Anda di halaman 1dari 12

Titian: Jurnal Ilmu Humaniora P-ISSN: 2615–3440

Vol. 06, No. 2, Desember 2022 https://online-journal.unja.ac.id/index.php/titian E-ISSN: 2597–7229

TINJAUAN SOSIOLOGIS TERHADAP PELAKU KEKERASAN SEKSUAL


DITINJAU DARI PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA

Sociological Review Persons of Sexual Violence From A Human Rights Perspective

Dwi Yusuf Rafli1, Heni Susanti2*


dwiyusufrafli@student.uir.ac.id1, heni@law.uir.ac.id2
Universitas Islam Riau

Naskah diterima: 30 November 2022, direvisi: 2 Desember 2022; disetujui: 4 Desember2022

Abstrak: Kekerasan seksual merupakan salah satu isu yang marak tejadi dikehidupan
masyarakat. Kebudayaan patriartki yang biasa dianut oleh masyarakat Indonesia mengakibatkan
kekerasan seksual sering kali menyasarkan wanita dan anak-anak sebagai korban dari
kejahatannya. Terbaru dalam kasus pemerkosaan yang melibatkan seorang guru terhadap 13
santriwatinya menuai berbagai polemic di masyarakat. Keputusan hukuman mati sebagai resolusi
bijak yang diambil oleh pengadilan menjadi pro dan kontra. Sebagian diantaranya merasa
putusan tersebut sangatlah pantas atas apa yang sudah diperbuat dan dilakukannya. Namun
dalam sisi lain, banyak orang yang menganggap pemberian putusan mati sebagai bentuk
kemunduran akan penegakkan hukum dan mencoreng hak hidup sebagai hak dasar dari
eksistensi Hak Asasi Manusia. Keberadaan putusan mati dan pandangan HAM didalamnya
menjadi permasalahan Panjang di Indoensia, hal tersebut karena Indonesia sebagai negara yang
mengakui keberadaan nilai-nilai HAM, ironisnya juga menetapkan putusan mati sebagai salah
satu bentuk pidana pokok yang merupaka bentuk dari kejahatan HAM berat itu sendiri

Kata Kunci: Hak Asasi Manusia, Kekerasan Seksual, sosiologis

Abstract: Sexual abusee is one of the most prevalent issues in people's lives. The patriarchal
culture that is usually embraced by the Indonesian people causes sexual abuse to often target
women and children as victims of their crimes. The latest in a rape case involving a teacher
against his 13 female students has sparked various polemics in the community. The death penalty
decision as a wise resolution taken by the court has pros and cons. Some of them felt that the
decision was very appropriate for what they had done and did. But on the other hand, many
people consider the giving of a death sentence a form of setback for law enforcement and tarnish
the right to life as a basic right of the existence of human rights. The existence of the death penalty
and the view of human rights in it have become a long problem in Indonesia, this is because
Indonesia as a country that recognizes the existence of human rights values, ironically also
stipulates the death penalty as one of the main forms of crime which is a form of serious human
rights crime itself.

Keywords: Human Rights, Sexual abuse, Death Penalty

PENDAHULUAN berhubungan dengan nafsu kelamin,


Kekerasan seksual merupakan layaknya persetubuhan, raba-meraba
salah satu bentuk kejahatan yang bagian kewanitaan, memperlihatkan
termasuk dalam golongan kejahatan bagian kelamin diri, mencium, hingga
kesusilaan. Bentuk kata kesusilaan hal-hal yang berorientasikan kepada
dalam doktrin R. Soesilo dinyatakan perbuatan seksual.1 Dalam pengertian
sebagai sebuah perbuatan yang berkaitan yang lebih luas, masyarakat memahami
dengan kesopanan, perasaan malu yang makna kesusilaan sebagai sebuah

1
R. Soesilo, KUHP Serta Komentar-
Komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal,
Politea, Bogor, 1996 hlm. 204

339
Dwi Yusuf Rafli, Heni Susanti: Tinjauan Sosiologis Terhadap Pelaku Kekerasan Seksual ..
Titian: Jurnal Ilmu Humaniora P-ISSN: 2615–3440
Vol. 06, No. 2, Desember 2022 https://online-journal.unja.ac.id/index.php/titian E-ISSN: 2597–7229

