Anda di halaman 1dari 6

Beberapa Teori Derivasi dari Teori Peran

1. TEORI PENGAMBILAN HATI a. Pengertian Menurut Jones (1965) dan Jones & Wortman (1973), teori pengambilan hati menawarkan suatu konstruk teoritis untuk menyingkap strategi-strategi interpersonal, yang dibawakan oleh setiap pelaku, agar ia dapat membuat orang lain terkesan akan kualitas-kualitas pribadinya. Ciri khas dari strategi yang dimaksud tidak mendasarkan pada norma kontrak sosial yang lazim, karena masing-masing pelaku akan berusaha menyiasati orang sasarannya, demi tercapainya tujuan utama: menciptakan kesan baik tentang dirinya. Sementara itu, pada sasaran akan cenderung tercipta suatu kesan tentang atribut positif atau kualitas atraktif pada diri si pelaku.

b. Faktor Penentu Dalam Pengambilan Hati 1) Faktor perangsang (incentive) atau suatu bakal imbalan yang dapat diharapkan akan diperoleh, kalau pengambilan hati tersebut dilakukan. Pada pihak pelaku, nilai perangsang ini akan berupa bobot kepentingan dengan ia melakukan pengambilan hati tersebut. Pelaku diharapkan dapat membaca gelagat pihak sasarannya, agar dapat mengetahui hal-hal yang dapat mengundang kekaguman atau menimbulkan anggapan unik. Hasil pemahaman akan bacaan inilah yang akan membimbing pelaku untuk mendayagunakan titik kelemahan pada pihak sasaran. 2) Probabilitas subyektif. Seorang pelaku atau penjilat akan menempuh suatu risiko tinggi dengan hal yang dilakukan. Hal ini akan sangat dipertimbangkan, agar suatu tafsiran dapat dipastikan. Tafsiran tersebut mencakup kualitas, keberadaan dan atribut dari orang sasaran. 3) Legitimasi yang dilakukan pelaku atas tindakan untuk mengambil hati. Hal yang akan dilakukan oleh pelaku akan menimbulkan perasaan mendua, karena pertimbangan etis ikut berperanan (terjadi ethical ramification). Karenanya, diperlukan suatu langkah resolusi; di antaranya, ialah dengan menciptakan pembenaran-pembenaran. Hubungan antara ketiga faktor penentu diatas bersifat multiplikatif. Jika salah satu

diantaranya tidak ada, maka tidak akan terjadi pengambilan hati.

c. Taktik taktik Pengambilan Hati 1) Peningkatan terhadap orang lain. Yaitu suatu perilaku pengambilan hati dimana penjilat berusaha mencari evaluasi positif dari orang lain (sasaran), dengan cara memberikan pujian pada sasaran, yang dapat mempertinggi rasa penghargaan kepada diri sendirinya. Pujian yang dilakukan berkali-kali ini disebut sebagai flattery (bujukan, cumbuan, rayuan). Tentunya dalam hal ini, penjilat akan berusaha menemukan titik-titik yang memungkinkan sasaran menjadi merasa tinggi. Biasanya cara ini dilakukan melalui pengucapan penyebutan langsung. Hal penting yang dipertimbangkan oleh penjilat adalah bahwa pujian yang dilakukannya itu mempunyai ketepatan dimensi nilai bagi si sasaran, tetapi juga membuat sasaran kurang pasti akan status dirinya. 2) Konformitas opini. Taktik ini dikembangkan dengan asumsi bahwa orang akan menyukai orang lain yang sikap dan keyakinannya sana dengan miliknya sehingga memungkinkan terjadinya suatu persetujuan. Dalam prakteknya, penjilat akan dengan taktis mendayagunakan persetujuan ini atas hal-hal unik sekaligus belum ter-identifikasi oleh pihak sasaran. Untuk itu pemberian persetujuan harus mempunyai landasan factual, dan tidak setiap kali harus memberikan persetujuan pada apa yang dilakukan oleh sasaran. Tujuan akhir dari penjilat adalah menciptakan anggapan pada pihak sasaran bahwa dirinya adalah seseorang yang berhati baik, simpatik, dan semua yang berkonotasi positif tentang dirinya. 3) Ungkapan kekaguman (Rendering favor) Taktik ini berupa pemberian favor yang berupa sikap menyenangi, sikap menghormati dan semacamnya, sehingga terkesan bahwa si pemberi favor adalah pribadi yang ramah dan penuh pemahaman dan perhatian. Agar efektif, hal itu perlu dilakukan secara sangat halus, sehingga si sasaran tidak dapat membaca maksud si penjilat. 4) Unjuk diri Yang dimaksud adalah suatu taktik untuk mengejawantahkan atau memaparkan atribut positif pada diri penjilat sehingga penjilat nampak menjadi lebih memikat bagi sasaran. Hal ini harus dilakukan dengan aman, dalam arti bahwa ungkapan penjilat harus merupakan sesuatu yang khusus (tepat waktu, tepat sasaran), dengan merujuk pada gambaran atribut positif sebagaimana dilukiskan oleh budayanya. Ungkapan unjuk diri ini dapat dilakukan

secara langsung dan tidak langsung, bahwa seakan-akan orang lain disekitar penjilat melihat reputasi baik dari penjilat. d. Akibat Pengambilan Hati 1) Pada diri sasaran Serius-tidaknya akibat dari suatu pengambilan hati pada diri sasaran, tergantung pada konsekuensi atribusi motivasi yang dibuat sasaran terhadap penjilat; dan taraf, sejauh mana penjilat mendasarkan taktik-taktiknya pada status dan informasi faktual. Hal ini akan sangat berpengaruh pada cara pandangnya tentang realitas, kemungkinan terjadinya distorsi dalam konsep diri, karena informasi yang diberikan oleh penjilat; atau karena posisi dan statusnya, seorang sasaran cenderung tidak percaya pada hal yang dianggapkan penjilat tentang dirinya. 2) Pada diri penjilat Dengan tindakan pengambilan hatinya, penjilat cenderung mengalami perubahan cara pandang terhadap dirinya sendiri, sebagai fungsi dari penyaji diri yang selalu positif (positive self-respresentator). Kemungkinan lain, penjilat akan memandang sasaran menjadi lebih positif. Atau yang paling riskan, opini dan keyakinan tentang diri-pribadinya akan berubah, karena terstruktur secara tak sadar oleh kebiasaannya melakukan konformitas opini pada sasaran. 3) Akibat dari hubungan Pandangan makro menyebutkan bahwa pengambilan hati merupakan konsekuensi logis dari masalah ketidak-merataan distribusi dalam hal materi, sosial dan personal. Hal ini mengakibatkan suatu struktur hubungan ketergantungan. Segala tindakan pengambilan hati tersebut tidak selalu mempunyai sifat yang sesuai dan adaptif dalam hubungan sosial.

2. TEORI PENGENDALIAN KESAN a. Pengertian Menurut Schlenker (1980), pengertian pokok dari teori pengendalian kesan menunjuk pada suatu usaha sadar atau tak sadar dari si pelaku, untuk mengendalikan citra orang tentang dirinya, yang diproyeksikan dalam interaksi sosial, baik yang riil (real) maupun yang terbayangkan (imaginary).

