Anda di halaman 1dari 31

DROP FOOT

MUHAMMAD IQBAL RAMADHAN


1102010182
PEMBIMBING : Kol (Purn) dr. Abidin, Sp.OT

RS. TK II. MOH. RIDWAN MEURAKSA


Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi
Jakarta, Juli 2014
PENDAHULUAN

• Drop foot terjadi karena kerusakan


saraf pada kaki, yang
menyebabkan telapak kaki tidak
dapat diangkat dan jalan menjadi
diseret.
• Drop foot merupakan kelemahan
otot yang terlibat dalam gerak flexi
pada pergelangan kaki dan jari
kaki. Akibatnya, jari kaki menunduk
ke bawah dan menghalangi
gerakan berjalan normal.
STRUKTUR KAKI
Kaki bagian belakang :
 Talus /
pergelangan kaki
 Calcaneus / tumit

Kaki bagian tengah :


 3 cuneiforme :
medial
intermedium
lateral
 cuboid
 Naviculare

Kaki bagian depan :


-5 metatarsal
-14 phalang
a. Otot coxae dorsal
- M. Gluteus maksimus, otot besar superfisial di belakang panggul
yang membentuk bagian terbesar bagian bokong, terletak antara
kolumna vertebra bagian bawah dan paha bagian superior.
- M. Gluteus medius, otot yang sebagian superfisual pada panggul
bagian superior (pelvis); otot terletak di bagian atas sisi lateral tulang
pelvis dan sisi superior tulang femur; otot bagian bawah di lapisi otot
gluteus maksimus.
- Gluteus minimus, otot posterior berbentuk kipas angin di antra sisi
lateral pelvis bagian atas dan femur superior; terletak bagian belakang
panggul dan lebih dalam dari gluteus medius; paling kecil di antara otot
gluteal lainnya.
- M. tensor fasia lata, otot panggul lateral superfasial
- M. Piriformis, otot piramidal di antara sacrum dan femur superior;
terletak di sepanjang gluteus medius inferior sampai gluteus minimus
- M. Obturatorius internus, Membungkus sebagian besar foramen
obturator
- M. Gemelus superior dan inferior, tendon M. abductor internus
fossa trokhanterika
- M. Quadratus femoris, Krista intra trokhanterika
• b. Otot permukaan venteral pangkal femur
1. M. ilio psoas
2. Otot permukaan venter femur
3. Adduktor femur
4. Otot –otot fleksor femur
5. Otot – otot ventral krusis
6. Otot-otot kruris lateralis
7. Otot-otot superfisial kruris dorsal
8. Otot-otot kruris profunda lateralis
9. Otot-otot dorsalis pedis
10.Otot-otot plantar pedis
DEFINISI
Drop foot adalah kelemahan otot yang
terlibat dalam gerak flexi pada pergelangan kaki
dan jari kaki. Akibatnya, jari kaki menunduk ke
bawah dan menghalangi gerakan berjalan normal.
Drop foot terjadi karena kerusakan saraf
pada kaki, yang menyebabkan telapak kaki tidak
dapat diangkat dan jalan menjadi diseret. Atau
kaki terkulai akibat lesi nervus peronealis atau
tibialis yang menyebabkan kelumpuhan
otot anterior tungkai bawah.
ETIOLOGI

