Anda di halaman 1dari 108

PEMODELAN

TEKNIK KIMIA
LANJUT
Prof. Dr. Ir. Setijo Bismo, D.E.A.
Dr.rer.nat. Ir. Yuswan Muharam, M.T.
SILABUS
 Pendahuluan
 Formulasi problem fisikokimia
 Teknik penyelesaian model persamaan
diferensial biasa (PDB)
 Teknik penyelesaian model persamaan
diferensial parsial (PDP)
REFERENSI
 Applied Mathematics and Modeling for Chemical
Engineers, Rice, 1995
 Numerical Methods for Chemical Engineers with
MATLAB Applications, Constantinides, 1999.
 Numerical Analysis for Chemical Engineers, Davis,
1988.
 Numerical Methods for Engineers and Scientists, 2nd
Edition, Hoffman, 2001
 Applied Numerical Methods Using Matlab, Yang, 2005
 Numerical Analysis Using MATLAB and
Spreadsheets.2ed Ed, Karris, 2004
EVALUASI
 UTS = 25 %
 UAS = 25 %
 Tugas = 20 %
 Proyek = 30%
PENDAHULUAN
Dr.rer.nat. Ir. Yuswan Muharam, M.T.
Departemen Teknik Kimia
Fakultas Teknk
Universitas Indonesia
DEFINISI MODEL (TERMINOLOGI)
 “Sebuah objek M (benda, sistem fisika atau
kimia, atau proses) adalah model apabila
terdapat analogi antara objek M dan objek
lain O sehingga kesimpulan mengenai O
dapat dibuat”.
DEFINISI MODEL (TERMINOLOGI)
 Model M
 Representasi objek O;
 Taksiran objek O yang diisolasi dari seluruh
realitas,
 Menggambarkan kenyataan atau bagian dari
kenyataan.
 Dapat disederhanakan menjadi bagian dari
kenyataan jika hanya kesimpulan tertentu saja
yang diperlukan.
DEFINISI MODEL (TERMINOLOGI)
 Keterbatasan analogi model M dan objek O
 Keterbatasan kesesuaian fungsi,
 Keterbatasan lesesuaian struktur dan perilaku,
 Keterbatasan akurasi.
 Model M dan objek O boleh berbeda skala.
 Hasil model bagus apabila variabel dan
fenomena pentingnya direpresentasikan
secara benar dalam konteks atau investigasi
tertentu.
DEFINISI MODEL (TERMINOLOGI)
 Analogi antara model M dan objek O dapat
dibuat dalam bentuk persamaan matematis.
 Model matematis menggambarkan
seperangkat persamaan aljabar dan/atau
diferensial dan/atau integral yang digunakan
untuk menjelaskan perilaku objek O.
TUGAS CHEMICAL ENGINEER
 Mengoperasikan dan mengoptimalkan proses
yang ada;
 Merancang pabrik baru dan memodifikasi
pabrik yang ada.
APLIKASI MODEL MATEMATIS
DI INDUSTRI KIMIA
 Percobaan
 Simulasi
 Analisis sensitivitas
 Kendali dan operasi
 Optimisasi
 Eksplorasi
KETERBATASAN MODEL
MATEMATIS
1. Jenis, jumlah serta keakuratan data;
2. Perkakas matematis;
3. Interpretasi hasil model.