perilaku yang kaitannya sebagai sopan perbuatannya, dan berpotensi


santun perilaku seorang manusia, menyebabkan trauma fisik dalam
sehingga kejahatan kesusilaan adalah kejadiannya. Namun sekarang, bentuk
sebuah oposisi arti tersebut, yaitu kekerasan seksual ternyata juga
perbuatan gagal berperilaku sopan dan termasuk atas perbuatan fisik, non fisik,
keberadaban. verbal, dan non verbal, serta bentuk
Masalah kesusilaan di kehidupan kekerasan melalui teknologi informasi
masyarakat sendiri bukan merupakan isu dan komunikasi.2 Hal ini menunjukan
sosial baru, dan sudah menjadi rahasia bahwa kekerasan seksual bisa terjadi
umum terjadi diberbagai kalangan, dalam berbagai macam bentuk perbuatan
lingkungan, dan situasi. Pada kehidupan dan tak terbatas ruang fisik maupun
dewasa saat ini, sudah cukup jarang maya. Untuk lebih lanjutnya, berbagai
ditemui penggunaan kata kejahatan macam sumber memecah kembali
kesusilaan, bahkan sekalipun dalam bentuk-bentuk kekerasan seksual yang
kalangan akademisi. Masyarakat jauh ada, kedalam bagian kelompok-
lebih mengenal kejahatan kesusilaan kelompok perilaku yang lebih spesifik,
sebagai sebuah kejahatan seksual. Dalam semata guna mempermudah identifikasi
penelaahan lebih mendalam, padanan atas perilaku yang diperbuat, dan
kata kesusilaan dan seksual sejatinya memudahkan dalam proses penegakan
bukan sebuah kata yang satu padu, hukum nantinya.
melainkan memiliki substansi yang Jika berbicara mengenai korban
berbeda. Jika kejahatan kesusilaan atas kekerasan seksual, maka ditemui
dimaknai sebagai kegagalan berperilaku pola khusus dimana anak dan perempuan
sopan dan keberadaban, maka kejahatan merupakan sasaran paling sering
seksual adalah sebagai perilaku amoral menjadi korban. Komnas Perempuan
dengan sasaran organ seksualitas melalui memberikan ulasan terkait fenomena
bentuk sentuhan, perkataan, maupun tersebut, dan menyebutkan bahwa hal itu
gaya perilaku. Sehingga dapat dipahami disebabkan oleh kebiasaan masyarakat
penggunaan kata kejahatan seksual dalam bentuk mindset atas kekuasaan
sejatinya lebih tepat, dan spesifik yang berorientasi kepada laki-laki.
mengarah kepada perbuatan seksualitas, Kultural sosio masyarakat yang
berbanding dengan kata kesusilaan yang terbangun menghendaki laki-laki
bisa dimaknai jauh lebih luas, sedangkan sebagai sebuah intensitas yang lebih
dalam kehidupan masyarakat maupun tinggi dalam kehidupan, atau biasa
dalam Peraturan Perundang-undangan disebut dengan kebudayaan patriarki.
Nasional, kejahatan kesusilaan dimaknai Lainnya, kekerasan seksual itu terjadi
sama dengan kejahatan seksualitas. juga dengan diiringi oleh beberapa
Maraknya kekerasan seksual kecirian khusus dalam perilakunya, yaitu
dalam kehidupan sosial bermasyarakat diantaranya; quid pro quo, yang
bahkan telah berkembang kearah menjelaskan bahwa keekerasan seksual
modernisasi. Pada masa sebelumnya terjadi dimana pelaku memiliki otoritas
suatu kekerasan seksual terbatas hanya atau kekuasaan yang lebih tinggi
sebagai sebuah perilaku, dilakukan sehingga memanfaatkan posisinya untuk
secara aktif, melalui sentuhan, rabaan, ditukar dengan tindak pelecehan
dimana terdapat unsur paksaan dalam

2
Pasal 5 Peraturan Kementrian Pendidikan, Indonesia Nomor 30 Tahun 2021 Pencegahan
Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik dan Penanganan Kekerasan Seksual di
Lingkungan Perguruan Tinggi.

340
Dwi Yusuf Rafli, Heni Susanti: Tinjauan Sosiologis Terhadap Pelaku Kekerasan Seksual ..
Titian: Jurnal Ilmu Humaniora P-ISSN: 2615–3440
Vol. 06, No. 2, Desember 2022 https://online-journal.unja.ac.id/index.php/titian E-ISSN: 2597–7229

seksual.3 Dari prinsip ini detemui marak terjadi di Indonesia, dengan


hubungan pengaruh kebudayaan wanita dan anak-anak sebagai sasaran
patriarki dalam kehidupan masyarakat dan korban utama.
yang memberikan ruang bagi pelaku Salah satu kasus terbaru yang
untuk bertindak atas kekuatan dan status menghebohkan publik adalah kasus
dalam sosial yang lebih tinggi pemerkosaan terhadap 13 santriwati
dibandingkan wanita dan anak-anak yang oleh seorang pimpinan Yayasan
sebagai korban. Namun meski demikian, Manarul Huda sekaligus pemilik
bukan menutup pula kemungkinan pria pomdok pesantren Madani boarding
untuk menjadi korban dalam perilaku School di Cibiru, Bandung. Kasus
kekerasan seksual. Komisi Perlindungan kekerasan seksual luar biasa ini
Anak Indonesia (KPAI), mencatat 207 menyebabkan 13 santriwatinya menjadi
anak menjadi korban pelecehan seksual korban dan diantaranya hamil dan
dengan rincian 126 diantaranya adalah melahirkan 9 orang bayi akibat kejahatan
perempuan, dan 71 sisanya adalah laki- yang dilakukannya. Perguliran kasus
laki.4 Namun dari hasil tersebut, tetap yang naik kemeja pengadilan sejak 2021
ditemui fakta jika Wanita merupakan melalui Nomor 989/Pid.Sus/2021/PN
sasaran favorit bagi para predator BDG ini sudah mencapi babak akhir
seksual beraksi. dalam putusannya, dengan dijatuhinya
Pada catatan tahunan Komnas hukuman mati setelah sebelumnya
Perempuan 2021, jenis dan bentuk terdakwa melakukan permintaan
kekerasan terhadap perempuan di ranah banding atas penjatuhan hukuman
publik atau komunitas dalam data penjara seumur hidup terhadapnya.6
paparan Komnas Perempuan Meskipun begitu, perguliran kasus ini
menunjukan bentuk yang serupa masih memungkinkan untuk dapat
terhadap tahun sebelumnya namun dilanjutkan ketahap terakhir berupa
dengan sedikit perubahan dalam modus kasasi dan pengajuan grasi, namun jika
data tercatat. Pada 2020, kasus kekerasan segala upaya hukum baik biasa dan luar
seksual lain menjadi modus dengan 371 biasa tersebut ditolak, maka dengan ini
kasus, diikuti pemerkosaan (229 kasus), kasus kekerasan seksual dengan
pelecehan seksual (181), dan pencabulan pemerkosaan terhadap 13 santriwati ini
(166). 5 Sedikit berbeda dimana pada akan tercatat sebagai kasus tindak
tahun sebelumnya, kasus Pemerkosaan pemerkosaan pertama yang dijatuhi
adalah tindak kekerasan dengan kejadian hukuman mati di Indonesia.
terlapor tertinggi. Namun, tetap Berbicara mengenai hukuman
menunjukan bahwa pemerkosaan adalah mati, penjatuhan hukuman ini bukanlah
salah satu tindak kekerasan seksual yang suatu hal yang biasa terjadi dalam kasus

