Trauma Kapitis
Trauma Kapitis
Fisiologi otak
Lapisan Kepala
Hemodinamik otak
CBF otak dipengaruhi oleh berbagai macam faktor
antara lain:
SBP (Systemic Blood Pressure)
ICP (Intracranial Pressure)
Venous outflow
Viskositas darah
Autoregulasi pembuluh darah otak
PaCO2
PaO2
Collateral flow
Vasoreaktifitas pembuluh darah
Klasifikasi berdasarkan
klinis
Derajat beratnya suatu TBI
ditentukan berdasarkan Glasgow
Coma Scale (GCS)
Skor GCS 3-8 menandakan suatu TBI
berat,
9-12 merupakan TBI sedang,
13-15 TBI ringan.
Difus
Concussio
Difus Axonal Injury
Subarachnoid Haemorargik
Fraktur Kranium
Meskipun secara teknis bukan merupakan suatu cedera
otak, namun banyak fraktur tengkorak menyertai adanya
cedera otak (terdapat pada separuh jumlah pasien dengan
cedera otak berat).
Fraktur linier tipe fraktur paling ringan dan pada
umumnya tidak memerlukan terapi yang spesifik. Kecuali
regio temporal, karena arterinya mudah robek.
Fraktur depresi menyebabkan tulang kranial tertekan
kebawah kompresi pada otak. Bagian fraktur dapat
menyebabkan laserasi dan adanya hematoma sehingga
perlu dilakukan debridement untuk evakuasi bekuan darah
dan potongan tulang, perbaikan robekan duramater, serta
elevasi dari fragmen tulang yang tertekan
Fraktur kranium
Fraktur basilar pada basis cranii terutama pada fossa
anterior atau media.
Fraktur
pada
basilar
sulit
dideteksi
dengan
pemeriksaan rontgen biasa sehingga diagnosis
dilakukan berdasarkan temuan klinis.
Adanya ekimosis periorbital (racoon eyes),
pendarahan
subkonjungtiva
ekstensif,
otorrhea
rhinorrhea CSF,
ekimosis pada prosesus mastoideus (Battles Sign)
CSF,
Media
Gejala dan tanda:
Keluarnya cairan likuor melalui telinga/otorrhea
Gangguan N.VII dan VIII
Posterior
Gejala dan tanda klinis:
Bilateral mastoid echymosis
Penunjang diagnostik:
Memastikan cairan serebrospinal secara sederhana dengan tes hal
Scanning otak resolusi tinggi dan irisan 3 mm (50%+)
Kontusio
Kontusio terjadi apabila adanya daya fokal yang
merusak pembuluh darah kecil dan komponen jaringan
otak lainnya pada parenkim neuron.
Kontusio umumnya terletak pada lobus inferior frontal
dan lobus inferolateral temporal dan jarang terjadi
pada lobus occipital dan cerebelum. Sehingga pasien
pada umumnya datang dengan suatu perubahan dari
sikap dan kepribadian yang disertai adanya defisit
wicara dan motorik.
Kontusio dapat sembuh dengan sedikit sequale atau
dapat berkembang menjadi edema otak. Adanya
expanding lesion dapat menyebabkan peningkatan ICP.
Penyebab
utama
dari
kontusio
adalah
cedera
coup-countrecuop
karena adanya efek akselerasi dan
deselerasi
yang
menyebabkan
tumbukan otak pada cavum kranii
dan tulang tengkorak kontra-lateral.
Kontusio
Hematoma
Epidural Hematoma
Subdural Hematoma
Intracerebral Hematoma
Perdarahan Basal Ganglia
Epidural Hematoma
Epidural hematoma terletak di antara duramater dan kranium sehingga
memberikan EDH gambaran bentuk konveks. tersering dari EDH pada regio
temporo-pareintal dan sering diakibatkan adanya laserasi dari arteri meningea
media karena adanya fraktur pada tulang temporal. Tanda diagnostik klinik:
Lucid interval (+)
Kesadaran makin menurun
Late hemiparese kontralateral lesi
Pupil anisokor
Babinsky (+) kontralateral lesi
Fraktur di daerah temporal
Hematoma epidural pada fosa posterior akan memberikan gejala dan tanda
klinis:
Lucid interval tidak jelas
Fraktur kranii oksipital
Kehilangan kesadaran cepat
Gangguan cerebellum, batang otak dan pernafasan
Pupil isokor
Butuh operasi secepatnya.
Subdural Hematoma
SDH terletak di antara duramater dan
aeachnoid. Berbentuk bulan sabit dengan sisi
yang tidak tegas.
SDH lebih sering terjadi dibandingkan EDH,
terjadi pada sekitar 30% dari cedera kepala
berat.
SDH umumnya disebabkan oleh robekan dari
vena-vena penghubung yang terletak antara
korteks dan sinus venosus dan sering
disebabkan oleh cedera akselerasi-deselerasi.
Subdural
Hematoma
Konkusio
Konkusio merupakan suatu disfungsi neurologik yang singkat
(transient) yang disebabkan oleh faktor mekanik terhadap otak.
Gambaran klinis:
hilangnya kesadaran (pingsan)
Kebingugan
Sefalgia
Disorientasi selama beberapa menit dan dapat juga disertai amnesia
Dapat pula disertai gangguan penglihatan.
Patofisiologi
Mekanisme cedera pada otak yang terjadi pada TBI
dapat terjadi melalui dua mekanisme.
Trauma pertama terbentuk area perdarahan atau
adanya kompresi. Hal ini disebut sebagai cedera
otak primer. Cedera primer dapat berupa
hematoma simpel atau suatu lesi yang bersifat
kompleks dan difus.
Cedera awal menyebabkan disfungsi neuron dan
kematian dari sel otak yang disebabkan oleh
adanya kerusakan pada pembuluh darah, akson
dan neuron itu sendiri. Kerusakan neuron pada
cedera primer bersifat ireversibel.
Gangguan metabolisme
Otak sangat bergantung pada suplai dari oksigen
dan glukosa untuk metabolisme aerob dan untuk
produksi dari ATP. Gangguan perfusi dan
oksigenisasi sering terdapat pada cedera kepala
yang hebat, terutama terkait dengan adanya
hipermetabolisme post trauma. Peningkatan
metabolisme menyebabkan terjadinya
peningkatan uptake dari glukosa dan oksigen
yang sudah berkurang sehingga menimbulkan
adanya hipoksia, metabolisme anaerob dan
mendorong terjadinya cedera otak sekunder.
Faktor-faktor inflamasi
Fungsi sitokin sebagai faktor inflamasi sangat penting dalam
patofisiologi TBI. Sitokin merupakan suatu protein yang berfungsi
sebagai mediator inflamasi dan berperan dalam komunikasi
intraseluler. Sitokin dilepaskan sebagai mekanisme pertahanan
terhadap adanya infeksi, trauma, dan iskemia pada TBI. Pada TBI
sitokin yang dihasilkan berasal dari intrinsik (oleh neuron, astrosit,
dan mikroglia) dan ekstrinsik (karena infiltrasi leukosit).
Ekspresi sitokin yang berlebihan berbahaya untuk jaringan yang
rusak dan dapat menyebabkan kematian seluler dan kontrasnya
kadar sitokin yang rendah dapat memacu proses perbaikan seluler.
Sitokin utama yaitu interleukin-1 (IL-1) dan tumor necrosis factor
(TNF) berperan sebagai mediator apoptosis neuronal sehingga
memicu terjadinya neuronal loss pada pasien dengan TBI. Selain itu
IL-1 dan TNF menganggu aktivitas sel endotel sehingga terjadi
kerusakan endotel dan peningkatan permeabilitas.
Edema Cerebri
Salah satu faktor yang turut menyebabkan cedera otak sekunder adalah
adanya edema serebral yang disebabkan oleh adanya leukosit dan platelet
sebagai akibat adanya aktifasi dari faktor-faktor inflamasi dan respon
imun. Klasifikasi edema serebral:
Vasogenic edema
Disebabkan oleh adanya gangguan pada BBB yang menyebabkan akumulasi dari
cairan kaya protein pada ruang ekstraseluler. Vasogenic edema menyebabkan
pembengkakan lokal pada daerah sekitar kontusio atau hematoma
Cytotoxic edema
Edema ini terjadi bersamaan dengan kerusakan hipoksia-iskmik diman terjadi
gangguan gradien ion sehingga terjadi akumulasi cairan intraseluler
Hydrostatic edema
Disebabkan oleh peningkatan dari tekanan intravaskuler secara tiba-tiba pada
pembuluh darah yang intak sehingga terjadi akumulasi dari cairan yang miskin
protein. Hydrostatic edema juga dapat menyertai dekompresi mendadak pada
lesi yang besar atau saat terjadi gangguan autoregulasi
Osmotic brain edema
Disebabkan oleh adanya penurunan dari osmolalitas serum dalam jumlah besar,
sehinggga menyebabkan peningkatan cairan intraseluler. Etiologinya disebabkan
oleh adanya hemodilusi yang iatrogenik akibat adanya penggunan dextrosa IV/
cairan berbasis air atau adanya SIADH
Interstitial brain edema
Pada CT-scan ditemukan gambaran yang sesuai dengan peningkatan ICP yaitu
Diagnosis
Minimal (Simple Head Injury)
GCS 15, tidak ada penurunan kesadaran, tidak ada amnesia
pasca trauma (APT), tidak ada defisit neurologis
Trauma kapitis ringan (Mild Head Injury)
GCS 13-15, CT scan normal, pingsan < 30 menit, tidak ada lesi
operatif, rawat RS < 48 jam, amnesia pada trauma (APT) < 1
jam
Trauma kapitis sedang (Moderate Head Injury)
GCS 9-12 dan dirawat > 48 jam, atau GCS > 12 akan tetapi ada
lesi operatif intrakranial atau abnormal CT scan, pingsan >30
menit 24 jam, APT 1-24 jam
Trauma kapitis berat (Severe Head Injury)
GCS < 9 yang menetap dalam 48 jam sesudah trauma, pingsan
> 24 jam, APT > 7 hari
Penatalaksanaan CKB
Penderita cedera kepala berat tidak mampu melakukan perintah-perintah
sederhana walaupun status kardiopulmonernya telah distabilisasi.
Primary Survey
Secondary survey
Observasi ketat penting pada jam-jam pertama sejak kejadian cedera. Bila telah
dipastikan penderita CKR tidak memiliki masalah dengan jalan napas, pernapasan
dan sirkulasi darah, maka tindakan selanjutnya adalah penanganan luka yang
dialami akibat cedera disertai observasi tanda vital dan deficit neurologis. Selain
itu pemakaian penyangga leher diindikasikan jika :
Cedera kepala berat, terdapat fraktur klavikula dan jejas di leher
Nyeri pada leher atau kekakuan pada leher
Rasa baal pada lengan
Gangguan keseimbangan atau berjalan
Kelemahan umum
Bila setelah 24 jam tidak ditemukan kelainan neurologis berupa :
Penurunan kesadaran (menurut GCS) dari observasi awal
Gangguan daya ingat
Nyeri kepala hebat
Mual dan muntah
Kelainan neurologis fokal (pupil anisokor, reflex patologis)
Fraktur melalui foto kepala maupun CT scan
Abnormalitas anatomi otak berdasarkan CT scan
TERIMA KASIH