INTERPRETASI HASIL MODEL
PENYUSUNAN DAN
KLASIFIKASI MODEL
Dr.rer.nat. Ir. Yuswan Muharam, M.T.
Departemen Teknik Kimia
Fakultas Teknk
Universitas Indonesia
PENYUSUNAN MODEL
MATEMATIKA
 Penyusunan model matematika adalah
pengesetan seperangkat persamaan
matematika.
 Persamaan matematika adalah hubungan
antara variabel proses.
TAHAP-TAHAP PEMODELAN
1. Formulasi persoalan, pengumpulan objektif
dan kriteria keputusan;
2. Pengamatan terhadap proses dan
klasifikasinya untuk membagi proses
menjadi beberapa subsistem (elemen
proses);
3. Penentuan hubungan antara subsistem;
4. Analisis variabel dan hubungan antar
variabel pada setiap elemen proses;
TAHAP-TAHAP PEMODELAN
5. Pembentukan persamaan matematika
dengan menggunakan variabel dan
parameter; Pengumpulan data;
6. Pengamatan representasi proses oleh
model; perbandingan hasil simulasi dengan
data proses nyata;
7. Instalasi model; interpretasi dan
pemeriksaan hasil.
TAHAP-TAHAP PEMODELAN
8. Analisis sensitivitas model untuk
mengidentifikasi parameter yang
berpengaruh kuat dan lemah terhadap
respons model;
9. Penyederhanaan model.
10. Tahap 4 – 9 diulang, sampai interpretasi
hasil model sesuai dengan kriteria objektif
dan solusi yang diharapkan.
KEGUNAAN MODEL
 Untuk memformulasikan fenomena fisika dan
fisikokimia, yaitu perpindahan panas,
perpindahan massa dan perpindahan
momentum, serta reaksi kimia di dalam
sistem homogen dan heterogen.
 Untuk mendesain operasi perpindahan
massa, menghitung penukar panas,
merekayasa reaksi kimia, dan
mengendalikan proses.
KLASIFIKASI
MODEL MATEMATIKA
MODEL BERDASARKAN
PRINSIP FISIKOKIMIA
 Digunakan untuk memformulasi fenomena
perpindahan.
 Proses dibagi menjadi sejumlah elemen
proses yang dijelaskan dengan hukum
kekekalan massa, momentum, dan energi.
MODEL BERDASARKAN
PRINSIP FISIKOKIMIA
 Model deterministik atau elemen model:
 Nilai atau seperangkat nilai setiap variabel atau parameter
model pada kondisi tertentu telah ditentukan.
 Model statistik atau elemen model statistik
 Variabel dan parameter model merupakan besaran
statistik, berupa probabilitas atau momen dari fungsi
densitas probabilitas.
 Misalnya
 Jika fungsi densitas probabilitas P(Y ) berlaku untuk
variabel statistik Y, maka P(Y) dY adalah probabilitas
variabel tersebut yang berada dalam rentang dY di sekitar
Y.
MODEL BERDASARKAN
PRINSIP FISIKOKIMIA
 Klasifikasi berdasarkan jenis persamaan

