Anda di halaman 1dari 15

TUGAS MATA KULIAH HUKUM KENEGARAAN

PERIZINAN PENDIRIAN HOTEL YANG MEMPRIVATISASI


WILAYAH PESISIR PANTAI

Dosen Pengampu

Dr. Putu Lantika Oka Permadhi, S.H., M.H.

Oleh

Komang Agnes Manisa Chandra NPM. 2304742010144


Tuty Kuswardhani NPM. 2304742010146
I Made Wisnu Putra Wibawa NPM. 2304742010147
Ni Made Rani Annapoorni NPM. 2304742010148
Putu Bagus Redika Janasuta NPM. 2304742010158
I Made Gunawan Sindhu Nata NPM. 2304742010160
Ardia Marista Ayu Firdayana NPM. 2304742010162
Ni Putu Candra Dewi Pradnya Yasa NPM. 2304742010163
I Wayan Parwita NPM. 2304742010168

PROGRAM STUDI HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MAHASARASWATI DENPASAR
DENPASAR
2024
TUGAS MATA KULIAH HUKUM KENEGARAAN
PERIZINAN PENDIRIAN HOTEL YANG MEMPRIVATISASI
WILAYAH PESISIR PANTAI

A. PENDAHULUAN
Pantai, dengan keindahannya yang menakjubkan dan keberagaman aktivitas yang
ditawarkannya, telah lama menjadi tempat tujuan bagi para wisatawan yang mencari
ketenangan atau petualangan. Namun, di balik panorama indah yang ditampilkan oleh
industri pariwisata, ada cerita gelap tentang privatisasi sempadan pantai yang
mengancam hak dan kesejahteraan masyarakat lokal. Para pengusaha pariwisata sering
kali menggunakan alasan kenyamanan wisatawan untuk mendorong privatisasi
sempadan pantai. Mereka berpendapat bahwa dengan mengamankan area tersebut,
mereka dapat menciptakan lingkungan yang lebih teratur dan menarik bagi para
pengunjung. Namun, dalam praktiknya, privatisasi ini sering kali merugikan
masyarakat umum dan masyarakat lokal. Salah satu dampak yang paling dirasakan
adalah gangguan dalam kegiatan rekreasi dan ritual keagamaan masyarakat lokal.
Sempadan pantai yang dulunya menjadi tempat berkumpul dan merayakan kegiatan
bersama, kini mungkin terbatas atau bahkan tidak dapat diakses lagi oleh mereka yang
tinggal di sekitar pantai tersebut. Hal ini menghambat kebebasan masyarakat lokal
untuk menjalankan tradisi dan kegiatan budaya mereka. Tidak hanya itu, masyarakat
lokal juga sering mengalami perlakuan buruk atau kurang menyenangkan dari pihak
keamanan usaha pariwisata yang bertugas menjaga area tersebut. Mulai dari pelarangan
sederhana hingga pengusiran secara paksa, tindakan ini menimbulkan
ketidaknyamanan dan ketegangan antara masyarakat lokal dan pengelola pariwisata.1
Privatisasi sempadan pantai juga mengakibatkan pengurangan akses terhadap
sumber daya alam yang sebelumnya dapat dimanfaatkan secara bebas oleh masyarakat.
Aktivitas seperti memancing, mengumpulkan kerang, atau hanya sekadar menikmati
pemandangan laut menjadi terbatas atau bahkan dilarang sama sekali. Untuk mengatasi
masalah ini, perlu adanya keseimbangan antara kepentingan pariwisata dan hak-hak
masyarakat lokal. Pengelola pariwisata harus mengakui pentingnya mempertahankan

1
Condro, H. E., Budi, S. T., & Puji, H. (2018). Perubahan garis pantai dan pengaruhnya terhadap status
kepemilikan dan penguasaan tanah timbul di Muara Sungai Wulan tahun 1986-2016. Geo-Image Journal, 7(2),
131-140.
akses masyarakat lokal terhadap pantai dan memastikan bahwa kegiatan pariwisata
tidak mengganggu kehidupan sehari-hari mereka. Pemerintah juga perlu terlibat aktif
dalam menetapkan regulasi yang melindungi hak-hak masyarakat lokal dan mengawasi
praktik privatisasi yang berlebihan. Pantai adalah milik bersama dan warisan alam yang
harus dijaga dan dinikmati oleh semua orang. Privatisasi sempadan pantai yang tidak
memperhatikan hak dan kesejahteraan masyarakat lokal adalah langkah mundur dalam
upaya pelestarian lingkungan dan keberlanjutan pariwisata.2
Pulau Bali, dengan keindahan alamnya yang memukau dan kekayaan budayanya
yang mendalam, telah lama menjadi destinasi impian bagi wisatawan dari seluruh
dunia. Namun, di balik pesonanya, pulau ini menghadapi tantangan serius yang
mengancam keberadaan pantai sebagai areal publik. Praktik privatisasi yang semakin
marak terjadi di kawasan sempadan pantai telah melumpuhkan kegunaan dan fungsi
pantai sebagai ruang publik, merugikan tidak hanya nelayan tetapi juga masyarakat
Hindu dan anak-anak Bali. Salah satu dampak yang paling terasa adalah pada
perekonomian nelayan. Nelayan yang sebelumnya dapat dengan leluasa menambatkan
jungkung atau perahu di pinggir pantai, kini merasa terbatasi dalam aktivitas mereka.
Mereka juga mengalami kesulitan menurunkan hasil tangkapan mereka di pinggir
pantai karena pembatasan yang diberlakukan oleh pihak swasta yang menguasai lahan
pantai. Bahkan, transaksi perdagangan pun menjadi terbatas karena pembatasan akses
di pinggir pantai. Tidak hanya itu, masyarakat Hindu di Bali juga terdampak oleh
praktik privatisasi ini. Ritual Melasti, yang merupakan bagian penting dari persiapan
menjelang hari raya Nyepi, menjadi terhambat karena penutupan akses menuju pantai
oleh pengusaha pariwisata. Masyarakat lokal terpaksa mencari jalur alternatif atau
bahkan membuka jalur baru untuk melaksanakan ritual ini, mengorbankan kenyamanan
dan tradisi mereka karena arogansi pihak swasta yang menguasai lahan pantai. Anak-
anak Bali pun kehilangan hak mereka untuk menikmati pantai secara gratis dan bermain
dengan bebas. Pembatasan akses dan dominasi bisnis pariwisata telah mengurangi
ruang gerak mereka untuk menikmati keindahan alam dan bermain di pantai. Mereka
kehilangan tempat yang dulu menjadi arena kegiatan menyenangkan dan pembelajaran.
Pemerintah dan pihak berwenang harus segera mengambil tindakan untuk melindungi
keberadaan pantai sebagai ruang publik. Pengawasan ketat dan penegakan hukum yang

2
Dewi, I. G. S. (2012). Konflik status hukum tanah timbul di Wilayah Pesisir Provinsi Bali. Masalah-Masalah
Hukum, 41(4), 614-621.
tegas diperlukan untuk mengendalikan praktik privatisasi yang merugikan ini. Hanya
dengan memastikan akses yang adil dan berkelanjutan bagi semua pihak, kita dapat
memastikan bahwa pantai Bali tetap menjadi warisan alam yang dapat dinikmati oleh
generasi mendatang.
Sistem pariwisata melibatkan interaksi kompleks antara pemerintah, pengusaha,
dan masyarakat. Ketiganya memiliki kekuatan dan kemampuan untuk mengendalikan
aspek-aspek tertentu dalam industri pariwisata, serta memiliki tanggung jawab untuk
memastikan keberlanjutan dan keadilan dalam pemanfaatan sumber daya pariwisata.
Namun, di Provinsi Bali, praktik privatisasi sempadan pantai oleh pengusaha pariwisata
telah mengganggu keseimbangan ini. Sebagai pemegang kekuasaan penuh dalam
pengelolaan sempadan pantai sebagai ruang publik, pemerintah memiliki tanggung
jawab besar untuk memastikan bahwa pantai dapat dinikmati secara gratis oleh
masyarakat. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, praktik privatisasi yang marak
terjadi telah menimbulkan keprihatinan serius. Pengusaha pariwisata, dengan kekuatan
finansial dan politik mereka, telah mampu menguasai sebagian besar lahan di sepanjang
pantai, menyebabkan pembatasan akses dan penggunaan oleh masyarakat umum.
Untuk menekan praktik privatisasi yang merugikan ini, perlu adanya tinjauan yuridis
yang mendalam tentang pengaturan sempadan pantai di Provinsi Bali. Pengaturan yang
lebih ketat dan penegakan hukum yang tegas harus diterapkan untuk memastikan
bahwa hak-hak masyarakat untuk mengakses pantai tetap terlindungi. Pemerintah perlu
memegang kendali dalam mengatur dan mengawasi aktivitas pengusaha pariwisata,
serta memberlakukan sanksi bagi pelanggaran yang terjadi. Namun, kesuksesan upaya
ini juga bergantung pada kesadaran dan pemahaman masyarakat dan pemerintah
tentang pentingnya memanfaatkan ruang publik secara berkelanjutan. Pendidikan dan
advokasi harus dilakukan untuk meningkatkan kesadaran akan hak-hak masyarakat atas
pantai dan perlindungan lingkungan. Masyarakat juga perlu dilibatkan dalam proses
pengambilan keputusan terkait pengelolaan pantai, sehingga kepentingan mereka dapat
diwakili dengan baik oleh pemerintah.3

3
Wesna, P. A. S., Sujana, I. N., & Utama, I. W. K. J. (2023). Legalitas Penguasaan Tanah Pesisir Pantai oleh
Orang Asing Dalam Bisnis Kepariwisataan, Desa Adat Canggu, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten
Badung. Postgraduated Community Service Journal, 4(2), 70-78.
B. PEMBAHASAN
Indonesia memiliki sejarah panjang sebelum akhirnya menjadikan pariwisata
sebagai salah satu unggulan penggerak perekonomian negara. Dengan kekayaan
alamnya yang luar biasa, terutama dalam eksotisme pesisir dan bahari, Indonesia telah
mengandalkan sektor industri jasa pariwisata sebagai salah satu penghasilan utama
untuk pendapatan negara. Namun, perjalanan ini tidaklah singkat, dan perubahan
menuju status quo pariwisata sebagai industri utama tidak terjadi secara instan.
Sebelumnya, Indonesia mengandalkan komoditas seperti pertambangan dan migas
sebagai sumber pendapatan utama. Namun, kesadaran akan potensi pariwisata mulai
muncul, terutama dengan pengakuan akan kekayaan alamnya yang tak tertandingi.
Dengan 59 pulau yang memiliki potensi sebagai daya tarik wisata dan 13 pulau
unggulan pariwisata telah dimasuki oleh investor, Indonesia mulai melihat pariwisata
sebagai industri yang dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap pertumbuhan
ekonomi. Investasi besar-besaran yang mengalir ke sektor pariwisata menjadi bukti
konkret bahwa wilayah pesisir dan bahari di Indonesia memiliki nilai investasi yang
tinggi. Namun, perubahan dari mengandalkan komoditas pertambangan dan migas
menuju pariwisata tidak terjadi tanpa hambatan. Perubahan yang terlalu cepat sering
kali membuat pemerintah, pengusaha, dan masyarakat tidak siap untuk mengikuti ritme
perubahan tersebut.
Salah satu dampak dari ketidaksiapan ini adalah munculnya praktik privatisasi
sempadan pantai oleh pengusaha pariwisata. Bagi mereka, pariwisata bukan hanya
menjadi alat untuk menambah pundi-pundi kekayaan dalam waktu singkat, tetapi juga
sebagai investasi jangka panjang yang menjanjikan. Oleh karena itu, pengusaha
pariwisata berupaya semaksimal mungkin dalam pemanfaatan kawasan yang mereka
miliki, bahkan sampai pada pemanfaatan ruang publik yang seharusnya terbuka untuk
masyarakat umum. Tantangan ini menuntut adanya kesadaran yang lebih besar dari
pemerintah, pengusaha, dan masyarakat akan pentingnya mengelola pariwisata dengan
bijaksana dan berkelanjutan. Pariwisata harus dilihat sebagai sumber daya yang
berharga yang harus dilindungi dan dikelola dengan baik demi keberlanjutan
lingkungan dan kesejahteraan masyarakat lokal. Hanya dengan pendekatan yang
berkelanjutan, Indonesia dapat mengembangkan potensi pariwisatanya secara optimal
sambil memastikan bahwa kepentingan semua pihak terpenuhi.
Privatisasi, dalam arti umum, sering kali mengacu pada proses pengalihan
kepemilikan dari ranah publik menjadi ranah pribadi. Namun, ketika kita
membicarakan privatisasi sempadan pantai, kita menyentuh ranah yang lebih sensitif
karena mempengaruhi hak akses masyarakat umum dan masyarakat lokal terhadap area
publik yang penting. Privatisasi sempadan pantai merupakan pengambilalihan areal
publik berupa sempadan pantai oleh pihak swasta atau pengusaha pariwisata sebagai
areal privat, menyebabkan fungsi sempadan pantai yang semestinya dapat dinikmati
secara umum oleh masyarakat menjadi terbatas hanya untuk wisatawan. Praktik ini
sering kali terjadi di berbagai destinasi pariwisata, dengan Bali Selatan menjadi salah
satu yang paling mencolok. Bentuk privatisasi yang umum dilakukan oleh pengusaha
pariwisata adalah pengkaplingan lahan sempadan pantai. Pengusaha pariwisata
mendominasi dan menguasai sebagian besar area pantai, membatasi akses masyarakat
umum dan masyarakat lokal untuk menikmati keindahan alam yang seharusnya mereka
miliki sebagai hak publik. Akibatnya, fungsi sosial, budaya, dan lingkungan dari
sempadan pantai menjadi terganggu, dengan masyarakat lokal seringkali menjadi pihak
yang paling terdampak. 4
Selain itu, privatisasi sempadan pantai juga mengubah karakter pantai dari tempat
yang terbuka dan ramah masyarakat menjadi area yang eksklusif dan terbatas, hanya
untuk mereka yang mampu membayar. Hal ini menciptakan ketimpangan sosial dan
ekonomi dalam akses terhadap sumber daya alam yang seharusnya dimiliki bersama.
Untuk mengatasi masalah ini, penting bagi pemerintah dan otoritas terkait untuk
mengambil langkah-langkah yang tegas dalam mengatur penggunaan lahan sempadan
pantai. Perlu adanya kebijakan yang jelas dan penegakan hukum yang kuat untuk
mencegah praktik pengkaplingan lahan dan memastikan bahwa pantai tetap menjadi
milik bersama dan dapat dinikmati oleh semua orang. Privatisasi sempadan pantai harus
diperlakukan sebagai isu yang sangat serius, karena melibatkan hak-hak masyarakat
atas akses ke lingkungan alam yang penting. Hanya dengan mengambil tindakan yang
tepat, kita dapat memastikan bahwa keindahan pantai tetap dapat dinikmati secara
merata oleh semua pihak, tanpa terkecuali.5
Privatisasi pantai bukan lagi sekadar isu teoretis, tetapi merupakan kenyataan
yang dihadapi oleh banyak masyarakat di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Di

4
Kertiasih, N. W., Suwitra, I. M., & Sujana, I. N. (2020). Implementasi Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor
16 Tahun 2009 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dalam Penguasaan dan Pemanfaatan Wilayah
Pesisir. Jurnal Konstruksi Hukum, 1(2), 436-442.
5
Fathoni, M. Y., Sahrudin, S., & Adha, L. H. (2020). Tinjauan Hukum Pengaturan Penguasaan Dan Pemanfaatan
Tanah Sempadan Pantai Untuk Usaha Kuliner. JATISWARA, 35(1).
beberapa destinasi pariwisata, praktik privatisasi pantai mengambil bentuk nyata yang
mengancam akses dan kesejahteraan masyarakat lokal, terutama nelayan. Berikut
adalah beberapa bentuk privatisasi pantai yang dapat diamati: Di beberapa areal pantai,
terutama di Sanur, praktik privatisasi pantai dilakukan dengan cara memasang
pembatas berupa pelampung atau bendera yang membentang di sisi batas wilayah usaha
pariwisata. Hal ini mengakibatkan area tersebut tidak dapat digunakan oleh masyarakat
umum atau nelayan untuk keperluan rekreasi atau aktivitas ekonomi. Selain itu,
pemasangan fasilitas di atas air untuk wisatawan juga membuat area tersebut menjadi
terbatas dan tidak dapat diakses oleh masyarakat lokal. Di daerah Candi Dasa, salah
satu bentuk privatisasi pantai yang dilakukan adalah dengan memasang beton di areal
pantai yang terletak di depan view laut usaha pariwisata. Tindakan ini bertujuan untuk
menghalangi nelayan dalam menancabkan perahu atau bertransaksi jual beli hasil
tangkapan nelayan. Dampaknya, akses nelayan menjadi terbatas dan aktivitas ekonomi
mereka terganggu, mengancam kesejahteraan mereka secara keseluruhan.
Bentuk-bentuk nyata privatisasi pantai ini menunjukkan bahwa hak akses
masyarakat lokal terhadap pantai telah terancam oleh dominasi pengusaha pariwisata.
Selain itu, privatisasi pantai juga mengancam keberlangsungan ekonomi tradisional
seperti nelayan, yang bergantung pada akses terhadap pantai untuk mencari nafkah.
Untuk mengatasi masalah ini, perlunya campur tangan pemerintah dan otoritas terkait
dalam mengatur penggunaan lahan sempadan pantai. Penegakan hukum yang ketat
diperlukan untuk melindungi hak-hak masyarakat lokal dan mencegah praktik
privatisasi yang merugikan. Selain itu, perlu adanya kesadaran dan partisipasi aktif dari
masyarakat dalam memperjuangkan hak-hak mereka atas akses pantai yang adil dan
berkelanjutan.
Di tengah pesona alam Bali yang memikat, tersembunyi cerita kontroversial di
daerah Bukit Jimbaran, di mana akses menuju pantai telah dibatasi dan menjadikan
jalur tersebut sebagai akses privat bagi usaha pariwisata. Fenomena ini mencerminkan
tantangan yang dihadapi oleh masyarakat lokal dalam mempertahankan hak akses
terhadap lingkungan alam yang seharusnya terbuka untuk dinikmati oleh semua orang.
Penutupan akses tangga menuju pantai yang terletak di bawah tebing dan mengubah
jalur tersebut menjadi akses privat untuk usaha pariwisata menimbulkan berbagai
perdebatan. Sebelumnya, akses tangga ini adalah jalur umum yang digunakan oleh
masyarakat lokal dan wisatawan untuk mencapai pantai dan menikmati keindahan laut.
Namun, dengan penutupan tersebut, hanya wisatawan yang menggunakan fasilitas
tertentu yang diizinkan untuk mengakses pantai, sementara masyarakat lokal
kehilangan hak mereka untuk menikmati pantai dengan bebas. Penutupan akses tangga
menuju pantai juga berdampak pada keberlangsungan mata pencaharian masyarakat
lokal yang bergantung pada pariwisata. Masyarakat lokal yang biasa menjalankan
usaha kecil-kecilan di sekitar pantai menjadi terpinggirkan karena akses mereka
terhadap pelanggan terpotong. Ini menciptakan ketidaksetaraan ekonomi yang lebih
dalam di antara mereka . Privatisasi akses menuju pantai di daerah Bukit Jimbaran
mencerminkan konflik yang lebih besar antara kepentingan komersial dan kepentingan
publik dalam pengelolaan lingkungan alam. Hanya dengan kerja sama dan kesadaran
bersama, kita dapat memastikan bahwa hak akses terhadap lingkungan alam tetap
terjaga untuk generasi mendatang.6
Privatisasi sempadan pantai telah menjadi sumber trauma tersendiri bagi
masyarakat lokal, merenggut hak dan kebebasan mereka untuk memperoleh manfaat
dari sumber daya alam yang seharusnya menjadi milik bersama. Privatisasi ini bukan
sekadar perubahan dalam kepemilikan lahan, tetapi juga mengakibatkan perubahan
mendalam dalam kehidupan dan mata pencaharian masyarakat lokal. Masyarakat
adalah lapisan pertama yang merasakan dampak dari privatisasi sempadan pantai.
Mereka yang sebelumnya memiliki akses bebas ke pantai dan sumber daya alam di
sekitarnya, kini dihadapkan pada batasan-batasan yang diberlakukan oleh investor atau
pengusaha pariwisata. Masyarakat lokal dijadikan sebagai penonton dalam
perkembangan pariwisata, sementara keputusan dan kontrol sepenuhnya berada di
tangan para investor. Dampaknya, masyarakat lokal tidak mendapatkan manfaat secara
utuh dari perkembangan pariwisata. Ruang gerak mereka semakin dibatasi secara paksa
oleh investor, sehingga hak mereka untuk memanfaatkan sumber daya alam dan
mencari nafkah dari laut menjadi terancam. Khususnya di daerah pesisir, di mana
banyak masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari kekayaan laut, privatisasi
pantai telah menyebabkan mereka kehilangan akses menuju lapangan kerja dan sumber
penghasilan utama mereka.
Indonesia, sebagai negara kepulauan, memang dianugerahi dengan keindahan
garis pantai yang mempesona. Salah satu provinsi yang menawarkan pesona pantai
yang luar biasa adalah Provinsi Bali. Namun, akhir-akhir ini, pemanfaatan sempadan

6
Sundari, I. L. (2023). Status Penguasaan Tanah Sempadan Pantai oleh Masyarakat di Pesisir Pantai Ujong Blang
Lhokseumawe. Locus Journal of Academic Literature Review, 97-116.
pantai sebagai destinasi pariwisata telah menjadi sorotan utama, memicu kritik dari
LSM dan pemerhati lingkungan. Sempadan pantai memiliki arti penting sebagai
kawasan yang dilindungi oleh pemerintah pusat dan ditetapkan sebagai bagian dari
kawasan lindung nasional. Ini karena kawasan sempadan pantai merupakan salah satu
ekosistem yang paling rentan terhadap kerusakan, sementara memiliki peran penting
dalam menjaga keanekaragaman hayati laut dan perlindungan terhadap abrasi pantai.
Pemerintah memiliki kewenangan penuh terhadap pengaturan sempadan pantai di
sepanjang garis pantai di Indonesia, termasuk di Provinsi Bali. Sempadan pantai
termasuk dalam kategori kawasan perlindungan setempat, yang memerlukan
perlindungan ekstra dari aktivitas manusia yang dapat merusak lingkungan. Namun,
sayangnya, pemanfaatan sempadan pantai untuk kegiatan pariwisata seringkali tidak
memperhatikan prinsip-prinsip keberlanjutan lingkungan. Pembangunan infrastruktur
pariwisata yang besar-besaran sering kali menyebabkan kerusakan lingkungan,
termasuk degradasi habitat, pencemaran air laut, dan kerusakan terumbu karang. Oleh
karena itu, perlu langkah-langkah tegas dari pemerintah untuk mengatur pemanfaatan
sempadan pantai secara lebih bijaksana. Ini mencakup penegakan peraturan yang ketat
terhadap pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang, serta pengawasan
yang lebih ketat terhadap aktivitas pariwisata yang dapat merusak lingkungan. Selain
itu, perlu adanya kesadaran dan partisipasi aktif dari semua pihak terkait, termasuk
pengusaha pariwisata, dalam menjaga keberlanjutan lingkungan. Upaya konservasi dan
restorasi juga harus diprioritaskan untuk memulihkan ekosistem yang telah terganggu
akibat aktivitas manusia. Dengan langkah-langkah yang tepat, kita dapat memastikan
bahwa keindahan alam dan keanekaragaman hayati di sempadan pantai Bali tetap
terjaga untuk dinikmati oleh generasi mendatang. Perlindungan sempadan pantai tidak
hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga merupakan tanggung jawab
bersama kita semua untuk menjaga warisan alam yang berharga ini.
Sempadan pantai bukan hanya merupakan tempat rekreasi atau destinasi wisata,
tetapi juga merupakan bagian penting dari ekosistem yang harus dilindungi dengan
cermat. Untuk memastikan perlindungan yang efektif terhadap sempadan pantai,
pemerintah Indonesia telah mengeluarkan berbagai kebijakan yang tertuang dalam
peraturan perundang-undangan. Berikut adalah beberapa peraturan yang relevan dalam
konteks perlindungan sempadan pantai: Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang
Perubahan atas Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil: Undang-undang ini memberikan landasan hukum bagi
pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, termasuk pengaturan mengenai
perlindungan sempadan pantai. Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional: Peraturan ini menetapkan pedoman umum
dalam perencanaan tata ruang wilayah nasional, termasuk pengaturan mengenai
penggunaan sempadan pantai. Peraturan Presiden No. 51 Tahun 2016 tentang Batas
Sempadan Pantai: Peraturan ini menetapkan batas-batas sempadan pantai yang harus
dijaga dan dilindungi, serta memberikan arahan kepada pemerintah daerah dalam
menjaga kelestarian sempadan pantai. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 9/
PRT/M/2010 tentang Pedoman Pengamanan Pantai: Peraturan ini memberikan
pedoman teknis tentang cara pengamanan pantai yang efektif untuk melindungi
sempadan pantai dari kerusakan dan degradasi. Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 16
Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009-2029:
Peraturan ini menetapkan rencana tata ruang wilayah Provinsi Bali, termasuk
pengaturan mengenai penggunaan sempadan pantai di wilayah tersebut. Dengan
adanya peraturan-peraturan tersebut, pemerintah berkomitmen untuk melindungi
sempadan pantai sebagai bagian yang penting dari ekosistem pesisir. Langkah-langkah
hukum ini memberikan landasan yang kuat bagi pengelolaan yang berkelanjutan dan
penggunaan yang bijaksana atas sumber daya alam di sepanjang garis pantai Indonesia
7

Kekaburan norma ini memberikan kesempatan bagi para pengusaha pariwisata


untuk melanjutkan praktik privatisasi tanpa takut akan konsekuensi hukum yang serius.
Sampai saat ini, praktik privatisasi sempadan pantai terus berlanjut tanpa tindakan yang
tegas dari pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Pemerintah,
sebagai organ dari negara, memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga
keberlangsungan lingkungan, termasuk kawasan sempadan pantai yang rentan terhadap
aktivitas manusia. Salah satu kewenangan mutlak pemerintah adalah membuat
kebijakan, termasuk kebijakan hukum yang menghasilkan produk peraturan
perundang-undangan dan penerapan hukum dari peraturan tersebut. Kebijakan hukum
yang diterapkan oleh pemerintah menjadi instrumen penting dalam melindungi
kawasan sempadan pantai. Langkah-langkah ini termasuk dalam implementasi
kebijakan yang bertujuan untuk membatasi aktivitas pembangunan yang dapat merusak

7
Sanjiwani, P. K. (2016). Pengaturan hukum terhadap privatisasi sempadan pantai oleh pengusaha pariwisata di
provinsi bali. Jurnal Analisis Pariwisata, 16(1), 29-34.
lingkungan di sepanjang garis pantai. Pemerintah memiliki kewenangan mutlak untuk
mengatur kawasan yang berada di bawah wilayah kekuasaan Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Salah satu bentuk perwujudannya adalah melalui pengeluaran
kebijakan hukum yang secara tegas mengatur perlindungan kawasan sempadan pantai.
Implementasi kebijakan tersebut merupakan produk hukum yang mengikat dan harus
diterapkan secara konsisten dan adil oleh semua pihak terkait. Ini termasuk pengawasan
yang ketat terhadap aktivitas pembangunan di sepanjang garis pantai dan penegakan
hukum yang tegas terhadap pelanggaran yang terjadi.
Indonesia menganut sistem pemerintahan yang berdasarkan asas desentralisasi
dan penerapan otonomi daerah. Hal ini membutuhkan pembagian kewenangan antara
pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota.
Dalam konteks pengelolaan sempadan pantai, pemerintahan Indonesia telah membagi
urusan pemerintahan menjadi tiga kewenangan, di mana pemerintah memiliki
perpanjangan tangan dalam menjalankan kewenangan tersebut melalui pendelegasian
tugas kepada pemerintah daerah. Pembagian urusan pemerintahan tersebut meliputi:
Memiliki kewenangan dalam pengaturan kebijakan umum, termasuk pengaturan
hukum dan kebijakan strategis terkait pengelolaan lingkungan hidup, termasuk
sempadan pantai. Memiliki kewenangan penuh dalam pengelolaan sempadan pantai di
wilayah provinsi, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
Meskipun memiliki kewenangan yang lebih terbatas dibandingkan dengan pemerintah
provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota juga memiliki peran dalam pengelolaan
sempadan pantai di wilayahnya masing-masing.
Praktik privatisasi sempadan pantai di pesisir pantai telah menjadi perhatian
serius bagi Pemerintah Daerah Provinsi Bali dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
yang mengalami dampak langsung dari praktik tersebut. Untuk menghadapi tantangan
ini, langkah-langkah konkret perlu diambil guna mengembalikan fungsi sempadan
pantai sebagai ruang publik yang dapat dinikmati oleh semua orang. Berikut beberapa
upaya yang dapat ditempuh: Salah satu langkah yang dapat diambil adalah membentuk
badan pengelola sempadan pantai. Badan ini bertugas untuk memulihkan fungsi
sempadan pantai sebagai ruang publik yang terbuka untuk masyarakat umum. Badan
ini juga bertanggung jawab dalam memulihkan fungsi sempadan pantai sebagai
kawasan yang dilindungi, serta memfasilitasi kepentingan religius masyarakat lokal
dalam melaksanakan keyakinan mereka di pantai. Pemerintah dapat mengeluarkan
produk hukum berupa peraturan pemerintah yang menjadi payung hukum bagi badan
pengelola sempadan pantai dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Produk hukum
ini memberikan landasan yang kuat bagi upaya pemulihan fungsi sempadan pantai dan
memberikan pijakan yang jelas dalam menindaklanjuti praktik privatisasi yang
merugikan. Pemerintah daerah juga perlu memperkuat pengawasan terhadap aktivitas
di sepanjang sempadan pantai dan menegakkan hukum secara tegas terhadap
pelanggaran yang terjadi. Langkah ini penting untuk memastikan kepatuhan semua
pihak terhadap peraturan yang berlaku dan untuk mencegah praktik privatisasi yang
merugikan masyarakat umum. Selain itu, pemerintah juga perlu melakukan
pemberdayaan masyarakat lokal dalam pengelolaan sempadan pantai. Melibatkan
masyarakat dalam proses pengambilan keputusan dan memberikan edukasi tentang
pentingnya menjaga kelestarian pantai dapat membantu meningkatkan kesadaran dan
partisipasi masyarakat dalam upaya pemulihan sempadan pantai.
Pengaturan sempadan pantai untuk pemanfaatan pariwisata memerlukan
kebijakan yang kuat sebagai upaya untuk menekan dan meniadakan praktik privatisasi
yang merugikan. Salah satu bentuk kebijakan yang efektif adalah melalui produk
hukum berupa Peraturan Daerah, Keputusan Gubernur, atau Keputusan Bupati yang
secara tegas mengatur pengelolaan sempadan pantai. Pentingnya partisipasi masyarakat
setempat dalam pengelolaan sempadan pantai tidak bisa diabaikan. Oleh karena itu,
badan pengelolaan sempadan pantai yang dibentuk haruslah beranggotakan masyarakat
setempat. Hal ini menjadi penting karena masyarakat lokal adalah pihak yang paling
paham akan kelestarian lingkungan, perlindungan lingkungan, dan pemanfaatan
lingkungan dalam konteks sempadan pantai. Peran badan pengelola sempadan pantai
sangatlah vital dalam menjaga keseimbangan antara kepentingan pariwisata, kebutuhan
masyarakat umum, masyarakat lokal, dan kelestarian lingkungan. Pemerintah, melalui
badan pengelola tersebut, bertindak sebagai pengawas jalannya pengelolaan sempadan
pantai dan memberikan pengarahan tentang pengelolaannya. Badan pengelola
sempadan pantai berperan sebagai penengah antara pengusaha pariwisata dan
masyarakat lokal. Dengan demikian, akan tercipta sinergi antara kebutuhan pariwisata
dengan kebutuhan masyarakat umum/masyarakat lokal. Badan ini akan memastikan
bahwa kegiatan pariwisata tidak hanya menguntungkan pengusaha pariwisata, tetapi
juga memberikan manfaat yang nyata bagi masyarakat setempat dan lingkungan sekitar.
C. PENUTUP
Pemerintah Daerah Provinsi Bali dan Pemerintah Kabupaten/Kota memiliki
kewenangan untuk mengelola sempadan pantai di wilayah mereka masing-masing.
Namun, tanpa regulasi yang jelas dan tegas, tindakan penegakan hukum terhadap
praktik privatisasi menjadi sulit dilakukan. Norma yang ada tidak secara spesifik
menyatakan tentang penindakan terhadap praktik privatisasi sempadan pantai oleh
pengusaha pariwisata, sehingga terjadi kekaburan dalam penegakan hukum. Untuk
mengatasi masalah ini, Pemerintah Daerah harus mengambil langkah-langkah konkret.
Salah satu langkah yang dapat diambil adalah dengan membentuk badan pengelola
sempadan pantai yang beranggotakan masyarakat lokal. Badan ini akan bertugas untuk
memulihkan fungsi sempadan pantai sebagai ruang publik, kawasan yang dilindungi,
dan juga untuk kepentingan religius masyarakat lokal. Tidak hanya itu, Pemerintah
Daerah juga perlu mengeluarkan kebijakan berupa produk hukum yang menjadi payung
hukum bagi badan pengelola sempadan pantai. Produk hukum ini akan memberikan
landasan yang kuat bagi pelaksanaan tugas-tugas badan pengelola dalam menjaga
sempadan pantai sebagai aset publik yang harus dijaga dan dinikmati oleh semua orang.
Dengan langkah-langkah ini, diharapkan praktik privatisasi sempadan pantai dapat
ditekan dan efek jera dapat diberikan kepada para pelaku. Sempadan pantai yang
terlindungi dan terjaga dengan baik akan menjadi aset berharga bagi pariwisata Provinsi
Bali, memberikan manfaat bagi masyarakat lokal, dan memastikan keberlangsungan
pariwisata yang berkelanjutan.
Pemanfaatan kawasan sempadan pantai untuk pariwisata di Provinsi Bali memerlukan
kolaborasi yang erat antara pemerintah, pengusaha pariwisata, dan masyarakat lokal.
Pentingnya penanaman pemahaman yang baik dari semua pihak akan menjadikan
pariwisata sebagai sumber daya yang berkelanjutan dan berdampak positif bagi semua.
Penting untuk menyadari bahwa pariwisata bukanlah hanya tentang kemewahan.
Pariwisata harus mengakomodasi kepentingan semua pihak yang terlibat, termasuk
masyarakat lokal. Masyarakat lokal bukan hanya penonton atau pelengkap, tetapi
merupakan bagian integral dari industri pariwisata. Tanpa keterlibatan dan dukungan
mereka, pariwisata tidak akan mencapai potensinya yang sebenarnya. Pengusaha
pariwisata perlu mengubah paradigma bahwa pariwisata adalah industri luxury yang
hanya untuk golongan tertentu. Mereka harus memahami bahwa kesejahteraan
masyarakat lokal dan keberlanjutan lingkungan adalah kunci keberhasilan jangka
panjang pariwisata. Mengutamakan kesejahteraan masyarakat lokal akan menciptakan
hubungan yang lebih baik antara pariwisata dan komunitas lokal, serta meningkatkan
pengalaman wisatawan yang autentik. Pemerintah memiliki peran penting sebagai
penengah antara kepentingan pariwisata dan kepentingan masyarakat lokal. Mereka
harus mengedepankan keadilan dan keberlanjutan dalam pengelolaan pariwisata, serta
memastikan bahwa kebijakan dan regulasi yang dikeluarkan mencerminkan nilai-nilai
tersebut. Penyuluhan dan pendidikan kepada masyarakat lokal juga merupakan langkah
penting yang harus dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan pemahaman
mereka tentang manfaat pariwisata yang berkelanjutan. Pemanfaatan sempadan pantai
harus dilakukan dengan memperhatikan kepentingan semua pihak. Fasilitas pariwisata
harus dirancang sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu kehidupan sehari-hari
masyarakat lokal dan tidak merusak lingkungan alam. Keterlibatan masyarakat lokal
dalam pengelolaan dan pengawasan sempadan pantai juga penting untuk menjaga
keberlanjutan dan kelestarian kawasan tersebut. Dengan penanaman pemahaman yang
baik dari pemerintah, pengusaha pariwisata, dan masyarakat lokal, diharapkan
pariwisata di Provinsi Bali dapat menjadi model yang berkelanjutan dan inklusif.
Kolaborasi yang erat antara semua pihak akan membawa manfaat yang besar bagi
semua, menjadikan pariwisata sebagai sumber kebanggaan dan kesejahteraan bagi
seluruh komunitas.
DAFTAR PUSTAKA

Condro, H. E., Budi, S. T., & Puji, H. (2018). Perubahan garis pantai dan pengaruhnya terhadap
status kepemilikan dan penguasaan tanah timbul di Muara Sungai Wulan tahun 1986-
2016. Geo-Image Journal, 7(2), 131-140.
Dewi, I. G. S. (2012). Konflik status hukum tanah timbul di Wilayah Pesisir Provinsi
Bali. Masalah-Masalah Hukum, 41(4), 614-621.
Wesna, P. A. S., Sujana, I. N., & Utama, I. W. K. J. (2023). Legalitas Penguasaan Tanah Pesisir
Pantai oleh Orang Asing Dalam Bisnis Kepariwisataan, Desa Adat Canggu, Kecamatan Kuta
Utara, Kabupaten Badung. Postgraduated Community Service Journal, 4(2), 70-78.
Kertiasih, N. W., Suwitra, I. M., & Sujana, I. N. (2020). Implementasi Peraturan Daerah
Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dalam
Penguasaan dan Pemanfaatan Wilayah Pesisir. Jurnal Konstruksi Hukum, 1(2), 436-442.
Fathoni, M. Y., Sahrudin, S., & Adha, L. H. (2020). Tinjauan Hukum Pengaturan Penguasaan
Dan Pemanfaatan Tanah Sempadan Pantai Untuk Usaha Kuliner. JATISWARA, 35(1).
Sundari, I. L. (2023). Status Penguasaan Tanah Sempadan Pantai oleh Masyarakat di Pesisir
Pantai Ujong Blang Lhokseumawe. Locus Journal of Academic Literature Review, 97-116.
Sanjiwani, P. K. (2016). Pengaturan hukum terhadap privatisasi sempadan pantai oleh
pengusaha pariwisata di provinsi bali. Jurnal Analisis Pariwisata, 16(1), 29-34.

Anda mungkin juga menyukai