Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH

TNI-POLRI DILETAKAN LANGSUNG DIBAWAH PRESIDEN


Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Hukum Tata Negara
Dosen Pengampu: Dr. Muhammad Zaki Mubarrak, S.H., M.H

Disusun Oleh:

Amelia Ninda Aryani (232302041)


Hardaningrum Binar Subekti (232302012)
Wisma Prihatiningtyas (232302035)

PROGRAM STUDI HUKUM

FAKULTAS EKONOMI DAN SOSIAL

UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI

YOGYAKARTA

2024
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan kehadiran Allah SWT, atas rahmat dan hidayah-
Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan Makalah mata kuliah Hukum Tata Negara
yang berjudul “TNI-Polri diletakan Langsung dibawah Presiden”. Sholawat beriring
salam semoga tetap bercurah pada Nabi Muhammad SAW, kepada keluarganya serta
para pengikutnya yang selalu istiqomah menjalankan sunnah-sunnah beliau.

Penyusun berharap makalah ini dapat digunakan sebagai penambah pengetahuan


dan wawasan bagi pembaca. Penyusun juga menyampaikan terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu dalam terselesainya makalah ini.

Penyusun juga sangat menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan


kelemahan dalam penyusunan makalah ini, untuk itu penyusun sangat mengharapkan
adanya saran dan kritik yang bersifat membangun guna menyempurnakan makalah
selanjutnya.

Yogyakarta, April 2024

Penyusun,

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR …………………………………..……………………...… i

DAFTAR ISI ………………………………………...…………………………….. ii

ABSTRAK …………………………………………...…………………………….. iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Pendahuluan ...................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................................ 2
C. Metode Penelitian ............................................................................................. 3

BAB II PEMBAHASAN

A. Efektivitas Komando dan Koordinasi dalam Penanganan Masalah Keamanan


Nasional .............................................................................................................. 4
B. Implikasi Hukum dan Konstitusional Penempatan TNI-POLRI di Bawah
Presiden ..................................................................................................................
........... 6
C. Pengawasan dan Checks and Balances dalam Pengendalian TNI-POLRI oleh
Presiden ............................................................................................................. 8
D. Pembelajaran dari Sejarah: Peran Presiden dalam Pengendalian TNI-POLRI
............................................................................................................................
11
E. Tantangan dan Peluang Penempatan TNI-POLRI di Bawah Presiden dalam
Konteks Global ................................................................................................ 14
F. Studi Kasus Pada Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) .............................. 17

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ....................................................................................................... 21

ii
B. Saran ................................................................................................................. 23

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................. 25

Abstrak
Dalam sistem pemerintahan Indonesia, terdapat wacana untuk menempatkan Tentara
Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) secara
langsung di bawah kendali Presiden. Usulan ini muncul sebagai upaya untuk
memperkuat sistem pertahanan dan keamanan nasional, serta mengoptimalkan
koordinasi dan komando dalam penanganan masalah keamanan. Penelitian ini bertujuan
untuk menempatkan TNI dan POLRI secara langsung di bawah kendali Presiden
bertujuan untuk memperkuat sistem pertahanan dan keamanan nasional, serta
mengoptimalkan koordinasi dan komando dalam penanganan masalah keamanan
nasional. Metode yang diusulkan adalah dengan melakukan amandemen terhadap
undang-undang terkait untuk merevisi struktur komando TNI dan POLRI. Presiden akan
memiliki kewenangan penuh dalam mengarahkan dan mengkoordinasikan operasi
kedua lembaga tersebut sesuai kepentingan nasional. Hasil penelitian menunjukan
bahwa dengan menempatkan TNI dan POLRI di bawah kendali langsung Presiden,
diharapkan dapat menciptakan sistem komando yang lebih tegas, efisien, dan responsif
dalam menghadapi ancaman keamanan. Garis komando dan tanggung jawab menjadi
lebih jelas, sehingga TNI dan POLRI dapat bertindak lebih cepat dan efektif.
Kata Kunci: TNI, Polri, Sistem Pertahanan, Keamanan.

Abstract
In the Indonesian government system, there is a discourse to place the Indonesian
National Army (TNI) and the Indonesian National Police (POLRI) directly under the
control of the President. This proposal comes as an effort to strengthen the national
defense and security system, as well as optimize coordination and command in handling
security issues. This research aims to place the TNI and POLRI directly under the
control of the President aims to strengthen the national defense and security system, as
well as optimize coordination and command in handling national security issues. The
proposed method is to amend related laws to revise the command structure of the TNI
and POLRI. The President shall have full authority in directing and coordinating the
operations of the two institutions in accordance with the national interest. The results
showed that by placing the TNI and POLRI under the direct control of the President, it
is expected to create a command system that is more assertive, efficient, and responsive
in facing security threats. The lines of command and responsibility become clearer, so
that the TNI and POLRI can act more quickly and effectively.
Keywords: TNI, Polri, Defense System, Security.

iii
iv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Pendahuluan
Pertahanan dan keamanan nasional merupakan salah satu pilar utama
dalam menjaga kedaulatan dan keutuhan suatu negara. Di Indonesia, upaya
untuk memperkuat sistem pertahanan dan keamanan nasional terus dilakukan,
termasuk dengan mengusulkan perubahan struktural dalam penempatan dan
komando Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara Republik
Indonesia (POLRI). Salah satu usulan yang menjadi sorotan adalah
menempatkan TNI dan POLRI secara langsung di bawah kendali Presiden
(Widodo, 2022).
Dalam sistem pemerintahan saat ini, TNI dan POLRI berada di bawah
koordinasi Kementerian Pertahanan dan Kementerian Dalam Negeri. Namun,
beberapa pihak berpendapat bahwa struktur ini dapat menghambat efektivitas
dan efisiensi dalam penanganan masalah keamanan nasional. Dengan
menempatkan TNI dan POLRI di bawah kendali langsung Presiden, diharapkan
dapat menciptakan sistem komando yang lebih tegas, responsif, dan
terkoordinasi (Widodo, 2022).
Pendukung usulan ini mengklaim bahwa Presiden, sebagai kepala
pemerintahan dan kepala negara, seharusnya memiliki kewenangan penuh dalam
mengarahkan dan mengkoordinasikan operasi TNI dan POLRI sesuai dengan
kepentingan nasional. Hal ini dianggap penting untuk menjamin kecepatan dan
efektivitas dalam merespons ancaman keamanan, baik dari dalam maupun luar
negeri (Susilo, 2021).
Selain itu, dengan menempatkan TNI dan POLRI di bawah Presiden,
diharapkan dapat memperjelas garis komando dan tanggung jawab dalam
penanganan masalah keamanan nasional. Kedua lembaga tersebut akan lebih