Tingkat kesulitan metode penyelesaian


berkurang dari kanan ke kiri.
MODEL PDF
 Model berbasis persamaan transport dalam bentuk fungsional
P(1, . . . , n).
 Probabilitas menemukan variabel terikat (1, . . . , n) dalam
rentang d1, . . . , dn di sekitar fungsi 1(x, t), . . ., n(x, t) adalah
P(1, . . . , n)d1, . . . , dn.
 Memberi informasi statistik proses statistik.
 Memberi fungsi distribusi variabel proses.
 Contoh:
 mekanika statistik, teori kinetik gas, campuran makro dalam
distribusi waktu tinggal, distribusi ukuran kristal, distribusi
aktivitas pada pelet katalis, dan distribusi umur dan ukuran
biakan mikrobiologi.
MODEL EMPIRIS
 Korelasi respons proses terhadap perubahan satu
atau beberapa variabel proses.
 Contoh:
 Fitting polinomial pada data eksperimen, respons proses
pada pengendalian proses dalam bentuk fungsi transfer
pada domain waktu atau frekuensi.
 Merupakan model statistik karena data diperoleh
secara eksperimen dan berisi kesalahan statistik.
 Memiliki makna terbatas dalam menjelaskan proses
atau elemen proses;
 Misal: prediksi berada di luar rentang percobaan.
MODEL BERDASARKAN
PRINSIP FISIKOKIMIA
Dr.rer.nat. Ir. Yuswan Muharam, M.T.
Departemen Teknik Kimia
Fakultas Teknik
Universitas Indonesia
ILUSTRASI PROSES PEMODELAN
 Pendinginan fluida yang mengalir di dalam
pipa berpenampang lingkaran.
 Model sederhana  keakuratan rendah.
 Model kompleks  keakuratan tinggi.
MODEL 1 –
ALIRAN SUMBAT
 Sketsa sistem.
 Plug flow:
 Profil kecepatan fluida
berbentuk plug (merata
pada posisi radial).
 Elemen fluida
bercampur sempurna
ke arah radial sehingga
temperatur fluida
merata ke arah radial.
MODEL 1 –
ALIRAN SUMBAT
 Asumsi:
1. Keadaan tunak;
2. Jika T kecil, , Cp, k dll konstan;
3. Temperatur dinding konstan dan merata Tw;
4. Temperatur inlet konstan dan merata T0, dimana T0 >
Tw;
5. Profil kecepatan berbentuk plug;
6. Fluida bercampur sempurna (turbulen Re > 2100) 
T arah radial rata;
7. Konduksi termal ke arah aksial relatif kecil
dibandingkan konveksi sehingga diabaikan.
MODEL 1 –
ALIRAN SUMBAT
 Sketsa elemen volume diferensial (volume
kontrol)
MODEL 1 –
ALIRAN SUMBAT
 Hukum kekekalan energi:

 Keadaan tunak  akumulasi nol.


 Tidak ada panas reaksi, nuklir atau listrik  pembangkit
panas nol.
 Perpindahan panas dari dinding ke fluida:
MODEL 1 –
ALIRAN SUMBAT
 Hukum kekekalan energi (lanjutan)
 Arah aksial: panas masuk dan keluar melalui
konveksi (aliran)

Laju alir massa, Entalpi lokal,


gram/detik J/gram
MODEL 1 –
ALIRAN SUMBAT

Penyusunan ulang dan pembagian dengan z

PDB
MODEL 1 –
ALIRAN SUMBAT
 Pengelompokan parameter menjadi satu suku
(parameter lumping)

menjadi
.
dimana
.
MODEL 2 –
KECEPATAN PARABOLIK
 Re < 2100, kecepatan berbentuk parabola.

v0 = kecepatan rata-rata
vz = kecepatan lokal (bervariasi).
 Modifikasi asumsi 5, 6, dan 7:
5. Profil kecepatan arah aksial berbentuk parabola dan tergantung
pada posisi r.
6. Fluida ke arah radial tidak tercampur sempurna  konduksi
panas radial diperhitungkan.
7. Konveksi lebih kecil  konduksi panas aksial dipertimbangkan.
MODEL 2 –
KECEPATAN PARABOLIK
 Volume kontrol berbentuk cincin (tebal r; panjang
z);
 Panas melewati dua permukaan, area anular dan
area sepanjang keliling cincin;
 Fluks panas menggunakan konduksi molekular.
MODEL 2 –
KECEPATAN PARABOLIK
konveksi
 Hukum kekekalan panas:
konduksi

Laju alir massa,


gram/detik
Luas penampang,
Entalpi lokal, cm2
J/gram
Fluks panas,
J/detik.cm2
MODEL 2 –
KECEPATAN PARABOLIK

 Penyusunan dan pembagian dengan 2zr

 Limit, misalnya
MODEL 2 –
KECEPATAN PARABOLIK

Dengan limit, diperoleh

 Turunan terhadap z  r konstan  r dapat


ditempatkan di luar suku;
 Pembagian dengan r dan penataan ulang
MODEL 2 –
KECEPATAN PARABOLIK
 Substitusi hukum Fourier dan uz

