Anda di halaman 1dari 36

1

BAB I PENDAHULUAN
Penyakit trofoblastik gestasional adalah sekelompok penyakit yang berasal dari khorion janin. Dapat terdiri dari mola hidatidosa, mola invasif, koriokarsinoma dan tumor trofoblastik di tempat implastasi plasenta yang lebih dikenal dengan placental site trophoblastic tumor (PSTT) yang ditandai oleh abnormal. Mola hidatidosa merupakan bentuk jinak dari penyakit trofoblas gestasional dan dapat mengalami transformasi menjadi bentuk ganasnya yaitu koriokarsinoma. Koriokarsinoma tidak selalu berasal dari mola hidatidosa namun tidak jarang berasal dari kehamilan normal, prematur, abortus maupun kehamilan ektopik yang jaringan trofoblasnya mengalami konversi menjadi tumor trofoblas ganas. Bila seorang wanita menderita koriokarsinoma dan mempunyai riwayat kehamilan biasa dan mola sebelumnya, maka dengan pemerikasaan DNA kita dapat menentukan apakah koriokarsinoma ini berasal dari mola atau kehamilan biasa. Tumor trofoblastik di tempat implantasi plasenta merupakan tumor trofoblas gestasional yang berasal dari sel-sel trofoblas pada tempat implantasi plasenta dan memiliki gambaran klinik yang berbeda dengan tumor trofoblas gestasional lain. Tetapi penelitian sitogenetik, imunohistokimia menunjukkan perbedaan yang jelas dalam etiologi morfologi dan perilaku klinis. Dari berbagai penelitian dan laporan klinisi menunjukkan pentingnya klasifikasi histologis yang seragam untuk memastikan penanganan klinis yang sesuai. Namun istilah penyakit trofoblas ganas (PTG) tetap memiliki kegunaan klinis karena prinsip monitoring hCG dalam follow up dan kemoterapi dari penyakit metastatik yang serupa. Di negara-negara yang sudah maju pengelolaan mola hidatidosa dan tumor trofoblas gestasional tidak merupakan masalah karena sebagian besar telah terdiagnosis pada stadium dini, sebaliknya dinegara-negara yang sedang berkembang pada umumnya diagnosis terlambat maka penyulit-penyulit seperti perdarahan, tirotoksikosis, invasi dan metastasis tumor masih menjadi salah satu penyebab kematian ibu. proliferasi jaringan trofoblastik yang

BAB II PEMBAHASAN
I. IMUNOHISTOKIMIA MORFOLOGI TROFOBLAS NORMAL Kehamilan normal adalah suatu allograf dengan separuh kromosom berasal dari ibu dan separuh lainnya berasal dari paternal. Sel trofoblas dari kehamilan normal (sitotrofoblas dan sinsitiotrofoblas) pada awalnya menunjukkan sifat-sifat ganas, cepat membelah, menginvasi bahkan bermetastasis. Sesudah sembilan bulan terjadi pemisahkan graf plasenta dari ibu secara sempurna. Dengan demikian terminasi kehamilan berlangsung dengan baik dan pertumbuhan sel trofoblas dapat terkontrol dan berhenti secara spontan. Koriokarsinoma merupakan pertumbuhan yang tak terkontrol dan neoplastik dari trofoblas, sito dan sinsitiotrofoblas dalam kuantitas yang berbeda. Pada plasenta normal, tumor yang tumbuh berkaitan dengan vili korionik yang disebut sebagai trofoblas vilus dan trofoblas pada lokasi lain disebut trofoblas ekstravilus. Ada 3 tipe sel yang diketahui, yaitu : sitotrotrofoblas, sinsitiotrofoblas, dan trofoblas intermediet. Trofoblas vilus terdiri dari sitotrotrofoblas dan sinsitiotrofoblas dan sedikit trofoblas intermediet. Sebaliknya trofoblas ekstravilus yang menginfiltrasi dengan sedikit sitotrotrofoblas dan sinsitiotrofoblas. Trofoblas ekstravilus terdiri dari sel mononukleus dengan sitoplasma eosinofilik padat. Secara imunologis kimia tercat positif untuk hPL dan sitokeratin, sedikit lemah untuk hCG dan untuk plasental alkalin fosfatase (PLAP). Istilah trofoblas intermediet telah diajukan untuk trofoblas nonvilus dan memiliki gambaran morfologi, fungsional sitotrofoblas dan sinsitiotrofoblas. Sampai saat ini fungsi dan perbedaan fisiologis dari tipetipe ini masih diteliti oleh para ahli. A. Imunohistokimia Sejumlah besar hormon protein, steroid dan eosin seperti hCG, hPL, Pregnancy spesifik BI glikoprotein (SP-I), plasental protein G, Pregnancy associated plasma protein desidua, miometrium dan arteri spiralis di plasental site terutama terdiri dari trofoblas intermediet

3 A, estradiol, progesteron dan plasental alkaline fosfatase dapat dilokalisir di plasenta. Kebanyakan produk ini dihasilkan oleh sitotrofoblas. Trofoblas intemediet mengadung hPL dalam jumlah besar yang mulai pada hari ke 12 dan tetap ada sampai 6 minggu, setelah itu menghilang. Sitotrofoblas tidak mempunyai hCG/hPL. Sinsitiotrofoblas mengandung hCG dalam jumlah besar pada hari ke 12 sampai minggu ke 8 10. Pada plasental site, hPL membantu membedakan trofoblas intermediet dengan desidua dan sel otot polos. Karena sel trofoblas juga adalah sel epitel, maka imunohistokimia untuk keratin juga membantu mengidentifikasi jaringan lain. B. Mikroskopis Pada gestasi normal, sitotrofoblas terdiri dari sel epitel primitif yang uniform dan poligonal seperti berbentuk oval. Sitotrofoblas memiliki nukleus tunggal, sitoplasma jernih sampai granuler dan batas sel yang jelas dan aktivitas mitotik terlihat jelas. Sinsitiotrofoblas terdiri dari sel multinuklear, besar, dengan sitoplasma amfofilik dengan vakuol multipel yang bervariasi ukurannya dan beberapa dengan lakuna. Nukleus sinsitiotrofoblas berwarna gelap dan terkadang piknotik dan tidak ada aktivitas mitotik. Trofoblas intermediet umumnya adalah sel mononuklear, tetapi terkadang ada juga yang mempunyai inti lebih dari satu. Bentuknya dapat bervariasi, mulai dari sel polihedral sampai berbentuk spindel, sel bipolar dengan proses sitoplasmik. Sitoplasmanya banyak dan berwarna eosinofilik sampai amfofilik. Vakuolanya kecil dan terpisah. Nukleusnya memiliki batas nukleus ireguler dan hiperkromatik, terkadang berlobulasi membentuk celah yang dalam. Nukleus trofoblas intermediet lebih kecil dan lebih jelas bila dibandingkan dengan sitotrofoblas. Trofoblas intermediet menginfiltrasi desidua, miometrium dan pembuluh darah, meyelip diantara sel normal. Material fibrinoid eosinofilik terkadang terkumpul di sekitarnya.

II. KLASIFIKASI DAN TERMINOLOGI A. Klasifikasi

4 Sebelum 1982 dipergunakan berbagai istilah dalam PTG sehingga menyulitkan perbandingannya. Sebagai upaya menyeragamkan terminologi pada tahun 1983, WHO mengusulkan suatu sistem yang diterima secara luas. Terminologi WHO menyatakan bahwa diagnosis bentuk ganas dari PTG ditegakkan berdasarkan parameter klinis atau biokimiawi dan bukan atas dasar pemeriksaan histopatologi. Umumnya diagnosis histopatologi tidak diperlukan, karena tumor marker untuk penyakit ini yakni hCG bila diperiksa dengan cara RIA mempunyai spesifitas dan sensitivitas yang sangat tinggi. A. 1. 2. 3. 4. B. 1. 2. 3. Klasifikasi Histopatologi Mola hidatidosa Mola invasif Koriokarsinoma PSTT Klasifikasi Klinis Penyakit trofoblas gestasional Tumor trofoblas gestasional Metastatik trofoblas gestasional

B. Terminologi Terminologi histopatologik yang dipakai adalah sebagai berikut : 1. Molahidatidosa. Suatu terminologi umum yang mencakup 2 penyakit yang berbeda, molahidatidosa komplit dan molahidatidosa parsial, dengan gejala berupa vili sebagian atau seluruhnya vili dan proliferasi trofoblas. 2. Molahidatidosa komplit Suatu konseptus abnormal tanpa embrio fetus, dengan pembengkakan hidropik dari vili plasenta dan hiperplasia kedua lapisan trofoblas. Pembengkakan vili mengakibatkan terbentuknya gelembung-gelembung jaringan ikat yang telah kehilangan vaskularisasinya. 3. Molahidatidosa parsial degenerasi hidropik

5 Suatu konseptus abnormal dengan suatu embrio fetus yang biasanya cepat mati, dengan suatu plasenta dimana sebagian vilinya membengkak membentuk gelembung-gelembung dan dengan fokal-fokal hiperplasia trofoblas, biasanya hanya sinsisiotrofoblas saja. Vili yang tidak terkena tampak normal dan vaskularisasi vili menghilang setelah kematian fetus.

