Anda di halaman 1dari 31

Materi Inti 2

Kementerian Kesehatan
2017
 Masalah gangguan penggunaan Napza  masalah
kompleks  penatalaksanaan multidisiplin dan lintas
sektoral dalam suatu tatanan program yang menyeluruh
(komprehensif) serta konsisten.
 Gangguan penggunaan Napza jarang ditemukan berdiri
sendiri  komorbiditas : seperti depresi atau ansietas.
 Cara penggunaan Napza  mengakibatkan penyakit
penyulit seperti infeksi HIV/AIDS, hepatitis B atau C dll
 Dalam penatalaksanaan perlu menjadi pertimbangan :
 Kompetensi
 FKTP (Puskesmas dan klinik pratama) anamnesis, pemeriksaan fisik dan
psikiatrik, dan penatalaksanaan gawat darurat, serta melakukan rujukan ke
FKRTL bila perlu (misalnya bila terdapat ide bunuh diri atau terdapat
komplikasi medik yang memerlukan rawat inap). Beberapa FKTP juga dapat
memberikan layanan terapi rumatan metadon.
 FKRTL  kompetensi FKTP + rawat inap pasien dengan komplikasi medik
(misalnya ide bunuh diri atau komplikasi medik berat), memberikan
intervensi psikososial, dan melakukan pemeriksaan penunjang.
 Pembiayaan.  JKN belum menanggung biaya dari perawatan dan
pengobatan bagi penderita gangguan pemakaian Napza  segala
pembiayaan dibebankan ke Kementerian Kesehatan.
A. Tujuan pembelajaran umum
Setelah mengikuti materi ini, peserta mampu memahami
prinsip umum dari penatalaksanaan Gangguan
Penggunaan Napza sesuai dengan kompetensinya .
B. Tujuan pembelajaran khusus
 Menjelaskan prinsip dan konsep dasar proses terapi.
 Menjelaskan berbagai jenis modalitas terapi pada pasien
gangguan penggunaan Napza.
1. Abstinensia atau penghentian total penggunaan zat
 Tujuan yang ideal, akan tetapi sebagian besar pasien dengan gangguan penggunaan
Napza tidak mampu atau kurang termotivasi untuk mencapai tujuan ini.

2. Pengurangan frekuensi dan keparahan relaps.


 Pelatihan relapse prevention program, cognitive behaviour therapy, opiate antagonist
maintenance therapy merupakan beberapa pilihan untuk mencapai tujuan terapi ini.

3. Pengurangan dampak buruk (harm reduction)


 Agar dampak buruk akibat gangguan penggunaan Napza dapat diminimalisir
 Diharapkan fungsi adaptasi sosial pasien dapat membaik  pasien dapat terus
berfungsi secara sosial dan meneruskan kegiatan yang positif.
 Terapi substitusi rumatan metadon merupakan pilihan untuk mencapai sasaran terapi
golongan ini.
Untuk mencapai tujuan  program terapi dan rehabilitasi
dilaksanakan :
1. Rawat inap contoh kasus intoksikasi stimulan + gejala psikotik
2. Rawat jalan.  contoh pemakaian kanabis secara rekreasional

Program terapi yang diberikan menyasar pada :