b. Konsep Diri dan Identitas Konsep diri menunjuk pada suatu cara, bagaimana seseorang mengkonsepkan dirinya berdasarkan kriteria yang diperolehnya selama sosialisasi. Dalam interaksi sosial aktual, materi sosialisasi ini akan dapat berupa kesan-kesan oleh orang lain, yang sifatnya kategoris. Seseorang akan berusaha memfungsikan kesan-kesan sehingga ia dapat memaksimalisasikan kenikmatan dan meminimalisir penderitaan. Konsep diri berkaitan dengan kapasitas seseorang untuk memfungsikan seluruh daya yang ada pada dirinya. Dengan konsep dirinya tersebut, seseorang akan mengupayakan pitensi dan kapabilitasnya untuk mencapai keluaran yang paling optimal untuk merealisasikan hidupnya. Konsep diri juga merupakan kerangka-kerja untuk mengorganisasikan serta menafsirkan pengalaman-pengalaman. Dalam kaitan langsung dengan teori peran, konsep diri berfungsi untuk memelihara rasa penghargaan kepada diri sendiri (self-esteem) seseorang, melalui caracara pengelolaan kesan-kesan, yang timbul pada diri orang lain atas dirinya. Identitas diri berkenaan dengan konsep kedirian (self) menurut apa kata orang luar. Dalam interaksi sosial nyata, identitas diri akan menciptakan atau memproyeksikan suatu citra tentang diri, berdasarkan informasi eksternal tentang diri-nya. Penggunaan identitas diri ini akan menciptakan pada persepsi orang-orang lain. Dengan demikian, identitas diri merupakan sosok hasil dari proses interaksi sosial dengan orang lain, yang dapat juga dikatakan sebagai pribadi yang merupakan bagian dari hubungan sosial. Juga merupakan persepsi tentang identitas diri seseorang (self-perception), yang juga merupakan identitas yang dikenal orang lain. Dalam teknik pengendalian kesan, konsep diri dikomunikasikan kepada orang lain dalam batasbatas identitas dirinya. Dalam rangka memelihara rasa penghargaan kepada diri sendiri, seseorang menggunakan siasat-siasat yang dapat mengaktifkan identitas diri ini di bawah pengendaliannya sehingga tidak terjadi kesenjangan antara konsep diri dan identitas diri. Dalam konteks sosial actual-interaktif, ada cara-cara yang berbeda untuk memproyeksikan identitas sosial seseorang. Mungkin seseorang lebih berupaya untuk sadar penampilan diri (publically self-conscious), sensitive terhadap situasi sosial atau lebih membutuhkan penerimaan sosial; sementara orang lain lebih bersifat manipulatif. c. Pengkonstruksian Realitas Pribadi d. Fokus utama dalam proses pengkonstruksian realitas personal adalah pada kebutuhan akan pemeliharaan rasa penghargaan kepada diri sendiri, bahkan seandainya terjadi suatu kontroversi sekalipun. Dapat dilakukan melalui beberapa taktik, seperti pengendalian identitas,

pemaparan kepada khalayak (public description), pengendalian citra diri (management self image), atau melalui upaya mengklaim (claiming). Arah dari taktik pengontrolan identitas adalah untuk mempengaruhi sikap dan perilaku dari orang lain untuk dibelokkan pada tindakan tertentu. Pemaparan pada khalayak dilihat dari upaya memaparkan atribut-atribut diri. Pengendalian citra diri lebih merupakan upaya memelihara citra diri, dengan berpatokan pada kriteria-kriteria sosial, yang diperoleh sewaktu individu mengalami sosialisasi. Sedangkan pernyataan diri merupakan suatu proses yang kompleks dari tarik-menarik antara penegasan identitas diri, di satu pihak dan tantangan kepada dunia sosial yang tidak selalu siap menerima penegasan itu. e. Upaya Perlindungan Terhadap Diri Konsekuensi dari kesuksesan mengkonstruksi identitas diri adalah ketakutan akan ketentraman. Ketakutan ini akan menciptakan antisipasi-antisipasi tentang kejadian dan konsekuensi tindakannya. Taktik perlindungan diri (self) diarahkan pada upaya untuk mengurangi konsekuensi dari ancaman-ancaman tersebut.