Gambar 1. Gambaran morfologi villi. A. Villi korealis normal B. Mola parsial (kasus triploid,69, XXY). Villi normal diselingi yang hidropik. C. Mola komplit (46,XX). Seluruh villi mengalami hidrofik. Dikutip dari Vassilakos20 4. Mola invasif Suatu tumor atau proses seperti tumor yang menyerbu ke dalam miometrium dan bercirikan hiperplasia trofoblas dan tetap adanya struktur vili plasenta. Biasanya timbul dari molahidatidosa komplit tapi dapat juga dari molahidatidosa parsial. Jarang berkembang menjadi koriokarsinoma. Dapat

6 bermetastasis tapi tidak menunjukkan perkembangan dari suatu kanker dan dapat mengalami regresi spontan. 5. Koriokarsinoma gestasional Suatu karsinoma yang timbul dari epitel trofoblas yang menunjukkan elemen sitotrofoblas dan sinsisiotrofoblas. Dapat timbul dari suatu konsepsi yang berakhir dengan suatu kelahiran hidup, lahir mati, abortus, kehamilan ektopik atau molahidatidosa. 6. Tumor trofoblas tempat plasenta (plasental site trophoblastic tumour) Suatu tumor yang timbul dari trofoblas pada tempat implantasi plasenta dan terdiri terutama dari sel-sel sitotrofoblas. 7. Degenerasi hidropik Suatu keadaan dari vili plasenta dengan ciri adanya dilatasi dan peningkatan kandungan cairan atau pencairan (liquefaction) dari stroma vilus, tapi tanpa hiperplasia trofoblas. Ini harus dibedakan dengan molahidatidosa dan tidak akan berubah menjadi ganas. Terminologi klinis. Walaupun diketahui bahwa mola invasif dan koriokarsinoma menunjukkan perbedaan biologik dan prognostik yang penting, penatalaksanaan klinis dari kelainankelainan ini sering harus dilakukan tanpa diagnosis histopatologik. Ini berakibat timbulnya terminologi yang mencakup kedua keadaan ini. Namun demikian, adalah penting bahwa terminologi ini sedekat mungkin menggambarkan kelainan histopatologik dan bila mungkin perjalanan penyakitnya. 1. Penyakit trofoblas gestasional Suatu terminologi umum yang mencakup molahidatidosa, mola invasif, tumor trofoblas tempat plasenta (placental site trophoblastic tumour) dan koriokarsinoma. Dengan demikian mencakup baik kelainan yang jinak maupun ganas. 2. Tumor trofoblas gestasional Suatu keadaan penyakit dimana terdapat bukti klinik adanya mola invasif atau koriokarsinoma. Kategori ini selanjutnya dibagi menurut kehamilan

7 sebelumnya sebagai pascamola, pascaabortus, pasca persalinan atau kehamilan yang tidak diketahui. 3. Tumor trofoblas bermetastasis Suatu keadaan penyakit dimana terdapat bukti adanya mola invasif atau koriokarsinoma yang telah menyebar keluar dari korpus uteri.

BAB III PENYAKIT TROFOBLAST JINAK


Mola Hidatidosa Molahidatidosa adalah suatu kehamilan abnormal, dimana vili yang normal digantikan oleh gelembung-gelembung akibat degenerasi hidropik vili korealis disertai proliferasi sel-sel trofoblas dalam berbagai derajat. Bila tidak ditemukan embrio atau janin, disebut molahidatidosa komplit atau molahidatidosa klasik, sedangkan bila ditemukan unsur janin atau plasenta normal disamping gelembung-gelembung mola, disebut molahidatidosa parsialis. Walaupun jarang, kadang-kadang ditemukan molahidatidosa pada kehamilan ganda dizigotik, dimana ditemukan plasenta normal dengan janin dan sekelompok gelembung-gelembung mola. Walaupun sebagian besar penderita mola hidatidosa dapat sembuh spontan, namun bila diagnosis dan pengelolaannya terlambat, penderita dapat meninggal karena perdarahan, infeksi maupun akibat tumor trofoblas gestasional pasca mola hidatidosa. Ada kalanya pada sediaan abortus atau plasenta aterm, ditemukan beberapa bagian yang mengalami degenerasi hidropik. Keadaan semacam ini tidak dimasukan ke dalam mola hidatidosa, tetapi disebut sub molaire. Baru setelah diadakan penelitian sitogenik pada tahun 1970-an oleh antara lain Kajii, Vassilokos, Szulman dan lain-lain, dicapai kesepakatan bahwa mola hidatidosa itu terdiri dari dua jenis 1. Mola hidatidosa komplit (MHK) 2. Mola hidatidosa parsialis (MHP) Insidensi Pada kebanyakan kasus, mola tidak berkembang menjadi keganasan, namun sekitar 2-3 kasus per 1000 wanita, mola dapat berubah menjadi ganas dan disebut koriokarsinoma. Kemungkinan terjadinya mola berulang berkisar 1 dari 1000 wanita.

1. Mola hidatidosa komplit (MHK)

9 Merupakan kehamilan abnormal tanpa embrio yang seluruh vili korialisnya mengalami degenerasi hidropik yang menyerupai anggur hingga sama sekali tidak ditemukan unsur janin. Secara mikroskopik tampak edema stroma vili tanpa vaskularisasi disertai hyperplasia dari kedua lapisan trofoblas. Kadang kadang pembuahan terjadi oleh dua buah sperma 23 X dan 23 Y (dispermi) sehingga terjadi 46 X atau 46 Y. Disini MHK bersifat heterozigot, tetapi tetap androgenetik dan bisa terjadi, walaupun sangat jarang terjadi hamil kembar dizigotik yang terdiri dari satu bayi normal dan satu lagi MHK. Secara makroskopis MHK mempunyai gambaran yang khas, yaitu berbentuk kista atau gelembung-gelembung dengan ukuran antara beberapa mm sampai 2-3cm, berdinding tipis, kenyal, berwarna putih jernih, berisi cairan seperti cairan asites atau edema. Kalau ukurannya kecil, tampak seperti kumpulan telur katak, tetapi kalau besar tampak seperti serangkaian buah anggur yang bertangkai. Oleh karena itu MHK disebut juga kehamilan anggur. Tangkai tersebut melekat pada endometerium. Umumnya seluruh endometerium dikenai, bila tangkainya putus terjadilah perdarahan. Kadang-kadang gelembunggelembung tersebut diliputi oleh darah merah atau coklat tua yang sudah mengering. Sebelum ditemukan USG, MHK dapat mencapai ukuran besar sekali dengan jumlah gelembung melebihi 2.000 cc. Faktor Resiko 1. Faktor Umur : risiko MH paling rendah pada kelompok umur 20-35 tahun. risiko MH naik pada kehamilan remaja < 20 tahun,Naik sangat tinggi pada remaja < 15 tahun, kira-kira 20 x lebih besar. tinggi pada umur > 40 sangat menyolok pada umur = 45 tahun 2. Faktor Riwayat Kehamilan MH Sebelumnya : Wanita MH sebelumnya, risiko lebih besar naiknya kejadian MH berikutnya 3. Faktor Kehamilan Ganda : mempunyai risiko yang meningkat untuk terjadinya MH 4. Faktor Graviditas : Risiko kejadian MH makin naik,dengan meningkatnya graviditas. (kontroversial) punya kehamilan tahun,naikan

