Anda di halaman 1dari 25

1

TUGAS MAKALAH BUDIDAYA KEPITING BAKAU


MATA KULIAH MANAJEMEN AKUAKULTUR

Dibuat Oleh :

Ahmad Yaqub_ O 271 20 051


Asrul A. Bugis_O27120029
Wira Akbar Pamungkas_O27118035
Astri Rahma Danty_O 271 20 009
Nismawati_O27120059
Ninda Apriani Putri_O27120017

PROGRAM STUDI AKUAKULTUR


JURUSAN PERIKANAN DAN KELAUTAN
FAKULTAS PETERNAKAN DAN PERIKANAN
UNIVERITAS TADULAKO
PALU
2022
2

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Tuhan yang Maha Esa, karena

atas Rahmat dan Karunia-Nyalah sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas

Makalah Budidaya kepiting bakau tepat pada waktunya. Penulis mengucapkan

terima kasih kepada semua pihak yang banyak berperan dalam membantu

penyusunan Makalah ini, yaitu kepada :

1. Orang tua yang selalu memberikan dukungan dan motivasi kepada penulis.

2. Dr. Ir. Zakirah Raihani Ya’la, M.Si selaku Dosen Mata Kuliah Manajemen

Akuakultur.

3. Teman-teman yang telah bekerja sama sehingga makalah ini selesai tepat

waktu.

Penulis menyadari bahwa Makalah ini masih sangat jauh dari kesempurnaan

oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun

untuk dijadikan tambahan ilmu dalam penulisan laporan selanjutnya.

Palu, Maret 2023


3

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL.................................................................................. i
UCAPAN TERIMAKASIH...................................................................... ii
DAFTAR ISI ..................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR.................................................................................. iv
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang........................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah...................................................................... 2
1.3 Tujuan ....................................................................................... 2
BAB 2 PEMBAHASAN
2.1 biologi dan siklus hidup.............................................................
2.1.1 klasifikasi kepiting bakau.................................................
2.1.2 morfologi kepiting bakau.................................................
2.1.3 habitat kepiting bakau......................................................
2.1.4 makanan dan kebiasaan makan........................................
2.1.5 pertumbuhan.....................................................................
2.1.6 pergantian kulit (moulting)..............................................
2.1.7 siklus hidupkepiting bakau...............................................
2.2 sistem budidaya..........................................................................
2.2.1 silvofishery.......................................................................
2..2.2 vertical crab house...........................................................
2.3 manajemen benih........................................................................
2.4 manajemen pakan.......................................................................
2.5 manajemen kesehatan atu penyakit............................................
2.6 manajemen kualitas air...............................................................
2.6.1 suhu .................................................................................
2.6.2 salinitas.............................................................................
2.6.3 oksigen terlarut.................................................................
2.7 manajemen panen.......................................................................
2.8 prospek pengambangan..............................................................
BAB 3 Penutup
4

3.1 Kesimpulan................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
5

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

Gambar 2-1 morfologi kepiting bakau.....................................................................6


Gambar 3- 2. Abdomen kepiting jantan (A) dan kepiting betina (B)....................10
1

BAB 1 PENDAHULUAN

1.2 Latar Belakang

Kepiting bakau (Scylla serrata) merupakan salah satu sumber daya

perikanan yang potensial untuk dikembangkan di kawasan mangrove, bernilai

ekonomis tinggi dan rasa dagingnya enak sehingga sangat digemari oleh

konsumen lokal maupun luar negeri. Sejak awal tahun 1980-an kepiting bakau

menjadi komoditas perikanan penting di Indonesia untuk memenuhi kebutuhan

protein hewani karena mengandung nutrisi penting bagi kehidupan dan kesehatan.

Daging kepiting mengandung asam amino esensial, asam lemak tak jenuh,

vitamin B12, fosfor, zat besi, dan selenium yang berperan dalam mencegah

kanker dan pengrusakan kromosom, juga meningkatkan daya tahan terhadap

infeksi virus dan bakteri (Paul et al, 2015). Herliany dan Zamdial (2015)

menyatakan setiap 100 gram daging kepiting bakau segar mengandung nilai gizi

tinggi yakni 18,06 g.

protein, 1,08 g lemak, 89 mg kalsium, dan 68,1 g air . Bukan hanya

dagingnya yang mempunyai nilai komersil, kulitnyapun dapat dijual. Kulit

kepiting diekspor dalam bentuk kering sebagai sumber chitin, chitosan dan

karotenoid yang dimanfaatkan oleh berbagai industri sebagai bahan baku obat,

kosmetik, pangan, dan lain-lain. Kepiting bakau hidup di daerah yang banyak

ditumbuhi vegetasi mangrove dengan substrat berlumpur atau lumpur berpasir.

