Anda di halaman 1dari 54

KEJANG PADA

ANAK  
DALAM RANGKA MENJALANI KEPANITERAAN KLINIK MADYA
DI SMF PEDIATRI RUMAH SAKIT UMUM DR. R. SOEDJONO SELONG FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
ISLAM
AL-AZHAR MATARAM
Pendahuluan
◦ Kejang merupakan gangguan neurologis yang lazim pada kelompok umur pediatri
dan terjadi dengan frekuensi 4-6 kasus/1000 anak.
◦ Kejang merupakan suatu serangan mendadak yang dapat nampak sebagai
gangguan atau kehilangan kesadaran, aktifitas motorik abnormal, kelainan
perilaku, gangguan sensoris, atau disfungsi outonom. Beberapa kejang ditandai
oleh gerakan abnormal tanpa kehilangan atau gangguan kesadaran.
◦ Kebanyakan kejang pada anak-anak disebabkan oleh gangguan somatik yang
berasal dari luar otak seperti demam tinggi, infeksi, pingsan, trauma kepala,
hipoksia, toksin, atau aritmia jantung.
◦ Keadaan lain seperti gangguan pernafasan dan refluks gastroesofageal juga dapat
menyebabkan kondisi yang menstimulasi terjadinya kejang
KEJANG DEMAM
Definisi
◦ Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh
(suhu rektal lebih dari 38,0°C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium
Epidemiologi
◦ Di Amerika Serikat dan Eropa prevalensi kejang demam berkisar 2 – 5%.
◦ Di Asia prevalensi kejang demam meningkat dua kali lipat bila dibandingkan
Eropa dan di Amerika.
◦ Di Jepang kejadian kejang demam berkisar 8,3% - 9,9%.
◦ Terbanyak kasus bangkitan kejang demam terjadi pada anak berusia antara 6
bulan sampai dengan 22 bulan.
◦ Insiden bangkitan kejang demam tertinggi pada usia 18 bulan
Klasifikasi
Faktor Resiko
◦ Demam
◦ Usia
◦ Riwayat keluarga
◦ Faktor prenatal (usia saat ibu hamil, riwayat pre-eklamsi, hamil primi/multipara,
pemakaian bahan toksik),
◦ Faktor perinatal (asfiksia, bayi berat badan lahir rendah, usia kehamilan, partus
lama, cara lahir)
◦ Faktor pascanatal (kejang akibat toksik, trauma kepala)
Patofisiologi
◦ Gangguan pembentukan ATP dengan akibat kegagalan pompa Na – K, misalnya pada
hipoksemia, iskemia, dan hipoglikemia. Sedangkan pada kejang sendiri dapat terjadi
pengurangan ATP dan terjadi hipoksemia.
◦ Perubahan permeabilitas membrane sel saraf, misalnya hipokalsemia dan hypomagnesemia

◦ Demam dapat menimbulkan kejang melalui mekanisme sebagai berikut:


◦ Demam dapat menurunkan nilai ambang kejang pada sel-sel yang belum matang.
◦ Timbul dehidrasi sehingga terjadi gangguan elektrolit yang menyebabkan gangguan
permeabilitas membrane sel.
◦ Metabolisme basal meningkat, sehingga terjadi timbunan asam laktat dan CO2 yang akan
merusak neuron.
◦ Demam meningkatkan cerebral blood flow (CBF) serta meningkatkan kebutuhan oksigen dan
glukosa, sehingga menyebabkan gangguan pengaliran ion-ion keluar masuk sel.
Manifestasi Klinis
◦ Kenaikan suhu tubuh yang disebabkan oleh infeksi diluar susunan saraf pusat,
misalnya tonsillitis, otitis media akut, bronchitis, furunkulosis dan lain-lain
◦ Serangan kejang biasanya terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam
◦ Berlangsung singkat dengan sifat bangkitan dapat berbentuk tonik –klonik, tonik,
klonik, fokal atau akinetik. Postur tonik (kontraksi dan kekakuan otot menyeluruh
yang biasanya berlangsung selama 10-20 detik), gerakan klonik (kontraksi dan
relaksasi otot yang kuat dan berirama, biasanya berlangsung selama 1-2 menit)
◦ Lidah atau pipinya tergigit
◦ Gigi atau rahangnya terkatup rapat
◦ Inkontinenia (mengeluarkan air kemih atau tinja diluar kesadarannya)
◦ Gangguan pernafasan, apneu (henti nafas)
◦ Kulitnya kebiruan
Manifestasi Klinis
Kriteria Livingston membagi kejang demam atas 2 golongan,yaitu :
◦ Kejang demam sederhana (simple febrile convulsion).
◦ Epilepsi yang diprovokasi oleh demam (epilepsy triggered off by fever).