3
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap 28113738-20-739496/kpai-207-anak-korban-
Perempuan, Catatan Tahunan 2021: pelecehan-seksual-di-sekolah-sepanjang-2021,
Perempuan Dalam Himpitan Pandemi: diakses 16 April 2022.
5
Lonjakan Kekerasan Seksual, Kekerasan Siber, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap
Perkawinan Anak, dan Keterbatasan Perempuan, op.cit., hlm. 21.
Penanganan di Tengah Covid-19. (Jakarta: 6
CNN Indonesia, “Kronologi Herry wirawan
Komnas Perempuan, 2021) hlm. 23. Divonis Mati Usai Terbukti Perkosa
Santriwati”.
4
CNN Indonesia. “KPAI: 207 Anak Korban https://www.cnnindonesia.com/nasional/202204
Pelecehan Seksual di Sekolah Sepanjang 04145739-12-780056/kronologi-herry-wirawan-
2021”. divonis-mati-usai-terbukti-perkosa-santriwati,
https://www.cnnindonesia.com/nasional/202112 diakses 16 April 2022,

341
Dwi Yusuf Rafli, Heni Susanti: Tinjauan Sosiologis Terhadap Pelaku Kekerasan Seksual ..
Titian: Jurnal Ilmu Humaniora P-ISSN: 2615–3440
Vol. 06, No. 2, Desember 2022 https://online-journal.unja.ac.id/index.php/titian E-ISSN: 2597–7229

kekerasan seksual, tidak adanya berlaku di Sulawesi Selatan sampai akhir


keberadaan payung hukum yang abad 198. Hingga pada saat ini, Indonesia
mengikat kuat telah menyebabkan masih menerapkan keberadaan hukuman
banyak sekali kasus kekerasan seksual mati sebagai salah satu hukum pokok
hanya berakhir dengan resolusi damai, terakhir yang bisa dijatuhi kepada
dan menyisakan permasalahan baru pelaku-pelaku kejahatan tertentu yang
berupa traumatic psikis yang tak diatur dalam KUHP maupun peraturan
terselesaikan bagi korban. Bahkan perundang-undangan khusus lainnya, hal
banyak sekali kasus yang memenangkan ini tak terlepas dari peraturan peralihan
pelaku atas gugatan yang dijatuhkan terhadap undang-undang dizaman
kepada dirinya, hal tersebut tak semata belanda dahulu, dimana Kitab Undang-
dikarenakan kurangnya barang bukti Undang Hukum Pidana atau lebih
yang bisa dijadikan pegangan oleh dikenal sebagai Wetboek van Strafrecht
korban, dan pengaturan regulasi atas menjadi aturan peralihan yang
kejahatan seksual yang tidak terperinci diterapkan di Indonesia pasca
dan berakhir tidak bisa melindungi kemerdekaan.
korban dalam penegakannya. Namun tentu keberadaan putusan
Indonesia sendiri mengenal mati di Indonesia bukan tanpa pro dan
jenis-jenis pidana berupa pidana pokok kontra. Meskipun secara eksplisit
dan pidana tambahan. Dalam pidana terdapat didalam Peraturan Perundang-
pokok yang terpatri dalam KUHP, Undangan, dan berlaku sebagai hukum
hukuman mati termasuk kedalam pidana positif di Indonesia, sejatinya
pokok. Namun penetapakan hukuman keberadaan putusan mati ini
mati di Indonesia tidak bisa dilakukan bertentangan terhadap keberadaan Hak
semudah itu, hanya kasus dengan daya Asasi Manusia, yang sama-sama
merusak kehidupan masyarakat yang tercantum didalam Peraturan Perundang-
tinggi, atau juga kejahatan-kejahatan Undangan Nasional, bahkan disebutkan
luar biasa (extra ordinary crime) yang khusus didalam Konstitusi.
mampu dijatuhi putusan mati.7 Secara prinsipal dasar, hak asasi
Eksistensi keberadaan pidana manusia (HAM) merupakan hak yang
mati juga bukan hal yang baru ada di hadir sebagai bentuk perwujudan atas
dalam perguliran kebijakan hukum eksistensi manusia sebagai sebuah
Nasional. Jika ditarik secara historis mahkluk yang diciptakan oleh Tuhan.
kebelakang, penerapan hukuman mati Hak hidup adalah hak dasar yang
telah jauh eksis bahkan lebih lama dari diemban dalam keberadaan pengakuan
keberadaan Indonesia sebagai negara terhadap HAM, dan pembunuhan
Republik. Beberapa kitab hukum pidana maupun hukuman mati adalah sebuah
yang belaku pada jaman raja-raja pelanggaran berat yang jelas
nusantara seperti Ciwasana atau bertentangan secara pasti dalam bentuk
Purwadhigama pada abad ke-10 di masa prinsip, dasar, dan penerapan HAM itu
Raja Dharmawangsa; Kitab sendiri.
Kutarawanawa yang diberlakukan di Sebagai sebuah instrument
abad ke-14 pada masa mahapatih Gadjah pemidanaan, maka hukuman mati tidak
Mada; atau Kitab Lontara’ ade’ yang bisa dilepaskan terhadap tujuan

7
Heriyono, “Pelaksanaan Hukuman Mati Dalam 8
Ibid., p. 81
Perspektif Hak Asasi Manusia”, Indonesian
Journal of Law and Policy Studies Vol. 1 No. 1
(1 Mei 2020) 83, diakses pada 16 April 2022