Diperkirakan 2500 spesies kepiting dapat dijumpai di perairan Indonesia, dari

total 4500 spesies yang terdapat di seluruh dunia. Menurut Risamasu et al (2014),
2

Ada empat jenis kepiting yang umumnya dikonsumsi yakni S. serrata, S.

tranquebarica, S. paramamosain, S. olilvacea. Jenis S. serrata merupakan jenis

kepiting yang paling popular sebagai bahan makanan dan mempunyai harga yang

cukup mahal.

Bertambahnya jumlah populasi manusia, kebutuhan ekonomi dan

tingginya permintaan konsumen akan mengakibatkan tekanan pada kepiting bakau

serta habitatnya sehingga akan terjadi penurunan populasi kepiting bakau di alam

yang diakibatkan oleh degradasi ekosistem mangrove dan kelebihan tangkap (over

exploitation). Selanjutnya dijelaskan bahwa pengambilan kepiting secara terus

menerus dari alam akan mengurangi ketersediaan, mempercepat kepunahan

bahkan dapat mengganggu ekosistem mangrove sebagai habitatnya.

Untuk memenuhi permintaan konsumen kepiting bakau dan menjaga

kelestarian habitatnya perlu upaya memproduksi kepiting bakau melalui budidaya

ramah lingkungan. Beberapa kegiatan untuk mengelola budidaya dengan metode

ramah lingkungan dapat dilakukan melalui: pengelolaan kualitas lingkungan yang

bertujuan untuk menyediakan habitat yang layak bagi kehidupan kepiting bakau,

manajemen kualitas air, manajemen pakan serta pengontrolan hama dan penyakit.

Teknologi yang mendukung kegiatan budidaya tersebut, yakni: pembenihan,

pembesaran, penggemukan, produksi kepiting bertelur, dan produksi kepiting

lunak/soca (Rahman et al, 2017)

1.2 tujuan dan kegunaan

Tujuan dan kegunaan makalah adalah untuk dapat mengetahui Manajemen

dalam kegiatan budidaya kepiting bakau


3

1.3 manfaat

Dengan adanya makalah ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan

tentang langkah-langkah Manajemen dalam kegiatan budidaya kepiting bakau


4

BAB 2 PEMBAHASAN

2.1 biologi dan siklus hidup

2.1.1 klasifikasi kepiting bakau

Klasifikasi Scylla paramamosain menurut King (1995) dan Keenan (1999)

dalam Pavasovic (2004) adalah sebagai berikut :

Filum : Arthropoda

Subfilum: Crustacea

Klas : Malacostraca

Subklas : Eucarida

Ordo : Decapoda

Famili : Portinuidae

Genus : Scylla

Spesies : Scylla paramamosain

Genus Scylla mempunyai tiga spesies lain yaitu Scylla serata, S. oseanica dan S.

transquebarica (Duc, 2005).

2.1.2 Morfologi kepiting bakau

Kepiting memiliki bentuk tubuh yang lebar melintang. Ciri khas yang

dimiliki bangsa kepiting adalah karapas berbentuk pipih atau agak cembung dan

berbentuk heksagonal atau agak persegi (Afrianto dan Liviawaty, 1992). Kasry

(1996) menjelaskan bahwa ciri kepiting bakau adalah karapas berwarna sedikit

kehijauan, pada kiri dan kanan karapas terdapat 9 buah duri tajam, bagian depan

diantara kedua tangkai matanya terdapat 6 buah duri. Capit kanan lebih besar
5

daripada capit kiri dengan warna kemerahan pada kedua ujung capit, mempunyai

3 pasang kaki jalan dan 1 pasang kaki renang yang terdapat pada ujung abdomen.