Modifikasi kriteria Livingston.


1. Umur anak ketika kejang antara 6 bulan dan 4 tahun.
2. Kejang berlangsung hanya sebentar saja, tidak lebih dari 15 menit.
3. Kejang bersifat umum.
4. Kejang timbul dalam 16 jam pertama setelah timbulnya demam.
5. Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang normal.
6. Pemeriksan EEG yang dibuat sedikitnya 1 minggu sesudah suhu normal tidak menunjukkan kelainan.
7. Frekuensi bangkitan kejang di dalam 1 tahun tidak melebihi 4 kali.
Kejang demam yang tidak memenuhi salah satu atau lebih dari ketujuh kriteria modifikasi Livingston di
atas digolongkan pada epilepsi yang diprovokasi oleh demam
Diagnosa: anamnesis
◦ Waktu terjadi kejang, durasi, frekuensi, interval antara 2 serangan kejang
◦ Sifat kejang (fokal atau umum)
◦ Bentuk kejang (tonik, klonik, tonik-klonik)
◦ Kesadaran sebelum dan sesudah kejang (menyingkirkan diagnosis meningoensefalitis)
◦ Riwayat demam (sejak kapan, timbul mendadak atau perlahan, menetap atau naik turun)
◦ Menentukan penyakit yang mendasari terjadinya demam (infeksi saluran pernapasan akut,
otitis media akut, gastroenteritis)
◦ Riwayat kejang sebelumnya (kejang disertai demam maupun tidak disertai demam atau
epilepsi)
◦ Riwayat gangguan neurologis (menyingkirkan diagnosis epilepsi)
◦ Riwayat keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan
◦ Trauma kepala
Diagnosis: PF
◦ Tanda vital terutama suhu.
◦ Manifestasi kejang yang terjadi, misal : pada kejang multifokal yang berpindah-pindah
atau kejang tonik, yang biasanya menunjukkan adanya kelainan struktur otak.
◦ Kesadaran tiba-tiba menurun sampai koma dan berlanjut dengan hipoventilasi, henti
nafas, kejang tonik, posisi deserebrasi, reaksi pupil terhadap cahaya negatif, dan
terdapatnya kuadriparesis flasid mencurigakan terjadinya perdarahan intraventikular.
◦ Pada kepala apakah terdapat fraktur, depresi atau mulase kepala berlebihan yang
disebabkan oleh trauma. Ubun–ubun besar yang tegang dan membenjol menunjukkan
adanya peninggian tekanan intrakranial yang dapat disebabkan oleh pendarahan
subaraknoid atau subdural. Pada bayi yang lahir dengan kesadaran menurun, perlu dicari
luka atau bekas tusukan janin dikepala atau fontanel enterior yang disebabkan karena
kesalahan penyuntikan obat anestesi pada ibu.
◦ Terdapatnya stigma berupa jarak mata yang lebar atau kelainan kraniofasial yang mungkin
disertai gangguan perkembangan korteks serebri.
Diagnosis: PF
◦ Ditemukannya korioretnitis dapat terjadi pada toxoplasmosis, infeksi sitomegalovirus dan
rubella. Tanda stasis vaskuler dengan pelebaran vena yang berkelok – kelok di retina
terlihat pada sindom hiperviskositas.
◦ Transluminasi kepala yang positif dapat disebabkan oleh penimbunan cairan subdural atau
kelainan bawaan seperti parensefali atau hidrosefalus.
◦ Pemeriksaan umum penting dilakukan misalnya mencari adanya sianosis dan bising
jantung, yang dapat membantu diagnosis iskemia otak.
◦ Pemeriksaan untuk menentukan penyakit yang mendasari terjadinya demam (infeksi
saluran pernapasan akut, otitis media akut, gastroenteritis)
◦ Pemeriksaan refleks patologis
◦ Pemeriksaan tanda rangsang meningeal (menyingkirkan diagnosis meningoensefalitis)
Diagnosis: Pemeriksaan
Penunjang
◦ Laboratorium
◦ Lumbal pungsi
◦ EEG
Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan kejang demam pada anak adalah untuk
◦ Mencegah kejang demam berulang
◦ Mencegah status epilepsi
◦ Mencegah epilepsi dan atau retardasi mental
◦ Normalisasi kehidupan anak dan keluarga
Penatalaksanaan
Prognosis
◦ Prognosis kejang demam baik
◦ Kejang demam bersifat benigna
◦ Angka kematian hanya 0,64% - 0,75%
◦ Sebagian besar penderita kejang demam sembuh sempurna, sebagian
berkembang menjadi epilepsy sebanyak 2% - 7%
EPILEPSI
Definisi
◦ Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) dan International Bureau
for Epilepsy (IBE) pada tahun 2005 epilepsi didefinisikan sebagai suatu kelainan
otak yang ditandai oleh adanya faktor predisposis yang dapat mencetuskan kejang
epileptik, perubahan neurobiologis, kognitif, dan psikologis dan adanya
konsekuensi sosial yang diakibatkannya. Definisi ini membutuhkan sedikitnya satu
riwayat kejang epilepsi sebelumnya
Epidemiologi
◦ Epilepsi merupakan salah satu kelainan otak yang serius dan umum terjadi
◦ Sekitar lima puluh juta orang di seluruh dunia mengalami kelainan ini.
◦ Angka epilepsi lebih tinggi di negara berkembang  Insiden epilepsi di negara
maju (50/100.000) sementara di negara berkembang (100/100.000)
◦ Di negara berkembang sekitar 80-90% diantaranya tidak mendapatkan
pengobatan apapun.
◦ Penderita laki-laki umumnya sedikit lebih banyak dibanding kan dengan
perempuan.
◦ Insiden tertinggi terjadi pada anak berusia dibawah 2 tahun (262/100.000 kasus)
dan usia lanjut diatas 65 tahun (81/100.000 kasus).
◦ Angka kejadian epilepsi pada anak cukup tinggi, yaitu pada usia 1 bulan sampai 16
tahun berkisar 40/100.000 kasus
Etiologi
◦ Epilepsi idiopatik

