Anda di halaman 1dari 4

Awal kolonisasi Belanda dan monopoli VOC

Artikel utama: Perusahaan Hindia Timur Belanda di Nusantara

Cornelis de Houtman, pelopor bangsa Belanda masuk ke


Kepulauan Nusantara.
Didorong oleh fakta bahwa Portugal mendominasi perdagangan rempah-rempah di Benua
Eropa, dan ditambah dengan kesepakatan antara Portugal dan Spanyol, yang saat itu sedang
melawan Belanda dalam Perang Delapan Puluh Tahun, untuk bersatu dan dan membentuk Uni
Iberia, bangsa Belanda mulai berusaha untuk mencari dan memperoleh sendiri rempah-rempah
untuk diperdagangkan.[75] Berbekal rute pelayaran armada Portugis sebelumnya, armada kapal
dari Republik Belanda di bawah kepemimpinan Cornelis de Houtman memulai ekspedisi pertama
Belanda ke Dunia Timur pada tahun 1595, hingga akhirnya sampai di perairan Banten pada
tanggal 27 Juni 1596. Armada tersebut kemudian menyusuri sepanjang pantai utara Pulau
Jawa hingga Bali, tetapi persinggahan-persinggahan mereka di sepanjang penyusuran sering
kali menimbulkan penolakan dan bahkan perseteruan dari penduduk setempat karena tabiat
Houtman dan anak buahnya yang buruk. Setelah setahun kemudian, pertempuran dengan
penduduk-penduduk lokal telah membuat mereka kehilangan separuh dari awak armada
mereka, sehingga Houtman memutuskan untuk kembali ke Belanda. Namun dari ekspedisi
tersebut, mereka berhasil membawa serta peti-peti berisi rempah-rempah dalam jumlah yang
banyak, sehingga ekspedisi tersebut dianggap sukses.[76]
Melihat keberhasilan rombongan Houtman, mulai tahun 1598 hingga beberapa tahun
setelahnya, berbagai kapal yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan berbeda berbondong-
bondong menuju Nusantara demi mencari rempah-rempah. Salah satu di antaranya yang paling
terkenal adalah rombongan ekspedisi yang dipimpin Jacob Corneliszoon van Neck. Belajar dari
kesalahan yang dilakukan oleh armada-armada Portugis dan rombongan Houtman, mereka
umumnya berhati-hati dalam bersikap kepada penduduk lokal dan bahkan mencoba untuk
merangkul penguasa-penguasa lokal. Oleh karena itu, pedagang-pedagang Belanda berhasil
dalam memonopoli perdagangan rempah saat itu.[76]

Lambang VOC, suatu serikat dagang Belanda yang


memonopoli perdagangan rempah di Nusantara.
Karena besarnya persaingan perdagangan rempah-rempah di antara pedagang-pedagang
Belanda dan di seluruh Eropa, perusahaan dagang tunggal yang mengayomi pedagang-
pedagang Belanda tersebut dibentuk oleh Dewan Negara Belanda pada tanggal 20 Maret 1602,
dan diberi nama Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC). Dengan pendirian badan usaha
tersebut, diharapkan bahwa persaingan antara sesama pedagang Belanda menjadi berkurang,
dan pada saat yang sama dapat menyaingi perusahaan-perusahaan dan serikat-serikat
dagang di luar Belanda. Oleh Dewan Negara Belanda, VOC diberikan hak khusus dalam piagam
yang disebut "oktroi" (octrooi), yang pada dasarnya memperbolehkan VOC untuk memiliki
angkatan perang sendiri, mencetak mata uang sendiri, serta memonopoli perdagangan dan
menekan penguasa-penguasa lokal di kawasan Nusantara.[77]
Mulai pada tahun 1603, VOC membangun pos-pos perdagangan di Banten, Ambon, Jayakarta,
dan lain-lain. Namun pada tahun 1604, VOC bersikukuh dengan armada Perusahaan Hindia
Timur Britania (EIC) yang sampai di Maluku demi tujuan yang sama dengan VOC. Hal ini
memicu persaingan ketat antara VOC dan EIC untuk memperoleh rempah-rempah sebanyak-
banyaknya di Nusantara.[78]
Pada tahun 1610, posisi gubernur jenderal dipersiapkan untuk mempermudah administrasi dan
kendali atas pos-pos perdagangan di Nusantara. Pieter Both ditunjuk sebagai gubernur jenderal
pertama pada tanggal 19 Desember 1610. Dalam salah satu kebijakannya, Both
menetapkan Ambon sebagai pusat pemerintahan.[77] Pada tanggal 30 Mei 1619, gubernur
jenderal yang baru menjabat saat itu, Jan Pieterszoon Coen, memerintahkan armada kapal VOC
untuk menyerang Jayapura, mengusir pasukan kerajaan dari Banten, dan mendirikan Batavia.
Sementara itu, EIC berhasil membuka banyak pos perdagangan selama tahun 1611–1617, yang
di antaranya ialah di Sukadana, Makassar, Jayakarta, Jepara, Aceh, Pariaman, dan Jambi. Hal
ini sangat mengancam keberadaan VOC dan akhirnya memperburuk perseteruan antara EIC
dan VOC. Pada tahun 1620, Belanda dan Inggris membuat perjanjian diplomatik untuk
melakukan kerja sama dalam perdagangan rempah-rempah, tetapi berakhir tiga tahun kemudian
dengan terjadinya Pembantaian Amboina terhadap beberapa orang Inggris yang membuat
hubungan diplomatik Belanda–Inggris terputus dan armada Inggris berangsur-angsur
meninggalkan wilayah Nusantara.[79] Setelah kepastian itu, nama Hindia
Belanda (Belanda: Nederlandsch-Indië (ejaan lama), Nederlands-Indië (ejaan baru)) mulai
digunakan secara resmi di dalam dokumen-dokumen VOC sejak awal tahun 1620-an.[80]
Selama satu abad setelahnya, VOC berkembang sangat pesat dan menjadi badan usaha yang
sangat sukses pada masanya, serta berhasil menguasai sebagian besar Pulau
Jawa, Painan di Sumatra, Makassar, Manado, serta Pulau Seram, Pulau Buru, dan pulau-pulau
sekitarnya. VOC yang lihai dalam memainkan politik di beberapa negara kecil di Nusantara
memaksa penguasa-penguasa lokal dari wilayah tersebut menandatangani
beberapa perjanjian damai yang terkenal. Beberapa di antaranya adalah Perjanjian
Bungaya dan Perjanjian Painan.[81] Pada tahun 1669, VOC menjadi perusahaan swasta terkaya
yang ada di dunia pada saat itu, dengan aset-aset yang terdiri atas sekitar 150 kapal dagang, 40
kapal perang, 50.000 karyawan, 10.000 tentara swasta, dan pembayaran dividen sebesar 40%
dari investasi awal.
Meskipun demikian, perebutan wilayah oleh VOC tetap mendapat perlawanan dari penduduk
setempat. Setelah hubungan diplomatik dengan VOC putus,
pasukan Mataram merencanakan penyerbuan ke Batavia sebanyak dua kali, yakni pada tahun
1628 dan 1629, meskipun kedua penyerbuan tersebut akhirnya gagal karena kekurangan
perbekalan.[82] Beberapa dekade setelahnya di Pulau Sulawesi, VOC melancarkan penyerangan
terhadap Gowa pada tahun 1666–1669. Dalam peperangan inilah, Hasanuddin, Sultan Gowa
pada saat itu, dipaksa untuk menandatangani Perjanjian Bungaya.[83]
Pembagian Mataram setelah Perjanjian
Giyanti (1755) dan Salatiga (1757).
Pada tahun 1704–1708, VOC mencampuri urusan rumah tangga kerajaan di Mataram
dengan memerangi pasukan Amangkurat III, yang berakhir dengan kemenangan VOC dan
diangkatnya Pakubuwana I sebagai raja Mataram. Kemudian pada tahun 1719–1723, VOC
diminta oleh Amangkurat IV untuk membantu dalam perang melawan keluarga kerajaan yang
memberontak.[84] Pada tahun 1940, terjadi peristiwa Geger Pacinan, yaitu pembantaian orang-
orang Tionghoa yang tinggal di Batavia pada saat itu. Pembantaian tersebut memicu
pecahnya Perang Jawa (1741–1743) dan Perang Kuning (1750) antara pasukan
gabungan orang Jawa dan orang Tionghoa melawan pasukan Belanda.[85] Pada saat yang relatif
bersamaan, rangkaian konflik antaranggota keluarga kerajaan Mataram yang berlangsung dari
tahun 1749–1757 juga beberapa kali diintervensi oleh VOC. Pada konflik inilah negara Mataram
bubar dan terpecah menjadi beberapa negara baru, yaitu Mangkunagaran, Yogyakarta,
dan Surakarta, berdasarkan Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755) dan Perjanjian Salatiga (17
Maret 1757).[86] Pada tahun 1771–1772, Perang Puputan Bayu, yang pecah akibat
masyarakat Blambangan yang tidak terima wilayahnya diserahkan ke dalam kekuasaan
Belanda, berhasil diredam oleh pasukan Belanda, tetapi dengan bayaran korban jiwa yang
sangat besar dari kedua kubu.[87]

Peta Asia Tenggara yang dibuat sekitar tahun


1674–1745 oleh Kâtip Çelebi, seorang ahli geografi Turki Utsmani.
Setelah tahun 1730, kejayaan VOC mulai merosot. Hal ini diakibatkan oleh kektidaksiapan VOC
dalam menghadapi persaingan perdagangan komoditas yang berubah-ubah dan semakin ketat,
serta ditambah dengan korupsi di kalangan internal dan kurangnya jaminan keselamatan atas
pegawai-pegawai VOC.[88] Setelah Perang Inggris-Belanda Keempat, VOC mengalami krisis
finansial yang sangat buruk yang membuatnya hampir tidak dapat beroperasi. VOC sempat
diambil alih oleh Republik Batavia, negara penerus Republik Belanda, mulai pada tanggal 1
Maret 1796 dan hendak untuk diselamatkan dari krisis, tetapi akhirnya tidak berhasil. Pada
tanggal 31 Desember 1799, VOC resmi berhenti beroperasi, sementara aset-asetnya
dinasionalisasi menjadi milik Pemerintah Republik Batavia dan wilayah yang diduduki
sebelumnya secara praktis menjadi koloni Belanda.[89] Bangsa Belanda masih menguasai secara
penuh pos-pos perdagangan tersebut secara penuh selama kira-kira enam tahun,
hingga Prancis membubarkan negara Batavia dan mendirikan negara boneka bernama Kerajaan
Hollandia.

Anda mungkin juga menyukai