Anda di halaman 1dari 46

Trauma Kapitis

Fisiologi otak

Otak konsumsi energi dan oksigen yang besar (otak


mengkonsumsi sekitar 18% total energi tubuh basal,
utilisasi 15% dari cardiac output, memakai 20% total
oksigen tubuh, menggunakan 25% glukosa tubuh). Pada
Cerebral Blood Flow (CBF) normal otak memakai 50%
oksigen dan 10% dari glukosa dari arteri.
Sitoplasma neuron tidak memiliki cadangan glukosa otak
bergantung pada suplai yang cukup dan terus-menerus
dari oksigen dan glukosa sehingga apabila terjadi suatu
gangguan sirkulasi selama beberapa detik maka dapat
dipastikan otak mengalami kerusakan, dan apabila interval
gangguan semakin panjang maka dapat menyebabkan
kerusakan yang berat dan hebat.

Lapisan Kepala

Otak mengkonsumsi 3-5 ml O2/menit/100


gr tissue (45-75 ml O2/menit/1500 g tissue)
Konsumsi glukosa 5 mg/menit/100g tissue
(75 mg/mnt/1500 g tissue)
CBF normal 50 ml/mnt/100 g tissue (750
ml/mnt/1500 g tissue) yang berisi O2 20 ml
O2/100 ml (150 ml O2/ 1500 g tissue),
sekitar 2-3x dari aktifitas normal
Otak memakai 35-50% oksigen dari arteri
untuk metabolisme

Hemodinamik otak
CBF otak dipengaruhi oleh berbagai macam faktor
antara lain:
SBP (Systemic Blood Pressure)
ICP (Intracranial Pressure)
Venous outflow
Viskositas darah
Autoregulasi pembuluh darah otak
PaCO2
PaO2
Collateral flow
Vasoreaktifitas pembuluh darah

CBF ditentukan Central Perfusion Pressure (CPP) yang


merupakan perbedaan antara MAP (Mean Arterial
Pressure) dengan ICP (Intracranial Pressure).
Pengaturan resistensi pembuluh darah otak terletak
pada arteriol dan segmen prekapiler, dan selain itu
faktor yang menentukan aliran darah regional otak
adalah metabolisme cerebral.
Pada pasien dengan iskemia pada otak dalam kurun
waktu 12 jam didapatkan pada 30% pasien
ditemukan adanya penurunan CBF secara global
hingga mencapai kadar dibawah ambang iskemia ( <
18 ml/100 g/menit).

Mekanisme Cedera Kepala


Semua cedera kepala disebabkan oleh
adanya transmisi energi kinetik ke otak.
Mekanisme utama dari TBI dapat dibagi 2
bagian besar yaitu cedera tumpul (Blunt
Injury) atau cedera tembus (Penetrating
Injury). Mekanisme dari cedera tumpul
antara lain yaitu:
Acceleration-decceleration injury
Defomasi
Rotasi

Klasifikasi berdasarkan
klinis
Derajat beratnya suatu TBI
ditentukan berdasarkan Glasgow
Coma Scale (GCS)
Skor GCS 3-8 menandakan suatu TBI
berat,
9-12 merupakan TBI sedang,
13-15 TBI ringan.

Klasifikasi Jenis Trauma


kapitis
Fokal
Fraktur kranium
Kontusio
Hematoma

Difus
Concussio
Difus Axonal Injury
Subarachnoid Haemorargik

Fraktur Kranium
Meskipun secara teknis bukan merupakan suatu cedera
otak, namun banyak fraktur tengkorak menyertai adanya
cedera otak (terdapat pada separuh jumlah pasien dengan
cedera otak berat).
Fraktur linier tipe fraktur paling ringan dan pada
umumnya tidak memerlukan terapi yang spesifik. Kecuali
regio temporal, karena arterinya mudah robek.
Fraktur depresi menyebabkan tulang kranial tertekan
kebawah kompresi pada otak. Bagian fraktur dapat
menyebabkan laserasi dan adanya hematoma sehingga
perlu dilakukan debridement untuk evakuasi bekuan darah
dan potongan tulang, perbaikan robekan duramater, serta
elevasi dari fragmen tulang yang tertekan

Fraktur kranium
Fraktur basilar pada basis cranii terutama pada fossa
anterior atau media.
Fraktur
pada
basilar
sulit
dideteksi
dengan
pemeriksaan rontgen biasa sehingga diagnosis
dilakukan berdasarkan temuan klinis.
Adanya ekimosis periorbital (racoon eyes),
pendarahan
subkonjungtiva
ekstensif,
otorrhea
rhinorrhea CSF,
ekimosis pada prosesus mastoideus (Battles Sign)

CSF,

Adanya otorrhea dan rhinorrea berisi CSF merupakan


suatu petanda penting karena menandakan adanya
robekan duramater sehingga pasien memiliki resiko
terjadi meningitis.