Penyebabnya tidak diketahui, meliputi ± 50% dari penderita epilepsi anak dan
umumnya mempunyai predisposis genetik, awitan biasanya pada usia >3 tahun.
◦ Epilepsi simptomatik

Disebabkan oleh kelainan/ lesi pada susunan saraf pusat. Misalnya : post trauma
kapitis, infeksi susunan saraf pusat, gangguan metabolik, malformasi otak
kongenital, asfiksia neonatorum, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak,
toksik (alkohol, obat), kelainan neurodegeneratif.
◦ Epilepsi kriptogenik

Dianggap simptomatik tetapi penyebabnya belum diketahui, termasuk disini adalah


sindrom West, sindrom Lennox-Gastaut dan epilepsi mioklonik.
Klasifikasi (ILAE)
◦ Kejang parsial (fokal)

◦ Kejang parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)


◦ Dengan gejala motoric
◦ Dengan gejala sensorik
◦ Dengan gejala otonomik
◦ Dengan gejala psikis
◦ Kejang parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran)

◦ Awalnya parsial sederhana, kemudian dikuti dengan gangguan kesadaran


◦ Kejang parsial sederhana diikuti dengan gangguan kesadaran
◦ Dengan automatisme
◦ Dengan gangguan kesadaran sejak awal kejang
◦ Dengan gangguan kesadaran saja
◦ Dengan automatisme
Klasifikasi (ILAE)
◦ Kejang umum sekunder/ kejang parsial yang menjadi umum (tonik-klonik), tonik atau klonik)

◦ Kejang parsial sederhana berkembang menjadi kejang umum


◦ Kejang parsial kompleks berkembang menjadi kejang umum
◦ Kejang parsial sederhana berkembang menjadi parsial kompleks, dan berkembang menjadi kejang umum.

◦ Kejang umum (konvulsi atau non-konvulsi)