Sulistiono dkk (1992) menyatakan bahwa karapas berbentuk cembung dan halus,

lebar karapas satu setengah dari panjangnya, bentuk alur H antara gastric dan

cardiac jelas, 4 gigi triangular pada lengan bagian depan mempunyai ukuran

sama, ruas-ruas abdomen 5 pada kepiting bakaujantan berbentuk segitiga

sedangkan pada betina bentuknya sedikit membulat. Morfologi kepiting bakau

tersebut lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1 morfologi kepiting bakau

Jenis kelamin kepiting sangat mudah ditentukan yaitu dengan mengamati

alat kelaminnya yang ada di bagian abdomen pada ventral tubuh. Pada bagian

abdomen kepiting jantan terdapat organ kelamin berbentuk segitiga yang sempit

dan agak meruncing di bagian depan. Sedangkan organ kelamin kepiting betina

berbentuk segitiga yang relatif lebar dengan bagian depan agak tumpul (lonjong)
6

(Afrianto dan Liviawaty, 1992). Selain dengan memperhatikan bentuk

abdomennya, untuk membedakan antara kepiting jantan dan betina dapat

dilakukan dengan melihat ruas abdomennya, pada kepiting jantan ruas

abdomennya sempit sedangkan pada kepiting betina lebih lebar. Perbedaan organ

kelamin tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Abdomen kepiting jantan (A) dan kepiting betina (B).

Afrianto dan Liviawaty (1992) menjelaskan bahwa habitat kepiting

beragam, mulai dari lingkungan air, baik tawar maupun asin dan lingkungan

daratan. Ada beberapa jenis kepiting yang menyukai hidup di lingkungan berbatu,

namun ada pula yang senang hidup diantara akar tumbuh-tumbuhan air.

2.1.3 Habitat kepiting bakau

Kepiting bakau juga ditemukan di daerah estuaria, perairan pantai

berlumpur dan di tambak air payau (Ghufron, 2007). Kisaran salinitas yang sesuai

untuk pertumbuhan kepiting adalah pada salinitas 10 – 20 ppt (Soim, 1999). Suhu

yang cocok untuk pertumbuhan kepiting antara 23oC – 35oC (Hutasoit, 1991).

Menurut Hill (1989) bahwa kepiting bakau dapat dibudidayakan pada kisaran

suhu 24oC – 28oC. Kandungan oksigen terlarut (DO) terbaik untuk pertumbuhan

antara 4 – 7 ppm (Ghufron, 2007). Menurut Sirait (1997) kepiting bakau dapat

hidup pada kondisi perairan asam yaitu daerah yang bersubstrat lumpur dengan
7

pH rata-rata 6,5. Soim mengatakan pH yang sesuai untuk kepiting berkisar antara

7,3 – 7,8, sedangkan menurut Kasry (1996), pH yang baik untuk kepiting adalah

7,0-8,0.

2.1.4 Makanan dan Kebiasaan Makan

Kepiting bakau muda dan dewasa bersifat pemakan segala dan pemakan

bangkai (omnivorous scavenger), namun cenderung carnivorous (pemakan

hewan) dan pemakan sesama jenis (cannibal). Alternatif pakan yang bisa

diberikan antara lain ikan rucah segar, ikan rucah kering tawar, kulit

sapi/kambing, keong sawah, siput dan berbagai jenis kerang (Moosa et al., 1985).

Kepiting bakau dewasa hidup di sekitar hutan mangrove dan memakan akar-

akarnya. Capit kepiting yang besar memungkinkan menyerang musuhnya dengan

ganas dan merobek makanannya (Hutching dan Sesanger, 1987). Sobekan

sobekan makanan tersebut dimasukkan ke mulut dengan menggunakan kedua

capitnya. Waktu makan kepiting bakau tidak tentu, tetapi lebih aktif mencari

makan pada malam hari daripada siang hari karena kepiting bakau tergolong

hewan nocturnal yang aktif di malam hari (Kasry, 1996).