Fraktur Basilar menurut


lokasi
Anterior
Gejala dan tanda klinis
Keluarnya cairan likuor melalui hidung/rhinorrea
Perdarahan bilaterala periorbital ecchymosis/racoon eye
Anosmia

Media
Gejala dan tanda:
Keluarnya cairan likuor melalui telinga/otorrhea
Gangguan N.VII dan VIII

Posterior
Gejala dan tanda klinis:
Bilateral mastoid echymosis

Penunjang diagnostik:
Memastikan cairan serebrospinal secara sederhana dengan tes hal
Scanning otak resolusi tinggi dan irisan 3 mm (50%+)

Kontusio
Kontusio terjadi apabila adanya daya fokal yang
merusak pembuluh darah kecil dan komponen jaringan
otak lainnya pada parenkim neuron.
Kontusio umumnya terletak pada lobus inferior frontal
dan lobus inferolateral temporal dan jarang terjadi
pada lobus occipital dan cerebelum. Sehingga pasien
pada umumnya datang dengan suatu perubahan dari
sikap dan kepribadian yang disertai adanya defisit
wicara dan motorik.
Kontusio dapat sembuh dengan sedikit sequale atau
dapat berkembang menjadi edema otak. Adanya
expanding lesion dapat menyebabkan peningkatan ICP.

Penyebab
utama
dari
kontusio
adalah
cedera
coup-countrecuop
karena adanya efek akselerasi dan
deselerasi
yang
menyebabkan
tumbukan otak pada cavum kranii
dan tulang tengkorak kontra-lateral.

Kontusio

Acute cerebral contusion, there are low-density edema


with flake high-density shadow(Asterisk),
accompanied with subarachnoid hemorrhage in the
suprasellar pool, sylvian cistern and around the right falx
cerebri(black arrow). The gas in the suprasellar pool
indicates basal skull fractures(black arrowhead).

Hematoma

Epidural Hematoma
Subdural Hematoma
Intracerebral Hematoma
Perdarahan Basal Ganglia

Epidural Hematoma
Epidural hematoma terletak di antara duramater dan kranium sehingga
memberikan EDH gambaran bentuk konveks. tersering dari EDH pada regio
temporo-pareintal dan sering diakibatkan adanya laserasi dari arteri meningea
media karena adanya fraktur pada tulang temporal. Tanda diagnostik klinik:
Lucid interval (+)
Kesadaran makin menurun
Late hemiparese kontralateral lesi
Pupil anisokor
Babinsky (+) kontralateral lesi
Fraktur di daerah temporal

Hematoma epidural pada fosa posterior akan memberikan gejala dan tanda
klinis:
Lucid interval tidak jelas
Fraktur kranii oksipital
Kehilangan kesadaran cepat
Gangguan cerebellum, batang otak dan pernafasan
Pupil isokor
Butuh operasi secepatnya.

Subdural Hematoma
SDH terletak di antara duramater dan
aeachnoid. Berbentuk bulan sabit dengan sisi
yang tidak tegas.
SDH lebih sering terjadi dibandingkan EDH,
terjadi pada sekitar 30% dari cedera kepala
berat.
SDH umumnya disebabkan oleh robekan dari
vena-vena penghubung yang terletak antara
korteks dan sinus venosus dan sering
disebabkan oleh cedera akselerasi-deselerasi.

Berdasarakan waktu maka SDH dibagi menjadi :


SDH akut (berisi bekuan darah yang terjadi segera
atau beberapa hari),
SDH subakut (berisi campuran bekuan darah dan
cairan yang terjadi beberapa hari hingga 3 minggu
setelah trauma)
SDH kronik (konsistensi utama cairan dan terjadi 3
minggu atau lebih). Tipe kronik lebih sering terjadi
pada dewasa usia lanjut, peminum alkohol, atau pada
orang yang mengkonsumsi antikoagulan.

Tanda dan gejalanya adalah kesadaran menurun


dan ada sakit kepala.

