Anda di halaman 1dari 20

PERKAWINAN BEDA AGAMA

Disusun Oleh :
Putri Ayu Irdayanti (210101020)
Firzatul Nisra (210101057)

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SAMUDRA
2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan segala rahmat dan rizkinya
kepada kita semua dan tak lupa pula shalawat berangkaikan salam kepada junjungan kita
Nabi Muhammad SAW yang telah banyak mengajarkan kita kepada akhlakul karimah
serta ilmu pengetahuan.
Kami sangat bersyukur kehadirat allah karena atas izinnya lah kami dapat
menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “PERKAWINAN BEDA AGAMA” ,tak lupa
kami ucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak terutama dosen yang sudah
memberikan arahan dan bimbingan demi terselesaikannya tugas makalah ini.
Demikianlah tugas ini kami buat,kami mohon maaf sebesar-besarnya bila terdapat
kekurangan dan kesalahan disana sini.

i
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN...........................................................................................................1

LATAR BELAKANG .............................................................................................................1

RUMUSAN MASALAH .........................................................................................................3

TUJUAN .................................................................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN............................................................................................................4

2.1.Dasar Hukum .....................................................................................................................4

2.2.Literatur artikel review ......................................................................................................6

2.3.Syarat perkawinan Terjadinya perkawinan ........................................................................8

2.4.Perkawinan Beda Agama Ditinjau Dari Pandangan Agama di Indonesia ........................10

2.5.Kedudukan Hukum Anak yang lahir dari pasangan beda agama .....................................12

2.6.Keabsahan Perkawinan Beda Agama ...............................................................................13

BAB III PENUTUP .................................................................................................................14

3.1 Kesimpulan ......................................................................................................................14

3.2 Saran ................................................................................................................................15

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................16

ii
BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sah untuk membina rumah tangga
dan keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami istri memikul
amanah dan tanggung jawab. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974
tentang Perkawinan merumuskan: Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara
seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa. Umumnya setiap orang menginginkan pasangan hidup yang
seagama sehingga dapat membangun keluarga berdasarkan satu prinsip
danakan lebih mudah dalam membangun kesepahaman dalam hal tujuan
hidup ataupun mendidik agama bagi keturunannya.
Perkawinan sudah menjadi tradisi dan budaya yang sudah tak dapat lagi
dipisahkan dan dipengaruhi oleh pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, dan
keagamaan yang dianut masyarakat yang bersangkutan. Di Indonesia
perbedaan suku bangsa, budaya dan kewarganegaraan antara laki-laki dan
perempuan yang akan melangsungkan perkawinan bukanlah masalah. Hukum di
Indonesia tidak melarang perkawinan yang dilakukan antara laki-laki dan
perempuan yang berbeda suku bangsa, budaya, dan kewarganegaraan.
Hal ini sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia yang heterogen yang
terdiri dari bermacam macam suku dan adat istiadat. Karena banyaknya
perbedaan dan keragaman sering kali menimbulkan masalah yang sangat
komplek antara laki-laki dan perempuan yang berbeda agama mempunyai hasrat
untuk melangsungkan perkawinan beda agama. Pernikahan beda agama atau
perkawinan antar agama, dapat diartikan sebagai perkawinan dua insan yang
berbeda agama, kepercayaan atau paham (Slamaet Abidin ) Kompilasi Hukum
Islam mengatur masalah menyangkut perkawinan beda agama. Hal itu dapat

1
dijumpai dalam UU Perkawinan yaitu Pasal 40 dan Pasal 44 Bab VI tentang
larangan Perkawinan.
Pasal 40 UU Perkawinan berbunyi larangan melangsungkan perkawinan antara
seorang pria dan seorang wanita karena keadaan:
a) Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria
lain
b) Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain;
c) Seorang wanita yang tidak beragam Islam.

