Anda di halaman 1dari 65

LAPORAN KASUS

PASIEN GERIATRI DENGAN PPOK EKSASERBASI AKUT DAN


COMMUNITY-ACQUIRED PNEUMONIA

Oleh:
Takhfa Nur Asyifa (2218012127)
Zalfa Salsabila Aprilia (221801299)

Preceptor:
dr. Hotmen Sijabat, Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2023
Table of Contents
BAB I............................................................................................................................................. 3

PENDAHULUAN.......................................................................................................................... 3

1.1 Latar Belakang....................................................................................................................3

1.2 Rumusan Masalah...............................................................................................................4

1.3 Tujuan Laporan Kasus........................................................................................................5


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Peyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan penyakit yang menjadi salah
satu penyebab utama kematian dunia dan diprediksi sebagai peringkat 3 penyebab
kematian tahun 2020. Lebih dari 3 juta orang meninggal dunia karena PPOK pada
tahun 2012, yaitu 6% dari semua kematian global. PPOK merupakan tantangan
Kesehatan masyarakat yang penting karena dapat dicegah dan diobati. Beban PPOK
secara global akan meningkat dalam beberapa waktu mendatang karena faktor risiko
PPOK dan penuaan. [1].

World Health Organization (WHO) melaporkan 600 juta penduduk mengalami


PPOK dan 65 juta termasuk kategori sedang dan berat. Negara Asia Tenggara
memiliki prevalens 6,3% dan di negara berpendapatan menengah, PPOK menjadi
penyebab kematian ketiga. Prevalens PPOk di Indonesia menurut Riskesdas 2015
adalah 3,7% terdiri dari 4,2% laki-laki dan 3,3% perempuan. [2].

PPOK merupakan penyakit paru yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara
yang progresif dan berhubungan dengan peningkatan respons inflamasi kronik pada
saluran napas dan paru terhadap gas atau partikel berbahaya lainnya. PPOK
umumnya terjadi dengan gejala pernapasan berupa sesak terus menerus, progresif
seiring waktu, memburuk terutama selama latihann atau aktivitas. Gejala batuk
kronik dengan produksi sputum, dan disertai dengan suara mengi, namun mungkin
batuk hilang timbul dan tidak produktif. PPOK merupakan penyakit yang kompleks
melibatkan faktor lingkungan dan genetic. Faktor lingkungan yang paling sering ialah
Riwayat terpajan partikel dan gas beracun (terutama asap rokok dan biomass fuel)
dan faktor genetic seperti Riwayat keluarga dengan PPOK, atau kondisi saat masih
anak-anak seperti berat badan lahir rendah, infeksi napas berulang. [3]
Pasien dengan PPOK memiliki faktor resiko lebih tinggi terkena Pneumonia
dikarenakan pada pasien PPOK memiliki gangguan structural pada parenkim paru
dan sering menerima pengobatan antibiotik dan steroid oral atau inhalasi. Selain itu,
pPOK ditandai dengan peradangan kronis pda saluran pernapasan, pada pasien PPOK
dapat menunjukkan perubahan dalam respon imun local dan sistemik mereka. [4]

Pneumonia merupakan Infeksi radang parenkim paru yang disebabkan karena


infeksi mikroorganisme. Pneumonia dapat dibagi menjadi tiga jenis yaitu community
acquired pneumonia (CAP) atau pneumonia yang didapat masyarakat, pneumonia
nosocomial dan pneumonia terkait ventilasi. Pneumonia yang didapat dari komunitas
merupakan kasus paling banyak terjadi dan bisa berakibat fatal. Kasus pneumonia di
Indonesia pada pneumonia komunitas yang memerlukan rawat inap di rumah sakit
20-40% dan diantara angka tersebut 5-10% memerlukan perawatan intensif. [5]

Pasien dengan PPOK tingkat lanjut memiliki risiko tinggi untuk terkena
pneumonia, gejala yang bisa didapatkan seperti sesak napas, demam tinggi, dahak
berwrna hijau/coklat atau darah. Komplikasi dari PPOK dan pneumonia adalah
ketidakmampuan untuk berbicara dan bahkan gagal napas. Pasien dengan PPOK
tingkat lanjut perlu dicegah untuk terjadinya infeksi sekunder seperti pneumonia.
Maka dari itu, pada pasien ini terdapat PPOK dengan eksaserbasi akut disertai dengan
pneumonia sehingga pada makalah ini akan dijelaskan lebih rinci terkait tatalaksana
dan rencana pengobatan selanjutnya.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian diatas dapat dirumuskan hal yang menjadi dasar
permasalahan dalam laporan kasus ini ialah bagaimana tatalaksana pasien penderita
PPOK eksaserbasi akut dengan infeksi sekunder CAP.
1.3 Tujuan Laporan Kasus
Mengetahui tatalaksana terkait pasien PPOK eksaserbasi akut dengan infeksi
sekunder pneumonia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Paru Obtruksi Kronik (PPOK)


a. Definisi
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru yang dapat
dicegah dan diobati, ditandai dengan adanya gejala pernafasan dan
keterbatasan aliran udara yang persisten dan umumnya bersifat progresif,
berhubungan dengan respon inflamasi kronik yang berlebihan pada saluran
nafas dan parenkim paru akibat gas atau partikel berbahaya. Eksaserbasi dan
komorbid berkontribusi pada beratnya penyakit. Karakteristik hambatan aliran
udara pada PPOK disebabkan oleh gabungan antara obstruksi saluran nafas
kecil (obstruksi bronkiolitis) dan kerusakan parenkim (emfisema) yang
bervariasi pada setiap individu, akibat inflamasi kronik yang menyebabkan
hilangnya hubungan alveoli dan saluran nafas kecil dan penurunan elastisitas
rekoil paru (Agarawal dan Brown, 2022).

b. Faktor Risiko
1. Asap rokok
Kebiasaan merokok, saat ini adalah satu-satunya penyebab kausal yang
terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya. Asap rokok
mempunyai prevalensi yang tinggi sebagai penyebab gejala respirasi dan
gangguan fungsi paru. Dari beberapa penelitian dilaporkan bahwa terdapat
rerata penurunan VEP. Perokok adalah seseorang yang dalam hidupnya
pernah menghisap rokok sebanyak 100 batang atau lebih dan saat ini masih
merokok. Sedangkan bekas perokok adalah seseorang yang telah
meninggalkan kebiasaan merokok selama 1 tahun. Angka kematian pada
perokok mempunyai nilai yang bermakna dibandingkan dengan bukan
perokok. Perokok dengan pipa dan cerutu mempunyai morbiditas dan
mortalitas lebih tinggi dibandingkan bukan perokok, tetapi masih lebih rendah
jika dibandingkan dengan perokok sigaret. Tipe lain dari jenis rokok yang
populer di berbagai negara tidak dilaporkan. WHO menyebutkan angka
kematian akibat pajanan rokok akan meningkat hingga 8,3 juta kematian per
tahun pada tahun 2030. Risiko PPOK pada perokok tergantung dari dosis
rokok yang dihisap, usia mulai merokok, jumlah batang rokok pertahun dan
lamanya merokok (Indeks Brinkman). Tidak semua perokok berkembang
menjadi PPOK secara klinis, karena faktor risiko genetik mempengaruhi
setiap individu. Perokok pasif (atau dikenal sebagai environmental tobacco
smoke-ETS) dapat juga memberi kontribusi terjadinya gejala respirasi dan
PPOK, karena peningkatan jumlah inhalasi partikel dan gas. Merokok selama
kehamilan dapat berisiko terhadap janin, mempengaruhi tumbuh kembang
paru di uterus dan dapat menurunkan sistem imun awal (Agarawal dan
Brown, 2022). Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan :
a. Riwayat merokok
1) Perokok aktif
2) Perokok pasif
3) Bekas perokok
b. Derajat berat merokok dengan indeks brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah
rata-rata batang rokok yang dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam
tahun:
1) Ringan : 0-200
2) Sedang : 201-600
3) Berat : > 600
c. 10 Pack-years adalah perhitungan derajat berat merokok dengan
menggunakan rumus sebagai berikut: Jumlah Pack-years = jumlah pak
(bungkus) rokok yang x jumlah tahun merokok dihisap perhari 1 pak
(bungkus) rokok = 20 batang rokok, maka 10 pack years = 10 x 20 batang
rokok = 200 batang rokok. Identifikasi merokok sebagai faktor risiko yang
paling sering ditemui pada PPOK menjadikan program berhenti merokok
merupakan kunci dari pencegahan PPOK, serta intervensi utama bagi pasien
PPOK.
2. Polusi udara Berbagai macam partikel dan gas yang terdapat di udara
sekitar dapat menjadi penyebab terjadinya polusi udara. Ukuran dan macam
partikel akan memberikan efek yang berbeda terhadap timbul dan beratnya
PPOK. Agar lebih mudah mengidentifikasi partikel penyebab, polusi udara
terbagi menjadi:
a. Polusi di dalam ruangan
1) Asap rokok
2) Asap dapur (kompor, kayu, arang, dll)
b. Polusi di luar ruangan
1) Gas buang kendaraan bermotor
2) Debu jalanan
c. Polusi di tempat kerja (bahan kimia, zat iritasi, gas beracun)

Polusi di Dalam Ruangan


Kayu, serbuk gergaji, batu bara dan minyak tanah yang merupakan bahan
bakar kompor menjadi penyebab tertinggi polusi di dalam ruangan. Asap
kompor dan pemanas ruangan dengan ventilasi yang kurang baik merupakan
faktor risiko terpenting timbulnya PPOK, terutama pada perempuan di negara
berkembang. Hampir 3 milyar penduduk dunia memakai biomass dan batu
bara sebagai sumber utama energi untuk memasak, pemanas ruangan, dan
keperluan rumah tangga lainnya, sehingga populasi yang berisiko menjadi
sangat banyak. Polusi di dalam ruangan memberikan risiko lebih besar
terjadinya PPOK dibandingkan dengan polusi sulfat atau gas buang
kendaraan. Bahan bakar biomass yang digunakan untuk memasak,
meningkatkan prevalensi PPOK pada perempuan bukan perokok di Asia dan
Afrika. Polusi di dalam ruangan diperkirakan akan membunuh 2 juta
perempuan dan anak-anak setiap tahunnya (Monesifar, 2020).
Polusi di Luar Ruangan
Tingginya polusi udara dapat menyebabkan gangguan jantung dan paru.
Mekanisme polusi di luar ruangan seperti polutan di atmosfer dalam waktu
lama sebagai penyebab PPOK belum jelas, tetapi lebih kecil prevalensinya
jika dibandingkan dengan pajanan asap rokok. Efek relatif jangka pendek,
puncak pajanan tertinggi dalam waktu lama dan pajanan tingkat rendah adalah
pertanyaan yang harus dicari solusinya (Agarawal dan Brown, 2022).