PDP orde dua


KONDISI BATAS
 Persamaan diferensial diselesaikan dengan
kondisi awal dan kondisi batas.
 Kondisi awal dan kondisi batas berlaku untuk
variabel terikat dan turunannya.
KONDISI BATAS
Tipe kondisi batas
 Kondisi Dirichlet
 Nilai variabel terikat diberikan pada nilai variabel
bebas yang tetap.
 Misalnya,
 T = T0 pada t = 0 dan 0  x  1
atau
T = f(x) pada t = 0 dan 0  x  1
 T = T1 pada x = 0 dan t > 0
atau
T = f(t) pada x = 0 dan t > 0
KONDISI BATAS
Tipe kondisi batas
 Kondisi Neumann
 Turunan variabel terikat diberikan sebagai
konstanta atau fungsi variabel bebas
 Misalnya,
T
Pada x = 1 dan t  0 0
x

 Kondisi Cauchy
 Gabungan kondisi Dirichlet dan kondisi Neumann.
KONDISI BATAS
Tipe kondisi batas
 Kondisi Robbins
 Turunan variabel terikat diberikan sebagai fungsi
dari variabel terikat itu sendiri.
T
k  hT  T f 
x
LATIHAN
 Perhatikan sebuah pelat berbentuk persegi panjang dengan tebal 2L.
Mula-mula konsentrasi spesies A di dalam pelat tersebut seragam,
yaitu sebesar CA. Pada t = 0 permukaan pada z = L dijaga konstan
pada konsentrasi CA1. Untuk menghitung jumlah spesi A yang
berpindah ke dalam pelat, kita harus terlebih dahulu menghitung
distribusi konsentrasi spesi A di dalam pelat sebagai fungsi dari
posisi dan waktu. Dengan mengasumsikan 2L/H << 1 dan 2L/W << 1,
maka difusi berlangsung ke satu arah (satu dimensi). Kembangkan
model persamaan diferensial untuk mendapatkan distribusi (profil)
konsentrasi A ke arah z keadaan tidak tunak! Kembangkan pula
kondisi batasnya!
GABUNGAN LAJU DAN
KESETIMBANGAN
 Contoh: adsorpsi menggunakan unggun padat granular.
 Adsorpsi lebih cepat dibandingkan difusi internal, sehingga terjadi
kesetimbangan lokal pada dan dekat partikel

q = komposisi solut fasa padat (mol solut teradsorpsi per satuan


volume partikel),
C* = komposisi solut fasa fluida (mol solut per satuan volume fluida).
 Asumsi:
 Pengontrol laju: laju perpindahan antara fasa mengalir dan
fasa diam (padat).
GABUNGAN LAJU DAN
KESETIMBANGAN
 Konsep aliran sumbat  profil
kecepatan fluida datar.
 Adsorbat di dalam fluida encer 
efek panas diabaikan (isotermal).
 Partikel sangat kecil  efek difusi
aksial diabaikan  transportasi
fasa fluida disebabkan aliran
konveksi.
GABUNGAN LAJU DAN
KESETIMBANGAN
 Transportasi antarfasa mengikuti hukum laju yang
berangkat dari keadaan kesetimbangan
termodinamika.
 Luas antarfasa total tidak diketahui  koefisien
perpindahan volumetrik (kca); a = luas antarfasa
total per satuan volume kolom paking.
 Persamaan laju inkremental
.
.
.
GABUNGAN LAJU DAN
KESETIMBANGAN
 Neraca solut di kedua fasa

Vo: kecepatan superfisial fluida (terjadi jika tube kosong);


: fraksi volume kosong di antara partikel (volume kosong interstitial)
 (1 - ): fraksi volume fasa padat;
Laju akumulasi: fasa fluida (C) dan fasa padat (q).
 Pembagian dengan Az dan limit menghasilkan
GABUNGAN LAJU DAN
KESETIMBANGAN
 Neraca solut di fasa diam saja
 Tidak ada reaksi kimia;
 Laju akumulasi sama dengan laju perpindahan ke padatan

 Dibagi dengan A z

 Jika kesetimbangann dicapai C  C*


.
GABUNGAN LAJU DAN
KESETIMBANGAN
 Substitusi

menghasilkan

 Kondisi batas
.
.