342
Dwi Yusuf Rafli, Heni Susanti: Tinjauan Sosiologis Terhadap Pelaku Kekerasan Seksual ..
Titian: Jurnal Ilmu Humaniora P-ISSN: 2615–3440
Vol. 06, No. 2, Desember 2022 https://online-journal.unja.ac.id/index.php/titian E-ISSN: 2597–7229

pemidanaannya. Didalam perguliran Berdasarkan uraian yang telah


tindak pidana pemerkosaan sebagai dideskirpsikan diatas, maka perguliran
bagian dari kekerasan seksual, putusan hukuman mati masih menjadi pro-kontra
ini adalah hal yang baru dan sebelumnya diberbagai kalangan, terutama terkait
belum pernah dilaksanakan. Namun, putusan terbaru kepada pelaku
masih menjadi pertanyaan sebenarnya pemerkosaan atas nama Herry Wirawan
keberadaan hukuman mati alias Heri Bin Dede seorang guru kepada
sesungguhnya dibutuhkan dalam santriwatinya yang naik ke permukaan
perguliran kebijakan hukum demi publik di akhir tahun 2021 yang lalu.
terciptanya ketertiban sosial dan daya Berkaitan akan permasalahan tersebut,
jera oleh para calon pelaku dimasa yang maka dengan ini penulis berusaha untuk
akan datang. Meski secara sah menganalisis secara ringkas melalui
keberadaanya ada dalam peraturan pendekatran normatif atas judul karya
perundang-undangan yang berarti tulis ilmiah ini yaitu “Hukuman Mati
penggunaannya sah sebagai bentuk Terhadap Pelaku Kekerasan Seksual
hukuman pokok luar biasa terhadap para Ditinjau Dari Perspektif Hak Asasi
pelaku, dilain sisi keberadaanya juga Manusia terhadap Studi Kasus Perkara
bertentangan dengan pemaknaan Pidana Nomor 989/PID.SUS/2021/PN
terhadap isi Konstitusi dalam pasal 28A BDG” sebagai bentuk perhatian akan
tentang Hak Asasi Manusia, serta konsep fenomena dan isu kekerasan seksual dan
Peri Kemanusiaan yang diusung bangsa kebijakan hukum yang terjadi dalam
kita. perguliran kasus terbaru ini. Sehingga
Terbaru, dalam Undang-Undang nantinya dapat dibedah lebih mendalam
Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang mengenai pandangan hukum serta Hak
disahkan oleh DPR RI pada tanggal 12 Asasi Manusia dalam perguliran
April 2022 yang lalu, tidak ditemui permasalahan kekerasan seksual,
mengenai klausul pemerkosaan dan terutama tindak pemerkosaan terhadap
Aborsi sebagai bagian dari tindak banyak korban yang dianggap sebagai
kekerasan seksual yang diatur tindak kekerasan luar biasa.
pemidanaan atasnya. DPR beralasan, Berdasarkan latar belakang yang
keberadaan klausul tersebut nantinya telah penulis uraikan pada latar belakang
akan dibahas lebih rinci didalam revisi tersebut, maka rumusan masalah dalam
KUHP yang sayangnya hingga saat ini penilitan ini adalah Bagaimana aturan
masih belum menemukan titik terang hukuman mati terhadap pelaku
kapan pengesahannya. kekerasan seksual ditinjau dari
Kebingungan yang dihasilkan perspektif hak asasi manusia. Tujuan
oleh keberadaan UU TPKS yang dinilai penulisan ini adalah untuk mengetahui
masih rumpang isinya dan menjadi tanda dan memahami sistimatikan aturan
tanya oleh masyarakat. Terutama akan hukum mati terhadap pelaku kekerasan
keberadaan tindak pemerkosaan dan sksual ditinjau dari perspektif hak asasi
aborsi yang juga tidak digolongkan manusia. Teori-teori hukum dan
sebagai satu kejahatan khusus dalam 9 pendapat-pendapat sarjana melalui
rumusan tindak pidana kekerasan literatur yang dipakai. Bahan hukum
seksual pada bab II pasal 4 ayat (1).9 tersier, yaitu bahan-bahan yang
memberikan petunjuk maupun

9
Pasal 4 ayat (1) Rancangan Undang-Undang
Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

343
Dwi Yusuf Rafli, Heni Susanti: Tinjauan Sosiologis Terhadap Pelaku Kekerasan Seksual ..
Titian: Jurnal Ilmu Humaniora P-ISSN: 2615–3440
Vol. 06, No. 2, Desember 2022 https://online-journal.unja.ac.id/index.php/titian E-ISSN: 2597–7229

penjelasan terhadap bahan-bahan hukum Perkosaan; KUHP Pasal 10 tentang


primer dan sekunder, misalnya Kamus Pidana; RUU Tindak Pidana Kekerasan
Hukum Soesilo Prajogo, Ensiklopedia Seksual; UU No. 5 tahun 1969 tentang
dan sebagainya. Pelaksanaan Pidana Mati yang
Dijatuhkan Pengadilan dalam
METODE Lingkungan Peradilan Umum dan
Metode yang digunakan dalam Militer. Bahan hukum sekunder, yaitu
penulisan karya ilmiah ini adalah kajian bahan hukum memberikan penjelasan
normatif yang terfokus kepada norma mengenai bahan hukum primer yang
hukum positif yang mengatur tentang terkait dengan penelitian yang di
kekerasan seksual. Sementara itu, bahan lakukan, diantaranya :
sekunder yang penulis gunakan Pengumpulan data yang berupa
berdasarkan fakta dan fenomena yang data sekunder meliputi peraturan
terjadi di masyarakat, prinsip dan asas perudang-undangan, buku atau literatur
hukum, kamus hukum dan kamus besar lain yang berkaitan dengan judul yang
Bahasa Indonesia, pendapat para ahli diperoleh penulis dari berbagai
hukum yang meliputi dosen hingga yang perpustakaan dan searching di internet
bersumber dari buku-buku, jurnal-jurnal, terkait tindak pidana kekerasan seksual.
hingga skripsi. Studi kepustakaan ini Kemudian data itu disusun secara teratur
mempelajari bahan hukum primer dan dan berurutan sesuai dengan
sekunder dengan dibimbing oleh Dosen permasalahan.
Hukum Pidana Fakultas Hukum Editing ini dilakukan terhadap
Universitas Islam Riau. Metodologi data awal atau data yang belum diolah.
yang digunakan dalam penelitian ini Hal ini bertujuan untuk mendeteksi
adalah penelitian normatif. Melalui kesalahan-kesalahan dan kekurangan-
kegiatan-kegiatan studi dokumentasi dan kekurangan serta memperbaikinya untuk
kepustakaan, wawancara mendalam memperoleh data berkualitas.
serta mengkaji informasi perkembangan Pengolahan data adalah kegiatan
regulasi, dan perkembangan terhadap merapikan data hasil pengumpulan data
Kasus Perkara Pidana Nomor di lapangan sehingga siap pakai untuk
989/Pid.Sus/2021/PN BDG dianalisis, Dalam penelitian ini setelah
Data yang diperoleh dalam data yang diperlukan berhasil diperoleh,
penelitian ini berasal dari penelitian maka penulis melakukan pengolahan
kepustakaan (library research). Di dalam terhadap data tersebut. Dengan cara
penelitian kepustakaan data yang editing yaitu dengan cara meneliti
diperoleh adalah data sekunder yakni kembali terhadap catatan-catatan,
data yang sudah terolah atau tersusun. berkas-berkas, informasi dikumpulkan
Data sekunder mencakup dokumen- oleh para pencari data yang diharapkan
dokumen resmi, hasil-hasil penelitian akan dapat meningkatkan mutu
yang berwujud laporan dan buku-buku kehandalan (reliabilitas) data yang
yang relevan dengan penelitian ini. hendak di analisis
Data sekunder ini diperoleh dari Analisa data sebagai tindak lanjut proses
bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan pengolahan data, untuk dapat
hukum yang mengikat yang terdiri atas : memecahkan dan menguraikan masalah
UUD NRI 1945 Pasal 28A dan 28I; UU yang akan diteliti berdasarkan bahan
No. 39/1999 Tentang Hak Asasi hukum yang diperoleh, maka diperlukan
Manusia Pasal 4; UU No 31/2014 Pasal adanya teknik analisa bahan hukum.
5 dan 6; KUHP Pasal 285 Tentang Data yang diperoleh dari penelitian