◦ Lena/ absens
◦ Mioklonik
◦ Tonik
◦ Klonik
◦ Tonik-klonik
◦ Atonik
◦ Kejang epileptik yang tidak tergolongkan
Patofisiologi
Dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan tranmisi pada sinaps.
Ada 2 jenis neurotransmitter, yaitu :
◦ Neurotransmitter eksitasi yang memudahkan depolarisasi atau lepas muatan listrik; glutamate,
aspartat, norepilefrin dan asetilkolin
◦ Neurotransmitter inhibisi (inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik saraf dalam sinaps) yang
menimbulkan hiperpolarisasi sehingga sel nauron lebih stabil dan tidak mudah melepaskan listri;
gamma amino butyric acid (GABA) dan glisin
Oleh berbagai faktor, diantaranya keadaan patologik, dapat merubah atau menggangu fungsi
membran neuron sehingga memran mudah dilampaui oleh ion Ca dan Na dari ruangan ekstra ke
intraseluler.
Influks Ca akan mencetuskan letupan depolarisasi membran dan lepas muatan listrik berlebihan,
tidak teratur dan terkendali
Lepas muatan listrik demikian oleh sejumlah besar neuron secara sinkron merupakan dasar suatu
serangan epilepsi
Manifestasi Klinis
Kejang parsial simpleks
◦ Kejang dimana pasien akan tetap sadar. Pasien akan menglami gejala berupa :
◦ Deja vu : perasaan dimana pernah melakukan sesuatu yang sama sebelumnya.
◦ Perasaan senang atau takut yang muncul secara tiba-tiba dan tidak dapat
dijelaskan.
◦ Perasaan seperti kebas, tersengat listrik atau ditusuk-tusuk jarum pada bagian
tubuh tertentu.
◦ Gerakan yang tidak dapat dikontrol pada bagian tubuh tertentu.
◦ Halusinasi.
Manifestasi Klinis
◦ Kejang parsial (psikomotor) kompleks
◦ Serangan yang mengenai bagian otak yang lebih luas dan biasanya bertahan lebih
lama. Pasien mungkin hanya sadar sebagian dan kemungkinan besar tidak akan
mengingat waktu serangan. Gejalanya meliputi :
◦ Gerakan seperti mencucur atau mengunyah.
◦ Melakukan gerakan yang sama berulang-ulang.
◦ Melakukan gerakan yang tidak jelas artinya, atau berjalan berkeliling dalam
keadaan seperti bingung.
◦ Berbicara tidak jelas seperti menggumam.
Manifestasi Klinis
◦ Kejang tonik-klonik
◦ Merupakan kejang yang paling sering. Dimana terdapat 2 tahap : tahap tonik atau
kaku diikuti tahap klonik atau kelojotan. Pada serangan jenis ini pasien dapat
hanya mengalami tahap tonik atau klonik saja. Serangan jenis ini biasanya
didahului dengan aura. Aura merupakan perasaan yang dialami sebelum serangan,
dapat berupa : merasa sakit perut, baal, kunang-kunag, telinga berdengung. Pada
tahap klonik pasien dapat : kehilangan kesadaran, kehilangan keseimbangan dan
jatuh karena otot yang menegang, berteriak tanpa alasan yang jelas, menggigit
pipi bagian dalam atau lidah. Pada saat fase klonik : terjadi kontraksi otot yang
berulang dan tidak terkontrol, pasien tampak sangat pucat, pasien mungkin akan
merasa lemas, letih ataupun ingin tidur setelah serangan semacam ini.
Diagnosis; anamnesis
◦ Pola/bentuk serangan
◦ Lama serangan
◦ Gejala sebelum, selama dan pasca serangan
◦ Frekuensi serangan
◦ Faktor pencetus
◦ Ada/tidak penyakit lain yang diderita sekarang
◦ Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembanga
◦ Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya (riwayat trauma kepala dengan
kehilangan kesadaran, meningitis encefalitis, gangguan metabolik, malformasi
vaskuler dan penggunaan obat-obatan tertentu)
◦ Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga.
Daignosis; PF
◦ Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi,
seperi taruma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital, gangguan
neurologik fokal atau difus
◦ Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-sebab terjadinya serangan dengan
menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan.
◦ Pada anak-anak pemeriksa harus memperhatikan adanya keterlambatan
perkembangan, organomegali, perbedaan ukuran antara anggota tubuh dapat
menunjukkan awal gangguan pertumbuhan otak unilateral
Diagnosis: penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
◦ Pemeriksaan yang dilakukakan dapat meliputi darah tepi lengkap, gula darah,
elektrolit, kalsium serum, magnesium dan BUN
◦ Pemeriksaan laboratorium tidak rutin dilakukan hanya atas indikasi berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaan klinis, ditunjukkan untuk menyingkirkan adanya
penyebab kejang ekstrakranial
2. EEG
3. Pemeriksaan radiologi
Penatalaksanaan
◦ Tujuan terapi epilepsi adalah (PERDOSSI, 2008).:
◦ Obat Anti Epilepsi (OAE) mulai diberikan bila diagnosis apilepsi sudah dipastikan,
terdapat minimal 2 kali bangkita dalam setahun, pasien dan keluarga telah mengetahui
tujuan pengobatan dan kemungkinan efek sampingnya.
◦ Strategi pengobatan. Dimulai dengan monoterapi OAE lini pertama sesuai dosis,
kemudian ditingkatkan dosisnya sampai bangkitan teratasi/ didapat hasil yang optimal
dan konsentrasi plasma OAE pada kadar yang maksimal. Jika bangkitan masih tidak
teratasi, secara bertahap ganti ke OAE lini kedua sebelum pemberian politerapi.
◦ Konseling. Beritahukan kepada keluarga dan pasien bahwa penggunaan OAE jangka
lama tidak akan menimbulkan perlambatan mental permanen dan pencegahan kejang
untuk 1-2 tahun dapat menurunkan kemungkinan bangkitan berulang..
◦ Penanganan jangka panjang. Teruskan pengobatan OAE sampai pasien bebas bangkitan
sekurang-kurangnya 1-2 tahun.
Penatalaksanaan
◦ Pasien dengan bangkitan tunggal direkomendasikan untuk memulai terapi bila kemungkinan
kekambuhan tinggi, yaitu bila : dijumpai fokus epilepsi yang jelas pada EEG, terdapat riwayat epilepsi
saudara sekandung, riwayat trauma kepala disertai penurunan kesadaran.
◦ Jika sudah jelas diagnosis epilepsi obat anti epilepsi (OAE) dapat diberikan sesuai jenis dan klasifikasi
epilepsi. Sesuai kesepakatan dokter neurologi anak IDAI terapi dimulai jika interval antara 2 episode
kejang kurang dari 6 bulan.
◦ Prinsip pengobatan epilepsi adalah monoterapi dengan dosis yang bisa memberantas kejang. Mulai
dengan dosis kecil terlebih dahulu, naikkan secara bertahap jika masih terdapat kejang. Obat anti
