bahwa Al-Quran bukanlah teks yang sakral dan abadi, tetapi teks
yang bersifat historis dan kontekstual. Pemikran Syahrur terhadap Al-
Quran menuai banyak kritikan dari ulama-ulama islam. Para pengkritiknya
berpendapat Syahrur telah menyimpang dari interpretasi tradisional Al-
Quran dan menerapkannya dalam kehidupan modern.

3
Nur Mahmudah and others, ‘Al-Qur’an Sebagai Sumber Tafsir Dalam Pemikiran
Muhammad Shahrur’, 8.2 (2014), 259–80.
4
Mahmudah and others.

4
Seperti yang dilakukan ulama’ lainnya, Syahrur dalam mencari
makna Al-Quran yang diyakini sebagai petunjuk umat manusia juga
melalui beberapa proses. Dengan mendefinisikan Al-Quran sesuai dengan
perspektifnya untuk mempermudah dianalisa dan bisa mendapatkan makna
pesan didalamnya. Berikut akan diuraikan istila-istikah Al-Quran dalam
perspektif Muhammad Syahrur:
1. Konsep Al-kitab, Al-Dizkr dan Al-Furqon
Syahrur melakukan interpretasi pada tema-tema al-Quran
yang dijadikan landasan hukum. Dengan berangkat dari kajian
kebahasaan Syahrur mengkaji kembali tema yang berkaitan
dengan al-Quran. Menurut Muhammad Syahrur tema al-Quran,
al-Kitab, al-Furqon dan al-Dizkr5, dan juga istilah lainnya itu
memiliki makna tersendiri. Terdapat beberapa istilah yang
diperkenalkan oleh Muhammad Syahrur dalam hermeneutika
Qurannya yang berbeda dengan pemahaman kita pada
umumnya. Maka dari itu, agar tidak terjadi tumpang-tindih
pengertian dan salah persepsi pada pemikiran hermeneutika
Syahrur dapat diuraikan dibawah ini:
a. Al-Quran adalah kalam Allah Swt. yang terprogram dalam
lauhul mahfudz dan imam mubin yang berbentuk media
yang tidak dapat diserap oengetahuan kognitif manusia dan
tidak dapat ditakwilkan, karena ia disusun dalam bentuk
mutlak.
b. Al-Kitab adalah himpunan seluruh tema yang diturunkan
pada Nabi Muhmmad Saw. sebagai wahyu. Ia merupakan
himpunan seluruh ayat-ayat yang termuat pada lembaran-
lembaran mushaf pada permulaan surat al-Fatihah hingga
akhir an-Nas. Muhammad Syahrur berpendapat bahwa al-
kitab berarti sebuah tema atau himpunan dari berbagai
tema. Dalam bentuk nakirah-nya (indifinite) kitabun, kata

Mahir Munajjad, Membongkar Ideologi Tafsir Al-Qur’an Kontemporer, ed. by Sahiron


5

Syamsuddin, Cetakan 1 (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2008). H.8-9

5
tersebut merujuk pada seluruh kandungan mushaf karena
mushaf terdiri dari sejumlah kitab ataupun tema tertentu
yang sangat banyak. Namun, jika kata ini berbentuk
ma’rifat (definite), dengan adanya tambahan lam ta-rif (al-
kitab), merujuk kepada Muhammad atau seluruh muatan
yang dikandung dalam mushaf. Muhammad dipandang
sebagai Rasul atau Nabi. Maka dari itu, al-kitab yang
diwahyukan kepadanya harus mencakup unsur-unsur
kerasulan (risalah) dan kenabian (nubuwwah).
a. Umm Al-Kitab merupakan himpunan seluruh ayat-ayat
yang membentuk risalah Muhammad Saw. yang di
dalamnya terdapat ibadah ritual, batas-batas hukum (al-
hudud), ajaran-ajaran dan al-Furqon. Kitab muhkam ini
diwahyukan oleh Allah secara langsung pada Nabi
Muhammad Saw. ia tidak memiliki wujud pra-eksistensi
sebelum mengalami proses inzal dan tanzil. Dalam proses
pewahyuannya, kitab muhkam tidak mengalami
transformasi wujud (al-jal).
b. Al-Nubuwwah dimensi kenabian yang memuat ayat-ayat
al-Quran, al-Sabu al-Matsani dan Tafshil al-Kitab.
c. Lauh Mahfûzh Adalah muatan hukum-hukum universal
yang mengatur keberadaan dan ketetapan segala eksistensi,
sejak permulaan penciptaan hingga akhir kehidupan berupa
pembalasan pahala di surga dan dosa di neraka.
d. Al-Imâm Al-Mubîn Adalah muatan hukum-hukum
partikular yang berlaku pada fenomena alam dan tindakan
manusia setelah tindakan tersebut terjadi.
e. Al-Sabu Al-Matsâni Di sebut juga ahsan al-hadîts, ia
adalah tujuh ayat pembuka surat, terdiri dari: (1) alif lâm
mîm, (2) alif lâm mîm shâd, (3) kâf hâ yâ aîn shâd, (4) yâ
sîn, (5) thâ hâ, (6) thâ sîn mîm, dan (7) hâmîm.