3. Infeksi saluran nafas bawah berulang


Infeksi virus dan bakteri berperan dalam patogenesis dan progresivitas PPOK.
Kolonisasi bakteri menyebabkan inflamasi jalan nafas, berperan secara
bermakna menimbulkan eksaserbasi. Infeksi saluran nafas berat pada saat
anak, akan menyebabkan penurunan fungsi paru dan meningkatkan gejala
respirasi pada saat dewasa. Terdapat beberapa kemungkinan yang dapat
menjelaskan penyebab keadaaan ini, karena seringnya kejadian infeksi berat
pada anak sebagai penyebab dasar timbulnya hipereaktivitas bronkus yang
merupakan faktor risiko pada PPOK. Pengaruh berat badan lahir rendah akan
meningkatkan infeksi virus yang juga merupakan faktor risiko PPOK.
Riwayat infeksi tuberkulosis berhubungan dengan obstruksi jalan nafas pada
usia lebih dari 40 tahun (Sutradhar et al., 2019).

4. Sosial ekonomi
Sosial ekonomi sebagai faktor risiko terjadinya PPOK belum dapat dijelaskan
secara pasti. Pajanan polusi di dalam dan luar ruangan, pemukiman yang
padat, nutrisi yang buruk dan faktor lain yang berhubungan dengan status
sosial ekonomi, kemungkinan dapat menjelaskan hal ini. Peningkatan daya
beli menyebabkan peningkatan kendaraan bermotor di Indonesia. Kemajuan
ekonomimenyebabkan berkembangnya berbagai industri dengan dampak
peningkatan polusi udara. Peranan nutrisi sebagai faktor risiko tersendiri
penyebab berkembangnya PPOK belum jelas. Malnutrisi dan penurunan berat
badan dapat menurunkan kekuatan dan ketahanan otot respirasi, karena
penurunan masa otot dan kekuatan serabut otot. Kelaparan dan status anabolik
/ katabolik berkembang menjadi emfisema pada percobaan binatang. CT-scan
paru perempuan dengan kekurangan nutrisi akibat anoreksia nervosa
menunjukkan gambaran emfisema (Sutradhar et al., 2019).

5. Tumbuh kembang paru


Pertumbuhan paru berhubungan dengan proses selama kehamilan, kelahiran,
dan pajanan waktu kecil. Kecepatan maksimal penurunan fungsi paru
seseorang adalah risiko untuk terjadinya PPOK. Studi meta-analisa
menyatakan bahwa berat lahir mempengaruhi nilai VEP pada masa anak
(Sutradhar et al., 2019).

6. Genetik
PPOK adalah penyakit poligenik dan contoh klasik dari interaksi gen-
lingkungan. Faktor risiko genetik yang paling sering terjadi adalah mutasi gen
Serpina-1 yang mengakibatkan kekurangan α-1 antitripsin sebagai inhibitor
dari protease serin. Sifat resesif ini jarang, paling sering dijumpai pada
penduduk asli Eropa Utara. Ditemukan pada usia muda dengan kelainan
emfisema panlobular dengan penurunan fungsi paru yang terjadi baik pada
perokok atau bukan perokok dengan kekurangan α-1 antitripsin yang berat.
Banyak variasi individu dalam hal beratnya emfisema dan penurunan fungsi
paru. Meskipun kekurangan α-1 antitripsin yang hanya sebagian kecil dari
populasi di dunia, hal ini menggambarkan interaksi antara gen dan pajanan
lingkungan yang menyebabkan PPOK. Gambaran di atas menjelaskan
bagaimana faktor risiko genetik berkontribusi terhadap timbulnya PPOK.
Risiko obstruksi aliran udara yang di turunkan secara genetik telah diteliti
pada perokok yang mempunyai keluarga dengan PPOK berat. Hasil penelitian
menunjukkan keterkaitan bahwa faktor genetik mempengaruhi kerentanan
timbulnya PPOK. Telah diidentifikasi kromosom 2q7 terlibat dalam
patogenesis PPOK, termasuk TGF-1, mEPHX1, dan TNF. Gen-gen di atas
banyak yang belum pasti kecuali kekurangan α-1 antitripsin yang di Indonesia
pun sudah dibuktikan melalui hasil penelitian sebagai berikut:
a. Kekurangan α-1 antitripsin merupakan faktor risiko PPOK / emfisema
(OR = 4,34).
b. Frekuensi defisiensi α-1 antitripsin cukup tinggi yaitu 76 dari 413
responden (18,3%). Pria : wanita = 4,8 : 1.
c. Interaksi paparan debu dengan defisiensi α-1 antitripsin meningkatkan
risiko emfisema menjadi 11,91.
d. Interaksi paparan debu dengan kebiasaan merokok meningkatkan risiko
emfisema menjadi 13,88 (Strage, 2020)

7. Jenis kelamin
Sampai saat ini hubungan yang pasti antara gender dengan kejadian PPOK
masih belum jelas, penelitian terdahulu menyatakan bahwa angka kesakitan
dan kematian akibat PPOK lebih sering terjadi pada laki-laki dibanding
perempuan, namun saat ini angka kejadian PPOK hampir sama antara laki-
laki dan perempuan, terkait dengan bertambahnya jumlah perokok perempuan.
Penelitian Torres dkk. yang menghubungkan gender dengan PPOK
menyimpulkan:
a. Laki-laki dan perempuan perokok dengan COPD : Terdapat perbedaan
kadar beberapa biomarker plasma yang berimplikasi pada emfisema (IL-
6, IL16, VEGF).
b. Laki-laki dan perempuan dengan COPD : Perbedaan kadar biomarker
plasma sesuai dengan perbedaan manifestasi klinis yaitu pada
perempuan lebih berat (Sutradhar et al., 2019).

c. Patogenesis dan Patofisiologi


Inhalasi asap rokok dan partikel berbahaya lainnya menyebabkan inflamasi di
saluran nafas dan paru seperti yang terlihat pada pasien PPOK. Respon
inflamasi abnormal ini menyebabkan kerusakan jaringan parenkim yang
mengakibatkan emfisema, dan mengganggu mekanisme pertahanan yang
mengakibatkan fibrosis saluran nafas kecil. Perubahan patologis
menyebabkan udara perangkap dan keterbatasan aliran udara progresif.

1. Patogenesis
Inflamasi saluran nafas pasien PPOK merupakan amplifikasi dari respon
inflamasi normal akibat iritasi kronik seperti asap rokok. Mekanisme untuk
amplifikasi ini belum dimengerti, kemungkinan disebabkan faktor genetik.
Beberapa pasien menderita PPOK tanpa merokok, respons inflamasi pada
pasien ini belum diketahui. Inflamasi paru diperberat oleh stres oksidatif
dan kelebihan proteinase. Semua mekanisme ini mengarah pada
karakteristik perubahan patologis PPOK (Wang, 2018).

Gambar 1. Patogenesis PPOK


Sel inflamasi PPOK ditandai dengan pola tertentu peradangan yang melibatkan
peningkatan jumlah sel CD8+ (sitotoksik) Limfosit Tc1 yang hanya terjadi pada
perokok, bersama sel neutrofil, makrofag melepaskan mediator inflamasi dan
enzim yang berinteraksi dengan sel saluran nafas, parenkim paru dan vaskular
paru.

a. Stres oksidatif
Stres oksidatif merupakan mekanisme penting dalam PPOK. Biomarker stres
oksidatif (misalnya, peroksida hidrogen, 8- isoprostan) meningkat dalam dahak,
kondensat hembusan nafas dan sirkulasi sistemik pada pasien PPOK. Stres
oksidatif meningkat saat eksaserbasi. Oksidan yang dihasilkan oleh asap rokok
dan partikulat yang dihirup lainnya yang dilepaskan dari sel-sel inflamasi
(seperti makrofag dan neutrophil) diaktifkan. Mungkin juga ada penurunan
antioksidan endogen pada pasien PPOK(Wang, 2018).

Stres oksidatif memiliki beberapa konsekuensi yang merugikan di paru,


termasuk aktivasi gen inflamasi, inaktivasi antiproteases, stimulasi sekresi
lendir, dan stimulasi eksudasi plasma meningkat. Banyak dari efek samping
dimediasi oleh peroxynitrite, yang dibentuk melalui interaksi antara anion
superoksida dan oksida nitrat. Oksida nitrat yang dihasilkan oleh sintase oksida
nitrat induktif, terdapat pada saluran udara perifer dan parenkim paru pasien
PPOK. Stres oksidatif juga dapat mencakup pengurangan dalam kegiatan
histone deacetylase pada jaringan paru dari pasien PPOK, yang dapat
menyebabkan peningkatan ekspresi gen inflamasi dan juga pengurangan
tindakan anti-inflamasi glukokortikosteroid (Wang, 2018).

b. Perbedaan asma dan PPOK


Gambar 2. Inflamasi di asma dan PPOK
Patofisiologi
Saat ini telah diketahui dengan jelas tentang mekanisme patofisiologi yang
mendasari PPOK sampai terjadinya gejala yang karakteristik. Misalnya
penurunan FEV1 yang terjadi disebabkan peradangan dan penyempitan saluran
nafas perifer, sementara transfer gas yang menurun disebabkan kerusakan
parenkim yang terjadi pada emfisema (Wiest et al., 2018).

a. Keterbatasan aliran udara dan air trapping


Tingkat peradangan, fibrosis, dan eksudat luminal dalam saluran udara kecil
berkorelasi dengan penurunan FEV1 dan rasio FEV1/FVC. Penurunan FEV1
merupakan gejala yang khas pada PPOK, obstruksi jalan nafas perifer ini
menyebabkan udara terperangkap dan mengakibatkan hiperinflasi. Meskipun
emfisema lebih dikaitkan dengan kelainan pertukaran gas dibandingkan dengan
FEV1 berkurang, hal ini berkontribusi juga pada udara yang terperangkap yang
terutama terjadi pada alveolar. Ataupun saluran nafas kecil akan menjadi
hancur ketika penyakit menjadi lebih parah.