1
akuntabel terhadap Presiden dan dapat bertindak secara lebih cepat dan terarah
dalam menghadapi situasi darurat atau krisis keamanan (Widodo, 2022).
Namun, usulan ini juga menuai pro dan kontra dalam masyarakat.
Beberapa pihak mengkhawatirkan potensi penyalahgunaan kekuasaan dan
pelanggaran prinsip demokrasi. Mereka menganggap bahwa penempatan TNI
dan POLRI di bawah kendali Presiden dapat membuka peluang untuk intervensi
politik dan penggunaan kekuatan militer secara sewenang-wenang (Suryanto,
2023).
Di sisi lain, pendukung usulan ini berargumen bahwa dalam situasi
darurat atau ancaman keamanan yang serius, diperlukan kepemimpinan dan
komando yang kuat dari pemegang kekuasaan tertinggi negara, yaitu Presiden.
Mereka percaya bahwa dengan pengawasan dan checks and balances yang tepat,
risiko penyalahgunaan kekuasaan dapat diminimalkan (Widodo, 2022).
Perdebatan mengenai penempatan TNI dan POLRI di bawah Presiden
juga melibatkan pertimbangan aspek hukum dan konstitusional. Beberapa pihak
berpendapat bahwa perlu dilakukan amandemen terhadap undang-undang
terkait, seperti Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI dan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang POLRI, untuk mengakomodasi
perubahan struktural ini (Susilo, 2021).
Dalam konteks sejarah, penempatan TNI dan POLRI di bawah kendali
Presiden bukan hal yang baru di Indonesia. Pada masa Orde Lama dan Orde
Baru, TNI dan POLRI berada di bawah komando langsung Presiden Soekarno
dan Soeharto. Namun, praktik ini dianggap berpotensi disalahgunakan dan
bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi (Suryanto, 2023).
B. Rumusan Masalah
Sesuai dengan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang
akan diteliti adalah:
1. Apakah penempatan TNI dan POLRI secara langsung di bawah kendali
Presiden dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam penanganan
masalah keamanan nasional?

2
2. Bagaimana menjamin adanya checks and balances yang tepat serta
mencegah penyalahgunaan kekuasaan jika TNI dan POLRI diletakkan di
bawah kendali langsung Presiden?
3. Apa tantangan hukum dan konstitusional yang harus dihadapi dalam
melakukan perubahan struktural penempatan TNI dan POLRI di bawah
kendali Presiden, serta bagaimana mengatasinya?
4. Bagaimana menjaga prinsip-prinsip demokrasi dan mencegah intervensi
politik dalam penggunaan kekuatan militer jika TNI dan POLRI diletakkan
di bawah kendali langsung Presiden?
C. Metode Penelitian
Metode yang diusulkan adalah dengan melakukan amandemen terhadap
undang-undang terkait untuk merevisi struktur komando TNI dan POLRI.
Presiden akan memiliki kewenangan penuh dalam mengarahkan dan
mengkoordinasikan operasi kedua lembaga tersebut sesuai kepentingan nasional.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Efektivitas Komando dan Koordinasi dalam Penanganan Masalah


Keamanan Nasional
Salah satu alasan utama yang mendorong usulan untuk menempatkan
TNI dan POLRI secara langsung di bawah kendali Presiden adalah untuk
meningkatkan efektivitas komando dan koordinasi dalam penanganan masalah
keamanan nasional. Dalam menghadapi ancaman keamanan yang kompleks dan
berkembang pesat, diperlukan sistem komando yang tegas, responsif, dan
terkoordinasi dengan baik (Widodo, 2022).
Dalam sistem saat ini, di mana TNI berada di bawah Kementerian
Pertahanan dan POLRI di bawah Kementerian Dalam Negeri, terdapat potensi
terhambatnya alur komando dan koordinasi dalam situasi darurat atau krisis
keamanan. Adanya beberapa lapis birokrasi dan garis komando yang terpisah
dapat memperlambat proses pengambilan keputusan dan tindakan yang
dibutuhkan untuk mengatasi ancaman secara tepat waktu (Widodo, 2022).
Dengan menempatkan TNI dan POLRI di bawah kendali langsung
Presiden, diharapkan dapat menciptakan sistem komando yang lebih tegas dan
efisien. Presiden, sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara, memiliki
kewenangan tertinggi untuk mengarahkan dan mengkoordinasikan operasi kedua
lembaga tersebut sesuai dengan kepentingan nasional (Susilo, 2021).
Dalam situasi darurat atau krisis keamanan, seperti bencana alam,
konflik bersenjata, atau ancaman terorisme, waktu merupakan faktor yang
sangat penting. Dengan adanya komando langsung dari Presiden, TNI dan
POLRI dapat bertindak lebih cepat dan terkoordinasi tanpa harus melewati
birokrasi yang panjang. Hal ini dapat meningkatkan kesiapsiagaan dan respon
yang efektif dalam mengatasi ancaman (Widodo, 2022).

4
Selain itu, penempatan TNI dan POLRI di bawah Presiden juga dapat
membantu memperjelas garis komando dan tanggung jawab dalam penanganan
masalah keamanan nasional. Kedua lembaga tersebut akan lebih akuntabel
secara langsung kepada Presiden, yang bertanggung jawab atas keamanan
negara secara keseluruhan. Hal ini dapat mendorong koordinasi yang lebih baik
antara TNI dan POLRI, serta mencegah tumpang tindih atau konflik yurisdiksi
dalam operasi keamanan (Suryanto, 2023).
Namun, perlu digarisbawahi bahwa peningkatan efektivitas komando
dan koordinasi tidak hanya bergantung pada perubahan struktural dalam
penempatan TNI dan POLRI. Faktor-faktor lain seperti peningkatan kapasitas
dan kapabilitas kedua lembaga, modernisasi sistem komando dan komunikasi,
serta pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas juga sangat penting
untuk diperhatikan (Susilo, 2021).
Selain itu, penempatan TNI dan POLRI di bawah kendali Presiden juga
harus disertai dengan mekanisme pengawasan dan checks and balances yang
kuat. Hal ini untuk mencegah potensi penyalahgunaan kekuasaan dan
memastikan bahwa penggunaan kekuatan militer dan kepolisian dilakukan
sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi dan penegakan hukum (Suryanto,
2023).
Dalam konteks global, beberapa negara telah mengadopsi sistem
penempatan militer dan kepolisian di bawah kendali langsung pemimpin negara.
Misalnya, di Amerika Serikat, Presiden bertindak sebagai Panglima Tertinggi
atas Angkatan Bersenjata AS. Namun, penggunaan kekuatan militer harus
mendapatkan persetujuan dari Kongres dan diatur dalam undang-undang yang
ketat (Joffe, 2019).
Di Rusia, Presiden Vladimir Putin memiliki kendali langsung atas
Angkatan Bersenjata Rusia dan Kementerian Dalam Negeri yang menaungi
kepolisian. Namun, sistem ini juga menuai kritik atas potensi penyalahgunaan
kekuasaan dan kurangnya pengawasan yang memadai (Monaghan, 2017).

5
Meskipun terdapat praktik serupa di beberapa negara, penting untuk
mempertimbangkan konteks lokal dan tradisi hukum yang berlaku di Indonesia
dalam mengimplementasikan sistem penempatan TNI dan POLRI di bawah
kendali Presiden. Pengalaman sejarah dan prinsip-prinsip demokrasi yang dianut
Indonesia harus menjadi landasan utama dalam merancang mekanisme
pengawasan dan checks and balances yang tepat (Joffe, 2019).
B. Implikasi Hukum dan Konstitusional Penempatan TNI-POLRI di Bawah
Presiden
Usulan untuk menempatkan TNI dan POLRI secara langsung di bawah
kendali Presiden mengandung implikasi hukum dan konstitusional yang
signifikan. Perubahan struktural ini akan memerlukan penyesuaian terhadap
kerangka hukum dan konstitusi yang berlaku di Indonesia, serta
mempertimbangkan prinsip-prinsip demokrasi dan penegakan hukum yang
dijunjung tinggi (Susilo, 2021).
Dari perspektif hukum, penempatan TNI dan POLRI di bawah Presiden
akan memerlukan amandemen terhadap undang-undang terkait. Undang-Undang
Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
tentang POLRI perlu disesuaikan untuk mengakomodasi perubahan struktur
komando dan kewenangan Presiden dalam pengendalian kedua lembaga tersebut
(Susilo, 2021).
Amandemen undang-undang ini harus dilakukan dengan memperhatikan
prinsip-prinsip konstitusional yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945). Salah satu prinsip
utama yang harus diperhatikan adalah pemisahan kekuasaan (separation of
powers) antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif (Asshiddiqie, 2006).
Dalam konteks penempatan TNI dan POLRI di bawah Presiden, perlu
dipastikan bahwa kewenangan Presiden dalam pengendalian kedua lembaga
tersebut tidak bertentangan dengan prinsip pemisahan kekuasaan. Mekanisme
pengawasan dan checks and balances yang kuat dari lembaga legislatif dan

6
yudikatif harus diatur secara jelas dalam amandemen undang-undang untuk
mencegah potensi penyalahgunaan kekuasaan (Suryanto, 2023).
Selain itu, amandemen undang-undang juga harus mempertimbangkan
prinsip-prinsip demokrasi dan penegakan hukum yang dianut Indonesia.
Penggunaan kekuatan militer dan kepolisian harus diatur dengan ketat dan
tunduk pada prinsip supremasi hukum (rule of law) serta menghormati hak asasi
manusia (Asshiddiqie, 2006).
Dari perspektif konstitusional, penempatan TNI dan POLRI di bawah
Presiden harus memperhatikan ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam UUD
NRI 1945. Pasal 10 UUD NRI 1945 menyatakan bahwa "Presiden ialah Kepala
Negara sekaligus Kepala Pemerintahan yang memimpin kekuasaan
pemerintahan negara tertinggi." Namun, kewenangan Presiden dalam
mengendalikan TNI dan POLRI tidak dijelaskan secara spesifik dalam pasal
tersebut (Susilo, 2021).
Untuk mengakomodasi perubahan struktural ini, beberapa ahli hukum
tata negara mengusulkan perlunya amandemen terhadap UUD NRI 1945. Salah
satu opsi yang diusulkan adalah dengan menambahkan pasal baru yang
mengatur secara eksplisit kewenangan Presiden dalam mengendalikan TNI dan
POLRI, serta batas-batas dan mekanisme pengawasan yang harus dipatuhi
(Suryanto, 2023).
Amandemen terhadap UUD NRI 1945 merupakan proses yang kompleks
dan membutuhkan dukungan politik yang kuat dari lembaga legislatif dan
berbagai pihak terkait. Prosedur dan persyaratan untuk melakukan amandemen
UUD NRI 1945 diatur dalam Pasal 37 UUD NRI 1945 itu sendiri (Asshiddiqie,
2006).
Selain aspek hukum dan konstitusional, penempatan TNI dan POLRI di
bawah Presiden juga harus mempertimbangkan konteks historis dan pengalaman
di masa lalu. Pada masa Orde Lama dan Orde Baru, TNI dan POLRI berada di
bawah komando langsung Presiden Soekarno dan Soeharto. Namun, praktik ini

7
dianggap berpotensi disalahgunakan dan bertentangan dengan prinsip-prinsip
demokrasi (Suryanto, 2023).
Pengalaman sejarah ini menunjukkan pentingnya mekanisme
pengawasan yang kuat dan checks and balances yang efektif untuk mencegah
penyalahgunaan kekuasaan. Pelajaran dari masa lalu harus menjadi
pertimbangan penting dalam merancang kerangka hukum dan konstitusional
yang mengatur penempatan TNI dan POLRI di bawah Presiden (Suryanto,
2023).
Dalam konteks global, terdapat beragam praktik penempatan militer dan
kepolisian di bawah kendali pemimpin negara. Di Amerika Serikat, Presiden
bertindak sebagai Panglima Tertinggi atas Angkatan Bersenjata AS, namun
penggunaan kekuatan militer diatur secara ketat dalam undang-undang dan
memerlukan persetujuan dari Kongres (Joffe, 2019).
Di Rusia, Presiden Vladimir Putin memiliki kendali langsung atas
Angkatan Bersenjata Rusia dan Kementerian Dalam Negeri yang menaungi
kepolisian. Namun, sistem ini juga menuai kritik atas potensi penyalahgunaan
kekuasaan dan kurangnya pengawasan yang memadai (Monaghan, 2017).
Pembelajaran dari praktik global dan pengalaman sejarah Indonesia
sendiri menjadi penting dalam merancang kerangka hukum dan konstitusional
yang sesuai dengan konteks lokal dan prinsip-prinsip demokrasi yang dianut.
Transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi masyarakat dalam proses
pembentukan hukum dan amandemen konstitusi menjadi faktor kunci untuk
menjamin legitimasi dan penerimaan publik atas perubahan struktural ini
(Monaghan, 2017).
C. Pengawasan dan Checks and Balances dalam Pengendalian TNI-POLRI
oleh Presiden
Salah satu aspek krusial dalam penempatan TNI dan POLRI di bawah
kendali langsung Presiden adalah kebutuhan untuk mengimplementasikan
mekanisme pengawasan yang efektif dan checks and balances yang kuat. Hal ini
diperlukan untuk mencegah potensi penyalahgunaan kekuasaan dan memastikan

8
bahwa penggunaan kekuatan militer dan kepolisian dilakukan sesuai dengan
prinsip-prinsip demokrasi, penegakan hukum, dan penghormatan terhadap hak
asasi manusia (Asshiddiqie, 2006).

Dalam sistem demokrasi modern, pengawasan terhadap kekuasaan


eksekutif, termasuk dalam pengendalian angkatan bersenjata dan kepolisian,
merupakan prinsip fundamental. Pengawasan ini dapat dilakukan melalui
lembaga legislatif, yudikatif, serta keterlibatan masyarakat sipil dan media (Born
& Hänggi, 2005).
Dari perspektif legislatif, DPR dan DPD sebagai wakil rakyat memiliki
peran penting dalam mengawasi penggunaan kekuasaan Presiden dalam
mengendalikan TNI dan POLRI. Lembaga legislatif dapat membentuk komisi
khusus untuk mengawasi operasi dan anggaran kedua lembaga tersebut, serta
memastikan akuntabilitas dan transparansi dalam pengambilan keputusan
(Suryanto, 2023).
Selain itu, lembaga legislatif juga dapat berperan dalam menetapkan
batasan dan aturan yang jelas terkait penggunaan kekuatan militer dan
kepolisian, serta mekanisme untuk meminta pertanggungjawaban Presiden jika
terjadi pelanggaran atau penyalahgunaan kekuasaan (Asshiddiqie, 2006).
Dari perspektif yudikatif, Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung
memiliki peran penting dalam menjamin konstitusionalitas dan penegakan
hukum dalam pengendalian TNI dan POLRI oleh Presiden. Lembaga peradilan
dapat mengkaji dan memutuskan jika terdapat permasalahan terkait pelanggaran
hak asasi manusia atau penyimpangan dari prinsip-prinsip konstitusional (Susilo,
2021).
Selain lembaga negara, keterlibatan masyarakat sipil dan media juga
sangat penting dalam mengawasi penggunaan kekuasaan Presiden dalam
mengendalikan TNI dan POLRI. Kebebasan pers dan kebebasan berpendapat
harus dijamin, sehingga masyarakat dapat mengkritisi dan memberikan masukan

9
terhadap kebijakan dan operasi yang dilakukan oleh kedua lembaga tersebut
(Suryanto, 2023).
Untuk memperkuat mekanisme pengawasan, dapat dibentuk lembaga
independen yang terdiri dari anggota dari berbagai unsur, seperti perwakilan
masyarakat sipil, akademisi, dan praktisi hukum. Lembaga ini dapat bertugas
untuk memantau, mengevaluasi, dan memberikan rekomendasi terkait
pengendalian TNI dan POLRI oleh Presiden (Born & Hänggi, 2005).
Selain pengawasan eksternal, checks and balances internal dalam
struktur komando TNI dan POLRI juga perlu diperkuat. Hal ini dapat dilakukan
dengan memperjelas rantai komando, prosedur operasi standar, dan mekanisme
pelaporan yang transparan. Pemisahan yang jelas antara tugas dan tanggung
jawab militer dan kepolisian juga harus dipertegas untuk mencegah tumpang
tindih atau konflik yurisdiksi (Widodo, 2022). Dalam konteks global, terdapat
beberapa praktik baik yang dapat dijadikan referensi dalam
mengimplementasikan pengawasan dan checks and balances dalam
pengendalian angkatan bersenjata dan kepolisian oleh pemimpin negara
(Widodo, 2022).
Di Amerika Serikat, meskipun Presiden bertindak sebagai Panglima
Tertinggi atas Angkatan Bersenjata, penggunaan kekuatan militer harus
mendapatkan persetujuan dari Kongres dan diatur dalam undang-undang yang
ketat. Selain itu, terdapat pengawasan dari lembaga peradilan dan masyarakat
sipil yang kuat (Joffe, 2019).
Di Jerman, terdapat Komisaris Parlemen untuk Angkatan Bersenjata
yang bertugas untuk menjamin perlindungan hak asasi manusia dan penegakan
hukum dalam operasi militer. Komisaris ini dipilih oleh parlemen dan memiliki
kewenangan untuk mengawasi dan menginvestigasi segala aspek terkait
angkatan bersenjata (Born & Hänggi, 2005).
Meskipun terdapat praktik baik di beberapa negara, penerapan
mekanisme pengawasan dan checks and balances dalam pengendalian TNI dan
POLRI oleh Presiden harus disesuaikan dengan konteks lokal Indonesia.

10
Pengalaman sejarah, tradisi hukum, dan prinsip-prinsip demokrasi yang dianut
Indonesia harus menjadi landasan utama dalam merancang sistem pengawasan
yang efektif dan legitimate (Born & Hänggi, 2005).
Transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi masyarakat menjadi kunci
dalam membangun kepercayaan publik terhadap pengendalian TNI dan POLRI
oleh Presiden. Pengawasan yang ketat dan checks and balances yang kuat tidak
hanya mencegah penyalahgunaan kekuasaan, tetapi juga memastikan bahwa
penggunaan kekuatan militer dan kepolisian dilakukan demi kepentingan
nasional dan sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi dan penegakan hukum
(Born & Hänggi, 2005).
D. Pembelajaran dari Sejarah: Peran Presiden dalam Pengendalian TNI-
POLRI
Dalam sejarah Indonesia, peran presiden dalam pengendalian TNI
(Tentara Nasional Indonesia) dan POLRI (Kepolisian Negara Republik
Indonesia) telah menjadi isu penting yang sering diperdebatkan. Pengalaman
masa lalu telah menunjukkan bahwa kekuatan militer yang tidak terkendali dapat
menjadi ancaman bagi stabilitas negara dan demokrasi. Oleh karena itu, penting
bagi presiden untuk memainkan peran yang efektif dalam mengawasi dan
mengendalikan kekuatan militer untuk menjamin keamanan nasional dan
menjaga supremasi sipil (Ricklefs, 2008).
Pada masa Orde Lama di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno, TNI
memainkan peran yang sangat besar dalam politik dan pemerintahan. Soekarno
memanfaatkan dukungan militer untuk mempertahankan kekuasaannya dan
menerapkan kebijakan yang kontroversial, seperti demokrasi terpimpin. Namun,
pada akhirnya, intervensi militer dalam politik justru menyebabkan instabilitas
dan krisis yang berkepanjangan.(Ricklefs, 2008).
Setelah jatuhnya Orde Lama, Presiden Soeharto yang didukung oleh
militer mengambil alih kekuasaan pada tahun 1966. Selama Orde Baru, Soeharto
berupaya untuk menjaga keseimbangan antara kekuatan sipil dan militer dengan
mengakomodasi kepentingan militer dalam pemerintahan. Namun, pada saat

11
yang sama, ia juga berupaya untuk memastikan bahwa militer tetap berada di
bawah kendali sipil (Mietzner, 2009).
Salah satu upaya Soeharto dalam mengendalikan militer adalah dengan
menerapkan konsep "dwifungsi" (dual function) bagi TNI, yang memungkinkan
mereka untuk terlibat dalam bidang politik dan pemerintahan. Meskipun hal ini
memungkinkan TNI untuk memiliki pengaruh yang besar dalam pemerintahan,
namun juga membuka peluang bagi Soeharto untuk mengawasi dan
mengendalikan mereka dari dalam (Mietzner, 2009).
Setelah lengsernya Soeharto pada tahun 1998, Indonesia mengalami
transisi menuju demokrasi. Dalam proses ini, peran TNI dalam politik dan
pemerintahan mulai dikurangi, dan upaya untuk menegakkan supremasi sipil
atas militer menjadi prioritas utama. Presiden Habibie dan Presiden
Abdurrahman Wahid melakukan upaya untuk memisahkan TNI dari panglima
tertinggi yang sebelumnya dipegang oleh presiden, serta menghapuskan konsep
dwifungsi (Mietzner, 2009).
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang menjabat dari tahun
2004 hingga 2014, juga berupaya untuk memperkuat pengendalian sipil atas
militer. Salah satu langkah penting yang diambil adalah dengan memisahkan
TNI dan POLRI menjadi dua lembaga yang terpisah. Ini dilakukan untuk
memperjelas peran dan tanggung jawab masing-masing lembaga, serta untuk
mencegah konflik kepentingan (Mietzner, 2009).
Di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo, upaya untuk
memperkuat pengendalian sipil atas militer terus dilanjutkan. Presiden Jokowi
telah menegaskan bahwa TNI dan POLRI harus tetap netral dalam politik dan
tidak terlibat dalam urusan pemerintahan. Ia juga telah mengambil langkah-
langkah untuk meningkatkan pengawasan dan akuntabilitas kedua lembaga
tersebut (Warburton, 2016).
Namun, meskipun upaya-upaya tersebut, masih terdapat tantangan dalam
menjaga pengendalian sipil atas militer di Indonesia. Salah satu tantangan utama
adalah adanya kepentingan politik dan ekonomi yang masih melekat pada TNI

12
dan POLRI. Selain itu, masih terdapat kekhawatiran akan kemungkinan
intervensi militer dalam politik, terutama dalam situasi krisis atau konflik
(Warburton, 2016).
Untuk menjaga pengendalian sipil atas militer, presiden perlu terus
mengambil langkah-langkah yang tepat. Hal ini dapat dilakukan dengan
memperkuat mekanisme pengawasan dan akuntabilitas, meningkatkan
profesionalisme TNI dan POLRI, serta memastikan bahwa kedua lembaga
tersebut benar-benar netral dalam politik dan hanya berfokus pada tugas-tugas
keamanan dan pertahanan negara (Warburton, 2016).
Selain itu, presiden juga perlu membangun hubungan yang konstruktif
dengan TNI dan POLRI, sembari tetap menjaga jarak yang wajar dan tidak
membiarkan kedua lembaga tersebut memiliki pengaruh yang berlebihan dalam
pemerintahan. Dengan demikian, supremasi sipil dapat dijaga, dan TNI dan
POLRI dapat beroperasi secara efektif dalam melindungi keamanan nasional
tanpa mengancam stabilitas demokrasi (Ricklefs, 2008).
E. Tantangan dan Peluang Penempatan TNI-POLRI di Bawah Presiden
dalam Konteks Global
Dalam konteks global, penempatan TNI (Tentara Nasional Indonesia)
dan POLRI (Kepolisian Negara Republik Indonesia) di bawah kendali presiden
merupakan isu yang penting dan seringkali menimbulkan perdebatan. Di satu
sisi, hal ini dapat membantu menjamin supremasi sipil dan memperkuat
demokrasi, namun di sisi lain, juga menghadirkan tantangan dan peluang
tersendiri (Croissant & Kuehn, 2017).
1. Tantangan dalam Penempatan TNI-POLRI di Bawah Presiden
a. Potensi Penyalahgunaan Kekuasaan
Salah satu tantangan utama dalam penempatan TNI-POLRI di
bawah kendali presiden adalah potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh
presiden terhadap lembaga-lembaga tersebut untuk kepentingan politik
pribadi atau kelompok tertentu. Hal ini dapat mengancam demokrasi dan
menyebabkan ketidakstabilan politik (Croissant & Kuehn, 2017).

13
b. Konflik Kepentingan
Dalam beberapa kasus, kepentingan presiden atau pemerintahan
dapat berbenturan dengan kepentingan nasional atau keamanan negara.
Situasi ini dapat menimbulkan konflik kepentingan dalam pengendalian
TNI-POLRI, yang dapat mengakibatkan keputusan yang tidak optimal
atau bahkan merugikan (Croissant & Kuehn, 2017).

c. Politisasi Lembaga Keamanan


Terdapat risiko politisasi lembaga keamanan seperti TNI-POLRI
jika berada di bawah kendali langsung presiden. Hal ini dapat
mengurangi profesionalisme dan objektivitas mereka dalam menjalankan
tugas, serta melemahkan kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga
tersebut (Mietzner, 2009).
d. Tantangan dalam Transisi Kepemimpinan
Ketika terjadi pergantian presiden, dapat timbul masalah dalam
transisi pengendalian TNI-POLRI dari presiden lama ke presiden baru.
Hal ini dapat menyebabkan ketidakpastian dan ketidakstabilan sementara
dalam lembaga-lembaga tersebut (Mietzner, 2009).
2. Peluang dalam Penempatan TNI-POLRI di Bawah Presiden
a. Penguatan Supremasi Sipil
Penempatan TNI-POLRI di bawah kendali presiden dapat
memperkuat supremasi sipil atas militer, yang merupakan salah satu pilar
penting dalam demokrasi modern. Hal ini dapat mencegah intervensi
militer dalam politik dan menjamin stabilitas demokrasi (Croissant &
Kuehn, 2017).
b. Peningkatan Koordinasi dan Efisiensi
Dengan berada di bawah kendali presiden, koordinasi dan sinergi
antara TNI-POLRI dengan lembaga-lembaga pemerintahan lainnya dapat
ditingkatkan. Hal ini dapat meningkatkan efisiensi dalam penanganan
masalah keamanan dan pertahanan negara (Mietzner, 2009).

14
c. Penguatan Akuntabilitas
Penempatan TNI-POLRI di bawah kendali presiden dapat
meningkatkan akuntabilitas lembaga-lembaga tersebut kepada
pemerintah dan rakyat. Presiden dapat memastikan bahwa TNI-POLRI
beroperasi sesuai dengan mandat dan nilai-nilai demokrasi (Croissant &
Kuehn, 2017).
d. Peluang Reformasi dan Modernisasi
Dengan berada di bawah kendali presiden, TNI-POLRI dapat
lebih mudah direformasi dan dimodernisasi sesuai dengan kebutuhan dan
tantangan keamanan global yang berkembang. Presiden dapat mengambil
langkah-langkah strategis untuk meningkatkan kapasitas dan
profesionalisme lembaga-lembaga tersebut (Mietzner, 2009).
e. Meningkatkan Citra Internasional
Penempatan TNI-POLRI di bawah kendali presiden dapat
meningkatkan citra Indonesia di mata dunia internasional sebagai negara
yang menjunjung supremasi sipil dan demokrasi. Hal ini dapat membuka
peluang kerjasama keamanan dan pertahanan yang lebih luas dengan
negara-negara lain (Croissant & Kuehn, 2017).
Dalam konteks global, penempatan TNI-POLRI di bawah kendali
presiden memiliki tantangan dan peluang yang signifikan. Untuk mengatasi
tantangan dan memanfaatkan peluang secara optimal, diperlukan kerangka
hukum dan kelembagaan yang kuat, serta mekanisme pengawasan dan
keseimbangan yang efektif. Presiden harus memainkan peran yang bertanggung
jawab dalam mengendalikan TNI-POLRI, dengan tetap menjaga prinsip-prinsip
demokrasi, supremasi sipil, dan kepentingan nasional (Mietzner, 2009).
Dalam hal penempatan TNI-POLRI di bawah kendali Presiden juga
memiliki implikasi pada peran Indonesia di panggung internasional. Sebagai
negara dengan kekuatan militer yang signifikan di kawasan Asia Tenggara,
Indonesia memiliki potensi untuk menjadi kekuatan penyeimbang dan
pemelihara stabilitas regional. Namun, hal ini sangat bergantung pada

15
bagaimana Presiden mengelola dan mengendalikan TNI-POLRI (Laksmana,
2019).
Dengan TNI-POLRI di bawah kendali Presiden, Indonesia dapat lebih
efektif dalam menjalankan diplomasi pertahanan dan terlibat dalam upaya-upaya
perdamaian internasional. Presiden dapat menggunakan kekuatan militer sebagai
instrumen diplomasi untuk mempromosikan kepentingan nasional dan menjaga
stabilitas regional (Laksmana, 2019). Hal ini dapat meningkatkan posisi tawar
Indonesia di kancah internasional dan memperkuat perannya sebagai pemain
kunci di kawasan Asia Tenggara (Laksmana, 2019).
Di sisi lain, penempatan TNI-POLRI di bawah kendali Presiden juga
menghadirkan tantangan dalam hal transparansi dan akuntabilitas. Terdapat
risiko bahwa Presiden dapat memanfaatkan kekuatan militer untuk kepentingan
politik domestik atau bahkan untuk melakukan intervensi di negara-negara lain
(Croissant & Kuehn, 2017). Hal ini dapat merusak citra Indonesia sebagai
negara yang menjunjung tinggi demokrasi dan hukum internasional.
Untuk mengatasi tantangan tersebut, diperlukan mekanisme pengawasan
dan keseimbangan yang kuat, baik di tingkat nasional maupun internasional.
Presiden harus tunduk pada prinsip-prinsip demokrasi dan supremasi sipil, serta
mematuhi hukum dan norma-norma internasional dalam penggunaan kekuatan
militer (Mietzner, 2009).
Selain itu, penempatan TNI-POLRI di bawah kendali Presiden juga
menghadirkan peluang bagi Indonesia untuk berkontribusi dalam menciptakan
perdamaian dan keamanan global. Melalui kerjasama internasional dalam
operasi perdamaian dan misi kemanusiaan, TNI-POLRI dapat memainkan peran
penting dalam mengatasi konflik, bencana alam, dan ancaman keamanan global
lainnya (Laksmana, 2019).
Namun, untuk dapat berkontribusi secara efektif dalam upaya-upaya
tersebut, TNI-POLRI harus memiliki kapasitas dan profesionalisme yang
memadai. Presiden memiliki peran penting dalam memastikan bahwa TNI-

16
POLRI mendapatkan pelatihan, peralatan, dan sumber daya yang diperlukan
untuk menjalankan misi-misi internasional dengan baik (Mietzner, 2009).
Selain itu, Presiden juga harus memastikan bahwa penggunaan TNI-
POLRI dalam operasi internasional selaras dengan prinsip-prinsip hukum
internasional dan nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini akan membantu menjaga
legitimasi dan kepercayaan internasional terhadap Indonesia sebagai negara
yang menjunjung tinggi perdamaian dan keamanan global (Croissant & Kuehn,
2017).

Dalam konteks global, penempatan TNI-POLRI di bawah kendali


Presiden merupakan isu yang kompleks dan memiliki tantangan serta peluang
yang signifikan. Untuk dapat memanfaatkan peluang dan mengatasi tantangan
secara efektif, diperlukan kerangka hukum dan kelembagaan yang kuat, serta
mekanisme pengawasan dan akuntabilitas yang transparan. Presiden harus
memainkan peran yang bertanggung jawab dalam mengendalikan TNI-POLRI,
dengan tetap menjaga prinsip-prinsip demokrasi, supremasi sipil, dan
kepentingan nasional, sekaligus berkontribusi dalam mempromosikan
perdamaian dan keamanan global (Croissant & Kuehn, 2017).
F. Studi Kasus Pada Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB)
Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) merupakan fenomena yang masih
menjadi ancaman bagi keamanan dan stabilitas di beberapa wilayah di
Indonesia. KKB adalah kelompok bersenjata yang melakukan aktivitas kriminal
seperti pembunuhan, perampokan, penculikan, dan penyerangan terhadap aparat
keamanan atau warga sipil. Beberapa contoh KKB yang pernah atau masih aktif
di Indonesia antara lain Kelompok Kriminal Bersenjata Poso, Mujahidin
Indonesia Timur (MIT), dan Kelompok Kriminal Bersenjata Papua (KKB
Papua).
1. Studi Kasus KKB Poso
Konflik Poso yang terjadi di Sulawesi Tengah pada tahun 1998-2001
melibatkan bentrokan antara kelompok Muslim dan Kristen. Setelah konflik

17
berakhir, beberapa kelompok bersenjata yang terlibat dalam konflik tersebut
tidak mau menyerahkan senjata dan bermetamorfosis menjadi KKB Poso
(Damanik, 2003). KKB Poso melakukan berbagai aksi kriminal seperti
pembunuhan, perampokan, dan penculikan terhadap warga sipil maupun
aparat keamanan.
Salah satu aksi KKB Poso yang paling tragis adalah pembunuhan
terhadap satu keluarga tenaga pengajar di Poso pada tahun 2020. Peristiwa
ini menunjukkan bahwa KKB Poso masih memiliki kemampuan untuk
melancarkan aksi teror meskipun telah berkali-kali dilakukan operasi
pemberantasan oleh aparat keamanan (Andri, 2020).

2. Studi Kasus MIT (Mujahidin Indonesia Timur)


MIT merupakan kelompok kriminal bersenjata yang berideologi radikal
dan memiliki tujuan untuk mendirikan negara Islam di wilayah Indonesia
Timur. Kelompok ini didirikan oleh Santoso, seorang mantan anggota
Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) yang memisahkan diri dan membentuk
kelompok bersenjata sendiri di Poso, Sulawesi Tengah (Arianti & Bakrie,
2015).
MIT dikenal sebagai kelompok yang sangat militan dan sering
melakukan aksi teror seperti penembakan terhadap aparat keamanan dan
warga sipil. Pada tahun 2016, terjadi baku tembak antara MIT dengan aparat
keamanan yang menewaskan seorang prajurit TNI dan dua anggota MIT,
termasuk pemimpinnya Santoso (Arianti & Bakrie, 2016).
Meskipun Santoso telah tewas, namun MIT masih memiliki sejumlah
anggota yang masih aktif dan berbahaya. Mereka masih menjadi ancaman
bagi keamanan di wilayah Poso dan sekitarnya (Arianti & Bakrie, 2015).
3. Studi Kasus KKB Papua
Konflik di Papua telah berlangsung lama dan melibatkan berbagai
kelompok separatis bersenjata yang disebut sebagai Kelompok Kriminal
Bersenjata Papua (KKB Papua). Kelompok ini melakukan aksi penyerangan

18
terhadap aparat keamanan dan warga sipil, serta melancarkan kampanye
separatis untuk memisahkan diri dari Indonesia (Sukma, 2004).
Salah satu aksi KKB Papua yang paling tragis adalah pembunuhan
terhadap pekerja proyek jalan Trans Papua pada tahun 2018. Dalam insiden
ini, sedikitnya 19 pekerja konstruksi dibunuh oleh KKB Papua (Aritonang,
2018). Aksi ini menunjukkan bahwa KKB Papua masih memiliki
kemampuan untuk melakukan aksi teror dan mengancam stabilitas keamanan
di wilayah tersebut.

4. Tantangan dalam Menangani KKB


Menangani KKB merupakan tantangan besar bagi aparat keamanan dan
pemerintah Indonesia. Beberapa tantangan utama yang dihadapi antara lain:
a. Wilayah Operasi yang Sulit: Banyak KKB beroperasi di wilayah yang
sulit dijangkau seperti pegunungan, hutan, dan pedalaman. Hal ini
menyulitkan aparat keamanan untuk melakukan operasi pemberantasan
secara efektif (Sukma, 2004).
b. Dukungan Lokal: Beberapa KKB masih mendapat dukungan dari
sebagian masyarakat lokal, baik karena alasan ideologi maupun ancaman
dan intimidasi yang dilakukan oleh KKB tersebut. Hal ini menyulitkan
upaya intelijen dan operasi pemberantasan (Arianti & Bakrie, 2015).
c. Sumber Daya Terbatas: Menangani KKB membutuhkan sumber daya
yang besar, baik dalam hal personel, peralatan, maupun pendanaan.
Namun, seringkali sumber daya yang dimiliki oleh aparat keamanan
terbatas, sehingga menghambat upaya pemberantasan KKB (Sukma,
2004).
d. Faktor Ideologi dan Separatisme: Beberapa KKB memiliki ideologi dan
tujuan separatis yang kuat, seperti MIT dan KKB Papua. Hal ini
menyulitkan upaya negosiasi dan perdamaian, karena kelompok-

19
kelompok tersebut cenderung menolak dialog dan memilih jalan
kekerasan (Aritonang, 2018).
5. Upaya Penanganan KKB
Untuk menangani ancaman KKB, pemerintah Indonesia telah melakukan
berbagai upaya, antara lain:
a. Operasi Militer: Pemerintah telah melakukan operasi militer untuk
memberantas KKB di berbagai wilayah. Operasi ini bertujuan untuk
menghancurkan kekuatan KKB dan menangkap atau menghancurkan
para pemimpinnya (Damanik, 2003).
b. Pendekatan Persuasif dan Negosiasi: Pemerintah juga melakukan
pendekatan persuasif dan negosiasi dengan KKB yang masih mau diajak
bernegosiasi. Hal ini bertujuan untuk mencapai perdamaian dan
membujuk anggota KKB untuk menyerahkan diri (Arianti & Bakrie,
2015).
e. Pembangunan Ekonomi dan Kesejahteraan: Pemerintah berupaya
meningkatkan pembangunan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat di
wilayah-wilayah rawan KKB. Hal ini bertujuan untuk mengurangi
dukungan masyarakat terhadap KKB dan menarik simpati mereka ke
pemerintah (Sukma, 2004).
c. Kerjasama Internasional: Pemerintah juga menjalin kerjasama
internasional dalam menangani KKB, terutama dalam hal pertukaran
intelijen dan pelatihan aparat keamanan (Arianti & Bakrie, 2016).
Meskipun upaya-upaya tersebut telah dilakukan, namun ancaman KKB
masih belum dapat diatasi sepenuhnya. Diperlukan pendekatan yang
komprehensif dan berkelanjutan untuk mengatasi akar permasalahan yang
menyebabkan munculnya KKB, seperti kemiskinan, ketimpangan, dan
separatisme (Damanik, 2003).

20
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Usulan untuk menempatkan TNI dan POLRI di bawah Presiden
merupakan langkah yang kontroversial dan menuai pro-kontra dalam
masyarakat. Namun, jika dilaksanakan dengan baik dan disertai pengawasan
yang ketat, langkah ini dapat memperkuat sistem pertahanan dan keamanan
nasional. Keputusan akhir harus didasarkan pada pertimbangan aspek hukum,
politik, dan keamanan yang matang, serta mencerminkan prinsip-prinsip
demokrasi dan penegakan hukum.
Penempatan TNI dan POLRI di bawah kendali Presiden memang
mengandung risiko penyalahgunaan kekuasaan dan politisasi lembaga
keamanan. Namun, risiko tersebut dapat dimitigasi dengan membangun
mekanisme pengawasan dan keseimbangan yang kuat, baik dari lembaga
perwakilan rakyat maupun lembaga peradilan. Peran Presiden dalam
mengendalikan TNI dan POLRI harus diatur secara jelas dalam undang-undang
dan peraturan, serta tunduk pada prinsip supremasi sipil dan checks and
balances.
Di sisi lain, penempatan TNI dan POLRI di bawah Presiden juga
memiliki potensi untuk meningkatkan koordinasi dan efisiensi dalam
penanganan masalah keamanan nasional. Presiden, selaku kepala pemerintahan,
dapat memastikan bahwa operasi militer dan kepolisian sejalan dengan
kebijakan dan strategi keamanan nasional. Namun, hal ini harus diimbangi
dengan profesionalisme dan netralitas TNI dan POLRI, serta penghormatan
terhadap hak asasi manusia dan hukum humaniter internasional.
Dalam konteks global, penempatan TNI dan POLRI di bawah Presiden
dapat meningkatkan citra dan peran Indonesia di panggung internasional,

21
terutama dalam upaya-upaya perdamaian dan kerjasama keamanan regional
maupun global. Namun, Presiden harus memastikan bahwa penggunaan
kekuatan militer dan kepolisian selaras dengan prinsip-prinsip hukum
internasional dan tidak melanggar kedaulatan negara lain.
Pada akhirnya, keputusan untuk menempatkan TNI dan POLRI di bawah
Presiden harus didasarkan pada pertimbangan yang matang dan melibatkan
partisipasi publik yang luas. Aspek hukum, politik, dan keamanan harus
dipertimbangkan secara seksama, dengan memastikan bahwa langkah ini benar-
benar memperkuat sistem pertahanan dan keamanan nasional, serta tidak
mengancam prinsip-prinsip demokrasi dan supremasi sipil. Pengawasan dan
akuntabilitas yang ketat juga harus menjadi prioritas utama untuk mencegah
penyalahgunaan kekuasaan dan menjamin profesionalisme TNI dan POLRI.
Dalam pengawasan dan akuntabilitas yang ketat juga harus menjadi prioritas
utama untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan menjamin
profesionalisme TNI dan POLRI.
Selain itu, upaya memperkuat pengendalian sipil atas militer dan
kepolisian juga harus dibarengi dengan peningkatan kapasitas dan modernisasi
kedua lembaga tersebut. Presiden, sebagai pemimpin tertinggi, perlu
memastikan bahwa TNI dan POLRI memiliki sumber daya, peralatan, dan
pelatihan yang memadai untuk menghadapi tantangan keamanan yang semakin
kompleks. Hal ini akan membantu menjaga kredibilitas dan efektivitas TNI dan
POLRI dalam menjaga kedaulatan dan keamanan nasional.
Di samping itu, penanganan ancaman KKB (Kelompok Kriminal
Bersenjata) juga menjadi perhatian penting dalam upaya memperkuat sistem
pertahanan dan keamanan nasional. Studi kasus yang telah dibahas sebelumnya
menunjukkan bahwa KKB merupakan ancaman nyata yang masih belum dapat
diatasi sepenuhnya. Diperlukan pendekatan yang komprehensif dan
berkelanjutan, melibatkan operasi militer, pendekatan persuasif, pembangunan
ekonomi, dan kerjasama internasional untuk mengatasi akar permasalahan yang

22
menyebabkan munculnya KKB, seperti kemiskinan, ketimpangan, separatisme,
dan radikalisme.
Dengan demikian, penempatan TNI dan POLRI di bawah kendali
Presiden merupakan langkah yang memiliki tantangan sekaligus peluang. Jika
dilaksanakan dengan baik dan disertai pengawasan yang ketat, serta diimbangi
dengan peningkatan kapasitas dan modernisasi kedua lembaga, langkah ini dapat
memperkuat sistem pertahanan dan keamanan nasional. Namun, keputusan ini
harus didasarkan pada pertimbangan yang matang dan mencerminkan prinsip-
prinsip demokrasi, supremasi sipil, dan penegakan hukum. Selain itu,
penanganan ancaman KKB juga menjadi prioritas dengan pendekatan yang
komprehensif untuk mengatasi akar permasalahan yang mendasari munculnya
kelompok-kelompok bersenjata tersebut.
B. Saran
Adapun beberapa saran terkait penempatan TNI dan POLRI di bawah
kendali Presiden serta penanganan ancaman KKB (Kelompok Kriminal
Bersenjata):
1. Perlunya Peninjauan dan Revisi Regulasi
Sebelum menempatkan TNI dan POLRI di bawah kendali Presiden,
perlu dilakukan peninjauan dan revisi terhadap regulasi terkait, seperti UU
TNI, UU POLRI, dan peraturan lainnya yang relevan. Hal ini untuk
memastikan adanya landasan hukum yang kuat dan mengatur secara jelas
batas-batas kewenangan serta mekanisme pengawasan terhadap Presiden
dalam mengendalikan kedua lembaga tersebut.
2. Pembentukan Badan Pengawas Independen
Untuk menjamin pengawasan yang efektif, perlu dibentuk badan
pengawas independen yang melibatkan unsur pemerintah, lembaga
perwakilan rakyat, serta elemen masyarakat sipil. Badan ini bertugas untuk
mengawasi kinerja TNI dan POLRI, serta memastikan bahwa kedua lembaga
tersebut tidak disalahgunakan untuk kepentingan politik atau kelompok
tertentu.

23
3. Peningkatan Profesionalisme dan Netralitas TNI-POLRI
Upaya peningkatan profesionalisme dan netralitas TNI dan POLRI harus
menjadi prioritas utama. Hal ini dapat dilakukan melalui program
pendidikan dan pelatihan yang intensif, serta penerapan kode etik yang ketat.
Selain itu, perlu ada mekanisme yang jelas untuk mencegah politisasi kedua
lembaga tersebut.
4. Pendekatan Menyeluruh dalam Menangani KKB
Untuk menangani ancaman KKB, diperlukan pendekatan menyeluruh
yang melibatkan aspek keamanan, ekonomi, sosial, dan budaya. Operasi
militer harus diimbangi dengan upaya persuasif, pembangunan infrastruktur,
peningkatan kesejahteraan masyarakat, serta deradikalisasi terhadap anggota
KKB yang mau menyerah.
5. Peningkatan Kerjasama Regional dan Internasional
Mengingat KKB merupakan ancaman lintas batas negara, perlu ada
peningkatan kerjasama regional dan internasional dalam hal pertukaran
intelijen, operasi bersama, serta pelatihan dan peningkatan kapasitas aparat
keamanan. Kerjasama ini juga dapat melibatkan upaya pencegahan dan
pemberantasan pendanaan bagi kelompok-kelompok kriminal bersenjata.
6. Penguatan Peran Masyarakat
Penguatan peran masyarakat dalam upaya pencegahan dan
penanggulangan KKB juga penting untuk dilakukan. Hal ini dapat dilakukan
melalui program-program pemberdayaan masyarakat, peningkatan kesadaran
akan ancaman KKB, serta keterlibatan masyarakat dalam proses perdamaian
dan rekonsiliasi di wilayah-wilayah yang terdampak.
Dengan menerapkan saran-saran di atas, diharapkan penempatan TNI
dan POLRI di bawah kendali Presiden dapat berjalan dengan baik dan disertai
pengawasan yang ketat, serta upaya penanganan ancaman KKB dapat dilakukan
secara lebih efektif dan menyeluruh.

24
DAFTAR PUSTAKA

Andri, R. (2020, November 29). Pembunuhan Sadis Satu Keluarga di Poso, KKB
Kembali Mengganas. Tempo.co.
https://nasional.tempo.co/read/1414219/pembunuhan-sadis-satu-keluarga-di-
poso-kkb-kembali-mengganas

Arianti, V., & Bakrie, C. R. (2015). “Mengupayakan Pendekatan Komprehensif dalam


Menangani Ancaman Mujahidin Indonesia Timur (MIT)”. Jurnal Pertahanan,
Vol. 5. No. 1.

Arianti, V., & Bakrie, C. R. (2016). “Mujahidin Indonesia Timur: Dalam Ekspedisi
Meraih Tanah Terapung”. Jurnal Pertahanan, Vol. 6. No. 1.

Aritonang, M. S. (2018, Desember 5). KKB Papua Bantah Terlibat Pembunuhan


Pekerja Proyek Jalan Trans Papua. Kompas.com.
https://nasional.kompas.com/read/2018/12/05/15320921/kkb-papua-bantah-
terlibat-pembunuhan-pekerja-proyek-jalan-trans-papua

Asshiddiqie, J. (2006). Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Konstitusi


Press.

Born, H., & Hänggi, H. (2005). The 'Double Democratic Deficit': Parliamentary
Oversight and Civil-Military Relations in Europe. The Geneva Centre for the
Democratic Control of Armed Forces (DCAF) Working Paper No. 178.

Croissant, A., Kuehn, D., & Chambers, P. (2010). Civilian Control Redefied.
Contemporary Southeast Asia, Vol. 32. No. 2.

Croissant, A., & Kuehn, D. (2017). Civilian control of the military and democracy:
Conceptual and theoretical perspectives. Dalam A. Croissant & D. Kuehn
(Eds.), Reforming civil-military relations in new democracies (pp. 3-24).
Springer.

25
Damanik, R. (2003). Tragedi Kemanusiaan di Poso, Poso: Puslit Kemasyarakatan dan
Budaya Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Kammen, D., & Sidel, J. T. (2007). Divide and conquer? The military, the civil service,
and the domestic consequences of security pluralism in Indonesia. Dalam B.
Harriss-White & G. White (Eds.), Civil resistance, democracy and the state:
Essays on political pluralism in India and Indonesia (pp. 191-216). Palgrave
Macmillan.

Joffe, J. (2019). “The Civilian Control of the Military: A Constitutional Perspective”.


Yale Law Journal, Vol. 12. No. 1.

Laksmana, E. A. (2019). “Pragmatic Equator: How Indonesia's Foreign Policy Tackles


the South China Sea Dispute”. Asia Policy, Vol. 14. No. 4.

Laksmana, E. A. (2019). “Indonesia's Rising Maritime Capabilities: Towards A 'Global


Maritime Fulcrum'?”. Asia Policy, Vol. 14. No. 2.

Mietzner, M. (2009). Military Politics, Islam, And the State in Indonesia: From
Turbulent Transition to Democratic Consolidation. Institute of Southeast Asian
Studies.

Mietzner, M. (2009). Indonesia's Civil-Military Relations: An Untold Story. Dalam B.


Singh (Ed.), Civil-Military Relations in Democratizing Indonesia: The
Potentials and Limits to Reform (pp. 21-42). Springer.

Mietzner, M. (2020). “Indonesia's Civil-Military Relations: Reformasi and Beyond”.


Journal of Current Southeast Asian Affairs, Vol. 38. No. 9.

Monaghan, A. (2017). “The Russian Style of Civil-Military Relations: Mechanisms of


Power and Control”. Chatham House Briefing Paper, Vol. 6. No. 2

Ricklefs, M. C. (2008). A history of modern Indonesia since c. 1200 (4th ed.). Stanford
University Press.

26
Sukma, R. (2004). Security Operations in Aceh: Goals, Consequences, and Lessons.
East-West Center Washington.

Suryanto, E. (2023). “Tantangan Penempatan TNI dan POLRI di Bawah Presiden dalam
Perspektif Demokrasi”. Jurnal Studi Politik, Vol. 15. No. 2

Susilo, A. (2021). “Penempatan TNI dan POLRI di Bawah Kendali Presiden: Analisis
Konstitusional”. Jurnal Hukum dan Politik, Vol. 8. No. 2

Warburton, E. (2016). “Jokowi and the New Developmentalism”. Bulletin of


Indonesian Economic Studies, Vol. 52. No. 3.
https://doi.org/10.1080/00074918.2016.1249262

Widodo, J. (2022). “Memperkuat Sistem Pertahanan dan Keamanan Nasional: Peranan


Presiden dalam Pengendalian TNI dan POLRI”. Jurnal Keamanan Nasional,
Vol. 10. No. 1.

27

Anda mungkin juga menyukai