Clear Cell Odontogenic Carcinoma
Clear Cell Odontogenic Carcinoma
TINJAUAN LITERATUR
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Hanson dkk. adalah orang pertama yang mendeskripsikan tumor ini pada
tahun 1985 dan mereka mengklasifikasikannya sebagai tumor odontogenik jinak.
Menurut klasifikasi tumor odontogenik Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada
tahun 1992, CCOC diklasifikasikan sebagai neoplasma jinak dengan kapasitas
invasi lokal. Pada tahun 2003, revisi klasifikasi tumor odontogenik dikemukakan
oleh Reichart dan Philipsen, di mana clear cell odontogenic tumor diidentifikasi
sebagai karsinoma. Pada tahun 2005, CCOC direklasifikasi oleh WHO sebagai
tumor keganasan tingkat rendah, ditandai dengan perilaku destruktif dan agresif
lokal dengan rekurensi lokal, metastasis kelenjar getah bening regional, dan
metastasis jauh yang jarang terjadi.
Meski sudah lama berlalu sejak pertama kali dijelaskan, masih banyak
yang perlu diketahui tentang tumor jenis ini. Epidemiologi, aspek diferensiasi,
faktor prediktif, dan hasil pengobatan masih menjadi topik perdebatan. Di sini
kami melaporkan kasus clear cell odontogenic carcinoma rahang atas pada
seorang pria berusia 41 tahun.
LAPORAN KASUS
DISKUSI
CCOC sering kali muncul sebagai lesi tanpa gejala, tidak menimbulkan
rasa sakit, dan tumbuh lambat, menurut Loyola dkk dan dimensi rata-rata saat
diagnosis adalah diameter 4 cm. Onset nyeri dan mobilitas gigi sering terjadi dan
terjadi sekitar sepertiga pasien, sedangkan perdarahan, paresthesia, dan ulserasi
yang tidak kunjung sembuh lebih jarang dilaporkan. Lesi ini seringkali terlambat
didiagnosis karena tanda-tanda yang tidak jelas dan membingungkan ini, durasi
gejala sebelum di diagnosis dilaporkan antara 47,62–91,9 bulan dengan rentang
1–504 bulan, yang merupakan jangka waktu yang sangat lama untuk suatu
keganasan. Pada kasus kami, pasien adalah laki-laki berusia 41 tahun dengan
riwayat 12 bulan tanpa rasa sakit dan lesi yang semakin meningkat pada gingiva
cekat di regio ke-15.
Gambaran radiologi tidak spesifik dan tidak terdefinisi dengan baik.
Secara radiografis, CCOC mirip dengan lesi rahang osteolitik lainnya dan tidak
ada gambaran radiografi yang khas, gambar sinar-X hampir selalu radiolusen
dengan tepi tidak beraturan, gambaran umum lainnya adalah perforasi kortikal
multipel, resorpsi akar dan dalam beberapa kasus, invasi jaringan lunak juga
ditemukan. Sebagian kecil kasus menunjukkan adanya campuran lesi radiolusen-
radiopak.
Sel bening adalah sel yang bercirikan sitoplasma jernih jika diwarnai
dengan HaematoXylin dan Eosin. Biasanya, sel bening adalah sel sekretorik di
epitel, dan merupakan salah satu komponen kelenjar keringat ekrin. Membran
plasma sel bening terlipat, terutama pada permukaan apikal dan lateral.
Sitoplasma sel bening mengandung sejumlah besar glikogen dan banyak
mitokondria. Sel bening pada lesi juga dapat dihasilkan dari artefak fiksasi,
akumulasi air, glikogen, lipid, musin di sitoplasma, degenerasi hidropik organel,
dan lain-lain. CCOC diidentifikasi oleh proliferasi sel epitel neoplastik dengan
sitoplasma bening yang tersusun dalam pulau dan untaian. Tiga jenis sel dapat
ditemukan di CCOC: sel bening basaloid hingga poligonal, sel eosinofilik pucat
basaloid hingga poligonal, dan sel kolumnar dengan diferensiasi mirip ameloblas.
Bergantung pada proporsi sel-sel ini dalam tumor, tiga subtipe berbeda
dapat dibedakan: (1) monofasik: hampir seluruhnya terbentuk dari sel bening
dengan batas jelas dan inti terletak di tengah; (2) bifasik: ditandai dengan sarang
sel-sel besar berbentuk oval dan linier yang bercampur dengan pulau-pulau kecil
sel poligonal yang lebih kecil dengan sitoplasma eosinofilik; (3) ameloblastik:
ditandai dengan sel kolumnar dengan diferensiasi ameloblastik di perifer pulau.
Selain itu, positifnya antigen membran epitel p63 dan hubungan dengan
lapisan epitel pada CCOC dapat membenarkan asal mukosa daripada kelenjar.
Gambar 2. Karsinoma odontogenik sel bening (HaematoXilin dan eosin,
perbesaran asli 200×).
CCOC, seperti karsinoma sel bening yang menghialin pada kelenjar saliva,
adalah salah satu neoplasma epitel yang diketahui mengandung fusi EWSR1-
ATF1. Oleh karena itu, hubungan antara tumor ini nampaknya bisa terjadi.
Pada kasus kami, kami melakukan reseksi bedah dengan margin jaringan
tulang yang sehat. Tidak ada bukti klinis atau radiografi penyebaran metastasis ke
leher sehingga pengangkatan ganglion tidak dilakukan. Sampai saat ini, satu tahun
setelah operasi, pemeriksaan klinis dan radiologi pasien kami tidak menunjukkan
bukti adanya rekurensi lokal. Karena terbatasnya jumlah data yang tersedia, sulit
untuk menguraikan faktor risiko rekurensi dan metastasis tumor. Tingkat nuclear
pleomorfisme dan hiperkromatisme bervariasi dan tampaknya berhubungan
dengan potensi metastasis tumor yang berbeda. Pengangkatan ganglion masih
diperdebatkan, beberapa indikasinya merupakan bukti adanya invasi jaringan
lunak yang luas, invasi perineural, atau kasus dimana reseksi tumor dengan
margin yang memadai tidak dapat dijamin.
KESIMPULAN