Anda di halaman 1dari 56

OPTIMALISASI DOSIS PEMBERIAN EKSTRAK DAUN

KARAMUNTING (Melastoma malabathricum L) PADA PROSES


GANTI KULIT KEPITING BAKAU (Scylla serrata)

SKRIPSI

OLEH:
FILUJJATI BAKHRIL WAHDAH ALMALIKI
17.401010.42

PROGRAM STUDI AKUAKULTUR


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS BORNEO TARAKAN
2021
OPTIMALISASI DOSIS PEMBERIAN EKSTRAK DAUN
KARAMUNTING (Melastoma malabathricum L) PADA PROSES
GANTI KULIT KEPITING BAKAU (Scylla serrata)

SKRIPSI

OLEH:
FILUJJATI BAKHRIL WAHDAH ALMALIKI
17.401010.42

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Perikanan
Pada
Universitas Borneo Tarakan

PROGRAM STUDI AKUAKULTUR


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS BORNEO TARAKAN
2021

i
PERNYATAAN ORISINALITAS

Dengan ini saya menyatakan bahwa Laporan Akhir/ Skripsi Tugas Akhri dengan
Judul “Optimalisasi Dosis Pemberian Ekstrak Daun Karamunting (Melastoma
malabathricum L) Pada Proses Ganti Kulit Kepiting Bakau (Scylla serrata)” adalah
karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
Laporan Akhir/ Skripsi ini. Penulisan ini ditulis dengan mengikuti kaidah penulisan
ilmiah.

ii
HALAMAN PENGESAHAN

Judul Skripsi : Optimalisasi Dosis Pemberian Ekstrak Daun


Karamunting (Melastoma malabathricum L) Pada
Proses Ganti Kulit Kepiting Bakau (Scylla serrata)
Nama : Filujjati Bakhril Wahdah Almaliki
NPM : 17.401010.42

iii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang sudah melimpahkan
rahmat, taufiq, hidayah dan inayah-Nya kepada kami sehingga kami mampu
merampungkan pembuatan skripsi dengan judul “Optimalisasi Dosis Pemberian
Ekstrak Daun Karamunting (Melastoma malabathricum L) Pada Proses Ganti
Kulit Kepiting Bakau (Scylla serrata)”
Pembuatan skripsi ini untuk melengkapi salah satu persyaratan untuk lulus
pada Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan Universitas Borneo Tarakan. Berkat
Pertolongan dari berbagai pihak yang mau meluangkan waktu dan pikirannya
sehingga saya bisa menyelesaikan penulisan skripsi ini. Maka dari itu, pada
kesempatan ini saya ingin menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya
kepada:
1. Kedua orang tua saya serta keluarga, yang telah memberikan motivasi yang
sangat bermanfaat, serta tak henti-hentinya berdoa sehingga menjadikan saya
sampai dengan saat ini.
2. Bapak Rukisah Saleh, S.Pi., MP., Ph.D selaku Dekan Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan Universitas Borneo Tarakan.
3. Bapak Jimmy Cahyadi S.Pi., M.Si selaku Kepala Jurusan Akuakultur Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Borneo Tarakan
4. Ibu Dr. Nuril Farizah, S.Pi., M.Si. Selaku dosen Pembimbing I dalam penulisan
tugas akhir yang telah memberi arahan, masukan serta saran dalam penulisan
skripsi ini.
5. Ibu Diana Maulianawati, M.Si. Selaku dosen Pembimbing II dalam penulisan
tugas akhir yang telah memberi arahan, masukan serta saran dalam penulisan
skripsi ini.
6. Bapak Zainuddin, S.Pi, M.Sc. Selaku dosen Penguji I yang telah bersedia
meluangkan waktunya untuk memberikan banyak masukan dalam penulisan
skripsi ini
7. Bapak Dr. Muh. Firdaus, S.Pi, M.Si. Selaku dosen Penguji II yang telah bersedia
meluangkan waktunya untuk memberikan banyak masukan dalam penulisan
skripsi ini

iv
8. Serta teman-teman (Ayu gelo, Indra zuhal, Agung dwi, Andi Rayhan,
Moh.Amin, Dandi Ramadhan, Muh.Maizan, Ridwansyah Darnius Joko,dan
Muhamad Alwi) yang banyak membantu dan memberi masukan dalam
penyusunan tugas akhir.
9. Rekan-rekan penelitian kepiting bakau (Moh.Amin, Dandi Ramadhan, dan
Muh.Maizan) yang telah sama-sama berjuang menjalankan penelitian hingga
selesai.
Terakhir, saya menyadari dalam penyusunan skripsi ini masih ada
kekurangan baik dari segi penulisan maupun kelengkapan informasi, untuk itu saya
berharap ada saran dan kritikan dari pembaca semua agar saya bisa lebih baik lagi
dimasa yang akan datang.

v
OPTIMALISASI DOSIS PEMBERIAN EKSTRAK DAUN
KARAMUNTING (Melastoma malabathricum L) PADA PROSES GANTI
KULIT KEPITING BAKAU (Scylla serrata)

Abstrak

Pertumbuhan kepiting bakau melalui proses moulting membutuhkan hormon


ekdisteroid. Hormon ekdisteroid dihasilkan oleh hewan dan tumbuhan. Pada
tumbuhan, ekdisteroid dikenal dengan fitoekdisteroid. Salah satu bahan baku yang
memiliki kandungan bioaktif seperti hormon ekdisteroid adalah daun karamunting
(Melastoma malabathricum L). Tujuan penelitian ini adalah menguji potensi
karamunting sebagai sumber pengganti hormon yang berasal dari tumbuhan untuk
stimulan proses moulting pada kepiting bakau (Scylla serrata). Penelitian ini
merupakan penelitian eksperimental, menggunakan rancangan acak lengkap
dengan 4 perlakuan dan 5 ulangan. Perlakuan A (Kontrol), perlakuan B (3 µg/g),
perlakuan C (5 µg/g) dan perlakuan D (7 µg/g). Diperoleh hasil bahwa penyuntikan
dengan dosis terbaik adalah 5 µg/g bobot tubuh memberikan presentase moulting
terbaik dengan nilai sintasan hidup 100%. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa
pada pemberian ekstrak daun karamunting (Melastoma malabthricum L) dapat
berperan terhadap stimulant moulting pada kepiting bakau (Scylla serrata).
Kata kunci : Pertumbuhan, Fitoekdisteroid, Hormon, Herbal.

vi
OPTIMIZATION OF INJECTION OF KARAMUNTING LEAF EXTRACT
(Melastoma malabathricum L) IN THE SKIN REPLACEMENT PROCESS
OF MANGROUND CRAB (Scylla serrata)

Abstract

The growth of mangrove crabs through the moulting process requires ecdysteroid
hormones. Ecdysteroid hormones are produced by animals and plants. In plants,
ecdysteroids are known as phytoecdysteroids. One of the raw materials that has
bioactive content such as ecdysteroid hormones is karamunting leaf (Melastoma
malabathricum L). The purpose of this study was to examine the potential of
karamunting as a substitute source of plant-derived hormones to stimulant the
moulting process in mud crabs (Scylla serrata). This research is an experimental
study, using a completely randomized design with 4 treatments and 5 replications.
Treatment A (control), treatment B (3 g/g), treatment C (5 g/g) and treatment D (7
g/g). That the results of the injection with the best dose of 5 g/g body weight giving
the best percentage of moulting with a survival value of 100% serrata).

Key words: Growth, Phytoecdysteroids, Hormones, Herbs.

vii
DAFTAR ISI

Halaman Judul ............................................................................................... i


Pernyataan Orisinalitas ................................................................................. ii
Lembar Pengesahan ..................................................................................... iii
Kata Pengantar ............................................................................................. iv
Abstrak ......................................................................................................... vi
Abstract ........................................................................................................ vii
Daftar Isi ...................................................................................................... viii
Daftar Tabel ................................................................................................. x
Daftar Gambar ............................................................................................. xi
BAB 1 PENDAHULUAN ........................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................................ 1
1.2 Tujuan ..................................................................................................... 2
1.3 Manfaat ................................................................................................... 2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................. 3
2.1. Klasifikasi Kepiting Bakau (Scylla sp.) ................................................. 3
2.2. Morfologi Kepiting Bakau (Scylla sp.) .................................................. 3
2.3. Siklus Hidup Kepiting Bakau ................................................................ 4
2.4. Pergantian Kulit (Moulting) .................................................................. 6
2.5. Metode Dalam Menghasilkan Kepiting Soka ........................................ 7
2.6. Penggunaan Senyawa Bioaktif Dari Tumbuhan .................................... 8
2.7. Faktor-Faktor Mempengaruhi Pergantian Kulit (Moulting) ................. 9
2.8. Klasifikasi Karamunting (Melastoma malabathricum L.) .................... 11
2.9. Morfologi Karamunting (Melastoma malabathricum L.) ..................... 12
BAB 3 METODE PENELITIAN ............................................................. 14
3.1. Waktu dan Tempat ............................................................................... 14
3.2 Bahan .................................................................................................... 14
3.3 Alat ........................................................................................................ 14
3.4 Prosedur Penelitian ................................................................................ 14
3.5 Parameter Uji ......................................................................................... 16
3.6 Analisis Data .......................................................................................... 18

viii
BAB 4 PEMBAHASAN ............................................................................. 19
4.1 Persentase Moulting ............................................................................... 19
4.2 Laju Kecepatan Masa Laten Moulting ................................................... 20
4.3 Pertumbuhan Lebar Karapas dan Laju Pertumbuhan Harian ................. 23
4.4 Survival Rate (SR) ................................................................................. 25
4.5 Parameter Kualitas Air ........................................................................... 26
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................... 28
5.1 Kesimpulan ............................................................................................ 28
5.2 Saran ....................................................................................................... 28
Daftar Pustaka .............................................................................................. 29
Riwayat Hidup ............................................................................................. 36
Lampiran ...................................................................................................... 37

ix
DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Penempatan Hewan Uji Yang Sudah Diberi Perlakuan ........... 15
Tabel 3.2 Parameter Kualitas Air, Satuan Dan Alat Ukur ....................... 18
Tabel 4.1 Masa Laten Moulting Kepiting Bakau ..................................... 21
Tabel 4.2 Survival Rate (SR) .................................................................. 26
Tabel 4.3 Kisaran Nilai Parameter Kualitas Air ...................................... 26

x
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Kepiting Bakau (Scylla) ............................................................. 3


Gambar 2.2 Karamunting (Melastoma malabathricum L) ........................... 11
Gambar 3.1 Crab box ........................................................................................ 15
Gambar 4.1 Grafik Persentase Moulting ....................................................... 20
Gambar 4.2 Grafik Laju Pertumbuhan Harian .............................................. 24
Gambar 4.3 Pertumbuhan Lebar Karapas Mutlak Kepiting Bakau .............. 25

xi
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kepiting bakau memiliki nilai ekonomis tinggi di wilayah Indo-Pasifik,
karena memiliki rasa daging yang enak dan kandungan gizi yang tinggi (Susanto,
2008). Kepiting bakau (Scylla spp.) tergolong dalam famili Portunidae yang hidup
hampir di seluruh perairan pantai terutama pada pantai yang ditumbuhi mangrove,
perairan dangkal yang dekat dengan hutan mangrove, estuari, dan pantai berlumpur
yang berperan dalam peranan ekologis lainnya (Marcus, 2011).
Kegiatan budidaya kepiting bakau telah banyak dilakukan oleh para petani
atau petambak, meliputi; usaha pembenihan, pembesaran, pengemukan, kepiting
bertelur, dan kepiting lunak. Salah satu komoditas kepiting bakau yang memiliki
ekonomis tinggi adalah produksi kepiting bakau lunak. Kepiting bakau cangkang
lunak adalah kepiting bakau fase ganti kulit (moulting) atau biasa disebut dengan
kepiting soka. Kepiting dalam fase ini mempunyai keunggulan yaitu mempunyai
cangkang yang lunak (soft shell mud crab) sehingga dapat dikonsumsi secara utuh
(Nurdin dan Armando, 2010). Sugama (2013), menyatakan bahwa terdapat peluang
pasar yang potensial bagi budidaya kepiting soka terutama ke pasar Singapore,
Hongkong, Taiwan, Uni Eropa, USA, China dan Jepang dengan kisaran harga
kepiting soka mencapai Rp.110.000/kg. Permintaan kepiting soka yang terus
meningkat baik dari pasar domestik dalam negeri maupun dari negara Jepang,
Singapore Taiwan dan China serta tingkat harga yang kompetitif menjadikan
industri kepiting soka menjadi makin popular dan prospektif.
Salah satu teknik dalam produksi kepiting soka adalah mutilasi. Teknik
mutilasi menjadi cara yang paling praktis untuk mempercepat terjadinya molting
serta dapat diterapkan secara massal. Dengan mematahkan anggota tubuh kepiting,
maka akan memacu hormon pertumbuhan untuk membentuk kembali anggota
badan yang hilang. Cara ini dapat menjadikan kepiting muda dapat berganti kulit
dalam kurun waktu 2-3 minggu tergantung pada ketelitian dalam memilih kepiting
yang telah mendekati fase ganti kulit. Pemotongan kaki jalan menurut Nurdin dan
Armando (2010), yaitu dengan menekan semua bagian kaki jalan menggunakan