1 5. Faktor Kebangsaan / Etnik : wanita kulit hitam meningkat,dibanding wanita lainnya. Euroasian turun dua kali lipat dibanding wanita Cina, India atau Malaysia. 6. Faktor Genetika : frekuensi Balance Tranlocation, wanita dengan MH komplit lebih banyak dibandingkan dengan yang didapatkan pada populasi normal 7. Faktor Makanan dan Minuman : angka kejadian MH tinggi diantara wanita miskin, diet yang kurang protein, kelainan genetik pada kromosom.(kontroversi) 8. Faktor Sosial Ekonomi : resiko MH tinggi pada sosial ekonomi rendah (kontroversi) 9. Faktor Lain : Faktor hubungan keluarga/consanguinity, Faktor merokok, toksoplasmosis. Etiologi Etiologi penyakit trofoblas sampai saat ini belum juga diketahui dengan pasti. Namun ada beberapa teori yang mencoba menerangkan terjadinya penyakit trofoblas yaitu teori desidua, teori telur, teori infeksi dan teori hipofungsi ovarium. 1.Teori desidua Menurut teori ini terjadinya molahidatidosa ialah akibat perubahan-perubahan degeneratif sel-sel trofoblas dan stroma vili korialis. Dasar teori ini adalah selalu ditemukan desidual endometritis, pada binatang percobaan dapat terjadi molahidatidosa bila pembuluh darah uterus dirusak sehingga terjadi gangguan sirkulasi pada desidua. 2. Teori telur Menurut teori ini molahidatidosa dapat terjadi bila terdapat kelainan pada telur, baik sebelum diovulasikan maupun setelah dibuahi. 3. Teori infeksi Bagshawe, melaporkan bahwa ada sarjana yang dapat mengisolasi sejenis virus pada molahidatidosa. Virus ini kemudian ditransplantasikan pada selaput korioalantoin Selain itu mudigah ayam, ternyata kemudian terjadi perubahan-perubahan khas menyerupai molahidatidosa, baik secara makroskopik maupun mikroskopik. molahidatidosa diduga disebabkan oleh toksoplasmosis, teori ini dikemukakan oleh Faktor

1 Bleier. Teori ini didasarkan pada penemuan toksoplasmosis Gondii dalam jumlah besar pada darah penderita molahidatidosa. 4. Teori hipofungsi ovarium Teori ini dikemukakan oleh Hasegawa, berdasarkan penelitian beberapa orang ahli yaitu Courrier dan Gros yang melakukan kastrasi pada seekor kucing, 1517 hari setelah pembuahan. Ternyata kemudian pada plasentanya ditemukan perubahan-perubahan Karzafina melaporkan bahwa 60% penderita yang menyerupai molahidatidosa.

molahidatidosa yang ditelitinya berumur 1821 tahun, disertai oleh hipofungsi ovarium. Smalbreak melaporkan bahwa dari hasil penelitiannya ditemukan angka kejadian molahidatidosa yang tinggi pada perempuan muda, dimana fungsi seksualnya masih imatur. Menurut Hasegawa molahidatidosa diduga disebabkan oleh teori defisiensi estrogen, yang didukung oleh data-data penelitian yang melaporkan bahwa 60% penderita molahidatidosa berumur 1821 tahun dan disertai hipofungsi ovarium. Serta insidens molahidatidosa yang tinggi pada perempuan muda dan pada perempuan tua dimana fungsi ovarium telah menurun. 4. Faktor lain Selain teori-teori tersebut di atas, masih ada beberapa teori lain yang menghubungkan dengan faktor-faktor yang diduga mempunyai peranan dalam etiologi penyakit trofoblas. Faktor-faktor tersebut ialah faktor malnutrisi, faktor golongan darah dan faktor sitogenetik. A. Faktor nutrisi Penelitian-penelitian awal yang dilakukan pada tahun 1960 di Meksiko dan Filipina menggambarkan bahwa frekuensi penyakit trofoblas gestasional yang terjadi diantara kelompok sosial rendah di negara-negara berkembang dapat dijelaskan dengan keadaan malnutrisi dan terutama rendahnya asupan protein. Dikatakan bahwa malnutrisi memegang peranan dalam terjadinya Tetapi molahidatidosa. Terlihat di negara-negara miskin dimana banyak kasus

defisiensi protein, angka kejadian molahidatidosa jauh lebih tinggi.

penelitian-penelitian di Iran, Alaska, Jepang dan Malaysia mendapatkan angka

1 kejadian molahidatidosa yang tinggi dengan makanan sehari-hari mereka yang tinggi protein, atas dasar ini maka diragukan defisiensi protein sebagai faktor yang berperan dalam timbulnya molahidatidosa. Akhir-akhir ini diduga bahwa penderita molahidatidosa kurang mengkonsumsi makanan yang merupakan sumber vitamin A dan lemak hewani. Dikatakan bahwa terjadinya penyakit ini berbanding terbalik dengan konsumsi beta karoten. Juga dikatakan risiko untuk mendapat molahidatidosa pada perempuan dengan konsumsi beta karoten di atas rata-rata adalah 0,6 kali. Andrijono dkk, dalam penelitiannya mendapatkan bahwa walaupun secara statistik tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna, terbukti bahwa persentase defisiensi vitamin A pada penderita molahidatidosa (43,33%) lebih tinggi dibanding kelompok kontrol (23,33%). Juga dikatakan bahwa risiko molahidatidosa akan meningkat 6,29 kali jika terjadi pada perempuan kurang dari 24 tahun, hamil dan mengalami defisiensi vitamin A yang berat. B. Faktor golongan darah Bagshawe mengemukakan bahwa perempuan dengan golongan darah A, mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk terjadinya koriokarsinoma bila mempunyai suami golongan darah O, dibandingkan dengan perempuan golongan darah A, tetapi dengan suami golongan darah A. Faktor golongan darah Rhesus juga dianggap berperan, berdasarkan kenyataan bahwa angka kejadian molahidatidosa lebih tinggi pada orang Timur yang hampir seluruhnya mempunyai faktor Rhesus positif. C. Faktor sitogenetik Penelitian tentang sitogenetik pada molahidatidosa mulai berkembang pada pertengahan tahun enam puluhan, dipelopori oleh Carr, Baggish dan Pattillo. Beberapa peneliti melakukan kariotipe pada molahidatidosa komplit dan molahidatidosa parsial, mereka melaporkan bahwa molahidatidosa komplit umumnya (95%) mempunyai kromosom diploid 46 XX, hanya 5% yang mempunyai kariotipe 46 XY, hasil dari fertilisasi sperma 23 X dengan telur kosong yang kemudian membelah diri/homozigot/monospermik atau fertilisasi telur kosong oleh 2 spermatosoon yang heterozigot/dispermik. Mola dispermik