Kemudian Pasal 44 UU Perkawinan menjelaskan bahwa seorang wanita Islam


dilarang untuk melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak
beragama Islam. Dari kedua pasal tersebut dapat diketahui bahwa agama Islam
melarang secara tegas mengenai Perkawinan beda agama yang dilakukan oleh
seorang pria atau wanita muslim. Menurut agama kristen terkait
perkawinan campuran di sebutkan bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan
antara pria dan wanita dimana salah satu pihaknya adalah bukan non Katolik.
Dalam definisi tersebut ada perbedaan yang mana non Katolik (Kristen
Protestan)sedang non baptis (beragama lain), Paus Paulus menyatakan bahwa
perkawinan tersebut menimbulkan banyak permaslahan karena perbedaan iman dan
agama.Oleh karena itu sebisa mungkin umat Katolik menghindari perkawinan
campuran(Prihartana 2019).
Seperti contoh kasus yang akan dibahas dimakalah ini ialah Salah satu kasus
yaitu perkawinan Dedy Corbuzeir dan Kalina pada tahun 2005 Silam.Mengenai
keabsahan suatu perkawinan yang beda agama di Indonesia,kedudukan
perkawinan beda agama dalam sistem hukum di Indonesia adalah tidak sah.
Walaupun hukum Indonesia tidak mengsahkan yang Namanya pernikahan
beda agama, namun keduanya menggunakan Undang-Undang Perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974 dalam Pasal 2 ayat 1 mengungkapkan perkawinan
adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya yang berarti perkawinan hanya dapat dilangsungkan bila para

2
pihak (calon suami dan istri) menganut agama yang sama. Yang mana Deddy
Corbuzeir menjalankan tata cara nikah sesuai dengan agama Islam.
Keduanya menjalani pernikahan dengan dua cara. Pertama, akad nikah
dilakukan sesuai tata cara Islam, agama yang dianut Kalina. Pernikahan Deddy-
Kalina yang dilakukan secara Islam oleh penghulu pribadi yang dikenal sebagai
tokoh dari Yayasan Paramadina. Usai menikah secara Islam, Deddy dan Kalina
menikah secara negara,mencatatkan ya ke kantor catatan sipil

RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimanakah keabsahan perkawinan beda agama menurut UndangUndang
di Indonesia?
2. Bagaimana Kedudukan Hukum Anak yang lahir dari pasangan
bedaagama?
3. Bagaimana Perkawinan Beda Agama Ditinjau Dari Pandangan Agama
diIndonesia?
4. Mengetahui Keabsahan Perkawinan beda Agama?

TUJUAN
1. Mengetahui Syarat perkawinan beda agama menurut Undang Undang di Indonesia
2. Mengetahui Kedudukan Hukum Anak yang lahir dari pasangan beda agama
3. Mengetahui Perkawinan Beda Agama Ditinjau Dari Pandangan Agama di
Indonesia
4. Mengetahui Keabsahan Perkawinan beda agama

3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.Dasar Hukum

Pasal 1 Undang - undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan


(selanjutnya disebut UU Perkawinan), yang mengatur segala sesuatu berkaitan dengan
pelaksanaan perkawinan memberikan pengertian tentang perkawinan yaitu:
“Ikatan lahir batin antara pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”. Prinsipnya, Perkawinan dianggap mempunyai
hubungan yang erat sekali dengan agama atau kerohanian,sehingga perkawinan
bukan saja mengandung unsur lahir atau jasmani tetapi juga mempunyai peranan
yang sangat penting. Perkawinan sudah menjadi tradisi dan budaya yang sudah tak
dapat lagi dipisahkan dan dipengaruhi oleh pengetahuan, pengalaman, kepercayaan,
dan keagamaan yang dianut masyarakat yang bersangkutan.