1
tang pada pangkal kaki sehingga kaki jalan patah dengan sendirinya. Mutilasi capit
dilakukan dengan memotong sepasang capit serta membiarkan organ lain tetap
utuh. Mutilasi kaki jalan dan capit yaitu dengan memotong seluruh organ dan
membiarkan kaki renang tetap utuh. Kendala dalam produksi kepiting soka
menggunakan teknik mutilasi membutuhkan keterampilan yang tinggi untuk
menghasilkan soka sehinga tingkat kegagalan tinggi..
Salah satu terobosan yang telah dilakukan oleh Fujaya dkk. (2007) adalah
ditemukannya stimulan molting yang berasal dari ekstrak bayam. Penemuan ini
sangat menjanjikan untuk teknologi produksi kepiting cangkang lunak (soft shell)
yang telah ada sebelumnya dengan cara mutilasi (Karim 2007). Hasil penelitian
tersebut menunjukkan bahwa senyawa bioaktif tumbuhan memiliki efek fisiologis
seperti hormon pada hewan. Penggunaan senyawa bioaktif dari tumbuhan untuk
mempercepat proses moulting telah dilaporkan oleh para peneliti. Penggunaan daun
murbei pada kepiting sebagai moulting stimulant, memperlihatkan pemberian
ekstrak daun murbei dengan konsentrasi 100 µg/L menghasilkan moulting
sebanyak 50%, sedangkan pada perlakuan kontrol dan konsentrasi 125 µg/L dan
150 µg/L hanya menghasilkan 33,3% (Herlinah, dkk,2014).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Sadrianto (2020) menunjukkan
bahwa pemberian ekstrak daun karamunting (Melastoma malabathricum L) mampu
berperan sebagai stimulan molting pada kepiting bakau (Scylla serrata) dengan
dosis penyuntikan 9 μg/g memberikan presentase molting terbanyak. Diperlukan
pengujian lebih lanjut mengenai dosis optimal dari ekstrak daun karamunting
sebagai stimulator moulting pada kepiting bakau (Scylla serrata)
1.2 Tujuan
Penelitian ini bertujuan mengoptimalisasi dosis ekstrak daun karamunting
sebagai stimulator moulting pada proses ganti kulit kepiting bakau (Scylla serrata)

1.3 Manfaat
Hasil dari penelitian ini dapat menjadi sumber hormon alternatif dari
tumbuhan yang digunakan pada kegiatan produksi budidaya kepiting bakau lunak
(soft shell crab).

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Klasifikasi Kepiting bakau (Scylla sp.)


WWF (2015) menyatakan bahwa kepiting bakau (Scylla sp) berdasarkan
taksonominya (Gambar 2.1) dapat diklasifikasikan sebagai beikut:

Kingdom : Animalia
Phyllum : Arthropoda
Class : Crustaceae
Sub class :Malacostraca
Ordo : Decapoda
Sub ordo : Brachyuran
Familia : Portunidae
Genus : Scylla
Species : Scylla sp.

Gambar 2.1 Kepiting Bakau (Scylla sp)


(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2021)
2.2. Morfologi Kepiting bakau (Scylla sp)
Kepiting bakau merupakan salah satu kelompok Crustacea. Tubuh kepiting
ditutupi dengan karapas, yang merupakan kulit keras atau exoskeleton (kulit luar)
dan berfungsi untuk melindungi organ bagian dalam kepiting (Prianto, 2007). Kulit
yang keras tersebut berkaitan dengan fase hidupnya (pertumbuhan) yang selalu

3
terjadi proses pergantian kulit (moulting). Kepiting bakau genus Scylla ditandai
dengan bentuk karapas yang oval bagian depan pada sisi panjangnya terdapat 9 duri
di sisi kiri dan kanan serta 4 yang lainnya diantara ke dua matanya.
Kepiting bakau (Scylla serrata) merupakan salah satu jenis dari Crustaceae
dari famili Portunidae yang mempunyai nilai protein tinggi dan dapat dimakan,
serrata merupakan salah satu spesies yang mempunyai ukuran paling besar dalam
genus Scylla (Rangka, 2007).
Berdasarkan morfologinya, perbedaan pada kepiting bakau jantan dan
betina yaitu: Kepiting bakau jantan memiliki sepasang capit yang lebih besar bila
dibandingkan dengan capit yang dimiliki kepiting betina, organ kelamin kepiting
jantan menempel pada bagian perut (Kanna, 2002). Menurut Tiurlan dkk. (2019)
yang menyebutkan bahwa organ kelamin kepiting jantan berbentuk segitiga agak
runcing yang menempel di bagian perutnya, sedangkan organ kelamin kepiting
betina berbentuk segitiga yang relatif lebar dan bagian depannya agak tumpul.
Menurut Kanna (2006) kepiting bakau S. olivacea memiliki ukuran lebar karapas
lebih besar daripada ukuran panjang tubuhnya dan permukaanya agak licin. Pada
dahi antara sepasang matanya terdapat enam buah duri dan disamping kanan dan
kirinya masing-masing terdapat sembilan buah duri. Kepiting bakau jantan
memiliki sepasang capit yang dapat mencapai panjang hampir dua kali lipat
daripada panjang karapasnya, sedangkan kepiting bakau betina relatif lebih pendek.
Selain itu, kepiting bakau juga mempunyai 3 pasang kaki jalan dan sepasang kaki
renang.
Siahainenia (2008), menyatakan kepiting bakau memiliki warna karapas
yang bervariasi dari ungu, hijau, sampai hitam kecoklatan. Hal itu karena habitat
alami hewan ini yang berada di kawasan mangrove yang bertekstur tanah pasir
berlumpur. Kepiting bakau jantan memiliki sepasang capit yang dalam keadaan
normal capit (cheliped) sebelah kanan lebih besar dibandingkan capit sebelah kiri
(Kasry, 1996).

2.3 Siklus Hidup Kepiting bakau


Siklus hidup kepiting bakau sebagian besar berlangsung di laut, perairan
bakau atau payau dan eustuaria (muara sungai). Kepiting bakau melangsungkan
perkawinannya di perairan mangrove dan secara berangsur-angsur sesuai dengan

4
perkembangan telurnya, kepiting bakau betina akan bermigrasi ke laut dalam atau
menjauhi pantai untuk mencari lingkungan perairan yang cocok terutama suhu dan
salinitas air laut untuk melepaskan telurnya (ovulasi). Setelah itu induk dan anak-
anaknya akan kembali keperairan pantai, muara sungai atau perairan berhutan
bakau sebagi tempat untuk berlindung (Karim, 2013).
Agus (2008), menyatakan bahwa kepiting bakau dalam menjalani
kehidupannya beruaya dari perairan pantai ke laut, kemudian induk berusaha
kembali ke perairan pantai, muara sungai, atau hutan bakau untuk berlindung,
mencari makanan, atau tumbuh berkembang. Kepiting betina matang pada ukuran
lebar karapas antara 80-120 mm sedangkan kepiting jantan matang secara fisiologis
ketika lebar karapas berukuran 90-110 mm, namun tidak cukup berhasil bersaing
untuk pemijahan sebelum dewasa secara morfologis (yaitu dari ukuran capit)
dengan lebar karapas 140-160 mm.
Kepiting bakau yang telah siap melakukan perkawinan akan memasuki
hutan bakau dan tambak. Kepiting bakau melangsungkan proses perkawinan di
kawasan hutan bakau. Setelah melakukan reproduksinya kepiting bakau betina akan
menuju ke laut untuk melakukan proses pemijahan sedangkan kepiting bakau jantan
akan tetap berada di area hutan mangrove, tambak, atau pada celah-celah perakaran
mangrove (Pratiwi, 2011). Spermatofor kepiting jantan akan disimpan di dalam
spermateka kepiting betina sampai telur siap dibuahi. Jumlah telur yang dihasilkan
dalam sekali perkawinan berkisar 2-8 juta butir telur (Kordi, 2012), bergantung dari
ukuran dan umur kepiting.
Telur yang sudah dibuahi akan menetas menjadi zoea, megalopa, kepiting
muda dan kepiting dewasa. Selama pertumbuhan, kepititng akan mengalami
beberapa kali pergantian kulit. Hal ini terjadi karena rangka luar yang membungkus
tubuhnya tidak dapat membesar. Pada saat berganti kulit, sering terjadi peristiwa
kanibalisme diantara sesama80 kepiting karena kepiting yang sedang berganti kulit
hanya terbungkus oleh kulit luar yang masih lunak sehingga kondisi pertahanan
tubuhnya sangat lemah dan sangat mudah diserang oleh temannya. Untuk
menghindari kanibalisme, perlu disediakan tempat berlindung yang aman bagi
kepiting yang sedang berganti kulit. Di alam pada saat sedang berganti kulit,

5
kepiting biasanya membenamkan diri dalam lumpur untuk menghindari hewan lain
(Iromo, 2019).
Kepiting bakau dalam menjalani kehidupanya beruaya dari perairan pantai
ke perairan laut. Kepiting yang telah beruaya akan berusaha mencari perairan yang
kondisinya cocok untuk melakukan pemijahan, khususnya terhadap suhu dan
salinitas air laut. Setelah telur menetas, maka muncul larva tingkat I (zoea I) yang
terus menerus berganti kulit sampai sebanyak 5 kali sambil terbawa arus ke perairan
pantai sampai ke zoea V. kemudian kepiting tersebut berganti kulit lagi menjadi
megalopa yang bentuk tubuhnya sudah mirip dengan kepiting dewasa, tetapi masih
memiliki bagian ekor yang panjang. Pada tingkat megalopa ini, kepiting mulai
beruaya pada dasar perairan lumpur menjadi perairan pantai. Kemudian pada saat
dewasa kepiting beruaya keperairan berhutan bakau untuk kembali melangsungkan
perkawinan (Iromo, 2019).
Siklus hidup kepiting bakau di alam dalam menjalani kehidupan beruaya
dari perairan pantai ke laut, kemudian induk berusaha kembali ke perairan pantai,
berkembang. Kepiting betina matang pada ukuran lebar karapas antara 80-120 mm
sedangkan kepiting jantan matang secara fisiologis ketika lebar karapas berukuran
90-110 mm, namun tidak cukup berhasil bersaing untuk pemijahan sebelum dewasa
secara morfologis (yaitu dari ukuran capit) dengan lebar karapas 140-160 mm
(Iromo, 2019).

2.4. Pergantian Kulit (Moulting)


Moulting merupakan proses sentral dan berkesinambungan yang terjadi
selama hidup kepiting (Fujaya, 2008). Lama waktu moulting kepiting bakau selama
penelitian berkisar antara 21 – 68 hari. Menurut Habibi dkk. (2013) Pencapaian
moulting yang paling cepat terjadi pada perlakuan mutilasi semua kaki jalan dan
capit dengan pencapaian moulting rata-rata 20 hari. Dalam perkembangan larva
kepiting bakau dari zoea-1 ke zoea selanjutnya memerlukan waktu 3 sampai 4 hari
setelah melewati 5 tingkatan zoea dengan cara 5 kali molting (ganti kulit)
terbentuklah stadia megalopa (Karim, 2013). Pada fase kepiting muda terjadi
pergantian kulit sebanyak lebih dari 6 kali dengan remtamg waktu setiap Moulting
sekitar 30-35 hari (Bunc, dkk,2009).

6
Proses ganti kulit ini menghasilkan peningkatan ukuran badan
(pertumbuhan) secara diskontinu dan secara berkala. Ketika ganti kulit, badan
kepiting menyerap air dan bertambah besar, kemudian terjadi pengerasan kulit.
Setelah kulit luarnya keras, ukuran badan kepiting tetap sampai pada siklus ganti
kulit berikutnya (Rangka dan Sulaeman, 2010).
Wiyanto dan Hartono, (2003), menyatakan moulting berfungsi untuk
merangsang dan mempercepat pertumbuhan. Selain itu, moulting juga berperan
dalam proses pematangan gonad, sehingga betina dapat memproduksi telur dan
jantan dapat reproduksi sperma. Selanjutnya, keduanya menyatakan bahwa
moulting juga berperan dalam menumbuhkan kembali organ yang cacat.
Pengunaan kepiting berjenis kelamin jantan bertujuan agar tidak digunakan
kepiting betina sebagai bibit karena dikhawatirkan kepiting betina yang memiliki
ukuran sekitar 150 gram telah berkembang telurnya dan kepiting betina yang
sedang bertelur tidak akan moulting. (Iromo dkk, 2012).
Banyak penelitian yang dilakukan untuk mempercepat kepiting mengalami
molting seperti dengan rangsangan melalui manipulasi pakan (Prasetyo,dkk, 2013),
manipulasi lingkungan (Rangka dan Sulaeman, 2010), dan teknik pemotongan kaki
atau teknik mutilasi (Nurmadina dkk, 2014).