344
Dwi Yusuf Rafli, Heni Susanti: Tinjauan Sosiologis Terhadap Pelaku Kekerasan Seksual ..
Titian: Jurnal Ilmu Humaniora P-ISSN: 2615–3440
Vol. 06, No. 2, Desember 2022 https://online-journal.unja.ac.id/index.php/titian E-ISSN: 2597–7229

kemudian dianalisis dengan dilakukan terhadap kasus kejahatan


menggunakan metode deskriptif. khusus (extra ordinary crimes).
Metode ini dilakukan dengan cara Penerapanm pidana mati sebagai sebuah
pengumpulan data-data berupa peraturan instrument pemidanaan akan sangat
perundang-undangan yang berlaku serta berkaitan dengan tujuan dari
pemikiran dan teori-teori yang pemidanaan itu sendiri. Dalam berbagai
digunakan oleh para ahli hukum. perkspektif tujuan pidana dalam hal ini
Kemudian data tersebut dianalisis secara hukuman mati bisa dimaknai berbeda
kualitatif, yaitu data yang didapat oleh masing-masing ahli hukum.
digambarkan dengan kata-kata Salah satu teori yang paling
berdasarkan teori-teori yang relevan popular mengenai paham akan tujuan
untuk menjawab permasalahan terkait pemidanaan adalah menurut Immanuel
tindak pidana kekerasan seksual. Analisa Kant. Menurut pandangannya, tujuan
data sebagai tindak lanjut proses dari pemidanaan adalah guna
pengolahan data, untuk dapat memberikan balasan atas perilaku yang
memecahkan dan menguraikan masalah diperbuat oleh sipelaku, sehingga teori
yang akan diteliti berdasarkan bahan ini dikenal juga dengan istilah Teori
hukum yang diperoleh, maka diperlukan Pembalasan (Vergelding Theorie).
adanya teknik analisa bahan hukum. Dalam pemahaman teori ini, hukum
Setelah didapatkan data-data yang memposisikan diri sebagai alat yang
diperlukan, maka peneliti melakukan memberikan perilaku atas padanan
analisis secara kualitatif yakni dengan setimpal kepala pelaku yang berbuat11.
melakukan penilaian terhadap data-data Namun terdapat juga teori lain yang juga
yang didapatkan di lapangan dengan memberikan pandangan atas sebab
bantuan literatur-literatur atau bahan- pemberian pemidanaan, dan biasanya
bahan terkait dengan penelitian, disebut dengan Teori Mempertakutkan
kemudian ditarik kesimpulan yang (Afchiriking Theori) dan dipopulerkan
dijabarkan dalam penulisan deskriptif. oleh Feurbach, dimana jika kita hubung
Metode penarikan kesimpulan yang kaitkan dengan penerapan hukuman
digunakan adalah metode Induktif Yaitu mati, maka eksistensinya adalah
menarik kesimpulan dari hal yang memberikan efek jera kepada
bersifat Khusus kepada hal yang bersifat masyarakat bahkan sebelum kejadian
umum. pidana itu terjadi. Pada kesempatan yang
lain, para ahli hukum memberikan
HASIL DAN PEMBAHASAN paparan akan tujuan pemidanaan adalah
Pengaturan Hukuman Mati Bagi sebagai sebuah perbaikan, guna
Pelaku Tindak Pidana Kekerasan memperbaiki keadaan yang ditimbulkan
Seksual Ditinjau dari Perspektif Hak dari dampak suatu Tindakan pidana yang
Asasi Manusia terjadi.
Hukuman mati merupakan salah Ketiga perspektif ini tidaklah
satu putusan pidana yang termasuk salah, satu sama lain memandang suatu
kedalam bentuk hukuman pidana pokok tujuan pemidanaan melalui cara yang
dalam KUHP.10 Penerapan hukuman berbeda, namun dengan suatu orientasi
mati merupakan salah satu bentuk yang sama, yaitu untuk menegakkan
penerapan hukuman pidana yang keadilan.