1 lebih sering berkembang menjadi ganas. Pada molahidatidosa parsial sering dijumpai kromosom triploidi/trisomi yang terdiri dari dua set kromosom paternal dan satu set kromosom maternal yang terjadi karena telur yang normal oleh dua buah sperma. Mola parsial jarang menjadi ganas. Telah banyak penulis melaporkan bahwa molahidatidosa secara genetik umumnya berjenis kelamin perempuan , dengan kata lain bahwa kromatin seks positif banyak ditemukan pada molahidatidosa dibandingkan dengan abortus. Moegni dan kawan-kawan melaporkan semakin besar jumlah sel sitotrofoblas yang mengandung kromatin seks, semakin besar pula kemungkinan menjadi ganas. Patogenesis Banyak teori yang telah dilontarkan tentang patogenesis MHK ini, antara lain teori hertig dan teori park. Hertig et al menganggap bahwa pada MH terjadi insufisiensi peredaran darah akibat matinya embrio pada minggu ke 3 5 (missed abortion), sehinggga terjadi penimbunan cairan dalam jaringan mesenhin vili dan terbentukah kista kista yang makin lama makin besar, sampai akhirnya terbentuklah gelembung mola, sedangkan proliferasi trofoblas merupakan akibat dari tekanan vili yang oedemateus tadi. Sebaliknya, Park mengatakan bahwa yang primer adalah adanya jaringan trofoblas yang abnormal, baik berupa hiperplasi, displasi, maupun neoplasi. Bentuk yang abnormal ini disertai pula dengan fungsi yang abnormal. Keadaan ini menekan pembuluh darah, yang akhirnya menyebabkan kematian embrio. Teori yang sekarang dianut adalah teori sitogenetik. Secara sitogenetik umumnya kehamilan MHK terjadi karena sebuah ovum yang tidak berinti (kosong) atau yang intinya tidak berfungsi, dibuahi oleh sperma yang mengandung haploid 23 X, terjadilah hasil konsepsi dengan kromosom 23 X, yang kemudian mengadakan duplikasi menjadi 46 XX. Jadi umumnya MHK bersifat homozigot, wanita dan berasal dari bapak (androgenetik). Jadi tidak ada unsur ibu sehingga disebut Diploid Androgenetik Teori Diploid Androgenetik (modifikasi dari buku Novaks Gynecology Ovum Kosong 46 XX

1 23 X
endoreduplikasi

Homozigot

23 X Ovum Kosong 23 X 23 X Ovum Kosong 23 Y 46 XY 46 YY 46 XX


Heterozigot

Nonviable

Seperti diketahui, kehamilan yang sempurna harus terdiri dari unsur ibu yang akan membentuk bagian embrional (anak) dan unsur ayah yang diperlukan untuk membentuk bagian ekstraembrional (plasenta, air ketuban, dll) secara seimbang. Karena tidak ada unsur ibu, pada MHK tidak ada bagian embrional (janin). Yang ada hanya bagian ekstraembrional yang paologis berupa vili korialis yang mengalami degenerasi hidropik seperti anggur. Mengapa ada ovum kosong? Hal ini bisa terjadi karena gangguan pada proses meosis, yang seharusnya diploid 46 XX pecah menjadi 2 haploid 23 X, terjadi peristiwa yang disebut nondysjunction, dimana hasil pemecahannya adalah 0 dan 46 XX. Pada MHK ovum inilah yang dibuahi. Gangguan proses meosis ini, antara lain terjadi pada kelainan struktural kromosom, berupa balance translocation. MHK dapat terjadi pula akibat pembuahan ovum kosong oleh 2 sperma sekaligus (dispermi). Bisa oleh dua haploid 23X, atau satu haploid 23 X dan atu haploid 23Y. Akibatnya bisa terjadi 46 XX atau 46 XY, karena pada pembuahan dengan dispermi tidak terjadi endoreduplikasi. Kromosom 46 XX hasil reduplikasi dan 46 XX hasil pembuahan dispermi, walaupun tampak sama, namun sesungguhnya berbeda, karena yang pertama berasal dari satu sperma (homozigot) sedangkan yang kedua berasal dari dua sperma

1 (heterozigot). Ada yang menganggap bahwa 46XX heterozigot mempunyai potensi keganasan lebih besar. Pembuahan dispermi dengan dua haploid 23 Y (46 YY) dianggap tidak pernah bisa terjadi (nonviable) Patologi Anatomi 1. Makroskopik Molahidatidosa mempunyai gambaran makroskopik yang sangat khas, yaitu berupa gelembung-gelembung berisi cairan dengan dinding tipis, kenyal dan tembus pandang. Gelembung-gelembung tersebut ialah vili korialis yang berisi cairan jernih, dengan diameter 1 sampai 30 mm. Sebagian besar vili korialis berukuran cukup besar, bergerombol seperti buah anggur, mempunyai tangkai yang melekat pada endometrium dengan jumlah seluruhnya dapat mencapai 2000 ml atau lebih. Menurut Hasegawa, cairan dalam vili korialis tersebut terdiri dari air, albumin, musin, garam anorganik, NaCl dan asam fosfat natron. Pada molahidatidosa parsial, selain gelembung-gelembung ditemukan juga kantung amnion yang kadang-kadang berisi janin. 2. Mikroskopik Secara mikroskopik molahidatidosa juga mempunyai gambaran yang khas yaitu: a). Proliferasi abnormal sel-sel trofoblas Menurut Hasegawa kedua jenis sel trofoblas berproliferasi secara abnormal. Akan tetapi proliferasi sel-sel sitotrofoblas biasanya tidak sehebat proliferasi sel-sel sinsisiotrofoblas. Proliferasi sel-sel sinsisiotrofoblas tergantung pada lokasi vili korialis, makin dekat ke desidua basalis proliferasi makin hebat, dan tergantung nutrisi di antara sel-sel sinsisiotrofoblas itu sendiri. Proliferasi dikatakan makin hebat bila ditemukan sel-sel yang bermitosis. Kadang-kadang ditemukan molahidatidosa yang tidak disertai proliferasi abnormal sel-sel trofoblas. Oleh Marchand dan Hasegawa keadaan ini disebut sebagai molahidatidosa sekunder, untuk membedakan dengan molahidatidosa primer yaitu molahidatidosa yang mempunyai ketiga gambaran histologik yang khas. Pada molahidatidosa sekunder jarang terjadi perdarahan dan uterus sering lebih kecil dari seharusnya.

b). Stroma vili korialis hidrofik Ada 2 teori yang dapat menerangkan terjadinya vili korialis menjadi hidrofik, yaitu teori degeneratif yang diajukan oleh Hertig dan Edmons dan teori neoplastik yang diajukan oleh Park. Gambaran mikroskopik vili korialis tampak udema dan berdegenerasi miksomatosa. Kadang-kadang masih terlihat sisa-sisa sel stroma yang melekat pada dinding vili korialis. Besar-kecilnya vili korialis tergantung dari derajat hidrofik vili korialis tersebut. c). Pembuluh darah di dalam stroma vili korialis sangat sedikit sampai tidak ada sama sekali. Menurut Hasegawa, jumlah pembuluh darah dalam vili korialis tergantung dari derajat hidrofik stroma vili korialis tersebut. Makin banyak vili korialis mengandung cairan, makin sedikit mengandung pembuluh darah, sedangkan menurut Stolte, tidak adanya pembuluh darah, memang merupakan kelainan utama dalam pembentukan gelembung pada molahidatidosa.2,10,15,43,44 Beberapa penulis yang menyelidiki molahidatidosa dengan mikroskop elektron, mengatakan bahwa sel sitotrofoblas molahidatidosa secara keseluruhan tidak berbeda dengan sel sitotrofoblas vili korialis normal. sitoplasmanya. Sedangkan sel sinsisiotrofoblas berbeda, baik dalam bentuk maupun struktur organ-organ Selain itu Wynn dan Davies melaporkan bahwa pada molahidatidosa banyak ditemukan sel-sel trofoblas transisional, yaitu sel antara sitotrofoblas dan sinsisiotrofoblas. Atas dasar itu mereka menarik kesimpulan bahwa sel sinsisiotrofoblas berasal dari sitotrofoblas. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Pierce dan Midgley. Mereka juga mendapatkan mikrovili dan vesikel pinositosis pada sel-sel sinsisiotrofoblas, jumlahnya sangat banyak.