Di Indonesia perbedaan suku bangsa, budaya dan kewarganegaraan antara


laki-laki dan perempuan yang akan melangsungkan perkawinan bukanlah masalah.
Hukum di Indonesia tidak melarang perkawinan yang dilakukan antara laki-laki dan
perempuan yang berbeda suku bangsa, budaya, dan kewarganegaraan. Hal ini
sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia yang heterogen yang terdiri dari
bermacam macam suku dan adat istiadat. Karena banyaknya perbedaan dan
keragaman sering kali menimbulkan masalah yang sangat komplek antara laki-laki
dan perempuan yang berbeda agama mempunyai hasrat untuk melangsungkan
perkawinan beda agama.

Peristiwa Perkawinan sebagaimana peristiwa hukum lainnya tidak terlepas


dari tiga elemen hukum yang saling berkaitan, tetapi ketiganya memiliki konsekuensi
atau akibat hukum yang tidak sama bobotnya, yaitu;

4
a) Hukum material (hukum materil yang merupakan substansi ketentuanhukm itu
sendiri), yaitu bahwa setiap pernikahan harus dilakukan sesuai dengan ketentuan
hukum dan perundang-undangan yang berlaku.
b) Hukum formal (hukum formil yang merupakan aturan proseduran darisuatu
tindakan hukum), yakni pernikahan harus dilakukan di hadapan instansi yang
bertugas dan mengawasi serta membantu pernikahan, dan
c) Hukum administrasi (yang merupakan tindakan-tindakan administrative untuk
menguatkan atau sebagai bukti atas terjadinya suatu perbuatan hukum), dalam hal
ini adalah pencatatan pernikahan kedalam buku akta nikah dan mengeluarkan
kutipan akta nikahnya untuk yang bersangkutan. Sesuai dengan Pasal 2 Ayat (2)
UU Perkawinan ( “Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk
beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak- pihak yang
bersangkutan.” )

Pengertian perkawinan tercantum dalam Pasal 1 UU Perkawinan diperincikan


sebagai berikut:

1) Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara pria dengan seorang wanita sebagai
suami istri;

2) Ikatan lahir batin itu ditunjukan untuk membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia, kekal dan sejahtera; dan

3) Ikatan lahir dan tujuan bahagia yang kekal itu berdasarkan ketuhanan yang
maha esa. Sedangkan Pasal 26 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata
memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan perdata saja). Konsep
hukum perdata barat, perkawinan itu dipandang dalam hubungan keperdataan saja
maksudnya undang-undang tidak ikut campur dalam keterkaitan dengan adat
istiadat atau agama, undang-undang hanya mengenal perkawinan yang
dilangsungkan dihadapan pegawai catatan sipil.

5
2.2.Literatur artikel review

Kami mengutip dari artikel Jane Marlen, Pada hakekatnya banyak


pasangan yang ingin hidup bersama namun tidak ada perkawinan karena
didasari dengan Agama atau kepercayaan yang berbeda. Ada juga pasangan yang
sudah hidup bersama atau “kumpul kebo” karena adanya suatu alas an yang
berpengaruh dalam ikatan hubungan mereka, yaitu berbeda Agama.

Kami mengutip dari Artikel Agus, Perkawinan adalah ikatan lahir batin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan bekal berdasarkan
ketuhanan Yang Maha Esa. Di dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-
Undang Nomor. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan, bahwa tidak ada
perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan yaitu,
sesuai dengan Undang Undang Dasar 1945. Pencatatan perkawinan
fungsinya hanyalah sekedar memenuhi kebutuhan administrasi. Mengenai status
hukum pencatatan ini dalam hubungannya dengan hukum Islam, akan diuraikan pada
bagian tersendiri di belakang. Bagaimana kedudukan perkawinan beda
agama yang dilangsungkan di luar negeri dalam sistem hukum di indonesia.

Kami mengutip dari Artikel Nurcahaya, Salah satu fenomena yang terjadi di
Indonesia adalah perkawinan beda agama. Perkawinan tersebut sebahagian
dilakukan secara terang-terangan dan sebahagian dilakukan sembunyi-
sembunyi. Islam melarang perkawinan beda agama berdasarkan firman
Allahsurat al-Baqarah ayat 221.