Hiperinflasi mengurangi kapasitas inspirasi seperti peningkatan kapasitas


residual fungsional, khususnya selama latihan (kelainan ini dikenal sebagai
hiperinflasi dinamis), yang terlihat sebagai dyspnea dan keterbatasan kapasitas
latihan. Hiperinflasi yang berkembang pada awal penyakit merupakan
mekanisme utama timbulnya sesak pada aktivitas. Bronkodilator yang bekerja
pada saluran nafas perifer mengurangi perangkap udara, sehingga mengurangi
volume paru residu dan gejala serta meningkatkan kapasitas inspirasi dan
latihan (Wiest et al., 2018).

b. Mekanisme pertukaran gas


Ketidakseimbangan pertukaran gas menyebabkan kelainan hipoksemia dan
hiperkapnia yang terjadi karena beberapa mekanisme. Secara umum, pertukaran
gas akan memburuk selama penyakit berlangsung. Tingkat keparahan emfisema
berkorelasi dengan PO2 arteri dan tanda lain dari ketidak seimbangan ventilasi-
perfusi (VA/Q). Obstruksi jalan nafas perifer menghasilkan ketidak seimbangan
VA/Q. Gangguan fungsi otot ventilasi pada penyakit yang sudah parah akan
mengurangi ventilasi. Kedua hal tersebut menyebabkan retensi karbon dioksida.
Kelainan pada ventilasi alveolar dan berkurangnya pembuluh darah paru
memperburuk kelainan VA/Q (Wiest et al., 2018).

c. Hipersekresi mukus
Hipersekresi mukus yang mengakibatkan batuk produktif kronik, adalah
gambaran dari bronkitis kronik tidak selalu dikaitkan dengan keterbatasan
aliran udara. Hal ini disebabkan karena metaplasia mukosa yang meningkatkan
jumlah sel goblet dan membesarnya kelenjar submukosa sebagai respons
terhadap iritasi kronik saluran nafas oleh asap rokok atau agen berbahaya
lainnya. Beberapa mediator dan protease merangsang hipersekresi mukus
melalui aktivasi reseptor faktor EGFR. Namun tidak semua pasien dengan
PPOK memiliki gejala hipersekresi mukus (Wiest et al., 2018).
d. Hipertensi pulmoner
Hipertensi pulmoner ringan sampai sedang mungkin terjadi pada PPOK akibat
proses vasokonstriksi yang disebabkan hipoksia arteri kecil pada paru yang
kemudian mengakibatkan perubahan struktural yang meliputi hiperplasia intima
dan kemudian hipertrofi otot polos / hiperplasia. Respons inflamasi dalam
pembuluh darah sama dengan yang terlihat di saluran nafas dengan bukti
terlihatnya disfungsi sel endotel. Hilangnya kapiler paru pada emfisema juga
dapat menyebabkan peningkatan tekanan dalam sirkulasi paru sehingga terjadi
hipertensi pulmoner yang progresif sehingga mengakibatkan hipertrofi ventrikel
kanan dan berlanjut menjadi gagal jantung kanan.

e. Gambaran dampak sistemik


Beberapa studi melaporkan bahwa PPOK memberikan gambaran sistemik,
khususnya pada PPOK yang berat. Hal ini berdampak besar terhadap kualitas
hidup. Kakeksia umumnya terlihat pada pasien PPOK berat, disebabkan oleh
hilangnya massa otot rangka dan kelemahan otot akibat dari apoptosis yang
meningkat dan / atau tidak digunakannya otot-otot tersebut. Peningkatan proses
osteoporosis, depresi dan anemia kronik juga terjadi pada PPOK. Peningkatan
konsentrasi mediator inflamasi, termasuk TNF-α, IL-6, radikal bebas oksigen
dan turunannya, dapat menimbulkan efek sistemik. Peningkatan risiko penyakit
kardiovaskular, berkorelasi dengan peningkatan protein C-reaktif (CRP)
(Wang, 2018).
Gambar 3. Hubungan PPOK dengan berbagai penyakit penyerta
Keterangan: Inflamasi paru perifer menyebabkan “meluapnya” sitokin seperti
IL-6, IL-1β dan tumour necrosis factor (TNF)-α, yang masuk ke dalam sirkulasi
sistemik serta meningkatkan protein seperti C-reactive protein (CRP). Inflamasi
sistemik juga mengakibatkan atrofi otot polos dan kakeksia serta menginisiasi
perburukan kondisi komorbid dan meningkatkan kejadian kanker paru.

f. Eksaserbasi
Eksaserbasi PPOK didefinisikan sebagai kondisi akut yang ditandai dengan
perburukan gejala respirasi dari variasi gejala normal harian dan membutuhkan
perubahan terapi. Eksaserbasi sering terjadi pada pasien PPOK yang dicetuskan
oleh infeksi bakteri atau virus, polusi lingkungan atau faktor lain yang belum
diketahui. Infeksi bakteri dan virus memiliki karakteristik peningkatan respons
inflamasi. Selama eksaserbasi gejala sesak meningkat karena peningkatan
hiperinflasi, air trapping dan penurunan aliran udara. Eksaserbasi juga
menyebabkan penurunan VA/Q yang menyebabkan hipoksemia berat. Beberapa
keadaan menyerupai eksaserbasi PPOK adalah pneumonia, tromboemboli, dan
gagal jantung akut (Wang, 2018).
d. Diagnosis
Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanda dan gejala ringan
hingga berat. Pada pemeriksaan fisis pun mulai dari tidak ada kelainan sampai
ditemukan kelainan yang jelas dan tanda inflasi paru. Diagnosis PPOK
dipertimbangkan bila timbul tanda dan gejala yang secara rinci dapat dilihat
pada Tabel (1)

Gejala Keterangan

Sesak Progresif (sesak bertambah berat


seiring berjalannya waktu) Bertambah
berat dengan aktivitas Menetap
sepanjang hari Dijelaskan oleh bahasa
pasien sebagai "Perlu usaha untuk
bernafas," Berat, sukar bernafas,
terengah-engah

Batuk kronik Hilang timbul dan mungkin tidak


berdahak

Batuk kronik berdahak Setiap batuk kronik berdahak dapat


mengindikasikan PPOK.

Riwayat terpajan faktor risiko Asap rokok Debu dan bahan kimia di
tempat kerja Asap dapur
Riwayat keluarga menderita PPOK

Tabel 1. Indikator kunci untuk mendiagnosis PPOK

1. Penilaian gejala PPOK


Pengukuran gejala sesak nafas secara sederhana dapat dilakukan dengan
menggunakan kuesioner mMRC (modified British Medical Research
Council). Untuk menilai gejala PPOK yang lebih komprehensif dan
dihubungkan dengan status kesehatan dan kualitas hidup digunakan CRQ
(Chronic Respiratory Disease Questionnaire) dan SGRQ (St. George’s
Respiratory Questionnaire), tetapi kedua kuesioner ini terlalu kompleks
untuk dilakukan dalam praktek klinis. Kuesioner lain yang lebih sederhana
adalah CAT (COPD Assessment Test), memiliki 8 butir pertanyaan yang
menggambarkan status kesehatan pasien, mempunyai rentang skor 0-40.
Skor sampai nilai 10 menunjukkan pasien PPOK dalam keadaan stabil dan
terapi yang dipakai saat penilaian tersebut dapat dilanjutkan (GOLD, 2021).
2. Penilaian risiko eksaserbasi
Prediktor terhadap risiko eksaserbasi terbaik dilakukan dengan mengetahui
riwayat penyakit sebelumnya. Disamping itu, adanya perburukan
keterbatasan aliran udara yang terjadi berhubungan dengan meningkatnya
eksaserbasi dan risiko kematian. Rawat inap pada kejadian eksaserbasi
PPOK berhubungan dengan prognosis yang buruk (GOLD, 2021).
3. Penilaian komorbiditas
Pada PPOK terdapat manifestasi ekstra paru yang bermakna meliputi
penurunan berat badan, abnormalitas status nutrisi dan disfungsi otot
skeletal, yang diakibatkan oleh berbagai faktor dan dapat berkontribusi
terhadap toleransi latihan dan rendahnya status kesehatan pada pasien
PPOK. Beberapa komorbid yang sering didapatkan pada pasien PPOK
adalah penyakit kardiovaskular, sindrom metabolik, osteoporosis, depresi,
dan kanker paru. Hal ini dihubungkan dengan faktor risiko utama (merokok),
keterlibatan genetik atau faktor karsinogen yang belum jelas. Untuk
menegakkan diagnosis PPOK secara rinci diuraikan sebagai berikut :
a. Anamnesis
1) Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi yang progresif, memberat
dengan aktivitas dan menetap
2) Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
3) Produksi dahak kronik
4) Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala
pernafasan
5) Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
6) Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi / anak, misalnya berat
badan lahir rendah (BBLR), infeksi saluran nafas berulang,
lingkungan asap rokok dan polusi udara (asap dapur, kayu bakar,
biomass, gas, dan zat kimia lainnya)
7) Riwayat keluarga yang menderita PPOK
8) Riwayat perawatan sebelumnya karena penyakit paru
9) Penyakit komorbid seperti penyakit jantung, osteoporosis,
muskuloskeletal dan keganasan
10) Keterbatasan aktivitas, kondisi depresi dan ansietas serta gangguan
aktivitas seksual

b. Pemeriksaan fisis PPOK dini umumnya tidak ada kelainan


1) Inspeksi
a) Pursed-lips breathing (mulut setengah terkatup / mencucu)
b) Barrel chest (dada tong), diameter antero-posterior dan transversal
sama besar
c) Penggunaan otot bantu nafas
d) Hipertropi otot bantu nafas
e) Pelebaran sela iga
f) Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di
leher dan edema tungkai.
2) Palpasi Pada emfisema sela iga melebar dan fremitus melemah.
3) Perkusi Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak
diafragma rendah, serta hati terdorong ke bawah.
4) Auskultasi
a) Suara nafas vesikuler normal atau melemah
b) Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernafas biasa atau pada
ekspirasi paksa
c) Ekspirasi memanjang
d) Bunyi jantung terdengar jauh

c. Pursed-lips breathing
Adalah sikap seseorang yang bernafas dengan mulut mencucu dan ekspirasi
yang memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk
mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi pada gagal nafas kronik.