epilepsi dapat dinaikkan sampai dosis maksimal, jika dengan dosis 2 OAE kejang sudah terkontrol OAE
pertama dapat dicoba diturunkan secara bertahap. Jika dengan monoterapi kedua kejang kembali ada
maka tetap diberikan politerapi dengan 2 OAE.
◦ Lama pemberian OAE sampai 2 tahun bebas kejang, EEG ulang dilakukan untuk evaluasi jika hasil
EEG normal OAE dapat diturunkan bertahap selama 3-4 bulan. Jika EEG abnormal, OAE dianjurkan
sampai 3 tahun bebas kejang, setelah itu dilakukan evaluasi EEG ulang.
◦ Selama pengobatan jika masih ada kejang, sebelum menaikkan dosis OAE atau menambah OAE dinilai
dahulu kepatuhan minum obat, adakah faktor pencetus kejang.
OAE Lini I
OAE Lini II
Penatalaksanaan
◦ Edukasi
◦ Edukasi mengenai penyakit dan pengobatannya, termasuk kepatuhan minum obat
dan efek samping obat. Edukasi mengenai fungsi dalam kehidupan sehari-hari :
◦ Pasien dapat beraktivitas normal seperti anak-anak lain seusianya, termasuk
berolahraga
◦ Pada aktivitas fisik tertentu, seperti berenang sebaiknya pasien ditemani orang
lain. Aktivitas fisik yang ekstrem, kurang tidur, stress psikis sebaiknya dihindari.
◦ Pemantauan
◦ Pemantauan dilakukan untuk mengetahui kepatuhan minum obat, respon terhadap
obat dan timbulnya efek samping obat (bila perlu dilakukan pemeriksaan darah
tepi dan fungsi hati) juga perlu dilakukan evaluasi neurologik ulang secara
berkala.
Prognosis
◦ Terkadang pasien mengalami perjalanan penyakit yang memburuk sejak
permulaan penyakit dan mungkin meninggal dalam beberapa tahun sejak pertama
kali timbul gejala
LAPORAN KASUS
Identitas Pasien
◦ Nama : Muhammad Khan Putrafani
◦ Umur : 2 tahun
◦ Jenis Kelamin : Laki-laki
◦ Alamat : Labuhan Lombok
◦ Agama : Islam
◦ Suku : Sasak
◦ No RM : 482758
◦ Tanggal MRS : 27 Februari 2020
◦ Tanggal Pemeriksaan : 27 Februari 2020
Anamnesis
◦ Keluhan Utama: Tidak sadarkan diri
◦ Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien diantar oleh keluarga dan petugas Puskesmas Labuhan Lombok dengan keluhan tidak sadarkan diri
sejak pukul 20.30 WITA. Sebelumnya tidak sadarkan diri pasien sempat kejang sebanyak 1 kali dengan durasi
kurang dari 15 menit. Saat kejang terjadi, tubuh pasien kelenjotan dengan mata mendelik. Setelah kejang
pasien langsung menangis. Ibu pasien mengatakan jika sejak 2 hari yang lalu (25 Februari 2020) pasien pilek
yang kemudian diikuti demam. Ibu pasien tidak pernah mengukur suhu tubuh pasien saat demam.
◦ Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat trauma dan kejang sebelumnya disangkal
◦ Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga pasien yang memiliki keluhan serupa
◦ Riwayat Pribadi dan Sosial
Pasien merupakan anak ke 2 dari 3 bersaudara dimana pasien sendiri memilki kembaran berjenis kelamin
laki-laki.
Anamnesis
◦ Riwayat Pengobatan ◦ Riwayat Nutrisi
Pasien saat kejang langsung dibawa ke Puskesmas
Labuhan Lombok kemudian disana diberikan
Pasien diberikan ASI eksklusif hingga usia 6
parasetamol sup 125 mg pukul 20.30 WITA karena bulan kemudian setelahnya diberikan