Gambaran Klinis Tanda dan gejala kehamilan dini didapatkan pada mola hidatidosa. Kecurigaaan biasanya terjadi pada minggu ke 14 - 16 dimana ukuran uterus lebih besar dari kehamilan

1 biasa, pembesaran uterus yang terkadang diikuti perdarahan, dan bercak berwarna merah darah beserta keluarnya materi seperti anggur pada pakaian dalam. Tanda dan gejala mola yaitu : 1. Adanya tanda-tanda kehamilan disertai dengan perdarahan pervaginam. Perdarahan timbul mulai kehamilan 8 minggu, berwarna merah segar karena berasal dari jaringan mola yang lepas dari dinding uterus. Kadang-kadang timbul bekuan darah yang tersimpan dalam kavum uterus yang kemudian akan mencair dan keluar berwarna merah ungu akibat proses oksidasi. Perdarahan biasanya intermitten, sedikit-sedikit atau sekaligus banyak sehingga menyebabkan syok atau kematian, oleh karena itu umumnya pasien mola hidatidosa masuk rumah sakit dalam keadaan anemia. Perdarahan uterus abnormal yang bervariasi dari spotting sampai perdarahan hebat merupakan gejala yang paling khas dari kehamilan mola dan pertama kali terlihat antara minggu keenam dan kedelapan setelah amenore. Sekret berdarah yang kontinyu atau intermitten dapat berkaitan dengan keluarnya vesikel-vesikel yang menyerupai buah anggur. 2. Hiperemesis gravidarum yang ditandai dengan nausea dan vomiting yang berat. Keluhan hiperemesis terdapat pada 14-18% kasus pada kehamilan kurang dari 24 minggu dan keluhan mual muntah terdapat pada mola hidatidosa dengan tinggi fundus uteri lebih dari 24 3. Tanda toksemia/ pre-eklampsia pada kehamilan trimester I Kejadian preeklampsia cukup tinggi yaitu 20-26% kasus. Pada kehamilan normal, preeklampsia timbul setelah kehamilan 20 minggu, namun pada mola hidatidosa dapat terjadi lebih dini. minggu.

4. Kista lutein unilateral/bilateral Mola hidatidosa sering disertai dengan kista lutein 15% kasus. Umumnya kista ini segera menghilang setelah jaringan mola dikeluarkan, tetapi ada juga kasuskasus dimana kista lutein baru ditemukan pada waktu follow up. Kista lutein

1 dapat menimbulkan gejala abdominal akut karena torsi atau pecah. Kista berisi cairan serosanguineous dan strukturnya multilokulare. Bila uterusnya besar, maka kista ini sukar diraba namun dapat diketahui dari pemeriksaan ultrasonografi. Kista menjadi normal dalam waktu 2-4 bulan setelah dievakuasi. Kasus mola dengan kista lutein mempunyai resiko 4 kali lebih besar untuk mendapatkan degenerasi keganasan dikemudian hari dari pada kasus-kasus tanpa kista. 5. Umumya uterus lebih besar dari usia kehamilan Lebih dari separuh penderita mola hidatidosa memiliki uterus yang lebih besar dari usia kehamilannya. Bila uterus diraba, akan terasa lembek karena miometrium teregang oleh gelembung-gelembung mola dan bekuan darah. 6. Tidak terdengar denyut jantung janin 7. Tidak dirasakan tanda-tanda adanya gerakan janin, tidak teraba bagian janin (balottement), kecuali pada mola parsial 8. Kadar gonadotropin korion tinggi dalam darah dan urin 9. Emboli paru. Penyulit lain yang mungkin terjadi ialah emboli sel trofoblas ke paru-paru. Sebetulnya pada tiap kehamilan selalu ada migrasi sel trofoblas ke peredaran darah kemudian ke paru-paru tanpa memberikan gejala apa-apa tetapi pada mola kadang-kadang jumlah sel trofoblas ini demikian banyak sehingga dapat menimbulkan emboli paru-paru akut yang bisa menyebabkan kematian. 10. Keluar jaringan mola seperti buah anggur atau mata ikan (tidak selalu ada), yang merupakan diagnosa pasti. 11. Mola hidatidosa parsial biasanya ditemukan pada saat evaluasi pasien yang didiagnosis sebagai abortus inkomplit atau missed abortion. 12. Kadang-kadang disertai gejala lain yang tidak berhubungan dengan keluhan obstetri, seperti tirotoksikosis, perdarahan gastrointestinal, dekompensasi kordis, perdarahan intrakranial, perdarahan gastrointestinal, dan hemoptoe.

1 Hipertiroidisme pada mola hidatidosa dapat berkembang dengan cepat menjadi tirotoksikosis. Berbeda dengan tirotoksikosis pada penyakit tiroid, tirotoksikosis pada mola hidatidosa muncul lebih cepat dan gambaran klinisnya berbeda. Mola yang disertai tirotoksikosis mempunyai prognosis yang lebih buruk, baik dari segi kematian maupun kemungkinan terjadinya keganasan. Biasanya penderita meninggal karena krisis tiroid. Pemicu tirotoksikosis pada mola hidatidosa adalah tingginya kadar hCG. Tirotoksikosis merupakan salah satu penyebab kematian penderita mola. Kariadi menemukan bahwa kadar -hCG serum (RIA) > 300.000 ml pada penderita mola sebelum jaringan molanya dievakuasi. Hal ini merupakan faktor risiko yang sangat bermakna untuk terjadinya tirotoksikosis. Hipertiroid dapat diketahui secara klinis terutama bila tidak terdapat fasilitas pemeriksaan T3 dan T4, yaitu dengan menggunakan Indeks Wayne. Tirotoksikosis merupakan salah satu penyebab kematian penderita mola. Kariadi menemukan bahwa kadar -hCG serum (RIA) > 300.000 ml pada penderita mola sebelum jaringan molanya dievakuasi. Hal ini merupakan faktor risiko yang sangat bermakna untuk terjadinya tirotoksikosis. Hipertiroid dapat diketahui secara klinis terutama bila tidak terdapat fasilitas pemeriksaan T3 dan T4, yaitu dengan menggunakan Indeks Wayne. Untuk membantu masalah ini Sri Hartini Kariadi (1992) mengajukan rumus fungsi diskriminan diagnosa tirotoksikosis pada mola hidatidosa sebagai berikut: 1. D = - 8,376128 + 0,52505870 FU 0,01926897 Nadi FU = fundus uteri dalam minggu Nadi = dalam kali/menit Bila D< 0 atau kalau D hasilnya negatif, berapapun nilai angkanya menunjukkan tirotoksikosis. Derajat ketepatannya 87,5% 2. D = +3552928 0,4749675 FU + 0,003115562 Nadi + 0,01638073 Khol Khol = Kholesterol darah dalam mg% Bila D< 0 atau kalau hasilnya negatif, berapapun nilai angkanya, menunjukkan tirotoksikosis. Derajat ketepatan 90,63%

2 Dasar Diagnosis 1. Anamnesis Mola hidatidosa biasanya didiagnosis pada kehamilan trimester pertama. Dari anamnesis, didapatkan gejala-gejala hamil muda dengan keluhan perdarahan pervaginam yang sedikit atau banyak. Pasien juga dapat ditanyakan apakah terdapat riwayat keluar gelembung mola yang dianalogikan seperti mata ikan, riwayat hiperemesis, dan gejala-gejala tirotoksikosis. 2. Pemeriksaan klinis a). Palpasi abdomen : teraba uterus membesar, tidak teraba bagian janin,gerakan janin dan balotemen b). Auskultasi : tidak terdengar djj

c). Periksa dalam vagina : uterus membesar, bagian bawah uterus lembut dan tipis, serviks terbuka dapat diketemukan gelembung MH, perdarahan, sering disertai adanya Kista Teka Lutein Ovarium (KTLO). Pemeriksaan dengan sonde uterus (Acosta Sison) : MH hanya ada gelembunggelembung yang lunak tanpa kulit ketuban sonde uterus mudah masuk sampai 10 cm tanpa adanya tahanan

3.

Pemeriksaan radiologi

Foto Abdomen MH tidak tampak kerangka janin. Dilakukan setelah umur kehamilan 16 minggu. Amniografi/histerografi cairan kontras lewat transabdominal / transkutaneus atau transervikal kedalam rongga uterus, akan menghasilkan amniogram atau histerogram yang khas pada kasus MH, yang disebut sebagai sarang tawon/typical honeycomb pattern/honeycomb

4. a).

USG Typical Molar Pattern/Classic Echogram Pattern : pola gema yang difus gambaran badai salju/kepingan salju/snowstorm

2 b). Atypical molar pattern/Atypical echogram pattern : adanya perdarahan diantara jaringan mola. c). Janin : MH KOMPLIT tidak didapatkan janin, MH PARSIAL Plasenta yang besar dan luas, kantong amnion kosong atau terisi janin. Janin masih hidup dengan gangguan pertumbuhan & kelainan kongenital, atau sudah mati d). Kista Teka Lutein Ovarium (KTLO), biasanya besar, multilokuler, dan sering bilateral.