6
f. Al-Dikr Bentuk redaksional linguistik pada al-Kitab
seluruhnya yang dapat dipahami manusia. Al-Dikr adalah
aspek wahyu yang diturunkan dalam bentuk bahasa Arab
yang terang. Ia mengandung bentuk ibadah, meskipun ia
dibaca tanpa pemahaman terhadap kandungannya. Ia
dijamin oleh Allah SWT untuk selalu terjaga. Seluruh
bagian al-Dikr ini adalah ciptaan yang baru (muhdats).
g. Al-Furqan Sepuluh wasiat yang diturunkan kepada Musa,
Isa, dan Muhammad SAW, yaitu yang termuat dalam QS.
Al-Anam: 151-153. Ia adalah bagian dari Umm al-Kitâb, ia
berisi prinsip-prinsip moral yang menjadi wilayah bersama
antara tiga agama samawi.
h. Al-Inzâl Adalah perpindahan dari bentuk yang tidak
diketahui menuju bentuk yang dapat diketahui atau dengan
kata lain penampakan (alisyhar).
i. Al-Tanzîl Adalah perpindahan objek secara material
berlangsung di luar kesadaran manusia, seperti transmisi
gelombang yang dibawa oleh malaikat Jibril secara
bertahap selama 23 tahun.
j. Al-Jal Proses perubahan struktur eksistensi wujud
primordial al-Quran kedalam linguistic Arab (transformasi
wujud).6

C. Penafsiran Subyektifitas Muhammad Syahrur


Syahrur mengungkapkan, dalam memahami al-qur’an, umat islam
hendaknya berposisi sebagaimana generasi awal islam. Pemahaman al-
qur’an seolah-olah Nabi Muhammad Saw baru meninggal kemarin sama
dengan meniscayakan umat islam untuk memahami al-qur’an sesuai
dengan konteks di mana mereka hidup dan menghilangkan keterjebakan
pada produk-produk pekikiran masa lalu. Pemikiran syahrur
diklasifikasikan kedalam tiga fase.

6
Nur Shofa Ulfiyati, ‘PEMIKIRAN MUHAMMAD SYAHRUR (Pembacaan Syahrur
Terhadap Teks-Teks Keagamaan)’, Et-Tijarie, 5.1 (2018), 66–67.

7
Pertama, fase 1970-1980, bermula saat syahrur mengambil jenjang
magister dan doctor dalam bidang Teknik sipil di universitas nasional
irlandia (Dublin). Fase ini adalah fase kotemplasi dan peletakan dasar
pemahamannya dari istilah-istilah dasar dalam al-qur’an sebagai al-dzikr.
Hal ini disebabkan karena pemikiran-pemikiran taqlid yang diwariskan
dan ada dalam khazanah karya islam lama dan modern, di samping
cenderung pada islam sebagai ideologi (Aqidah) baik dalam bentuk kalam
maupun fiqih madzhab, dan juga dipengaruhi pula oleh kondisi sosial yang
melingkupi Ketika itu.
Kedua, fase 1980-1986, bermula saa ia bertemu dengan teman
lamanya, Dr. Ja’far yang mendalami studi Bahasa di universitas Uni
Soviet antara 1958-1964. Dalam kesempatan tersebut syahrur
menyampaikan tentang perhatian besarnya terhadap studi Bahasa, filsafat
dan pemahaman terhadap al-qur’an. lewat Ja’far, syahrur banyak belajar
tentang linguistik termasuk filologi, serta mulai mengenal pandangan al-
Fara’ Abu Ali al-Farisi dan muridnya Ibn Jinni dan al-Jurjani. Sejak saat
itu syahrur berpendapat bahwa sebuah kata mempunyai satu makna dan
Bahasa arab merupakan Bahasa yang di dalamnya tidak terdapat sinonim,
sementara itu nahwu dan balaghah tidak bisa dipisahkan. Sehingga
menurutnya selama ini ada kesalahpahaman dalam pengajaran Bahasa arab
di berbagai madrasah dan universitas. Sejak itu pula syahrur mulai
menganalisis ayat-ayat al-qur’an dengan model baru, dan pada 1984 mulai
menulis pokok-pokok pikirannya bersama Ja’far yang di gali dari al-Kitab.

Ketiga, fase 1986-1990, ia mulai berinisiatif Menyusun


pemikirannya dalam topik-topik tertentu. Pada tahun 1986 akhir dan 1987
ia menyelasaikan bab pertama dari al-kitan wa al-qur’an. syahrur dalam
memulai pembacaannya terhadap ajaran islam dengan menentukn sebuah
tema, lalu syahrur mengunakan metode pendekatan kebahasaan dalam
memahami ayat-ayat tersebut. Pendekatan kebahasaan yang digunakan
oleh Muhammad Syahrur, banyak diilhami oleh disertasi sahabatnya, Dr.
Ja’far Dakk al-Bab. Pendekatan ini mengambil kaidah-kaidah Bahasa yang
diterapkan oleh ibnu faris dan Abu ‘Ali al-Farisi yang ditampilkan oleh

8
ibnu jinni dan abd al-Qahir al-Jurjani. Kaidah Bahasa yang ditawarkan
Muhammad syahrur selanjutnya adalah tidak adanya sinonimitas dalam
Bahasa al-kitab. Tidak adanya sinonimitas Bahasa ini dipegangi oleh ibnu
faris yang tertuang dalam kitabnya, mu’jam Maqayis al-Lughah dan Abd
al-Qahir al-Jurjani.7
Muhammad syahrur yang memiliki dua latar belakang keilmuan,
ilmu eksakta dan filsafat Bahasa. Syahrur membangun paradigmanya
melalui fenomena alam empiris. Menurutnya, kehidupan alam itu selalu
berada pada putaran-putaran kaynunah, sayrurah, dan shayrurah.
Kaynunah adalah sebuah keadaan yang menjadi awal eksistensi benda.
Sayrurah merupakan sebuah proses yang dilalui berdasarkan space and
time (ruang dan waktu). Sedangkan shayrurah adalah akhir dari eksistensi
tadi setelah melalui proses. Dalam konteks kemanusiaan, ketiga konsep ini
dapat dipahami bahwa manusia merupakan entitas yang eksis dalam
Masyarakat (kaynunah) yang selalu berubah dan berproses serta tidak
vakum (sayrurah) dan selalu menghasilkan sebuah perkembangan dan
perubahan dari asalnya (shayrurah). Ketiga konsep inilah yang
sesungguhnya terjadi dalam kehidupan manusia.
Namun, perubahan dan perkembangan tersebut tidak tanpa aturan,
tetapi mengikuti hukum alam yang bersifat hanifiyah (curvature) dan
istiqamah (straightness). Dua konsep terakhir ini bersifat bertentangan,
namun saling menyempurnakan. Hanifiyah (curvature) diartikan sebagai
garis bengkok, atau penyimpangan terhadap garis lurus. Hanifiyah
merupakan sifat alam yang juga terdapat dalam sifat alamiyah manusia.
Hukum fisika menunjukan tidak ada benda yang gerakannya dalam bentuk
garis lurus terus. Seluruh benda sejak dari electron yang kecil sampai
galaksi yang besar bergerak secara hanifiyah (tidak lurus). Benda-benda
itu selalu bergeser dari satu bentuk ke bentuk lain. Demikian juga
kehidupan manusia selalu mengalami perubahan. Untuk mengontrol
perubahan-perubahan itu diperlukan adanya garis lurus (istiqamah). Hal
itu menjadi keharusan untuk mempertahanka aturan-aturan hukum. Akan
7
Muhammad Lutfianto and Fitrotun Nafsiyah, ‘Hermenutika Muhammad Syahrur’, Al-
Thiqah, 5.1 (2022), 20–21.

9
tetapi garis lurus bukanlah sifat alam, ia lebih merupakan karunia Tuhan
agar ada bersama-sama dengan hanifiyah untuk mempertahankan
keteraturan sistem kosmos alam. Demikian dalam konteks kehidupan
manusia. Manusia selalu berubah dan berkembang mengikuti hukum
alamnya. Tetapi kehidupan manusia itu harus diatur agar tercipta
kesejahteraan bersama. Kealamiyah manusia yang selalu berubah dan
keinginannya untuk hidup Bahagia membutuhkan sebuah aturan hukum
yang bersifat kontekstual dan dinamis yang dapat dipahami oleh
Masyarakat dalam setiap zaman dan tempat. Dari hal tersebut, kemudia
syharur mengajukan teori batas (nadzariyah al-Hudud).
Secara umum, teori batas syahrus dapat digambarkan sebagai
berikut: terdapat ketentuan tuhan yang diungkapkan dalam al-Tanzil al-
Hakim dan Sunah yang menetapkan batas bawah (al-Hadd al-Adna) dan
batas atas (al-hadd al-A’la) bagi seluruh perbuatan manusia. Batas bawah
merupakan batas minimal yang dituntut oleh hukum dalam kasus tertentu.
Sedangkan batas atas merupakan batas maksimalnya. Perbuatan hukum
yang kurang dari batas maksimal tidak sah (tidak boleh), demikian pula
yang melebihi batas maksimal. Ketika batas-batas ini dilampui, maka
hukuman harus dijatuhkan menurut proporsi pelanggaran yang
dilakukannya. Jadi, manusia dapat melakukan gerak dinamis di dalam
batas-batas yang telah ditentukan. Di sinilah menurut syahrur, letak
kekuatan islam. Dengan memahami teori ini, niscaya akan dapat dilahirkan
jutaan hukum.
Berdasarkan kajiannya terhadap ayat-ayat hukum (umm al-kitab),
syahrur membagi 6 bentuk dalam teori batas. Pertama, ketentuan hukum
yang hanya memiliki batas bawah, Dimana al-tanzil al-hakim hanya
menyebutkan ketentuan hukum pada standar minimal, sedangkan
pengembangannya ke atas tidak ada batasnya diserahkn sepenuhnya
kepada para mujtahid atau pemegang otoritas hukum. Kedua, ketentuan
hukum yang hanya memiliki batas atas, di mana penyebutan hukuman al-
tanzil al-hakim merupakan batas hukuman yang paling tinggi yang tidak
boleh dilampui. Para mujtahid dan pemegang otoritas hukum dituntut

10
untuk membuat aturan hukuman yang ada di wilayah bawahnya
disesuaikan dengan proporsi pelanggaran yang dilakukan. Ketiga,
ketentuan hukum yang memiliki batas atas dab batas bawah sekaligus, di
mana batas bawah merupakan batas paling bawah untuk dilakukan dan
batas atas merupakan batas paling maksimal untuk dilakukan. Wilayah
ijtihad ada di antara batas bawah dan batas atas, tidak boleh keluar
melampui atau kurang dari kedua batas tersebut, disesuaikan dengan
kondisi obyektif Masyarakat. Keempat, ketentuan hukum yang mana batas
bawah dan batas atas berada pada satu titik (garis lurus, mustaqim). Ini
berarti tidak ada alternatif lain. Apa yang disebutkan hukumnya dalam al-
tanzil al-hakim, yang itu hukumnya. Tidak ada wilayah ijtihad dalam hal
ini. Kelima, ketentuan hukum yang memiliki batas atas dan batas bawah
tetapi kedua batas tersebut tidak boleh disentuh. Menyentuh kedua batas
itu berarti telah melanggar ketentuan agama (tuhan). Batas bawah di sini
tidak boleh dilampui sebab dapat menimbulkan perbuatan yang dapat
mengantarkan pelakunya melampui batas atas. Oleh karena itu seseorang
hanya dapat melakukan di antara kedua batas tersebut. Keenam, ketentuan
hukum yang memiliki batas atas dan bawah, di mana batas atasnya bernilai
positif dan tidak boleh dilampui, sedangkan batas bawahnya bernilai
negative dan boleh dilampui. Adapun posisi di Tengah antara batas yang
positif dan batas yang negative adalah nilai nol. Dalam al-tanzil al-hakim
ketentuan ini diberlakukan dalam hal hubungan kebendaan antara manusia.
Di sisi lain, syahrur juga menggunakan metode linguistic.
Seringkali sebelum menganalisis masalah, ia terlebih dahulu menganalisis
Bahasa, istilah peristilah. Dia meyakini bahwa Bahasa arab sangat kaya
makna. Setiap kata yang sinonim, baginya tidak sinonim atau bahkan
antonym. Ia tidak mempercayai adanya sinonimitas Bahasa. Kata dalam
Bahasa mempunyai maknanya sendiri sesuai dengan perkembangan zaman
yang mengitarinya.
“Permainan kata” yang digunakan syahrur ini dibungkus dengan
bangunan pengetahuan eksaktanya sehingga kata itu Nampak sangat dekat
dengan jangkauan logika. Ini bisa dilihat, Ketika syahrur melakukan