Kami mengutip dari artikel Ibu Erni Agustina selaku Dosen


UPNVJ.Hukum yang berlaku bagi semua warga negara Indonesia terhadap
perkawinan diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Peraturan
PemerintahNomor 9 Tahun 1975 merujuk kepada hukum masing-masing
agama dan kepercayaan para pemeluknya (Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1

6
Tahun 1974jo. Pasal 10 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1975). Dengan demikian, undang-undang tersebut merupakan suatu unifikasi yang
menghormati secara penuh terhadap adanya variasi berdasarkan agama dan
kepercayaan yang berketuhanan Yang Maha Esa, sehingga tidak ada
perkawinan di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu yang tidak
sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945 hasil amandemen.

Kami mengutip dari artikel Nur Asiah, dilihat dari Maqasid Asy
Syari’ah,secara relevansi keberadaan ahli kitab pada saat ini tidak sesuai teks nash
pada masa nabi dan dari aspek keburukan yang mendominasi dibanding
kebaikannya. Di dalam fatwa MUI dijelaskan bahwa menikah beda agama
hukumnya haram dan dalam hukum positif adanya pasal-pasal yang
melarang perkawinan campuran baik secara langsung ataupun tidak
langsung. Kesimpulan dari penelitian ini bahwa perkawinan beda agama menurut
Undang - Undang tidak sah melalui tinjauan Undang Undang Nomor 1 Tahun
1974 Tentang perkawinan,Kompilasi, Dan hukum islam.

Kami mengutip dari Artikel Anggreini Carolina Palandi, Keabsahan


perkawinan yang akan menimbulkan hak dan kewajiban antara suami isteri. Hak
isteri terhadap nafkah dan harta bersama sepenuhnya tergantung kepada ada
tidaknya perkawinan yang sah sebagai alas hukumnya, begitu pula dari
perkawinan yang sah akan melahirkan anak-anak yang sah. Hal ini karena anak yang
lahir dari perkawinan yang tidak sah hanya mempunyai hubungan hukum dengan
ibunya, sebagaimana diatur dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 menentukan bahwa; ”Anak yang dilahirkan di luar perkawinan
hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya, keluargaibunya”,
sehingga segala hak anak terhadap bapaknya akan hilang dan tidak diakui oleh
hukum.

7
Kami mengutip dari Artikel Shifa Khilwiyatul Muthi’ah, konsep perkawinan
beda agama ditinjau dari metode konten analisis dan untuk membaca
harmonisasi agama. Sedangkan fenomenologis untuk membaca perkawinan
beda agama di Kota Jember sebagai upaya harmonisasi agama. Artikel ini ingin
mengangkat konsep perkawinan beda agama sebagai harmonisasi umat
beragama.

2.3.Syarat perkawinan Terjadinya perkawinan

Suatu perkawinan yang sah, selain memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan
ayat (2), maka harus pula memenuhi syarat-syarat perkawinan, baik materil
maupun formil, yang oleh Undang-Undang. Syarat-syarat perkawinan yang
dimaksud adalah yaitu

 Syarat Materil (Menurut Undang-Undang Perkawinan)

1. Perkawinan harus dengan persetujuan kedua mempelai (Pasal 6 ayat (1) guna
menghindari terjadinya pemaksaan perkawinan
2. Bagi seorang telah diizinkan melakukan perkawinan pada usia 19 tahun
sedangkan wanita 16 tahun (Pasal 7 ayat (1)), kecuali jika
terdapat penyimpangan dapat dimintakan dispensasi kepada Pengadilan atau
pejabat lain yang ditunjuk (Pasal 7 ayat (2)). Bagi yang berusia belum
mencapai 21 tahun, sesuai ketentuan Pasal 6 ayat (1), harus mendapat
izin dari kedua orangtua (kecuali kalau salah seorang telah meninggal
dunia atau tidak mampu menyatakan kehendak, maka dapat diwakilkan
oleh orangtua yang masih ada) atau wali (jika kedua orangtuanya sudah tidak
ada).
3. Ketiadaan halangan perkawinan sesuai dengan ketentuan Pasal 8, yaitu
karena hubungan darah yang sangat dekat, hubungan semenda, hubungan

8
susuan, hubungan saudara dengan istri atau bibi atau kemenakan dari istri
(dalam hal poligami), hubungan yang oleh agamanya atau peraturan
lainyang berlaku terdapat suatu larangan. Seseorang yang masih
terkait perkawinan dengan orang lain, tidak dapat kawin lagi kecuali
karena izin pengadilan, sesuai Pasal 9.
4. Suami istri yang melakukan cerai untuk kedua kalinya, maka tidak boleh
ada perkawinan lagi sepanjang tidak ditentukan lain oleh hukum agama dan
kepercayaannya, sesuai dengan Pasal 10.
5. Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka
waktu tunggu, untuk dapat melangsungkan perkawinan baru, sesuai
ketentuan Pasal 11.

 Syarat formil

Syarat formil ini berkaitan dengan hal mengenai tata cara pelaksanaan
perkawinan (Pasal 12 Undang-Undang Perkawinan), yang diatur dalam Pasal 10
dan 11 Peraturan Pemerintah. Nomor 9 Tahun 1975. Pengaturan Perkawinan
Beda Agama Dalam Hukum Perkawinan Indonesia Walaupun terdapat
perbedaan, akan tetapi semuanya menurut materi yang sama dalam suatu
pengertian perkawinan. Materi muatan yang mengandung kesamaan tersebut
adalah dalam hal:

1. Subyeknya harus antara pria dan wanita,


2. Timbulnya suatu ikatan,
3. Dalam proses pengikatannya harus dilakukan sesuai dengan ketentuanatau
peraturan yang berlaku dalam setiap sistem hukum tersebut,sehingga
terdapat suatu pengakuan atas ikatan yang timbul.

Dalam penerapan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 juga tidak 10mengatur


adanya perkawinan beda agama, selanjutnya pada Pasal 2 ayat 1 disampaikan
bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing

9
agamanya dan kepercayaannya. Hal ini menunjukkan bahwa hukum agama
merupakan landasan filosofis dan landasan hukum yang merupakan persyaratan
mutlak dalam menentukan keabsahan perkawinan. Oleh karena itu dengan
mendasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun1974 tidak dimungkinkan adanya
perkawinan beda agama, karena pada masing-masing agama telah ada ketentuan
hukum yang mengikat kepada mereka dan mengandung perbedaan yang perinsip serta
tidak mungkin untuk dipersatukan.

2.4.Perkawinan Beda Agama Ditinjau Dari Pandangan Agama di Indonesia

Di Indonesia terdapat Agama yang diakui dan banyak dianut oleh


masyarakatnya, yaitu Islam, Kristen, Hindu, dan Budha.

1. Menurut Agama Kristen

Salah satu hal yang dianggap sebagai salah satu sendi dari agama Kristenadalah
hal monogami, yaitu ketentuan bahwa seorang laki-laki tidak diperbolehkan
mempunyai lebih dari seorang istri. Dan menurut agama Kristen/Nasrani
perkawinan adalah persekutuan hidup pria dan wanita yang monogami, yang
arahkan ke pembiakan sebagai tata ciptaan Tuhan, yang disucikan
Kristus.Menurut keyakinan Kristen Protestan, pernikahan itu mempunyai dua
aspek,yaitu merupakan soal sipil yang erat hubunganya dengan masyarakat
dan negara, karenanya negara berhak mengaturnya menurut undang-undang
negara. Kedua perkawinan adalah soal agama, yang yang harus tunduk kepada hukum
agama. Dengan demikian gereja Kristen Protestan berpendapat bahwa agar
perkawinan itu sah menurut hukum negara maupun hukum Tuhan, haruslah dilakukan
berdasarkan baik hukum agama maupun hukum negara.

2. Menurut Agama Hindu Hukum agama

Hindu memandang perkawinan sebagai salah satu dari banyak samskra,


sebagai suatu yang suci, yang diatur oleh dharma, dan harus tunduk pada dharma.

10
Karena itu perkawinan baru sah bila ia dilakukan menurut hukum agama dengan
melalui upacara sakramen yaitu wiwaha homa atauwiwaha samskara. Bila suatu
perkwinan tidak dilakukan menurut hukum agama,maka segala akibat hukum timbul
yang timbul dari perkawinan tersebut tidak diakui oleh agama. Dari ketentuan
tersebut dapat dipahami bahwa pada hakekatnya hukum agama Hindu juga tidak
mengenal adanya perkawinan antar agama.

3. Menurut Agama Budha

Perkawinan antar agama di mana salah seorang calon mempelai tidak


beragama Budha, menurut keputusan Sangha Agung Indonesia diperbolehkan,asal
pengesahan perkawinannya dilakukan menurut cara agama Budha. Dalam hal ini calon
mempelai yang tidak bergama Budha, tidak diharuskan untuk masuk agama Budha
terlebih dahulu. Akan tetapi dalam upacara ritual perkawinan,kedua mempelai
diwajibkan mengatakan “atas nama sang budha, dharma, dan sangka.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa agama Budha tidak melarang umatnya
untuk melakukan perkawinan dengan penganut agama lain. Akan tetapi untuk penganut
agama lainnya maka harus dilakukan menurut agama Budha.Kewajiban untuk
mengucapkan atas nama Sang Budha, Dharma dan Sangka, ini secara tidak langsung
berarti bahwa calon mempelai yang tidak beragama Budha menjadi penganut
agama Budha, walaupun sebenarnya ia hanya menundukkan diri pada kaidah
agama Budha pada saat perkawinan itu dilangsungkan.

4. Menurut Agama Islam

Bagi islam yang mengikuti aturan al quran surah al Baqarah ayat 221 yang berbunyi
“Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman.
Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik dari pada perempuan
musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang
(laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman.

11
Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik dari pada laki-laki
musyrik meskipun dia menarik hatimu. Mereka mengajak keneraka, sedangkan Allah
mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya.(Allah) menerangkan ayat-ayat-
Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran.”

Maka dapat disimpulkan bahwa menurut Islam dalam surah al Baqarah ayat 221
tersebut diartikan perkawinan beda agama disebut tidak sah.

2.5.Kedudukan Hukum Anak yang lahir dari pasangan beda agama

Mengenai kedudukan hukum anak yang lahir dari pasangan pernikahan beda
agama ini, kita merujuk pada ketentuan Pasal 42 UU Perkawinan yang
menyebutkan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau
sebagai akibat perkawinan yang sah. Jadi, anak yang dilahirkan dari perkawinan yang
sah yang dilakukan baik di Kantor Urusan Agama (untuk pasangan yang beragama
Islam) maupun Kantor Catatan Sipil (untuk pasangan yang beragama selain Islam),
maka kedudukan anak tersebut adalah anak yang sah di mata hukum dan memiliki
hak dan kewajiban anak dan orang tua seperti tertuang dalam Pasal 45 sampai
dengan Pasal 49 UU Perkawinan.

Selain itu, orang tua yang berbeda agama juga perlu memperhatikan
ketentuan Pasal 42 Undang-undang Nomor 17 tahun 2017 Tentang Perubahan Kedua
Undang-undnag Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang berbunyi: 1)
Setiap anak mendapat perlindungan untuk beribadah menurut agamanya; dan 2)
Sebelum anak dapat menentukan pilihannya, agama yang dipeluk anak mengikuti
agama orang tuanya. Di dalam penjelasan diatas diterangkan bahwa anak
dapat menentukan agama pilihannya apabila anak tersebut telah berakal dan
bertanggung jawab, serta memenuhi syarat dan tata cara sesuai dengan ketentuan
agama yang dipilihnya, dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

12
2.6.Keabsahan Perkawinan Beda Agama

Mengenai keabsahan suatu perkawinan yang beda agama di Indonesia,Kedudukan


perkawinan beda agama dalam sistem hukum di Indonesia adalah tidak sah.
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dalam Pasal 2 ayat 1
mengungkapkan perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agama dan kepercayaannya. Berarti perkawinan hanya dapat
dilangsungkan bila para pihak (calon suami danistri) menganut agama yang sama. Dari
perumusan Pasal 2 ayat 1 ini tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing dan
kepercayaannya itu.

13
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sah untuk membina rumah tangga
dan keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami istri memikul
amanah dan tanggung jawab. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974
tentang Perkawinan merumuskan: Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara
seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa. Syarat sahnya suatu perkawinan beda agama yaitu suatu perkawinan
yang beda agama di Indonesia, Kedudukan perkawinan beda agama dalam
sistem hukum di Indonesia adalah tidak sah. Undang-Undang Perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974 dalam Pasal 2 ayat 1 mengungkapkan perkawinan adalah
sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya. Berarti perkawinan hanya dapat dilangsungkan bila para pihak
(calon suami danistri) menganut agama yang sama. Dari perumusan Pasal 2 ayat 1
ini tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing dan kepercayaannya itu.

14
3.2 Saran
Saran yang bisa saya tampilkan ialah Undang Undang Perkawinan perlu
disempurnakan sebab ada kekosongan hukum tentang perkawinan beda agama.
Pentingnya penyempurnaan Undang- Undang tersebut disebabkan karena beberapa
hal yaitu, pertama, Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak
mengatur perkawinan beda agama, kedua, masyarakat Indonesia adalah
masyarakat plural yang menyebabkan perkawinan beda agama tidak
dapat dihindarkan, ketiga, persoalan agama adalah menyangkut hak asasi
seseorang,dan keempat, adanya kekosongan hukum dalam bidang perkawinan,dan
keempat,adanya kekosongan hukum dalam bidang perkawinan.

15
DAFTAR PUSTAKA

Agus, Analisis Atas Keabsahan Perkawinan Beda Agama Yang Di LangsungkanDi


Luar Negeri
Agustina Erni, “Akibat Hukum Hak Mewaris Anak Hasil Perkawinan Siri
BerbasisNilai Keadilan”
Asiah Nur “Kajian Hukum Terhadap Perkawinan Beda Agama Menurut Undang-
Undang Perkawinan Dan Hukum Islam” 2015
Cahaya Nur, Perkawinan Beda Agama Dalam Perspektif Hukum Islam
Carolina Anggreini, “Analisa Yuridis Perkawinan Beda Agama Di Indonesia
”https://www.jogloabang.com/pustaka/uu-1-1974-perkawinan,
Pasal 1 UUPerkawinanLaurensius Arliman (2017). “Perkawinan Antar Negara Di
Indonesia BerdasarkanHukum Perdata Internasional.” Jurnal Kertha Patrika 39
Marlen Jane, Akibat Hukum Dari Perkawinan Beda Agama Di Indonesia
Tarigan Lemata, Perkawinan Antar Agama Ditinjau dari Undang-
UndangPerkawinan No. 1/1974
Prawirohamidjojo Soetjo, Op. Cit. hlm.33-35
Rahmat Fauzi, 2018. “Perkawinan Campuran Dan Dampak
TerhadapKewarganegaraan Dan Status Anak Menurut Undang-Undang
DiIndonesia.” Soumatera Law Review 1(1)
.R. Rusli, 2010. Perkawinan Antar Agama Dan Masalahnya. Bandung:
ShantikaDharm
Syahrani Ridwan. 2013. “Seluk Beluk Dan Azas-Azas Hukum Perdata.” Bandung
binacipta

16
17

Anda mungkin juga menyukai