1. Masalah pemakaian zat dan
2. Kondisi medis penyerta, serta
3. Masalah psikososial (psikoterapi, konseling, dan pencegahaan
kekambuhan).
1. Tidak ada satu bentuk terapi yang sesuai untuk semua individu.
Masing-masing pasien ketergantungan Napza memerlukan jenis
terapi yang sesuai dengan kebutuhannya.
2. Kebutuhan guna mendapatkan terapi harus selalu tersedia
sepanjang waktu
3. Terapi yang efektif harus mampu memenuhi banyak kebutuhan
individu, tidak hanya semata-mata karena kebutuhan
menggunakan Napza.
4. Rencana pelayanan dan terapi seorang individu harus dinilai
secara kontinyu dan sewaktu-waktu perlu dimodifikasi guna
memastikan bahwa rencana terapi telah sesuai dengan perubahan
kebutuhan orang tersebut.
5. Mempertahankan pasien dalam periode terapi yang
adekuat merupakan sesuatu yang penting guna menilai
apakah terapi efektif atau tidak
6. Konseling dan terapi perilaku merupakan bagian penting
terapi ketergantungan Napza
7. Medikasi merupakan elemen penting pada terapi
kebanyakan pasien ketergantungan Napza
8. Seorang pasien ketergantungan Napza yang secara bersama-sama
juga menderita gangguan mental harus mendapatkan terapi untuk
kedua-duanya secara integratif
9. Detoksifikasi hanya merupakan taraf permulaan terapi
ketergantungan Napza dan kalau dianggap sebagai satu-satunya
cara maka hanya mendatangkan sedikit keberhasilan terapi.
10. Terapi yang dilakukan secara sukarela tidak menjamin
menghasilkan suatu bentuk terapi yang efektif
11. Kemungkinan penggunaan Napza kembali selama terapi
berlangsung harus dimonitor secara berkesinambungan
12. Program terapi harus menyediakan assesment untuk HIV/AIDS,
Hepatitis B dan C, Tuberkulosis dan penyakit infeksi lain serta
harus dilakukan konseling untuk membantu pasien ketergantungan
Napza memodifikasi atau merubah tingkah lakunya, agar tidak
menyebabkan dirinya atau diri orang lain pada posisi yang
berisiko mendapatkan infeksi.
13. Pemulihan dari ketergantungan Napza merupakan proses jangka
panjang dan sering membutuhkan episode terapi berulang-ulang
1. Intervensi medis:
 Program detoksifikasi
 Terapi simtomatik
 Terapi rumatan
 Terapi kondisi medis penyulit/penyerta

2. Intervensi psikososial, antara lain:


 Psikoterapi (terapi kognitif dan perilaku, terapi dinamik, dsb)
 Konseling (konseling adiksi, konseling pasangan/pernikahan,
dll)
1. Rawat jalan dan
2. Rehabilitasi dengan pendekatan filosofis,
antara lain :
 Komunitas Terapeutik (Therapeutic Community, TC)
 12-Langkah
 Jenis terapi lain yang sudah teruji secara ilmiah lainnya

3. Situasi kegawatdaruratan medis.


 Intervensi medik jangka pendek  terapi awal
ketergantungan zat.
 Tujuan terapi detoksifikasi:
mengurangi, meringankan, atau meredakan keparahan gejala-
gejala putus zat
mengurangi keinginan, tuntutan dan kebutuhan pasien untuk
“mengobati dirinya sendiri” dengan menggunakan zat-zat illegal
mempersiapkan untuk proses terapi lanjutan yang dikaitkan
dengan modalitas terapi lainnya
menentukan dan memeriksa komplikasi fisik dan mental, serta
mempersiapkan perencanaan terapi jangka panjang
 Pada situasi dimana detoksifikasi tidak menjadi pilihan atau tidak memungkinkan
dijadikan prioritas utama  diberikan intervensi medis berdasarkan gejala yang
menonjol.
 Gejala tersebut bisa merupakan bagian dari kedaruratan medik dan psikiatrik
yang terjadi akibat ketergantungan Napza, misalnya gajala depresif dan gejala
psikotik.
 Termasuk kedaruratan medik yang terjadi akibat penggunaan Napza :
 Intoksikasi akut
 Keadaan putus zat
 Keadaan putus zat dengan delirium
 Gangguan psikotik
 Gaduh gelisah
 Gangguan cemas/panik
 Depresi berat dan percobaan bunuh diri
 Tidak sama dengan overdosis
 Dapat membahayakan  agresivitas, impulsivitas, agitatif
kecuali intoksikasi akut tembakau yang jarang terjadi.
 Intoksikasi akut kokain, amfertamin, dan beberapa jenis
halusinogen  kejang, tekanan darah naik, gangguan
irama jantung, hipertermia, dehidrasi.
 Intoksikasi akut  kondisi medik sedang, kecuali
intoksikasi tembakau termasuk kondisi medik ringan.
 Pada intoksikasi kafein terjadi gangguan irama jantung,
agitasi . Pada intoksikasi PCP dapat terjadi kejang.
 Pasien dengan intoksikasi akut  rawat inap.
 Tujuan utama  menjaga sistem kardiovaskuler dan respirasi tetap
berfungsi normal.
 Menghindari gejala yang lebih berat dan lebih sukar ditangani,
seperti kejang,dan memulihkan kesadaran.
 Untuk intoksikasi akut opioid  antagonis opioid yaitu
naloxone.
 Untuk intoksikasi akut benzodiazepin dapat diberikan
flumazenil.
 Kondisi klinis yang timbul ketika seseorang mengurangi atau
menghentikan penggunaan narkotika atau zat adiktif lain setelah ia
menggunakan zat tersebut berulang kali, biasanya setelah periode
penggunaan yang lama dan/atau dalam jumlah yang banyak.
 Delirium  kehilangan kemampuan untuk mengalihkan,
memusatkan, dan mempertahankan perhatiannya; kondisi ini
berfluktuasi sejalan dengan waktu; dan bisa disertai dengan agitasi.
 Keadan putus alkohol dan keadaan putus sedativa-hipnotika  dapat
disertai kejang, agitasi, hipotensi postural serta delirium  harus
dirawat inap.
 Keadaan putus kokain stimulan lainnya dapat disetai agitasi
dan ide bunuh diri  rawat inap.
 Keadan putus tembakau dan keadaan putus ganja pada
umumnya termasuk kondisi medik ringan  tidak perlu
rawat inap.
 Keadaan putus opioda bukan keadaan yang gawat , tetapi
pasien menderita antara lain karena rasa nyeri seluruh
badan. Pasien ini tidak harus diirawat inap, tetapi bila
pasien menghendaki dirawat inap maka sebaiknya
dirawat inap.
 Gejala psikotik muncul < 2 minggu penggunaan narkotika/
zat adiktif lain, berlangsung paling sedikit 48 jam dan
tidak lebih dari 6 bulan.
 Sekelompok gejala  ketidaksesuaian afek, halusinasi, dan
waham.
 Bila disertai agresivitas  harus dirawat inap.
 Obat yang dapat diberikan adalah golongan antipsikotik,
disarankan yang atipikal (seperti risperidone, olanzapine,
dan aripiprazole).
 Ganguan cemas/panik :
 pada umumnya tidak memerlukan rawat inap.
 Obat yang dapat diberikan antara lain golongan benzodiazepin
(seperti alprazolam dan lorazepam) dan golongan antipsikotik
tipikal dosis rendah (seperti haloperidol 0,5 mg dan
trifluoperazine 1 mg).
 Pertimbangkan ulang untuk pemberian golongan benzodiazepin,
khususnya yang potensi kuat/ tinggi. Mengingat risiko toleransi
dari obat-obat golongan itu, pastikan bahwa pemberiannya akan
memberikan manfaat yang lebih tinggi daripada efek yang tak
diinginkan.
 Depresi berat dan Percobaan Bunuh Diri
 Pasien dengan Depresi berat dan Percobaan Bunuh Diri harus
dirawat inap.
 Obat yang dapat diberikan antara lain golongan benzodiazepin,
golongan antipsikotik (baik atipikal maupun tipikal), dan
antidepresan (seperti fluoxetine dan maproptiline).
 Belum cukup bukti yang mendukung penggunaan antidepresan
untuk gejala depresif. Pertimbangkan pemberiannya pada episode
depresif berat.
 Menggunakan zat agonis atau zat antagonis yang biasanya
diberikan setelah pasien melalui proses detoksifikasi.
 Terapi rumatan tersedia  opioid dan tembakau. Obat
yang dipakai dalam terapi rumatan opioid adalah
metadona (agonis penuh) dan buprenorfin (agonis parsial),
serta nalokson dan naltrekson (antagonis).
 Untuk tembakau tersedia varenicline.
 Buprenorfin dimanfaatkan sebagai terapi rumatan  pada
dosis tinggi buprenorfin bersifat antagonis,dengan
demikian relatif lebih aman daripada metadona
 Terapi rumatan buprenorfin  penyalahgunaan
buprenorfin dengan cara disuntikkan  buprenorfin
dikombinasi dengan naltrekson untuk mengatasi masalah
tersebut.
 Terapi rumatan dengan nalokson, yang dikenal dengan
istilah Opiate Antagonist Maintenance Therapy, harus
diberikan bersama dengan konseling.
 Kondisi medis penyulit atau yang menyertai
masalah penggunaan Napza bisa dikelompokkan
menjadi :
1. masalah organobiologik (kondisi medis umum) 
Penggunaan Napza dengan cara suntik dapat membuat
seseorang tertular penyakit penyulit (komplikasi)
seperti HIV/AIDS, Infeksi Menular Seksual (IMS),
hepatitis B atau C, dan lain-lain.
 Kondisi medis penyulit bisa dikelompokkan :
2. Masalah psikologik/psikiatrik  Dual diagnosis
 kasus ketergantungan Napza + gangguan psikiatrik
lainnya.
 Membutuhkan terapi khusus  Obat yang dapat
diberikan bergantung pada diagnosis (lihat “Terapi
simtomatik” di atas).
 Mengingat keterbatasan sumber daya layanan
kesehatan primer,  merujuk setiap kasus dual
diagnosis ke psikiater
TR medis rawat inap bagi pengguna Napza meliputi:
1. Program berbasis-rumah sakit
 General hospital based program
 Psychiatric hospital
 rumah sakit khusus untuk gangguan penggunaan Napza  Rumah Sakit
Ketergantungan Obat.

2. Berbasis-komunitas
 Program TR dilaksanakan di fasilitas rehabilitasi yang diselenggarakan oleh
masyarakat, seperti TC dan 12-langkah.
 Program-program tersebut biasanya dilaksanakan dalam bentuk yang murni,
tanpa intervensi medis (yang membedakan dengan yang dilaksanakan di
rumah sakit).
 Kebijakan atau program  untuk menurunkan konsekuensi
kesehatan, sosial dan ekonomi yang merugikan sebagai akibat
penggunaan narkotika tanpa kewajiban abstinensia dari penggunaan
narkotika.
 Beberapa program harm reduction:
1. Syringe Exchange Program
2. Methadone Maintenance Treatment Program (MMTP)
3. Education, Outreach Program And Bleach Kits
4. Tolerance Areas
5. Kawasan Bebas Asap Rokok
1. Pilih 4 orang yang berperan menjadi klien
 Pasien dengan penggunaan ganja rekreasional
 Pasien dengan penggunaan ekstasi setiap akhir pecan
 Pasien dengan penggunaan heroin suntik (ketergantungan)
 Pasien dengan alkohol yang merugikan
Setiap orang pasien diberikan selembar kertas kosong
2. Tempelkan 2 Kertas flipchart di dinding ( Rawat Inap dan
Rawat Jalan)
3. Bagi peserta lainnya menjadi 6 kelompok :
 Kelompok Terapi detoksifikasi
 Kelompok Terapi Simtomatik
 Kelompok Terapi Rumatan
 Kelompok Terapi Komorbiditas
 Kelompok Terapi Konseling
 Kelompok Terapi Psikoterapi

4. 4 orang klien berkeliling ke 6 meja tersebut. Pada setiap meja berikan alasan
diberikan atau tidak diberika terapi tersebut kepada klien
5. Tempelkan hasil terapi dari 4 orang klien tersebut di kertas flipchart rawat inap
atau rawat jalan
6. Diskusikan

Anda mungkin juga menyukai