.
PROSEDUR PEMODELAN
1. Gambar sketsa sistem dan definisikan besaran kimia, fisika dan
geometri.
2. Pilih variabel terikat (respons).
3. Pilih variabel bebas (misal z, t).
4. Buat daftar parameter (konstanta fisik, ukuran dan bentuk); buat
pula daftar parameter tak konstan (misal viskositas yang berubah
terhadap temperatur).
5. Gambar sketsa perilaku variabel terikat, seperti profil temperatur
yang diharapkan.
6. Buat “volume kontrol" untuk elemen diferensial atau berhingga
sistem (misal CSTR); buat sketsa elemen dan indikasikan semua
lintasan masuk dan keluarnya.
TUGAS KELOMPOK
 Applied Mathematics and Modelling for
Chemical Engineers, Rice and Do, 1995.
 Problem 1.3 (2 K)
 Problem 1.4 (2 K)
 Problem 1.5 (2 K)
 Problem 1.6 (2 K)
 Problem 1.7 (3 K)
 Problem 1.8 (2 K)
 Problem 1.9 (4 K)
PERSAMAAN
DIFERENSIAL BIASA -
PROBLEM NILAI AWAL
Dr.rer.nat. Ir. Yuswan Muharam, M.T.
PERSAMAAN
DIFERENSIAL BIASA (PDB)
 Persamaan diferensial untuk fungsi yang
hanya tergantung pada satu variabel
 Ruang (x, y, z, r)
 Waktu (t).
 Solusi PDB:
 Kondisi awal (problem nilai awal);
 Kondisi batas (problem nilai batas).
PERSAMAAN
DIFERENSIAL BIASA (PDB)
 Problem nilai awal:
 jika semua kondisi berada pada satu titik dan
dapat diintegrasi mulai dari titik tersebut.
 Problem nilai batas dua titik:
 jika pada satu titik terdapat satu atau lebih kondisi
dan pada titik lain terdapat satu atau lebih kondisi
yang lain.
 Contoh problem PDB:
 kontrol parameter, kinetika di dalam reaktor batch,
reaktor alir sumbat.
KLASIFIKASI PDB
 Dasar klasifikasi:
 Orde,
 Kelinearan,
 Kondisi batas.
KLASIFIKASI BERDASARKAN
ORDE
 Orde persamaan diferensial = orde tertinggi
dari derivat (turunan).
 Orde pertama:
dy
 y  kx
dx
 Orde kedua: d2y dy
2
y  kx
dx dx

Orde ketiga: 2
 3
d y d y  dy 
2
 a 2  b   kx
 dx 
3
dx dx
KLASIFIKASI BERDASARKAN
KELINEARAN
 Linear: tidak mengandung perkalian variabel
terikat, derivatnya atau keduanya.
 Tak linear: mengandung perkalian variabel
terikat atau derivatnya atau keduanya.
 Linear: dy
 y  kx
dx
 Tak Linear: d2y dy
2
y  kx
dx dx
2
3
d y d y  dy 
2
 a 2  b   kx
 dx 
3
dx dx
KLASIFIKASI BERDASARKAN
KONDISI BATAS
 Problem nilai awal:
 Semua nilai variabel terikat dan/atau turunanya
diketahui pada nilai awal variable bebas.
 Problem nilai batas:
 Variabel terikat dan/atau turunannya diketahui
pada lebih dari satu variabel bebas.
KLASIFIKASI BERDASARKAN
KONDISI BATAS
 PDB orde ke-n:
dny d n 1 y
b0 x  n  b1 x  n1  ...  bn 1 x   bn x  y  Rx 
dy
dx dx dx
 R(x) = 0  homogen.
 R(x)  0  tak homogen.
 Koefisien {bi | i = 1, 2, …, n}
 koefisien variabel jika fungsi dari x;
 koefisien konstan jika skalar.
KLASIFIKASI BERDASARKAN
KONDISI BATAS
 Untuk mendapatkan solusi sebuah PDB orde
ke-n atau sebanyak n PDB orde pertama,
diperlukan spesifikasi n nilai variabel terikat
(turunannya) pada nilai-nilai tertentu variabel
bebasnya.
SOLUSI PDB -
PROBLEM NILAI
AWAL
Dr.rer.nat. Ir. Yuswan Muharam, M.T.
KUADRATUR
 Hanya satu PDB (linear atau tidak linear)
 f y
dy
dt
y 0   y0
 Pemisahan variabel:
dy
 dt
f y
y t
dy

y0
  dt
f y 0

● Jika dapat diselesaikan secara analitik  solusi eksak.


KUADRATUR
 Misal: problem kinetika untuk reaksi orde dua
dc
  kc 2
dt
c0   c0

 Pemisahan variabel dan integrasi:


dc
2
  kdt
c
1
  kt  D
c
 Dengan kondisi batas:
1 1
 kt 
c c0
METODE EKSPLISIT
 Jika nilai y pada tn diketahui, maka
perhitungan y pada tn +1 hanya memerlukan
nilai y pada tn tersebut serta turunannya dy/dt
= f(y) pada tn (dan waktu sebelumnya).
METODE EKSPLISIT
 Integrasi numeris PDB secara eksplisit dapat
dilakukan jika sistem terdiri dari n PDB orde pertama
simultan dalam bentuk:
 f1  y1 , y2 ,..., yn , x 
dy1
dx
 f 2  y1 , y2 ,..., yn , x 
dy2
dx
.  Bentuk kanonis
.
.

 f n  y1 , y2 ,..., yn , x 
dyn
dx
METODE EKSPLISIT
Jika kondisi awal pada titik x0 diketahui:
y1  x0   y1,0
y2  x0   y2,0
 f1  y1 , y2 ,..., yn , x 
. dy1
.
dx y1  F1  x 
.
dy2
 f 2  y1 , y2 ,..., yn , x  y2  F2  x 
dx
yn  x0   yn ,0 .
.
.
. Solusinya:
. .
yn  Fn  x 
 f n  y1 , y2 ,..., yn , x 
dyn
dx
METODE EKSPLISIT
Dalam bentuk matriks

 f1  y1 , y2 ,..., yn , x 
dy1
dx
dy2
 f 2  y1 , y2 ,..., yn , x  y1  x0   y1,0 y1  F1  x 
y2  F2  x 
dx
y2  x0   y2,0
.
. .
.
. . .
. .
 f n  y1 , y2 ,..., yn , x 
dyn
dx yn  x0   yn ,0 yn  Fn  x 

 f  x, y 
dy
dx y x0   y 0 y  Fx 
METODE EKSPLISIT
 Persamaan diferensial orde tinggi
d nz  dz d 2 z d n 1 z 
n
 G z , , 2 ,..., n 1 , x 
dx  dx dx dx 

dapat diubah menjadi seperangkat


persamaan orde pertama.
 Caranya?
METODE EKSPLISIT
d nz  dz d 2 z d n 1 z 
 G z , , 2 ,..., n 1 , x 
n z  y1
dx  dx dx dx 
dz dy1
  y2
dx dx
d 2 z dy2
2
  y3
dx dx
.
.
Transformasi
.
d n 1 z dyn 1
n 1
  yn
dx dx
d n z dyn
n

dx dx
METODE EKSPLISIT
d nz  dz d 2 z d n 1 z 
 G z , , 2 ,..., n 1 , x 
z  y1 dx n
 dx dx dx 
substitusi
dz dy1
  y2 dy1
dx dx  y2
d 2 z dy2 dx
  y3 dy2
 y3
2
dx dx
. dx
.
.
.
.
.
d n 1 z dyn 1
  yn
 G  y1 , y2 , y3 ,..., yn , x 
n 1
dyn
dx dx
dx
d n z dyn
n
 n persamaan orde pertama
dx dx bentuk kanonis
METODE EKSPLISIT
dy1
 y2
dx
dy2
 y3
dx
.
.
.

 G  y1 , y2 , y3 ,..., yn , x 
dyn
dx
 Jika sisi kanan PDB bukan fungsi variabel bebas, maka disebut
persamaan otonom.
 f y 
dy
dx
 Jika f(y) linear terhadap y, maka dapat ditulis: y’ = Ay
METODE EKSPLISIT
 Ubah persamaan berikut ke bentuk
kanonisnya!
d 4z d 3z d 2z dz
4
 5 3  2 2  6  3z  0
dt dt dt dt
d 4z d 3z d 2z dz t
 5  2  6  3 z  e
dt 4 dt 3 dt 2 dt
3
d 3z  
2
d z dz
z 2
    2z  0
dx 3
dx  dx 
2

d 3z d 2
z 2 dz
3
z 3
2
z  5z  0
dx dx dx
METODE EKSPLISIT
 Metode Euler
 Metode Adam-Bashford
 Runge-Kutta
METODE EULER

 f t , y 
dy
 Bentuk kanonis:
dt

 Diferensial:

 Nilai rata-rata f pada h adalah f(y(tn)).


METODE EULER - CONTOH
 Contoh:
 Dekomposisi nitrogen dioksida di dalam reaktor alir sumbat
dengan laju reaksi

 Koefisien laju reaksi pada 383°C = 5030 ml/mol/detik.


 Asumsi:
 Difusi aksial sangat kecil sehingga diabaikan,
 Profil kecepatan berbentuk plug.
 Hitung profil konsentrasi keadaan tunak pada temperatur
konstan!
METODE EULER - JAWAB
 Neraca massa

u = kecepatan, S = luas penampang lintang reaktor.


METODE EULER - JAWAB

 Bagi dengan z dan susutkan elemen menjadi nol


(limit)

 Kondisi awal:

 Solusi analitik:
METODE EULER - JAWAB

 Kalikan sisi kiri dengan S/S

 Jadikan persamaan tak-berdimensi


METODE EULER - JAWAB

 Metode Euler:

 Jika h = 0,2
METODE EULER - JAWAB
METODE EULER - LATIHAN
 Selesaikan PDB di bawah dengan
menggunakan metode Euler!
dy
t y
dt
y 0  1
METODE EULER - JAWABAN
tn yn f(yn) h f(yn)

0,1

0,2

0,3
METODE ADAM-BASHFORD
 Orde kedua:

 Orde keempat:
METODE ADAM-BASHFORD -
LATIHAN
 Selesaikan PDB di bawah dengan
menggunakan metode Adam-Bashford orde-
kedua!
dy
t y
dt
y 0  1
METODE ADAM-BASHFORD -
LATIHAN
 Selesaikan PDB di bawah dengan
menggunakan metode Adam-Bashford orde-
keempat!
dy
t y
dt
y 0  1
METODE ADAM-BASHFORD -
JAWABAN
tn yn-1 f(yn-1) yn f(yn)
METODE EKSPLISIT
 Metode eksplisit orde tinggi  perlu solusi (sisi kanan) yang
dievaluasi pada waktu-waktu (posisi-posisi) sebelumnya.
 Evaluasi mudah dilakukan kecuali pada permulaan evaluasi 
gunakan metode Euler dengan ukuran tahap yang sangat kecil
selama (pada posisi-posisi) beberapa tahap untuk mendapatkan
nilai-nilai permulaan.
 Keuntungan metode Adam – Bashford orde keempat:
 Akurasi orde tinggi.
 Kelemahan metode Adam – Bashford orde keempat:
 Perlu metode lain untuk memulai.
METODE RUNGE-KUTTA
 Skema titik tengah:
 Titik tengah digunakan untuk menghitung titik tak
diketahui pada tn + 1;
 tn + (h/2): titik tengah antara tn dan tn + 1.
 Argumen yn + (h/2)fn = slope pada tn + (h/2)

 Skema korektor predictor-trapezoid Euler.


