Edisi 29 (Juli 2006)
Edisi 29 (Juli 2006)
M I M B A R K O M U N I K A S I P E T A N I
EDISI 29 - JULI 2006
Harga eceran Rp 3.000,-
Pembaruan Agraria
Tragedi Cisompet
Komnas HAM Kecam Kekerasan di Cisompet
Halaman 5 Halaman 8
Halaman 9
Masyarakat Bantul bergotong-royong membantu memperbaiki rumah rusak karena gempa tektonik yang melanda wilayah mereka, Minggu (4/6).
SALAM
Jangan Usir Rakyat dari Tanah Pertanian
Ketika ada pertemuan petani tingkat desa, percakapan yang kerap muncul adalah bagaimana agar dapat bertani secara aman dan tenang. Dalam forum ini, nama-nama perusahaan berkali-kali meluncur lancar. Walaupun perusahaan itu berbahasa asing namun fasih diucapkan, akrab disebut dan didengar telinga. Betapa tidak, sejak puluhan tahun petani yang berada di daerah pedalaman Sumatra ini bersengketa dengan perusahaan bermodal asing. Pihak perusahaan berkali-kali melakukan kekerasan melalui security-nya, anehnya pihak kepolisian tidak segera menindak. Sebaliknya bila petani masuk perkebunan, dituduh merusak, langsung ditangkap, diadili dan dipenjarakan. Lama juga 11 bulan lebih. Itulah ringkasan kata-kata yang sering didengar oleh pengurus-pengurus dan anggota serikat tani betapa meluasnya dampak konflik pertanahan. Yang paling dirasakan langsung adalah tindak kekerasan atau sebelumnya melalui suatu proses pemaksaan. Bahkan kekerasan itu terjadi tak hanya sekali saja. Bahkan beberapa kali ditempat yang sama, dengan kualitas yang variatif. Peristiwa-pristiwa ini bila ditelusuri lebih jauh ternyata memiliki pola tersendiri. Beberapa yang menonjol adalah dengan cara mengaburkan persoalan utamanya, yaitu konflik pertanahan. Misalnya dengan tuduhan-tuduhan pengrusakan, perbuatan tak menyenangkan, atau tindakan pidana lainnya. Kemudian bila konflik ini berlarut-larut maka pihak perusahaan ataupun pemerintahkarena biasanya dua l e m b a g a i n i l a h ya n g s e r i n g k a l i k o n f l i k menggunakan pendekatan keamanan. Dengan dali berbagai macam untuk mendatangkan aparat kepolisian. Bila sesaat setelah reformasi (tahun 19982003) aparat TNI relatif tak terlibat, sekarang ada indikasi keterlibatan mereka lagi dalam kancah konflik agraria ini. Belajar dari beberapa kejadian misalnya di bulan mei 2006 lalu di Cisompet , Garut pemicunya adalah latihan perang-perangan Kodim diwilayah tersebut, atau seperti pada bulan April 2006, Batalyon Infantri 714 Sintuwu Maroso Poso di Kota Tentena, tepatnya di ibu kota Kecamatan Pamona Utara Kabupaten Poso dalam rangka latihan di lahan mega proyek PLTA Sulewana Poso dalam situasi proyek tersebut mendapat perlawanan dari warga. Itulah beberapa pola operasi yang paling sering digunakan dalam penanganan konflik agraria. Modela lainnya adalah penggunaan mekanisme hukum, pendekatan per-undang-undangan. Kita tahu bahwa sejak tahun 2004 telah disahkan UU No. 18/2004 tentang perkebunan. Sejak disahkan tidak sedikit petani yang mendekam dalam dinginnya penjara akibat begitu represifnya pasal-pasal dalam undang-undang tersebut dan dibarengi begitu agresifnya aparat polisi dan pengadilan untuk menegakkan hukum. Hal ini tak terjadi bila yang mengadukan perkaranya adalah dari pihak masyarakat. Bilapun diproses, maka waktunya akan berbeda sekali bila perusahaan yang melapor. Yaitu begitu lama dan administrasi yang