Pemberontakan PKI Madiun 1948
Pemberontakan PKI Madiun 1948
XII IPS 3
PEMBERONTAKAN PKI di MADIUN
Disusun oleh :
Djamaludin (09)
Febry Almabrury (10)
Nanda Adriyani(20)
Robby Johan (26)
Setyawan Enggar S. (28)
Pada bulan Mei 1948 bersama Soeripno, Wakil Indonesia di Praha, Muso, kembali
dari Moskwa, Uni Soviet. Tanggal 11 Agustus, Muso tiba di Yogyakarta dan segera
menempati kembali posisi di pimpinan Partai Komunis Indonesia. Banyak politisi
sosialis dan komandan pasukan bergabung dengan Muso, antara lain Amir
Syarifuddin Harahap, Setyadjit Soegondo dan kelompok diskusi Patuk.
Pada era ini aksi saling menculik dan membunuh mulai terjadi, dan masing-masing
pihak menyatakan, bahwa pihak lainlah yang memulai. Banyak reska perwira TNI,
perwira polisi, pemimpin agama, pondok pesantren di Madiun dan sekitarnya yang
diculik dan dibunuh.
Pada 10 September 1948, mobil Gubernur Jawa Timur, RM Ario Soerjo, dan mobil 2
perwira polis dicegat massa pengikut PKI di Kedunggalar, Ngawi, Jawa Timur. Ke-3
orang tersebut dibunuh dan jenazah nya dibuang di dalam hutan. Demikian juga
dr. Moewardi yang sering menentang aksi-aksi golongan kiri, diculik ketika sedang
bertugas di rumah sakit Solo, dan kabar yang beredar ia pun juga dibunuh.
Tuduhan langsung dilontarkan, bahwa pihak lainlah yang melakukannya. Di antara
yang menjadi korban juga adalah Kol. Marhadi yang namanya sekarang diabadikan
dengan Monumen yang berdiri di tengah alun-alun Kota Madiun dan nama jalan
utama di Kota Madiun.
Kelompok kiri menuduh sejumlah petinggi Pemerintah RI, termasuk Wakil Presiden
Mohammad Hatta telah dipengaruhi oleh Amerika Serikat untuk menghancurkan
Partai Komunis Indonesia, sejalan dengan doktrin Harry S. Truman, Presiden AS
yang mengeluarkan gagasan Teori Domino. Truman menyatakan, bahwa apabila
ada satu negara jatuh ke bawah pengaruh komunis, maka negara-negara
tetangganya akan juga akan jatuh ke tangan komunis, seperti layaknya dalam
permainan kartu domino. Oleh karena itu, dia sangat gigih dalam memerangi
komunis di seluruh dunia.
Sebelumnya pada 21 Juli1948 telah diadakan pertemuan rahasia di hotel "Huisje Hansje"
Sarangan, Plaosan, Magetan|sarangan, dekat Madiun yang dihadiri oleh Soekarno, Hatta,
Soekiman Wirjosandjojo (Menteri Dalam Negeri), Mohamad Roem (anggota Masyumi) dan
Kepala Polisi Soekanto Tjokrodiatmodjo, sedangkan di pihak Amerika Serikat hadir Gerald
Hopkins (penasihat politik Presiden Truman), Merle Cochran (pengganti Graham yang
mewakili Amerika Serikat dalam Komisi Jasa Baik PBB). Dalam pertemuan Sarangan, yang
belakangan dikenal sebagai "Perundingan Sarangan", diberitakan bahwa Pemerintah
Republik Indonesia menyetujui Red Drive Proposal (proposal pembasmian kelompok
merah). Dengan bantuan Arturo Campbell, Soekanto berangkat ke Amerika Serikat guna
menerima bantuan untuk Kepolisian RI. Campbell yang menyandang gelar resmi Atase
Konsuler pada Konsulat Jenderal Amerika Serikat di Jakarta, sesungguhnya adalah anggota
Central Intelligence Agency (CIA), badan intelijen Amerika Serikat.
Selain itu dihembuskan isu bahwa Soemarsoso, tokoh Pesindo, pada 18 September 1948
melalui radio di Madiun telah mengumumkan terbentuknya Pemerintah Front Nasional
bagi Karesidenan Madiun. Namun Soemarsono kemudian membantah tuduhan yang
mengatakan bahwa pada dia mengumumkan terbentuknya Front Nasional Daerah (FND)
dan telah terjadi pemberontakan PKI. Dia mengatakan bahwa FND dibentuk sebagai
perlawanan terhadap ancaman dari pemerintah pusat.
Pada 19 September 1948, Presiden Soekarno dalam pidato yang disiarkan melalui radio
menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia, untuk memilih: Muso atau Soekarno-Hatta.