11
pembacaan ulang terhadap al-qur’an. melalui wawasan bahasanya, ia
menganalisis istilah-istilah dalam al-qur’an, layaknya seorang insinyur
mengkonstruksi bangunan, sehingga bangunan al-qur’an menjadi sangat
kokoh dan sistematis. Sebagai tamsil, ia membedakan istilah al-nubuwwah
dan al-risalah. Kedua istilah tersebut dibedakan berdasarkan fungsinya. Al-
nubuwwah (kenabian) memposisikan Muhammad sebagai penerima
informasi keagamaan. Sedangkan ar-risalah, memposisikan Muhammad
sebagai penerima korpus hukum. Dari sini, al-qur’an sebagai wahyu yang
diterima Muhammad memiliki 2 bagian, yaitu bagian yang menjelaskan
kenabian Muhammad (informasi agama) dan bagian yang menjelaskan
tentang kerisalahan Muhammad (hukum). Dari kedua klasifikasi tersebut,
beberapa tema yang menjadi pembicaraan dalam studi keislaman
menemukan tempatnya sendiri sehingga kerangka keilmuan yang ada
dalam al-qur’an tersusun secara sistematis. Hal ini menunjukkan bahwa
metodologi yang dipakai syahrur dalam mengkaji wacana keislaman
adalah linguistic saintifik-matematik. Sebuah metodologi yang
menggabungkan antara unsur-unsur Bahasa dengan pengetahuan yang
bersifat sains.8
Penafsiran Muhammad syahrur dinilia kontroversial dan langka
terkait pakaian Perempuan dengan teori batasnya, yang ia paparkan dalam
karyanya al-kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Muashirh yang kemudian
disempurnakan oleh kitab keempatnya yang berjudul nahwa usul al-
jaadilah li aal-fiqh al-islami yang membahas masalah pakaian Perempuan.
Teori batas tersebut membahas tentang Batasan minimal dan Batasan
maksimal terhadap hukum sesuatu. Hal tersebut merupakan alternatif yang
lebih fleksibel dalam menjawab permasalahan umat, sehingga mereka puas
dengan tafsirannya yang relevan dengan saaat itu. Apabila teori batas
tersebut di praktekn dalam massalah pakaian Perempuan, Muhammad
syahrur berpendapat bahwa batas minimal berpakaian yaitu paling tidak
Perempuan menggunakan pakaian yang dapat menutup bagian dada dan

8
Dede Nurohman, ‘Muhammad Syahrur Dan Pemikirannya Tentang Bank Syahriah’, Al-Afkar:
Journal For Islamic Studies, 5.1 (2022), 198–200.

12
kemaluannya. Adapun batas maksimalnya adalah Perempuan berpakaian
menutup seluruh tubuhnya kecuali wajah dan kedua telapak tangan.
Dengan demikian, jika masih dalaam batas-batas tersebut Perempuan
dianggap berpakaian yang menutup aurat.
Dalam karya al-kitab wa al-qur’an: qira’ah mu’ashirah,
pemabahasan tentang pakaian perempuan di jelaskan dalam bab ketiga
(umm al-kitab wa as-sunnah wa al-fiqh), pasal ke tiga (al-fiqhu al-islami),
bagian ke tiga (namaudzij lil fiqhi al-hadid fi dirasati maudhu’I al-mar’ah
fi al-islam), pada poin libasu ar-rijal wa al-mar’ah wa sulukihima al-
ijtima’I halaman 604-619. Untuk membahas pakaian Perempuan,
Muhammad syahrur menafsirkan salah satu ayat al-qur’an yakni QS. An-
Nur [24]:31

ِّ
ْ َ‫ص ِّارِّه َّن َوََْي َفظْ َن فُ ُرْو َج ُه َّن َوََل يُْب ِّديْ َن ِّزيْنَ تَ ُه َّن اََّل َما ظَ َهَر ِّمْن َها َولْي‬
‫ض ِّربْ َن‬ ِّ ْ ‫ض‬
َ ْ‫ض َن م ْن اَب‬ ُ ْ‫ٰت يَغ‬ ِّ ‫وقُل لِّلْم ْؤِّمن‬
ُ ْ َ
ۤ ۤ ۤ ۤ َّۖ
‫ِِّبُ ُم ِّرِّه َّن َع ٰلى ُجيُ ْوِِّبِّ َّن َوََل يُْب ِّديْ َن ِّزيْنَ تَ ُه َّن اََِّّل لِّبُعُ ْولَتِّ ِّه َّن اَْو اٰ ََب ِٕى ِّه َّن اَْو اٰ ََب ِّء بُعُ ْولَتِّ ِّه َّن اَْو اَبْنَا ِٕى ِّه َّن اَْو اَبْنَا ِّء‬

