ANAK
DALAM RANGKA MENJALANI KEPANITERAAN KLINIK MADYA
DI SMF PEDIATRI RUMAH SAKIT UMUM DR. R. SOEDJONO SELONG FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
ISLAM
AL-AZHAR MATARAM
Pendahuluan
◦ Kejang merupakan gangguan neurologis yang lazim pada kelompok umur pediatri
dan terjadi dengan frekuensi 4-6 kasus/1000 anak.
◦ Kejang merupakan suatu serangan mendadak yang dapat nampak sebagai
gangguan atau kehilangan kesadaran, aktifitas motorik abnormal, kelainan
perilaku, gangguan sensoris, atau disfungsi outonom. Beberapa kejang ditandai
oleh gerakan abnormal tanpa kehilangan atau gangguan kesadaran.
◦ Kebanyakan kejang pada anak-anak disebabkan oleh gangguan somatik yang
berasal dari luar otak seperti demam tinggi, infeksi, pingsan, trauma kepala,
hipoksia, toksin, atau aritmia jantung.
◦ Keadaan lain seperti gangguan pernafasan dan refluks gastroesofageal juga dapat
menyebabkan kondisi yang menstimulasi terjadinya kejang
KEJANG DEMAM
Definisi
◦ Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh
(suhu rektal lebih dari 38,0°C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium
Epidemiologi
◦ Di Amerika Serikat dan Eropa prevalensi kejang demam berkisar 2 – 5%.
◦ Di Asia prevalensi kejang demam meningkat dua kali lipat bila dibandingkan
Eropa dan di Amerika.
◦ Di Jepang kejadian kejang demam berkisar 8,3% - 9,9%.
◦ Terbanyak kasus bangkitan kejang demam terjadi pada anak berusia antara 6
bulan sampai dengan 22 bulan.
◦ Insiden bangkitan kejang demam tertinggi pada usia 18 bulan
Klasifikasi
Faktor Resiko
◦ Demam
◦ Usia
◦ Riwayat keluarga
◦ Faktor prenatal (usia saat ibu hamil, riwayat pre-eklamsi, hamil primi/multipara,
pemakaian bahan toksik),
◦ Faktor perinatal (asfiksia, bayi berat badan lahir rendah, usia kehamilan, partus
lama, cara lahir)
◦ Faktor pascanatal (kejang akibat toksik, trauma kepala)
Patofisiologi
◦ Gangguan pembentukan ATP dengan akibat kegagalan pompa Na – K, misalnya pada
hipoksemia, iskemia, dan hipoglikemia. Sedangkan pada kejang sendiri dapat terjadi
pengurangan ATP dan terjadi hipoksemia.
◦ Perubahan permeabilitas membrane sel saraf, misalnya hipokalsemia dan hypomagnesemia
Penyebabnya tidak diketahui, meliputi ± 50% dari penderita epilepsi anak dan
umumnya mempunyai predisposis genetik, awitan biasanya pada usia >3 tahun.
◦ Epilepsi simptomatik
Disebabkan oleh kelainan/ lesi pada susunan saraf pusat. Misalnya : post trauma
kapitis, infeksi susunan saraf pusat, gangguan metabolik, malformasi otak
kongenital, asfiksia neonatorum, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak,
toksik (alkohol, obat), kelainan neurodegeneratif.
◦ Epilepsi kriptogenik
◦ Lena/ absens
◦ Mioklonik
◦ Tonik
◦ Klonik
◦ Tonik-klonik
◦ Atonik
◦ Kejang epileptik yang tidak tergolongkan
Patofisiologi
Dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan tranmisi pada sinaps.
Ada 2 jenis neurotransmitter, yaitu :
◦ Neurotransmitter eksitasi yang memudahkan depolarisasi atau lepas muatan listrik; glutamate,
aspartat, norepilefrin dan asetilkolin
◦ Neurotransmitter inhibisi (inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik saraf dalam sinaps) yang
menimbulkan hiperpolarisasi sehingga sel nauron lebih stabil dan tidak mudah melepaskan listri;
gamma amino butyric acid (GABA) dan glisin
Oleh berbagai faktor, diantaranya keadaan patologik, dapat merubah atau menggangu fungsi
membran neuron sehingga memran mudah dilampaui oleh ion Ca dan Na dari ruangan ekstra ke
intraseluler.