Maka pecahlah konflik bersenjata, yang pada waktu itu disebut sebagai Madiun Affairs
(Peristiwa Madiun), dan di zaman Orde Baru kemudian dinyatakan sebagai
pemberontakan PKI.
Akhir konflik
Kekuatan pasukan pendukung Muso digempur dari dua arah: Dari barat oleh pasukan
Divisi II di bawah pimpinan Kolonel Gatot Soebroto yang diangkat menjadi Gubernur
Militer Wilayah II (Semarang-Surakarta) tanggal 15 September 1948, serta pasukan dari
Namanya diubah menjadi Staf Pendidikan Politik Tcntara (Pepolit), yang akan dipimpin
oleh opsir-opir politik. Pada tanggai 30 Mei 1946, 55 opsir politik dilantik oleh Menteri
Pertahanan. Sebagai pimpinan Pepolit, ditunjuk Sukuno Djojopratignjo dengan pangkat
Letnan Jenderal Rumusan pendidikan yang semula dianggap masuk akal itu, sejak
berubah menjadi Pepolit ternyata rnenimbulkan persoalan baru dalam tubuh TRI. Para
opsir politik ditugasi untuk merapatkan hubungan tentara dan rakyat. Pada tiap-tiap
divisi diperbantukan lima orang opsir politik yang berpangkat letnan kolonel, semuanya
adalah anggota Pesindo, pendukung Amir Sjarifuddin. Pepolit tcrnyata dieksploitasi
oleh Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin untuk kepentingan politiknya sehingga
tumbuh nienjadi semacam komisaris politik (komisar) seperti pada Angkatan Perang
Uni Sovyet, yang berkedudukan sejajar dengan para komandan pasukan. Oleh karena
itu, ditolak oleh sebagian panglima divisi dan para komandan pasukan, karena
dianggap sebagai penyebar ideologi komunis. Kolonel Gatot Subroto, misalnya,
mcnolak kehadiran opsir poiitik di lingkungan divisinya. Akibatnya adalah aktivitas
Pepolit ini merosot di daeral-daerah. Scsuai dengan keputusan Panitia Besar
Rcorganisasi Tentara, pada buian Mei 1946 Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin
membentuk lembaga baru yaitu Biro Perjuangan dan dikukuhkannya Dewan Pcnasihat
Pimpinan Tentara. Biro Perjuangan adalah badan pelaksana dari Kementerian
Pertahanan yang bertugas menampung laskar-laskar yang semula didirikan oleh partaipartai politik. Dibentuknya Biro Perjuangan ini dilihat dari segi ketahanan nasional
sesungguhnya sangat menguntungkan pemerintah. Laskar-laskar atau badan-badan
pcrjuangan yang semula terpecah-pecah di dalam pelbagai kelompok ideologi dari
"anak" partai poiitik, dapat disatukan dan dikendalikan oleh pemerintah. Pemerintah
akan memiliki potensi cadangan yang tangguh dan besar di samping tentara reguler.
Diharapkan adanya pcmbagian tugas yang serasi dan harmonis antara tentara reguler
dan Laskar-laskar rakyat sebagai partisan. Biro Perjuangan juga akan merupakan pusat
cadangan nasional yang menyalurkan dan mengatur tugas cadangan di dalam rangka
ketahanan nasional.
Tugas cadangan tidak semata-mata untuk bertempur, tetapi merupakan tenaga yang aktif dan
berperan di dalam masyarakat, seperti aktivitas menambah produksi. Namun, di dalam
perkembangan selanjutnya Biro Perjuangan ini dijadikan arena adu kekuatan untuk menandingi
tentara reguler. Menteri Pcrtahanan Amir Sjarifuddin berusaha keras mcnguasai biro ini untuk
kepentingan politiknya. Pimpinan biro ini dipegang oleh kelompok yang seideologi dengan Amir
Sjarifuddin, yaitu kelompok komunis. Mereka adaiah Djokosujono dan Ir. Sakirman sehagai kepala dan
wakil kepalanya, yang masing-masing mendapat pangkat jenderal mayor. Biro ini kemudian
mendapat peran yang kuat setelah Kabinet Sjahrir mendapat tantangan dari keiompok Persatuan
Perjuangan terutama setelah terjadi penarikan atas diri Perdana Menteri Sutan Sjahrir dan
pemerintah menyatakan negara dalam keadaan bahaya. Organisasi Biro Perjuangan diperluas. Pada
bulan September 1946 diberi wewenang untuk mengoordinasikan barisan cadangan. Pada bulan
Oktober 1946 tugasnya ditambah dengan mengkoordinasikan Dewan Kelaskaran Seberang. Bahkan
mereka mewakili resimen-resimen kelaskaran dan Polisi Tentara Laskar yang berdiri sendiri secara
vertikal di bawah Biro Perjuangan, Fungsi cadangan sebagaimana vang dikehendaki tidak terlaksana,
bahkan dengan adanya Biro perrjuangan ini seakan-akan terdapat dua macam tentara. Kelompok
Amir yang memonopoli Biro Perjuangan ini memasukkan seluruh program dan konsepsi perjuangan
partainya, sehingga biro ini lebih merupakan pendukung kekuatan politik Amir daripada suatu badan
resmi pemerintah. Akibatnya, terdapat dualisme dalam bidang pertahanan nasional. Di satu pihak
terdapat tentara reguler di bawah pimpinan Jenderal Soedirman dan di pihak lain Laskar-laskar yang
secara de facto di bawah pimpinan tertinggi Menteri Pertahanan melalui Biro Perjuangan. Laskarlaskar mempunyai posisi dan tugas yang sama dengan TRI Perbedaannya hanyalah TRI adaiah milik
nasional sedangkan Laskar-laskar adalah milik partai-partai politik. Keadaan semacam ini disadari
oteh pemimpin nasional, yang kemudian menyatukan dua kekuatan itu menjadi Tentara Nasional
Indonesia (TNI) pada bulan Juni 1947. TNI dipimpin oleh sebuah badan yang disebut Pucuk Pimpinan
TNI. Keanggotaannya bersifal kolektif. Dua orang di antaranya adaiah tokoh komunis, yaknt Ir.
Sakirman dan Djokosujono. Dengan dcmikian, berakhirlah peran Biro Perjuangan. Akan tetapi,
berakhirnya peran Biro Perjuangan ini tidaklah berarti berakhirnya usaha Amir Sjarifuddin untuk
menghimpun kekuatannya, Sebagian Lasar-laskar yang berideologi komunis tidak man bergabung
dcngart TNI sccara penuh, Mcreka ditampung dalam suatu wadah yang diberi naina TNI Bagian
Masyarakat yang dibentuik pada bulan Agustus 1947. Pimpinan TNI Bagian Masyarakat adaiah Ir.
Sakirman yang juga duduk dalam Pucuk Pimpinan TNI. Pada tanggal 26 Oktober 1947 TNII Bagian
Masyarakat mengadakan konferesi.
Wakil Perdana Mentcri Sctiadjit yang separtai dan sealiran dengan Amir Sjarifuddin
menegaskan bahwa TNI Bagian Masyarakat adalah jembatan antara tentara dan
rakyat dalam usaha mempersatukan tenaga dalam pertahanan serta memberikan
pendidikan ideologi kepada tentara. Rupanya adanya struktur organisasi Pucuk
Pimpman TNI yang bersitat kolektif dimanfaatkan oleh kelompok Amir Sjarifuddin,
Dengan demikian, ia berhasil menghimpun kembali kekuatan di bawah naungan
nama TNI, dengan konsepsi dan garis politik yang tetap. Kebijakan Perdana Menteri
Amir Sjarifuddin ini memancing perdebatan sengit dalam sidang BP KNIP tanggal 12
November 1947. Beberapa anggota KNIP menuduh bahaya pembentukan TNI Bagian
Masyarakat ini terlalu politis, tidak sesuai dengan konsepsi pertahanan Rakyat
Semesta. Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin dan Menteri Muda Pertahanan Arudji
Kartawinata menyatakan adanya TNI Bagian Masyarakat dan Pepolit, nurupakan
konsekuensi dari prinsip-prinsip pertahanan yakni tentara harus mengenal poltik, agar
mereka sadar membela kepetingan politik, jika pada suatu saat pertentangan politik
memuncak berubah menjadi perang. Keterangan pemerinlah tersebut mendapat
tantangan keras dari PNI dan Masyumi. PNI menyatakan TNI Bagian Masyarakat
bukanlah tentara, melainkan organisasi politik karena hampir 100 %, pimpinannya
berada di tangan Sayap Kiri. Diusulkan agar pimpinannya diubah dengan mengikut
sertakan semua organisasi rakyat, sehingga tercipta suatu fighting democracy. PNI
setuju di dalam prinsip, tetapi menolak monopoli kepemimpinan Sayap Kiri, Pihak
Masyumi sama sckali menolak bentuk itu bahkan menganjurkan agar TNI Bagian
Masyarakat dibubarkan. Pada hakikatnya TNI Bagian Masyarakat ini adalah Biro
Perjuangan bentuk baru dan merupakan rangkaian usaha Amir Sjarifuddin untuk
mempersenjatai kelompok organisasinya untuk tujuan jangka panjang serta
mendapatkan biaya dari pemerintah, Anggota TNI Masyarakat pada masa Kabinet
Amir telah mencapai jumlah 90.000 orang yang-dirasionalisasi pada waktu Kabinet
Hatta.