5.

Pemeriksaan HCG (HUMAN CHORIONIC GONADOTROPIN) kadar HCG yang tetap tinggi & naik cepat setelah hari ke 100 (dihitung sejak gestasi / hari pertama haid terakhir )

6.

Patologi anatomi Makroskopis : Gambaran khas MH berupa kista / gelembung dengan berbagai

macam ukuran, Dindingnya tipis, kenyal, berwarna putih jernih, berisi cairan. Tangkai melekat pada endometrium. Bila tangkainya terlepas, terjadi perdarahan. Mikroskopis : Stroma villi mengalami degenerasi hidropik, yang tampak sebagai

kista,Proliferasi trofoblast ( baik sel Langhans / sitotrofoblast maupun sinsisiotrofoblast ), sehingga terbentuk beberapa lapisan,Tidak ada atau berkurangnya pembuluh darah pada villi.

2 Tes Acosta Sicon yaitu menggunakan sonde uterus untuk membedakan mola hidatidosa dengan kehamilan normal. Prinsipnya bila pada kehamilan normal dala kavum uteri terdapat janin yang dilindungi oleh selaput ketuban, sedangkan pada mola hidatidosa hanya terdapat gelembung-gelembung yang lunak tanpa selaput ketuban. Bila kita memasukkan sonde melalui kanalis servikalis secara perlahan-lahan dan sonde dapat masuk lebih dari 10 cm ke tengah-tengah kavum uteri tanpa tahanan, maka diagnosis mola hidatidosa hampir dapat dipastikan. Pada kehamilan normal, sonde akan tertahan oleh ketuban. Syarat melakukan sondase ini adalah uterus harus lebih besar dari kehamilan 20 minggu. Sonde dapat juga masuk ke kavum uteri tanpa tahanan pada kematian janin dalam uterus, dimana tonus jaringan telah sedemikian lembeknya sehingga tidak mampu memberikan tahanan lagi. Pada mola hidatidosa, sonde dapat berputar 360 derajat tanpa tahanan, sedangkan pada kehamilan normal sonde akan tertahan.

Diagnosis banding

Diagnosis banding uterus yang ukurannya lebih besar dari pada umur kehamilan : hidramnion, kehamilan multipel,dan uterus hamil disertai adanya mioma uteri.

Diagnosis banding perdarahan uterus dan nyeri perut pada trimester I atau trimester II kehamilan : abortus mengancam & abortus incompletus

Diagnosis banding pemeriksaan sonde : Kehamilan biasa sebelum 20 minggu , Kematian janin intra uterine , Solusio plasenta & missed abortion

Diagnosa banding pemeriksaan USG : Missed abortion, Massa dirongga panggul, Massa plasenta yang besar pada kehamilan ganda, Kematian janin dalam rahi

Terapi Terdiri dari 4 tahap, yaitu : 1. Perbaikan keadaan umum 2. Evakuasi jaringan 3. Profilaksis

2 4. Follow up Perbaikan Keadaan Umum Sebelum dilakukan tindakan evakuasi jaringan mola, keadaan umum penderita harus distabilkan dahulu. Tergantung pada bentuk penyulitnya, kepada penderita harus diberikan : 1. Tranfusi darah, untuk mengatasi syok hipovolemik 2. antihipertensi/konvulsi, seperti pada terapi Th/preeklamsi/eklamsia 3. Obat anti tiroid, bekerja sama dengan penyakit dalam Evakuasi Jaringan Karena MHK itu adalah suatu bentuk kehamilan yang patologis yang disertai dengan penyulit, pada prinsipnya gelembung harus dievakuasi secepat mungkin Ada 2 cara yaitu : a. Kuret vakum Setelah sebagian besar jaringan dikeluarkan dengan vakum, sisanya dibersihkan dengan kuret tajam. Tindakan kuret hanya dilakukan satu kali. Kuretase berikutnya harus ada indikasi. b. Histerektomi Hanya dilakukan pada penderita umur 35 tahun ke atas dengan jumlah anak hidup tiga atau lebih. Yang sering menyulitkan ialah bahwa status eutiroid klinis tidak selalu tercapai secara sempurna setelah pemberian OAT (obat anti tiroid) karena jaringan mola belum dikeluarkan, sehingga hCG tetap tinggi dan tetap bertindak sebagai stimulator.

Profilaksis Ada dua cara : 1. histerektomi totalis 2. kemoterapi diberikan pada GRT yang menolak atau tidak bisa dilakukan HT, atau wanita muda dengan hasil PA yang mencurigakan.

2 Caranya : 1. MTX 20 mg/hari, IM, Asam folat 10 mg 3dd1 dan cursil 35mg 2dd1, selama 5 hari berturut-turut. Profiklaksis dengan tablet MTX, dianggap tidak bemanfaat. Asam folat adalah antidote dari MTX, cursil sebagai hepatoprotektor ataupun hepatoprotektor Follow Up Seperti diketahui, 15-20% dari penderita pasca MHK bisa mengalami transformasi keganasan menjadi TTG. Menurut hertig, keganasan bisa dalam waktu satu minggu sampai tiga tahun pasca evakuasi. Tujuan dari follow up ada dua : 1. untuk melihat apakah proses involusi berjalan secara normal. Baik anatomis, laboratoris maupun fungsional, seperti involusi uterus, turunnya kadar -hCG dan kembalinya fungsi haid. 2. Untuk menentukan adanya transformasi keganasan terutama pada tingkat yang sangat dini. Dalam tiga bulan pertama pasca evakuasi, penderita diminta datang untuk kontrol setiap 2 minggu. Kemudian, dalam tiga bulan berikutnya, setiap satu bulan, selanjutnya enam bulan terakhir, kontrol tiap dua bulan. 2. Actinomycin D 1 flacon sehari, selama 5 hari berturut-turut. Tidak perlu antidote

Pengawasan lanjut Tujuan pengawasan lanjut yaitu untuk mengetahui sedini mungkin adanya perubahan keganasan, Lamanya berkisar antara 6 bulan sampai 3 tahun ANAMNESIS kunjungan ulang: Perdarahan pervaginam yang tidak teratur, Perdarahan dari tempat lainnya, Kelainan susunan saraf pusat dan Gejala kelainan paruparu. PEMERIKSAAN PERUT & PANGGUL Untuk mencari adanya subinvolusi uterus, kista teka lutein ovarium, dan metastasis ke vagina.

2 Adanya perdarahan, Dalam keadaan normal harus tidak ada perdarahan 7 atau 8 hari setelah evakuasi MH. Uterus tetap besar/sub involusi, atau bertambah besarnya uterus yang tidak normal. Dalam keadaan normal uterus harus involusi sempurna pada akhir minggu ke 4 setelah evakuasi. Adanya massa di panggul. Adanya benjolan berwarna ungu (purplish nodule") di vagina.

PEMERIKSAAN HCG, Setelah evakuasi MH, terjadi penurunan cepat kadar HCG.

Pemeriksaan kadar HCG berulang (dg radio-immunoassay HCG), Tiap minggu sampai kadar menjadi negative selama 3 minggu selanjutnya tiap bulan selama 6 bulan. Pengamatan lanjutan dilakukan sampai kadar HCG menjadi negative selama

6 bulan.

Jika HCG tidak turun dlm 3 minggu berturut2 atau naik, dpt diberi kemoterapi; kecuali pasien tidak menghendaki, dlm hal ini dilakukan histerektomi

Pola penurunan HCG abnormal, yang menunjukkan dugaan kuat adanya keganasan,yaitu: Kadar Penurunan HCG yang kadar tetap HCG tinggi ("PERSISTENT") ("PLATEAU") mendatar

Kadar HCG yang sudah pernah negatip mengalami kenaikan lagi (SECONDARY RISE)

Penderita tidak boleh hamil selama dilakukan pmx HCG. Pemberian pil kontrasepsi, untuk:

1. 2.

