SKRIPSI Udang
SKRIPSI Udang
PROPOSAL SKRIPSI
Oleh:
Nama Nim
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2022
RINGKASAN
Tiara. Peranan penting ekstrak kunyit (curcuma longa) sebagai antibiotik alami ikan lele
terhadap patoghen aeromonas hydrophila, Dibawah bimbingan ibu Rani Yuwanita, S.Pi., M.P
Dalam kegiatan budidaya ikan sering ditemukan banyak kendala dalam pemeliharaan
ikan, salah satunya adalah serangan penyakit. Penyakit biasanya disebabkan oleh virus,
bakteri, parasit, jamur, faktor lingkungan yang tidak mendukung, serta zat-zat kimia yang
dapat mencemari lingkungan. Penyakit bakterial merupakan penyakit yang banyak
menyebabkan kegagalan panen terutama disebabkan oleh bakteri Aeromonas hydrophila
untuk mengatasi penyakit ini para pembudidaya ikan sering kali menggunakan antibiotik,
namun dalam penggunaan antibiotik terus menerus akan menyebabkan organisme pantogen
bersifat resisten, dapat mencemari lingkungan, dan dapat memberikan efek samping
terhadap manusia yang mengkonsumsi ikan tersebut. Oleh karena itu perlu adanya alternatif
anti bakteri alami yang aman seperti menggunakan ekstrak kunyit (Curcuma Longa).
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen. Menurut
Atmodjo (2011), penelitian eksperimen adalah suatu penelitian yang meneliti hubungan
sebab akibat dengan memanipulasikan satu (lebih) variable pada satu (lebih) kelompok
eksperimen dan membandingkannya dengan kelompok lain yang tidak mengalami
manipulasi. Dengan 3 perlakuan yaitu A (200 ppm), B (400 ppm), C (600 ppm), serta kontrol
( + ) dan kontrol ( - ) yang masing – masing diulang sebanyak 3 kali.
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah rata-rata presentase kelulushidupan
ikan koi pada perlakuan kontrol ( + ) sebesar 53,33 %, kontrol ( - ) sebesar 96,66 %, A (200
ppm) sebesar 100 %, B (400 ppm) 96,66%, C (600 ppm) 83,33%. Peningkatan
kelulushidupan ikan koi terjadi mulai dari dosis 0 ppm pada kontrol positif sampai dosis
optimal pada dosis 145 ppm kemudian meningkat lagi sampai pada dosis maksimal 335
ppm. Karena dalam ekstrak kunyit mengandung senyawa aktif yang berperan sebagai
antibakteri dan immunostimulan yang dapat meningkatkan kelulushidupan ikan koi. Setelah
berada pada dosis maksimal 335 ppm kelulushidupan ikan koi terus mengalami penurunan
sampai pada dosis 600 ppm. karena dalam ekstrak kunyit (Curcuma longa) terdapat
kandungan senyawa aktif yang memiliki fungsi sebagai immunosupresor yang dapat
menghambat dan menekan aktivitas imun.
Kata kunci : Aeromonas hydrophila, Ikan lele (Clarias gariepinus), ekstrak kunyit
(Curcuma longa)
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkah, karunia dan ridho-Nya penulis
dapat menyelesaikan tugas proposal skripsi dengan judul “Peranan penting ekstrak kunyit
(curcuma longa) sebagai antibiotik alami Ikan lele (Clarias gariepinus) terhadap patoghen
aeromonas hydrophila“ Penulis mengucapkan terima kasih kepada ibu Rani Yuwanita, S.Pi.,
M.P. selaku dosen pengampu mata kuliah Metode Ilmiah yang telah membantu dalam
penyusunan tugas proposal skripsi ini. Dalam tugas proposal skripsi ini membahas mengenai
Peranan penting ekstrak kunyit (curcuma longa) sebagai antibiotik alami ikan lele terhadap
patoghen aeromonas hydrophila. Proposal skripsi ini disusun agar pembaca dapat memperluas
ilmu tentang pentingnya
Demikianlah harapan penulis, semoga tugas proposal ini dapat bermanfaat bagi penulis
dan pembaca tentunya dan dapat memberikan wawasan yang lebih luas. Penulis menyadari
bahwa masih terdapat banyak kekurangan yang mendasar pada tugas proposal skripsi. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun. Kritik objektif dari
pembaca sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan selanjutnya, agar tulisan ini dapat
bermanfaat bagi kita semua.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN............................................................................................................................. i
KATA PENGANTAR.................................................................................................................ii
DAFTAR GAMBAR.................................................................................................................iv
DAFTAR TABEL....................................................................................................................... v
BAB 1. PENDAHULUAN..........................................................................................................1
1.4 Hipotesis..................................................................................................................... 2
iii
2.5 Gejala Patologi Klinis pada Ikan................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................... 22
iv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1 Ikan lele (Clarias gariepinus).................................................................................................3
Gambar 2 Tanaman Kunyit (Curcuma longa)........................................................................................5
Gambar 3 Aeromonas hydrophila...........................................................................................................9
Gambar 4 Denah Penelitian...................................................................................................................15
iv
v
DAFTAR TABEL
Halaman
v
BAB 1. PENDAHULUAN
Ikan lele adalah jenis ikan air tawar yang paling banyak diminati serta dikonsumsi oleh
masyarakat Indonesia. Olahan ikan lele mempunyai rasa yang enak dan kandungan gizinya
cukup tinggi yang dibutuhkan oleh tubuh manusia seperti sumber energi, protein, lemak,
kalsium, fosfor, zat besi, tiamin. Pemanfaatan ikan lele selain dijadikan produk olahan segar
seperti ikan lele goreng dan bakar, ikan lele juga dapat dijadikan produk olahan seperti
keripik, abon dan nugget ikan lele (Azhar, 2006).
Ikan lele (Clarias gariepinus) merupakan salah satu komoditas perikanan yang cukup
popular di masyarakat. Ikan lele ini berasal dari benua Afrika dan pertama kali dibawah ke
Indonesia pada tahun 1984. Ikan lele atau ikan keli, adalah sejenis ikan yang hidup di air
tawar.
Ikan lele merupakan salah satu bahan makanan bergizi yang mudah dihidangkan
sebagai lauk. Kandungan gizi ikan lele sebanding dengan daging ikan lainnya. Beberapa
jenis ikan, termasuk ikan lele mengandung protein lebih tinggi dan lebih baik dibandingkan
dengan daging hewan. Nilai gizi ikan lele meningkat apabila diolah dengan baik. Kandungan
gizi ikan (termasuk ikan lele) dan lele goreng menurut hasil analisis komposisi bahan makan
per 100 g (Abbas, 2001)
Ikan lele sangat mudah sekali terserang penyakit dan hama pada saat masih dalam
bentuk benih, dan penyakit ini disebabkan oleh bakteri Aeromonas hydrophila. Menurut Ellis,
(1988) dalam Suhermanto, et al. (2011) pada ikan, respon imun akan baru terbentuk dengan
sempurna disaat kondisi ikan memasuki fase dewasa. Ikan- ikan muda tidak memiliki respon
imun spesifik yang sempurna. Bakteri Aeromonas hydrophila merupakan bakteri gram
negatif, yang bersifat saprofit dan parasit obligat. Sehingga bakteri ini mudah menyebar dari
satu inang ke inang yang lainnya.
Solusi terbaik untuk menangani penyakit dari bakteri Aeromonas hydrophila ini dengan
pemberian antibiotik yang mengandung bahan kimia yang dapat menyebabkan resistensi
terhadap lingkungan maupun organismenya sendiri, selain itu anti biotik ini juga memiliki
harga yang cukup mahal. Menurut Wang dan Silva, (1999) dalam Dayanti, et al. (2012),
pemakaian antibiotik dapat menimbulkan resistensi bakteri Aeromonas hydrophila terhadap
antibiotik tertentu. Pengaruh lain dari penggunaan antibiotik ini dikhawatirkan menimbulkan
akumlasi dalam.
Tanaman kunyit (Curcuma longa) adalah salah satu tanaman obat yang memiliki
potensi mangatasi berbagai penyakit. Karena itu perlu dilakukannya penelitian tentang
pemanfaatan senyawa aktif dari ekstrak kunyit (Curcuma longa) yang dapat melawan
pertumbuhan bakteri Aeromonas hydrophila tanpa menimbulkan efek resistensi yang dikaji
1
melalui kehidupan Ikan lele (Clarias gariepinus) yang telah terinfeksi dengan bakteri
Aeromonas hydrophila. Menurut Dayanti, et al. (2012), untuk menghindari efek negatif
penggunaan antibiotik, maka penanggunalangan penyakit pada ikan diupayakan dengan
menggunakan tanaman obat yang mempunyai khasiat anti bakteri (herbal medicine).
1.2 Perumusan Masalah
Ikan lele (Clarias gariepinus) merupakan komoditas ikan konsumsi yang memiliki nilai
pasar yang cukup tinggi. Tetapi para pembudidaya ikan lele sering mengalami masalah
dalam pemeliharaan yang disebabkan oleh beberapa jenis penyakit, salah satunya penyakit
yang disebabkan oleh bakteri Aeromonas hydrophila. Sampai saat ini untuk pengobatan
penyakit yang disebabkan bakteri Aeromonas hydrophila masih menggunakan antibiotik
yang berbahan kimia, tentunya dapat menyebabkan efek resistensi terhadap lingkungan
maupun organismenya, oleh karena itu perlu perbaikan pengobatan dengan menggunakan
bahan alami dengan memanfaatkan senyawa aktif ekstrak kunyit (Curcuma longa) yang
mampu menghambat pertumbuhan bakteri Aeromonas hydrophila tanpa menimbulkan efek
resistensi dan dapat mengetahui manfaat pemberian senyawa aktif tersebut terhadap ikan
lele yang terinfeksi dengan bakteri Aeromonas hydrophila.
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Labolatorium Parasit dan Penyakit Ikan Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan, Universitas Brawijaya, Malang pada tanggal 15 Januari sampai 27
Maret 2022.
2
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
Menurut Widodo dalam Pratiwi (2014), ikan lele memiliki kedudukan taksonomi
sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Class : Pisces
Ordo : Ossariophyyci
Familia : Clariidae
Genus : Clarias
Menurut suyanto (2014). Ikan lele adalah ikan yang hidup di perairan umum dan
merupakan ikan yang bernilai ekonomis, serta disukai oleh masyarakat. Ikan lele tergolong
hewan nocturnal, yaitu lebih aktif mencari makan di malam hari. Ikan lele umumnya memiliki
warna kehitaman atau ke abuan dengan bentuk tubuh yang panjang dan pipih ke bawah.
Memiliki kepala yang pipih dan tidak memiliki sisik dan terdapat alat pernapasan bantuan.
Insang pada ikan lele berukuran kecil dan terletak dibagian belakang kepala. Jumlah sirip ikan
lele sebanyak 68-79, di bagian sirip dada ada 9-10, di bagian sirip perut 5-6, di sirip dubur 50-
60, dan memiliki 4 pasang sungut. Sirip dada di lengkapi dengan duri tajam patil yang memiliki
panjang maksimum hingga mencapai 400 mm. Matanya berukuran 1/8 dari panjang kepalanya.
Giginya berbentuk villiform dan menempel pada rahangnya.
Menurut Suyanto (2009), bentuk badan ikan ini memanjang dengan model kepala
depressed atau gepeng. Ikan ini memiliki 3 buah sirip tunggal yakni sirip ekor, punggung dan
3
dubur (anal). Juga memiliki 2 buah sirip berpasangan sebagai alat bantu renang yaitu sirip dada
(pektoral) dan perut (ventral). Sepasang patil dimiliki ikan ini yang terletak di depan sirip
pektoral. Najiyati (2007) menambahkan bahwa ikan ini (secara umum ialah ikan lele) memiliki
alat pernafasan tambahan yang dinamakan arborescent. Terletak di bagian kepala. Pernafasan
tambahan ini bercirikan warna kemerahan dan seperti tajuk pohon rimbun yang dipenuhi oleh
kapiler-kapiler darah. Insangnya berukuran kecil yang terletak pada bagian belakang kepala.
2.1.2 Habitat dan Daerah Penyebaran
Habitat lele adalah perairan air tawar seperti sungai dengan arus tidak deras,
kolam,danau atau rawa. Dengan organ pernafasan tambahan didepan insangnya, lele dapat
memperoleh oksigen langsung dari udara. Karena itulah lele mampu hidup di perairan yang
beroksigen rendah. Lele tidak cocok dengan daerah tinggi (700 mdpl) dan tumbuh lambat pada
suhu dibawah 200C. Ikan lele bisa hidup di dataran rendah maupun di daerah yang tingginya
maksimal 700 mdpl. Elevasi tanah dari permukaan sumber air dan kolam adalah 5-10%. Tanah
yang cocok untuk kolam pemeliharaan yaitu jenis tanah liat/lempung, tidak berporos, dan subur.
Lahan yang cocok umtuk digunakan budidaya ian lele dapat berupa: sawah, pecomberan,
kolam di pekarangan, dan blumbang. Ikan ini adalah ikan yang hidup di air tawar, ia bersifat
nokturnal artinya ia aktif pada malam hari atau lebih menyukai tempat yang gelap. Siang hari,
ikan lele ini lebih memilih berdiam di lubang-lubang atau tempat-tempat yang tenang.
Menurut Wartono (2011). Ikan lele dapat bertahan pada suhu minimum 200C, dan
dengan suhu optimal antara 25-280C. Sedangkan untuk pertumbuhan larva diperlukan suhu
antara 26- 300C dan untuk pemijahannya antara 24-280C. Air kolam budidaya sebaiknya
memenuhi kriteria fisika-kimia diantaranya, mempunyai pH6, 5-9; kesadahan (derajat butiran
kasar) maksimal 100 ppm dan optimal 50 ppm; turbidity (kekeruhan) bukan lumpur antara 30-60
cm; yang di butuhkan O2 optimal pada range yang cukup lebar, dari 0,3 ppm untuk yang
dewasa sampai jenuh untuk yang burayak; dan kandungan CO2 kurang dari 12,8 mg/liter,
amonium terikat 147,2 9-157, 56 mg/liter. Daerah dataran rendah ikan ini dapat hidup dengan
baik. Pertumbuhan lele akan melambat pada lingkunga hidup yang memiliki suhu yang terlalu
dingin dan pada daerah diatas 700 meter pertumbuhan ikan ini tidak begitu baik. Perairan bersih
ikan ini akan tumbuh dengan baik jika di pelihara dengan baik
Menurut Khairuman & Amri (2012). Ikan lele bisa hidup di perairan yang tenang dan
kedalamannya cukup, walaupun kondisi airnya jelek, kotor dan miskin zat O2. Tetapi
perairannya tidak boleh tercemar oleh bahan kimia, limbah industri, merkuri, atau mengandung
kadar minyak atau bahan lainnya yang bisa membuat ikan mati. Selain itu, perairan nya harus
mengandung banyak zat-zat yang dibutuhkan ikan dan menghasilkan bahan makanan alami.
Perairannya bukan perairan yang rawan banjir. Permukaan perairannya tidak boleh tertutup
rapat oleh sampah atau daundaunan hidup.
4
2.2 Kunyit (Curcuma longa)
Klasifikasi tanaman kunyit (Curcuma longa) (Gambar 2). Menurut Syamsu hidayat dan
Hutapea (1991) dalam Mutiah, R. (2015) adalah sebagai berikut :
Divisi : Spermatophyta
Kelas : Monocotyledonae
Bangsa : Zingiberales
Suku : Zingiberaceae
Marga : Curcuma
Menurut Shan et al (2018), kunyit (Curcuma longa) adalah tanaman tropis yang banyak
terdapat di benua Asia yang secara ekstensif dipakai sebagai zat pewarna dan pengharum
makanan. Kunyit adalah sejenis tumbuhan yang dijadikan bahan rempah yang memberikan
warna kuning cerah. Kunyit juga digunakan sebagai bahan pewarna, obatan dan perasa sejak
600 SM. Kunyit dianggapkan sebagai salah satu herbal yang sangat bernilai kepada manusia.
Morfologi akar kunyit adalah bentuk rimpangnya panjang dan bulat dengan diameter sebesar 1-
2 cm serta panjangnya 3- 6 cm. Kunyit dapat menumbuh tunas baru yang akan berkembang
menjadi tanaman baru. Tangkai bunga berambut, bersisik, daun kelopak berambut, bentuk
lanset. Kelopak bunga berbentuk tabung, panjang 9-13 mm.
Menurut Kurniawan et al., (2016). Tanaman kunyit dapat tumbuh mulai dari daerah
dataran rendah dengan ketinggian minimal 240 mdpl hingga daerah dataran tinggi dengan
ketinggan maksimal 2000 mdpl, dengan pertumbuhan terbaik dicapai pada daerah yang
5
memiliki suhu optimum 20-30°C, serta curah hujan 2000-4000 mm/tahun. Selain itu, dengan
jarak tanam yang teratur dan tidak berdekatan dengan tanaman lain akan menghasilkan
rimpang dengan kualitas yang baik, kuantitas yang banyak, dan ukuran rimpang yang besar.
Menurut Rohmah et al (2021), kunyit (Curcuma longa) termasuk salah satu tanaman
rempah dan obat asli dari wilayah Asia Tenggara. Tanaman ini kemudian mengalami
persebaran ke daerah Malaysia, Indonesia, Australia, dan Afrika. Kunyit termasuk salah
satu tanaman rempah dan obat, habitat asli tanaman ini meliputi wilayah Asia
khususnya Asia Tenggara. Kunyit tergolong dalam kelompok jahe-jahean
(Zingiberaceae), dikenal di berbagai daerah dengan beberapa nama lokal, seperti Turmeric
(Inggris), kurkuma (Belanda), kunyit (Indonesia dan Malaysia), kunir (Jawa), koneng
(Sunda), konyek (Madura). Tanaman kunyit dapat tumbuh baik di daerah yang memiiliki
cahaya penuh atau sedang sehingga tanaman ini sangat baik hidup pada tempat terbuka
atau sedikit naungan dengan curah hujan 1000-4000 mm/tahun.
Menurut Cheppy dan Fatimah, (2007). Kunyit (Curcuma longa) merupakan tanaman obat
asli dari Asia Tenggara dan telah dikembangkan secara luas di Asia Selatan, Cina Selatan,
Taiwan, Filipina dan tumbuh dengan baik di Indonesia. Tanaman tumbuh tegak mencapai tinggi
1,0 - 1,5 m. Memiliki batang semu yang dililit oleh pelepah-pelepah daun. Daun tanaman
runcing dan licin dengan panjang sekitar 30 cm dan lebar 8 cm. Bunga muncul dari batang
semu dengan panjang sekitar 10 - 15 cm. Warna bunga putih atau putih bergaris hijau dan
terkadang ujung bunga berwarna merah jambu. Bagian utama dari tanaman adalah rimpangnya
yang berada di dalam tanah. Rimpang ini biasanya tumbuh menjalar dan rimpang induk
biasanya berbentuk elips.
Menurut Shan et al (2018), dalam sejarah perobatan rakyat India, kunyit dianggapkan
sebagai bahan antibiotik yang terbaik sementara pada masa yang sama kunyit juga digunakan
untuk memudahkan proses pencernaan dan memperbaiki perjalanan usus. Di India, secara
tradisional kunyit telahdigunakan sebagai pelawanan penyakit yang berhubungan dengan
empedu maupun “hepato-biliary disorders”, batuk, diabetes dan penyakit hepatik, reumatik dan
sinusitis. Manakala di China, kunyit digunakan untuk penyakit yang berhubungan dengan
penyakit perut dan penyakit kuning.
Tanaman kunyit juga sering digunakan sebagai tanaman obat tradisional untuk
mengobati beberapa jenis penyakit seperti demam, diare, liver, sesak nafas, radang hidung,
maag, eksim, dan hipertensi. Manfaat kunyit sebagai obat tradisional mendorong para peneliti
6
untuk terus menemukan manfaat lain dari tanaman kunyit. Beberapa manfaat kunyit yang telah
dilaporkan secara ilmiah ialah sebagai antimikroba dan antioksidan.
A. Kurkuminoid
B. Minyak atsiri
Menurut Yulianti (2017), minyak atsiri ini dapat digunakan sebagai antibakteri karena
mengandung gugus fungsi hidroksil dan karbonil yang merupakan turunan fenol. Turunan fenol
ini akan berinteraksi dengan dinding sel bakteri, selanjutnya terabsorbsi dan penetrasi ke dalam
sel bakteri sehingga menyebabkan presipitasi dan denaturasi protein, akibatnya akan melisiskan
membran sel bakteri. Aktivitas antibakteri curcumin dengan cara menghambat proliferasi sel
bakteri. Minyak atsiri telah terbukti bersifat sebagai anti oksidan, anti kolesterol, anti tumor, dan
anti bakteri. Senyawa yang bersifat anti mikroba antara lain fenol dan senyawa turunannya
terbukti sebagai anti bakteri dengan cara merusak dinding sel yang mengakibatakan lisis atau
menghambat pembentukan komponen dinding sel pada sel yang sedang tumbuh, mengubah
7
permeabilitas membran sitoplasma sehingga menyebabkan kebocoran nutrisi dari bahan sel
denaturasi protein sel dan menghambat kerja enzim di dalam sel (Sari dan Maulidya., 2016).
C. Flavonoida
Menurut Trimanto et al (2018), flavonoid merupakan salah satu golongan fenol alam
yang terbesar. Golongan flavonoid mencakup banyak pigmen yang paling umum dan terdapat
pada seluruh dunia tumbuhan mulai dari fungus sampai angiospermae. Flavonoid memiliki
sejumlah kegunaan. Pada tumbuhan, flavonoid berperan dalam proses fotosintesis, aktivitas
anti mikroba dan anti-virus (Rahmat, 2009). Flavonoid merupakan senyawa yang termasuk
dalam golongan fenol. Senyawa ini memiliki zat warna merah, ungu, biru dan sebagian zat
warna kuning yang ditemukan dalam tumbuhan. Flavonoid merupakan senyawa polar karena
memiliki sejumlah gugus hidroksil yang tidak tersubtitusi. Senyawa flavonoid ini dapat
dimanfaatkan sebagai anti mikroba, obat infeki pada luka, anti jamur, anti virus, anti kanker, anti
tumor. Selain itu flavonoid juga dapat digunakan sebagai anti bakteri, anti alergi, sitotoksi, dan
anti hipertensi. Pengambilan flavonoid dari suatu tanaman dapat dilakukan dengan ekstraksi.
Senyawa flavonoid bersifat polar sehingga dibutuhkan pelarut yang bersifat polar (Fitria, 2015)
D. Tanin
Menurut Sulasiyah et al (2018), tanin adalah senyawa fenolik polimer yang memiliki
berat molekul besar. Tanin memiliki potensi sebagai antioksidan. Potensi antioksidan dari tanin
tergantung pada gugus hidroksil dan fenolik yang ada dan derajat hidroksilasi dari cincin
aromatik. Tanin adalah senyawa aktif metabolit sekunder yang memiliki khasiat yaitu sebagai
astringen, anti diare, anti bakteri dan antioksidan. Tanin merupakan komponen zat organik,
terdiri dari senyawa fenolik yang sukar dipisahkan dan sukar mengkristal, mengendapkan
protein dari larutannya dan bersenyawa dengan protein tersebut. Tanin berbentuk serpihan
mengkilat berwarna kekuningan sampai coklat muda atau serbuk amorf tidak berbau atau
sedikit berbau khas (Depkes RI 1995). Tanin memiliki sifat kelarutan sangat mudah larut dalam
air, larut alkhohol, larut aseton, tanin memiliki peranan biologis yang komplek dari pengendapan
protein. Tanin juga berfungsi sebagai antioksidan biologis (fitria 2015). Mekanisme kerja tanin
sebagai antibakteri yaitu dapat menghambat enzim reverse transkriptase dan DNA
topoisomerase sehingga sel bakteri tidak dapat terbentuk.
8
E. Alkaloid
Menurut Sulasiyah et al (2018), Alkaloid teridentifikasi pada produk fermentasi dan tanpa
fermentasi. Senyawa ini memiliki sifat fisika, kimia, dan biologi yang spesifik sehingga
berpotensi sebagai obat. Kegunaan senyawa alkaloid dalam bidang farmakologi adalah untuk
memacu sistem syaraf, melawan infeksi mikrobial, dan sebagai antioksidan karena alkaloid
dapat berperan melawan radikal bebas. Adanya senyawa fitokimia alkaloid pada tanaman
menjadikan tanaman tersebut berperan sebagai antioksidan alami karena dapat mengikat
radikal bebas.