2.5. Teknologi dalam Budidaya Kepiting Soka


Pertumbuhan kepiting dengan metode ablasi lebih tinggi karena mempunyai
jumlah moulting yang lebih banyak dari metode lainnya. Sedangkan pada saat
moulting, terjadi peningkatan pertumbuhan yang cukup besar baik pertumbuhan
ukuran panjang, lebar maupun beratnya. Menurut Hartnol (2004), pertumbuhan
krustasea dipengaruhi oleh kontrol hormon, yaitu hormon moulting, pengaruh
rangsangan dari luar dan umur. Pertumbuhan krustasea dipengaruhi oleh beberapa
kontrol hormon, di antaranya hormon moulting dan hormon penghambat moulting.
Hormon tersebut banyak diproduksi dalam tangkai mata. Metode ablasi dilakukan
dengan menghilangkan salah satu tangkai mata. Penghilangan organ tersebut
berakibat tidak terbentuknya hormon penghambat pertumbuhan (Anggoro, 2001).
Pertumbuhan melalui proses moulting pada metode ablasi terjadi pada
minggu ke tiga. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Afrizal (2009), yang
menyatakan bahwa kepiting mengalami masa moulting atau ganti kulit 15-20 hari.

7
Lebih lanjut, Siahainenia (2000), menyatakan kepiting dalam pertumbuhan siklus
hidupnya mengalami moulting 2-5 kali dalam waktu 3-4 bulan. Dengan terjadinya
proses moulting pada minggu ke tiga maka berat kepiting S. serrata akan mengalami
peningkatan, karena pada proses moulting terjadi pertambahan berat dan lebar
karapas. Sedangkan perlakuan autotomi laju pertumbuhannya lebih rendah, hal
tersebut dikarenakan pemotongan capit dan kaki jalan bertujuan hanya untuk
merangsang pertumbuhan organ yang baru. Metode autotomi hanya melukai capit
dan menghilangkan kaki jalan namun tangkai mata masih utuh sehingga hormon
penghambat yang disekresikan oleh organ masih terbentuk dan menghambat laju
pertumbuhan. Hal sama terjadi pada metode penyuntikan hormon yang biasanya
dilakukan untuk menstimulasi perkembangan gonad dalam pemijahan sehingga
mempercepat pertumbuhan melalui proses moulting.

2.6. Penggunaan Senyawa Bioaktif Tumbuhan Sebagai Stimulator Moulting


Vitomolt merupakan stimulan molting yang diekstrak dari tanaman bayam
(Amaranthacea tircolor) untuk produksi kepiting cangkang lunak (soft shell crabs)
yang ditemukan Fujaya dan Suryati. (2007). Vitomolt mengandung senyawa
bioaktif fitoekdisteroid, Ekdisteroid adalah hormon yang berperan dalam
mengontrol molting pada arthropoda dan krustase (Bakrim, dkk,2008). Ekstrak
bayam adalah stimulan molting yang mengandung hormon molting
(fitoekdisteroid). Hasil penelitian Fujaya dkk. (2007) menunjukkan bahwa
penyuntikan ekstrak bayam pada kepiting dapat mempercepat dan menyerentakkan
molting,
Daun murbei mengandung ecdisteron sebanyak 1.088,4 ppm (Jompa, dkk.
2014). Ecdisteroin ini merupakan hormon steroid utama pada serangga dan
arthropoda yang memiliki fungsi utama sebagai hormon molting dan juga berperan
dalam pengaturan fungsi fisiologis seperti pertumbuhan, metamorfosis, dan
reproduksi diduga mekanisme kerjanya juga berlaku pada krustase seperti kepiting
bakau. Menurut Kim dkk. (2000) bahwa murbei mengandung banyak senyawa
salah satunya adalah ecdysterone yang merupakan jenis hormon yang berperan
dalam memicu molting crustaceae.
Daun Karamunting dapat berfungsi sebagai stimulator dalam proses molting
pada kepiting bakau serta daun karamunting mengandung senyawa bioaktif yang

8
menyerupai ekdisteroid atau fitoekdisteroid yang berfungsi sebagai hormone
molting berperan mempercepat proses ganti kulit pada kepiting bakau (Sadrianto,
2020).

2.7. Faktor-Faktor Mempengaruhi Pergantian Kulit (Moulting)


2.7.1. Kesehatan Benih Kepiting
Kesehatan benih merupakan satu diantara faktor yang menunjang
keberhasilan dalam usaha pemeliharaan kepiting. Untuk mengetahui benih kepiting
yang sehat adalah dengan cara menarik kaki renangnya kearah belakang. Apabila
refleksi kembalinya kaki renang kedepan masih berlangsung cepat maka benih
tersebut masih sehat, namun apabila sudah lambat berarti kepiting sudah kurang
sehat (Syafitrianto, 2009).

2.7.2. Nutrisi Kepiting Bakau


Nutrisi yang tepat, akan mendukung proses pertumbuhan dan moulting.
Sebelum melakukan pergantian kulit kepiting menyerap sejumlah kalsium karbonat
dari eksoskeleton yang lama, kemudian mensekresi enzim untuk memisahkan
cangkang yang lama dari lapisan epidermis. Lapisan epidermis tersebut
mengeluarkan lapisan kulit baru yang lunak seperti kertas untuk menggantikan
cangkang lama (Stevens, 2000).

2.7.3. Lingkungan
Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap moulting antara lain adalah
perubahan air dan salinitas air, Perubahan air yang mendadak bisa menyebabkan
kepiting stres. Kondisi ini menjadikan terjadinya perubahan pada struktur daging
dan cangkang, yang akhirnya dapat menyebabkan terpisahnya bagian cangkang
dengan daging tersebut. Salah satu faktor yang dapat memicu stres lingkungan
adalah perubahan salinitas. Salinitas merupakan salah satu faktor abiotik penting
yang mempengaruhi sintasan organisme akuatik, Moulting dapat berlangsung baik
pada air yang bersalinitas tinggi maupun rendah tetap lebih efektif pada salinitas
rendah. Salinitas tinggi dapat menghambat pertumbuhan karena proses pelepasan
cangkang kepiting menjadi sulit. Tetapi pada salinitas rendah, proses pergantian
kulit dapat berlangsung aman, tanpa menggangu pertumbuhan. Salinitas dapat

9
memodiflkasi peubah fisika dan kimia air menjadi satu kesatuan pengaruh yang
berdampak osmotik pada osmoregulasi dan bioenergetik (Karim, 2007).

2.7.4. Wadah Pemeliharaan Kepiting


Produksi kepiting cangkang lunak (shoft shell crab) pada umumnya di
pelihara dalam keramba. Keramba umumnya digunakan untuk pemeliharaan
kepiting di tambak. Keramba dibuat dalam bentuk tancap atau apung untuk
pemeliharaan secara massal untuk pemeliharaan secara individu (Ghufron, 2007).
Penempatan keramba dalam petak tambak didekat pintu masuk atau keluar air.
Posisi keramba sebaiknya menggantung berjarak 15 cm dari dasar perairan yang
bertujuan agar sisa pakan yang tidak termakan jatuh ke dasar perairan tidak
mengendap didalam keramba (Sugara, 2005).

2.7.5. Pakan
Pakan merupakan salah satu faktor yang harus dipenuhi untuk mencapai
produksi yang maksimal dalam budidaya kepiting bakau. Pakan tersebut harus
memenuhi persyaratan antara lain, penyediaannya, pengolahannya, Kandungan
gizinya, maupun pertimbangan sesuai tidaknya dengan pola kebiasaan makan
kepiting bakau. Penggunaan pakan ikan rucah sampai saat ini masih dianggap lebih
menguntungkan karena harganya relative lebih murah. Akan tetapi permasalahan
dalam penyediaan ikan rucah, yaitu adanya kompetisi dengan kebutuhan manusia,
pengaruh musim dan masa simpan yang pendek serta kualitasnya yang bervariasi.
Permasalahan tersebut perlu diatasi dengan pakan alternatif, yaitu penyediaan
pakan buatan berupa pelet dengan kandungan gizi dan ukuran yang sesuai. (Ali
Djunaedi, dkk, 2015)
Penggunaan pelet sebagai pakan buatan telah banyak dilakukan, tetapi
hasilnya masih jauh dari apa yang diharapkan. Menurut Aslamyah dan Fujaya
(2009), pakan buatan yang diberikan pada kepiting bakau biasanya berupa pelet
untuk udang. Pakan tersebut berukuran relatif lebih kecil, sehingga diduga tidak
dapat dimanfaatkan secara baik dan belum sesuai dengan pola kebiasaan makan
kepiting bakau. Kondisi ini mengakibatkan masih banyak sisa pakan yang terbuang,
sehingga dapat menurunkan kualitas air media pemeliharaan. Kanna (2002)
menyatakan bahwa ukuran pakan perlu disesuaikan dengan kemampuan kepiting
bakau dalam mencapit makanan.

10
Kanna (2002) menyatakan bahwa pakan yang diberikan untuk kepiting
berupa potongan-potongan daging ikan, cumi-cumi, maupun daging, udang dan
ukuran pakan juga disesuaikan dengan kemampuan kepiting untuk mencengkram
pakan. Kepiting tergolong pemakan segala (omnivore) dan pemakan bangkai
(scavenger). Sedangkan larva kepiting memakan plankton. Kepiting juga tergolong
hewan nocturnal yaitu aktif mencari makan pada malam hari, pada saat siang hari
kepiting cenderung membenamkan diri atau sembunyi didalam lumpur.

2.8. Klasifikasi Karamunting (Melastoma malabathricum L.)


Pranama dkk. (2013) menyatakan klasifikasi Tumbuhan Karamunting
berdasarkan taksonominya (Gambar 2.2) sebagai berikut :
Kingdom :Plantae
Divis :Spermatophyta
Sub devisi :Angiospermae
Kelas :Dicotyledoneae
Ordo :Myrtales
Family :Melestomataceae
Genus :Melastoma
Spesies :Melastoma malabathricum L.

Gambar 2.2 Karamunting (Melastoma malabathricum L)


(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2021).

11
2.9. Morfologi Karamunting (Melastoma malabathricum L.)
Tumbuhan karamunting (Melastoma malabathricum L.) adalah tumbuhan
liar pada tempat yang mendapat sinar matahari cukup, seperti di lereng gunung,
lapangan yang tidak terlalu gersang. Ciri-ciri tumbuhan ini termasuk dalam
kelompok perdu, daun tunggal, pangkal daun membulat, tepi daun rata, ujung daun
meruncing. Bunga termasuk bunga majemuk berwarna ungu kemerahmerahan,
buahnya dapat dimakan (Sutomo, dkk, 2010).
Tumbuhan karamunting adalah termasuk familli Myrtaceae (suku jambu-
jambuan). karamunting adalah sejenis tanaman liar dengan pohon berkayu. Di
padang-padang terbuka tingginya hampir setinggi orang dewasa (tingginya dapat
mencapai 4 meter). Daunnya keras, panjang 5-7 cm dan luasnya 2-3,5cm, oval,
ujungnya dari tumpul sampai dengan tajam, di atas hijau mengkilap, di bawah lebih
abu-abu. Bunganya tersembunyi atau dalam 2 atau 3 kelompok. Buahnya dapat
dimakan, panjang 10-15mm, berwarna ungu hitam (Sutomo, dkk, 2010).
Daun karamunting mengandung senyawa golongan flavonoid, steroid,
triterpenoid, tanin galat, tannin katekat, kuinon dan unsur natrium, kalsium, kalium
serta magnesium. Dari ekstrak etanol 95% diisolasi golongan flavonoid yang
diduga mirisetin dalam bentuk glikosida, serta golongan asam fenolat yang diduga
asam p-hidroksibenzoat dan asam p-kumarat dalam bentuk ester (Anwar, dkk.
2008). Beberapa tahun yang lalu, telah dilaporkan isolasi dan elusidasi senyawa-
senyawa terpenoid dari daun karamunting, yaitu rhodomentone A and B (Liu dkk.,
2016a), tomentosenol A, 4S-focifolidione, 4R-focifolidione (Liu dkk., 2016b),
tomentodione E (Liu dkk., 2018), rhodomyrtials A and B, tomentodiones A–D
(Zhang dkk., 2016a), tomentodiones E–M (Zhang dkk., 2017).
Sadrianto (2020) melaporkan bahwa pemberian ekstrak daun karamunting
sebagai stimulator dalam proses ganti kulit pada kepiting bakau, pada dosis 9µg/g
memberikan laju kecepatan molting tercepat dibandingkan perlakuan dosis yang
lain sedangkan perlakuan kontrol memberikan laju kecepatan molting terlama
dibandingkan dengan perlakuan yang diberikan ekstrak daun karamunting. Hal ini
membuktikan daun karamunting mengandung senyawa bioaktif yang menyerupai
ekdisteroid atau fitoekdisteroid yang berfungsi sebagai hormon molting berperan
mempercepat proses ganti kulit pada kepiting bakau.

12
Pembuatan ekstrak daun karamunting dilakukan dengan cara maserasi
menggunakan pelarut etanol 80% dengan prosedur kerja sebagai berikut: serbuk
daun karamunting dimasukan ke dalam wadah gelas yang gelap bertutup sebanyak
500 gram, dimaserasi dengan pelarut etanol dengan konsentrasi 80% ditutup,
biarkan pada suhu kamar dan terlindungi dari cahaya selama 3 x 24 jam sambil
sering diaduk. Kemudian larutan hasil maserasi disaring dengan kertas filtrat,
kemudian ampasnya dimaserasi Kembali menggunakan prosedur yang sama.
Pengerjaan dilakukan sebanyak tiga kali. Maserat yang telah diproleh digabungkan
kemudian diuapkan dengan menggunakan rotary evaporator pada suhu ± 40oC
sampai diproleh ekstrak kental berupa pasta (Farizah, dkk,2017)

13
BAB 3
METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat


Penelitian ini dilaksanakan selama 2 bulan, di bulan Juni 2021 sampai Juli
2021 di tambak tradisional Kota Tarakan dan di Laboratorium Budidaya Perairan
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Borneo Tarakan.
3.2 Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu daun karamunting, benih
kepiting bakau ukuran 75, alkohol, aquadest, larutan injeksi, pakan ikan rucah (Ikan
layang).
3.3. Alat
Alat yang digunakan pada pembuatan ekstrak daun karamunting antara lain:
gelas ukur, beaker glass, labu ukur, spatula, dan rotary evaporator. Pada pengujian
ekstrak daun karamunting pada kepiting bakau menggunakan alat antara lain: rakit
bambu, crab box dengan ukuran 26 x 20,7 x 10,5 cm sebagai wadah pemeliharaan,
spuit sebagai alat penyuntik, mistar, timbangan digital, dan alat pengukur kualitas
air.
3.4. Prosedur penelitian
3.4.1. Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental, menggunakan
Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 5 ulangan. Benih
kepiting bakau yang digunakan memiliki bobot 75 gr dengan jumlah 20 ekor
sampel. Dosis ekstrak karamunting yang digunakan (A. kontrol, B.3 µg/g, C. 5 µg/g
D. 7 µg/g). Penelitian dilakukan di tambak dengan wadah yang digunakan adalah
“crab box” sebagai wadah pemeliharaan untuk tiap ekor kepiting uji sebanyak 20
buah berukuran panjang, lebar dan tinggi masing-masing 15 x 18,5 x 20 cm.
Keranjang dilengkapi tutup untuk mencegah keluarnya kepiting dari wadah
pemeliharaan.

14
Gambar 3.1 Crab box
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2021).
Hewan uji diproleh dari pengepul dan penjual kepiting yang berada di
Tarakan. Sumber steroid like atau ecdisteroid like berasal dari ekstrak daun
karamunting yang mengandung steroid yang dihasilkan dari proses ekstraksi
menggunakan pelarut etanol 80%. Ekstrak dipersiapkan di Laboratorium Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Borneo Tarakan. Desain penelitian dapat
dilihat pada Tabel 3.1 dibawah ini.
Tabel 3.1 Penempatan Hewan Uji Yang Sudah Diberi Perlakuan
C2 A5 A3 D4
B5 A4 A2 C3
D1 C4 D2 A1
B3 D3 C1 B2
C5 B4 B1 D5
Keterangan :
Perlakuan (t) 4 : A, B, C, D
Ulangan (r) : 1, 2, 3, 4, 5
tr = 4 x 5 = 20 (Percobaan)

3.4.2. Pembuatan Ekstrak Daun Karamunting


Pembuatan ekstrak daun karamunting dilakukan dengan cara maserasi
menggunakan pelarut etanol 80% dengan prosedur kerja sebagai berikut: serbuk
daun karamunting dimasukan ke dalam wadah gelas yang gelap bertutup sebanyak
500 gram, dimaserasi dengan pelarut etanol dengan konsentrasi 80% ditutup,
biarkan pada suhu kamar dan terlindungi dari cahaya selama 3 x 24 jam sambil
sering diaduk. Kemudian larutan hasil maserasi disaring dengan kertas filtrat,

15
kemudian ampasnya dimaserasi Kembali menggunakan prosedur yang sama.
Pengerjaan dilakukan sebanyak tiga kali. Maserat yang telah diproleh digabungkan
kemudian diuapkan dengan menggunakan rotary evaporator pada suhu ± 40oC
sampai diproleh ekstrak kental berupa pasta (Farizah, dkk,2017)
3.4.3 Aplikasi Hormon dan Pemeliharaan
Kepiting terlebih dahulu dipelihara selama dua sampai tiga hari untuk
proses adaptasi. Kepiting ditimbang dan diukur untuk mengetahui bobot dan ukuran
awal kemudian dilanjutkan dengan proses penyuntikan ekstrak daun karamunting
pada pangkal kaki renang menggunakan jarum suntik (syringe) volume 1 mL
berukuran 27 gauge. Prosedur penyuntikan dilakukan sebanyak satu kali dengan
volume suntikan 0,1 mL sesuai dengan metode (Fujaya dkk.,2011; Herlinah dkk.
2014; Sadrianto 2020), dosis yang diberikan sesuai perlakuan. Pakan yang
diberikan pada kepiting bakau, selama pemeliharaan adalah ikan rucah basah (ikan
layang) dengan persentase pemberian pakan 5% dari bobot tubuh per hari (Fujaya,
2008). Frekuensi pemberian pakan dilakukan dua kali sehari yakni pada pagi pukul
05.50 WITA dan pada sore hari menjelang malam pada pukul 17.00 WITA.
Pemberian makan pada sore hari hal ini dikarenakan kepiting memiliki sifat
nocturnal.
3.5. Parameter Uji
Pengamatan secara visual dilakukan setiap hari untuk melihat
perkembangan kepiting uji setelah dilakukan penyuntikan. Sesaat setelah moulting.
kepiting yang masih lunak segera diangkat dari crab box dan dipindahkan ke wadah
terpisah. Setelah satu jam atau setelah ukuran tubuh kepititng sempurna dilakukan
penimbangan pada bobot akhir dengan menggunakan timbangan elektrik dengan
tingkat ketelitian 0,01 g dan lebar karapas diukur menggunakan mistar ukur.
Pengamatan dilakukan hingga hari ke-60 setelah penyuntikan. Pengukuran
parameter kualitas air meliputi suhu, dissolved oxygen (DO), salinitas, dan pH
dilakukan pada pagi dan sore hari (Sadrianto 2020)
3.5.1. Persentase dan Masa Laten Moulting
Persentase moulting dihitung berdasarkan perbandingan jumlah kepiting
yang melakukan pergantian kulit selama masa pemeliharaan dengan jumlah awal
kepiting yang diberi perlakuan dikali 100 (Arifin, 2010). Masa laten moulting

16
diamati dengan melihat jumlah hari yang dibutuhkan kepiting untuk moulting
setelah penyuntikan. Pengambilan data masa laten moulting dilakukan selama masa
penelitian (Sadrianto 2020). Persentase molting dihitung dengan menggunakan
rumus sebagai berikut :

𝑱𝒀𝑴
𝐏𝐌 = × 𝟏𝟎𝟎%
𝑱𝑲
Keterangan :
PM = Persentase Molting
JYM = Jumlah yang Molting
JK = Jumlah Kepiting
3.5.2. Laju Pertumbuhan Harian
Pengamatan pertumbuhan didasarkan pada laju pertumbuhan spesifik
harian didapatkan melalui perhitungan penimbangan berat tubuh secara gravimetri.
Laju pertumbuhan spesifik harian dapat ditentukan dengan menggunakan rumus,
(Changbo, dkk.,2004) :
LPH = ((In Wt – In Wo)x100) / t
Keterangan :
LPH = Laju Pertumbuhan berat spesifik Harian (%hari)
Wo = Berat rata-rata kepiting bakau pada awal penelitian (g)
Wt = Berat rata-rata kepiting bakau pada waktu t (g) dan
t = Lama Pemeliharaan (hari)
3.5.3. Pertumbuhan Lebar Karapas Mutlak
Pertumbuhan lebar karapaks mutlak dihitung berdasarkan selisih dari lebar
karapaks setelah moulting atau pada akhir penelitian dengan lebar karapaks kepitng
pada awal penelitian (Sagala, dkk, 2013).
L = Lt-Lo
Keterangan :
L = Pertumbuhan lebar mutlak
Lt = Lebar individu rata-rata pada akhir penelitian (g)
Lo = Lebar individu rata-rata pada awal penelitian (g)

17
3.5.4. Survival Rate
Kelangsungan hidup (SR) dihitung dari data jumlah kepiting pada awal
dan akhir perlakuan dengan rumus (Effendie, 2002):
SR = (Nt/NO) x 100%
Keterangan :
SR = Kelangsungan Hidup (%)
NO = Jumlah Kepiting Awal Penelitian (Ekor)
Nt = Jumlah Kepiting Akhir (Ekor)
3.5.5. Pengamatan Kualitas Air
Pengukuran parameter kualitas air dilakukan dari awal sampai akhir
pemeliharaan yang meliputi parameter suhu, kandungan oksigen terlarut (DO), pH,
dan salinitas. Pengukuran kualitas air dilakukan dua kali dalam sehari, yakni pagi
(pukul 06.00 WIB) dan sore (Pukul 16.59 WIB) dengan peralatan sesuai dengan
Tabel 3.2
Tabel 3.2 Parameter kualitas air, satuan, dan alat ukur
Parameter Satuan Alat Ukur
0
Suhu C Termometer Digital

Oksigen Terlarut Mg/L D0-meter

pH - pH-meter/lakmus

Salinitas (‰) Refraktometer

3.6 Analisis Data


Data yang diperoleh kemudian ditabulasikan dalam bentuk tabel dan
diagram. Data yang dianalisis yaitu:, Persentase Moulting, Masa Laten Moulting,
Laju Pertumbuhan Harian, Pertumbuhan Lebar Karapas, Kelangsungan hidup
(Survival Rate), dan Pengamatan Kualitas air. Data dianalisis dengan
menggunakan Microsoft Excel.

18
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Persentase Moulting


Persentase moulting adalah gambaran dari jumlah kepiting yang berganti kulit
selama masa pemeliharaan dengan jumlah awal kepiting yang diberi perlakuan
(Maulianawati dkk 2020)
Hasil yang diperoleh pada persentase moulting menunjukkan perlakuan
terbaik yaitu penyuntikan kepiting dengan dosis ekstrak 5 µg/g yakni 100%,
sedangkan persentase moulting terendah didapatkan pada Perlakuan kontrol dan
Perlakuan 3 yang diberikan ekstrak dengan dosis 7 µg/g dengan nilai persentase
moulting 60%. Terjadi 1 Kematian kepiting (Syndrome moulting) pada perlakuan 7
µg/g, hal ini disebabkan pemberian dosis yang berlebihan memaksakan kepiting
untuk melakukan moulting yang begitu cepat. Hal ini sesuai menurut Muhammad
dkk (2016) ketika kepiting melakukan proses moulting yang begitu cepat, maka
kepiting akan kekurangan pasokan nutrisi dari pakan, yang digunakan sebagai
energi untuk melakukan proses moulting, ketika kepiting melakukan moulting kulit
atau karapas tidak terlepas semua dari tubuh, sebagian badannya ada yang terjerat
pada kulit lama sementara pada saat moulting kondisi badan lemah diakibatkan
semua energi dipakai difokuskan pada proses ganti kulit sehingga kepiting
kehabisan energi dan akhirnya mengalami kematian. Hal ini menunjukan bahwa
daun Karamunting (Melastoma malabathricum) mampu menjadi sumber hormon
alternatif dalam proses moulting. Sadrianto (2020) menyatakan bahwasanya
pemberian ekstrak daun karamunting (Melastoma malabthricum) mampu berperan
sebagai stimulant moulting pada kepiting bakau (Scylla serrata) dengan dosis 9
ppm, menunjukan persentase moulting tertinggi 36,36% dengan masa pemeliharaan
selama 60 hari.
Adanya perbedaan antar perlakuan menunjukkan dosis pemberian ekstrak
memberikan hasil yang berbeda. Ketidaktepatan atau perbedaan dosis memberikan
dampak bagi aktivitas moulting dan pertumbuhan atau penambahan bobot badan.
(Wahyuningsih 2008). Grafik persentase moulting dapat dilihat pada Gambar 4.1.

19
120

100
100
Protsentase Moulting (%) 80
80

60 60
60

40

20

0
A (Kontrol) B (3 µg/g) C (5 µg/g ) D (7 µg/g)

PERLAKUAN

Gambar 4.1 Grafik Persentase Moulting Kepiting Bakau


4.2 Laju Kecepatan Masa Laten Moulting
Kecepatan moulting merupakan lama waktu yang dibutuhkan kepiting bakau
untuk melakukan prorses pergantian kulit, proses ini sangat dipengaruhi oleh faktor
lingkungan dan ketersediaan nutrisi yang cukup untuk menunjang pergantian kulit
pada kepiting bakau. Proses pergantian kulit atau moulting merupakan suatu
fenomena yang mutlak terjadi pada krustasea termasuk kepiting bakau. Namun
peristiwa ini tidak berlangsung dalam waktu dan jumlah yang sama dikarenakan
adanya perbedaan mekanisme fisiologis yang dipengaruhi faktor internal dan
eksternal masing-masing spesies (Herlina dkk., 2015). Ada beberapa faktor yang
mempengaruhi molting, yaitu eksternal dan internal. Faktor Eksternal dari
lingkungan seperti cahaya, salinitas, suhu, pH, DO atau oksigen terlarut dan
ketersediaan makanan. Pada faktor internal juga sangat berperan pada ukuran tubuh
yang membutuhkan tempat yang luas. Kedua faktor ini akan mempengaruhi otak
dan menstimulasi organ-Y untuk menghasilkan hormone molting. Organ-Y adalah
sumber hormone molting (Fujaya dkk., 2012). Masa laten moulting kepiting bakau
yang diberikan perlakuan penyuntikan ekstrak daun karamunting dapat dilihat pada
Tabel 4.1

20
Tabel 4.1 Masa Laten Moulting Kepiting Bakau
Waktu Moulting (hari)
Perlakuan dosis
6 11 13 22 24 26 29 32 33 40 42 44 46
A (Kontrol)

B (3 µg/g)

C (5 µg/g )

D (7 µg/g)
Keterangan :
A (Kontrol) : tanggal 18/06/2021 - 21/07/20213 (13-46 Hari)
B (3 µg/g)1 : Tanggal 16/06/2021 - 01/07/20214 (11-26 hari)
C (5 µg/g )2 : Tanggal 18/06/2021 - 07/07/20215 (13-32 hari)
D (7 µg/g)3 : Tanggal 11/06/2021 - 08/07/20213 (6-33 hari)
(µg/g)1,2 dan 3 yaitu perlakuan

(Tanggal)3,4,5 dan 3 yaitu jumlah kepiting moulting


Berdasarkan hasil pengamatan pada table 4.1 diatas menunjukan kisaran
hari yang dibutuhkan kepiting bakau untuk melakukan moulitng setelah
penyuntikan ekstrak daun karamunting yakni 13 sampai dengan 46 hari pada
perlakuan A (kontrol), 11 sampai dengan 26 hari pada perlakuan B (3 µg/g), 13
sampai dengan 32 hari pada perlakuan C (5 µg/g), 6 sampai dengan 33 hari pada
perlakuan D (7 µg/g). Berdasarkan data di atas, Masa laten moulting pada perlakuan
B (3 µg/g) menunjukkan waktu yang lebih cepat, dibandingkan dengan yang
mendapat perlakuan C (5 µg/g) dan D (7 µg/g). Untuk perlakuan A (kontrol)
memerlukan waktu yang lebih lama, yakni 13-46 hari. Hasil ini menunjukkan
perlakuan penyuntikan ekstrak daun karamunting memberikan masa laten moulting
tercepat dibandingkan perlakuan kontrol. Diduga pemberian ekstrak daun
karamunting secara signifikan memberikan percepatan moulting yang lebih baik.
Sesuai dengan pernyataan Sadrianto (2020) bahwasanya pemberian perlakuan yang
diberikan ekstrak daun karamunting mampu berperan mempercepat sebagai
stimulant moulting. Selain itu perilaku moulting lebih banyak ditemukan pada benur
yang diberikan artemia yang diperkaya oleh ekstrak daun karamunting (Hartina,
2020).

21
Perlakuan dosis 1 (3 µg/g) pada kepiting uji (1) memberikan masa laten
paling singkat yakni 11 sampai 26 hari, disusul dengan perlakuan 2 (5 µg/g) yakni
13 sampai 32 hari dan kepiting uji pada perlakuan 3 (7 µg/g) yakni 6 sampai 33 hari
serta kepiting uji pada perlakuan A (Kontrol) masa latennya paling lambat yakni 13
sampai 46 hari.
Masa laten tercepat pada kepiting uji yang diberikan perlakuan injeksi (1B),
yakni 11 sampai 26 hari disebabkan oleh respon positif dari ekstrak daun
karamunting yang diberikan melalui injeksi. Pada ekstrak daun karamunting
terdapat senyawa bioaktif fitosteroid (sitosterol) yang dapat dikonversi menjadi
hormon ekdisteroid. Farizah dkk., (2017), menyatakan kandungan senyawa bioaktif
dari daun karamunting yakni, sitosterol, squalene dan α-tocopherol. Selain itu,
kandungan senyawa saponin yang terdapat pada karamunting juga berperan dalam
proses ganti kulit pada golongan krustase. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Burhanuddin (2013) bahwa saponin mampu mempercepat moulting pada udang.
Memiliki efek fisiologis seperti hormon ekdisteroid, hormon ekdisteroid yang
diberikan menyebabkan masa laten kepiting bakau menjadi lebih singkat. Menurut
Muhammad dkk.,(2016), Peranan utama ekdisteroid adalah memacu sintesis
protein dengan cara meningkatkan sintesis mRNA, menyebabkan pertumbuhan
jaringan tubuh lebih cepat sehingga kepiting lebih cepat merangsang moulting. Hal
ini sesuai dengan pendapat Gunamalai dkk.,(2003), bahwa hormon ekdisteroid
merupakan hormon steroid utama pada arthopoda yang berfungsi berperan sebagai
hormon moulting yang mengatur fungsi biologis seperti pertumbuhan,
metamorfosis, dan reproduksi.
Masa laten paling lama terjadi pada kepiting uji yang tidak diberikan
perlakuan ekstrak daun karamunting, hanya diberikan larutan injeksi. Sehingga
kepiting uji pada perlakuan kontrol mengalami proses moulting secara alami. Proses
moulting pada kepiting secara alamiah berlangsung selama 13-46 hari, sedangkan
untuk perlakuan 3 µg/g, 5 µg/g dan 7 µg/g proses moulting terjadi lebih cepat.
Diduga karena adanya pengaruh pemberian ekstrak daun karamunting. Kandungan
senyawa bioaktif karamunting ini memiliki respon fisiologis yang menyerupai
hormon ekdisteroid yang terdapat pada hewan. Hal ini releven dengan pernyataan
Fujaya dkk.,(2007), bahwa hormon moulting pada kepiting bakau jumlahnya sangat

22
sedikit yaitu 500 ng/kg bobot tubuh, sehingga tanpa penambahan ekdisteroid proses
menuju moulting akan sangat lama.
Penelitian ini juga membuktikan bahwa senyawa yang berasal dari
tumbuhan dapat berperan sebagai stimulator moulting pada kepiting bakau. Hasil
ini diperkuat oleh beberapa peneliti yang menggunakan senyawa bioaktif dari
tumbuhan untuk stimulator moulting pada golongan krustase. Ekstrak daun murbei
(Morus spp) terbukti memiliki efektifitas menstimulasi moulting pada kepiting
bakau (Herlina dkk.,2015) dan pakan yang ditambahkan ekstrak daun bayam
mampu menstimulasi prose moulting pada kepiting bakau (Fujaya dkk.,2010).
Temuan ini juga memperkuat penelitian sebelumnya Sadrianto (2020), yang
melaporkan adanya potensi sebagai stimulator moulting pada kepiting bakau.
Diduga kandungan senyawa bioaktif karamunting memiliki potensi sebagai
fitoekdisteroid. Daun karamunting mengandung senyawa bioaktif yang menyerupai
ekdisteroid atau fitoekdisteroid yang berfungsi sebagai hormon moulting berperan
mempercepat proses ganti kulit pada kepiting bakau. Hal ini sesuai dengan
pendapat Gunamalai dkk.,(2003), bahwa hormone ekdisteroid berperan sebagai
hormon moulting yang mengatur fungsi biologis seperti pertumbuhan,
metamorfosis, dan reproduksi, Hal ini membuktikan bahwa kandungan senyawa
yang berasal dari tumbuhan daun karamunting dapat berperan sebagai stimulator
moulting pada kepiting bakau.
4.3 Laju Pertumbuhan Harian dan Pertumbuhan Lebar Karapas
Dalam waktu tertentu kepiting akan moulting dan setelah moulting kepiting
akan mengalami pertumbuhan lebar karapas dan bobotnya. Hal ini relevan dengan
pernyataan Catacutan (2002) pertumbuhan pada kepiting bakau melihat
pertumbuhan bobot badan dan lebar karapas yang terjadi secara berkala setelah
terjadi moulting.
Hasil pengukuran pertumbuhan bobot tertinggi yang diperoleh pada perlakuan
dosis 3 µg/g yakni sebesar 1,68%, sedangkan perlakuan (Kontrol) didapatkan
pertumbuhan bobot terendah yakni 0,75%. Pengamatan pertumbuhan bobot sangat
berkaitan dengan lebar karapas, proses moulting yang terjadi pada golongan
krustase sangat krusial karena terkait dengan pertumbuhan kepiting. Golongan
arthropoda, salah satu nya kepiting bakau mengalamai proses pergantian kulit

23
(moulting) secara periodik, sehingga ukuran badannya akan bertambah besar.
Proses ganti kulit ini menghasilkan peningkatan ukuran badan atau terjadinya
pertumbuhan (Rangka dan Sulaeman, 2010). Grafik Laju Pertumbuhan Harian
dilihat pada Gambar 4.2

1,8 1,68
1,6
1,6
Laju Pertumbuhan Harian (%)

1,4 1,27
1,2
1
0,75
0,8
0,6
0,4
0,2
0
A (Kontrol) B (3 µg/g) C (5 µg/g ) D (7 µg/g)
Perlakuan

Gambar 4.2 Laju Pertumbuhan Harian Kepiting Bakau


Pertambahan panjang serta lebar karapas pada kepiting terjadi karena
adanya peningkatan pada ukuran dan biomassa. Pada golongan krustase mengalami
proses moulting untuk pertumbuhannya karena tidak dapat tumbuh secara linear
seperti hewan lainnya. Selama dalam proses pergantian kulit tentunya kepiting
memerlukan nutrisi dan energi yang cukup untuk digunakan sebagai proses
moulting. Kepiting bakau akan tumbuh dengan baik jika tersedia energi dengan
jumlah yang cukup dan pakan mengandung semua unsur nutrient yang dibutuhkan
dalam proses pertumbuhan (moulting) (Alamsyah dan Fujaya 2013).
Hasil pengukuran pertumbuhan lebar karapas terbaik diperoleh pada rata-
rata perlakuan C2, sedangkan perlakuan yang tidak diberikan ekstrak daun
karamunting memiliki pertumbuhan karapas yang lebih rendah. Pertumbuhan lebar
karapas rata-rata pada perlakuan C2 sebesar 2 cm, sedangkan pada perlakuan
kontrol yang tidak diberikan perlakuan ekstrak daun karamunting didapatkan
pertumbuhan lebar karapas terendah yaitu 1,66 cm. Sadrianto (2020) menyatakan
pertambahan lebar karapas pada kepiting terjadi karena adaanya peningkatan
ukuran pertumbuhannya. Menurut Cholik (2005), bahwa perbedaan pertumbuhan

24
kepiting bakau dalam budidaya disebabkan oleh pakan, umur, berat awal, ruang
gerak serta factor lainnya kemudian lebih lanjut ditegaskan bahwa semakin banyak
pakan yang dikonsumsi, makan semakin bertambah besar kepiting tersebut
sehingga semakin sering berganti kulit tergantung dari kondisi lingkungan dan
pakan yang diberikan, proses dan interval pergantian kulit pada lebar karapas
berlangsung antara 17-26 hari, dan setiap moulting atau ganti kulit kepiting akan
bertambah besar 1/3 kali ukuran semulanya. Grafik pertumbuhan lebar karapas,
dapat dilihat pada Gambar 4.3
2,5

2
1,92
2
1,76
Lebar Karapas (cm)

1,66

1,5

0,5

0
A (Kontrol) B (3 µg/g) C (5 µg/g ) D (7 µg/g)
PERLAKUAN

Gambar 4.3 Pertumbuhan Lebar Karapas Mutlak Kepiting Bakau


4.4 Survival Rate (SR)
Survival rate atau tingkat kelangsungan hidup yang merupakan perbandingan
antara jumlah individu yang hidup pada akhir penelitian dengan jumlah individu
pada awal penelitian (Djunaidah dkk.,2004). Kelangsungan hidup kepiting bakau
selama 50 hari penelitian menunjukkan nilai sebesar 100%. Kecuali pada perlakuan
3D 7 µg/g, diproleh nilai SR sebesar 80%. Tingkat kematian sekitar 20% pada
perlakuan D, disebabkan oleh kegagalan moulting. Hal ini sesuai dengan menurut
pendapat Loseke (2003) berkaitan dengan persentase mortalitas pada arthropoda
terjadi sekitar 80% hingga 90% akibat moulting yang tidak sempurna. Menurut
Muhammad (2016). Kematian akibat moulting (Syndrome Moulting) atau berganti
kulit yang tidak sempurna bisa diakibatkan oleh faktor internal organisme dimana
disebabkan pada saat pelepasan kulit yang lama, kulit atau karapas tidak terlepas
semua dari tubuh sehingga sebagian badannya ada yang terjerat pada kulit lama,

25
sementara pada saat moulting kondisi badan lemah karena semua energi difokuskan
pada proses ganti kulit. Kurangnya pasokan energi untuk melakukan proses
moulting menyebabkan kepiting kehabisan energi dan akhirnya mengalami
kematian. Tingkat kelangsungan hidup dapat dilihat pada Tabel 4.2
Tabel 4.2 Survival Rate (SR) Kepiting bakau selama masa pemeliharaan
SR (%) Masing Masing Perlakuan
Perlakuan SR TOTAL SR (%)
Moulting Hidup Mati
A (Kontrol) 3 2 - 5 100%
B (3 µg/g)1 4 1 - 5 100%
C (5 µg/g )2 5 - - 5 100%
D (7 µg/g)3 3 1 1 4 80 %

4.5 Parameter Kualitas Air


Parameter kualitas air merupakan faktor lingkungan yang sangat
mempengaruhi keberhasilan usaha budidaya perikanan khususnya budidaya
kepiting bakau untuk produksi kepiting soka sehingga pada pengelolaanya harus
sesuai dengan kebutuhan pada standar optimal untuk pertumbuhan dan
kelangsungan hidup pada organisme budidaya. Hal ini releven dengan pernyataan
Muhammad (2020) bahwa kualitas air merupakan salah satu kunci sukses dalam
budidaya spesies krustasea sebab akan mempengaruhi sintasan dan pertumbuhan.
Menurut Sadrianto (2020) menyatakan bahwa air merupakan komponen abiotik
yang memiliki berbagai kondisi kualitas, kondisi kualitas air yang berbeda dapat
mengakibatkan dampak yang berbeda pada pertumbuhan dan perkembengan
kepiting bakau. Dalam penelitian ini dilakukan pengukuran terhadap beberapa
parameter kualitas air meliputi suhu, salinitas, pH, dan DO. Hasil pengukuran
kualitas air selama 50 hari pemeliharaan bibit kepiting bakau masih tergolong
layak. Pada Kisaran Nilai Parameter Kualitas Air dapat dilihat pada Tabel 4.3
Tabel 4.3 Kisaran Nilai Parameter Kualitas Air Selama Penelitian
Kisaran Nilai
Parameter
No
Kualitas air
Pagi Sore
1 Suhu 24 - 35°C 24 - 35°C
2 Salinitas 10 - 15 ppt 10 - 15 ppt
3 pH 8 8
4,03 - 5,57 4,27 - 5,90
4 DO
ppm ppm

26
Berdasarkan hasil pengukuran suhu di tambak tradisional lokasi penelitian
pada pagi dan sore hari berkisar antara 24oC - 35oC. Kisaran suhu yang terdapat di
tambak tradisional selama pemeliharaan bibit kepiting bakau masih dalam kisaran
yang baik. Hal ini releven sesuai dengan pendapat Iromo,dkk (2018) dan Fujaya
dkk (2012) dimana suhu optimal untuk kepiting di tambak tradisional adalah 22oC
– 36oC dan 25oC – 35oC.
Hasil Pengukuran salinitas pada pagi dan sore hari berkisar antara 10 – 15
ppt. Dimana nilai kisaran salinitas yang terdapat di tambak tradisional selama
pemeliharaan bibit kepiting bakau masih dalam kisaran yang baik. Hal ini sesuai
dengan pendapat Iromo dkk.,(2018) dan Agus (2008) bahwa salinitas di tambak
tradisional yang optimal berkisar 10 – 20 ppt, Menurut Agus (2008) kepiting akan
mengalami pertumbuhan yang lambat jika salinitas berkisar antara 35 – 40 ppt.
Pengukuran nilai pH yang dilakukan pada pagi dan sore hari, didapatkan
kisaran nilai pH yaitu 8. Kisaran pH ini dapat dikatakan baik untuk media budidaya
kepiting soka. Menurut Iromo dkk.,(2018) dan Rangka (2007) bahwa derajat
keasaman dalam media budidaya kepiting didalam tambak tradisional sebaiknya di
pertahankan antara 6,0 - 8,0 dan 6,5 - 8,5.
Nilai DO yang didapatkan pada saat pengukuran di pagi hari yakni 4,03 -
5,57 ppm dan pada sore hari, nilai DO berkisar antara 4,27 – 5,90 ppm. Hal ini
sesuai dengan pendapat Mwaluma (2002) menyatakan bahwa kebutuhan oksigen
terlarut pada Kepiting Bakau minimum adalah 4,0 mg/l dan DO untuk pertumbuhan
yang paling baik adalah > 5 mg/l. Diperkuat dengan pernyataan Iromo dkk.,(2018)
menyatakan bahwa optimal oksigen terlarut di tambak tradisional berkisar antara 5
– 6,51.

27
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian ekstrak daun karamunting
(Melastoma malabthricum L) berperan terhadap stimulant moulting pada kepiting
bakau (Scylla serrata). Penyuntikan dengan dosis terbaik adalah 5 µg/g bobot
tubuh, memberikan presentase moulting terbaik dengan nilai sintasan hidup 100%.

5.2 Saran
Perlu adanya penelitian lanjutan yaitu pengamatan mengenai terjadinya
kegagalan Moulting yang terjadi pada kepiting bakau yaitu Syndrome Moulting.

28
DAFTAR PUSTAKA

Afrizal, H. 2009. Teknik Pemoultingan Kepiting (Scylla Sp.) Cangkang Lunak Dan
Penanganan Hasil Panen. Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta, 30- 36 hlm.

Agus M. 2008. Analisis Carring Capacity Tambak pada Sentra Budidaya Kepiting
Bakau (Scylla sp) di Kabupaten Pemalang-Jawa Tengah. Tesis. Program
Studi Magister Manajemen Sumberdaya Pantai Universitas Diponegoro,
Semarang.

Ali Djunaedi., Sunaryo dan Bagus Pitra Aditya. 2015. Pertumbuhan Kepiting
Bakau (Scylla serrata Forsskal, 1775) dengan Ukuran Pakan Berbeda

Anggoro, S. 2001. Peran Hidrobiologi Dalam Pengembangan Perikanan Pantai.


Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro
Semarang, 20 - 21 hlm.

Anwar, A., Soediro, I., dan Suganda, A. (2008). Pemeriksaan Pendahuluan


Senyawa Kimia Daun Karamunting (rhodomyrtus tomenlosa (w.ait),
myrtaceae). Departemen Farmasi ITB.

Arifin, T.M. 2010. Optimalisasi penyuntikan vitomolt sebagai stimulan molting


pada kepiting bakau (Scylla sp). Di- sertasi. Sekolah pascasarjana.
Universitas Hasanuddin Makassar. 51hlm.

Aslamsyah, S. dan Fujaya, Y. 2009. Formulasi pakan buatan khusus kepiting yang
berkualitas. Jurnal sains dan teknologi, 9(2): 133-141.

Aslamyah, S dan Y. Fujaya1. 2013. Laju Pengosongan Lambung, Komposisi Kimia


Tubuh, Glikogen Hati dan Otot, Molting, dan Pertumbuhan Kepiting
bakau pada Berbagai Persentase Pemberian Pakan dalam Budidaya
Kepiting Cangkang Lunak. Universitas Hasanuddin. Makassar.

Bakrim, A, A. Maria, F. Sayah, R. Lafont dan N. Takvorian 2008. Ecdysteroids in


spinach (Spinacia oleracea L.):Biosiynthesis, transport and regulation of
levels. Online Abstract. Plant Physiology and Biochemistry, 46(10):844-
854

Burhanuddin. 2013. Sintasan Dan Percepatan Moulting Kepiting Bakau (Scylla


Serrata) Dengan Menggunakan Saponin. OCTOPUS, Jurnal Ilmu
Perikanan

Bunc, M., A. Kouba dan P. Kozak. 2009. Molting and Growth in Relation to Form
Alternations in the Male Spiny-Cheek Crayfish Orconectes limosus.
Journal Zoological Studies 49(1). University of South Bohemia. Czech
Republic. P 28-38

29
Catacutan MR. 2002. Growth And Body Composition Of Juvenile Mud Crab Scylla
Serrata Fed Different Dietary Protein And Lipid Levels And Protein To
Energy Ratio. Aquaculture 208: 113-123.

Changbo, Z., D. Shuanglin, W. Fang dan H. Guoqiang. 2004. Effects of Na/k ratio
in seawater on growth and energy budget of juvenile Litopenaetus
vannamei. Aquaculture, 234: 485-496

Cholik, F. 2005. Review of Mud Crab Culture Research in Indonesia, Central


Research

Diana Maulianawati, Rukisah, Awaludin. dan Muhammad Iswan Guntur. 2020.


Utilization of Paku Uban (Nephrolepis biserrata) Extract as a Molting
Stimulant of Mud Crabs (Scylla spp.) in Traditional Ponds

Djunaidah, I.S. Toelihere, M.R. Effendie, M.I. Sukimin, S. dan Riani, E. 2004.
Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Benih Kepiting Bakau (Scylla
paramamosain) yang dipelihara pada Substrat Berbeda. Skripsi Sarjana.
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Jawa
Barat.

Effendie, M.I. 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama. Yogyakarta.


217 hal.

Farizah N, Zairin M Jr, Darusman LK, Beodino, dan Suparyadi MA. 2017.
Accelerated ovarian maturation of mud crab (Scylla olivacea) using
ethanol extract of Melastoma malabathricum L. leaf. AACL Bioflux
10(4):911-921.

Fujaya Y., S. Aslamyah, Mufidah, dan L. Mallombasang 2010. Peningkatan


Produksi Dan Efisiensi Proses Produksi Kepiting Cangkang Lunak (Soft
Shell Crab) Melalui Aplikasi Teknologi Induksi Molting yang Ramah
Lingkungan. Laporan Penelitian Riset Andalan Perguruan Tinggi dan
Industri. Universitas Hasanuddin. Makassar.

Fujaya Y, Aslamsyah S, & Usman Z. 2011. Respon molting, pertumbuhan, dan


mortalitas kepiting bakau (Scylla olivacea) yang disuplementasi vitomolt
melalui injeksi dan pakan buatan. Ilmu Kelautan 16(4):211-218.

Fujaya, Y., S. Aslamyah., E.F. Mallombasang dan N. Alam. 2012. Budidaya dan
Bisnis Kepiting Lunak dan Stimulasi Moulting dengan Ekstrak Bayam.
Penerbit Brilian Internasional, Surabaya

Fujaya, Y, D. D. Trijuno, dan E. Suryati. 2007. Pengembangan Teknologi Produksi


Rajungan Lunak Hasil Pembenihan dengan Memanfaatkan Ekstrak
Bayam Sebagai Stimulan Molting. Laporan Penelitian Tahun (I),
RISTEK-program insentif riset terapan, MENRESTEK. Fakultas Ilmu
Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar.

30
Fujaya Y., D.D. Trijuno, dan E. Suryati. 2008. Pengembangan Teknologi Produksi
Rajungan Lunak Hasil Pembenihan dengan Memanfaatkan Ekstrak
Bayam Sebagai Stimulan Molting. Laporan Penelitian Tahun (II),
RISTEK- program insentif riset terapan, MENRESTEK. Fakultas Ilmu
Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar

Fujaya, Y. 2008. Kepiting Komersil Di Dunia, Biologi, Pemanfaatan, Dan


Pengelolaannya. Citra Emulsi. Makassar.

Ghufron, H.K. 2007. Budidaya Kepiting Bakau (pembenihan, pembesaran dan


penggemukan). PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 168 hal.

Gunamalai, V., R. Kirubagaran,and T. Subramoniam. 2003. Sequestration of


ecdisteroid hormone into the ovary of the Mole Crab, Emerita Asitica.

Habibi, M.W, Hariani, D. Nu, dan Kuswanti. 2013. Perbedaan Lama Waktu
Moulting Kepiting Bakau (Scylla serrata) Jantan dengan Metode
Mutilasi dan Ablasi. Jurnal LenteraBio. Vol 2. No. 3, September 2013,
Hal: 265–270.
Hartina, 2020 Pengaruh Lama Perendaman Bioenrichment Ekstrak daun
karamunting (M. malabathricum) Pada Artemia salina Terhadap Laju
Pertumbuhan Pada Benur Udang Windu (Peaneus monodon).

Hartnol, R G. 2004. Growth in Crustacea – Twenty Years on. Hidrobiologia


Journal, 449(1-3): 111-122.

Herlinah, Risal, M., Tenriulo, A., Septiningsih, E., dan Suwoyon, H.S. (2014).
Respons moulting dan kelulusan hidup kepiting bakau (Scylla olivacea)
yang diinjeksi dengan ekstrak daun murbei (Morus sp.). Balai Penelitian
dan Pengembangan Budidaya Air Payau, Maros (unpublish).

Herlinah., A. Tenreulo., E. Septiningsih dan H. S. Suwoyo. 2015. Respon Molting


dan Sintasan Kepiting Bakau (Scylla olivacea) yang Diinjeksi dengan
Ekstrak Daun Murbei.

Iromo H, N. Fariza dan M. Amien.H. 2012. Konservasi Induk Betina Kepiting


Bakau Matang Gonad DiPulau Tarakan Kalimantan Timur. Prosiding
Seminar Nasional Ke-II Hasil-Hasil Penelitian Perikanan Dan Kelautan
Semarang.

Iromo H., A. Jabarsyah dan Awaludin, 2018. Reproduction Of Famales Mud Crab
(Scylla serrata) With Thyrixine Hormone Supplementation In Traditional
Ponds From North Borneo Indonesia. International Journal Of Fisheries
And Aquatic Studies 2018; 6(3): 378-381.

Iromo H. 2019. Pengembangan Budidaya Kepiting Bakau di Kaltara. CV BUDI


UTAMA. Yogyakarta. 67 hal.

31
Iskandar, K. 2002. Budidaya Kepiting Bakau Pembenihan dan Pembesaran,
yogyakarta, kanisius.

Jompa, H., Tenriulo, A., dan Suryati E. (2014). Hormon ecdyateron dari ekstrak
daun murbei, Morus spp., sebagai moulting stimulant pada kepiting
bakau. Jurnal Riset Akuakultur, 9(3), 387-397.

Kanna, I. 2002. Budi Daya Kepiting Bakau di Kaltara. CV BUDI UTAMA.


Yogyakarta. 80 hal.

Kanna, I. 2006. Budidaya kepiting bakau, pembenihan dan pembesaran. Kanisius.

Karim M.Y. 2007. Molting Phenomenon of Multilated and Unmutilated Mud Crab
(Scylla olivacea). Torani, Jurnal Ilmu Kelautan 15(5):394-399.

Karim, 2007. Kinerja Pertumbuhan Kepiting Bakau Betina (Scylla serrata Forsskal)
pada Berbagai Salinitas Media dan Evaluasinya pada Salinitas Optimum
dengan Kadar Protein Pakan Berbeda. Sekolah Pasca Sarjana, Institut
Pertanian Bogor. Bogor.

Karim, M. Y. 2013. Kepiting Bakau (Scylla spp.) (Bioekologi, budidaya dan


pembenihan).Yarsif Watampone (anggota IKAPI). Jakarta. Hal 1-120.

Kim, S.Y., Gao J.J., & Kang H.K. (2000). Two flavonoids from the leaves of Morus
alba, induce differentiation of the human promyelocytic leukemia
(HL60) cell line, Biol. Pharn Bull., 23(4), 451-456.

Kordi G. H. 2012. Jurus Jitu Pengelolaan Tambak untuk Budi Daya Perikanan
Ekonomis. ANDI. Yogyakarta. 396 hlm.

Liu, H.X.; Chen, K.; Yuan, Y.; Xu, Z.F.; Tan, H.B.; Qiu, S.X. Rhodomentones A
& B, novel meroterpenoids with unique NMR characteristics from
Rhodomyrtus tomentosa. Org. Biomol. Chem. 2016, 14, 7354–7360.

Liu, H.X.; Zhang, W.M.; Xu, Z.F.; Chen, Y.C.; Tan, H.B.; Qiu, S.X. Isolation,
synthesis, & biological activity of tomentosenol A from the leaves of
Rhodomyrtus tomentosa. RSC Adv. 2016, 6, 25882– 25886.

Liu, J.; Song, J.G.; Su, J.C.; Huang, X.J.; Ye, W.C.; Wang, Y. Tomentodione E, a
new sec-pentyl syncarpic acid-based meroterpenoid from the leaves of
Rhodomyrtus tomentosa. J. Asian Nat. Prod. Res. 2018, 20, 67–74.

Loseke L. 2003. All About Molting. [online]. http://crabstreetjournal.com/articles.

Marcus, J. 2011. Keanekaragaman Jenis Nekton Di Mangrove Kawasan Segoro


Anak Taman Nasional Alas Purwo. Jurnal Agroforestri. Volume 6 (2):
53-58

32
Martang Liga, 2020. Bioenrichment Ekstrak daun karamunting (M. malabathricum)
pada Artemia salina sebagai Imunosimulan pada Benur Penaeus moodon
yang diinfeksi Vibrio harveyi.

Muhammad Fajar Purnama , La Ode Aliman Afu dan Haslianti 2016. Autotomi
Induction Effect on The Survival Rate, Molting, and Growth of Mud Crab
(scylla serrata, scylla tranquebarica, scylla paramamosain) in the
anggoeya village traditional ponds kendari - southeast sulawesi
Muhammad,2020. Efektifitas Ekstrak Daun Karamunting (Melastoma
Malabatricum L) Sebagai Anti Bakteri Pada Benur Udang Windu
(Penaeus Monodon) Yang Di Uji Tantang Dengan Bakteri Vibrio
Harveyi
Muhammad Muhlis, 2020. Percepatan Pematangan Ovari Induk Kepiting Bakau
(Scylla Sp.) Dengan Pemberian Kombinasi Ekstrak Daun Karamunting
(Melastoma Malabathricum) Dan Hormon Tiroksin, Skripsi Sarjana.
Jurusan Akuakultur, Universitas Borneo Tarakan.
Mwaluma.J.2002. Pen culture Of The Mud Crab (Scylla serrata) in Mtwapa
mangrove System, Kenya. Western Indian Ocean J.Mar.Sci.(WIOMSA)
Vol.1, No 2, pp.127-133.

Nurdin, M. dan Armando, R.. 2010. Cara Cepat Panen Kepiting Soka dan Kepiting
Telur. Penebar Swadaya, Jakarta, 35 hlm.

Nurmadina, Mulyadi, dan Tang, U.M.. 2014. Producing Speed Moulting in Mud
Crab (Scylla serrata) with Soft Shell Ablation and Mutilation Method.
Jurnal Online Mahasiswa Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Riau, 1(2):1-9.

Pranama, Komang Amelia Sri dan Luh Gede Meydianawathi,.2013. Variabel


Variabel yang Mempengaruhi Ekspor Nonmigas Indonesia ke Amerika
Serikat.JEKT6[2]:98 – 105.

Prasetyo, A.D.A., Hariani, D. dan Kuswanti, N. 2013. Penambahan Air Kapir dan
Bayam pada Pakan untuk Mempersingkat Durasi Moulting Kepiting
Bakau (Scylla serrata) Jantan. LenteraBio, 2(3):271-278.

Pratiwi, R., 2011. Biologi Kepiting Bakau (Scylla spp.) Di Perairan Indonesia.
Oseana 36, 1–11.

Prianto, E. 2007. Peran kepiting Sebagai Kunci (Keystone Spesies) pada Ekosistem
Mangrove. Prosiding Forum Perairan Umum Indonesia IV. Balai Riset
Perikanan Perairan Umum. Banyuasin.

Rangka, N.A. dan Sulaeman. 2010. Pemacuan Pergantian Kulit Kepiting Bakau
(Scylla serrata) melalui Manipulasi Lingkungan untuk Menghasilkan
Kepiting Lunak. Jurnal Neptunus, 12(1):179-185.

33
Rangka, N.A.2007. Status usaha kepiting bakau ditinjau dari aspek peluang dan
prospeknya. Jurnal Neptunus,14(1):90-100.

Sadrianto, 2020. Pemberian ekstrak daun Karamunting (Melastoma malabathricum


L) Sebagai Stimulator Moulting pada Kepiting Bakau (Scylla serrata).
Skripsi Sarjana. Jurusan Akuakultur, Universitas Borneo Tarakan.

Sagala, L.S.S., M. Idris dan M.N. Ibrahim. 2013. Perbandingan Pertumbuhan


Kepiting Bakau (Scylla serrata) Jantan dan betina Pada Metode
Kurungan Dasar. J. Mina Laut Indonesia. 3(12):46-54.

Siahainenia, L. 2000. Distribusi Kelimpahan Kepiting Bakau (Scylla serrata, S.


oceanica dan S. tranquebarica) dan Hubungannya dengan Karakteristik
Habitat pada Kawasan Hutan Mangrove Teluk Pelita Jaya Seram Barat-
Maluku (Doctoral dissertation, Tesis).

Siahainenia, L. 2008. Bioekologi Kepiting Bakau (Scylla spp.) di Ekosistem


Mangrove Kabupaten Subung Jawa Barat. Disertasi Program
Pascasarjana IPB. Bogor.

Stevens, B.G. 2000. Molting : How Crabs Grow. http://www.afsc.noaa.gov/Ko-


diak/shellfish/crabGrow.htm. 2 p.

Sugama, Ketut. 2013. Peluang Pengembangan Budidaya Kepiting Cangkang lunak


Untuk Menambah Pendapatan Masyarakat Provinsi Nangro Aceh
Darussalam. Materi Presentasi. Banda Aceh 06 September 2013.

Sugara, C. 2005. Budidaya Kepiting bakau (Scylla serata) untuk Meningkatkan


potensi Hasil perikanan. http://www.scribd.com/doc/17521189/
BUDIDAYA-KEPITING-BAKAU. Pdf. 9 hal.

Susanto. 2009. Peneluran Kepiting Bakau (Scylla sp.) dalam Kurungan Bambu di
Tambak. Bandar Lampung: FMIPA, Universitas Lampung.

Susanto. G. Nugroho, 2008, Peneluran Kepiting Bakau (Scylla sp.) dalam


Kurungan Bambu Di Tambak berdasarkan Pengamatan Tingkat
Kematangan Gonad, Universitas Lampung, Lampung.

Sutomo., Arnida., F. Hernawati., dan M. Yuwono. 2010. Kajian Farmakognostik


Simplisia Daun Karamunting (Rhodomyrtus Tomentosa) Asal Pelaihari
Kalimantan Selatan.Sains Dan Terapan Kimia 1 : 38 – 50.

Syafitrianto, I. 2009. Budidaya Kepiting Bakau Scylla sp. http:/wacanasains


perikanan.blc 6 hal.

Tiurlan E, Djunaidi A, dan Supriyantini E. 2019. Aspek reproduksi kepiting bakau


(Scylla sp.) di peraiaran Kendal, Jawa Tengah. Journal of Tropical
Marine Science. 2 (1): 29- 36.

34
Wahyuningsih, S.A. 2008. Pengaruh Dosis Penyuntikan Vitomolt terhadap Molting
Kepiting Bakau (Scylla olivaceous). Skripsi. Fakultas Ilmu Kelautan dan
Perikanan Universitas Hasanuddin. Makassar. 31hal

Wiyanto R.H. dan Hartono, R. 2003. Lobster Air Tawar Pembenihan dan
Penebaran. Penebar Swadaya. Depok. 30 hal.

WWF. 2015. Kepiting Bakau (Scylla sp) Panduan Penangkapan dan


Penanganan.Jakarta.WWF Indonesia

Zhang, Y.L.; Chen, C.; Wang, X.B.; Wu, L.; Yang, M.H.; Luo, J.; Zhang, C.; Sun,
H.B.; Luo, J.G.; Kong, L.Y. Rhodomyrtials A and B, two meroterpenoids
with a triketone- sesquiterpene-triketone skeleton from Rhodomyrtus
tomentosa: Structural elucidation and biomimetic synthesis. Org. Lett.
2016a, 18, 4068–4071.

Zhang, Y.L.; Zhou, X.W.; Wu, L.; Wang, X.B.; Yang, M.H.; Luo, J.; Luo, J.G.;
Kong, L.Y. Isolation, structure elucidation, and absolute configuration of
syncarpic acid-conjugated terpenoids from Rhodomyrtus tomentosa. J.
Nat. Prod. 2017, 80, 989–998.

35
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Nunukan Timur Kalimantan Utara


pada tanggal 25 Oktober 1999 dari ayah Drs. Imam Malik
dan Ibu Siti Fathokah. Penulis merupakan anak kedua dari
dua bersaudara. Karier akademis penulis diawali dari
masuk Pendidikan Sekolah Dasar di SD Negri 014
Nunukan pada tahun 2006-2011. Kemudian melanjutkan
kejenjang berikutnya di Sekolah Menengah Pertama
Negri SMPN 1 Nunukan pada tahun 2012-2014.
Kemudian penulis melanjutkan Pendidikan ketingkat
menengah yaitu Sekolah Menengah Atas Negri SMAN 1 Nunukan tahun 2015-
2017. Penulis diterima di Universitas Borneo Tarakan pada tahun 2017 dan memilih
Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan Program Studi Budidaya Perairan, Pada
tahun 2018 yang telah berganti nama menjadi Akuakultur. Pada tahun 2020 penulis
melaksanakan Praktek Kerja Lapang (PKL) di Balai Pengembangan Teknologi
Perikanan Budidaya (BPTPB) Cangkringan Seleman Yogyakarta. Lalu penulis
melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) pada tahun 2020 di Kampung Empat
Tarakan Timur Kelurahan Kampung Empat. Untuk menyelesaikan studi di Fakultas
Perikanan Dan Ilmu Kelautan penulis melaksanakan penelitian yang berjudul
“Optimalisasi Dosis Pemberian Ekstrak Daun Karamunting (Melastoma
malabathricum L) Pada Proses Ganti Kulit Kepiting Bakau (Scylla serrata)”.

36
LAMPIRAN

Lampiran 1. Dokumentasi Penelitian

Pembuatan Rangka Wadah Pemeliharaan Penimbangan Ekstrak


Wahdah Pemeliharaan Karamunting

Ekstrak Karamunting Pakan Rucah Penimbangan Pemberian


Yang sudah Diencerkan (Ikan Layang) Pakan

Pemberian Pakan Penimbangan Bobot Awal Proses Penyuntikan

37
Alat Pengukur Kualitas Pengukuran Suhu & DO Pengukuran Salinitas
Air

Pengukuran pH Kepiting Moulting Syndrome Moulting

38
Lampiran 2. Analisis Data

Persentase Moulting

Perlakuan Jumlah Jumlah Kepiting Persentase


Kepiting Moulting Moulting (%)
A (Kontrol) 5 3 60
B (3 µg/g) 5 4 80
C (5 µg/g 5 5 100
D (7 µg/g) 5 3 60

Masa Laten Moulting


Waktu Moulting (hari)
Perlakuan dosis
6 11 13 22 24 26 29 32 33 40 42 44 46
A (Kontrol)

B (3 µg/g)

C (5 µg/g )

D (7 µg/g)

Data laju Pertumbuhan Harian

❖ Perlakuan : Kontrol yaitu moulitng (3) kepiting

Dik : Wt = 83 gr
Dik : Wt = 109 gr
Wo = 75 gr
t = 13 (hari) Wo = 75 gr

Dit : LPH ? t = 46 (hari)


𝑊𝑡 − 𝑊𝑜 Dit : LPH ?
= × 100%
LPH 𝑡 𝑊𝑡 − 𝑊𝑜
LPH = × 100%
83 − 75 𝑡
= × 100%
13 109 − 75
= × 100%
8 46
= × 100% 34
13
= × 100%
46
= 0,61 × 100%
= 0,61% = 0,73 × 100%
= 0,73%

39
Dik : Wt = 117 gr 117 − 75
= × 100%
Wo = 75 gr 46
t = 46 (hari) 42
= × 100%
46
Dit : LPH ?
𝑊𝑡 − 𝑊𝑜 = 0,91 × 100%
= × 100%
LPH 𝑡 = 0,91%

Rata-Rata LPH (Laju Pertumbuhan Harian) Pada Perlakuan Kontrol :


0,61 + 0,73 + 0,91 = 2,25 : 3 = 0,75%

❖ Perlakuan (1) : (3 µg/g) yaitu moulitng (4) kepiting


Dik : Wt = 81 g
Wo = 75 g Dik : Wt = 97 g
t = 11 (hari) Wo = 75 g
Dit : LPH ? t = 12 (hari)
𝑊𝑡 − 𝑊𝑜 Dit : LPH ?
= × 100%
LPH 𝑡 𝑊𝑡 − 𝑊𝑜
LPH = × 100%
𝑡
81 − 75
= × 100% 97 − 75
11 = × 100%
6
12
= × 100% 22
11 = × 100%
12
= 0,54 × 100%
= 1,83 × 100%
= 12%
= 1,83%

Dik : Wt = 105 g 105 − 75


= × 100%
Wo = 75 g 26
t = 26 (hari) 30
= × 100%
26
Dit : LPH ?
𝑊𝑡 − 𝑊𝑜 = 1,15 × 100%
= × 100%
LPH 𝑡 = 1,15%

Dik : Wt = 159 g 159 − 75


= × 100%
Wo = 75 g 26
t = 26 (hari) =
84
× 100%
Dit : LPH ? 26

𝑊𝑡 − 𝑊𝑜 = 3,23 × 100%
LPH = × 100%
𝑡 = 3,23%

40
Rata-Rata LPH (Laju Pertumbuhan Harian) Pada Perlakuan (1) 3 µg/g :
0,54 + 1,83 + 1,15 + 3,23 = 6,75 : 4 = 1,68 %

❖ Perlakuan (2) : 5 µg/g yaitu moulting kepiting (5)


Dik : Wt = 106 g Dik : Wt = 108 g
Wo = 75 g Wo = 75 g
t = 13 (hari) t = 19 (hari)
Dit : LPH ? Dit : LPH ?
𝑊𝑡 − 𝑊𝑜 𝑊𝑡 − 𝑊𝑜
LPH = × 100% LPH = × 100%
𝑡 𝑡
106 − 75 108 − 75
= × 100% = × 100%
13 19
31 33
= × 100% = × 100%
13 19

= 2,38 × 100% = 1,73 × 100%


= 2,38% = 1,73%

Dik : Wt = 110 g Dik : Wt = 112 g


Wo = 75 g Wo = 75 g
t = 50 (hari) t = 32 (hari)
Dit : LPH ? Dit : LPH ?
𝑊𝑡 − 𝑊𝑜 𝑊𝑡 − 𝑊𝑜
LPH = × 100% LPH = × 100%
𝑡 𝑡
110 − 75 108 − 75
= × 100% = × 100%
23 32
35 37
= × 100% = × 100%
23 32

= 1,52 × 100% = 1,15 × 100%


= 1,52% = 1,15%

115 − 75
Dik : Wt = 115 g = × 100%
32
Wo = 75 g
t = 32 40
= × 100%
(hari) 32

Dit : LPH ? = 1,25 × 100%


LPH = 𝑊𝑡 − 𝑊𝑜 × 100% = 1,25%
𝑡

41
Rata-Rata LPH pada perlakuan (2) 5 µg/g :
2,38 + 1,73 + 1,52 + 1,15 + 1,25 = 8,03 : 5 = 1,60 %
❖ Perlakuan (3) : 7 µg/g yaitu moulting kepiting (3)
Dik : Wt = 87 gr Dik : Wt = 105 gr
Wo = 75 gr Wo = 75 gr
t = 6 (hari) t = 33 (hari)
Dit : LPH ? Dit : LPH ?
𝑊𝑡 − 𝑊𝑜 𝑊𝑡 − 𝑊𝑜
LPH = × 100% LPH = × 100%
𝑡 𝑡

87 − 75 105 − 75
= × 100% = × 100%
6 33
12 30
= × 100% = × 100%
6 33

= 2 × 100% = 0,90 × 100%


= 2% = 0,90%

Dik : Wt = 106 gr 106 − 75


= × 100%
Wo = 75 gr 33
t = 33 (hari) 31
= × 100%
Dit : LPH ? 33

𝑊𝑡 − 𝑊𝑜 = 0,93 × 100%
LPH = × 100%
𝑡 = 0,93%

Rata-Rata LPH pada perlakuan (3) 7 µg/g : 2+ 0,90 + 0,93 = 3,83 : 3 = 1,27 %
Laju Pertumbuhan Harian (LPH)
Perlakuan Laju Pertumbuhan Berat Spesifik Harian
A (Kontrol) 0,75
B (3 µg/g) 1,68
C (5 µg/g 1,6
D (7 µg/g) 1,27

42
Data Pertumbuhan Lebar Karapas Mutlak

➢ Perlakuan : Kontrol yaitu moulting kepiting (3)


Dik : Lt = 8,5 Dik : Lt = 8,7
Lo = 6,4 Lo = 6,4
Dit = L Dit = L
L= Lt - Lo L= Lt - Lo
= 8,5 - 6,4 = 8,7 - 6,4
= 2,1 cm = 2,3 cm

Dik : Lt = 7,0
Lo = 6,4
Dit = L
L= Lt - Lo
= 7,0 - 6,4
= 0,6 cm
Rata-Rata PLKM pada perlakuan kontrol : 2,1 + 2,3 + 0,6 = 5 : 3 = 1,66 cm
➢ Perlakuan (1) : 3 µg/g yaitu moulting kepiting (4)
Dik : Lt = 7,3 Dik : Lt = 8,3
Lo = 6,4 Lo = 6,4
Dit = L Dit = L
L= Lt - Lo L= Lt - Lo
= 7,3 - 6,4 = 8,3 - 6,4
= 0,9 cm = 1,9 cm

Dik : Lt = 8,2 Dik : Lt = 9,5


Lo = 6,4 Lo = 6,4
Dit = L Dit = L
L= Lt - Lo L= Lt - Lo
= 8,2 - 6,4 = 9,5 - 6,4
= 1,8 cm = 3,1 cm

Rata-Rata PLKM pada perlakuan (1) 3 µg/g :


0,9 + 1,9 + 1,8 + 3,1 = 7,7 : 4 = 1,92 cm
➢ Perlakuan (2) : 5 µg/g yaitu moulting kepiting (5)
Dik : Lt = 8,5 = 2,1 cm
Lo = 6,4
Dit = L Dik : Lt = 8,5
L= Lt - Lo Lo = 6,4
= 8,5 - 6,4 Dit = L

43
L = Lt - Lo = 2,1 cm
= 8,5 - 6,4
Dik : Lt = 8,4 Dik : Lt = 8,3
Lo = 6,4 Lo = 6,4
Dit = L Dit = L
L = Lt - Lo L= Lt - Lo
= 8,4 - 6,4 = 8,3 - 6,4
= 2 cm = 1,9 cm

Dik : Lt = 8,3
Lo = 6,4
Dit = L
L= Lt - Lo
= 8,3 - 6,4
= 1,9 cm
Rata-Rata PLKM pada perlakuan 5 µg/g :
2,1 + 1,9 + 1,9 + 2 + 2,1 = 10 : 5 = 2 cm

➢ Perlakuan (3) : 7 µg/g yaitu moulting kepiting (3)


Dik : Lt = 8 Dik : Lt = 8,3 Dik : Lt = 8,2
Lo = 6,4 Lo = 6,4 Lo = 6,4
Dit = L Dit = L Dit = L
L= Lt - Lo L= Lt - Lo L= Lt - Lo
= 8 - 6,4 = 8,3 - 6,4 = 8,2 - 6,4
= 1,6 cm = 1,9 cm = 1,8 cm

Rata-Rata PLKM pada perlakuan 7 µg/g : 1,6 + 1,8 + 1,9 = 5,3 : 3 = 1,76 cm
Pertambahan Lebar Karapas
Perlakuan Pertambahan Lebar Karapas (cm)
A (Kontrol) 1,66
B (3 µg/g) 1,92
C (5 µg/g 2
D (7 µg/g) 1,76

44

Anda mungkin juga menyukai