10
Pasal 10 “Kitab Undang-Undang Hukum 11
Marlina, Hukum Penitensier, Refika Aditama,
Pidana” Bandung, 2011, hlm.70

345
Dwi Yusuf Rafli, Heni Susanti: Tinjauan Sosiologis Terhadap Pelaku Kekerasan Seksual ..
Titian: Jurnal Ilmu Humaniora P-ISSN: 2615–3440
Vol. 06, No. 2, Desember 2022 https://online-journal.unja.ac.id/index.php/titian E-ISSN: 2597–7229

Indonesia sebagai salah satu terhadap penjatuhan hukuman mati di


negara yang masih menganut penerapan Indonesia. Beliau berpendapat bahwa
sistim hukuman mati menjelaskan pidana mati merupakan senjata
didalam Pasal 10 KUHP mengenai pamungkas atau akhir dalam keadilan.12
pidana, dimana hukuman mati menjadi Berbeda dengan narasi sebelumnya, Siti
salah satu pidana pokok di Indonesia. Musdah Mulia, dosen pasca sarjana
Tercatat selain pasal-pasal dalam KUHP Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
yang mengancam para pelakunya atas Hidayatullah menganggap keberadaan
hukuman mati, ada 11 peraturan lain hukuman mati harus dihapuskan karena
dalam undang-undang yang juga masih bertentangan dengan semua inti ajaran
mencantumkan hukuman mati sebagai keagamaan di Indonesia, serta
ancamannya, yaitu ; UU Narkotika, UU bertentangan dengan nilai demokrasi dan
Anti korupsi, UU Anti Terorisme, dan tentunya Hak Asasi Manusia.13
UU Pengadilan HAM Namun dalam kehidupa modern
Dalam pelaksanaannya, sekarang ini, banyak sekali kalangan
hukuman mati tidak dapat dilakukan baik dalam pergerakan Nasional maupun
secara sembarangan. Terdapat aturan- Internasional yang menentang akan
aturan yang harus dipenuhi dalam syarat keberadaan hukuman mati sebagai suatu
melakukan hukuman mati terhadap bentuk pemidanaan atau suatu tindakan
terdakwa yang tercatat didalam UU pidana. Hal tersebut tentu bergerak
PNPS No. 2 tahun 1964 yang telah melalui paham Hak Asasi Manusia yang
ditetapkan menjadi Undang-Undang No, mulai berkembang dan dimaknai oleh
5 tahun 1969 tentang Tata Cara banyak orang sebagai sebuah asas
Pelaksanaan Pidana Mati yang fundamental yang penting bagi
dijatuhkan oleh Pengadilan di keberadaan manusia. Hak Asasi Manusia
Lingkungan Peradilan Umum dan diartikan sebagai sebagai sebuah
Militer. Secara terperinci, undang- seperangkat hak dasar, yang melekat
undang ini juga membahas didalamnya pada hakikat keberadaan manusia
mengenai proses pelaksanaan hukuman sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang
mati, mulai dari persiapan, prosesi, dan Maha Esa. 14
pasca pelaksanaan terjadi. Sama halnya dengan keberadaan
Hal-hal diatas sejatinya telah putusan pidana, regulasi tentang HAM
menerangkan eksistensi keberadaan juga diakui keberadaannya dalam
hukuman pidana mati di Indonesia. peraturan perundang-undangan Nasional
Meski begitu, keberadaannya tetap kita. Bahkan terlebih lagi,
menuai pro-kontra dalam penerapan dan keberadaannya tertulis khusus dalam
keberadaannya dalam peraturan Pasal 28 UUD 1945. Dalam rumusan
perundang-undangan nasional. Santoso Bab XA tentang Hak Asasi Manusia
Poedkosoebroto, selaku mantan wakil tersebut, dijelaskan mengenai
ketua Mahkamah Agung, secara pengakuan Nasional Negara Indonsia
gamblang memberikan dukungan dalam keberadaan HAM sebagai sebuah

12
Santoso Poejosoebroto, Dikutip dalam Bentuk Pelecehan terhadap Tuhan,
1984, Studi tentang Pendapat-pendapat Bertentangan dengan HAM hingga Tidak
mengenai Efek tivitas Pidana Mati di Bersifat Mutlak dalam Syariat Islam,
Indonesia Dewasa Ini, Jakarta : Ghalia http://www.hukum.online.com, diakses pada 16
Indonesia, hlm. 57. April 2022
13 14
RFQ, Ini Alasan Hukuman Mati Mesti Pasal 1 ayat (1), Undang-Undang Nomor 39
Dihapus dari Huk um Positif –Mulai dari Tahun 1999, Tentang Hak Asasi Manusia,

346
Dwi Yusuf Rafli, Heni Susanti: Tinjauan Sosiologis Terhadap Pelaku Kekerasan Seksual ..
Titian: Jurnal Ilmu Humaniora P-ISSN: 2615–3440
Vol. 06, No. 2, Desember 2022 https://online-journal.unja.ac.id/index.php/titian E-ISSN: 2597–7229