Influks Ca akan mencetuskan letupan depolarisasi membran dan lepas muatan listrik berlebihan,
tidak teratur dan terkendali
Lepas muatan listrik demikian oleh sejumlah besar neuron secara sinkron merupakan dasar suatu
serangan epilepsi
Manifestasi Klinis
Kejang parsial simpleks
◦ Kejang dimana pasien akan tetap sadar. Pasien akan menglami gejala berupa :
◦ Deja vu : perasaan dimana pernah melakukan sesuatu yang sama sebelumnya.
◦ Perasaan senang atau takut yang muncul secara tiba-tiba dan tidak dapat
dijelaskan.
◦ Perasaan seperti kebas, tersengat listrik atau ditusuk-tusuk jarum pada bagian
tubuh tertentu.
◦ Gerakan yang tidak dapat dikontrol pada bagian tubuh tertentu.
◦ Halusinasi.
Manifestasi Klinis
◦ Kejang parsial (psikomotor) kompleks
◦ Serangan yang mengenai bagian otak yang lebih luas dan biasanya bertahan lebih
lama. Pasien mungkin hanya sadar sebagian dan kemungkinan besar tidak akan
mengingat waktu serangan. Gejalanya meliputi :
◦ Gerakan seperti mencucur atau mengunyah.
◦ Melakukan gerakan yang sama berulang-ulang.
◦ Melakukan gerakan yang tidak jelas artinya, atau berjalan berkeliling dalam
keadaan seperti bingung.
◦ Berbicara tidak jelas seperti menggumam.
Manifestasi Klinis
◦ Kejang tonik-klonik
◦ Merupakan kejang yang paling sering. Dimana terdapat 2 tahap : tahap tonik atau
kaku diikuti tahap klonik atau kelojotan. Pada serangan jenis ini pasien dapat
hanya mengalami tahap tonik atau klonik saja. Serangan jenis ini biasanya
didahului dengan aura. Aura merupakan perasaan yang dialami sebelum serangan,
dapat berupa : merasa sakit perut, baal, kunang-kunag, telinga berdengung. Pada
tahap klonik pasien dapat : kehilangan kesadaran, kehilangan keseimbangan dan
jatuh karena otot yang menegang, berteriak tanpa alasan yang jelas, menggigit
pipi bagian dalam atau lidah. Pada saat fase klonik : terjadi kontraksi otot yang
berulang dan tidak terkontrol, pasien tampak sangat pucat, pasien mungkin akan
merasa lemas, letih ataupun ingin tidur setelah serangan semacam ini.
Diagnosis; anamnesis
◦ Pola/bentuk serangan
◦ Lama serangan
◦ Gejala sebelum, selama dan pasca serangan
◦ Frekuensi serangan
◦ Faktor pencetus
◦ Ada/tidak penyakit lain yang diderita sekarang
◦ Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembanga
◦ Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya (riwayat trauma kepala dengan
kehilangan kesadaran, meningitis encefalitis, gangguan metabolik, malformasi
vaskuler dan penggunaan obat-obatan tertentu)
◦ Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga.
Daignosis; PF
◦ Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi,
seperi taruma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital, gangguan
neurologik fokal atau difus
◦ Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-sebab terjadinya serangan dengan
menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan.