METODE RUNGE-KUTTA-GILL
 Orde ke-empat;
 Paling banyak digunakan karena
memerlukan sedikit memori komputer;
 Ditulis dalam bentuk vektor untuk sistem
PDB;
METODE RUNGE-KUTTA-GILL
METODE RUNGE-KUTTA-
FELDBERG
 Orde ke-enam

Nilai yn+1 – zn+1 merupakan taksiran error untuk yn+1


LATIHAN METODE
y 0  1
dy
 x  y  xy,
RUNGE-KUTTA 1.
dx
y 0   1
dy
2.   y  2 x,
dx
 Dengan menggunakan
y 0   2
dy 5 x
Metode Runge-Kutta-Gill, 3.   xy,
dx y
selesaikan problem-
y 0   1
dy x
problem di bawah! 4.  ,
dx y
 Untuk problem dengan nilai
y 0  2
dy
5.  sin x  y ,
awal pada x = 0, Integrasi dx
persamaan sampai x = 5;
y 0   2
dy 1
6.  ,
 Untuk problem dengan nilai dx x  y
awal pada x = 1,
 2 x y  1, y 0  0
dy
7.
integrasi persamaan dx
sampai x = 6;
y 0   1
dy
8.  y  x2 ,
dx
y 1  0
dy
9.  x 2  x,
dx
y 0  0
dy
10.  x3  y 2 ,
dx
LATIHAN METODE
RUNGE-KUTTA
 No. 1 6
x 10
7

3
y

0
0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5
x
LATIHAN METODE
RUNGE-KUTTA
 No. 2 0

-1

-2

-3

-4
y

-5

-6

-7

-8

-9
0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5
x
LATIHAN METODE
RUNGE-KUTTA
 No. 3 2.25

2.2

2.15
y

2.1

2.05

2
0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5
x
LATIHAN METODE
RUNGE-KUTTA
 No. 4 5.5

4.5

3.5
y

2.5

1.5

1
0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5
x
LATIHAN METODE
RUNGE-KUTTA
 No. 5
16

14

12

10
y

2
0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5
x
LATIHAN METODE
RUNGE-KUTTA
 No. 6

3
y

2.5

2
0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5
x
LATIHAN METODE
RUNGE-KUTTA
10

 No. 7 0
x 10

-1

-2

-3

-4
y

-5

-6

-7

-8
0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5
x
LATIHAN METODE
RUNGE-KUTTA
 No. 8 60

50

40

30
y

20

10

0
1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5 5.5 6
x
LATIHAN METODE
RUNGE-KUTTA
 No. 9
20

-20

-40
y

-60

-80

-100

-120
0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5
x
LATIHAN METODE
RUNGE-KUTTA
134

 No. 10 10
x 10

5
y

0
0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5
x
SOLUSI PD ORDE TINGGI
 PDB orde-2:

 2 PDB orde-1:
SOLUSI PD ORDE TINGGI
 RK-4:
LATIHAN
SOLUSI PD ORDE TINGGI
 Selesaikanlah PDB berikut dengan
menggunakan algoritma RK-4!
TUGAS KELOMPOK
 Selesaikanlah sistem dC A
PDB berikut dengan  k1C A
dt
menggunakan dCB
algoritma RK-4!  k1C A  k 2CB
dt
dCC
 k 2C B
dt
k1  3 s 1 ; k 2  1 s 1
 Dimana:
C A 0  1 mol m 3 ;
CB 0  0 mol m 3 ;
CC 0  0 mol m 3

Anda mungkin juga menyukai