hak yang patut dilindungi dan juga Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai
dihormati keberadaannya. Sejalan dasaran dalam isinya, sehingga memberi
dengan keberadaannya dalam konstitusi, pemaknaan bahwa Negara Indonesia
terdapat pula Undang-Undang Nomor 39 belandaskan Pancasila, yang didalamnya
tahun 1999 yang secara rinci membahas terdapat asas Ketuhanan Yang Maha
mengenai perlindungan HAM. Esa, sehingga dalam setiap sendi
Di dalam HAM, teradapat hak pergerakan dan kebijakan yang terjadi,
fundamental yang menjadi dasaran haruslah merujuk kepada konsepsi
keberadaan hak-hak lainnya, yaitu Hak ketuhanan.
untuk Hidup. Hak untuk Hidup Hal ini memberikan kontradiksi
berdasarkan pasal 9 UU Nomor 39 tahun antara keberadaan putusan mati terhadap
1999, mengandung makna bahwa setiap eksistensi pengakuan Hak Asasi
orang berhak untuk hidup, Manusia. Jika membandingkan secara
mempertahankan hidup, dan hirarkis, maka dapat dikatakan HAM
meningkatkan taraf kehidupannya.15 berada jauh diatas keberadaan hukuman
Konsepsi keberadaan Hak Hidup sebagai mati sebagai bentuk pemidanan, yang
hak dasar pada manusia erat kaitannya mana hanya tercantum didalam Undang-
dengan keberadaan konsepsi Ketuhanan Undang maupun KUHP, berbanding
sebagai sosok yang memberikan HAM yang terdapat di konstitusi serta
kehidupan. merupakan implementasi dari dasar
Paham bahwa Tuhanlah yang ideologi negara Pancasila.
mempunyai kuasa atau pemberikan Mengaitkan dalam kasus
kehidupan dan kelahiran pada manusia, kekerasan seksual berupa tindak
menyelaraskan paham lanjutan bahwa pemerkosaan yang dilakukan oleh Herry
kematian dari seorang manusia juga Wirawan kepada para santriwatinya
merupakan kewenangan multak dari yang berjumlah 13 orang hingga
Tuhan. Berarti tak ada seorangpun yang menyebabkan kehamilan dan melahirkan
berhak ataupun berwenang untuk 9 orang anak diantaranya, hakim
menentukan hidup matinya seorang pengadilan tinggi memutuskan
individu. penetapan hukuman mati kepadanya
Sejalan dengan keberadaan Ham, setelah sebelumnya mengajukan banding
disini ditemukan hubungan antara HAM atas hukuman penjara seumur hidup
dan kepercayaan akan konsepsi yang diberikan oleh pengadilan negeri.
Ketuhanan. Indonesia sendiri merupakan Hal ini membuat kasus kejahatan seksual
negara yang secara eksplisit, pasti, dan yang dilakukan oleh Herry ini sebagai
sadar mengakui akan keberadaan kasus pertama dalam sejarah peradilan
Ketuhanan, meskipun bukan Negara Indonesia terkait penetapan hukuman
Agama, tapi Indonesia adalah Negara pidana mati kepada terpidana kasus
yang mengakui dan mewajibkan kekerasa seksual.
Keagamaan bagi setiap warga Jika mencoba untuk melihat
negaranya. Pasal 29 UUD 1945 dalam perspektif korban, maka kejahatan
menuliskan bahwa Negara Indonesia yang dilakukan oleh Herry benar adanya
adalah negara yang berdasar atas sebuah kejahatan luar biasa yang tidak
Ketuhanan Yang Maha Esa.16 Ideologi berhati nurani, apalagi jika dibandingkan
Pancasila juga memberikan rumusan terhadap pekerjaan dan ruang lingkup

15 16
Pasal 9 ayat (1), Ibid. Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia tahun 1945

347
Dwi Yusuf Rafli, Heni Susanti: Tinjauan Sosiologis Terhadap Pelaku Kekerasan Seksual ..
Titian: Jurnal Ilmu Humaniora P-ISSN: 2615–3440
Vol. 06, No. 2, Desember 2022 https://online-journal.unja.ac.id/index.php/titian E-ISSN: 2597–7229

dirinya yang merupakan seorang tokoh hak untuk bebas dan berkebebasan. Jika
agama, guru, sekaligus pemiliki pondok berpijakan terhadap ini, maka sejatinya
pesantren. Sebagian besar kalangan pemberian hukuman seumur hidup
merasa putusan seumur hidup yang terhadap terpidana kekerasan seksual
dijatuhkan kepadanya tidaklah cukup sudahlah cukup dalam memenuhi
atas kerugian yang dia berikan, dan substansi yang diminta akan hukuman
penjatuhan hukuman mati adalah solusi mati. Manusia yang terjerat hukuman
paling benar dan tepat, semata atas seumur hidup adalah selayaknya orang
penegakan keadilan yang harus yang telah direnggut kehidupannya,
dipertanggung jawabkan olehnya. dimana alasan dan kebebasan sudah
Namun jika berkaca terhadap tidak lagi menjadi miliknya, dan
pembelaan terdakwa yang tercantum kehidupannya hanyalah untuk
dalam Surat Putusan pengadilan, poin menunggu ajal menjemput sesuai
penentangan terhadap Hak Asasi kewenangan Tuhan Yang Maha Esa.
Manusia terutama hak untuk hidup Serta suatu hukum akan pemidanaan
memang benar adanya. Pemberian bukanlah semata-mata hadir sebagai
hukuman mati terhadap Herry bukanlah resolusi utama dalam penegakan hukum.
sebuah bentuk keadilan yang Sebagai aturan yang baik, keberadaan
sesungguhnya, dan bukan pula sebuah Hukum harus mampu menjadi pencegah,
tindakan yang dapat mencegah dan memberi batasan dalam perilaku
keberadaan pelaku kekerasan dimasa manusia untuk dapat berbuat
yang akan datang. Jika kehadiran suatu kejahatan.17 Pemusnahan terhadap satu
pemidanaan adalah untuk memberikan orang atas perilakunya bukan berarti
rasa takut akan hal tersebut, maka dapat menjadikan hukum dalam negeri lebih
dipatahkan dengan mudah bahwa baik lagi, tapi juga perlu disadari perlu
pemberian hukuman mati tidaklah adanya tindakan preventif yang mampu
diadakan untuk konsumsi umum. Jelas diwujudkan, sehingga suatu hukum hadir
dalam Undang-undang Nomor 5 tahun sebagai pengiring kehidupan manusia,
1969 tentang Tata Cara Pelaksanaan dan bukanlah penentu nasib dari pada
Pidana Mati yang dijatuhkan oleh manusia.
Pengadilan di Lingkungan Peradilan
Umum dan Militer disebutkan bahwa SIMPULAN
Pelaksaan tehadap terdakwa hukuman Hukuman mati merupakan salah
mati dilakukan secara tertutup dan tidak satu bentuk pidana pokok yang ada di
diizinkan untuk menjadi konsumsi Indonesia. Keberadaan hukuman mati
publik, demikian berarti teori ketakutan sebagai pemidanaan terberat
yang diharapkan akan keberadaan dilaksanakan kepada para terpidana
hukuman mati tidak bisa sepenuhnya tindak kejahatan khusus (extra ordinary
direalisasikan kepada masyarakat. crimes). Meski begitu, dalam kehidupan
Jika melihat terhadap substansi sekarang ini keberadaan putusan
pokok dari hukuman mati, sesungguhnya hukuman mati menuai banyak sekali
keberadaanya adalah guna merebut hak pro-kontra dalam pergulirannya. Hal
dasar dari seorang manusia, yaitu hak tersebut dikarenakan adanya
untuk hidup, dimana hak untuk hidup pertentangan konsepsi dasar dalam
melahirkan hak-hak lainnya selayaknya keberadaan putusan hukuman mati