◦ Pada anak-anak pemeriksa harus memperhatikan adanya keterlambatan
perkembangan, organomegali, perbedaan ukuran antara anggota tubuh dapat
menunjukkan awal gangguan pertumbuhan otak unilateral
Diagnosis: penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
◦ Pemeriksaan yang dilakukakan dapat meliputi darah tepi lengkap, gula darah,
elektrolit, kalsium serum, magnesium dan BUN
◦ Pemeriksaan laboratorium tidak rutin dilakukan hanya atas indikasi berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaan klinis, ditunjukkan untuk menyingkirkan adanya
penyebab kejang ekstrakranial
2. EEG
3. Pemeriksaan radiologi
Penatalaksanaan
◦ Tujuan terapi epilepsi adalah (PERDOSSI, 2008).:
◦ Obat Anti Epilepsi (OAE) mulai diberikan bila diagnosis apilepsi sudah dipastikan,
terdapat minimal 2 kali bangkita dalam setahun, pasien dan keluarga telah mengetahui
tujuan pengobatan dan kemungkinan efek sampingnya.
◦ Strategi pengobatan. Dimulai dengan monoterapi OAE lini pertama sesuai dosis,
kemudian ditingkatkan dosisnya sampai bangkitan teratasi/ didapat hasil yang optimal
dan konsentrasi plasma OAE pada kadar yang maksimal. Jika bangkitan masih tidak
teratasi, secara bertahap ganti ke OAE lini kedua sebelum pemberian politerapi.
◦ Konseling. Beritahukan kepada keluarga dan pasien bahwa penggunaan OAE jangka
lama tidak akan menimbulkan perlambatan mental permanen dan pencegahan kejang
untuk 1-2 tahun dapat menurunkan kemungkinan bangkitan berulang..
◦ Penanganan jangka panjang. Teruskan pengobatan OAE sampai pasien bebas bangkitan
sekurang-kurangnya 1-2 tahun.
Penatalaksanaan
◦ Pasien dengan bangkitan tunggal direkomendasikan untuk memulai terapi bila kemungkinan
kekambuhan tinggi, yaitu bila : dijumpai fokus epilepsi yang jelas pada EEG, terdapat riwayat epilepsi
saudara sekandung, riwayat trauma kepala disertai penurunan kesadaran.
◦ Jika sudah jelas diagnosis epilepsi obat anti epilepsi (OAE) dapat diberikan sesuai jenis dan klasifikasi
epilepsi. Sesuai kesepakatan dokter neurologi anak IDAI terapi dimulai jika interval antara 2 episode
kejang kurang dari 6 bulan.
◦ Prinsip pengobatan epilepsi adalah monoterapi dengan dosis yang bisa memberantas kejang. Mulai
dengan dosis kecil terlebih dahulu, naikkan secara bertahap jika masih terdapat kejang. Obat anti
epilepsi dapat dinaikkan sampai dosis maksimal, jika dengan dosis 2 OAE kejang sudah terkontrol OAE
pertama dapat dicoba diturunkan secara bertahap. Jika dengan monoterapi kedua kejang kembali ada
maka tetap diberikan politerapi dengan 2 OAE.
◦ Lama pemberian OAE sampai 2 tahun bebas kejang, EEG ulang dilakukan untuk evaluasi jika hasil
EEG normal OAE dapat diturunkan bertahap selama 3-4 bulan. Jika EEG abnormal, OAE dianjurkan
sampai 3 tahun bebas kejang, setelah itu dilakukan evaluasi EEG ulang.
◦ Selama pengobatan jika masih ada kejang, sebelum menaikkan dosis OAE atau menambah OAE dinilai
dahulu kepatuhan minum obat, adakah faktor pencetus kejang.
OAE Lini I
OAE Lini II
Penatalaksanaan
◦ Edukasi
◦ Edukasi mengenai penyakit dan pengobatannya, termasuk kepatuhan minum obat
dan efek samping obat. Edukasi mengenai fungsi dalam kehidupan sehari-hari :
◦ Pasien dapat beraktivitas normal seperti anak-anak lain seusianya, termasuk
berolahraga
◦ Pada aktivitas fisik tertentu, seperti berenang sebaiknya pasien ditemani orang
lain. Aktivitas fisik yang ekstrem, kurang tidur, stress psikis sebaiknya dihindari.
◦ Pemantauan
◦ Pemantauan dilakukan untuk mengetahui kepatuhan minum obat, respon terhadap
obat dan timbulnya efek samping obat (bila perlu dilakukan pemeriksaan darah
tepi dan fungsi hati) juga perlu dilakukan evaluasi neurologik ulang secara
berkala.
Prognosis
◦ Terkadang pasien mengalami perjalanan penyakit yang memburuk sejak
permulaan penyakit dan mungkin meninggal dalam beberapa tahun sejak pertama
kali timbul gejala
LAPORAN KASUS
Identitas Pasien
◦ Nama : Muhammad Khan Putrafani
◦ Umur : 2 tahun
◦ Jenis Kelamin : Laki-laki
◦ Alamat : Labuhan Lombok
◦ Agama : Islam
◦ Suku : Sasak
◦ No RM : 482758
◦ Tanggal MRS : 27 Februari 2020
◦ Tanggal Pemeriksaan : 27 Februari 2020
Anamnesis
◦ Keluhan Utama: Tidak sadarkan diri
◦ Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien diantar oleh keluarga dan petugas Puskesmas Labuhan Lombok dengan keluhan tidak sadarkan diri
sejak pukul 20.30 WITA. Sebelumnya tidak sadarkan diri pasien sempat kejang sebanyak 1 kali dengan durasi
kurang dari 15 menit. Saat kejang terjadi, tubuh pasien kelenjotan dengan mata mendelik. Setelah kejang
pasien langsung menangis. Ibu pasien mengatakan jika sejak 2 hari yang lalu (25 Februari 2020) pasien pilek
yang kemudian diikuti demam. Ibu pasien tidak pernah mengukur suhu tubuh pasien saat demam.
◦ Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat trauma dan kejang sebelumnya disangkal
◦ Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga pasien yang memiliki keluhan serupa
◦ Riwayat Pribadi dan Sosial
Pasien merupakan anak ke 2 dari 3 bersaudara dimana pasien sendiri memilki kembaran berjenis kelamin
laki-laki.
Anamnesis
◦ Riwayat Pengobatan ◦ Riwayat Nutrisi
Pasien saat kejang langsung dibawa ke Puskesmas
Labuhan Lombok kemudian disana diberikan
Pasien diberikan ASI eksklusif hingga usia 6
parasetamol sup 125 mg pukul 20.30 WITA karena bulan kemudian setelahnya diberikan
suhu tubuh pasien mencapai 390C. Pasien juga dengan makanan pendamping ASI. Sejak
diberikan diazepam secara intravena dengan dosis ½ usia pasien 12 bulan pasien sudah mulai
ampul dan diencerkan dalam 5 cc aquades pada makan makanan keluarga
pukul 21.30 WITA.
◦ Riwayat Persalinan
Pasien lahir secara sectio caesar karena gameli di ◦ Riwayat Tumbuh Kembang
RSUD dr. R. Soedjono Selong dibantu dokter spesialis
dengan berat lahir 2700 gram dan lahir cukup bulan. Pasien menegakkan kepala usia 2 bulan,
◦ Riwayat Imunisasi membalikkan badan usia 4 bulan,
merangkak usia 6 bulan, duduk usia 8
Menurut pengakuan ibu pasien, pasien sudah
melakukan imunisasi dasar secara lengkap
bulan, berdiri usia 10 bulan, berjalan usia
12 bulan, berbicara usia 12 bulan.