‫ْي َغ ِّْْي‬ ِّ‫ن اَخ ٰوِِّتِّ َّن اَو نِّس ۤا ِٕى ِّه َّن اَو ما ملَ َكت اَْْيَا ُِنُ َّن اَ ِّو ٰالتبِّع‬ ِِّّ ِّ ْٓ ِّ ‫ب عولَتِّ ِّه َّن اَو اِّخو ِّاِنِّ َّن اَو ب‬
َْ ْ َ َ ْ َ ْ َ ْْٓ َِّ‫ن ا ْخ َواِن َّن اَْو ب‬ ْ َ ْ َْ ْ ُُْ
‫ض ِّربْ َن َِّبَْر ُجلِّ ِّه َّن لِّيُ ْعلَ َم َما‬ ِّ ۤ ِّ ‫الط ْف ِّل الَّ ِّذين ََل يظْهروا ع ٰلى عوٰر‬
ْ َ‫ت النِّ َساء ََّۖوََل ي‬ ْ َ َ ُْ َ َ ْ َ ْ
ِّ ‫الرج ِّال اَ ِّو‬ ِّ ِّ ِّ
َ ِّ ‫اُ ِّوِل ْاَل ْربَة م َن‬
‫َجْي ًعا اَيُّهَ الْ ُم ْؤِّمنُ ْو َن لَ َعلَّ ُك ْم تُ ْفلِّ ُح ْو َن‬ َِّ ِّ‫ُُيْ ِّفْي ِّمن ِّزي نَتِّ ِّه ََّّۗن وتُوب ْٓوا اِّ َِل ٰاّلل‬
ُْ ْ َ ْ ْ َ ْ

“Katakanlah kepada para perempuan yang beriman hendaklah mereka


menjaga pandangannya, memelihara kemaluannya, dan janganlah
menampakkan perhiasannya (bagian tubuhnya), kecuali yang (biasa)
terlihat. Hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya.
Hendaklah pula mereka tidak menampakkan perhiasannya (auratnya),
kecuali kepada suami mereka, ayah mereka, ayah suami mereka, putra-
putra mereka, putra-putra suami mereka, saudara-saudara laki-laki
mereka, putra-putra saudara laki-laki mereka, putra-putra saudara
perempuan mereka, para perempuan (sesama muslim), hamba sahaya
yang mereka miliki, para pelayan laki-laki (tua) yang tidak mempunyai
keinginan (terhadap perempuan), atau anak-anak yang belum mengerti
tentang aurat perempuan. Hendaklah pula mereka tidak mengentakkan

13
kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.
Bertobatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang-orang yang
beriman, agar kamu beruntung”
Menurut syahrur bahwa ayat surat an-nur diatas merupakan ayat yang
menjelaskan batas minimal pakaian Perempuan dan termasuk kategori
kewajiban faraid. Ia menjelaskan dalam tafsirnya, bahwa dalam ayat
diatas terdapat beberapa perintah, diantaranya adalah:
1. Menahan pandangan (yaghdudna min absharihinna)
Dalam redaksi ayat tersebut terdapat huruf jar mim yang
berarti Sebagian dari sesuatu (li abta’id) atau berarti Sebagian dari
keseluruhan (juz’un min kullin). Kesimpulannya ia berpendapat
bahwa allah swt menyuruh manusia untuk menahan Sebagian dari
pandangan bukan menahan seluruh pandangan. Tetapi ia masih
memiliki kebingungan terkaait objek yang dipandang, yang pada
akhirnya ia menyimpulkan bahwa objek tersebut adalah tergantung
situasi dan konidisi yang mana laki-laki dan Perempuan untuk tidak
saling melihat wilayah yang tidak dikehendaki untuk dilihat, bukan
tidak saling melihat dalam aktivitas keseharian.
2. Menjaga kemaluan (wa yahfazhna furujahunna)
Dalam menjaga kemaluan muhammad syahrur membaginya
kedalam dua kondisi, yaiu:pertama, menjaganya dari perbuatan zina
dan semua hubungan seksual yang tidak disyaratkan. Kedua, menjaga
kemaluan dari pandangan (al-bashar). Menurutnyaa, memandang (al-
bashar) adalah tugas mata yang berbeda dari proses melihat (an-
nadzar) dan menyaksikan (ar-ru’ya) yang terkadang berlangsung di
otak tanpa proses memandang terlebih dahulu. Oleh karenanya, ia
berpendapat bahwa menjaga kemaluan pada laki-laki merupakan
batas minimal dalaam berpakaian. Ia memberikan contoh yang
disesuaikan konteks saat itu yaitu celana dalam untuk renang.
3. Masalah terkait perhiasan dan aurat (wa la yubdina zinatahunna)
Menurut Muhammad syahrur perhiaasan dalam aayat diatas
terbagi menjadi dua, yaitu perhiasan yang tampak dan perhiasan yang

14
tersembunyi. Ia mengelompokkan bentuk perhiasan ke dalam 3
macam bentuk berdasarkan ayat diatas dan seluruh ayat dalam al-
qur’an terutama QS. an-Nisa ayat 22-23, macam-macam bentuk
perhiasan tersebut adalah sebgai berikut;
a. Perhiasan berwujud benda
Yaitu perhiasan yang berupa penambahan suatu
benda ke benda yang lain atau pada suatu tempat untuk
memperindahnya, misalnya; dekorsi dalam ruangan,
desain baju, penjempit rambut, anting, kalung gelang dan
lain-lain. Menurutnya hal ini berdasarkan firman allah swt
dalam QS. an-Nahl: 8.
b. Perhiasan tempat atau lokasi
Menurutnya perhiasan maca mini sudah tampak
jelas yaitu berupa ruang-ruang public di daerah perkotaan
seperti taman kota. Atau perhiasan lokasi yang berupa
pelestarian alam yang sesuai dengan habitat aslinya atau
menambahkan sesuatu yang bersifat alami, seperti
pepohonan dan tanaman bunga. Hal ini berdasarkan QS.
an-Nur: 31
c. Perhiasan gabungan antara yang bersifat lokasi dan
kebendaan
Menurutnya, perhiasan disini adalah perkembangan
dan kemajuan ilmu pengetahuan manusia akan memenuhi
bumi dengan berbagai bentuk hiasan lokasi, maka seluruh
tubuh Perempuan adalah perhiasan. Dapat diperjlas bahwa
perhiasan disini adalah sesuatu yang berbentuk utuh,
bukan sekedar kalung, gelang dan sejenisnya, melainkan
seluruh tubuh Perempuan.
Adapun terkait aurat, Muhammad syahrur membaginya menjadi
dua bagian, yaitu: pertama, bagian tubuh yang terbuka secara alami.
Kedua, bagian tubuh yang tidak tampak secara alami yakni yang
disembunyikan oleh allah swt dalam bentuk dan susunan tubuh

15
Perempuan. Bagian tersembunyi tersebut disebut al-juyub atau bagian-
bagian yang berlubang atau bercelah. Bagian tersebut wajib ditutupi oleh
Perempuan. Kemudian ia menafsirkan ayat khimar ‫ع ٰلى‬ َ ‫َو ْليَض ِْربْنَ بِ ُخ ُم ِره َِّن‬
‫ ُجي ُْو ِب ِه َّن‬bukan dengan arti kerudung penutup kepala saja sebagaimana kita
pahami. Menurutnya khimar adalah segala sesuatu yang bisa menutupi
baik kepala maupun bagian tubuh lainnya. Jadi menurutnya, bahwa Allah
Swt memerintahkan Muslimah untuk menutupi bagian tubuh mereka yang
termasuk kategori suk kategori juyub dan tidak menampakkannya.
Dapat disimpulkan bahwa menurut syahrur sebagaimana dikutip
Abdul Mustaqim, Ketika berbicara mengenai pakaian Perempuan, ia
menggunakan istilah libas yang menunjukkan arti tsiyab (pakaian), jibab
(pakaian luar Perempuan), dan khimar (tutup), untuk mengantikan istilah
al-hijab dalam al-qur’an sama sekali tidak ada kaitannya dengan persoalan
pakaian Perempuan. Al-qur’an memang menyebutkan kata hijab sampai
delapan kali (QS. al-A’raf [7]: 46, QS. al-Ahzab [33]: 53, QS. Shad [38]:
32, QS. Fussilat [41]: 5, QS. al-Syura’ [42]: 51, QS. al-Isra’ [17]: 45, QS.
Maryam [19]: 17, dan QS. al-Muthaffifin [83]:15). Namun menurutnya
semua kata hijab itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan pakaian
Perempuan. Seluruh kata hijab dalam al-qur’an justru mengacu pada
pengertian al-hajiz (pengahalang).
Menurutnya, yang dimaksud ayat diatas pula adalah larang
memandang Perempuan yang bukan mahram Ketika sedang terbuka al-
juyub nya (aurat besar). Sebab, di dalam ayat tersebut, perintah
menundukkan Sebagian pandangannya dikaitkan dengan perintah menjaga
farji-nya. Ayat tersebut bukan merupakan larangan bagi Perempuan untuk
melihat laki-laki Ketika keduanya sedang berkomunikasi. Mengenai
pakaian Perempuan saat keluar rumah, syahrur menjelaskan bahwa al-
qur’an berbicara mengenai pakaian yang disebut dengan jilbab, yaitu al-
libas al-kharij (pakaian luar) yang bisa berupa celana Panjang ataupun
baju gamis biasa, dan tidak harus menutup kepalanya. Adapun fungsi
jilbab untuk menjaga gangguan, baik yang bersifat alamiah, seperti suhu
panas dan dingin, ataupun gangguan sosial seperti pelecehan. Semua