Mencegah kehamilan baru Menekan pembentukan LH oleh hipofisis yg dpt mempengaruhi pmx kadar HCG

Komplikasi Komplikasi yang dapat terjadi pada mola hidatidosa adalah : 1. Perdarahan hebat 2. Anemia

2 3. Syok 4. Infeksi, sepsis 5. Perforasi uterus 6. Emboli udara 7. Koagulopati 8. Keganasan (Gestational trophoblastic neoplasia)

Sekitar 50% kasus berasal dari mola, 30% kasus berasal dari abortus, dan 20% dari kehamilan atau kehamilan ektopik. Gejalanya dijumpai peningkatan hCG yang persisten pascamola, perdarahan yang terus-menerus pascaevakuasi (pada kasus pascaevakuasi dengan perdarahan yang terus-menerus dan kadar hCG yang menurun lambat, dilakukan kuretase vakum ulangan atau USG dan histeroskopi), perdarahan rekurens pascaevakuasi. Bila sudah terdapat metastase akan menunjukkan gejala organ spesifik tempat metastase tersebut.

Prognosis Setelah dilakukan evakuasi jaringan mola secara lengkap, sebagian besar penderita MHK akan sehat kembali, kecuali 15 20% yang mungkin akan mengalami keganasan (TTG). Umumnya yang menjadi ganas adalah mereka yang termasuk golongan resiko tinggi, seperti : 1. umur diatas 35 tahun 2. besar uterus di atas 20 minggu 3. kadar -hCG di atas 105 mIU/ml 4. gambaran PA yang mencurigakan 2. Mola Hidatidosa Parsialis

2 MHP harus dipisahkan dari MHK, karena keduanya terdapat perbedaan yang mendasar, baik dilihat dari segi patogenesisnya (sitogenetik), klinis, prognosis, maupun gambaran PA-nya. Pada MHP hanya sebagian dari vili korialis yang mengalami degenerasi hidropik sehingga unsur janin selalu ada. Perkembangan janin akan tergantung kepada luasnya plasenta yang mengalami degenerasi, tetapi janin biasanya tidak dapat bertahan lama dan akan mati dalam rahim, walaupun dalam kepustakaan ada yang melaporkan tentang kasus MHP yang janinnya hidup sampai aterm. Secara epidemiologi klinis, MHP tidak sejelas MHK, kita tidak mengetahui dengan tepat berapa insidensinya, apa yang menjadi faktor resikonya dan bagaimana penyebaran penyakitnya.

Patogenesis Secara sitogenetik MHP terjadi karena ovum normal dari ibu (23 X) dibuahi secara dispermi. Bisa oleh dua haploid 23 X, satu haploid 23 X san satu haploid 23Y atau dua haploid 2 Y. Hasil konsepsi bisa berupa 69 XXX, 69 XXY, 69 XYY. Kromosom 69 YYY tidak pernah ditemukan. Jadi MHP mempunyai satu haploid ibu dan dua haploid ayah sehingga disebut Diandro Triploid. Karena disini ada unsur ibu, ditemukan bayi. Tetapi komposisi unsur ibu dan unsur ayah tidak seimbang, satu berbanding dua. Unsur ayah yang tidak normal itu menyebabkan pembentukan plasenta yang tidak wajar, yang merupakan

2 gabungan dari vili korialis yang normal dan yang mengalami degenerasi hidropik. Oleh karena itu fungsinya pun tidak bisa penuh sehingga janin tidak bisa bertahan sampai besar. Biasanya kematian terjadi sangat dini. Teori Diandro Triploid

23 X Ovum Kosong 23 X 23 X Ovum Kosong 23 Y 23 Y Ovum Kosong 23 Y 69 XYY 69 XXY


Heterozigot

69 XXX

Homozigot

69 YY

Nonviable

Gejala-Gejala Berbeda dengan MHK, pada MHP sama sekali tidak ditemukan gejala maupun tandatanda yang khas. Keluhannya pada permulaan sama seperti kehamilan biasa. Kalau ada perdarahan sering dianggap seperti abortus biasa. Jarang sekali ditemukan MHP dengan besar uterus yang melebihi tuanya kehamilan. Biasanya sama atau lebih kecil. Dalam hal terakhir disebut Dying Mole.

2 Gambaran USG tidak selalu khas, tapi menurut Fine C. Et al., MHP dapat didiagnosis bila ditemukan hal-hal sebagai berikut. Pada jaringan plasenta tampak gambaran yang menyerupai kista-kista kecil disertaipeningkatan diameter transversa dari kantong janin. Kadar -hCG juga meninggi, tetapi biasanya tidak setinggi MHK. Hal ini mungkin disebabkan pada MHP masih ditemukan vili korialis normal. Kadar yang tidak terlalu tinggi ini tidak menyebabkan rangsangan pada ovarium. Pada MHP jarang sekali ditemukan kista lutein. Di samping itu, MHP jarang sekali disertai penyulit seperti PEB, tiroktosikosis atau emboli paru. Diagnosis Dengan tidak ditemukannya tanda-tanda yang khas, maka sulit untuk membuat diagnosis kerja, kecuali pada kehamilan yang cukup besar, yang diagnosisnya dapat ditentukan oleh hasil USG, dimana kita akan melihat gambaran vesikuler yang khas di samping kantong janin, dengan atau tanpa janin. Biasanya diagnosis dibuat secara tidak sengaja, setelah dilakukan tindakan dan diperkuat dengan hasil pemeriksaan PA, dimana ditemukan gambaran khas sebagai berikut. 2. vili korialis dari berbagai ukuran dengan degenerasi hidropk, kavitasi, dan hiperplasia trofoblas 3. scalloping yang berlebihan dari vili 4. inklusi stroma trofoblas yang menonjol 5. ditemukan jaringan embrionik atau janin

Terapi Karena diagnosis umumnya dibuat secara kebetulan pascakuret, biasanya evakuasi dilakukan dengan kuret biasa. Selanjutnya tidak perlu tindakan apa-apa. Histerektomi dan upaya profilaksis lainnya tidak dianjurkan. Prognosis Dibandingkan dengan MHK, prognosis MHP jauh lebih baik. Hal itu disebabkan oleh tidak adanya penyulit dan derajat keganasannya rendah (4%). Walupun demikian,

3 dalam kepustakaan ditemukan laporan tentang kasus MHP yang disertai metastase ke tempat lain. Penderita pasca-MHP harus difollow up sama ketatnya seperti MHK.

BAB IV PENYAKIT TROFOBLAST GANAS

Definisi Penyakit Trofoblas ganas adalah suatu tumor ganas yang berasal dari siti dan sinsitiotrofoblas yang menginvasi miometrium dan merusak jaringan disekitarnya serta pembuluh darah sehingga menyebabkan perdarahan. Penyakit ini dapat didahului oleh proses fertilisasi (mola hidatidosa, kehamilan biasa, abortus dan kehamilan ektopik) bahkan dapat merupakan produk langsung dari hasil konsepsi ( gestasional choriocarcinoma )atau yang bukan didahului oleh suatu kehamilan ( non gestasional choriocarsinoma ). Insidensi Penyakit ini sering terjadi pada usia 14 49 tahun dengan rata rata 31,2 tahun. Resiko terjadinya PTG yang non metastase 75 % didahului oleh molahidatidosa dan sisanya oleh abortus, kehamilan ektopik atau kehamilan aterm. Pada jenis invasif mola ( PTG villosum ) 12,5 % berasal dari mola komplit dan 1,5 % berasal dari mola parsial. Pada koriokarsinoma ( PTG non villosum ) 1,7 % berasal dari mola komplit dan 0,2 % dari mola parsial, koriokarsinoma setelah kehamilan normal lebih sering terjadi dibandingkan mola invasif. Klasifikasi Secara klinis terdapat 2 bentuk PTG yaitu : 1. PTG terdapat hanya dalam uterus ( invasive mola ) Merupakan suatu proses seperti tumor yang menginvasi miometrium dengan hiperplasia trofoblas disertai struktur vili yang menetap. 2. PTG meluas keluar uterus koriokarsinoma ( gestasional koriokarsinoma) Adalah karsinoma yang terjadi dari sel sel trofoblas dengan melibatkan sitotrofoblas dan sinsitiotrofoblas. Hal ini biasa terjadi dari hasil konsepsi yang berakhir dengan lahir hidup, lahir mati ( still birth ), abortus, kehamilan ektopik, mola hidatidosa atau mungkin oleh sebab yang tidak diketahui. Etiologi dan Patogenesis