Perbedaan EDH dan SDH


Epidural
Hematoma

Di antara dura dan


kranii
Tidak dapat melewati
sutura
Fraktur kranii di regio
temporoparietal
Arteri meningeal media
Lenticular or biconvex
shape
Interval lucid
Sering pada alcoholics
Cito
CT without contrast

Subdural
Hematoma

Di antara dura dan


arachnoid
Dapat melewati sutura
Cortical bridging veins
Crescent shape
Hilang kesadaran
Sering pada orang tua
Sering pada alcoholics
Cito
CT without contrast
Evacuate via burr holes

Intracerebral Hematoma (ICH)


ICH merupakan suatu area pendarahan yang terletak
pada parenkim otak yang berukuran 2 cm atau lebih
namun tidak kontak dengan permukaan otak.
ICH disebabkan oleh adanya ruptur dari pembuluh darah
parenkim saat cedera.
ICH ditandai dengan area hiperdens pada CT-scan.
Sepertiga hingga setengah pasien dengan ICH datang
dalam keadaan tidak sadar dan sekitar 20% memiliki
periode lucid antara periode post-trauma hingga koma.
Pembentukan ICH dapat terlambat dan dapat tidak
muncul pada CT-scan dalam waktu 24 jam. Pada fase
seperti ini CT-scan ulang dilakukan apabila adanya defisit
neurologis yang bertambah dan adanya peningkatan ICP.

Perdarahan Basal Ganglia


Perdarahan basal ganglia sering dikaitkan dengan prognosis yang
buruk. Suatu studi menunjukkan bahwa 88% pasien dengan
pandarahan basal ganglia dan peningkatan ICP memiliki keluaran
yang buruk (cacat berat, vegetative state, atau kematian); sekitar
50% dengan ICP normal memiliki keluaran yang buruk.
Pendarahan ini disebabkan oleh dua mekanisme,
pertama adanya tarikan atau robekan pada saluran choroid anterior
pada tepi tentorium;
kedua akibat adanya perforasi dari cabang arteri cerebri media. Robekan
pada pembuluh darah dalam biasanya disebabkan oleh karena efek
akselerasi-deselerasi.

Pendarahan intraserebral pada thalamus atau basal ganglia


didapatkan pada 10% pasien dengan cedera kepala berat dan
sangat berhubungan dengan peningkatan insidens dari cedera
axon difus.

Konkusio
Konkusio merupakan suatu disfungsi neurologik yang singkat
(transient) yang disebabkan oleh faktor mekanik terhadap otak.
Gambaran klinis:
hilangnya kesadaran (pingsan)
Kebingugan
Sefalgia
Disorientasi selama beberapa menit dan dapat juga disertai amnesia
Dapat pula disertai gangguan penglihatan.

Diagnosis utama melalui pemeriksaan klinis dan jarang


didapatkan lesi pada CT-scan. Konkusio tidak menyebabkan
kerusakan neuron namun menyebabkan disfungsi neuron
sementara karena adanya perubahan metabolisme, fungsi
neurotransmiter, dan ionic shift dan biasanya sembuh dengan
sendirinya.

Cedera Axon Difus


Cedera akson difus merupakan suatu kerusakan difus pada akson di
hemisfer serebri, corpus callosum, batang otak, atau cerebelum.
Cedera akson difus ini menyebabkan adanya ketidaksadaran pasien
segera setelah trauma dan bersifat lama. Patofisiologi belum diketahui
pasti namun diduga akibat perubahan gradien ion sehingga
menyebabkan adanya pembengkakan fokal pada akson sehingga
menyebabkan terlepasnya akson.
Gejala dan tanda klinis:

Koma lama pasca trauma kapitis


Disfungsi saraf otonom
Demam tinggi

Cedera akson difus sulit dilihat pada CT-scan sehingga memerlukan


MRI untuk deteksi dan menentukan derajat beratnya kerusakan.
Cedera akson difus sering dihubungkan dengan angka morbiditas dan
mortalitas yang tinggi dan pasien dengan cedera akson difus sering
mengalami persistent vegetative state.