• Kebiasaan duduk bersila


• Multiple sclerosis
• Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS)
• Cedera pada syaraf peroneal di bagian
atas betis belakang lutut
• Penyakit Parkinson
• Penyakit Kusta (Morbus Hansen)
• Drop foot dapat terjadi karena cedera langsung
pada dorsiflexor. Pada beberapa kasus
ruptur pada tendon tibialis anterior
menyebabkan drop foot dan kecurigaan lumpuh
pada saraf peroneal dilaporkan. Ruptur pada
tendon subkutaneus juga terjadi setelah trauma
minor pada kaki.
• Compartment syndrome juga dapat
menyebabkan foot drop.Kejadian ini merupakan
kejadian emergency, dan tidak hanya
berhubungan dengan fraktur dan trauma akut.
• Foot drop juga dapat disebabkan karena
kombinasi dari disfungsi neurologi, otot dan
anatomi.
PATOFISIOLOGI
PATOFISIOLOGI
• Integritas fungsional dari axon tergantung pada pasokan
zat tropic yang disintesis di perikaryon neuronal yang
diangkut menuruni akson dan dikenal sebagai aliran
axoplasmik.
• Laserasi dapat menghentikan aliran ini. Crush injury juga
dapat menghentikan aliran ini. Double crush terjadi ketika
adanya injuri di proksimal dari nerve root sehingga akan
menghambat aliran axoplasmik, sehingga axon rentan
mengalami kerusakan.
• Lesi distal pada axon tersebut dianggap bertanggung
jawab atas peningkatan risiko drop foot , biasanya terjadi
pada cedera pinggul pada pasien dengan riwayat stenosis
tulang belakang sebelumnya.
PATOFISIOLOGI
Kecacatan akibat kerusakan saraf pada drop foot dapat
dibagi menjadi 3 tahap yaitu:
• Tahap I : lesi berbentuk penebalan saraf, saraf peroneus
nyeri, tanpa ada gangguan fungsi gerak, hanya ada
gangguan sensorik.
• Tahap II : karena terjadi kerusakan saraf, timbul paralisis
pada otot-otot tibialis anterior, ekstensor digitorum/ halusis
longus. Pada stadium ini masih dapat terjadi pemulihan
kekuatan otot. Bila berlanjut dapat terjadi luka pada kaki dan
kekakuan sendi.
• Tahap III : terjadi penghancuran saraf, maka kelumpuhan
drop foot akan menetap. Pada stadium ini terjadi infeksi yang
progresif dengan kerusakan tulang
PATOFISIOLOGI
Skema Patogenesis kecacatan Drop Foot:

Kerusakan
saraf peroneus Paralisis otot-otot tibialis Drop Foot
anterior, ekstensor digitorum
longus, ekstensor halusis
longus
GAMBARAN KLINIS

• Atrofi otot kaki


• Jalan pincang
• Terasa kesemutan dan mati rasa
• Sulit menggerakkan kaki
bagian depan
• Abnormal kearah yang menyeret
bagian depan kaki ditanah selama
berjalan
• Sedikit nyeri pada kaki
• Kaki lemas
GEJALA LAIN

Pada cacat drop foot, penderita tidak mampu mengangkat


bagian depan kaki ketika akan melangkahkan kakinya
kedepan, akibatnya penderita harus:
• Menyeret jari kakinya dilantai
• Mengangkat lutut tinggi-tinggi untuk menghindari
gesekan kaki.
• Kaki inversi
• Berat tubuh tertumpu disisi lateral kaki dan jari IV dan V.
Sehubungan dengan hal tersebut diatas , maka perlu
diperhatikan cara jalan penderita, adakah stepping gait
atau tidak.
DIAGNOSIS
Diagnosis yang tepat drop foot sangat dipengaruhi
oleh kecermatan dan perhatian ahli saraf
yang berpengalaman. Penegakan diagnosis drop
foot harus mencakup hal–hal seperti riwayat medis
yang lengkap, pemeriksaan klinis yang
komprehensif termasuk uji neurologis, pengujian
listrik dan studi pencitraan, seperti sinar–X atau
MRI (Magnetic Resonance Imaging).
°
Studi Laboratorium

Tes–tes laboratorium yang sering digunakan adalah sebagai


berikut.
• Gula darah puasa
• Hemoglobin A1C
• Tingkat sedimentasi eritrosit
• C–reaktif protein
• Elektroforesis protein serum atau immunoelectro-
osmophoresis
• BUN
• Kreatinin
• Tingkat Vitamin B-12
Studi Pencitraan
 Plain Foto Polos
Plain foto polos pada drop foot dilakukan dengan indikasi yakni,
pasca trauma dan non trauma. Plain foto pasca trauma
dilakukan dengan plain foto tibia dan fibula serta pergelangan
kaki untuk melihat cedera tulang.
Plain foto polos non trauma dilakukan dengan indikasi
kecurigaan adanya disfungsi anatomi misalnya charot. Plain foto
yang dilakukan dalam kasus disfungsi anatomi adalah plain foto
polos kaki dan pergelangan kaki, dimana dari hasilnya nanti
dapat memberikan informasi yang berguna.
Selain itu plain foto polos tulang belakang juga diperlukan untuk
menilai jarak intravertebralis dan pedicle untuk mengindikasikan
adanya lesi pada saraf yang disebabkan oleh proses
metastase.
Ultrasonografi
Ultrasonografi dilakukan dalam kasus drop
foot dengan kecurigaan terjadi
pendarahan pada pasien dengan pinggul
atau lutut prosthesis
 Magnetic Resonance Imaging
Magnetic Resonance Imaging (MRI) dilakukan dengan indikasi
kecurigaan terhadap tumor atau massa tekan ke saraf peroneal,
dimana dilakukan dengan sistem standar 1,5 Tesla MRI.
Magnetic Resonance Imaging memungkinkan akusisi cepat
gambar anatomi lebih rinci, bidang pandang yang lebih kecl,
resolusi yang lebih tinggi, dan dengan bagian potongan yang
lebih tipis.
Keunggulan pada MRI ini dapat memberikan gambar yang
mampu menunjukan organisasi fasciculus saraf perifer normal,
sehingga membuat saraf lebih jelas daat dibedakan dari jaringan
lain (misalnya, tumor atau pembuluh darah)
Selain itu, gambar pada MRI dapat diproses lebih lanjut untuk
memungkinkan susunan bagian aksial dan memotong data di
bagian lain. Hal ini bermanfaat dalam mengetahui batas
longitudinal keterlibatan saraf tersebut.
 Elektromyelogram (EMG)

• Mengkonfirmasi jenis neuropati, menetapkan


lokasi lesi, memperkirakan luasnya cedera, dan
memberikan prognosis.
• Sebagai studi sekuensial yang bertujuan untuk
memantau pemulihan lesi akut.
• Melokalisasi kepala fibula.
• Mengetahui perlambatan atau penurunan
amplitudo ekstensor digitorum brevis di daerah
kompresi pada lesi myelin.
PENATALAKSANAAN
PENATALAKSANAAN

Terapi operatif
TPT Circumstibial merupakan
bedah tendon transfer yang
sering digunakan untuk
memperbaiki fungsi kaki pada
penderita drop foot yang
merupakan salah satu contoh
komplikasi dari Kusta. Pada
bedah TPT yang sering
digunakan sebagai motor tendon
adalah tendon otot tibialis
posterior
TPT Circumstibial
• Lakukan pemanjangan pada tendon Achiles dengan cara
tertutup.
• Tendon tibialis posterior dilepaskan pada insersinya dengan
memotong sedikit proksimal dari tuberositas navikulare.
• Membuat dua irisan di pergelangan kaki untuk mengeluarkan
tendon ekstensor halusis longus dan ekstensor digitorum
longus. Kait tendon-tendon ini dengan masing-masing satu
duk klem.
• Melalui subkutis, ujung tibialis posterior dibawa ke anterior,
dibelah dua, masing-masing belahan untuk EHL dan EDL.
• Letakkan kaki di dalam spalk TPT dan buat anastomosis
dengan kedua tendon tersebut, menggunakan silk 3.0
• Pasca bedah, kaki digips dalam dorsofleksi ± 30º, perhatikan
dalam sedikit eversi sebagai over koreksi dari inversi selama
Setelah 5 minggu, gips dibuka,
dilakukan terapi latihan selama 4
minggu. Untuk mengetahui hasil
tindakan bedah rekonstruksi dan
terapi latihan terhadap perbaikan
fungsi kaki, dilakukan evaluasi:
• Penilaian lingkup gerak sendi
pergelangan kaki/ dorsofleksi
dengan goniometer.
• Penilaian fungsi berjalan (stepping
gait)
• Bagian telapak kaki yang
menerima berat badan saat
berjalan
• FISIOTERAPI
Fisioterapi yang dilakukan pada penderita
berupa latihan:

• Latihan pra-bedah
• Selama imobilisasi dalam gips sirkuler
• Latihan pasca bedah
TERAPI OKUPASI
Terapi okupasi dilakukan pada
minggu ke VIII dan IX pasca bedah.
Penderita dilatih pergelangan
kakinya dengan menggunakan
mesin jahit, agar dapat
meningkatkan kekuatan otot tibialis
posterior yang telah ditransfer
sehingga didapatkan derajat
dorsofleksi yang maksimal.
ORTOTIK-PROSTETIK

• Alas kaki. Sebagai pelindung untuk mencegah terjadinya luka baru


atau cacat lebih lanjut. Alas kaki tersebut adalah MCR yang dibuat
dari karet MCR (Micro Cellular Rubber) dan bagian atasnya dibuat
dari bahan yang kuat. Syarat pembuatan sandal MCR adalah:
• Alas dibuat dari bahan yang dapat menyesuaikan bentuk,
menyebarkan berat badan pada semua bagian telapak kaki dan
bersifat menahan benturan (shock absorben)
• Menahan semua bagian kaki agar tidak mudah bergerak, akan
tetapi tidak menjepit.
• Mudah membantu dalam pemantauan keadaan kaki bagian luar.

Anda mungkin juga menyukai