sebgaja diperpanjang. Itulah realitasnya. Semua ini telah dipahami oleh rakyat. Atas kesadaran itulah maka apa-apa yang dilontarkan oleh pejabat negara seperti DPR maupun Presiden atau Wakil Presiden sekalipun selalu mengundang skeptis. Contoh konkrit adalah program revitalisasi pertanian, perikanan, dan kelautan. Program itu diluncurkan pada bulan Juni 2005, banyak impian yang akan diwujudkan walau kerangka besarnya tetap kuasa pasar dan modal. Sisi lain presiden justru mengelurkan Perprs 36/2005. penolakanpenolakan bermunculan, hingga mei 2006 muncul revisinya. Semua bertolak belakang. Tanah-tanah pertanian justru dijadikan obyek spekulasi untuk mengundang investasi. Kepastian hukum ada bagi investor, bukan untuk petani-petani. Kekeringan, hama ataupun banjir itu dianggap siklus alam, bencana yang datangnya dari Tuhan. Jadi tak ada tanggung jawab pemerintah didalamnya. Sirkusnya penguasa ditengah 13,6 juta petani bertanah yang hanya 0,5 ha, dan 15% keluarga petani mengalami pengurangan pendapatan. Kesesakan ini disertai dengan berbagai tindak kekerasan yang dialami petani. Padahal bagi negara sekaliber Amerika sekalipun pertanian itu menjadi tulang punggung dan tak akan menyerahkan urusan perut kepada siapapun. Cerminan ini secara jelas dinyatakan seorang senator di Amerika pada tahun 1982,bila kita ingin menghimpun dan memimpin orang, serta membuat mereka tergantung, terus mau bekerja untuk kita, itu adalah dengan cara membuat mereka ketergantungan makan dengan kita. Artinya silakan usir petani dari tanah pertanian, import kacang kedelai, gandum, daging sapi dan segera bangun perkebunan-perkebunan besar untuk eksport, segera bangun infrastruktur untuk memfasilitasi masuknya investasi, lakukan terus tindak kekerasan di tanah-tanah pertanian serta datangkan investasi asing sebanyak-banyaknya. Atau jalankan reforma agraria, sediakan kredit murah bagi petani, proteksi petani dari serbuan hasil produksi pertanian luar negeri, bangun teknologi pertanian yang murah, massal dan mudah. Itu hanya tinggal pilihan, apaka kita sebagai bangsa menikmati keterjajahan atau ingin bangkit melawan. Karena bagi petani, apapun resikonya pilihannya adalah jelas, ingin sejahtera, adil dan merdeka.
Pemimpin Redaksi: Achmad Yakub; Redaktur Pelaksana: Cecep Risnandar Redaktur: Muhammad Ikhwan, Tita Riana Zen, Wilda Tarigan, Tejo Pramono Reporter: Umran S (NAD), Edwin Sanusi (Sumatera Utara), Fajar Rilah Vesky (Sumatera Barat), Tyas Budi Utami (Jambi), Agustinus Triana (Lampung), Atep Toni, Usep Saeful, Dimas Barliana, Harry Mubarak (Jawa Barat), Edi Sutrisno, Ngabidin (Jawa Tengah), Muhammad Husin (Sumatera Selatan), Mulyadi (Jawa Timur), Marselinus Moa (NTT). Penerbit: Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI) Penanggung Jawab: Henry Saragih Pemimpin Umum: Zaenal Arifin Fuad Sekertaris Redaksi: Tita Riana Zen Keuangan: Sriwahyuni Sirkulasi: Supriyanto, Gunawan Alamat Redaksi: Jl. Mampang Prapatan XIV No.5 Jakarta Selatan 12790. Telp: +62 21 7991890 Fax: +62 21 7993426 Email: pembaruantani@fspi.or.id website: www.fspi.or.id
Redaksi menerima tulisan, artikel, opini yang berhubungan dengan perjuangan agraria dan pertanian dalam arti luas yang sesuai dengan visi misi Pembaruan Tani. Bila tulisan dimuat akan ada pemberitahuan dari redaksi.