Sirait (1997) menyatakan bahwa larva kepiting bakau lebih bersifat

pemakan plankton, khususnya larva stadia zoea. Jenis plankton yang digunakan

sebagai pakan larva kepiting adalah chlorella, rotifer dan artemia. Pada saat larva

mencapai stadia crab, pakan yang diberikan berupa udang kecil dan cacahan cumi

(Kanna, 2002)
8

2.1.5 Pertumbuhan

Kepiting bakau tumbuh ditandai dengan terjadinya pergantian kulit, karena

kepiting mempunyai kulit luar (eksoskeleton) keras yang tidak bisa tumbuh dan

kulit tersebut harus diganti apabila terjadi pertumbuhan, proses ini disebut

moulting. Beberapa hari sebelum moulting, kepiting mulai memasukkan air ke

dalam tubuhnya dan mulai mengembang seperti balon. Proses tersebut membantu

kepiting untuk melepaskan cangkang lama sehingga bagian karapas akan terbuka

(Stevens, 2000).

Selama terjadinya moulting, kepiting rentan untuk diserang dan dimakan

kepiting lain yang tidak mengalami moulting, sehingga terjadi kanibalisme

diantara kepiting. Kepadatan dalam pemeliharaan kepiting perlu dibatasi untuk

mencegah terjadinya kanibalisme pada saat kepiting mengalami proses moulting

(Sugara, 2005). Padat penebaran pada pemeliharaan kepiting bakau dalam

karamba apung adalah 25 ekor/m2. Kepadatan kepiting akan menyebabkan

terjadinya kompetisi pakan dan ruang gerak (Kanna, 2002).

2.1.6 pergantian kulit (moulting)

Phelan dan Grubert (2007) menjelaskan bahwa perkembangan kepiting

ditandai dengan terjadinya proses pergantian kulit (moulting). Semakin sering

terjadi pergantian kulit, maka pertumbuhannya semakin cepat.

Selama masa pertumbuhan, kepiting bakau akan mengalami pergantian

kulit antara 17-20 kali, tergantung kondisi lingkungan dan pakan yang dapat

mempengaruhi pertumbuhan. Proses ganti kulit pada zoea berlangsung relatif

cepat yaitu sekitar 3-4 hari, sedangkan pada fase megalopa, proses dan interval
9

pergantian kulit relatif lama yaitu setiap 15 hari (Stevens, 2000). Setiap ganti

kulit, tubuh kepiting akan bertambah besar sekitar 1/3 kali ukuran semula

(Ghufron, 2007). Proses pergantian kulit pada zoea relatif cepat yaitu 3-4 hari.

Pada fase kepiting muda terjadi pergantian kulit sebanyak lebih dari 6 kali dengan

rentang waktu setiap moulting sekitar 30-35 hari (Bunc, 2009).

Stevens (2000) menjelaskan bahwa sebelum moulting, kepiting

mengabsorbsi sejumlah kalsium karbonat dari karapas yang lama (eksoskeleton)

untuk membantu pembentukan cangkang baru, kemudian mensekresi enzim untuk

memisahkan cangkang lamanya dari lapisan epidermis. Sehari sebelum ganti kulit,

kepiting mulai memasukkan air ke dalam tubuhnya dan karapas mulai

mengembang seperti balon. Kejadian ini bertujuan untuk membantu lepasnya

cangkang. Kepiting melepaskan sendiri karapas lama dengan cara mendorong dan

menekan semua bagian tubuh secara berurutan. Proses ini membutuhkan waktu

sekitar 15 menit.

2.1.7 Siklus hidup

Amir (1994) dalam Agus (2008), menyatakan bahwa kepiting bakau dalam

menjalani kehidupannya beruaya dari perairan pantai ke laut, kemudian induk

berusaha kembali ke perairan pantai, muara sungai, atau hutan bakau untuk

berlindung, mencari makanan, atau tumbuh berkembang. Kepiting betina matang

pada ukuran lebar karapas antara 80-120 mm sedangkan kepiting jantan matang

secara fisiologis ketika lebar karapas berukuran 90-110 mm, namun tidak cukup

berhasil bersaing untuk pemijahan sebelum dewasa secara morfologis (yaitu dari

ukuran capit) dengan lebar karapas 140-160 mm.


10

Kepiting bakau yang telah siap melakukan perkawinan akan memasuki

hutan bakau dan tambak. Proses perkawinan kepiting tidak seperti pada udang

yang hanya terjadi pada malam hari (kondisi gelap) tetapi kepiting bakau juga

melakukan perkawinan pada siang hari (Ditjen Perikanan 1994). Spermatofor

kepiting jantan akan disimpan di dalam spermateka kepiting betina sampai telur

siap dibuahi. Jumlah telur yang dihasilkan dalam sekali perkawinan berkisar 2-8

juta butir telur (Kordi 2012), bergantung dari ukuran dan umur kepiting. Siklus

hidup kepiting bakau disampaikan pada Gambar.

Setelah telur menetas, maka muncul larva tingkat I (zoea I) yang terus

menerus berganti kulit sebanyak lima kali sambil terbawa arus ke perairan pantai

sampai (zoea V). Kemudian kepiting tersebut berganti kulit lagi menjadi

megalopa yang bentuk tubuhnya sudah mirip dengan kepiting dewasa, tetapi
11

masih memiliki bagian ekor yang panjang. Pada tingkat megalopa ini, kepiting

mulai beruaya pada dasar perairan lumpur menuju perairan pantai. Zoea

membutuhkan waktu pergantian kulit kurang lebih sebanyak 20 kali untuk

menjadi kepiting dewasa.

Proses pergantian kulit pada zoea berlangsung relatif cepat sekitar 3-4 hari

tergantung pada kemampuan tubuhnya. Pada fase megalopa, proses pergantian

kulit berlangsung relatif lama sekitar 15 hari. Setelah fase megalopa, kemudian

akan tumbuh menjadi juvenil dan bentuknya sudah sempurna sampai remaja

hingga kepiting dewasa. Kemudian, pada saat dewasa kepiting beruaya ke

perairan berhutan bakau untuk kembali melangsungkan perkawinan (Kanna,

2002).

2.2 sistem budidaya

2.2.1 Silvofishery

Silvofishery adalah suatu pola agroforestri yang digunakan dalam

pelaksanaan program perhutanan sosial di kawasan hutan mangrove.

Pembudidaya dapat memelihara komoditas perairan untuk menambah

penghasilan, di samping itu ada kewajiban untuk memelihara hutan Mangrove.

Jadi prinsip silvofishery adalah perlindungan tanaman mangrove dengan

memberikan hasil dari sektor perikanan. Sistem ini mampu menambah pendapatan

masyarakat dengan tetap memperhatikan kelestarian hutan mangrove.

Pembesaran kepiting bakau dalam keramba melalui sistem silvofishery

dapat membatasi pembukaan hutan mangrove. Selain itu usaha ini memberikan

peluang usaha bagi masyarakat, tidak hanya menangkap kepiting dari alam, tetapi
12

juga usaha pembesaran kepiting yang mampu meningkatkan kualitas kepiting

menjadi layak jual dengan harga tinggi (Saidah dan Sofia, 2016).

2.2.2 vertical crab house

Kepiting yang hidup soliter itu rupanya bisa beradaptasi dalam kotak-

kotak (kandang) plastik lebar 25 cm, tinggi 25 cm, dan panjang 30 cm. Di situ ada

pintu untuk buka tutup, saluran pipa paralon untuk air masuk dan pembuangan.

Pintu tadi dipakai untuk keluar masuk kepiting dan pemberian pakan. Budi daya

bisa dilakukan secara indoor, dalam ruangan.

Dengan cara unik itu, teknik budi daya kepiting dalam kandang-kandang

yang berderet vertikal itu disebut vertical crab house atau apartemen kepiting.

Berbagai perguruan tinggi yang memiliki Fakultas Kelautan dan Perikanan sudah

mengembangkannya sejak beberapa tahun terakhir, termasuk di IPB University,

Bogor, Jawa Barat.

Peluang pengembangan apartemen kepiting untuk usaha rakyat ini diincar

pula oleh Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Sumatra Barat (Sumbar).

Maka, DKP Sumbar dan IPB University telah meneken kerja sama pendampingan

dalam mengembangkan vertical crab house yang sesuai pada skala usaha rakya

2.3 manajemen benih

Benih yang digunakan berukuran berat 30 – 50 gr/ekor atau lebar

cangkang (karapas) 3 -4 cm. Ciri-ciri benih yang baik adalah :

Ø Anggota tubuh yang lengkap

Ø Menunjukkan tingkah laku untuk menghindar atau melawan bila akan dipegang

Ø Warna cerah hijau kecoklatan atau coklat kemerahan.