17
Marlina, Hukum Penitensier, Refika Aditama,
Bandung, 2011, hlm.59

348
Dwi Yusuf Rafli, Heni Susanti: Tinjauan Sosiologis Terhadap Pelaku Kekerasan Seksual ..
Titian: Jurnal Ilmu Humaniora P-ISSN: 2615–3440
Vol. 06, No. 2, Desember 2022 https://online-journal.unja.ac.id/index.php/titian E-ISSN: 2597–7229

terhadap keberadaan Hak Asasi Manusia pemenjaraan seumur hidup telah


dalam Peraturan Perundang-Undangan menghilangkan esensi hak untuk hidup
Nasional. Indonesia sendiri merupakan dan kebebasan dari seorang manusia,
negara yang mengakui keberadaan dimana kehidupannya sudahlah tidak
HAM, secarta eksplisit, jelas, dan sadar utuh lagi sebagai seorang individu, dan
mencantumkan HAM sebagai poin sudah cukup memberikan kejeraan bagi
khusus dalam konstitusi dan terdapat perilaku dan bahkan calon perilaku
pada BAB XA di Pasal 28 UUD 1945. dimasa yang akan datang.
Keberadaan HAM sendiri sebagai
penunjang kepastian hak hidup manusia DAFTAR PUSTAKA
juga merupakan perwujudan yang sesuai CNN Indonesia. (2022). “Kronologi
dan sejalan dengan konsepsi ketuhanan Herry wirawan Divonis Mati
dalam dasar negara kita Pancasila. Usai Terbukti Perkosa
Penjatuhan atas hukuman mati terhadap Santriwati”.
terpidana kasus tertentu jelas merupakan https://www.cnnindonesia.com/n
pencorengan atas HAM dan juga asional/20220404145739-12-
bertentangan dengan keberadaan 780056/kronologi-herry-
konsepsi ketuhanan itu sendiri. wirawan-divonis-mati-usai-
Dipahami bahwa HAM mengemban Hak terbukti-perkosa-santriwati,
untuk Hdiup sebagai fundamental dasar diakses 16 April 2022,
lahirnya keberadan hak lainnya dalam CNN Indonesia. (2022). “KPAI: 207
HAM, dan sebagai Hak yang hadir Anak Korban Pelecehan Seksual
dikarenakan kewenangan tuhan dan di Sekolah Sepanjang 2021”.
diberikan sedari lahir, maka keputusan https://www.cnnindonesia.com/n
akan pencabutan nyawa seseorang juga asional/20211228113738-20-
merupakan Hak yang hanya dimiliki 739496/kpai-207-anak-korban-
oleh tuhan pula, sehingga keberadaan pelecehan-seksual-di-sekolah-
putusan Hukuman Mati sudah tidak lagi sepanjang-2021, diakses 16 April
relevan dalam kehidupan masyarakat 2022.
modern, dan bukan solusi yang baik Heriyono. (2020). Pelaksanaan
dalam penegakkan hukum Nasional, Hukuman Mati Dalam Perspektif
terutama dalam pencegahan tindak Hak Asasi Manusia. Indonesian
kekerasan seksual. Journal of Law and Policy
Hukuman mati bukanlah Studies, 1(1).
Langkah terbaik sebagai bentuk http://dx.doi.org/10.31000/ijlp.v
pencegahan suatu Tindakan yang terjadi 1i1.2636
di masa depan. Pengambilan substansi Komisi Nasional Anti Kekerasan
akan penerapan hukuman mati dirasa Terhadap Perempuan. (2021).
bisa dilaksanakan tanpa harus Catatan Tahunan 2021:
menghilangkan nyawa dari seorang Perempuan Dalam Himpitan
manusia. Hal tersebut dapat dilakukan Pandemi: Lonjakan Kekerasan
dengan memahami konsep hukuman Seksual, Kekerasan Siber,
mati sebagai hukuman yang Perkawinan Anak, dan
menghilangkan hak fundamental dari Keterbatasan Penanganan di
manusia, yaitu hak untuk hidup. Maka, Tengah Covid-19. Jakarta:
sejatinya penerapan hukuman penjara Komnas Perempuan
seumur hidup sudahlah cukup untuk Peraturan Kementrian Pendidikan,
memenuhi substansi tersebut, dimana Kebudayaan, Riset, dan

349
Dwi Yusuf Rafli, Heni Susanti: Tinjauan Sosiologis Terhadap Pelaku Kekerasan Seksual ..
Titian: Jurnal Ilmu Humaniora P-ISSN: 2615–3440
Vol. 06, No. 2, Desember 2022 https://online-journal.unja.ac.id/index.php/titian E-ISSN: 2597–7229

Teknologi Republik Indonesia


Nomor 30 Tahun 2021
Pencegahan dan Penanganan
Kekerasan Seksual di
Lingkungan Perguruan Tinggi.
R. Soesilo. (1996). KUHP Serta
Komentar-Komentarnya
Lengkap Pasal demi Pasal,
Bogor: Politea
Rancangan Undang-Undang Tentang
Tindak Pidana Kekerasan
Seksual.
RFQ, Ini Alasan Hukuman Mati Mesti
Dihapus dari Huk um Positif –
Mulai dari Bentuk Pelecehan
terhadap Tuhan, Bertentangan
dengan HAM hingga Tidak
Bersifat Mutlak dalam Syariat
Islam,
http://www.hukum.online.com
Santoso Poejosoebroto. (1984). Studi
tentang Pendapat-pendapat
mengenai Efek tivitas Pidana
Mati di Indonesia Dewasa Ini,
Jakarta : Ghalia Indonesia
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999,
Tentang Hak Asasi Manusia.
Marlina. (2011). Hukum Penitensier.
Bandung: Refika Aditama.

350
Dwi Yusuf Rafli, Heni Susanti: Tinjauan Sosiologis Terhadap Pelaku Kekerasan Seksual ..

Anda mungkin juga menyukai