4. Pemeriksaan rutin
a. Faal paru
Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP)
1) Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1/KVP(%). Menurut GOLD
obstruksi apabila VEP1/KVP <70%, penelitian Pneumobile
Indonesia menyatakan obstruksi apabila VEP1/KVP< 75%.
2) VEP1% (VEP1/VEP1Prediksi) merupakan parameter yang paling
umum dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan memantau
perjalanan penyakit.
3) Uji bronkolidator dilakukan pada PPOK stabil, dengan menggunakan
spirometri, dan bila tidak ada spirometer dapat digunakan peak flow
meter. Pada PPOK nilai VEP1 setelah pemberian bronkodilator
dibandingkan dengan nilai awal meningkat kurang dari 12% dan 200
ml. Bila menggunakan peak flow meter maka peningkatannya <20%.
4) Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE
(arus puncak ekspirasi) walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai
alternatif untuk menunjang diagnosis dengan memantau variabilitas
harian pagi dan sore yang tidak lebih dari 20%.

b. Laboratorium darah
Hb, Ht, trombosit, leukosit dan analisis gas darah.

c. Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain.
Pada emfisema terlihat gambaran :
1) Hiperinflasi
2) Hiperlusen
3) Ruang retrosternal melebar
4) Sela iga melebar
5) Diafragma mendatar
6) Jantung menggantung (jantung pendulum/tear drop / eye drop
appearance).

Pada bronkitis kronik :


1) Normal
2) Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21% kasus

5. Pemeriksaan penunjang lanjutan


a. Faal paru lengkap
1) Volume residu (VR), Kapasitas Residu Fungsional (KRF), kapasitas
paru total (KPT), VR/KRF, dan VR/KPT meningkat
2) DLCO menurun pada emfisema
3) Tahanan saluran nafas/Airway resistance (Raw) meningkat pada
bronkitis kronik
4) Specific airway conductance (Sgaw) meningkat
5) Variabilitas harian APE kurang dari 20%
b. Uji latih kardiopulmoner
1) Sepeda statis (ergocycle)
2) Jentera (treadmill)
3) Uji jalan 6 menit, lebih rendah dari normal
c. Uji provokasi bronkus Untuk menilai derajat hipereaktivitas bronkus, pada
sebagian kecil PPOK terdapat hipereaktivitas bronkus derajat ringan.
d. Analisis gas darah Terutama untuk menilai :
1) Gagal nafas kronik stabil
2) Gagal nafas akut pada gagal nafas kronik.
e. Radiologi
1) CT-scan resolusi tinggi
2) Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat emfisema
atau bula yang tidak terdeteksi oleh foto toraks
3) Scan ventilasi perfusi
4) Mengetahui fungsi respirasi paru
f. Elektrokardiografi (EKG) Mengetahui komplikasi pada jantung yang
ditandai oleh P pulmonal dan hipertrofi ventrikel kanan.
g. Ekokardiografi Menilai fungsi jantung kanan.
h. Bakteriologi Pemeriksaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan
kultur resistensi diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan untuk
memilih antibiotik yang tepat. Infeksi saluran nafas berulang merupakan
penyebab utama eksaserbasi akut pada pasien PPOK di Indonesia.
i. Kadar α-1 antitripsin Kadar α-1 antitripsin rendah pada emfisema herediter
(emfisema pada usia muda). Defisiensi α-1 antitripsin jarang ditemukan di
Indonesia.
j. Volume paru dan kapasitas difusi Pada pasien PPOK terjadi air trapping
(peningkatan volume residu) sejak tahap awal penyakit dan terjadi
hiperinflasi (peningkatan kapasitas paru total) akibat perburukan derajat
keterbatasan aliran udara. Perubahan tersebut dapat diukur dengan
pemeriksaan bodyplethysmograf dan pengukuran volume paru dengan dilusi
helium.

D. Pengelompokan pasien PPOK


Pengelompokan pasien PPOK berdasarkan GOLD 2017 adalah berdasarkan
atas gejala dan faktor risiko (riwayat frekuensi eksaserbasi). Pengobatan
pasien PPOK didasarkan pada pengelompokan ini. Gejala diukur
berdasarkan skor mMRC atau CAT (Gambar 4)

Gambar 4. Penilaian kelompok PPOK

e. Tatalaksana
Tujuan tata laksana pada PPOK stabil:
1. Mengurangi gejala
a. Menghilangkan gejala
b. Memperbaiki toleransi latihan
c. Memperbaiki kualitas hidup
2. Mengurasi risiko
a. Mencegah progresifitas penyakit
b. Mencegah dan mengobati eksaserbasi
c. Mengurangi kematian

Tata laksana PPOK Secara Umum, meliputi :


1. Edukasi
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada
PPOK stabil. Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma.
Karena PPOK adalah penyakit kronik yang ireversibel dan progresif, inti
dari edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan aktivitas dan mencegah
kecepatan perburukan fungsi paru. Berbeda dengan asma yang masih
bersifat reversibel, menghindari pencetus dan memperbaiki derajat penyakit
adalah inti dari edukasi atau tujuan pengobatan asma.
Tujuan edukasi pada pasien PPOK :
a. Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan
b. Melaksanakan pengobatan yang maksimal
c. Mencapai aktivitas optimal
d. Meningkatkan kualitas hidup
2. Obat-obatan
Gambar 5. Pengobatan berdasarkan kelompok PPOK (GOLD, 2019)
Panah warna hijau :
Pengobatan yang direkomendasikan. Pasien dengan perbedaan yang sangat jauh
antara derajat gejala dan keterbatasan aliran udara membutuhkan evaluasi lebih
lanjut.
Keterangan: Tanda * menerangkan obat-obat yang belum/ tidak ada di
Indonesia.
Sumber: GOLD 2019
2.2 Pneumonia
a. Definisi

Secara klinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan parenkim


paru distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius
dan alveoli serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan
pertukaran gas setempat. Pnemunonia dibedakan menjadi dua yaitu
pneumonia kominiti dan pneumonia nosokomial. Pneumonia komunitas
adalah pneumonia yang terjadi akibat infeksi di luar rumah sakit, sedangkan
pneumonia nosokomial adalah pneumonia yang terjadi lebih dari 48 jam atau
lebih setelah dirawat di rumah sakit (PDPI, 2003).

Pneumonia dapat diklasifikasikan dalam berbagai cara, klasifikasi paling


sering ialah menggunakan klasifikasi berdasarkan tempat didapatkannya
pneumonia (pneumonia komunitas dan pneumonia nosokomial), tetapi
pneumonia juga dapat diklasifikasikan berdasarkan area paru yang terinfeksi
(lobar pneumonia, multilobar pneumonia, bronchial pneumonia, dan intertisial
pneumonia) atau agen kausatif. Pneumonia juga sering diklasifikasikan
berdasarkan kondisi yang mendasari pasien, seperti pneumonia rekurens
(pneumonia yang terjadi berulang kali, berdasarkan penyakit paru kronik),
pneumonia aspirasi (alkoholik, usia tua), dan pneumonia pada gangguan imun
(pneumonia pada pasien tranplantasi organ, onkologi, dan AIDS) (Dunn,
2007).

b. Etiologi
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme seperti bakteri,
virus, jamur, dan protozoa. Pneumoni komunitas yang diderita oleh
masyarakat luar negeri banyak disebabkan gram positif, sedangkan
pneumonia rumah sakit banyak disebabkan gram negatif. Dari laporan
beberapa kota di Indonesia ditemukan dari pemeriksaan dahak penderita
komunitas adalah bakteri gram negatif. Penyebab paling sering pneumonia
yang didapat dari masyarakat dan nosokomial:
a. Yang didapat di masyarakat: Streeptococcus pneumonia, Mycoplasma
pneumonia, Hemophilus influenza, Legionella pneumophila, chlamydia
pneumonia, anaerob oral, adenovirus, influenza tipe A dan B.10
b. Yang didapat di rumah sakit: basil usus gram negative (E. coli, Klebsiella
pneumonia), Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus aureus, anaerob
oral (Wilson, 2012).

c. Patogenesis
Proses patogenesis pneumonia terkait dengan tiga faktor yaitu keaadan
(imunitas) pasien, mikroorganisme yang menyerang pasien dan lingkungan
yang berinteraksi satu sama lain. Dalam keadaan sehat, pada paru tidak akan
terjadi pertumbuhan mikroorganisme, keadaan ini disebabkan oleh adanya
mekanisme pertahanan paru. Adanyanya bakteri di paru merupakan akibat
ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dan lingkungan,
sehingga mikroorganisme dapat berkembang biak dan berakibat timbulnya
sakit (Mandell, 2007).

Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan: 1) Inokulasi


langsung; 2) Penyebaran melalui darah; 3) Inhalasi bahan aerosol, dan 4)
Kolonosiasi di permukaan mukosa.2 Dari keempat cara tersebut, cara yang
terbanyak adalah dengan kolonisasi. Secara inhalasi terjadi pada virus,
mikroorganisme atipikal, mikrobakteria atau jamur. Kebanyakan bakteria
dengan ikuran 0,5-2,0 mikron melalui udara dapat mencapai brokonsul
terminal atau alveol dan selanjutnya terjadi proses infeksi. Bila terjadi
kolonisasi pada saluran napas atas (hidung, orofaring) kemudian terjadi
aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi mikroorganisme, hal ini
merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru. Aspirasi dari
sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50%)
juga pada keadaan penurunan kesadaran, peminum alkohol dan pemakai obat
(drug abuse). Sekresi orofaring mengandung konsentrasi bakteri yang sanagt
tinggi 108-10/ml, sehingga aspirasi dari sebagian kecil sekret (0,001 - 1,1 ml)
dapat memberikan titer inokulum bakteri yang tinggi dan terjadi pneumonia
(PDPI, 2003).

Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan


reaksi radang berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel
PMN dan diapedesis eritrosit sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum
terbentuk antibodi. Sel-sel PNM mendesak bakteri ke permukaan alveoli dan
dengan bantuan leukosit yang lain melalui psedopodosis sistoplasmik
mengelilingi bakteri tersebut kemudian terjadi proses fagositosis. pada waktu
terjadi perlawanan antara host dan bakteri maka akan nampak empat zona
(Gambar 1) pada daerah pasitik parasitik terset yaitu : 1) Zona luar (edama):
alveoli yang tersisi dengan bakteri dan cairan edema; 2) Zona permulaan
konsolidasi (red hepatization): terdiri dari PMN dan beberapa eksudasi sel
darah merah; 3) Zona konsolidasi yang luas (grey hepatization): daerah
tempat terjadi fagositosis yang aktif dengan jumlah PMN yang banyak; 4)
Zona resolusi E: daerah tempat terjadi resolusi dengan banyak bakteri yang
mati, leukosit dan alveolar makrofag (Dahlan, 2009).

d. Manifestasi Klinis
Gejala khas dari pneumonia adalah demam, menggigil, berkeringat, batuk
(baik non produktif atau produktif atau menghasilkan sputum berlendir,
purulen, atau bercak darah), sakit dada karena pleuritis dan sesak. Gejala
umum lainnya adalah pasien lebih suka berbaring pada yang sakit dengan
lutut tertekuk karena nyeri dada. Pemeriksaan fisik didapatkan retraksi atau
penarikan dinding dada bagian bawah saat pernafas, takipneu, kenaikan atau
penurunan taktil fremitus, perkusi redup sampai pekak menggambarkan
konsolidasi atau terdapat cairan pleura, ronki, suara pernafasan bronkial,
pleural friction rub (Dahlan, 2009).

e. Diagnosis
Diagnosis pneumonia kominiti didasarkan kepada riwayat penyakit yang
lengkap, pemeriksaan fisik yang teliti dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis
pasti pneumonia komunitas ditegakkan jika pada foto toraks terdapat infiltrat
baru atau infiltrat progresif ditambah dengan 2 atau lebih gejala di bawah ini:
a. Batuk-batuk bertambah
b. Perubahan karakteristik dahak/purulen
c. Suhu tubuh > 38C (aksila) /riwayat demam
d. Pemeriksaan fisis: ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara napas bronkial
dan ronki
e. Leukosit > 10.000 atau < 4500 12,13 Penilaian derajat keparahan penyakit
pneumonia komunitas dapat dilakukan dengan menggunakan sistem skor
menurut hasil penelitian Pneumonia Patient Outcome Research Team (PORT)
(PDPI, 2003).

Gambar 6. Sistem skor pada pneumonia komunitas berdasarkan PORT

PSI membagi kelompok CAP menjadi lima kelas berdasarkan risiko


mortalitas yang dimiliki pasien, dimana kelas I-III merupakan pasien dengan
mortalitas rendah, kelas IV merupakan pasien dengan mortalitas sedang dan
kelas V merupakan pasien dengan mortalitas tinggi.14 PSI juga digunakan
untuk menentukan pasien akan diterapi dengan rawat jalan atau rawat inap,
seperti yang tertera pada tabel 2.
Tabel 2. Derajat risiko dan rekomendasi perawatan menurut PORT/PSI

f. Pemeriksaan Penunjang
1. Radiologi
Pemeriksaan menggunakan foto thoraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan
penunjang utama (gold standard) untuk menegakkan diagnosis pneumonia.
Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat sampai konsoludasi dengan air
bronchogram, penyebaran bronkogenik dan intertisial serta gambaran
kavitas.3 2. Laboratorium
Peningkatan jumlah leukosit berkisar antara 10.000 - 40.000 /ul, Leukosit
polimorfonuklear dengan banyak bentuk. Meskipun dapat pula
ditemukanleukopenia. Hitung jenis menunjukkan shift to the left, dan LED
meningkat.
3. Mikrobiologi Pemeriksaan mikrobiologi diantaranya biakan sputum dan
kultur darah untuk mengetahui adanya S. pneumonia dengan pemeriksaan
koagulasi antigen polisakarida pneumokokkus.
4. Analisa Gas Darah
Ditemukan hipoksemia sedang atau berat. Pada beberapa kasus, tekanan
parsial karbondioksida (PCO2) menurun dan pada stadium lanjut
menunjukkan asidosis respiratorik (Sudoyo, 2009).

g. Penatalaksanaan
Pada prinsipnya penatalaksaan utama pneumonia adalah memberikan
antibiotik tertentu terhadap kuman tertentu infeksi pneumonia. Pemberian
antibitotik bertujuan untuk memberikan terapi kausal terhadap kuman
penyebab infeksi, akan tetapi sebelum antibiotika definitif diberikan antibiotik
empiris dan terapi suportif perlu diberikan untuk menjaga kondisi pasien
(Dahlan).

Terapi antibiotika empiris menggambarkan tebakan terbaik berdasarkan pada


klasifikasi pneumonia dan kemungkinan organisme, karena hasil
mikrobiologis umumnya tidak tersedia selama 12-72 jam. Maka dari itu
membedakan jenis pneumonia (CAP atau HAP) dan tingkat keparahan
berdasarkan kondisi klinis pasien dan faktor predisposisi sangatlah penting,
karena akan menentukan pilihan antibiotika empirik yang akan diberikan
kepada pasien (Jeremy, 2007).

Tindakan suportif meliputi oksigen untuk mempertahankan PaO2 > 8 kPa


(SaO2 > 92%) dan resusitasi cairan intravena untuk memastikan stabilitas
hemodinamik. Bantuan ventilasi: ventilasi non invasif (misalnya tekanan jalan
napas positif kontinu (continous positive airway pressure), atau ventilasi
mekanis mungkin diperlukan pada gagal napas. Bila demam atau nyeri
pleuritik dapat diberikan antipiretik analgesik serta dapat diberika mukolitik
atau ekspektoran untuk mengurangi dahak (Alberta, 2017).

a. Pilihan Antibiotika
Dalam memilih antibiotika yang tepat harus dipertimbangkan faktor
sensitivitas bakteri terhadap antibiotika, keadaan tubuh pasien, dan faktor
biaya pengobatan.18 Pada infeksi pneumonia (CAP dan HAP) seringkali
harus segera diberikan antibiotika sementara sebelum diperoleh hasil
pemeriksaan mikrobiologik. Pemilihan ini harus didasarkan pada pengalaman
empiris yang rasional berdasarkan perkiraan etiologi yang paling mungkin
serta antibiotika terbaik untuk infeksi tersebut. Memilih antibiotika yang
didasarkan pada luas spektrum kerjanya tidak dibenarkan karena hasil terapi
tidaklebih unggul daripada hasil terapi dengan antibiotika berspektrum sempit,
sedangkan superinfeksi lebih sering terjadi dengan antibiotika berspektrum
luas (Mandell, 2007).
Berdasarkan atas panduan penatalaksanaan pasien dengan CAP oleh
American Thoracic Society (ATS), untuk pasien yang memerlukan perawatan
di rumah sakit dengan penyakit kardiopulmoner dengan atau tanpa faktor
modifikasi, terapi yang dianjurkan adalah terapi dengan golongan β-lactam
(cefotaxim, ceftriaxon, ampicillin/sulbactam, dosis tinggi ampicillin
intravena) yang dikombinasi dengan makrolide atau doksisiklin oral atau
intravena, atau pemberian fluroquinolon antipneumococcal intravena saja
(Mandell, 2007).

Begitu juga panduan penatalaksanaan yang dikeluarkan oleh Infectious


Diseases Society of America (IDSA) menganjurkan pemberian cephalosporin
ditambah makrolide atau β-lactam/β-lactamase inhibitor ditambah makrolide
atau fluroquinolon saja. Penatalaksanaan yang baik terhadap bakteriemik
streptococcal pneumonia akan secara signifikan menurunkan angka kematian
pasien CAP. Terdapat isu penting tentang penggunaan dual terapi
meningkatkan outcome yang lebih baik dibandingkan denganmonoterapi pada
pasien CAP. Dual terapi yang dimaksud adalah kombinasi antara regimen
yang terdiri dari antibiotika β-lactam, makrolide, atau fluroquinolon.
Sedangkan monoterapi yang dimaksud adalah penggunaan golongan β-lactam
atau fluoroquinolon sebagai agen tunggal (Mandell, 2007).
STATUS PASIEN

Nomor Rekam Medis: 00.72.12.41


Masuk RSAM : 16 September 2023 WIB melalui IGD RSAM

1.1. Identitas
a. Pasien
Nama : Marinah
Tempat, Tanggal Lahir : 05 Mei 1949
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 74 tahun 3 bulan
Agama : Islam
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Suku : Lampung

1.2. Anamnesis
Anamnesis dan alloanamnesis dilakukan tanggal 19 September 2023

Keluhan Utama
Sesak napas sejak 1 minggu SMRS dan memberat sejak 2 hari SMRS

Keluhan Tambahan
Sesak disertai dengan suara mengi dan diperparah oleh batuk berdahak sejak 1
minggu SMRS,terdapat mual, muntah, penurunan nafsu makan
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluhkan sesak napas sejak 1 minggu SMRS, sesak memberat sejak 2
hari SMRS, sesak disertai dengan suara mengi dan diperparah oleh batuk. Batuk
dimulai sejak 1 minggu SMRS, terdapat dahak berwarna putih kental, dahak sulit
keluar. Tidak terdapat nyeri dada, batuk berdarah ataupun demam dan keringat
malam. Pasien juga mengeluhkan mual dan muntah disertai penurunan nafsu
makan sejak 1 minggu SMRS. Os mengaku sudah 50 tahun memasak dengan
kayu bakar, untuk faktor resiko lain seperti rumah atap asbes dan paparan asap
rokok disangkal oleh pasien.

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien memiliki Riwayat PPOK dalam 3 tahun terakhir dan pasien memiliki
Riwayat perawatan dalam salah satu Rumah Sakit swasta 3 bulan yang lalu dan
mendapatkan Seretide dan Spiriva

Riwayat Penyakit Keluarga


Keluarga pasien tidak memiliki riwayat penyakit sebelumnya

1.3. Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan fisik dilakukan tanggal 19 September 2023

Tanda-Tanda Vital
Keadaan Umum : Sakit sedang
Tingkat Kesadaran : E4 M6 V5
Frekuensi Nadi : 92x / menit
Frekuensi Napas : 26x / menit
Suhu : 36,6⁰C
Saturasi Oksigen : 80% AR menjadi 94% 2 LPM NC
Berat Badan (BB) : 34 kg
Panjang Badan (TB) : 145 cm
IMT : 14,7

Pemeriksaan Umum
Warna kulit : Coklat
Pucat : (-)
Sianosis : (-)
Ikterus : (-)
Edema : (-)
Turgor : Lambat

Status Generalis
Kepala
Rambut : Warna hitam dan putih, persebaran rambut merata
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),
edema palpebral (-/-), reflex cahaya (+/+), pupil
isokor
Hidung : NCH (-), rhinorrhea (-), perdarahan (-)
Telinga : Hiperemis (-/-), discharge (-/-)
Mulut : Sianosis (-), gusi berdarah (-)

Leher
Bentuk : Simetris, massa (-), lesi (-)
KGB : Pembesaran kelenjar getah bening (-)
JVP : 5 + 0 cm H2O

Thorax
Bentuk : Normochest, simetris, massa (-), lesi (-)
Retraksi suprasternal : (-)
Retraksi substernal : (-)
Retraksi intercostal : (-)
Retraksi subcostal : (-)