Subarachnoid Haemorargik (SAH)


SAH sering dihubungkan dengan adanya ruptur dari
aneurisma atau adanya malformasi arteri-vena, namun
dapat juga disebabkan oleh adanya trauma kapitis.
SAH dapat menganggu sirkulasi dan reabsorpsi dari CSF
sehingga dapat menyebabkan hidrosefalus dan adanya
hipertensi intrakranial. SAH akibat trauma dihubungkan
dengan adanya kontusio dan laserasi pada korteks
sehingga adanya akumulasi dari darah yang masif dapat
membentuk suatu Space-Occupying Lesion (SOL).
Gejala dan tanda klinis:
Kaku kuduk
Nyeri kepala
Bisa didapati gangguan kesadaran

Patofisiologi
Mekanisme cedera pada otak yang terjadi pada TBI
dapat terjadi melalui dua mekanisme.
Trauma pertama terbentuk area perdarahan atau
adanya kompresi. Hal ini disebut sebagai cedera
otak primer. Cedera primer dapat berupa
hematoma simpel atau suatu lesi yang bersifat
kompleks dan difus.
Cedera awal menyebabkan disfungsi neuron dan
kematian dari sel otak yang disebabkan oleh
adanya kerusakan pada pembuluh darah, akson
dan neuron itu sendiri. Kerusakan neuron pada
cedera primer bersifat ireversibel.

Daerah di sekitar cedera primer penumbra (iskemia). Jaringan


otak pada daerah penumbra ini masih dapat diselamatkan atau
dapat mati beberapa waktu setelah cedera pertama sehingga
diperlukan neuroprotektif khusus untuk mempertahankan fungsi sel
di penumbra dan meminimalkan daerah kerusakan.
Cedera otak sekunder terjadi apabila telah terjadi kerusakan sel di
perbatasan atau di luar penumbra. Mekanisme yang menyebabkan
cedera otak sekunder ini biasanya multipel antara lain hipotensi,
hipoksemia, hipertermia, peningkatan ICP, gangguan elektrolit.
Pada tingkat seluler, proses menuju cedera otak sekunder
merupakan suatu kaskade dari proses molekular yang apabila tidak
segera diintervensi maka dapat menyebabkan kerusakan seluler
dan edema otak. Hal ini dapat menyebabkan peningkatan ICP,
gangguan perfusi, kematian neuron, gangguan neurologi permanen.

Faktor faktor lainnya yang berperan dalam


cedera otak sekunder antara lain:
Iskemia
Excitoxicity Kerusakan yang ditimbulkan karena
faktor iskemik menyebabkan pelepasan dari excitatory
amino acid (EAA) yang dapat menyebabkan
excitoxicity (glutamat dan aspartat). Asam-asam
amino ini berperan sebagai neurotransmiter eksitasi
yang mempengaruhi reseptor-reseptor kanal kalsium
pada
jaringan
otak
yang
rusak
sehingga
menyebabkan terjadinya perubahan konsentrasi
natrium dan kalsium yang menyebabkan kerusakan
neuron

Gangguan metabolisme
Otak sangat bergantung pada suplai dari oksigen
dan glukosa untuk metabolisme aerob dan untuk
produksi dari ATP. Gangguan perfusi dan
oksigenisasi sering terdapat pada cedera kepala
yang hebat, terutama terkait dengan adanya
hipermetabolisme post trauma. Peningkatan
metabolisme menyebabkan terjadinya
peningkatan uptake dari glukosa dan oksigen
yang sudah berkurang sehingga menimbulkan
adanya hipoksia, metabolisme anaerob dan
mendorong terjadinya cedera otak sekunder.

Gangguan Blood-brain Barrier (BBB)


Fungsi utama BBB adalah untuk memfasilitasi atau membatasi
pasase dari berbagai macam substrat dari darah ke otak. Sel-sel
endotel pada kapiler serebral pada BBB terikat dengan kuat oleh
suatu hubungan yang sangat rapat dan mengandung mitokondria
dalam jumlah yang besar untuk memfasilitasi transpor substrat ke
otak dan hanya komponen yang larut dalam lemak yang dapat
langsung berdifusi ke dalam CSF (CO2, O2, amonia, steroid,
prostaglandin, dll). Sel-sel dengan berat molekul lebih besar atau
larut dalam air memerlukan transpor aktif atau pasif untuk
berpindah dari endotel ke CSF. Proses transpor ini diatur oleh
astrosit-astrosit yang mensekresi zat-zat kimia untuk mengatur
permeabilitas endotel. Pada TBI maka dapat terjadi gangguan
pada astrosit sehingga menyebabkan terbentuknya edema yang
disebabkan oleh tekanan hidrostatik dari kapiler dan selain itu
faktor hipertermia juga berperan terhadap gangguan pada BBB