13

Penebaran benih sebaiknya dilakukan pada pagi atau sore hari dengan padat tebar

rasio perbandingan jantan dan betina 1 : 1 berkisar antara 1 -2 ek/m2. Untuk

menjamin benih bebas dari parasit sebaiknya direndam dengan desinfektan

(formalin 200 ppm selama 30 menit). Kemudian benih disebar merata dengan cara

melepas ikatan satu per satu

2.4 manajemen pakan

Pakan berfungsi sebagai pemasok energi untuk memacu pertumbuhan.

Pemberian pakan yang cukup diupayakan agar kepiting bakau dapat tumbuh

dengan optimal. Kepiting membutuhkan pakan yang sesuai dengan kemampuan

penampungan dan daya cerna alat pencernaan kepiting. Pakan yang baik adalah

pakan yang mengandung beberapa kandungan penting, seperti protein,

karbohidrat, lemak, vitamin dan mineral. Untuk meningkatkan pertumbuhan

kepiting dapat dilakukan dengan cara menyesuaikan 5 persentase pemberian

pakan yang sesuai dengan kebutuhan, maka energi yang dihasilkan juga akan

sesuai (Tridjoko et al., 2010). Ketersediaan pakan berpengaruh besar terhadap

pertumbuhan dan sintasan kepiting. Oleh karena itu, ketersediaan pakan

merupakan salah satu persyaratan mutlak bagi berhasilnya budidaya kepiting

(Suwarsito, 2004). Para pembudidaya sangat membutuhkan adanya alternatif baru

dalam pemenuhan kebutuhan jenis pakan. Untuk mendapatkan pertumbuhan yang

optimal dan sintasan yang tinggi perlu dilakukan usaha pencarian bahan jenis

pakan selain ikan rucah


14

2.5 Manajemen kesehatan/penyakit

Tindakan pengendalian dapat dilakukan dengan cara pergantian air yang

cukup, pengapuran secara rutin dan penyaringan air pasok dan pemberian feed

aditive (vit. C 2-4 gr/kg pakan, bawang putih 15 – 20 gr/kg pakan secara periodik.

Penggunaan obat-obatan kimia (pabrik) merupakan alternatif paling akhir jika

dengan cara pencegahan tidak berhasil.

Penyakit merupakan salah satu faktor penghalang kegiatan budidaya

kepiting bakau dengan menyebabkan nilai kelulushidupan tidak lebih dari 10%.

Hal ini sesuai dengan yang disampaikan Roza dan Ravael (2004), bahwa penyakit

bakteri terbukti dapat mengakibatkan kematian masal pada larva kepiting bakau.

Berbagai bakteri telah dilaporkan Lavilla dan De la Pena (2004) sebagai

penyakit kepiting diantaranya Vibrio vulnificus, V. harveyi, V. parahemolyticus,

V. splendidus, dan V. orientalis yang dapat mengakibatkan shell disease (erosi

pada cangkang). Najiah et al. (2010) juga melaporkan Aeromonas hydrophila, V.

parahaemolyticus, V. alginolyticus, V. cholerae, Chromobacterium violaceum,

Acinetobacter baumannii, Pseudomonas aeruginosa, Hafnia alvei, Morganella

morganii, Escherichia coli, Plesiomonas shigelloides, dan Shewanella putrefaciens

menginfeksi insang, hepatopankreas dan abdomen pada kepiting bakau

2.6 manajemen kualitas air

2.6.1 suhu

Menurut Fujaya (2010) suhu merupakan salah satu faktor abiotik penting

yang mempengaruhi aktivitas kelangsungan hidup, pertumbuhan dan molting

krustasea, suhu optimum untuk kepiting adalah 25-35°C. Suhu air dapat
15

mempengaruhi pertumbuhan, aktifitas dan nafsu makan kepiting bakau. Suhu air

yang lebih rendah dari 20ºC akan mengakibatkan aktifitas dan nafsu makan

kepiting bakau menurun secara drastis. Pada saat itu pertumbuhan akan berhenti

walaupun kepiting masih dapat tetap hidup (Baliao, 1983). Menurut Baliao (1983)

disamping kepadatan makanan, suhu perairan diduga berperan terhadap efisiensi

pemanfaatan makanan dan peningkatan kelulushidupan larva kepiting bakau.