Jantung
Inspeksi : Pulsasi iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba
Perkusi : Batas jantung normal
Auskultasi : BJ I-II regular

Paru-Paru

Anterior Posterior

Sinistra Dextra Sinistra Dextra

Pergerakan Pergerakan Pergerakan Pergerakan


Inspeksi
simetris simetris simetris simetris

Fremitus taktil Fremitus taktil Fremitus taktil Fremitus taktil


normal, normal, normal, normal,
Palpasi
ekspansi dada ekspansi dada ekspansi dada ekspansi dada
simetris simetris simetris simetris

Perkusi Sonor Sonor Sonor Sonor

Vesikuler (+), Vesikuler (+), Vesikuler (+), Vesikuler (+),


Auskultasi ronkhi(-), ronkhi(-), ronkhi(+), ronkhi(+),
wheezing (+) wheezing (-) wheezing (+) wheezing (-)

Abdomen
Inspeksi : Datar
Auskultasi : BU (+)
Palpasi : Hepatomegali (-) Splenomegali (-), nyeri tekan (-),
turgor kembali cepat
Perkusi : Timpani, asites (-)

Ekstremitas
Superior : Akral hangat, CRT >2 detik, ikterus (-/-),
sianosis (-/-)
Inferior : Akral hangat, CRT >2 detik, ikterus (-/-),
sianosis (-/-)

Neurologis
Refleks fisiologis : Biceps (+2/+2), triceps (+2/+2), patella (+2/+2),
achilles (+2/+2)
Refleks patologis : Babinski (-/-), chaddock (-/-), gordon (-/-),
gonad (-/-), schaefer (-/-), oppenheim (-/-)
Rangsang meningeal : Kaku kuduk (-), brudzinski I (-), brudzinski II (-),
brudzinski III (-), brudzinski IV (-), kernig (-)

Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium 16 September 2023


Parameter Hasil Nilai Rujukan

Hematologi

Hemoglobin 12,2 11,7-15,5 g/dL

Leukosit 11.730 3.600-11.000 /uL

Eritrosit 4,1 3,8-5,2 juta/uL

Hematokrit 36 35-47 %

Trombosit 241.000 150.000-440.000 /uL

MCV 89 80-100 fL

MCH 30 26-34 Pg

MCHC 34 32-36 g/dL

LED 17 0-20 mm/jam

Basofil 0 0-1 %

Eosinofil 0 2-4 %

Batang 0 3-5 %

Neutrofil 97 50-70 %

Limfosit 2 20-40 %

Monosit 1 2-8 %

Kimia

Gula Darah 58 <140 mg/dL


Sewaktu

Ureum 23 21-43 Mg/dL

Creatinine 0,72 <0,90 Mg/dL

Natrium 131 135-147 Mmol/L

Kalium 3,4 3,5-5,0 Mmol/L

Kalsium 9,1 8,8-10,2 Mg/dL

Chlorida 93 95-105 Mmol/L

SGOT 15 0-35 U/L

SGPT 9 0-35 U/L

Analisis Gas Darah


Parameter Hasil Nilai Rujukan

Urinalisa

Warna Kuning Kuning

Kejernihan Laboratorium
Keruh 17 September
Jernih 2023

Berat Jenis 1,015 1,015-1,025

pH 5,0 5,0-8,5

Leukosit/Lesis 100 Negatif (<25) Leu/uL

Nitrit Negatif Negatif

Protein Negatif Negatif (<30) Mg/dL

Glukose Negatif Negatif (<50) Mg/dL

Keton Negatif Negatif (<15) Mg/dL

Urobilinogen Negatif Negatif (<1) Mg/dL

Bilirubin Negatif Negatif (<1) Mg/dL

Darah samar 10 Negatif (<10) Ery/uL

Leukosit 5-10 1-4 / LP 400x /LPB

Erytrosit 1-3 0-1 / LP 400x /LPB

Epithel 3-5 5-15 / LP 400x /LPB

Bakteri Negatif Negatif

Kristal Negatif Negatif

Silinder Negatif Negatif

Kimia

Bilirubin Total 0,4 0,1-1,0 mg/dL

Bilirubin Direk 0,1 0-0,2 Mg/dL

Bilirubin Indirek 0,3 0,1-1 Mg/dL

Gula Darah 46 <110 Mg/dL


Nacture

Gula Darah 2 Jam 104 <140 Mg/dL


PP

HbA1C% 5,8 <5,7 %


Hasil pengecetan Gram dan KOH

Pengecetan gram - Ditemukan epitel 0-2/LPB


- Ditemukan lekosit 3-25/LPB
- Ditemukan coccus gram positif
- Ditemukan batang gram negatif

Pengecetan KOH - Tidak ditemukan morfologi


yeast
- Tidak ditemukan hypae

Laboratorium 18 September 2023


Parameter Hasil Nilai Rujukan

Hematologi

Hemoglobin 12,2 11,7-15,5 g/dL

Leukosit 7.390 3.600-11.000 /uL

Eritrosit 4,1 3,8-5,2 juta/uL

Hematokrit 37 35-47 %

Trombosit 171.000 150.000-440.000 /uL

MCV 90 80-100 fL

MCH 30 26-34 Pg

MCHC 33 32-36 g/dL

LED 19 0-20 mm/jam

Basofil 0 0-1 %

Eosinofil 0 2-4 %

Batang 0 3-5 %

Neutrofil 80 50-70 %

Limfosit 11 20-40 %

Monosit 9 2-8 %

Kimia

HbA1C% 5,2 <5,7 %

Natrium 127 135-147 Mmol/L

Kalium 3,5 3,5-5,0 Mmol/L

Kalsium 9,2 8,8-10,2 Mg/dL

Chlorida 97 95-105 Mmol/L

Analisis Gas Darah

pH 7,31 7,35-7,45

pCO2 59,5 35,0-45,0 mmHg

pO2 147,0 80,0-108,0 mmHg

Nilai Kalkulasi
Pemeriksaan Rontgen (16 September 2023)

Hasil rontgen:

Terlihat adanya gambaran emfisematous lung yang ditandai dengan gambaran sela
iga yang melebar dan mendatar, diafragma mendatar, costae mendatar, jantung
pendulum. Selain itu, terlihat juga adanya hiperaerasi dan inflitrat pada paru dextra
dan sinistra.

Kesan: Pneumonia dan PPOK

Resume

Pasien mengeluhkan sesak sejak 1 minggu SMRS dan memberat sejak 2 hari SMRS,
sesak disertai dengan suara mengi, terdapat batuk disertai dengan dahak berwarna
putih namun terkadang dahak sulit keluar. Pasien juga mengaku mengalami
penurunan nafsu makan dalam 1 minggu SMRS. Pasien mengaku memasak dengan
kayu bakar kurang lebih sudah 50 tahun. Pasien juga memiliki Riwayat pengobatan
disalah satu rumah sakit swasta 3 bulan yang lalu dan mendapatkan obat rutin
Seretide dan Spiriva.

Diagnosis

Diagnosis Utama

• CAP

• PPOK eksaserbasi akut

Diagnosis Banding

TB Paru

Bronkitis Akut

Bronkiolitis

Tatalaksana

Medikamentosa

IVFD NS 0,9% 500cc/8 jam

IV Inj Levofloxacin 500mg/24 jam (HARI-3)

PO Paracetamol tab 500mg/8 jam

Nebu Salbutamol + ipratropium bromide/ 6 jam

Salmeterol 50mcg+ fluticasone proprionate 500mcg 2x1 puff

Tiotropium 2,5mcg 1x2puff

PO Azitromicin 500mg/24jam hari I -> 250 mg/24 jam

PO Bicnat tab 3x1

PO N-acetilsistein 2x600mg

IV Inj Omeprazole 40mg/ 12 jam


PO Sucralfat syr 3xCI

PO Kapsul garam/8 jam

Non Medikamentosa

Pursed Lips Breathing

Konsul Sp.GK

Konsul Sp.KFR

Follow up

Follow Up (17/09/2023)
Tanggal dan
Catatan Instruksi
Waktu

17/09/2023 S/ P/

06.00 WIB Pasien mengeluhkan sesak napas disertai IVFD NS 0,9% 500 cc/8 jam
dengan batuk berdahak, nyeri kepala dan
Inj Levofloxacin 500 mg/24 jam
mual

Inj Ranitidin 50 mg/12 jam

Nebu Salbutamol + ipratropium


O/
bromide/ 6 jam
Keadaan umum: sakit sedang N-acetilsistein 3x200 mg

GCS: 15 (E4V5M6)

HR: 92 x/menit R/

RR: 32 x/menit Konsul Sp. KFR

T: 36.7 C

TD: 100/60

SP02: 88-92% NK 3 lpm


Kepala: persebaran rambut merata, simetris

Mata: KA (-/-), SI (-/-), cekung (+)

Hidung: napas cuping hidung (-), secret (-)

Mulut: sianosis (-), hipersaliva (-)

Thoraks: simetris, sonor, bronkovesikuler


(+/+), wh

(+/+), rh(-+/+), BJ I & II reguler, murmur (-),


gallop (-)

Abdomen: cembung , BU (+), turgor lambat,


Hepatosplenomegali (-)

Ekstremitas: akral hangat, CRT>2 detik

A/

CAP PSI 123 RC IV

PPOK eksaserbasi antonisen tipe 1 tanpa gagal


napas akut pada PPOK grup E

Follow Up (18/09/2023)
Tanggal dan
Catatan Instruksi
Waktu

18/09/2023 S/ P/

09.00 WIB Pasien masih mengeluhkan sesak disertai IVFD NS 0,9% 500 cc/8 jam
dengan batuk, nyeri kepala dan nyeri pada ulu
Inj Levofloxacin 500 mg/24 jam
hati

Inj Omeprazole 40 mg/12 jam

Nebu Salbutamol + ipratropium


O/ bromide/ 6 jam
N-acetilsistein 3x200 mg
Keadaan umum: sakit sedang
Sucralfat syr 3 x cth 1
GCS: 15 (E4V5M6)

HR: 101 x/menit


Non medikamentosa:

RR: 28 x/menit
Pursed lips Breathing

TD: 120/70 mmHg


Edukasi active cycle breathing

T: 36.9 C technique

SP02: 95% NK 5 lpm

Kepala: persebaran rambut merata, simetris

Mata: KA (-/-), SI (-/-), cekung (+)

Hidung: napas cuping hidung (-), secret (-)

Mulut: sianosis (-), hipersaliva (-)