3. TEORI PEMANTAUAN DIRI a. Pengertian Menurut Mark Snyder (1972) teori ini sebenarnya merupakan pengkombinasian antara teori pengambilan hati dan teori pengendalian kesan. Pokok yang mau diketengahkan oleh teori ini adalah tentang bagaimana mekanisme kendali yang digunakan oleh individu untuk memanipulasi citra dan kesan orang lain tentang person dalam konteks interaksi sosial. b. Konstruk Teori Titik tolak dari teori ini adalah penelusuran tentang sejauh mana kendali individu atas citra dan kesan yang terbentuk dalam diri orang lain kepadanya dalam relasi sosial; dan konsekuensi dari adopsi strategi dan orientasi pragmatiknya pada hubungan sosial. Individu mempunyai kemampuan dan kecenderungan umum untuk mengendalikan perilaku pengungkapannya, penyajian diri, dan pengumbaran rasa-nya (affective display-nya). Hal ini merupakan fenomena yang stabil dalam hubungan sosial dan akan berpengaruh pada perilaku sosial, interaksi sosial dan perpektif ideologi-nya. Masing-masing individu dianggap mempunyai erbedaan penting, yang terukur, dan akan mempengaruhi kadar hasil dalam mengelola diri. Individu dengan pemantauan diri rendah lebih

dikendalikan oleh keadaan afektif internal dan sikap yang stabil serta kurang begitu sadar akan upaya untuk mengepaskannya dengan situasi sosial. Sedangkan individu dengan pemantauan diri tinggi lebih mempunyai daya tanggap terhadap situasi dan berusaha menyesuaikannya dengan perilakunya. Mereka akan sangat sensitive terhadap criteria tentang perilaku yang dapat diterima. Snyder merancang teorinya dengan suatu konstruk pengukuran tentang pemantauan diri dan dari pengukuran itu ditemukan bahwa: 1) Individu dengan skor tinggi, dinilai oleh kelompok sebayanya sebagai pribadi yang tanggap terhadap isyarat dari kesesuaian sosial (social appropriateness), mempunyai kendali yang baik atas perilaku ekspresifnya, dan efektif dalam mengontrol kesan-kesan dari orang lain. 2) Kelompok kriteria yang juga mendapat skor tinggi dalam keterampilan pemantauan diri menunjukkan hal yang sama. 3) Mereka juga lebih mampu mengungkapkan secara intensional berbagai pengungkapan perasaan dan pemilikan sifat mereka. 4) Mereka juga lebih penuh perhatian (atentif) terhadap informasi yang berkenaan dengan unjuk diri kelompoknya. c. Hipotesis Tentang Pemantauan Diri Hipotesis 1: pemantau diri tinggi (High self-monitors) akan menunjukkan perilaku dalam situasi sosial yang benar-benar relevan dengan situasi itu, sementara pemantau diri rendah akan menunjukkan perilaku yang bersumber dari status dan sifat-sifat mereka. Hipotesis 1a: karena itu, ada kecenderungan dari pematau diri tinggi untuk menghadapi kebermacaman situasi sosial yang mereka hadapi. Sebagai konsekuensinya, konstruk pemantauan diri menggambarkan bahwa lingkup situasi untuk pengungkapan diri yang dihadapi oleh individu dengan pemantauan diri tinggi lebih ketimbang individu dengan pemantauan diri rendah. Hipotesis 2: karena kendali pengungkapan yang dimiliki si pemantau diri tinggi, mereka akan lebih terampil dan lebih cenderung mengenali pembawaan diri mereka, sehingga secara ajeg dapat mengejawantahkan sifat-sifat berlatar belakang pengungkapan (expressive back-ground traits) yang memenuhi keinginan sosial bila dibandingkan dengan si pemantau diri rendah. Sementara itu si pemantau diri rendah, di pihak lain, karena kurangnya kemampuan untuk mengendalikan perilaku pengungkapan, cenderung dipengaruhi oleh sifat-sifat yang melatarbelakangi pengungkapan yang mereka tampilkan kepada orang lain.

Anda mungkin juga menyukai