Kepiting bakau tumbuh lebih cepat pada perairan dengan kisaran suhu 23-

32°C. Diantara faktor-faktor lingkungan, suhu merupakan faktor yang paling

berpengaruh Perairan yang mempunyai suhu tinggi cenderung akan meningkatkan

pertumbuhan dan memperpendek masa interval molting krustasea (Hoang et

al.2003: Xiangli et al. 2004). Menurut Kuntinyo et al, (1994) suhu yang optimum

untuk pertumbuhan kepiting bakau adalah 26-32 C. Menurut Sara (1994),

Salinitas perairan diduga mempengaruhi struktur dan fungsi organ organisme

perairan melalui perubahan tekanan osmotik, proporsi relatif bahan pelarut,

koefisien absorbsi dan kejenuhan kelarutan, kerapatan dan viskositas, perubahan

penyerapan sinar, pengantaran suara dan daya hantar listrik. Hal ini akan

mengubah komposisi spesies pada situasi ekologis saat itu. pada pertumbuhan dan

molting (Hoang et al., 2003).

2.6.2 salinitas

Karim (2005) mengemukakan bahwa salinitas merupakan salah satu faktor

lingkungan yang berpengaruh penting pada konsumsi pakan, metabolisme,

sintasan dan pertumbuhan organism akuatik. Salinitas merupakan masking factor


16

yang dapat memodifikasi peubah fisika dan kimia air menjadi satu kesatuan

pengaruh yang berdampak osmotik pada osmoregulasi dan bioenergetik.

Secara umum kisaran salinitas yang dapat ditolerir oleh kepiting bakau

cukup luas. Kasry (1996) melaporkan bahwa kepiting bakau dapat hidup pada

kisaran salinitas yang lebih kecil dari 15 ppt sampai lebih besar dari 30 ppt.

Amonia merupakan senyawa produk utama dari limbah nitrogen dalam perairan

yang berasal dari organisme akuatik (Cavalli et al. 2000). Pada krustase dekapoda,

adanya amonia dalam air merupakan indikasi adanya katabolisme asam amino.

Amonia bersifat toksik sehingga dalam konsentrasi yang tinggi dapat meracuni

organisme (Lee dan Chen 2003).

2.6.3 amoniak

Apabila konsentrasi amoniak meningkat, akan berpengaruh terhadap

permebialitas organisme dan menurunkan konsentrasi ion netralnya,

mempengaruhi pertumbuhan dan konsumsi oksigen. Oleh sebab itu, dalam media

pemeliharaan kepiting bakau maka konsentrasi amonia dalam media tidak lebih

dari 0,1 ppm (Boyd 1990; Kuntiyo et al. 1994). Oksigen terlarut (Dissolved

Oxygen) dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan, proses

metabolisme atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk

pertumbuhan dan pembiakan. Pada dasarnya kepiting bakau dapat hidup pada

lingkungan perairan dengan kisaran oksigen 2.65- 4.00 mg/l (Mwaluma, 2002).

2.7 manajemen panen

Panen kepiting biasanya dilakukan setelah masa pemeliharaan mencapai 4-

5 bulan, dengan ukuran 3-4 ekor/kg. Cara panen kepiting dari kurungan bambu
17

dengan menggunakan seser atau rakkang. Pasca panen dengan mengikat kaki dan

capit kepiting dengan tali secara individu. Produk hasil panen ditempatkan di

wadah yang berlobang-lobang dengan dialasi pelepah pisang yang dibasahi air

laut guna mempertahankan tingkat kelembaban, selanjutnya kepiting dapat

dipasarkan langsung ke pengumpul dalam keadaan hidup.

Sebagai komoditas ekspor kepiting memiliki harga jual cukup tinggi baik

di pasaran dalam maupun luar negeri, namun tergantung pada kualitas kepiting

(ukuran tingkat kegemukan). Penggemukan kepiting dapat dilakukan terhadap

kepiting bakau jantan dan betina dewasa tetapi dalam keadaan kosong/kurus.

Untuk dapat menghasilkan kepiting yang gemuk diperlukan waktu yang cukup

pendek yaitu 10 - 20 hari. Harga jual kepiting gemuk menjadi lebih tinggi dengan

demikian dapat meningkatkan nilai tambah bagi petani

Pemeliharaan / penggemukan kepiting di karamba dapat dilakukan selama

15 hari, tergantung pada ukuran benih dan laju pertumbuhan. Laju pertumbuhan

oleh jenis pakan yang diberikan dan kualitas air tambak. Untuk memanen kepiting

digunakan alat berupa seser baik untuk tujuan pemanenan total maupun selektif.

Pelaksanaan panen harus dilakukan oleh tenaga terampil untuk menangkap dan

kemudian mengikatnya. Selain itu tempat dan waktu penyimpanan sebelum

didistribusikan kepada konsumen menentukan kesegaran dan laju dehidrasi karena

kehilangan berat sekitar 3 - 4% dapat menyebabkan kematian.

2.8 prospek pengembangan

Diperkirakan perkembangan usaha perdagangan kepiting bakau dimasa

mendatang akan terus meningkat antara lain dengan adanya indikasi: (1) peluang
18

pasar ekspor terbuka luas dengan sedikitnya ada 11 negara konsumen, (2) potensi

lahan bakau yang merupakan habitat hidupnya cukup besar dan belum digali

secara optimal, (3) pengetahuan budidaya yang semakin meningkat baik budidaya

pembenihan maupun pembesaran.

Peluang pasar yang cukup besar dengan harga tinggi menyebabkan bisnis

kepiting mulai berkembang di beberapa tempat seperti di Sulawesi Selatan,

Cilacap, Medan dan lain-lain. Dengan target pemasaran lokal maupun ekspor.

Negara tujuan ekspor antara lain: Jepang, Hongkong, Korea Selatan, Taiwan,

Singapura, Malaysia, Australia dan Prancis. Kepiting ekspor sebagai sumber

devisa negara sekitar 70% berasal dari usaha budidaya meliputi pembesaran,

penggemukan maupun produksi kepiting bertelur.

Sesuai dengan namanya, Kepiting Bakau mempunyai habitat hidup di

daerah pantai dengan vegetasi bakau di sekitar muara sungai. Kepiting Bakau

memiliki penyebaran yang sangat luas yaitu meliputi perairan wilayah

Indopasifik. Di Indonesia dengan potensi hutan bakau yang sangat besar (4,25 juta

ha) tersebar di beberapa pulau seperti Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi,

Maluku dan Irian Jaya, diduga merupakan habitat dan fishing ground kepiting

bakau.

Prasyarat pasar produk kepiting agar segar antara lain: (a) sehat, (b)

kondisi fisik utuh/tidak cacat, (c) ukuran berat minimal tercapai, (d) gemuk/berisi

dan bertelur penuh untuk betina, (e) bebas dari gangguan dan penempelan

penyakit dan parasit, (f) memiliki warna cerah dan menarik. Akhir-akhir ini ada

upaya ekspor produk olahan dengan melakukan pemisahan antara daging dan telu
19

BAB 3 PENUTUP

Salah satu sumber daya perikanan bernilai ekonomis tinggi dan potensial

untuk dibudidayakan adalah Kepiting bakau (Scylla Serrata). Potensi pasar

kepiting bakau tidak hanya di dalam negeri, tetapi di luar negeri juga cukup besar.

Hal ini memberikan peluang pengembangan komoditas kepiting bakau secara

lebih maju. Pemenuhan kebutuhan kepiting bakau melalui intensifikasi

penangkapan secara besarbesaran akan mengakibatkan penurunan populasi

bahkan kelangkaan kepiting bakau di alam. Melihat kondisi tersebut perlu

dilakukan usaha budidaya kepiting bakau secara intensif, sehingga dapat

menghasilkan kepiting bakau yang berkesinambungan.

.
20

DAFTAR PUSTAKA

Koniyo, Yuniarti. "Teknologi Budidaya Kepiting Bakau (Scylla Serrata Forsskal)


Melalui Optimalisasi Lingkungan Dan Pakan." Ramadhan. Pertama.
Serang-Banten: CV. AA. Rizky (2020).
Sulistiono, E. Riani, et al. "Pedoman Pemeriksaan/Identifikasi Jenis Ikan Dilarang
Terbatas (Kepiting Bakau/Scylla spp)." Kementrian Kelautan dan
Perikanan. Jakarta 34 (2016).
Sulistiono, E. Riani, et al. "Pedoman Pemeriksaan/Identifikasi Jenis Ikan Dilarang
Terbatas (Kepiting Bakau/Scylla spp)." Kementrian Kelautan dan
Perikanan. Jakarta 34 (2016).

Anda mungkin juga menyukai