Thoraks: simetris, sonor, bronkovesikuler


(+/+), wh

(+/+), rh(-+/+), BJ I & II reguler, murmur (-),


gallop (-)

Abdomen: cembung , BU (+), turgor lambat,


Hepatosplenomegali (-)

Ekstremitas: akral hangat, CRT>2 detik

A/

CAP PSI 123 RC IV

PPOK eksaserbasi antonisen tipe 1 tanpa gagal


napas akut pada PPOK grup E
Follow up (19/09/2023)

Tanggal dan
Catatan Instruksi
Waktu

19/09/2023 S/ P/

09.00 WIB Pasien masih mengeluhkan sesak disertai IVFD NS 0,9% 500cc/8 jam
dengan batuk, sesak dan batuk sudah IV Inj Levofloxacin 500mg/24
berkurang jam (HARI-3)
PO Paracetamol tab 500mg/8
jam

O/ Nebu Salbutamol + ipratropium


bromide/ 6 jam
Keadaan umum: sakit sedang Salmeterol 50mcg+ fluticasone
proprionate 500mcg 2x1 puff
GCS: 15 (E4V5M6)
Tiotropium 2,5mcg 1x2puff
HR: 95 x/menit PO N-acetilsistein 2x600mg
IV Inj Omeprazole 40mg/ 12
RR: 24 x/menit
jam
TD: 101/60 mmHg PO Sucralfat syr 3xCI
PO Paracetamol tab 500mg/8
T: 38.5 C
jam

SP02: 94% RA
Non medikamentosa:

Pursed lips Breathing

Kepala: persebaran rambut merata, simetris


Edukasi active cycle breathing

Mata: KA (-/-), SI (-/-), cekung (+) technique

Hidung: napas cuping hidung (-), secret (-) Diet per oral nasi tim TKTP

Mulut: sianosis (-), hipersaliva (-) Snack peptisol 2x100 gr

Thoraks: simetris, sonor, bronkovesikuler


(+/+), wh
(+/+), rh(-+/+), BJ I & II reguler, murmur (-),
gallop (-)

Abdomen: cembung , BU (+), turgor lambat,


Hepatosplenomegali (-)

Ekstremitas: akral hangat, CRT>2 detik

A/

CAP PSI 123 RC IV

PPOK eksaserbasi antonisen tipe 1 tanpa gagal


napas akut pada PPOK grup E

Follow up (20/09/2023)

Tanggal dan
Catatan Instruksi
Waktu

20/09/2023 S/ P/

09.00 WIB Pasien masih mengeluhkan namun sudah IVFD NS 0,9% 500cc/8 jam
berkurang, pasien juga mengeluhkan batuk IV Inj Levofloxacin 500mg/24
berdahak, dahak dapat keluar berwarna putih jam
kental tidak disertai darah PO Paracetamol tab 500mg/8
jam
Nebu Salbutamol + ipratropium

O/ bromide/ 6 jam
Salmeterol 50mcg+ fluticasone
Keadaan umum: sakit sedang proprionate 500mcg 2x1 puff
Tiotropium 2,5mcg 1x2puff
GCS: 15 (E4V5M6)
PO N-acetilsistein 2x600mg
HR: 95 x/menit IV Inj Omeprazole 40mg/ 12
jam
RR: 22 x/menit
PO Sucralfat syr 3xCI
TD: 98/60 mmHg
T: 36.5 C PO Nacl Caps / 8 jam

SP02: 96% 2LPM NK Non medikamentosa:

Pursed lips Breathing

Kepala: persebaran rambut merata, simetris Edukasi active cycle breathing


technique
Mata: KA (-/-), SI (-/-), cekung (+)
Diet per oral nasi tim TKTP
Hidung: napas cuping hidung (-), secret (-)
Snack peptisol 2x100 gr
Mulut: sianosis (-), hipersaliva (-)

Thoraks: simetris, sonor, vesikuler (+/+), wh

(-/-), rh(-+/-), BJ I & II reguler, murmur (-),


gallop (-)

Abdomen: cembung , BU (+), turgor lambat,


Hepatosplenomegali (-)

Ekstremitas: akral hangat, CRT>2 detik

A/

CAP PSI 123 RC IV

PPOK eksaserbasi antonisen tipe 1 tanpa gagal


napas akut pada PPOK grup E
Cue and clue Initial Diagnosis Planning Diagnosis Planning Therapy PMO & Edu

Ny. M/74 tahun CAP Spirometri IVFD NS 0,9% 500cc/8 Monitoring TTV
jam
Anamnesis: PPOK eksaserbasi akut Kultur sputum Asupan Kalori dan
IV Inj Levofloxacin Cairan yang Adekuat
- Pasien Rontgen 500mg/24 jam
mengeluhkan Diet makanan sesuai
sesak napas PO Paracetamol tab anjuran dr. Sp.GK
dirasakan sejak 3 500mg/8 jam
bulan terakhir Melakukan Latihan
sesak disertai Nebu Salbutamol + Pursed lips Breathing
dengan suara ipratropium bromide/ 6 dan Edukasi active cycle
mengi memberat jam breathing technique
ketika batuk. sesuai dengan anjuran dr
Salmeterol 50mcg+ Sp. KFR
Sesak dirasakan fluticasone proprionate
saat pasien 500mcg 2x1 puff Menghindari Faktor
berjalan 100 resiko pajanan PPOK
meter Tiotropium 2,5mcg atau pneumonia seperti
- batuk berdahak 1x2puff asap rokok, kayu bakar
berwarna putih
kekuningan sulit PO N-acetilsistein atau etc
keluar 2x600mg
- demam naik
IV Inj Omeprazole
turun sejak 3
40mg/ 12 jam
hari terakhir
- mual PO Sucralfat syr 3xCth I
- muntah
- Riwayat terpajan
kayu bakar
selama kurang
lebih 50 tahun

Pemeriksaan fisik:

- T: 38.5
- SpO2: 88% RA -
> 95% 5 LPM
NK
- Auskultasi Paru:
Bronkovesikuler,
ronki +/+, mengi
+/+

Pemeriksaan
penunjang:

Leukosit: 11.730

Rontgen: gambaran
emfisematous lung
dan infiltrasi pada
paru dextra dan
sinistra

Problem list:

Sesak napas ec gangguan


difusi dan obstruksi

Bronkospasme

Batuk kronik
Analisis kasus

Pasien Ny. M dengan usia 74 tahun datang dengan keluhan sesak napas sejak 1
minggu SMRS dan memberat sejak 2 hari SMRS, sesak napas disertai dengan suara
mengi, sesak memberat ketika batuk serta sesak dirasakan saat pasien berjalan 100
meter termasuk dalam kriteria Skala sesak 3. Batuk dirasakan hilang timbul sejak 3
bulan terakhir dan memberat 7 hari SMRS disertai dengan dahak berwarna putih
kekuningan kental namun sulit dikeluarkan. Pasien menyangkal adanya nyeri dada,
batuk berdarah, Riwayat penurunan berat badan, keringat malam. Pasien juga
mengeluhkan demam naik turun sejak 3 hari terakhir, demam disertai mual, muntah
dan penurunan nafsu makan.

Pasien sebelumnya pernah terkena Riwayat PPOK dalam 3 bulan terakhir dan
rutin berobat ke dr. Sp.P menggunakan Spiriva dan Seretide. Pasien juga pada bulan
juni 2023 dirawat di RSGH dengan keluhan sesak napas dan pasien dirawat selama 4
hari setelah membaik pasien dipulangkan. 1 bulan yang lalu pasien juga mengeluhkan
sesak napas dan berobat ke RSGH dan pasien dilakukan uap/nebulizer kemudian
membaik dan pulang. 1 minggu yang lalu pasien banyak melakukam aktivitas di luar
rumah dan terpapar banyak debu kemudian sesak napas pasien kambuh. Pasien
mengakui terdapat Riwayat memasak menggunakan kayu bakar selama 50 tahun.

Pasien memiliki Riwayat PPOK, seperti yang dijelaksan PPOK merupakan


penyakit paru yang dapat dicegah dan diobati, yang tidandai dengan keterbatasan
aliran udara yang progresif dan berhubungan dengan peningkatan respons inflamasi
kronik pada saluran napas dna paru terhadap gas atau partikel berbahaya lainnya.
Eksaserbasi dan komorbid berkontri usi pada keparahan penyakit pada pasien. Pada
kondisi pasien ini merupakan PPOK dengan eksaserbasi akut atau PPOK yang
mengalami perburukan dibandingkan denan kondisi sebelumnya dengan gejala sesak
bertambah, produksi sputum yang meningkat atau terjadinya perubahan warna
sputum sedangkan untuk pemeriksaan fisis didapatkan frekuensi napas yang
meningkat terdapat mengi, pursed lip breathing dan didapatkan juga ronki atau
demam. Pada pasien tersebut hanya memenuhi kriteria PPOK dengan sesak
bertambah tanpa disertai perubahan warna sputum atau produksi sputum meningkat
sehingga dapat digolongkan menjadi kriteria PPOK eksaserbasi ringan. PPOK pada
pasien tersebut bisa terjadi akibat Riwayat penggunaan kayu bakar untuk memasak
selama kurang lebih 50 tahun. Selain itu, pada pemeriksaan penunjang terutama
rontgen didapatkan ciri khas dari PPOK yaitu diafragma datar, corakan
bronkovaskuler meningkat, tampak gambaran jantung pendulum dan ruang
retrosternal melebar. Sehingga menurut Riwayat perjalanan penyakit pasien tersebut
dan anamnesis disertai dengan pemeriksaan penunjang pasien dapat digolongkan
PPOK Eksaserbasi akut tipe III. Untuk pengobatan pada pasien ini diberikan Nebu
salbutamol dan ipratropium bromide/6 jam sebagai bronkodilator untuk salbutamol
merupakan bronkodilator golongan agonis B2 adrenergik selektif short acting dan
ipratropium bromide merupakaan bronkodilator antikolinergik short acting (SAMA).
Bronkodilator merupakan terapi yang sering digunakan karena dapat mengurangi
gejala penyumbatan aliran udara dengan cara merelaksasi otot polos saluran napas
(bronkodilatasi). Bronkodilatasi dapat dicapai melalui 2 mekanisme primer dan
komplementer. Aktivasi reseptor B2 secara langsung menyebablan relaksasi otot
polos. Antagonis reseptor muskarinik atau terapi antikolinergik merupakan antagonis
kompetitif asetilkolin (ACH) pada reseptor saraf post ganglionic yang mengakibatkan
relaksasi otot polos dan bronkodilatasi. Selain itu, pasien juga diberikan fluticasone,
salmetrol dan tiotropium bromide. Tiotropium bromide merupaka bronkodilator
antikolinergik golongan LABA yang memiliki cara kerja dengan cara menghambat
kerja asetilkolin dan mengurangi siklik-adenosin monofosfat (cAMP) pada otot polos
bronkus sehingga memicu bronkodilatasi. LABA berikatan dengan reseptor beta-
adrenergik, menghasilkan relaksasi otot polos bronkus yang memiliki efek sinergis
pada bronkodilatasi dan meningkatkan aliran udara ke seluruh sistem pernapasan.
Fluticasone merupakan obat kortikosteroid inhalasi yang membantu mengurangi
peradangan diparu-paru dengan cara mencegah pelepasan zat kimia tertentu yang
terlibat dalam memproduksi kekebalan dan alergi yang mengakibatkan peradangan.
Salmeterol merupakan obat bronkodilator golongan agonis B2 adrenergik kerja
panjang yang bekerja dengan cara merelaksasikan otot saat terjadinya sesak napas
sehngga dapat memperlancara saluran pernapasan.

Pada pasien ini juga terdapat masalah lain yaitu CAP atau Community acquired
pneumonia yaitu suatu peradangan akut di parenkim paru yang disebabkan oleh
infeksi pathogen (bakteri, virus, jamur, parasite), tidak termasuk mycobacterium
tuberculosis. Pada pasien ini didapatkan adanya demam, batuk, sesak napas, adanya
ronki, pada pemeriksaan darah didapatkan leukositosis dengan leukosit 11.730,
didapatkan juga pada pemeriksaan rontgen adanya gambaran infiltrate pada paru
dextra dan sinistra. Salah satu faktor resiko infeksi pneumonia komunitas pad pasien
ini ialah adanya penyakit lain yaitu PPOK dan juga usia pasien yang tergolong
geriatric karna usia pasien saat ini berusia 74 tahun. PPOK merupakan salah satu
faktor risiko terhadap pneumonia komunitas dengan oods ratio (OR) sebesar 1,91.
Berdasarkan sebuah studi, insidens pneumonia pada pasien PPOK adalah sebesar
22,4%. Faktor faktor yang dapat mempengaruhi pneumonia pada pasien PPOK ialah
karna adanya bronchitis kronis, produksi lendir yang persisten, adanya kolonisasi
bakteri, ketidakseimbangan mikrobioma, peningkatan peradangan saluran napas,
gangguan imunitas sel host dan kerusakan structural. Pada pasien PPOK terdapat
peningkatan ekspresi epitel saluran pernapasan dari faktor adhesi bakteri spesifik
pada PPOK, reseptor faktor pengaktif trombosit (PAFr) yang merupakan molekul
adhesi pneumokokus utama dan Haemophilus influenzae. Hal tersebut bisa menjadi
salah satu mekanisme yang dapat meningkatkan resiko infeksi streptococcus
pneumoniae pada PPOK. Pada skor Pneumonia severity index (PSI) didapatkan skor
109 dengan rincian 64 (umur-10) + 15 (suhu tubuh diantara 35 dan 40 C) + 30 (pH
<7,35) maka didapatkan hasil PSI 109 dan RC (risk calss) masuk ke dalam IV yang
merupakan indikasi rawat inap. Pada pasien ini diberikan terapi fluorokuinolon
respirasi yaitu Levofloksasin 500 mg/24 jam sebagai terapi utama pasien dan
golongan makrolida yaitu azitromisin 500 mg/24 jam.

Pada pasien ini dengan diagnosis CAP dan PPOK eksaserbasi akut memiliki
prognosis dubia, pasien diperbolehkan pulang dengan indikasi sesak berkurang atau
hilang, dapat mobilisasi, perbaikan kondisi klinis dan pemeriksaan lain, penyakit
penyerta tertangani, dan mengerti pemakaian obat.
DAFTAR PUSTAKA

1. Wunderink RG, Watever GW. 2014. Community-acquired pneumonia. N Engl J


Med.2014;370:543-51.

2. PDPI. 2003. Pneumonia komuniti-pedoman diagnosis dan penatalaksaan di


Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.

3. Dahlan Z. 2009. Pneumonia, dalam Sudoyo AW, dkk (editor). Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Universitas Indonesia.

4. Allen JN. 2004. Eusinophilic Lung Disease, dalam James CD, dkk (editor). Baum's
Textbook of Pulmonary Diseases. Philadephia: Lippincott W & W.

5. Sajinadiyasa GK, Rai IB, Sriyeni LG. 2011. Perbandingan antara Pemberian
Antibiotika Monoterapi dengan Dualterapi terhadap Outcome pada Pasien
Community Acquired Pneumonia (CAP) di Rumah Sakit Sanglah Denpasar. J Peny
Dalam;12:13-20.

6. Niederman MS, Mandel LA, Anzueto A, Bass JB, Broughton WA, Campbell GD,
Dean N, File T, Fine MJ, Gross PA et al. VICTOR L. YU, M.D. Guidelines for the
Management of Adults with Community-acquired Pneumonia – Diagnosis,
Assessment of Severity, Antimicrobial Therapy, and Prevention. Am J Respir Crit
Care Med 2001; 163: 1730-1754.

7. Summary Executive. Pola Penyakit Penyebab Kematian di Indonesia. Survei


Kesehatan Rumah Tangga (SKRT). 2001: 2.

8. Sudoyo, 2005. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi IV. Penerbit FK UI

9. Dunn, L. Pneumonia : Classification, Diagnosis and Nursing Management. Royal


Collage of Nursing Standard Great Britain. 2007. 19(42). hal :50-54.

10. Wilson LM. Penyakit pernapasan restriktif dalam Price SA, Wilson LM. 2012.
Patofisiologi: konsep klinis prosses-proses penyakit E/6 Vol.2. Jakarta:EGC.
Hal:796-815
11. Mandell LA, Wunderink RG, Anzueto A, et al. Infectious Diseases Society of
America/American Thoracic Society consensus guidelines on the management of
community-acquired pneumonia in adults. Clin Infect Dis 2007; 44: Suppl. 2, S27–
S72. Tersedia di : www.thoracic.org/sections/publications/statements/
pages/mtpi/idsaats-cap.html [Diakses 3 Maret 2017].

12. Luttfiya MN, Henley E, Chang L. Diagnosis and treatment of community


acquired pneumonia. American Family Physician. 2010;73(3):442-50.

13. Task Force on CAP. Philippine Clinical Practice Guidelines on the Diagnosis, 40
Empiric Management, and Prevention of Community-acquired Pneumonia (CAP) in
Immunocompetent Adults. 2010

14. Wexner Medical Center.Community-Aqquired Pneumonia: Pneumonia Severy


Index. Akses oline pada tanggal 3 Maret 2017 di https://internalmedicine.osu.edu
/pulmonary/cap/10675.cfm.

15. Djojodibroto, R.D. Respirologi : Respiratory Medicine. 2013. Jakarta : ECG.

16. Jeremy, P.T. At Glance Sistem Repiratory Edisi II. 2007. Jakarta : Erlangga
Medical Series.

17. Alberta Clinical Practice. Guidelines for the diagnosis and management
community aquuired pneumonia. Akses online pada tanggal 3 Maret 2017 di
http://www.albertadoctors.org/bcm/ama/amawebsite.nsf/alldocsearch/87256D
B000705C3F87256E0500553605/$File/pneumoniapediatrics.pdf

18. Nuryasni. Pola Kepekaan Bakteri Gram Negatif pada Penderita Infeksi Saluran
Pernapasan Bawah terhadap Amoksisilin di Laboraturium Mikrobiologi Klinik
Departemen Mikrobiologi FK UI tahun 2001-2005. 2009. Program Sarjana
Pendidikan Dokter Umum. Universitas Indonesia : Jakarta.

19. National Health Services. Pneumonia : Pneumonia Complication. 2014. Akses


online pada tanggal 3 Maret 2017 di
www.nhs.uk/Conditions/Pneumonia/Pages/Complication.aspx

20. Center of Disease Control and Prevention. Pneumonia: Pneumococcal disease.


2015. Diunduh dari: http://www.cdc.gov/pneumococcal/clinicians/clinical-
features.html. Diunduh paa 3 Maret 2017. 21. World Health Organization. Global
action plan for prevention and control of pneumonia. 2009
21. Agarwal AK, Raja A, Brown BD. Chronic Obstructive Pulmonary Disease.
[Updated 2021 Dec 10]. In: StatPearls. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing;
2022 Jan-. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK559281/

Mosenifar Z. Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD). Medscape. 2020.


https://emedicine.medscape.com/article/297664-overview

Strange C. Alpha-1 Antitrypsin Deficiency Associated COPD. Clin Chest Med. 2020
Sep;41(3):339-345. doi: 10.1016/j.ccm.2020.05.003. PMID: 32800189.

Sutradhar I, Das Gupta R, Hasan M, Wazib A, Sarker M. Prevalence and Risk Factors
of Chronic Obstructive Pulmonary Disease in Bangladesh: A Systematic Review.
Cureus. 2019 Jan 28;11(1):e3970. doi: 10.7759/cureus.3970. PMID: 30956922;
PMCID: PMC6438686.

Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). Global Strategy for
the Diagnosis, Management and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary
Disease: Report. 2021. www.goldcopd.org

Wang Y, Xu J, Meng Y, et al. Role of inflammatory cells in airway remodeling in


COPD. International journal of chronic obstructive pulmonary disease, 2018. 13,
3341–3348. https://doi.org/10.2147/COPD.S176122

Wiest M, Upchurch K, Yin W, et al. Clinical implications of CD4+ T cell subsets in


adult atopic asthma patients. Allergy Asthma Clin Immunol, 2018. 14, 7.
https://doi.org/10.1186/s13223-018-0231-3

Singh D, Agusti A, Anzueto A, Barnes PJ, Bourbeau J, Celli BR, Criner GJ, Frith P,
Halpin DMG, Han M, López Varela MV, Martinez F, Montes de Oca M, Papi A,
Pavord ID, Roche N, Sin DD, Stockley R, Vestbo J, Wedzicha JA, Vogelmeier C.
Global Strategy for the Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic
Obstructive Lung Disease: the GOLD science committee report 2019. Eur Respir J.
2019 May 18;53(5):1900164. doi: 10.1183/13993003.00164-2019. PMID: 30846476.

Anda mungkin juga menyukai