KABAR TANI
UTAMA
Tragedi Cisompet
elasa 30 Mei 2006, sekelompok massa yang terorganisasi menyerang Desa Sindang Sari, Kecamatan Cisompet, Kabupaten Garut secara brutal. Akibat penyerangan tersebut belasan rumah dan gubuk petani dibakar serta 10 hektar lahan pertanian dibabat habis. Kejadian berlangsung selama dua hari. Para petani penghuni desa pun tunggang langgang ketakutan. Ratusan orang diantaranya mengungsi menjauh keluar desa. Siapapun pelakunya, jelas perbuatan tersebut sangat biadab. Atas dasar itu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) dan Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI) segera melakukan investigasi. Dan, hasilnya cukup mencengangkan. Berbagai kejadian yang mirip-mirip sebuah konspirasi mulai terkuak. Setidaknya hal ini tergambar dalam laporan investigasi PBHI yang ditulis Ali Imron Lubis dan Riandi
Tambunan. Beberapa hari sebelum terjadi penyerangan, tepatnya tangal 24 Mei, masyarakat mulai resah dengan adanya kegiatan Kodim 0611 yang menggelar latihan bela negara di atas lahan pertanian warga. Keresahan masyarakat bukannya tanpa alasan mengingat lahan yang mereka tanami masih disengketakan dengan pihak PTPN VIII. Tak heran apabila kegiatan Kodim di tempat itu menuai kecurigaan. Tampaknya prasangka warga tidak meleset. Sehari berikutnya, latihan bela negara yang diikuti 600 personil itu dilanjutkan dengan pembuatan lubang-lubang penetrasan untuk tanaman karet. Saat itu masyarakat tidak boleh memasuki lahan, ujar pengakuan seorang petani yang tidak mau disebut namanya kepada PBHI. Bahkan hari-hari selanjutnya, pohon-pohon yang ditanam warga diatas lahan itu mulai ditebangi. Puncaknya, tanggal 28, dilakukan penanaman pohon karet oleh Dandim
Garut. Masyarakat tak tinggal diam, sambil membawa pohon yang ditebang mereka melaporkan perusakan itu ke Polsek Cisompet. Hanya saja tidak ada tindak lanjut dari aparat kepolisian. Menurut laporan PBHI, pada tanggal 31 Mei, masyarakat Desa Sindang Sari dikejutkan dengan kedatangan serobongan massa, sekitar 600 orang dengan menggunakan 6 truk ke kampung mereka. Massa yang beringas itu membawa samurai, golok, parang dan juga bensin. Dengan serta merta, mereka melakukan pembabatan tanaman pisang, cabe dan tanaman keras dilahan seluas 31 Ha milik penduduk Desa Sindang Sari. Hanya dalam selang waktu 2 jam empat rumah dan 13 Gubuk dibakar, termasuk beberapa domba dan kambing dipotong dan dicacah secara brutal. Didorong oleh rasa ketakutan, seluruh warga berlarian meninggalkan rumah dan lahan mereka, tanpa membawa apapun, bahkan sampai ada
yang menghilang beberapa hari (tidak pulang) karena trauma, dan merasa takut. Melihat keadaan rumah yang kosong, para pelaku menjarah makanan dan menguras kolam ikan milik warga. Di lokasi kejadian tidak terlihat adanya antisipasi dari aparat kepolisian. Padahal, Yushufik Lansari, seorang wartawan independen melihat polisi di sekitar tempat kejadian. Wartawan tersebut sempat merekam beberapa bagian aksi penyerangan dan kehadiran aparat polisi. Bahkan, Yushufik sempat disandera oleh para preman yang melakukan penyerangan. Dari sederet perangkat hukum yang dimiliki negara ini, hanya Komnas HAM yang terhitung cepat melakukan investigasi. Pada hari Jum'at, 16 Juni, enam anggota Komnas yang dipimpin Amidhan dan Hasballah M Saad melawat ke Kampung Benjang, Desa Sindang Sari untuk melakukan investigasi awal. Cecep Risnandar
UTAMA
PENDAPAT
Oleh Al Imron Lubis dan Riando Tambunan Keduanya bekerja di Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI)
Seringkali masalah yang ada di negeri ini diselesaikan dengan kekerasan, seolaholah hukum tidak berfungsi, sudah banyak para petani yang menjadi korban kekerasan oleh pihak-pihak yang mempunyai kekuasan
serangan berupa pembakaran rumah penduduk dan penganiayaan. Ada beberapa fakta-fakta yang menunjukan bahwa serangan dilakukan secara brutal dan terencana oleh 600 orang yang tidak dikenal. Para perlaku datang dengan menggunakan kendaraan truk bersenjata samurai, golok/parang dan juga bensin. Mereka melakukan pembabatan tanaman pisang, cabe yang merupakan tanaman para petani dilahan seluas 31 hektar milik penduduk desa Sindang Sari.
melakukan pelaporan ke pihak polisi namun pelaporan sudah dua minggu tidak ada tindakan dari pihak polisi. Hal ini membuktikan bahwa pihak aparat kepolisian masih lemah, masih loyo, penegak hukum kita masih kendor. Hati nurani pihak aparat kita masih condong kepada pemegang kekuasaan. Padahal kalau kita mengacu pada Undang-undang No. 2 tahun 2002, tentang kepolisian Republik Indonesia, secara tegas dalam pasal (13) bab III tugas dan wewenangnya
NASIONAL
3.155 warga terpaksa mengungsi. Pasalnya-belum ada penanganan secara serius terhadap lumpur panas yang menjadi sumber masalah baru di Porong-Sidoarjo
NASIONAL
perkotaan. Banyak sekali desa dan wilayah pertanian yang mengalami hal serupa. Sebagai organisasi tani, kami merasa terpanggil untuk memberikan solidaritas terhadap korban gempa, tutur Somairy, dari Serikat Petani Jawa Tengah (SP Jateng). Oleh karena itu pihaknya segera menghubungi Federasi serikat Petani Indonesia (FSPI) untuk mengumumkan dan memobilisasi bantuan dari anggotanya yang tersebar di 12 propinsi di Indonesia. Untuk mengkoordinasikan bantuan, para pengurus Serikat Petani Jawa Tengah membentuk posko dan panitia pelaksana teknis di Kampung Tanubayan, Kabupaten Bantul. Dari posko tersebut, bantuan disistribusikan ke berbagai tempat yang belum tersentuh bantuan terutama di wilayah-wilayah pedesaan. Sekjen FSPI, Henry Saragih, mengatakan solidaritas bantuan yang diberikan kepada masyarakat korban gempa jangan sampai menyebabkan ketergantunan masyarakat terhadap bantuan. Ia meyakini masyarakat sendiri
sesungguhnya mampu bangkit dari keterpurukan akbiat bencana mengingat nilai-nilai kekeluargaan dan gotong-royong warga sangat kuat. Untuk menghindari ketergantungan terhadap bantuan, dalam jangka panjang ia mengharapkan agar setiap bantuan harus menghidupkan kembali roda perekonomian di daerah bencana. Bagi kaum tani, misalnya, bantuan harus mendorong agar mereka cepat kembali ke ladang-ladang pertanian dan berproduksi kembali. Dengan begitu, masyarakat lokal mampu membangun kembali kadaulatan pangannya secara mandiri sehingga dalam jangka panjang tidak terus tergantung pada bantuan dari luar. Dalam hal ini, setiap bantuan yang diberikan FSPI ditujukan untuk menguatkan peran masyarakat sendiri untuk bangkit dari keterpurukan. Ia juga menambahkan, dengan adanya bencana bukan berarti harus menerima utang baru yang akan menyengsarakan rakyat lebih luas lagi. Cecep Risnandar
NASIONAL
POSKO. Posko solidaritas FSPI di Dusun Tanubayan, Bantul. Di tempat ini bantuan dari anggota FSPI dikumpulkan untuk didistribusikan kepada korban bencana.
kentang, caisim, kol dan seledri dari ladang-ladangnya. Bantuan berdatangan juga dari berbagai wilayah anggota FSPI lainnya. Bantuan juga datang dari petani anggota FSPI dari Wonosobo yang memberikan sayuran segar kepada korban gempa di dusun Tanubaya, Bantul. Bantuan di sa l u r k a n m e l a l u i Posk o Solidaritas FSPI di dusun itu. Sayuran tersebut dipanen langsung dari lahan para petani. Agus Rully, Deputi Ekonomi FSPI mengatakan bahwa dengan luasnya bencana ini, FSPI akan berusaha untuk memperluas jangkauan pelayanan bantuan. Saat ini, tim sedang mengkaji untuk menambah jumlah posko bantuan, juga akan dilakukan survei ke wilayah lainnya seperti Kabupaten Klaten dan Daerah Wonosari, Gunung Kidul. Tim juga akan mengkaji rencana penanggulangan bencana pasca tanggap darurat. Sekjen FSPI Henry Saragih, menyerukan kepada seluruh anggota FSPI dari berbagai wilayah untuk segera memberikan respon kepada korban gempa. Bantuan bisa disalurkan lengsung ke SP Jateng yang menjadi koordinator bantuan FSPI di Jogja dan Jawa Tengah, tutur Henry. Lebih jauh, Henry mengatakan banyak petani yang menjadi korban bencana dan irigasi yang rusak. Petani di seluruh Indonesia harus peduli dengan penderitaan kawan-kawannya di Jogja. Oleh karena itu FSPI sebagai induk organisasi serikat petani akan memfasilitasi dan menyalurkan berbagai bantuan tersebut. Pasca tanggap darurat, hal yang penting dilaksanakan di wilayah gempa adalah memperkuat basis produksi pertanian untuk menghindari rawan pangan. Perbaikan sarana pertanian mendesak dilakukan agar masyarakat yang terkena bencana tidak tergantung terus menerus dengan bantuan pangan dari luar. Petani harus sesegera mungkin menjalankan produksinya lagi, tambah Henry. Ia juga mengecam bantuan pangan yang didatangkan secara impor. Menurutnya, bantuan pangan impor tidak mendidik dan dapat menyebabkan ketergantungan petani yang berkepanjangan. Kedaulatan pangan sangat penting diterapkan di wilayah bencana, tandasnya. Henry melanjutkan, roda perekonomian di wilayah bencana lumpuh total. Oleh karena itu perlu ada stimulan agar petani kembali mengerjakan ladangnya. Di daerah Bantul, pertanian masih menjadi tumpuan mata pencaharian masyarakatnya. Cecep Risnandar
MUSYAWARAH. Warga Tanubayan sedang bermusyawarah membuat perencanaan kerja dalam rangka pendistribusian bantuan darurat dari FSPI.
NASIONAL
Henry Saragih (kiri), dalam diskusi Focus Group Discusion Pasca ICAARD, di Jakarta, Kamis (22/6).
10
NASIONAL
Puluhan Aktivis Protes Mabes Pori
Sekitar 30 oarang aktivis dari berbagai organisasi mendatangi Mabes Polri untuk memprotes kekerasan aparat kepolisian terhadap para petani di Tanak Awu, Jumat (23/6). Mereka menganggap bentrokan yang terjadi di Tanak Awu antara aparat dan petani hari Rabu lalu, dipicu oleh tindakan provokatif aparat Pemda NTB yang melakukan pengukuran tanah diatas tanah sengketa antara petani dengan PT Angkasa Pura. Demonstran menuntut agar Mabes Polri menindak aparatnya yang melakukan tindak kekerasan. Karena selama ini, dalam konflik agraria di Tanak Awu rakyat selalu menjadi korban. Sedangkan aparat malah melindungi dan memfasilitasi pihak pemodal. Organisasi yang mengikuti aksi tersebut antara lain FSPI, FMN, FPPI, FAM UI dan PBHI. Ikhsan, yang juga mantan Kapolri pagi ini di Hotel Jayakarta Senggigi, Mataram.Kepada para petani Kusparmono mengatakan Komnas HAM akan segera menindaklanjutinya. "Saya sudah menelepon Polda untuk menarik pasukannya", ujarnya. Menurut Wahidjan, bentrokan disebabkan oleh kegiatan pengukuran tanah oleh pihak PT Angkasa Pura yang akan membangun Bandara diatas lahan yang digarap para petani Tanak Awu. Petani merasa terganggu dengan kegiatan tersebut, karena selama ini tanah tersebut masih disengketakan warga dengan PT Angkasa Pura. Kegiatan pengukuran yang dilakukan aparat Pemda dikawal oleh kurang lebih 10 truk pasukan Brimob dan ratusan pasukan perintis kepolisian. Menurut penuturan warga setempat, dalam barisan pengawal Pemda terdapat 50 orang preman Pamswakarsa. Pengawalan besar-besaran tersebut memprovokasi petani. Para petani takut lahan mereka akan digusur. Petani Tanak Awu menghadang petugas pengukur tanah karena mereka sedang menunggu panen semangka di atas lahan tersebut. "Selesai panen dua bulan lagi," ujar Wahidjan. Bentrokan dipicu ketika salah seorang warga diwawancarai wartawan. Kemudian aparat menangkap warga tersebut sehingga menimbulkan prasangka buruk warga yang menghadang pengukuran. Akhirnya terjadi keributan yang menyebabkan seorang warga terkena tembakan. Sekretaris Jenderal FSPI, Henry Saragih mengutuk bentrokan tersebut. Menurutnya, polisi seharusnya menjadi pelindung dan pengayom masyarakat bukan malah melakukan tindakan represif demi membela kepentingan pemodal. "Tindakan semacam itu sangat melukai hati rakyat dan melanggar HAM. Petani sudah dikebiri kebebasan politiknya dan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya petani pun dipinggirkan," tandas Henry. Cecep Risnandar
11
INTERNASIONAL
WTO Sekarat
Mari Elka Pangestu mungkin salah satu dari menteri yang kini mulai sadar, bahwa di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO): negara tidak bisa hanya bermimpi. Menteri Perdagangan RI itu kini tak pelak harus merenungi nasib Indonesia. Sementara mimpi mendapat untung tak terwujud, perdagangan bebas malah semakin merugi terutama bagi negara macam Indonesia. Negara berkembang adalah negara yang paling merugi selama 11 tahun sudah WTO berdiri. Sudah lelah dikadali, belakangan negara-negara ini mulai bersuara. Sejak 2003 (terutama pertemuan WTO di Cancun), peran negara-negara ini makin menanjak. Dan tak lain dan tak bukan, hampir seluruhnya adalah negara yang mengandalkan pertanian sebagai jalan hidup rakyatnya. Indonesia contoh kasusnya: jika tak kudu melindungi pertaniannya terutama beras maka sektor ini dapat diramalkan akan tumbang perlahan. Impor beras mulai tahun 1988 adalah hal menyedihkan yang harus diterima rakyat, padahal negara kita punya semuanya: tanah, manusia, hingga sumberdaya agraria yang kaya. Di era 1990-an, WTOlah yang memaksakan pembukaan pasar hingga Indonesia terus mengimpor beras hingga sekarang. Akibatnya jelas, petani yang selalu merugi; pasar dan harga domestik tidak terlindungi, pendapatan turun, kehidupan petani terancam. Jurang lebar Era tahun 2000-an, negara berkembang mengusulkan perlindungan produk pertanian dalam WTO. Usulan ini disebut produk khusus (special product), yang kini menebar badai di WTO. Inilah jurang lebar antara negara maju dan berkembang; antara rakyat biasa dan pedagang; antara kehidupan dan laba. Usulan perlindungan produk pertanian ditahan oleh pihak negara maju dan korporasi pertanian. Alih-alih, mereka malah mengusulkan pembukaan pasar lagi dan lagi. Yang miskin tambah miskin, yang kaya tambah kaya? Sudah berbusa ludah para perunding. Sudah hampir lima tahun pula perundingan stagnan. Mulai dari Doha hingga Cancun, Jenewa ke Hong Kong, balik ke Jenewa lagi, dan kini perundingan sekarat. Akhirnya, perundingan mini di Jenewa di akhir Juni lalu kolaps. Jurang terlalu lebar antara keserakahan negara maju (diwakili AS, Uni Eropa, Jepang, Australia, Brazil dan India) untuk mencaplok negara lainnya. Ketidakadilan dan kebusukan yang disembunyikan akhirnya disadari juga oleh anggota WTO, walau sepertinya terlambat 11 tahun. Jurang lebar ini mencerahkan posisi perjuangan rakyat, terutama organisasi tani. Petani yang telah lama berjuang akhirnya mendapat legitimasi akan tuntutan hak-haknya. Pertanian bukan hanya komoditas dagang, dan perlu aturan global yang adil untuk perdagangan. Perdagangan bebas hanya mengancam kehidupan petani kecil, buruh, dan rakyat miskin pada umumnya. Yang diuntungkan hanyalah pedagang dan produsen besar, diwakili oleh perusahaan transnasional raksasa yang kian mendominasi kehidupan. Kehidupan yang terancam selama berdirinya WTO sekarang tentunya harus lebih disadari banyak orang. Dan bahanyanya tidak hanya di bidang pertanian dan bahwa perdagangan bebas mengincar juga sektor jasa dan industri. Muhammad Ikhwan
Kilas Internasional
Harapan Bagi Kedaulatan Pangan
Kegagalan perundingan WTO, terutama di sektor pertanian membuat perjuangan petani semakin gegap gempita. Dampak aturan paksaan WTO menurut laporan La Via Campesina, sangat pahit: Perdagangan bebas yang dipromosikan ternyata membuat angka kemiskinan meningkat dan nafkah petani terancam bahaya. Agenda Doha, yang disebut Agenda Pembangunan oleh WTO malah membuat petani kehilangan pekerjaannya. Hal ini juga didukung oleh kebijakan neoliberalisme yang kini mengancam dunia. Hampir seluruh perjanjian perdagangan baik banyak negara (multilateral) maupun antarnegara (bilateral) dipaksakan dengan cara perdagangan bebas. Hal ini tentunya juga mengancam kedaulatan pangan rakyat. Menurut siaran pers La Via Campesina di Jenewa, yang dibutuhkan adalah aturan alternatif yang tidak melegalkan dumping (politik jual murah). Harga susu hasil dumping Uni Eropa akan menghancurkan peternakan Indonesia, beras dumping dari AS sudah menghancurkan pertanian beras Indonesia, dan sebagainya. Petani di seluruh dunia menuntut pemerintah untuk mempertahankan hak rakyat atas kedaulatan pangan daripada kebijakan neoliberal. Sekaratnya perundingan WTO membawa harapan bagi kedaulatan pangandan kesempatan untuk mereformasi kebijakan pertanian dan jalan menuju perdagangan yang adil.
JENEWA. Pintu gerbang markas besar WTO di Jenewa diprotes aktivis anti neoliberalisme. Di tempat ini setiap keputusan WTO dirundingkan untuk dibawa ke sidang tingkat menteri. Beberapa kali pertemuan tingkat menteri WTO mengalami kegagalan, seperti di Seattle dan Cancun
12
INTERNASIONAL
Pembaruan Agraria
Jose Cespedes tertunduk lesu. Semenjak Juni 2006 kemarin, pemerintah Bolivia, sebuah negara di Amerika Latin menjalankan program negara yang ditunggutunggu petani: Revolusi Lahan.
Muhammad Ikhwan
Jose adalah salah satu dari petani kaya yang memiliki beribu-ribu hektar tanah pemerintah. Dengan adanya revolusi lahan, tanah itu harus dibagi-bagi ke petani miskin dan tak bertanah di Bolivia. Jose, salah satu orang terkaya di Bolivia kini memprotes kebijakan bagi-bagi lahan tersebut. Bersama kelompok petani kaya, ia menggalang kekuatan untuk menentang redistribusi lahan Bolivia. Pemerintah tak peduli, karena dampak pembagian lahan ini bagi kehidupan rakyat Bolivia dipercaya nyata. Tanggal 3 Juni lalu, dieksekusilah tindakan pemerintah untuk membagikan 3,1 juta hektar lahan untuk 60 kelompok masyarakat petani Indian. Pembaruan Agraria Tindakan pemerintah Bolivia ini adalah salah satu pelaksanaan pembaruan agraria, yang diharapkan bisa menyejahterakan kehidupan petani. Lebih dari setengah penduduk Bolivia adalah petani yang umumnya secara tradisional menanam koka, termasuk Presiden Evo Morales yang asli Indian. Menurut Evo, redistribusi lahan ini tidak melanggar hukum, dan malah menegakkan hukum. Lagipula yang dibagikan adalah tanah milik pemerintah, jadi tentunya tidak ada masalah. Berbeda dengan di Indonesia, keinginan politik serta tindakan langsung semacam ini tidak pernah kita rasakan. Disini yang merana bukan petani kaya yang dibagi lahannya, melainkan tetap si
LAND REFORM. Tanah-tanah kosong dan perkebunan telantar menjadi objek land reform di Bolivia
miskin yang tanahnya kecil atau malah buruh tani yang tak bertanah. UU Pokok Agraria 1960 padahal menjadi landasan hukum pokok untuk meredistribusi lahan untuk dibagikan dengan tujuan kesejahteraan rakyat, terutama petani. Pembagian 3,1 juta hektar lahan tadi merupakan rencana besar Presiden Evo Morales yang juga petani. Ia mendambakan kesempatan yang sama, otonomi, dan terutama akses kepada lahan pada seluruh campesinos (petani) yang ada di negara tercintanya. Hal ini sudah menjadi pandangannya sejak bergabung dalam Partai MAS (Movimiento Al Socialismo), dan kampanye-kampanyenya menuju kursi kepresidenan. Kini tak hanya di mulut dan janji belaka, ia pun melaksanakannya sepenuh hati. Di masa depan, ia mengatakan bahwa seperlima dari seluruh lahan pemerintah di Bolivia akan dimiliki oleh petani. Kebijakan ini menyusul kebaikan-kebaikan Evo Morales lainnya, seperti memotong separuh gajinya untuk pembukaan lapangan kerja, dan nasionalisasi aset hidrokarbon (minyak dan bahan tambang lain) untuk dimiliki hanya untuk dalam negeri. bahwa sesungguhnya sektor pertanian di Bolivia keadaannya memang mengenaskan. Bayangkan saja, 90% lahan pertanian ternyata dimiliki oleh beberapa keluarga. Sementara, sisa 10% lahan pertanian dibagi oleh 3 juta petani miskin. Sudah bertahun-tahun lamanya penindasan ini berlangsung, dan saat pembaruan agraria sejati dilaksanakan rakyat tertindaslah yang akan bersorak. Tidaklah mudah melaksanakan pembaruan agraria sejati, tentunya. Pemerintah Bolivia juga menyadari hal tersebut, namun pemerintah menjamin adanya pengelolaan lahan yang berkelanjutan serta distribusi lahan yang adil. Kebutuhan terbesar saat ini adalah penentuan kembali wilayah lahan mereka, dan pembagian yang adil. Demikian cetus Wilson Chacaray, pemimpin suku Indian Guarani. Hal ini terjadi karena para pemilik tanah, perusahaan-perusahaan asing, dan partai-partai politik yang selama ini mendominasi negara ini telah mengambil tanahtanah kita dan oleh karena itu semua hidup dalam kemelaratan.Tujuan akhirnya adalah untuk memperkecil jurang kemiskinan di tengah masyarakat.
Dicinta rakyat, dibenci pengusaha Ribuan petani suku Indian langsung menyambut pidato presiden untuk melaksanakan revolusi lahan ini di Santa Cruz, Bolivia. Sudah puluhan tahun rakyat tani dipinggirkan di Bolivia, dengan pertanian dikuasai hanya oleh segelintir keluarga kaya. Keluarga kaya yang bergerak di bidang agrobisnis inilah yang diwakili oleh Jose Cespedes, yang kini menentang keras program revolusi lahan. Pihak penguasa menuding Evo terlalu berpihak kepada Venezuela dan Kuba, dan intervensi asing ini mengakibatkan Bolivia terancam oleh tindakan-tindakan yang didasarkan ideologi, politik, dan pengaruh luar negeri. Akan tetapi, Pemerintah Bolivia, Sabtu, membalasnya dengan mengatakan para pemimpin bisnis itu sebagai "pengkhianat". Agaknya ini merupakan wanti-wanti pemerintah Bolivia agar para pengusaha juga harus berpihak kepada rakyat kecil dan tidak tamak melindungi asetnya yang sudah menggunung. Kecintaan petani dan kebencian pengusaha sebenarnya bisa dijelaskan dengan fakta kecil,
13
INFO PRAKTIS
buah nenas 100 gram Alat 1) Alat penggorengan (wajan atau sodet) 2) Pisau 3) Panci dan alat pengaduk 4) Alat penghancur bumbu (cobek dan ulekan) 5) Parutan 6) Penyaring dan kain saring 7) Botol dan tutup yang sudah disterilkan
kemudian campurkan ke dalam daging keong sawah tadi; 3) Bubuhi campuran tersebut dengan garam halus 60 gram dan gelatin; 4) Setelah itu disimpan selama 3 hari sambil dipanaskan pada suhu kira-kira 500 C (di atas api kecil dengan tanda air mulai keluar asap); 5) Tambah air sebanyak 1,2 liter, kemudian masak pada suhu 700~800 C (ditandai dengan adanya gelembung-gelembung kecil);
AGRARIANA
Presiden: Gempa Jogja bukan bencana nasional Bencana nasional atau bukan yang penting penanganan cepat tanggap Polisi hanya berpangku tangan dalam kasus Cisompet Bukan berpangku tangan tapi tidak ada petunjuk dari atas Serikat Petani Pasundan bangun sekolah gratis bagi anak-anak petani Pemerintah menaikan anggaran pendidikan dan juga menaikan bayaran sekolah?! Rakyat Bolivia senang, pemerintahnya menjalankan program revolusi lahan Rakyat Indonesia hanya mendengar janji yang tinggal ajnji saja
Lumpur panas PT Lapindo mungkin saja gejala alam Gejala alam yang disebabkan ulah manusia serakah!
Komnas HAM langsung menginvestigasi dan mengusut kasus kekerasan terhadap petani di Cisompet Usut terus sampai kusut, namun tak pernah ada hasil
14
REFLEKSI
15
SERIKAT TANI
KONGRES. Kongres SPKS di Pang Bliran Cottages, Sekitar 10 km arah barat kota Maumere, NTT. Jumat (28/7).
Petani harus bersatu melawan kekuatan neoliberalisme. Hal tersebut menjadi tema utama Kongres Ke-2 Serikat Petani Kabupaten Sikka (SPKS), Nusa Tenggara Timur yang digelar dari tanggal 24 hingga 27 Mei lalu. Kongres memilih kembali Fabianus Toa sebagai ketua SPKS periode 2006/2010. Kongres yang diadakan di Pang Bliran Cottages, sekitar 10 km arah Barat kota Maumere itu diramaikan dengan rangkaian aksi massa dan seminar. Kongres dibuka dengan pawai massa keliling kota Maumere. Sekitar 1000 petani anggota SPKS meramaikan aksi massa ini. Mereka menuntut keadilan hukum bagi kaum tani dan peningkatan kesejahteraan keluarga tani. Aksi dimulai depan kantor SPKS di Jl. Gajah Mada kemudian bergerak melewati jalan-jalan utama di kota Maumere. Aksi berakhir di Lapangan Umum Kota Baru yang diisi dengan orasi politik.
Marselinus Moa
816 10 10