suhu tubuh pasien mencapai 390C. Pasien juga dengan makanan pendamping ASI. Sejak
diberikan diazepam secara intravena dengan dosis ½ usia pasien 12 bulan pasien sudah mulai
ampul dan diencerkan dalam 5 cc aquades pada makan makanan keluarga
pukul 21.30 WITA.
◦ Riwayat Persalinan
Pasien lahir secara sectio caesar karena gameli di ◦ Riwayat Tumbuh Kembang
RSUD dr. R. Soedjono Selong dibantu dokter spesialis
dengan berat lahir 2700 gram dan lahir cukup bulan. Pasien menegakkan kepala usia 2 bulan,
◦ Riwayat Imunisasi membalikkan badan usia 4 bulan,
merangkak usia 6 bulan, duduk usia 8
Menurut pengakuan ibu pasien, pasien sudah
melakukan imunisasi dasar secara lengkap
bulan, berdiri usia 10 bulan, berjalan usia
12 bulan, berbicara usia 12 bulan.
PF; Status Present
◦ Keadaan umum : lemah
◦ Kesadaran : somnolen
◦ Nadi : 130 kali/menit
◦ Respirasi : 21 kali/menit
◦ Suhu : 37 0C
◦ SpO2 : 96 %
◦ Berat Badan : 10,5 kg
◦ Tinggi Badan : 80 cm
PF: Status generalis
◦ Kepala : Lingkar kepala 48 cm, normochepali, rambut tidak mudah dicabut
◦ Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, Refleks pupil +/+
◦ Telinga : serumen -/-, othorea -/-
◦ Hidung : rhinore +/+
◦ Tenggorokan : Tidak dievaluasi
◦ Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-), kaku kuduk (-)
PF: Status generalis
◦ Thorak:
Pulmo:
◦ Inspeksi : pergerkan dinding dada simetris, retraksi (-)
◦ Palpasi : tidak dievaluasi
◦ Perkusi : sonor/sonor
◦ Auskultasi : vesikular +/+, rhonki -/-, wheezing -/-
Cor:
◦ Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
◦ Palpasi : iktus kordis teraba
◦ Perkusi : Tidak dievaluasi
◦ Auskultasi : S1 S2 reguler, murmur (-)
PF: Status generalis
◦ Abdomen
◦ Inspkesi : distensi (-), tumor (-)
◦ Auskultasi : bising usus (+) normal
◦ Perkusi : timpani
◦ Palpasi : supel, hepar tidak teraba, lien tidak teraba
◦ Genitalia : Tidak dievaluasi
◦ Anus : Tidak dievaluasi
◦ Ekstremitas:
◦ Superior : akral hangat +/+, oedem -/-, CRT <2 detik
◦ Inferior : akral hangat +/+, oedem -/-, CRT <2 detik
PF; status neurologis
◦ Refleks fisiologis
◦ Refleks biceps : +/+
◦ Refleks patella : +/+
◦ Refeks Patologis
◦ Babinsky : -/-
◦ Meningeal sign:
◦ Kaku kuduk : negatif
◦ Brudzinski I,II, III, IV ; -/-
PF; status antropometri
◦ Berat Badan : 10,5 kg
◦ Tinggi Badan : 80 cm
◦ Umur : 24 bulan
◦ BB/U : - 1,21 (Gizi baik)
◦ TB/U : - 2,6 (Pendek)
◦ BB/TB : 0,1 (Normal)
Resume
◦ Pasien diantar oleh keluarga dan petugas Puskesmas Labuhan Lombok dengan
keluhan tidak sadarkan diri sejak pukul 20.30 WITA. Sebelumnya tidak sadarkan
diri pasien sempat kejang sebanyak 1 kali dengan durasi kurang dari 15 menit.
Saat kejang terjadi, tubuh pasien kelenjotan dengan mata mendelik. Setelah
kejang pasien langsung menangis. Ibu pasien mengatakan jika sejak 2 hari yang
lalu (25 Februari 2020) pasien pilek yang kemudian diikuti demam. Ibu pasien
tidak pernah mengukur suhu tubuh pasien saat demam. Dari hasil pemeriksaan
fisik didapatkan status present keadaan umum lemah, kesadaran somnolen, nadi
130 x/menit, respirasi 21 x/menit, suhu 370C, status generalis didapatkan dalam