16
tergantung kondisi geografis dan sosio-kultural masyarakatnya sehingga
sifatnya relatif.
Berdasarkan penjelasan diatas, Muhammad syahrur menggunakan
teori batasnya dalam menafsirkan ayat diatas terkait pakaian Perempuan.
Inti pembahasan yang menjadikan tafsirannya berbeda dan kontroversial
adalah pandangannya terhadap Batasan aurat dan pemaknaan terhadap
khimar. Dalam pandangannya, batas maksimal aurat Perempuan yaitu
seluruh tubuh kecuali muka dan kedua telapak tangan dan batas
minimalnya yaitu termasuk al-juyub seperti yang dijelaskan diatas. Jika
dilihat dari batas minimal tersebut, dapat disimpulkan bahwa Ketika
Perempuan tidak menggunakan kerudung atau jilbab atau istilah lainnya
untuk menutupi kepala itu tidak apa-apa, bahkan diperbolehkan juga
Ketika Perempuan menggunakan pakaian pendek dan terbuka selagi masih
menutup al-juyub tersebut. Karena dalam pandangannya khimar yang
dimaksud dalam ayat diatas adalah bermakna penutup, bukan penutup
kepala yang biasa kita sebut kerudung atau jilbab dan lain sebagainya.
Jadi, selagi khimar tersebut menutupi al-juyub itu berarti masih bisa
dikatakan memakai pakaian Muslimah. Pandangan inilah yang kemudian
menjadi kontroversi dalam hasanah kajian islam.9

9
Inayatul Mustautina, ‘Al-Kitab Wa Al-Qur’an: Qiro’ah Mu’ashiroh (Studi Analisis
Pandangan M. Syahrur Terhadap Konsep Pakaian)’, Al-Fanar: Jurnal Ilmu Al-Qur’an Dan Tafsir,
3.1 (2020), 35–38.

17
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Muhammad Syahrur adalah seorang pemikir Islam yang fenomenal


dan juga kontroversial. Beliau dilahirkan di Suriah, tepatnya di kota
Damaskus, pada tanggal 11 April 1938 M. Ayahnya bernama Dayb ibn
Dayb dan ibunya bernama Shiddiqah binti Ṣalih Filyun. Muhammad
Syahrur dikenal dengan pemikirannya yang kontroversial mengenai
interpretasi Al-Quran. Muhammad Syahrur meyakini bahwa Al-Quran
bukanlah teks yang sakral dan abadi, tetapi teks yang bersifat historis dan
kontekstual.
Syahrur mengungkapkan, dalam memahami al-qur’an, umat islam
hendaknya berposisi sebagaimana generasi awal islam. Pemahaman al-
qur’an seolah-olah Nabi Muhammad Saw baru meninggal kemarin sama
dengan meniscayakan umat islam untuk memahami al-qur’an sesuai
dengan konteks di mana mereka hidup dan menghilangkan keterjebakan
pada produk-produk pekikiran masa lalu

18
DAFTAR PUSTAKA
Lutfianto, Muhammad, and Fitrotun Nafsiyah, ‘Hermenutika Muhammad Syahrur’, Al-
Thiqah, 5.1 (2022), 20–21

Mahmudah, Nur, Sekolah Tinggi, Agama Islam, and Negeri Kudus, ‘Al-Qur’an Sebagai
Sumber Tafsir Dalam Pemikiran Muhammad Shahrur’, 8.2 (2014), 259–80

Mubarok, ‘BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN INTELEKTUAL MUHAMMAD SYAHRUR’, 2001, 32–


47

Munajjad, Mahir, Membongkar Ideologi Tafsir Al-Qur’an Kontemporer, ed. by Sahiron


Syamsuddin, Cetakan 1 (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2008)

Mustautina, Inayatul, ‘Al-Kitab Wa Al-Qur’an: Qiro’ah Mu’ashiroh (Studi Analisis


Pandangan M. Syahrur Terhadap Konsep Pakaian)’, Al-Fanar: Jurnal Ilmu Al-Qur’an
Dan Tafsir, 3.1 (2020), 35–38

Nurohman, Dede, ‘Muhammad Syahrur Dan Pemikirannya Tentang Bank Syahriah’, Al-
Afkar: Journal For Islamic Studies, 5.1 (2022), 198–200

Sugiarto, Fitrah, Avif Alfiyah, and Harni Ratna Tara, ‘Pemikiran Muhammad Syahrur;
Teori Nadzariyah Hudud Dan Aplikasinya’, El-’Umdah, 4.1 (2021), 45–58
<https://doi.org/10.20414/el-umdah.v4i1.3109>

Ulfiyati, Nur Shofa, ‘PEMIKIRAN MUHAMMAD SYAHRUR (Pembacaan Syahrur Terhadap


Teks-Teks Keagamaan)’, Et-Tijarie, 5.1 (2018), 66–67

19

Anda mungkin juga menyukai