PF; Status Present
◦ Keadaan umum : lemah
◦ Kesadaran : somnolen
◦ Nadi : 130 kali/menit
◦ Respirasi : 21 kali/menit
◦ Suhu : 37 0C
◦ SpO2 : 96 %
◦ Berat Badan : 10,5 kg
◦ Tinggi Badan : 80 cm
PF: Status generalis
◦ Kepala : Lingkar kepala 48 cm, normochepali, rambut tidak mudah dicabut
◦ Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, Refleks pupil +/+
◦ Telinga : serumen -/-, othorea -/-
◦ Hidung : rhinore +/+
◦ Tenggorokan : Tidak dievaluasi
◦ Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-), kaku kuduk (-)
PF: Status generalis
◦ Thorak:
Pulmo:
◦ Inspeksi : pergerkan dinding dada simetris, retraksi (-)
◦ Palpasi : tidak dievaluasi
◦ Perkusi : sonor/sonor
◦ Auskultasi : vesikular +/+, rhonki -/-, wheezing -/-
Cor:
◦ Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
◦ Palpasi : iktus kordis teraba
◦ Perkusi : Tidak dievaluasi
◦ Auskultasi : S1 S2 reguler, murmur (-)
PF: Status generalis
◦ Abdomen
◦ Inspkesi : distensi (-), tumor (-)
◦ Auskultasi : bising usus (+) normal
◦ Perkusi : timpani
◦ Palpasi : supel, hepar tidak teraba, lien tidak teraba
◦ Genitalia : Tidak dievaluasi
◦ Anus : Tidak dievaluasi
◦ Ekstremitas:
◦ Superior : akral hangat +/+, oedem -/-, CRT <2 detik
◦ Inferior : akral hangat +/+, oedem -/-, CRT <2 detik
PF; status neurologis
◦ Refleks fisiologis
◦ Refleks biceps : +/+
◦ Refleks patella : +/+
◦ Refeks Patologis
◦ Babinsky : -/-
◦ Meningeal sign:
◦ Kaku kuduk : negatif
◦ Brudzinski I,II, III, IV ; -/-
PF; status antropometri
◦ Berat Badan : 10,5 kg
◦ Tinggi Badan : 80 cm
◦ Umur : 24 bulan
◦ BB/U : - 1,21 (Gizi baik)
◦ TB/U : - 2,6 (Pendek)
◦ BB/TB : 0,1 (Normal)
Resume
◦ Pasien diantar oleh keluarga dan petugas Puskesmas Labuhan Lombok dengan
keluhan tidak sadarkan diri sejak pukul 20.30 WITA. Sebelumnya tidak sadarkan
diri pasien sempat kejang sebanyak 1 kali dengan durasi kurang dari 15 menit.
Saat kejang terjadi, tubuh pasien kelenjotan dengan mata mendelik. Setelah
kejang pasien langsung menangis. Ibu pasien mengatakan jika sejak 2 hari yang
lalu (25 Februari 2020) pasien pilek yang kemudian diikuti demam. Ibu pasien
tidak pernah mengukur suhu tubuh pasien saat demam. Dari hasil pemeriksaan
fisik didapatkan status present keadaan umum lemah, kesadaran somnolen, nadi
130 x/menit, respirasi 21 x/menit, suhu 370C, status generalis didapatkan dalam
batas normal, status neurologis dalam batas normal.
Diagnosis Banding
◦ Kejang Demam Sederhana
◦ Kejang Demam Kompleks
◦ Epilepsi
Hasil Pemeriksaan Penunjang:
DL
Diagnosis Kerja
◦ Kejang Demam Sederhana e.c Rhinitis
Penatalaksanaan
◦ IVFD D5 - ¼ NS 1000 cc/24 jam
◦ Ceftriaxone 2 x 550 mg IV
◦ Dexametason 3 x 1,9 mg IV
◦ Fenitoin drip 220 mg dalam 50 cc NS habis dalam 30 menit
Kesimpulan
◦ Berdasarkan laporan kasus diatas pada pasien anak laki-laki usia 2 tahun
menderita kejang demam sederhana e.c rhinitis berdasarkan dari anamnesa,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan.
◦ Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh
(suhu rektal lebih dari 38,0°C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium.
Kejang demam terjadi pada 2 - 4% anak berumur 6 bulan – 5 tahun. Anak yang
pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang demam kembali tidak
termasuk dalam kejang demam.
◦ Manifestasi klinis kejang demam berdasarkan kriteria Livingston yang membuat
kriteria dan membagi kejang demam atas 2 golongan. Tujuan pengobatan kejang
demam pada anak adalah untuk mencegah kejang demam berulang, mencegah
status epilepsy, mencegah epilepsi dan atau retardasi mental, normalisasi
kehidupan anak dan keluarga.
Daftar Pustaka
◦ Aliabad GM, Khajeh A, