Anda di halaman 1dari 2

Periode kolonial

Upaya kolonisasi oleh Portugal


Artikel utama: Imperium Portugal di Nusantara

Tanaman pala menjadi salah satu komoditas yang mendorong


bangsa-bangsa Eropa melakukan penjelajahan dunia, hingga sampai di Nusantara.
Sejak terputusnya jalur perdagangan Laut Tengah karena jatuhnya Konstantinopel ke tangan
bangsa Turki Utsmani pada tahun 1453, bangsa-bangsa Eropa sejak saat itu berusaha mencari
jalur alternatif lain untuk memperoleh komoditas rempah-rempah yang dibutuhkan.
Berkembangnya teknologi pelayaran pada abad ke-16 membuat bangsa-bangsa Eropa
melakukan ekspedisi jalur laut besar-besaran untuk mencari dan menguasai wilayah-wilayah
yang kaya akan rempah-rempah.[69]
Sebagai salah satu bangsa yang merintis gelombang ekspedisi dan kolonialisme di Dunia Timur,
armada Portugis di bawah kepemimpinan Afonso de Albuquerque, yang telah
menguasai Goa pada saat itu, melanjutkan ekspedisinya ke timur hingga sampai di Kepulauan
Nusantara.[70] Pada tahun 1511, armada Portugis yang sampai di Melaka kemudian menyerang
dan menduduki negara tersebut. Penyerangan ini menjadi titik awal
dimulainya kolonialisme di Nusantara.[71] Negara-negara sekitar yang merasa terancam kemudian
mengecam penyerangan tersebut. Setahun setelah peristiwa tersebut, Demak mengirimkan
armada laut ke Melaka untuk menyerang balik armada Portugis, tetapi usaha tersebut gagal. [70]
Pada tahun 1512, Albuquerque mengirimkan armada yang dipimpin oleh António de
Abreu dan Francisco Serrão menuju Kepulauan Maluku demi memonopoli
perdagangan cengkih dan pala.[72] Pasukan tersebut disambut baik oleh Sultan Ternate saat itu,
yakni Bayanullah. Ia mengizinkan armada Portugis untuk membangun benteng dan mendapat
hak monopoli perdagangan rempah-rempah di Ternate, dengan imbalan bantuan kekuatan
militer untuk Ternate, karena pada saat itu Ternate sedang bermusuhan dengan Tidore.
[70]
Benteng tersebut kini menjadi situs reruntuhan bernama Benteng Kastela.
Pada tahun 1521, armada Spanyol yang melakukan ekspedisi ke barat, alih-alih ke timur seperti
yang dilakukan oleh armada Portugis, sampai di Kepulauan Filipina. Namun, konflik yang pecah
antara pasukan Spanyol dan penduduk setempat yang hingga menyebabkan tewasnya
pemimpin ekspedisi, Fernando de Magelhaens, tersebut membuat armada yang tersisa di bawah
kepemimpinan Juan Sebastián Elcano melanjutkan perjalanan hingga sampai di Kepulauan
Maluku pada tanggal 8 November 1521. Kedatangan mereka ditentang oleh orang-orang
Portugis yang terlebih dahulu singgah di Maluku dan bekerja sama dengan pemerintahan
Ternate, serta menuding bahwa mereka melanggar Perjanjian Tordesillas. Demi mendapat
kesempatan dalam menguasai rempah di Maluku, bangsa Spanyol kemudian mendekati musuh
Ternate, yaitu Tidore, dan membantu mereka melawan Ternate dan Portugal.[73]
Peta buatan tahun 1519 yang menunjukkan pulau-
pulau di Maluku Utara, yang dipasangkan dengan bendera Portugal saat itu.
Armada Portugis yang ada di Nusantara meneruskan ambisi memperbesar wilayah koloni
dengan rencana menguasai Selat Sunda. Pada tahun 1522, mereka membuat perjanjian kerja
sama dengan raja Sunda saat itu, Prabu Surawisesa, yang berisi izin untuk mendirikan bentang
bagi armada Portugis di Banten dan Sunda Kelapa dengan imbalan bantuan militer Portugis
kepada Sunda dalam menghadapi Demak dan Cirebon. Namun, kerja sama tersebut tidak
pernah dapat dilaksanakan. Armada yang dipimpin oleh Francisco de Sá, yang ditunjuk untuk
melaksanakan perjanjian tersebut, mengalami bencana topan di Teluk Benggala. Beberapa dari
mereka yang mendarat dengan selamat di Sunda Kelapa kemudian diserang oleh
pasukan Fatahillah yang sedang merebut daerah Banten dan Sunda Kelapa. Karena melihat hal
tersebut, armada Portugis akhirnya angkat kaki dari Selat Sunda.[72]
Persaingan antara kubu Ternate–Portugal melawan kubu Tidore–Spanyol di Kepulauan Maluku
yang semakin memanas akhirnya membuat perang meletus. Selama peperangan yang terjadi
cukup lama di antara kedua kubu tersebut, kekuatan kubu Ternate–Portugal menjadi semakin
unggul. Peperangan tersebut berakhir dengan kekalahan kubu Tidore–Spanyol dan
penandatanganan Perjanjian Zaragoza pada tanggal 22 April 1529, yang menyebabkan armada
Spanyol harus angkat kaki dari Maluku dan kembali ke Kepulauan Filipina.[74]
Setelah kepergian Spanyol, hubungan antara Portugal dan Ternate mulai meregang. Bangsa
Portugis mulai mencoba untuk memperbesar pengaruh mereka, sementara pemerintah Ternate
mulai menyadari bahwa orang-orang Portugis sudah terlalu banyak ikut campur dengan urusan
internal negara, terutama mengenai suksesi takhta. Perseteruan yang memuncak pada
terbunuhnya Sultan Khairun Jamil dari Ternate di tangan pasukan Portugis akhirnya memantik
kemarahan rakyat Ternate, sehingga pasukan Ternate dan sekutunya yang dipimpin oleh
Sultan Baabullah dari Ternate menyerang pasukan-pasukan Portugis dan memicu Perang
Ternate–Portugal. Diperparah dengan pasukan tambahan dari pihak bangsa Portugis yang tidak
dapat dikirim karena penyerangan Aceh untuk merebut Melaka Portugis yang terjadi di saat yang
bersamaan, Ternate dan sekutunya akhirnya berhasil mengusir sebagian besar pasukan
Portugis yang tercerai-berai. Pengaruh bangsa Portugis di Kepulauan Maluku benar-benar tamat
setelah bangsa Belanda masuk dan menduduki Maluku.[74]

Anda mungkin juga menyukai