Faktor-faktor inflamasi
Fungsi sitokin sebagai faktor inflamasi sangat penting dalam
patofisiologi TBI. Sitokin merupakan suatu protein yang berfungsi
sebagai mediator inflamasi dan berperan dalam komunikasi
intraseluler. Sitokin dilepaskan sebagai mekanisme pertahanan
terhadap adanya infeksi, trauma, dan iskemia pada TBI. Pada TBI
sitokin yang dihasilkan berasal dari intrinsik (oleh neuron, astrosit,
dan mikroglia) dan ekstrinsik (karena infiltrasi leukosit).
Ekspresi sitokin yang berlebihan berbahaya untuk jaringan yang
rusak dan dapat menyebabkan kematian seluler dan kontrasnya
kadar sitokin yang rendah dapat memacu proses perbaikan seluler.
Sitokin utama yaitu interleukin-1 (IL-1) dan tumor necrosis factor
(TNF) berperan sebagai mediator apoptosis neuronal sehingga
memicu terjadinya neuronal loss pada pasien dengan TBI. Selain itu
IL-1 dan TNF menganggu aktivitas sel endotel sehingga terjadi
kerusakan endotel dan peningkatan permeabilitas.

Edema Cerebri

Salah satu faktor yang turut menyebabkan cedera otak sekunder adalah
adanya edema serebral yang disebabkan oleh adanya leukosit dan platelet
sebagai akibat adanya aktifasi dari faktor-faktor inflamasi dan respon
imun. Klasifikasi edema serebral:

Vasogenic edema
Disebabkan oleh adanya gangguan pada BBB yang menyebabkan akumulasi dari
cairan kaya protein pada ruang ekstraseluler. Vasogenic edema menyebabkan
pembengkakan lokal pada daerah sekitar kontusio atau hematoma
Cytotoxic edema
Edema ini terjadi bersamaan dengan kerusakan hipoksia-iskmik diman terjadi
gangguan gradien ion sehingga terjadi akumulasi cairan intraseluler
Hydrostatic edema
Disebabkan oleh peningkatan dari tekanan intravaskuler secara tiba-tiba pada
pembuluh darah yang intak sehingga terjadi akumulasi dari cairan yang miskin
protein. Hydrostatic edema juga dapat menyertai dekompresi mendadak pada
lesi yang besar atau saat terjadi gangguan autoregulasi
Osmotic brain edema
Disebabkan oleh adanya penurunan dari osmolalitas serum dalam jumlah besar,
sehinggga menyebabkan peningkatan cairan intraseluler. Etiologinya disebabkan
oleh adanya hemodilusi yang iatrogenik akibat adanya penggunan dextrosa IV/
cairan berbasis air atau adanya SIADH
Interstitial brain edema

Hubungan antara ICP dan perfusi


cerebral

Berdasarkan doktrin Monro-Kellie, kunci utama untuk menentukan ICP adalah


tekanan dan volume. Doktrin ini menyatakan bahwa ruang kranium merupakan suatu
struktur yang tidak dapat berkembang dengan tiga komponen utama yakni darah,
otak, dan CSF. Apabila salah satu meningkat maka yang lain harus berkurang agar
ada ruang bagi salah satu komponen untuk berkembang, apabila mekanisme ini tidak
terjadi maka otak pada ruang kranial akan mengalami kompresi dan terjadi
kerusakan yang ireversibel serta herniasi.
ICP normal adalah 0 hingga 15 mmHg, dan ICP ini dapat meningkat pada keadaan
normal tanpa adanya cedera kepala. Terapi untuk mengurangi ICP dilakukan apabila
level ICP mencapai 20-25 mmHg.
Hal yang lebih perlu diperhitungkan adalah CPP. Pada managemen TBI, CPP harus
mencapai 60 mmHg atau lebih. Pada TBI dapat terjadi adanya kerusakan dari
jaringan otak yang dapat menyebabkan timbulnya edema sehingga terjadi suatu lesi
desak ruang sehingga menekan perfusi dari otak. Apabila perfusi jatuh hingga titik
kritis maka mulai terjadi iskemia yang dapat berlanjut menjadi kerusakan neuron
yang ireversibel. Peningkatan edema juga menyebabkan peningkatan ICP yang pada
akhirnya dapat mendorong terjadinya herniasi.
Manifestasi klinis adanya peningkatan ICP:

Sakit kepala (postural, terbangun pada malam hari)


Nausea dan vomitus
Somnolen
Edema papil dan pandangan kabur

Pada CT-scan ditemukan gambaran yang sesuai dengan peningkatan ICP yaitu

Diagnosis
Minimal (Simple Head Injury)
GCS 15, tidak ada penurunan kesadaran, tidak ada amnesia
pasca trauma (APT), tidak ada defisit neurologis
Trauma kapitis ringan (Mild Head Injury)
GCS 13-15, CT scan normal, pingsan < 30 menit, tidak ada lesi
operatif, rawat RS < 48 jam, amnesia pada trauma (APT) < 1
jam
Trauma kapitis sedang (Moderate Head Injury)
GCS 9-12 dan dirawat > 48 jam, atau GCS > 12 akan tetapi ada
lesi operatif intrakranial atau abnormal CT scan, pingsan >30
menit 24 jam, APT 1-24 jam
Trauma kapitis berat (Severe Head Injury)
GCS < 9 yang menetap dalam 48 jam sesudah trauma, pingsan
> 24 jam, APT > 7 hari

Penatalaksanaan CKB
Penderita cedera kepala berat tidak mampu melakukan perintah-perintah
sederhana walaupun status kardiopulmonernya telah distabilisasi.
Primary Survey

Airway & breathing


Memaksimalkan oksigenasi dan ventilasi. Daerah tulang servikal harus
diimobilisasi dalam posisi netral menggunakan stiffneck collar, head block dan
diikat pada alas yang kaku pada kecurigaan fraktur servikal.
Pernapasan dinilai dengan menghitung laju pernapasan, memperhatikan
kesimetrisan gerakan dinding dada, penggunaan otot-otot pernapasan
tambahan, dan auskultasi bunyi pernapasan di kedua aksila.
Pada cedera kepala berat sering terjadi gangguan terhentinya pernapasan
sementara. Penatalaksanaan pada kasus ini adalah dengan intubasi endotrakeal.
Tindakan hiperventilasi harus dilakukan hati-hati pada penderita cedera kepala
berat. Tindakan ini dapat digunakan sementara untuk mengkoreksi asidosis dan
menurunkan secara cepat tekanan intrakranial. pCO2 harus dipertahankan
antara 35-40 mmHg sehingga terjadi vasokontriksi pembuluh darah ke otak.
Penggunaan manitol dapat menurunkan tekanan intracranial

Sirkulasi dilakukan pemberian resusitasi cairan intravena, yaitu


cairan isotonic, seperti Ringer Laktat atau Normal Salin (20ml/kgBB)
jika pasien syok, tranfusi darah 10-15 ml/kgBB harus
dipertimbangkan
Defisit Neurologis. Status neurologis dinilai dengan menilai tingkat
kesadaran, ukuran dan reaksi pupil. Tingkat kesadaran dapat
diklasifikasikan menggunakan GCS. Anak dengan kelainan
neurologis berat seperti anak dengan nilai GCS 8 harus
diintubasi.
Kontrol Pemaparan/ Lingkungan.
Semua pakaian harus dilepaskan sehingga semua luka dapat
terlihat. Anak-anak sering datang dengan keadaan hipotermia
ringan karena permukaan tubuh mereka lebih luas. Pasien dapat
dihangatkan dengan alat pemancar panas, selimut hangat, maupun
pemberian cairan intravena (yang telah dihangatkan sampai 390C)

Secondary survey
Observasi ketat penting pada jam-jam pertama sejak kejadian cedera. Bila telah
dipastikan penderita CKR tidak memiliki masalah dengan jalan napas, pernapasan
dan sirkulasi darah, maka tindakan selanjutnya adalah penanganan luka yang
dialami akibat cedera disertai observasi tanda vital dan deficit neurologis. Selain
itu pemakaian penyangga leher diindikasikan jika :
Cedera kepala berat, terdapat fraktur klavikula dan jejas di leher
Nyeri pada leher atau kekakuan pada leher
Rasa baal pada lengan
Gangguan keseimbangan atau berjalan
Kelemahan umum
Bila setelah 24 jam tidak ditemukan kelainan neurologis berupa :
Penurunan kesadaran (menurut GCS) dari observasi awal
Gangguan daya ingat
Nyeri kepala hebat
Mual dan muntah
Kelainan neurologis fokal (pupil anisokor, reflex patologis)
Fraktur melalui foto kepala maupun CT scan
Abnormalitas anatomi otak berdasarkan CT scan

TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai