Ppok Dan Pneumonia CBD
Ppok Dan Pneumonia CBD
Oleh:
Takhfa Nur Asyifa (2218012127)
Zalfa Salsabila Aprilia (221801299)
Preceptor:
dr. Hotmen Sijabat, Sp.PD
PENDAHULUAN.......................................................................................................................... 3
PENDAHULUAN
Peyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan penyakit yang menjadi salah
satu penyebab utama kematian dunia dan diprediksi sebagai peringkat 3 penyebab
kematian tahun 2020. Lebih dari 3 juta orang meninggal dunia karena PPOK pada
tahun 2012, yaitu 6% dari semua kematian global. PPOK merupakan tantangan
Kesehatan masyarakat yang penting karena dapat dicegah dan diobati. Beban PPOK
secara global akan meningkat dalam beberapa waktu mendatang karena faktor risiko
PPOK dan penuaan. [1].
PPOK merupakan penyakit paru yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara
yang progresif dan berhubungan dengan peningkatan respons inflamasi kronik pada
saluran napas dan paru terhadap gas atau partikel berbahaya lainnya. PPOK
umumnya terjadi dengan gejala pernapasan berupa sesak terus menerus, progresif
seiring waktu, memburuk terutama selama latihann atau aktivitas. Gejala batuk
kronik dengan produksi sputum, dan disertai dengan suara mengi, namun mungkin
batuk hilang timbul dan tidak produktif. PPOK merupakan penyakit yang kompleks
melibatkan faktor lingkungan dan genetic. Faktor lingkungan yang paling sering ialah
Riwayat terpajan partikel dan gas beracun (terutama asap rokok dan biomass fuel)
dan faktor genetic seperti Riwayat keluarga dengan PPOK, atau kondisi saat masih
anak-anak seperti berat badan lahir rendah, infeksi napas berulang. [3]
Pasien dengan PPOK memiliki faktor resiko lebih tinggi terkena Pneumonia
dikarenakan pada pasien PPOK memiliki gangguan structural pada parenkim paru
dan sering menerima pengobatan antibiotik dan steroid oral atau inhalasi. Selain itu,
pPOK ditandai dengan peradangan kronis pda saluran pernapasan, pada pasien PPOK
dapat menunjukkan perubahan dalam respon imun local dan sistemik mereka. [4]
Pasien dengan PPOK tingkat lanjut memiliki risiko tinggi untuk terkena
pneumonia, gejala yang bisa didapatkan seperti sesak napas, demam tinggi, dahak
berwrna hijau/coklat atau darah. Komplikasi dari PPOK dan pneumonia adalah
ketidakmampuan untuk berbicara dan bahkan gagal napas. Pasien dengan PPOK
tingkat lanjut perlu dicegah untuk terjadinya infeksi sekunder seperti pneumonia.
Maka dari itu, pada pasien ini terdapat PPOK dengan eksaserbasi akut disertai dengan
pneumonia sehingga pada makalah ini akan dijelaskan lebih rinci terkait tatalaksana
dan rencana pengobatan selanjutnya.
b. Faktor Risiko
1. Asap rokok
Kebiasaan merokok, saat ini adalah satu-satunya penyebab kausal yang
terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya. Asap rokok
mempunyai prevalensi yang tinggi sebagai penyebab gejala respirasi dan
gangguan fungsi paru. Dari beberapa penelitian dilaporkan bahwa terdapat
rerata penurunan VEP. Perokok adalah seseorang yang dalam hidupnya
pernah menghisap rokok sebanyak 100 batang atau lebih dan saat ini masih
merokok. Sedangkan bekas perokok adalah seseorang yang telah
meninggalkan kebiasaan merokok selama 1 tahun. Angka kematian pada
perokok mempunyai nilai yang bermakna dibandingkan dengan bukan
perokok. Perokok dengan pipa dan cerutu mempunyai morbiditas dan
mortalitas lebih tinggi dibandingkan bukan perokok, tetapi masih lebih rendah
jika dibandingkan dengan perokok sigaret. Tipe lain dari jenis rokok yang
populer di berbagai negara tidak dilaporkan. WHO menyebutkan angka
kematian akibat pajanan rokok akan meningkat hingga 8,3 juta kematian per
tahun pada tahun 2030. Risiko PPOK pada perokok tergantung dari dosis
rokok yang dihisap, usia mulai merokok, jumlah batang rokok pertahun dan
lamanya merokok (Indeks Brinkman). Tidak semua perokok berkembang
menjadi PPOK secara klinis, karena faktor risiko genetik mempengaruhi
setiap individu. Perokok pasif (atau dikenal sebagai environmental tobacco
smoke-ETS) dapat juga memberi kontribusi terjadinya gejala respirasi dan
PPOK, karena peningkatan jumlah inhalasi partikel dan gas. Merokok selama
kehamilan dapat berisiko terhadap janin, mempengaruhi tumbuh kembang
paru di uterus dan dapat menurunkan sistem imun awal (Agarawal dan
Brown, 2022). Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan :
a. Riwayat merokok
1) Perokok aktif
2) Perokok pasif
3) Bekas perokok
b. Derajat berat merokok dengan indeks brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah
rata-rata batang rokok yang dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam
tahun:
1) Ringan : 0-200
2) Sedang : 201-600
3) Berat : > 600
c. 10 Pack-years adalah perhitungan derajat berat merokok dengan
menggunakan rumus sebagai berikut: Jumlah Pack-years = jumlah pak
(bungkus) rokok yang x jumlah tahun merokok dihisap perhari 1 pak
(bungkus) rokok = 20 batang rokok, maka 10 pack years = 10 x 20 batang
rokok = 200 batang rokok. Identifikasi merokok sebagai faktor risiko yang
paling sering ditemui pada PPOK menjadikan program berhenti merokok
merupakan kunci dari pencegahan PPOK, serta intervensi utama bagi pasien
PPOK.
2. Polusi udara Berbagai macam partikel dan gas yang terdapat di udara
sekitar dapat menjadi penyebab terjadinya polusi udara. Ukuran dan macam
partikel akan memberikan efek yang berbeda terhadap timbul dan beratnya
PPOK. Agar lebih mudah mengidentifikasi partikel penyebab, polusi udara
terbagi menjadi:
a. Polusi di dalam ruangan
1) Asap rokok
2) Asap dapur (kompor, kayu, arang, dll)
b. Polusi di luar ruangan
1) Gas buang kendaraan bermotor
2) Debu jalanan
c. Polusi di tempat kerja (bahan kimia, zat iritasi, gas beracun)
4. Sosial ekonomi
Sosial ekonomi sebagai faktor risiko terjadinya PPOK belum dapat dijelaskan
secara pasti. Pajanan polusi di dalam dan luar ruangan, pemukiman yang
padat, nutrisi yang buruk dan faktor lain yang berhubungan dengan status
sosial ekonomi, kemungkinan dapat menjelaskan hal ini. Peningkatan daya
beli menyebabkan peningkatan kendaraan bermotor di Indonesia. Kemajuan
ekonomimenyebabkan berkembangnya berbagai industri dengan dampak
peningkatan polusi udara. Peranan nutrisi sebagai faktor risiko tersendiri
penyebab berkembangnya PPOK belum jelas. Malnutrisi dan penurunan berat
badan dapat menurunkan kekuatan dan ketahanan otot respirasi, karena
penurunan masa otot dan kekuatan serabut otot. Kelaparan dan status anabolik
/ katabolik berkembang menjadi emfisema pada percobaan binatang. CT-scan
paru perempuan dengan kekurangan nutrisi akibat anoreksia nervosa
menunjukkan gambaran emfisema (Sutradhar et al., 2019).
6. Genetik
PPOK adalah penyakit poligenik dan contoh klasik dari interaksi gen-
lingkungan. Faktor risiko genetik yang paling sering terjadi adalah mutasi gen
Serpina-1 yang mengakibatkan kekurangan α-1 antitripsin sebagai inhibitor
dari protease serin. Sifat resesif ini jarang, paling sering dijumpai pada
penduduk asli Eropa Utara. Ditemukan pada usia muda dengan kelainan
emfisema panlobular dengan penurunan fungsi paru yang terjadi baik pada
perokok atau bukan perokok dengan kekurangan α-1 antitripsin yang berat.
Banyak variasi individu dalam hal beratnya emfisema dan penurunan fungsi
paru. Meskipun kekurangan α-1 antitripsin yang hanya sebagian kecil dari
populasi di dunia, hal ini menggambarkan interaksi antara gen dan pajanan
lingkungan yang menyebabkan PPOK. Gambaran di atas menjelaskan
bagaimana faktor risiko genetik berkontribusi terhadap timbulnya PPOK.
Risiko obstruksi aliran udara yang di turunkan secara genetik telah diteliti
pada perokok yang mempunyai keluarga dengan PPOK berat. Hasil penelitian
menunjukkan keterkaitan bahwa faktor genetik mempengaruhi kerentanan
timbulnya PPOK. Telah diidentifikasi kromosom 2q7 terlibat dalam
patogenesis PPOK, termasuk TGF-1, mEPHX1, dan TNF. Gen-gen di atas
banyak yang belum pasti kecuali kekurangan α-1 antitripsin yang di Indonesia
pun sudah dibuktikan melalui hasil penelitian sebagai berikut:
a. Kekurangan α-1 antitripsin merupakan faktor risiko PPOK / emfisema
(OR = 4,34).
b. Frekuensi defisiensi α-1 antitripsin cukup tinggi yaitu 76 dari 413
responden (18,3%). Pria : wanita = 4,8 : 1.
c. Interaksi paparan debu dengan defisiensi α-1 antitripsin meningkatkan
risiko emfisema menjadi 11,91.
d. Interaksi paparan debu dengan kebiasaan merokok meningkatkan risiko
emfisema menjadi 13,88 (Strage, 2020)
7. Jenis kelamin
Sampai saat ini hubungan yang pasti antara gender dengan kejadian PPOK
masih belum jelas, penelitian terdahulu menyatakan bahwa angka kesakitan
dan kematian akibat PPOK lebih sering terjadi pada laki-laki dibanding
perempuan, namun saat ini angka kejadian PPOK hampir sama antara laki-
laki dan perempuan, terkait dengan bertambahnya jumlah perokok perempuan.
Penelitian Torres dkk. yang menghubungkan gender dengan PPOK
menyimpulkan:
a. Laki-laki dan perempuan perokok dengan COPD : Terdapat perbedaan
kadar beberapa biomarker plasma yang berimplikasi pada emfisema (IL-
6, IL16, VEGF).
b. Laki-laki dan perempuan dengan COPD : Perbedaan kadar biomarker
plasma sesuai dengan perbedaan manifestasi klinis yaitu pada
perempuan lebih berat (Sutradhar et al., 2019).
1. Patogenesis
Inflamasi saluran nafas pasien PPOK merupakan amplifikasi dari respon
inflamasi normal akibat iritasi kronik seperti asap rokok. Mekanisme untuk
amplifikasi ini belum dimengerti, kemungkinan disebabkan faktor genetik.
Beberapa pasien menderita PPOK tanpa merokok, respons inflamasi pada
pasien ini belum diketahui. Inflamasi paru diperberat oleh stres oksidatif
dan kelebihan proteinase. Semua mekanisme ini mengarah pada
karakteristik perubahan patologis PPOK (Wang, 2018).
a. Stres oksidatif
Stres oksidatif merupakan mekanisme penting dalam PPOK. Biomarker stres
oksidatif (misalnya, peroksida hidrogen, 8- isoprostan) meningkat dalam dahak,
kondensat hembusan nafas dan sirkulasi sistemik pada pasien PPOK. Stres
oksidatif meningkat saat eksaserbasi. Oksidan yang dihasilkan oleh asap rokok
dan partikulat yang dihirup lainnya yang dilepaskan dari sel-sel inflamasi
(seperti makrofag dan neutrophil) diaktifkan. Mungkin juga ada penurunan
antioksidan endogen pada pasien PPOK(Wang, 2018).
c. Hipersekresi mukus
Hipersekresi mukus yang mengakibatkan batuk produktif kronik, adalah
gambaran dari bronkitis kronik tidak selalu dikaitkan dengan keterbatasan
aliran udara. Hal ini disebabkan karena metaplasia mukosa yang meningkatkan
jumlah sel goblet dan membesarnya kelenjar submukosa sebagai respons
terhadap iritasi kronik saluran nafas oleh asap rokok atau agen berbahaya
lainnya. Beberapa mediator dan protease merangsang hipersekresi mukus
melalui aktivasi reseptor faktor EGFR. Namun tidak semua pasien dengan
PPOK memiliki gejala hipersekresi mukus (Wiest et al., 2018).
d. Hipertensi pulmoner
Hipertensi pulmoner ringan sampai sedang mungkin terjadi pada PPOK akibat
proses vasokonstriksi yang disebabkan hipoksia arteri kecil pada paru yang
kemudian mengakibatkan perubahan struktural yang meliputi hiperplasia intima
dan kemudian hipertrofi otot polos / hiperplasia. Respons inflamasi dalam
pembuluh darah sama dengan yang terlihat di saluran nafas dengan bukti
terlihatnya disfungsi sel endotel. Hilangnya kapiler paru pada emfisema juga
dapat menyebabkan peningkatan tekanan dalam sirkulasi paru sehingga terjadi
hipertensi pulmoner yang progresif sehingga mengakibatkan hipertrofi ventrikel
kanan dan berlanjut menjadi gagal jantung kanan.
f. Eksaserbasi
Eksaserbasi PPOK didefinisikan sebagai kondisi akut yang ditandai dengan
perburukan gejala respirasi dari variasi gejala normal harian dan membutuhkan
perubahan terapi. Eksaserbasi sering terjadi pada pasien PPOK yang dicetuskan
oleh infeksi bakteri atau virus, polusi lingkungan atau faktor lain yang belum
diketahui. Infeksi bakteri dan virus memiliki karakteristik peningkatan respons
inflamasi. Selama eksaserbasi gejala sesak meningkat karena peningkatan
hiperinflasi, air trapping dan penurunan aliran udara. Eksaserbasi juga
menyebabkan penurunan VA/Q yang menyebabkan hipoksemia berat. Beberapa
keadaan menyerupai eksaserbasi PPOK adalah pneumonia, tromboemboli, dan
gagal jantung akut (Wang, 2018).
d. Diagnosis
Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanda dan gejala ringan
hingga berat. Pada pemeriksaan fisis pun mulai dari tidak ada kelainan sampai
ditemukan kelainan yang jelas dan tanda inflasi paru. Diagnosis PPOK
dipertimbangkan bila timbul tanda dan gejala yang secara rinci dapat dilihat
pada Tabel (1)
Gejala Keterangan
Riwayat terpajan faktor risiko Asap rokok Debu dan bahan kimia di
tempat kerja Asap dapur
Riwayat keluarga menderita PPOK
c. Pursed-lips breathing
Adalah sikap seseorang yang bernafas dengan mulut mencucu dan ekspirasi
yang memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk
mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi pada gagal nafas kronik.
4. Pemeriksaan rutin
a. Faal paru
Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP)
1) Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1/KVP(%). Menurut GOLD
obstruksi apabila VEP1/KVP <70%, penelitian Pneumobile
Indonesia menyatakan obstruksi apabila VEP1/KVP< 75%.
2) VEP1% (VEP1/VEP1Prediksi) merupakan parameter yang paling
umum dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan memantau
perjalanan penyakit.
3) Uji bronkolidator dilakukan pada PPOK stabil, dengan menggunakan
spirometri, dan bila tidak ada spirometer dapat digunakan peak flow
meter. Pada PPOK nilai VEP1 setelah pemberian bronkodilator
dibandingkan dengan nilai awal meningkat kurang dari 12% dan 200
ml. Bila menggunakan peak flow meter maka peningkatannya <20%.
4) Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE
(arus puncak ekspirasi) walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai
alternatif untuk menunjang diagnosis dengan memantau variabilitas
harian pagi dan sore yang tidak lebih dari 20%.
b. Laboratorium darah
Hb, Ht, trombosit, leukosit dan analisis gas darah.
c. Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain.
Pada emfisema terlihat gambaran :
1) Hiperinflasi
2) Hiperlusen
3) Ruang retrosternal melebar
4) Sela iga melebar
5) Diafragma mendatar
6) Jantung menggantung (jantung pendulum/tear drop / eye drop
appearance).
e. Tatalaksana
Tujuan tata laksana pada PPOK stabil:
1. Mengurangi gejala
a. Menghilangkan gejala
b. Memperbaiki toleransi latihan
c. Memperbaiki kualitas hidup
2. Mengurasi risiko
a. Mencegah progresifitas penyakit
b. Mencegah dan mengobati eksaserbasi
c. Mengurangi kematian
b. Etiologi
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme seperti bakteri,
virus, jamur, dan protozoa. Pneumoni komunitas yang diderita oleh
masyarakat luar negeri banyak disebabkan gram positif, sedangkan
pneumonia rumah sakit banyak disebabkan gram negatif. Dari laporan
beberapa kota di Indonesia ditemukan dari pemeriksaan dahak penderita
komunitas adalah bakteri gram negatif. Penyebab paling sering pneumonia
yang didapat dari masyarakat dan nosokomial:
a. Yang didapat di masyarakat: Streeptococcus pneumonia, Mycoplasma
pneumonia, Hemophilus influenza, Legionella pneumophila, chlamydia
pneumonia, anaerob oral, adenovirus, influenza tipe A dan B.10
b. Yang didapat di rumah sakit: basil usus gram negative (E. coli, Klebsiella
pneumonia), Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus aureus, anaerob
oral (Wilson, 2012).
c. Patogenesis
Proses patogenesis pneumonia terkait dengan tiga faktor yaitu keaadan
(imunitas) pasien, mikroorganisme yang menyerang pasien dan lingkungan
yang berinteraksi satu sama lain. Dalam keadaan sehat, pada paru tidak akan
terjadi pertumbuhan mikroorganisme, keadaan ini disebabkan oleh adanya
mekanisme pertahanan paru. Adanyanya bakteri di paru merupakan akibat
ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dan lingkungan,
sehingga mikroorganisme dapat berkembang biak dan berakibat timbulnya
sakit (Mandell, 2007).
d. Manifestasi Klinis
Gejala khas dari pneumonia adalah demam, menggigil, berkeringat, batuk
(baik non produktif atau produktif atau menghasilkan sputum berlendir,
purulen, atau bercak darah), sakit dada karena pleuritis dan sesak. Gejala
umum lainnya adalah pasien lebih suka berbaring pada yang sakit dengan
lutut tertekuk karena nyeri dada. Pemeriksaan fisik didapatkan retraksi atau
penarikan dinding dada bagian bawah saat pernafas, takipneu, kenaikan atau
penurunan taktil fremitus, perkusi redup sampai pekak menggambarkan
konsolidasi atau terdapat cairan pleura, ronki, suara pernafasan bronkial,
pleural friction rub (Dahlan, 2009).
e. Diagnosis
Diagnosis pneumonia kominiti didasarkan kepada riwayat penyakit yang
lengkap, pemeriksaan fisik yang teliti dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis
pasti pneumonia komunitas ditegakkan jika pada foto toraks terdapat infiltrat
baru atau infiltrat progresif ditambah dengan 2 atau lebih gejala di bawah ini:
a. Batuk-batuk bertambah
b. Perubahan karakteristik dahak/purulen
c. Suhu tubuh > 38C (aksila) /riwayat demam
d. Pemeriksaan fisis: ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara napas bronkial
dan ronki
e. Leukosit > 10.000 atau < 4500 12,13 Penilaian derajat keparahan penyakit
pneumonia komunitas dapat dilakukan dengan menggunakan sistem skor
menurut hasil penelitian Pneumonia Patient Outcome Research Team (PORT)
(PDPI, 2003).
f. Pemeriksaan Penunjang
1. Radiologi
Pemeriksaan menggunakan foto thoraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan
penunjang utama (gold standard) untuk menegakkan diagnosis pneumonia.
Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat sampai konsoludasi dengan air
bronchogram, penyebaran bronkogenik dan intertisial serta gambaran
kavitas.3 2. Laboratorium
Peningkatan jumlah leukosit berkisar antara 10.000 - 40.000 /ul, Leukosit
polimorfonuklear dengan banyak bentuk. Meskipun dapat pula
ditemukanleukopenia. Hitung jenis menunjukkan shift to the left, dan LED
meningkat.
3. Mikrobiologi Pemeriksaan mikrobiologi diantaranya biakan sputum dan
kultur darah untuk mengetahui adanya S. pneumonia dengan pemeriksaan
koagulasi antigen polisakarida pneumokokkus.
4. Analisa Gas Darah
Ditemukan hipoksemia sedang atau berat. Pada beberapa kasus, tekanan
parsial karbondioksida (PCO2) menurun dan pada stadium lanjut
menunjukkan asidosis respiratorik (Sudoyo, 2009).
g. Penatalaksanaan
Pada prinsipnya penatalaksaan utama pneumonia adalah memberikan
antibiotik tertentu terhadap kuman tertentu infeksi pneumonia. Pemberian
antibitotik bertujuan untuk memberikan terapi kausal terhadap kuman
penyebab infeksi, akan tetapi sebelum antibiotika definitif diberikan antibiotik
empiris dan terapi suportif perlu diberikan untuk menjaga kondisi pasien
(Dahlan).
a. Pilihan Antibiotika
Dalam memilih antibiotika yang tepat harus dipertimbangkan faktor
sensitivitas bakteri terhadap antibiotika, keadaan tubuh pasien, dan faktor
biaya pengobatan.18 Pada infeksi pneumonia (CAP dan HAP) seringkali
harus segera diberikan antibiotika sementara sebelum diperoleh hasil
pemeriksaan mikrobiologik. Pemilihan ini harus didasarkan pada pengalaman
empiris yang rasional berdasarkan perkiraan etiologi yang paling mungkin
serta antibiotika terbaik untuk infeksi tersebut. Memilih antibiotika yang
didasarkan pada luas spektrum kerjanya tidak dibenarkan karena hasil terapi
tidaklebih unggul daripada hasil terapi dengan antibiotika berspektrum sempit,
sedangkan superinfeksi lebih sering terjadi dengan antibiotika berspektrum
luas (Mandell, 2007).
Berdasarkan atas panduan penatalaksanaan pasien dengan CAP oleh
American Thoracic Society (ATS), untuk pasien yang memerlukan perawatan
di rumah sakit dengan penyakit kardiopulmoner dengan atau tanpa faktor
modifikasi, terapi yang dianjurkan adalah terapi dengan golongan β-lactam
(cefotaxim, ceftriaxon, ampicillin/sulbactam, dosis tinggi ampicillin
intravena) yang dikombinasi dengan makrolide atau doksisiklin oral atau
intravena, atau pemberian fluroquinolon antipneumococcal intravena saja
(Mandell, 2007).
1.1. Identitas
a. Pasien
Nama : Marinah
Tempat, Tanggal Lahir : 05 Mei 1949
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 74 tahun 3 bulan
Agama : Islam
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Suku : Lampung
1.2. Anamnesis
Anamnesis dan alloanamnesis dilakukan tanggal 19 September 2023
Keluhan Utama
Sesak napas sejak 1 minggu SMRS dan memberat sejak 2 hari SMRS
Keluhan Tambahan
Sesak disertai dengan suara mengi dan diperparah oleh batuk berdahak sejak 1
minggu SMRS,terdapat mual, muntah, penurunan nafsu makan
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluhkan sesak napas sejak 1 minggu SMRS, sesak memberat sejak 2
hari SMRS, sesak disertai dengan suara mengi dan diperparah oleh batuk. Batuk
dimulai sejak 1 minggu SMRS, terdapat dahak berwarna putih kental, dahak sulit
keluar. Tidak terdapat nyeri dada, batuk berdarah ataupun demam dan keringat
malam. Pasien juga mengeluhkan mual dan muntah disertai penurunan nafsu
makan sejak 1 minggu SMRS. Os mengaku sudah 50 tahun memasak dengan
kayu bakar, untuk faktor resiko lain seperti rumah atap asbes dan paparan asap
rokok disangkal oleh pasien.
Tanda-Tanda Vital
Keadaan Umum : Sakit sedang
Tingkat Kesadaran : E4 M6 V5
Frekuensi Nadi : 92x / menit
Frekuensi Napas : 26x / menit
Suhu : 36,6⁰C
Saturasi Oksigen : 80% AR menjadi 94% 2 LPM NC
Berat Badan (BB) : 34 kg
Panjang Badan (TB) : 145 cm
IMT : 14,7
Pemeriksaan Umum
Warna kulit : Coklat
Pucat : (-)
Sianosis : (-)
Ikterus : (-)
Edema : (-)
Turgor : Lambat
Status Generalis
Kepala
Rambut : Warna hitam dan putih, persebaran rambut merata
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),
edema palpebral (-/-), reflex cahaya (+/+), pupil
isokor
Hidung : NCH (-), rhinorrhea (-), perdarahan (-)
Telinga : Hiperemis (-/-), discharge (-/-)
Mulut : Sianosis (-), gusi berdarah (-)
Leher
Bentuk : Simetris, massa (-), lesi (-)
KGB : Pembesaran kelenjar getah bening (-)
JVP : 5 + 0 cm H2O
Thorax
Bentuk : Normochest, simetris, massa (-), lesi (-)
Retraksi suprasternal : (-)
Retraksi substernal : (-)
Retraksi intercostal : (-)
Retraksi subcostal : (-)
Jantung
Inspeksi : Pulsasi iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba
Perkusi : Batas jantung normal
Auskultasi : BJ I-II regular
Paru-Paru
Anterior Posterior
Abdomen
Inspeksi : Datar
Auskultasi : BU (+)
Palpasi : Hepatomegali (-) Splenomegali (-), nyeri tekan (-),
turgor kembali cepat
Perkusi : Timpani, asites (-)
Ekstremitas
Superior : Akral hangat, CRT >2 detik, ikterus (-/-),
sianosis (-/-)
Inferior : Akral hangat, CRT >2 detik, ikterus (-/-),
sianosis (-/-)
Neurologis
Refleks fisiologis : Biceps (+2/+2), triceps (+2/+2), patella (+2/+2),
achilles (+2/+2)
Refleks patologis : Babinski (-/-), chaddock (-/-), gordon (-/-),
gonad (-/-), schaefer (-/-), oppenheim (-/-)
Rangsang meningeal : Kaku kuduk (-), brudzinski I (-), brudzinski II (-),
brudzinski III (-), brudzinski IV (-), kernig (-)
Pemeriksaan Penunjang
Hematologi
Hematokrit 36 35-47 %
MCV 89 80-100 fL
MCH 30 26-34 Pg
Basofil 0 0-1 %
Eosinofil 0 2-4 %
Batang 0 3-5 %
Neutrofil 97 50-70 %
Limfosit 2 20-40 %
Monosit 1 2-8 %
Kimia
Urinalisa
Kejernihan Laboratorium
Keruh 17 September
Jernih 2023
pH 5,0 5,0-8,5
Kimia
Hematologi
Hematokrit 37 35-47 %
MCV 90 80-100 fL
MCH 30 26-34 Pg
Basofil 0 0-1 %
Eosinofil 0 2-4 %
Batang 0 3-5 %
Neutrofil 80 50-70 %
Limfosit 11 20-40 %
Monosit 9 2-8 %
Kimia
pH 7,31 7,35-7,45
Nilai Kalkulasi
Pemeriksaan Rontgen (16 September 2023)
Hasil rontgen:
Terlihat adanya gambaran emfisematous lung yang ditandai dengan gambaran sela
iga yang melebar dan mendatar, diafragma mendatar, costae mendatar, jantung
pendulum. Selain itu, terlihat juga adanya hiperaerasi dan inflitrat pada paru dextra
dan sinistra.
Resume
Pasien mengeluhkan sesak sejak 1 minggu SMRS dan memberat sejak 2 hari SMRS,
sesak disertai dengan suara mengi, terdapat batuk disertai dengan dahak berwarna
putih namun terkadang dahak sulit keluar. Pasien juga mengaku mengalami
penurunan nafsu makan dalam 1 minggu SMRS. Pasien mengaku memasak dengan
kayu bakar kurang lebih sudah 50 tahun. Pasien juga memiliki Riwayat pengobatan
disalah satu rumah sakit swasta 3 bulan yang lalu dan mendapatkan obat rutin
Seretide dan Spiriva.
Diagnosis
Diagnosis Utama
• CAP
Diagnosis Banding
TB Paru
Bronkitis Akut
Bronkiolitis
Tatalaksana
Medikamentosa
PO N-acetilsistein 2x600mg
Non Medikamentosa
Konsul Sp.GK
Konsul Sp.KFR
Follow up
Follow Up (17/09/2023)
Tanggal dan
Catatan Instruksi
Waktu
17/09/2023 S/ P/
06.00 WIB Pasien mengeluhkan sesak napas disertai IVFD NS 0,9% 500 cc/8 jam
dengan batuk berdahak, nyeri kepala dan
Inj Levofloxacin 500 mg/24 jam
mual
GCS: 15 (E4V5M6)
HR: 92 x/menit R/
T: 36.7 C
TD: 100/60
A/
Follow Up (18/09/2023)
Tanggal dan
Catatan Instruksi
Waktu
18/09/2023 S/ P/
09.00 WIB Pasien masih mengeluhkan sesak disertai IVFD NS 0,9% 500 cc/8 jam
dengan batuk, nyeri kepala dan nyeri pada ulu
Inj Levofloxacin 500 mg/24 jam
hati
RR: 28 x/menit
Pursed lips Breathing
T: 36.9 C technique
A/
Tanggal dan
Catatan Instruksi
Waktu
19/09/2023 S/ P/
09.00 WIB Pasien masih mengeluhkan sesak disertai IVFD NS 0,9% 500cc/8 jam
dengan batuk, sesak dan batuk sudah IV Inj Levofloxacin 500mg/24
berkurang jam (HARI-3)
PO Paracetamol tab 500mg/8
jam
SP02: 94% RA
Non medikamentosa:
Hidung: napas cuping hidung (-), secret (-) Diet per oral nasi tim TKTP
A/
Follow up (20/09/2023)
Tanggal dan
Catatan Instruksi
Waktu
20/09/2023 S/ P/
09.00 WIB Pasien masih mengeluhkan namun sudah IVFD NS 0,9% 500cc/8 jam
berkurang, pasien juga mengeluhkan batuk IV Inj Levofloxacin 500mg/24
berdahak, dahak dapat keluar berwarna putih jam
kental tidak disertai darah PO Paracetamol tab 500mg/8
jam
Nebu Salbutamol + ipratropium
O/ bromide/ 6 jam
Salmeterol 50mcg+ fluticasone
Keadaan umum: sakit sedang proprionate 500mcg 2x1 puff
Tiotropium 2,5mcg 1x2puff
GCS: 15 (E4V5M6)
PO N-acetilsistein 2x600mg
HR: 95 x/menit IV Inj Omeprazole 40mg/ 12
jam
RR: 22 x/menit
PO Sucralfat syr 3xCI
TD: 98/60 mmHg
T: 36.5 C PO Nacl Caps / 8 jam
A/
Ny. M/74 tahun CAP Spirometri IVFD NS 0,9% 500cc/8 Monitoring TTV
jam
Anamnesis: PPOK eksaserbasi akut Kultur sputum Asupan Kalori dan
IV Inj Levofloxacin Cairan yang Adekuat
- Pasien Rontgen 500mg/24 jam
mengeluhkan Diet makanan sesuai
sesak napas PO Paracetamol tab anjuran dr. Sp.GK
dirasakan sejak 3 500mg/8 jam
bulan terakhir Melakukan Latihan
sesak disertai Nebu Salbutamol + Pursed lips Breathing
dengan suara ipratropium bromide/ 6 dan Edukasi active cycle
mengi memberat jam breathing technique
ketika batuk. sesuai dengan anjuran dr
Salmeterol 50mcg+ Sp. KFR
Sesak dirasakan fluticasone proprionate
saat pasien 500mcg 2x1 puff Menghindari Faktor
berjalan 100 resiko pajanan PPOK
meter Tiotropium 2,5mcg atau pneumonia seperti
- batuk berdahak 1x2puff asap rokok, kayu bakar
berwarna putih
kekuningan sulit PO N-acetilsistein atau etc
keluar 2x600mg
- demam naik
IV Inj Omeprazole
turun sejak 3
40mg/ 12 jam
hari terakhir
- mual PO Sucralfat syr 3xCth I
- muntah
- Riwayat terpajan
kayu bakar
selama kurang
lebih 50 tahun
Pemeriksaan fisik:
- T: 38.5
- SpO2: 88% RA -
> 95% 5 LPM
NK
- Auskultasi Paru:
Bronkovesikuler,
ronki +/+, mengi
+/+
Pemeriksaan
penunjang:
Leukosit: 11.730
Rontgen: gambaran
emfisematous lung
dan infiltrasi pada
paru dextra dan
sinistra
Problem list:
Bronkospasme
Batuk kronik
Analisis kasus
Pasien Ny. M dengan usia 74 tahun datang dengan keluhan sesak napas sejak 1
minggu SMRS dan memberat sejak 2 hari SMRS, sesak napas disertai dengan suara
mengi, sesak memberat ketika batuk serta sesak dirasakan saat pasien berjalan 100
meter termasuk dalam kriteria Skala sesak 3. Batuk dirasakan hilang timbul sejak 3
bulan terakhir dan memberat 7 hari SMRS disertai dengan dahak berwarna putih
kekuningan kental namun sulit dikeluarkan. Pasien menyangkal adanya nyeri dada,
batuk berdarah, Riwayat penurunan berat badan, keringat malam. Pasien juga
mengeluhkan demam naik turun sejak 3 hari terakhir, demam disertai mual, muntah
dan penurunan nafsu makan.
Pasien sebelumnya pernah terkena Riwayat PPOK dalam 3 bulan terakhir dan
rutin berobat ke dr. Sp.P menggunakan Spiriva dan Seretide. Pasien juga pada bulan
juni 2023 dirawat di RSGH dengan keluhan sesak napas dan pasien dirawat selama 4
hari setelah membaik pasien dipulangkan. 1 bulan yang lalu pasien juga mengeluhkan
sesak napas dan berobat ke RSGH dan pasien dilakukan uap/nebulizer kemudian
membaik dan pulang. 1 minggu yang lalu pasien banyak melakukam aktivitas di luar
rumah dan terpapar banyak debu kemudian sesak napas pasien kambuh. Pasien
mengakui terdapat Riwayat memasak menggunakan kayu bakar selama 50 tahun.
Pada pasien ini juga terdapat masalah lain yaitu CAP atau Community acquired
pneumonia yaitu suatu peradangan akut di parenkim paru yang disebabkan oleh
infeksi pathogen (bakteri, virus, jamur, parasite), tidak termasuk mycobacterium
tuberculosis. Pada pasien ini didapatkan adanya demam, batuk, sesak napas, adanya
ronki, pada pemeriksaan darah didapatkan leukositosis dengan leukosit 11.730,
didapatkan juga pada pemeriksaan rontgen adanya gambaran infiltrate pada paru
dextra dan sinistra. Salah satu faktor resiko infeksi pneumonia komunitas pad pasien
ini ialah adanya penyakit lain yaitu PPOK dan juga usia pasien yang tergolong
geriatric karna usia pasien saat ini berusia 74 tahun. PPOK merupakan salah satu
faktor risiko terhadap pneumonia komunitas dengan oods ratio (OR) sebesar 1,91.
Berdasarkan sebuah studi, insidens pneumonia pada pasien PPOK adalah sebesar
22,4%. Faktor faktor yang dapat mempengaruhi pneumonia pada pasien PPOK ialah
karna adanya bronchitis kronis, produksi lendir yang persisten, adanya kolonisasi
bakteri, ketidakseimbangan mikrobioma, peningkatan peradangan saluran napas,
gangguan imunitas sel host dan kerusakan structural. Pada pasien PPOK terdapat
peningkatan ekspresi epitel saluran pernapasan dari faktor adhesi bakteri spesifik
pada PPOK, reseptor faktor pengaktif trombosit (PAFr) yang merupakan molekul
adhesi pneumokokus utama dan Haemophilus influenzae. Hal tersebut bisa menjadi
salah satu mekanisme yang dapat meningkatkan resiko infeksi streptococcus
pneumoniae pada PPOK. Pada skor Pneumonia severity index (PSI) didapatkan skor
109 dengan rincian 64 (umur-10) + 15 (suhu tubuh diantara 35 dan 40 C) + 30 (pH
<7,35) maka didapatkan hasil PSI 109 dan RC (risk calss) masuk ke dalam IV yang
merupakan indikasi rawat inap. Pada pasien ini diberikan terapi fluorokuinolon
respirasi yaitu Levofloksasin 500 mg/24 jam sebagai terapi utama pasien dan
golongan makrolida yaitu azitromisin 500 mg/24 jam.
Pada pasien ini dengan diagnosis CAP dan PPOK eksaserbasi akut memiliki
prognosis dubia, pasien diperbolehkan pulang dengan indikasi sesak berkurang atau
hilang, dapat mobilisasi, perbaikan kondisi klinis dan pemeriksaan lain, penyakit
penyerta tertangani, dan mengerti pemakaian obat.
DAFTAR PUSTAKA
3. Dahlan Z. 2009. Pneumonia, dalam Sudoyo AW, dkk (editor). Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Universitas Indonesia.
4. Allen JN. 2004. Eusinophilic Lung Disease, dalam James CD, dkk (editor). Baum's
Textbook of Pulmonary Diseases. Philadephia: Lippincott W & W.
5. Sajinadiyasa GK, Rai IB, Sriyeni LG. 2011. Perbandingan antara Pemberian
Antibiotika Monoterapi dengan Dualterapi terhadap Outcome pada Pasien
Community Acquired Pneumonia (CAP) di Rumah Sakit Sanglah Denpasar. J Peny
Dalam;12:13-20.
6. Niederman MS, Mandel LA, Anzueto A, Bass JB, Broughton WA, Campbell GD,
Dean N, File T, Fine MJ, Gross PA et al. VICTOR L. YU, M.D. Guidelines for the
Management of Adults with Community-acquired Pneumonia – Diagnosis,
Assessment of Severity, Antimicrobial Therapy, and Prevention. Am J Respir Crit
Care Med 2001; 163: 1730-1754.
8. Sudoyo, 2005. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi IV. Penerbit FK UI
10. Wilson LM. Penyakit pernapasan restriktif dalam Price SA, Wilson LM. 2012.
Patofisiologi: konsep klinis prosses-proses penyakit E/6 Vol.2. Jakarta:EGC.
Hal:796-815
11. Mandell LA, Wunderink RG, Anzueto A, et al. Infectious Diseases Society of
America/American Thoracic Society consensus guidelines on the management of
community-acquired pneumonia in adults. Clin Infect Dis 2007; 44: Suppl. 2, S27–
S72. Tersedia di : www.thoracic.org/sections/publications/statements/
pages/mtpi/idsaats-cap.html [Diakses 3 Maret 2017].
13. Task Force on CAP. Philippine Clinical Practice Guidelines on the Diagnosis, 40
Empiric Management, and Prevention of Community-acquired Pneumonia (CAP) in
Immunocompetent Adults. 2010
16. Jeremy, P.T. At Glance Sistem Repiratory Edisi II. 2007. Jakarta : Erlangga
Medical Series.
17. Alberta Clinical Practice. Guidelines for the diagnosis and management
community aquuired pneumonia. Akses online pada tanggal 3 Maret 2017 di
http://www.albertadoctors.org/bcm/ama/amawebsite.nsf/alldocsearch/87256D
B000705C3F87256E0500553605/$File/pneumoniapediatrics.pdf
18. Nuryasni. Pola Kepekaan Bakteri Gram Negatif pada Penderita Infeksi Saluran
Pernapasan Bawah terhadap Amoksisilin di Laboraturium Mikrobiologi Klinik
Departemen Mikrobiologi FK UI tahun 2001-2005. 2009. Program Sarjana
Pendidikan Dokter Umum. Universitas Indonesia : Jakarta.
Strange C. Alpha-1 Antitrypsin Deficiency Associated COPD. Clin Chest Med. 2020
Sep;41(3):339-345. doi: 10.1016/j.ccm.2020.05.003. PMID: 32800189.
Sutradhar I, Das Gupta R, Hasan M, Wazib A, Sarker M. Prevalence and Risk Factors
of Chronic Obstructive Pulmonary Disease in Bangladesh: A Systematic Review.
Cureus. 2019 Jan 28;11(1):e3970. doi: 10.7759/cureus.3970. PMID: 30956922;
PMCID: PMC6438686.
Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). Global Strategy for
the Diagnosis, Management and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary
Disease: Report. 2021. www.goldcopd.org
Singh D, Agusti A, Anzueto A, Barnes PJ, Bourbeau J, Celli BR, Criner GJ, Frith P,
Halpin DMG, Han M, López Varela MV, Martinez F, Montes de Oca M, Papi A,
Pavord ID, Roche N, Sin DD, Stockley R, Vestbo J, Wedzicha JA, Vogelmeier C.
Global Strategy for the Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic
Obstructive Lung Disease: the GOLD science committee report 2019. Eur Respir J.
2019 May 18;53(5):1900164. doi: 10.1183/13993003.00164-2019. PMID: 30846476.