batas normal, status neurologis dalam batas normal.
Diagnosis Banding
◦ Kejang Demam Sederhana
◦ Kejang Demam Kompleks
◦ Epilepsi
Hasil Pemeriksaan Penunjang:
DL
Diagnosis Kerja
◦ Kejang Demam Sederhana e.c Rhinitis
Penatalaksanaan
◦ IVFD D5 - ¼ NS 1000 cc/24 jam
◦ Ceftriaxone 2 x 550 mg IV
◦ Dexametason 3 x 1,9 mg IV
◦ Fenitoin drip 220 mg dalam 50 cc NS habis dalam 30 menit
Kesimpulan
◦ Berdasarkan laporan kasus diatas pada pasien anak laki-laki usia 2 tahun
menderita kejang demam sederhana e.c rhinitis berdasarkan dari anamnesa,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan.
◦ Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh
(suhu rektal lebih dari 38,0°C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium.
Kejang demam terjadi pada 2 - 4% anak berumur 6 bulan – 5 tahun. Anak yang
pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang demam kembali tidak
termasuk dalam kejang demam.
◦ Manifestasi klinis kejang demam berdasarkan kriteria Livingston yang membuat
kriteria dan membagi kejang demam atas 2 golongan. Tujuan pengobatan kejang
demam pada anak adalah untuk mencegah kejang demam berulang, mencegah
status epilepsy, mencegah epilepsi dan atau retardasi mental, normalisasi
kehidupan anak dan keluarga.
Daftar Pustaka
◦ Aliabad GM, Khajeh A, Fayyazi A, Safdari L. Clinical, Epidemiological and Laboratory Characteristics of Patients with Febrile
Convulsion. Journal of Comprehensive Pediatrics. 2013;4(3):134-7.
◦ American Academy of Pediatrics. Committee on Quality Improvement, Subcommittee on Febrile Seizures. Practice Parameter:
Long-term Treatment of the Child With Simple Febrile Seizures. Pediatrics 1999; 103 (6): 1307-9.
◦ Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UI. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jilid 2. 2002. Jakarta. Percetakan Infomedika. hal 847-55.
◦ Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak Jilid 2 FK UI. Jakarta : Info Medika Jakarta
◦ Deliana M. Tata Laksana Kejang Demam pada Anak. Sari Pediatri. 2002;4(2):59 - 62.
◦ Fuadi. Faktor Risiko Bangkitan Kejang Demam pada Anak: Universitas Diponegoro; 2010. 6. Graves RC, Oehler K, Tingle LE.
Febrile Seizures : Risks, Evaluation, and Prognosis. American Family Physician. 2012;85(2):149-53.
◦ Nelson. Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15 vol 2. Jakarta: EGC
◦ Roy M, Simon JN. Kejang demam. Pediatrika. Ed 7th. Jakarta: Erlangga: 2005.hal.112-4.
◦ Pasaribu AS. Kejang Demam Sederhana Pada Anak yang Disebabkan karena Infeksi Tonsil dan Faring. Medula. 2013;1(1):65-71.
◦ PERDOSSI. Pedoman tatalaksana epilepsi. Ed: 3. Jakarta. 2008
◦ Price dan wilson. 2006. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. Ed: 6. Jakarta: EGC
◦ Tjahjadi, dkk. Gambaran Umum Mengenai Epilepsi. In: Kapita Selekta Neurologi. Yogyakarta; gadjah Mada University Press. 2005
◦ Wardhani AK. Kejang Demam Sederhana Pada Anak Usia Satu Tahun. Medula. 2013;1(1):57-64.
TERIMAKASIH 

Anda mungkin juga menyukai