3 Etiologi terjadinya penyakit trofoblas ganas (PTG) belum jelas diketahui, namun bentuk keganasan tumor ini merupakan karsinoma epitel korion meskipun pertumbuhan dan metastasenya menyerupai sarkoma. Pada koriokarsinoma adalah trofoblas normal cenderung menjadi invasive dan erosi pembuluh darah berlebihan. Metastase sering terjadi lebih dini dan biasanya sering melalui pembuluh darah jarang melalui getah bening. Tempat metastase yang paling sering adalah paru paru (75 %) dan kemudian vagina (50 %). Pada beberapa kasus metastase dapat terjadi pada vulva, ovarium, hepar, ginjal dan otak. Gejala dan Tanda Perdarahan yang tidak teratur setelah berakhirnya suatu kehamilan dan dimana erdapat subinvolusio uteri juga perdarahan dapat terus menerus atau intermitten dengan perdarahan mendadak dan terkadang massif. Pada pemeriksaan ginekologis ditemukan uterus membesar dan lembek. Kista teka lutein bilateral. Lesi metastase di vagina atau organ lain. Perdarahan karena perforasi uterus atau lesi metastase ditandai dengan : Nyeri perut Batuk darah Melena Peninggian tekanan intrakranial berupa sakit kepala, kejang dan hemiplegia Kadar hCG paska mola tidak menurun, tapi meningkat lagi. Dengan pemeriksaan radiologi foto thorak dapat ditemukan adanya lesi metastase. Pada pemeriksaan histopatologi dapat ditemukan villus, namun demikian dengan tidak memperlihatkan gambaran patologik tidak dapat menyingkirkan suatu keganasan. Diagnosa Diagnosa kemungkinan PTG bila didapatkan perdarahan pervaginam yang menetap.Titer hCG yang tetap atau meninggi setelah terminasi kehamilan, mola atau

3 abortus. Namun demikian masih memerlukan pemeriksaan USG terhadap kasus PTG oleh karena masih kurang sensitif dan spesifik terhadap peninggian kadar hCG. Pemeriksaan foto torak juga dapat menentukan diagnosa. Kadang kadang metastase juga ditemukan pada vagina, serviks, paru - paru atau otak. Dengan ditemukannya gambaran villus pada sediaan histopatologik maka diagnosa pasti PTG dapat ditegakkan. Tetapi tindakan kuretase sering tidak dapat memastikan adanya keganasan. Oleh karena itu jika lesi berada pada miometrium atau proses pada paru paru terjadi primer, sudah pasti histopatologik akan negatif. Lagipula tindakan kuretase dapat menimbulkan perdarahan yang banyak, perforasi dinding uterus dan dapat memudahkan penyebaran sel sel trofoblas ganas. Makroskopis Secara makroskopis baik pada uterus maupun pada daerah metastase terlihat nodul nodul ungu yang lunak, multipel, mudah berdarah, dan ada daerah daerah nekrosis. Sel sel si sitial dan sitotrofoblas mengalami displasia luas, irregular dengan inti hiperkhromik. Sel sel sinsitial biasanya mengadakan penetrasi. Kadang - kadang sel sinsitial dan sitotrofoblas sangat mirip dengan sel plasenta yang normal, sedangkan sel sel metastase merupakan jaringan dan cepat menjadi tipe anaplasia. Tidak adanya vili merupakan gambaran karakteristik dari koriokarsinoma. Belakangan ini dari hasil penelitian, bila masih terlihat adanya vili ,merupakan petunjuk bahwa proses koriokarsinoma masih dalam stadium dini. Penanganan Prinsip dasar penanganan penyakit trofoblas ganas adalah kemoterapi dan operasi. indikasi kemoterapi : 1. 2. 3. 4. 5. Meningkatnya hCG setelah evakuasi Titer hCG sangat tinggi setelah evakuasi hCG tidak turun selama 4 bulan setelah evakuasi Meningginya hCG setelah 6 bulan setelah evakuasi atau turun tetapi lambat Metastase ke paru paru, vulva, vagina kecuali bila hCG nya turun

3 6. 7. 8. Metastase kebagian organ lainnya ( hepar, otak ) Perdarahan pervaginam yang berat atau adanya perdarahan gastrointestinal Gambaran histologi koriokarsinoma

Operatif, merupakan tindakan utama dalam penanggungan dini PTG, walaupun tumor sudah lama, namun bila masih terlokalisir di uterus tindakan histerektomi baik dilakukan. Pasien pasien dengan perdarahan pervaginam yang terus menerus atau resisten terhadap kemoterapi akan dilakukan histerektomi. Follow up Standar follow up dari sebagia penulisan adalah sebagai berikut 1. Pemeriksaan hCG serum / urine Diperiksa setiap minggu sampai dinyatakan negatif selama 3 kali pemeriksaan. Selanjutnya setiap bulan selama 12 bulan kemudian setiap 2 bulan selama 12 bulan dan selanjutnya tiap 6 bulan. Setelah kemoterapi titer hCG akan turun pada batas yang tidak dapat dideteksi selama 2 bulan awal pengobatan 2. Pemeriksaan pelvic Diperiksa setiap minggu, setelah evakuasi suatu kehamilan sampai batas normal. Selanjutnya setiap 4 minggu mengevaluasi perubahan perubahan besar uterus dan munculnya kista teka lutein 3. Thorak foto Jika terapi sempurna telah selesai ternyata masih tampak sisa tumor di paru paru diperlukan pemeriksaan radiologi selama 2 tahun, intuk melihat bukti apakah sisa tumor hilang.

Pencegahan Pada kasus resiko tinggi bila jumlah anak yang diinginkan sudah mencukupi supaya dilakukan histerektomi. Memberikan kemoterapi terhadap kasus kasus kehamilan ektopik untuk mencegah penyakit trofoblas.

3 Bila titer hCG paska mola tidak turun selama 3 minggu berturut turut atau malah semakin naik dapat diberikan kemoterapi, kecuali anak sudah cukup dapat dilakukan histerektomi. Prognosis Makin dini diagnosa dibuat dan makin dini pengobatan dimulai makin baik prognosanya. Prognosa penyakit trofoblas ganas jenis villosum lebih baik daripada jenis non villosum. Prognosa memburuk dijumpai pada : 1. Masa laten antara mola dan timbulnya keganasan panjang 2. hCG yang tinggi 3. Pengobatan tidak sempurna 4. Adanya anak sebar pada otak dan hepar 5. Daya tahan tubuh penderita menurun 6. Diagnosa terlmabat dibuat dengan akibat terapi terlambat diberikan.

DAFTAR PUSTAKA

3 Cunningham FG, Mc Donald PC, Gant NF et al. Williams Obstetrics, 20th ed. Philadelphia : Appleton and Lange, 1997 : 948. Martaadisoebrata D, Wirakusumah F. Obstetri Patologi. Jakarta : EGC, 2004 ; 28 33. Martaadisoebrata D. Buku Pedoman Pengelolaan Penyakit Trofoblas Gestasional. Jakarta : EGC, 2005 ; 7 42. Kariadi SH. Identifikasi Penduga Potensial untuk Diagnosis Tiroktosikosis Pada Penderita Mola Hidatidosa. Disertasi UNPAD 1992.

Martadisoebrata D. Penyakit Serta Kelainan Plasenta dan Selaput Janin. Dalam : Ilmu Kebidanan. Editor Wiknjosastro H. Saifuddin AB, Rachimhadhi T. Edisi ketiga, Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo ; 200 .p.339-59

Mochtar R. Penyakit Trofoblas. Dalam : Sinopsis Obstetri. Editor Lutan D. Jilid I. Edisi2. Jakarta : EGC ; 1998.p.238-45.

Prawirohardjo S, Wiknjosastro H. Mola Hidatidosa dalam Ilmu Kandungan Edisi kedua, Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 1997. 260 -264 www. medicastore.com/penyakit/2006/mola_hidatidosa www.wordpress.com/2007/07/molahidatidosa www.drnyol.info/obgyn-grey-zone/in-obgyne/2010/molahidatidosa

Anda mungkin juga menyukai