Menurut Darsana (2012), mekanisme kerja alkaloid sebagai antibakteri adalah dengan
cara mengganggu komponen penyusun peptidoglikan pada sel bakteri sehingga lapisan dinding
sel tidak terbentuk utuh dan dapat menyebabkan kematian sel. Selain itu, alkaloid bekerja
dengan mengganggu komponen penyusun peptidoglikan dan menghambat enzim topoisimerae
yang mempunyai peran yang sangat penting dalam proses replikasi, transkripsi, dan
rekombinasi DNA dengan cara memotong dan menyambungkan untai tunggal atau untai ganda
DNA menurut (Champbell, 2010).
Filum : Protophyta
Kelas : Schizomycetes
Ordo : Pseudanonadeles
Famili : Vibrionaceae
Genus : Aeromonas
9
Menurut Safratilofa (2017), Aeromonas hydrophila merupakan bakteri patogen yang
menyerang ikan air tawar. Bakteri Aeromonas hydrophila termasuk bakteri Gram negatif dan
motil, berbentuk batang dengan ukuran 0,7-0,8 μm. Bakteri ini bersifat fakultatif dan dapat
bergerak karena mempunyai satu flagel di salah satu kutub. Bakteri Aeromonas hydrophila
mempunyai koloni berbentuk bulat, permukaan cembung dan berwarna kuning keputih-putihan
(krem). Bakteri Aeromonas hydrophila menyerang semua jenis ikan air tawar di daerah tropis,
sehingga sangat berbahaya bagi budidaya ikan air tawar. Bakteri ini sering menimbulkan wabah
penyakit dalam tingkat kematian tinggi (80-100%) dan dalam waktu singkat (1-2 minggu), A.
hydrophila sulit dikendalikan karena ada di air dan dapat menjadi resisten terhadap obat-obatan
(Kamiso, 2004).
Menurut Samsundari dan Sri (2006), Aeromonas hydrophila termasuk kelompok bakteri
gram negatif yang tumbuh maksimal pada kisaran suhu 38oC - 41oC dan pertumbuhan minimal
pada suhu 0oC - 5oC dengan kisaran pH 5,5-9. Perkembangbiakan bakteri Aeromonas
hydrophila secara aseksual dengan pemanjangan sel yang diikuti pembelahan inti yang disebut
pembelahan biner. Waktu yang diperlukan untuk pembelahan satu sel menjadi dua sel lebih
kurang 10 menit. Bakteri Aeromonas hydrophila mempunyai habitat didaerah estuaria dan air
tawar, keberadaannya berhubungan dengan kandungan bahan organik atau sedimen dasar
perairan. Bakteri Aeromonas hydrophila banyak terdapat didaerah tropis dan subtropis
dibandingkan di daerah dingin. Serangan bakteri Aeromonas hydrophila biasanya muncul pada
musim kemarau karena pada saat tersebut kandungan bahan organik di perairan relatif tinggi.
Bakteri Aeromonas hydrophila berperan dalam penguraian bahan organik sehingga sering
ditemukan di perairan yang subur. Kandungan oksigen yang rendah, suhu yang tinggi,
10
akumulasi bahan organik atau sisa metabolisme ikan dan padat tebar ikan yang tinggi sangat
menunjang perkembangbiakan bakteri ini.
Menurut Irianto, (2005). Bakteri A. hydrophila dapat hidup di air tawar, air laut maupun
air payau. Pada umumnya bakteri ini hidup pada air tawar yang mengandung bahan organik
tinggi. Bakteri ini juga diakui sebagai patogen dari hewan akuatik yang berdarah dingin. Di
daerah tropik dan sub tropik, pendarahan pada organ dalam pada ikan yang disebabkan oleh
bakteri A. hydrophila pada umumnya muncul pada musim panas (kemarau) karena pada saat itu
konsentrasi bahan organik tinggi dalam kolam air. Pada ikan, bakteri ini banyak ditemukan di
bagian insang, kulit, hati, dan ginjal. Ada pula yang berpendapat bakteri ini dapat hidup pada
saluran pencernaan.
11
keberadaan lipopolisakarida (LPS). LPS merupakan komponen penyusun permukaan dari
membran terluar (outer membrane) bakteri gram negatif.
Menurut Haryani et al (2012), bakteri Aeromonas hydrophila adalah jenis bakteri yang
bersifat patogen dan dapat menyebabkan kematian secara masal. Bakteri Aeromonas
hydrophila ini seringkali mewabah di Asia Tenggara sampai sekarang. Salah satu penyakit yang
dapat menyerang ikan air tawar baik ikan hias atau ikan konsumsi dan dapat mematikan sampai
100% ikan adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri Aeromonas hydrophila, dengan
gejala klinis berupa luka bagian tubuh ikan dan bakteri ini menyerang semua umur dan hampir
semua komuditas perikanan.
Menurut Yuasa et al (2003), ikan-ikan yang terinfeksi oleh bakteri Aeromonas hydrophila
pada umumnya mengalami pendarahan yang meluas pada permukaan kulit (Haemorrhagic
septicemia), yang diikuti dengan timbulnya luka terbuka (ulcer) pada permukaan tubuh atau
hingga ke dalam jaringan. Selain itu, pada beberapa jenis ikan lain sering ditemukan tanda klinis
seperti sirip punggung dan sirip ekor rontok, serta pembengkakan pada perut dan berisi cairan
(dropsy), yang diikuti dengan kematian.
Menurut Alifuddin (2002), seperti halnya dengan udang, jaringan limfoid ikan menyatu
dengan jaringan mieloid disebut dengan jaringan limfomieloid. Pada ikan teleost jaringan
limfomieloidnya adalah limfa, timus dan ginjal depan. Berbeda dengan udang, pada ikan
terdapat populasi sel B dan sel T. Sel-sel ini sangat berberan dalam respon imunitas baik seluler
maupun hormonal. Menurut Alifuddin (2002), respon dan faktor humoral pada ikan antara lain
antibodi, transferin, interferon, protein C-reaktif, respon dan faktor seluler seperti sel makrofag
dan sel killer. Selain itu, terdapat pertahanan mekanik dan kimiawi seperti kulit, sisik dan mukus
pada permukaan tubuh ikan yang bersifat non-spesifik. Respon humoral merupakan respon
yang bersifat spesifik dilakukan oleh suatu substansi yang dikenal sebagai antibodi atau
imunoglobulin, sedangkan respon seluler ikan bersifat non-spesifik dilakukan oleh “cell mediated
imunity”.
Menurut Inem Ode (2013). Sebagaian besar sistem pertahanan tubuh pada ikan berupa
protein seperti antibodi, Mayor Histocompatability Complex (MHC), protein reseptor baik sel B
atau sel T dan lainlainnya. Protein-protein dalam komponen sistem pertahanan tubuh ikan
dikode dengan suatu gen yang terletak pada DNA inti atau DNA kromosomal. Gen-gen tersebut
akan diaktifkan ketika sel mendapatkan rangsangan berupa infeksi mikroorganisme, untuk
disintesis menjadi mRNA yang mengkode protein-protein yeng berhubungan dengan sistem
pertahanan tubuh. Kemudian proteinprotein tersebut akan bekerja sesuai dengan perannya
12
masing-masing untuk mendegradasi antigen yang masuk. Ketika antigen telah didegradasi oleh
protein sistem pertahanan tubuh tadi, gen-gen tersebut akan dinonaktifkan sehingga sintesis
mRNA yang mengkode protein dihentikan.
Menurut Taukhid et al (2004), ikan koi menunjukan beberapa gejala yang timbul seperti :
a) produksi lendir (mukus) berlebih sebagai respon fisiologis terhadap kehadiran patogen,
selanjutnya produksi lendir menurun dratis sehingga tubuh ikan terasa kesat, b) insang
berwarna pucat dan terdapat bercak putih atau coklat (sebenarya adalah kematian sel-sel
insang atau nekrosa insang), selanjutnya menjadi rusak, geripis pada ujung tapis insang dan
akhirnya membusuk. Secara mikroskopis terjadi adanya kerusakan jaringan yang serius serta
kematian sel yang berat, c) pendarahan (hemoragi) disekitar pangkal dan ujung sirip serta
permukaan tubuh lainnya, d) adanya kulit melepuh, e) hati bewarna pucat selanjutnya menjadi
rusak, f) ginjal (anterior dan posterior) berwarna pucat.
Menurut Cipriano (2001), sistem infeksi dapat dilihat dari karakterisasi difusi nekrosis
pada beberapa organ dalam dan ada juga pada muatan-muatan melanin pada makrofage
darah. Secara internal, pada lambung dan ginjal merupakan organ infeksi septicemia akut.
Lambung dapat menjadi pucat dan bewarna kehijauan sedangan ginjal akan menjadi bengkak
dan rapuh. Organ-organ tersebut rupanya diserang oleh toksik pada bakteri dan kehilangan
integritas strukturalnya.
13
BAB 3. MATERI DAN METODE PENELITIAN
Alat beserta fungsinya yang digunakan dalam penelitian disajikan pada Tabel 1
untuk penelitian secara in vitro dan Tabel 2 untuk penelitian secara in vivo.
Tabel 1 Alat Penelitian untuk Mendapatkan Ekstrak Secara In Vitro
No Alat Fungsi
1 Timbangan Analitik Sebagai penimbang bahan
2 Hot Plate Sebagai pemanas
3 Baskom Sebagai tempat bahan
4 Gunting Sebagai pemotong bahan
5 Beaker Glass Sebagai tempat bahan dalam proses maserasi
6 Gelas Ukur Sebagai pengukur bahan larutan
7 Corong Sebagai alat pembantu penuangan larutan
8 Nampan Sebagai tempat bahan dalam proses waterbath
9 Blender Sebagai alat untuk menghaluskan bahan
10 Spatula Sebagai alat untuk menghomogenkan larutan
11 Vortex Sebagai alat untuk menghomogenkan larutan
12 Botol 2L Sebagai wadah untuk maserasi
13 Waterbath Sebagai alat pemanas
14 Rotary evaporator Sebagai alat untuk mendapatkan ekstrak
No Alat Fungsi
1 Akuarium 15 buah Sebagai wadah air
2 Aerator dan Batu Sebagai alat bantu penghasil oksigen
Aerasi
3 Selang Aerator Sebagai alat bantu aerasi
4 Jaring Sebagai alat untuk memindahkan ikan uji
5 Termometer Sebagai alat untuk mengukur suhu
6 pH Meter Sebagai alat untuk mengukur pH air media
7 DO Meter Sebagai alat untuk mengukur kandungan oksigen
Terlarut
8 Selang Air Sebagai alat menyalurkan air
9 Sectio set Sebagai alat bedah
10 Botol Film Sebagai wadah sampel air
11 Selang Sifon Sebagai alat untuk menyifon
14
3.1.2 Bahan Penelitian
Bahan beserta fungsinya yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada
Tabel 3 untuk penelitian secara in vitro dan Tabel 4 untuk penelitian secara in vivo.
No Alat Fungsi
1 Kunyit Curcuma longa Sebagai immunostimulan
2 Kertas Label Sebagai penanda
3 Kertas Saring Sebagai bahan penyaring ekstrak
4 Tissue Sebagai bahan pembersih
5 Masker Sebagai penutup mulut
6 Sarung Tangan Sebagai penutup tangan
7 akuabides Sebagai pelarut ekstrak
No Alat Fungsi
1 Ikan Koi (Cyprinus Sebagai hewan uji
carpio)
2 Bakteri Aeromonas Sebagai bahan penginfeksian
hydrophila
3 Air Media Sebagai media hidup hewan uji
4 Pakan Ikan Sebagai nutrisi ikan uji
5 Akuades Sebagai bahan sterilisasi awal
6 Ekstrak Kunyit Sebagai bahan immunostimulan
Menurut Atmodjo (2011), metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
eksperimental, metode ini merupakan metode penelitian yang memungkinkan peneliti
memanipulasi variabel dan meneliti akibatnya. Penelitian eksperimen adalah suatu
penelitian yang meneliti hubungan sebab akibat dengan memanipulasikan satu (lebih)
variabel pada satu (lebih) kelompok eksperimen dan membandingkannya dengan kelompok
lain yang tidak mengalami manipulasi.
Menurut Hartono (2009), metode penelitian dalam menganalisa gejala klinis
menggunakan metode deskriptif yaitu penelitian deskriptif merupakan metode penelitian
yang berusaha menggambarkan dan menginterpretasi objek sesuai dengan apa adanya.
Penggunaan metode deskriptif, penelitian memungkinkan untuk melakukan hubungan antar
variabel, menguji hipotesis, mengembangkan generalisasi, dan mengembangkan teori yang
memiliki validitas universal. Selain itu, penelitian deskriptif juga merupakan penelitian yang
dilakukan dengan pengumpulan
15
data untuk melihat pertanyaan penelitian atau hipotesis yang berkaitan dengan keadaan
dan kejadian sekarang.
3.2 Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak
Lengkap (RAL). RAL digunakan untuk percobaan yang mempunyai media atau tempat
percobaan yang seragam atau homogen, sehingga RAL banyak digunakan untuk percobaan
laboratorium, rumah kaca dan peternakan. Karena media homogen, maka media atau
tempat percobaan tidak mempengaruhi pada respon yang diamati (Sastrosupadi, 2000).
Model untuk RAL adalah sebagai berikut :
Yij = μ + τi + εij
Keterangan:
Yij = respon atau nilai pengamatan dari perlakuan ke-i dan ulangan ke-j μ =
nilai rata-rata
τi = pengaruh perlakuan ke-i
εij = pengaruh kesalahan (galat) percobaan dari perlakuan ke-i dan ulangan ke-j Penelitian ini
terdiri dari satu faktor penelitian dengan 3 perlakuan dan 2 kontrol
(kontrol positif dan negative) dengan 3 kali ulangan. Perlakuan yang diberikan adalah
perbedaan dosis larutan binahong terhadap ikan koi (Cyprinus carpio) yang terinfeksi
Aeromonas hydrophila. Sebagai perlakuan, ikan koi berukuran 8-11 cm yang sudah terinfeksi
bakteri Aeromonas hydrophila. Ulangan yang dipergunakan sebanyak 3 kali untuk setiap
perlakuan, Penempatannya dilakukan secara acak dengan denah penelitian seperti pada
Gambar 4.
K1- C1 B3 A2 K2+
K3+ B2 A1 C3 K1+
K2- B1 C2 A3 K3-
16
Keterangan :
B Uji Pendahuluan
17
200, 400 dan 600 ppm. Perendaman ikan uji dilakukan dengan cara merendam ikan
pada wadah plastik yang berukuran 10 liter yang berisi larutan sesuai dengan dosis.
Respon Imun Ikan lele (Clarias gariepinus) Terhadap Ekstrak Kunyit
(Curcuma longa)
Ikan lele (Clarias gariepinus) dengan ukuran 8-11 cm diadaptasikan selama 1
minggu, kemudian dilakukan pemberian ekstrak kunyit sebagai immunostimulan
dengan cara perendaman dengan dosis yang berbeda yaitu 200, 400 dan 600 ppm.
Volume air yang digunakan untuk media perendaman sebanyak 10 liter, kemudian
dicampurkan dengan ekstrak kasar kunyit (Curcuma longa) sesuai dengan dosis
yang ditentukan. Perendaman dengan ekstrak kasar Curcuma longa dengan dosis
yang berbeda 5, 50, 500, 1500 menit berdasarkan penelitian pendahuluan. Sebelum
perendaman Ikan lele (Clarias gariepinus) di ambil darahnya. Kemudian proses
adaptasi 48 jam dan di ambil darahnya lagi untuk mengetahui kenaikan leukosit pada
Ikan lele (Clarias gariepinus). Uji respon imun ini dilakukan 2 kali pengulangan untuk
mendapatkan waktu terbaik uji respon imun. Hasil yang didapatkan dari uji respon
imun ini adalah jumlah leukosit terbaik pada waktu perendaman 50 menit.
Penentuan kepadatan bakteri Aeromonas hydrophila
Bakteri Aeromonas hydrophila dengan kepadatan yang berbeda 106, 107, 108
sel/ml. Masing-masing kepadatan bakteri dilarutkan ke dalam 10 liter air. Ikan koi
(Cyprinus carpio) sebanyak 10 ekor, dimasukkan dalam akuarium dengan kepadatan
bakteri yang berbeda. Perendaman dilakukan sampai kematian ikan mencapai 50%
dalam range waktu 24 jam. Hasil yang diperoleh adalah kematian ikan sampai 50%
terjadi pertama kali pada kepadatan 108 sehingga diasumsikan kepdatan bakteri
yang dipakai dalam infeksi kurang dari 108. Bakteri yang digunakan untuk
menginfeksi ikan koi yaitu dengan kepadatan 107 sel/ml (Selvaraj et al., 2009 dalam
Samad, 2010).
C. Pengenceran bakteri Aeromonas hydrophila
Bakteri Aeromonas hydrophila diperoleh dari Balai Perikanan dengan kepadatan
109. Bakteri yang baik dipakai dalam uji adalah di bawah 108 sehingga untuk
mendapatkan kepadatan bakteri tersebut harus dilakukan perhitungan pengenceran
dengan menggunakan rumus menurut Cappucino (1988), sebagai berikut :
N1 . V1 = N2 . V2
18
Dimana :
N1 : Kepadatan populasi bakteri dalam media NB (sel/ml)
N2 : Kepadatan populasi bakteri yang dikehendaki (sel/ml)
V1 : Volume suspensi bakteri dalam NB yang dibutuhkan
V2 : Volume media air dalam wadah pemeliharaan ikan
D. Persiapan alat
Pencucian akuarium
Persiapan alat-alat pendukung (aerasi, termometer, timbangan, seser dan
lain-lain)
Pengisian air pada akuarium (ukuran akuarium 30x30x30 cm)
Hewan uji yang digunakan yaitu Ikan koi (Cyprinus carpio) dengan ukuran 8-11
cm sebanyak 10 ekor untuk masing-masing akuarium. Berikut langkah-langkah
dalam persiapan hewan uji :
Masing-masing akuarium diisi air dengan sebanyak 15 liter
Sebelum ikan koi dimasukkan dalam akuarium terlebih dahulu dipasang
aerasi untuk meningkatkan kandungan oksigen terlarut
Masing-masing akuarium diberi 10 ekor ikan koi
19
selama 50 menit. Setelah direndam selama 50 menit, ikan uji dipindahkan ke akuarium
yang berisi air bersih.
b. Penginfeksian Bakteri Aeromonas hydrophila
Penginfeksian dilakukan maksimal 24 jam setelah perendaman ekstrak yang
kedua. Penginfeksian menggunakan bakteri Aeromonas hydrophila dengan metode
perendaman pada akuarium yang berbeda selama 24 jam dengan kepadatan bakteri
107 sel/ml. Dari hasil perhitungan pengenceran bakteri, dapat diketahui kebutuhan
bakteri yang digunakan untuk penginfeksian sebanyak 0,1 liter dan air tawar
sebanyak 9,9 liter.
Selanjutnya, 120 ekor ikan koi dimasukkan dalam 4 buah akuarium yang
terpisah berdasarkan perlakuaan A (200 ppm),B (400 ppm),C (600 ppm), Kontrol
positif yang telah diberi bakteri Aeromonas hydrophila dan direndam selama 24 jam
sampai ikan menunjukkan gejala-gejala terkena Aeromonas hydrophila (warna tubuh
pucat, berenang tidak seimbang dan sering ke permukaan). Kemudian setelah
diinfeksi, ikan dipindahkan ke akuarium yang berisi air bersih dan diamati selama 14
hari.
Parameter utama yang diamati yaitu kelangsungan hidup atau Survival Rate
(SR) setelah di infeksi dengan bakteri Aeromonas hydrophila selama 14 hari masa
pemeliharaan di dalam akuarium yang berukuran 30x30x30 cm. Rumus SR menurut
Efendi (1993) dalam Marlina (2013), sebagai berikut :
20
SR = 𝑁𝑡x 100%
𝑁𝑜
Keterangan:
SR = Kelangsungan hidup hewan Uji (%).
Nt = Jumlah ikan uji pada akhir penelitian (ekor).
No = Jumlah ikan uji pada awal penelitian (ekor).
3.4.2 Parameter Penunjang
Parameter penunjang dalam penelitian ini adalah kualitas air dan gejala klinis
ikan. Pada pengukuran kualitas air, parameter yang diukur meliputi suhu, pH dan
oksigen terlarut, dimana :
Suhu yang diukur menggunakan thermometer
pH air yang diukur menggunakan pH meter
Oksigen terlarut yang diukur menggunakan DO meter
Pengukuran kualitas air dilakukan setiap hari waktu pagi dan sore
21
DAFTAR PUSTAKA
Iswanto, B., Suprapto, R., Marnis, H., & Imron, I. (2015). Karakteristik Morfologis dan
Genetis Ikan Lele Afrika (Clarias gariepinus Burchell, 1822) Strain Mutiara. Jurnal
Riset Akuakultur, 10(3), 325-334.
Luthfi, M. Z., Rejeki, S., & Elfitasari, T. (2018). Analisa Kelayakan Usaha Budidaya Polikultur
Udang Windu (Penaeus monodon) dan Ikan Koi (Cyprinus carpio) di Desa Bangsri,
Kabupaten Brebes. Sains Akuakultur Tropis: Indonesian Journal of Tropical
Aquaculture, 1(1).
Mangunwardoyo, W., Ismayasari, R., & Riani, E. (2016). Uji patogenisitas dan virulensi
Aeromonas hydrophila Stanier pada ikan nila (Oreochromis niloticus Lin.) melalui
postulat Koch. Jurnal riset akuakultur, 5(2), 145-255.
Mutiah, R. (2015). Evidence based kurkumin dari tanaman kunyit (Curcuma longa) sebagai
terapi kanker pada pengobatan modern. Journal of Islamic Pharmacy, 1(1), 28-41.
Pangemanan, A., & Budiarso, F. (2016). Uji daya hambat ekstrak rimpang kunyit (Curcuma
longa) terhadap pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus dan Pseudomonas sp.
eBiomedik, 4(1).
Purbomartono, C., & Suwarsito, S. (2012). Pengaruh Pemberian Kombinasi Pakan Alami
Daphnia Dengan Kuning Telur Ayam Terhadap Pertumbuhan Dan Sintasan Larva Ikan
Koi (Cyprinus Carpio). Sains Akuatik: Jurnal Ilmiah Ilmu- Ilmu Perairan, 14(1).
Rohmah, G. M., Hayati, A., & Rahayu, T. (2021). Studi Etnobotani Kunyit (Curcuma) Pada
Masyarakat Desa Klabetan Kecamatan Sepulu Kabupaten Bangkalan Madura Jawa
Timur. BIOSAINTROPIS (BIOSCIENCE-TROPIC), 7(1), 104-110.
Safratilofa, S. (2017). Uji Daya Hambat Ekstrak Daun Kayu Manis (Cinnamomum Burmanii)
Terhadap Bakteri Aeromonas Hydrophila. Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi,
16(1), 98-103.
Setijaningsih, L., & Suryaningrum, L. H. (2015). Pemanfaatan limbah budidaya ikan lele
(Clarias batrachus) untuk ikan nila (Oreochromis niloticus) dengan sistem
22
resirkulasi. Berita Biologi, 14(3), 287-293.
Shan, C. Y., & Iskandar, Y. (2018). Studi kandungan kimia dan aktivitas farmakologi
tanaman kunyit (Curcuma longa L.). Farmaka, 16(2).
Sulasiyah, S., Sarjono, P. R., & Aminin, A. L. (2018). Antioxidant from Turmeric
Fermentation Products (Curcuma longa) by Aspergillus Oryzae. Jurnal Kimia Sains
dan Aplikasi, 21(1), 13-18.
Trimanto, T., Dwiyanti, D., & Indriyani, S. (2018). MORFOLOGI, ANATOMI DAN UJI
HISTOKIMIA RIMPANG Curcuma aeruginosa Roxb; Curcuma longa L. DAN Curcuma
heyneana Valeton dan Zijp. Berita Biologi, 17(2), 123-133.
Yuliati, Y. (2017). Uji efektivitas ekstrak kunyit sebagai antibakteri dalam pertumbuhan
bacillus sp dan shigella dysentriae secara in vitro. Jurnal Profesi Medika: Jurnal
Kedokteran dan Kesehatan, 10(1).
23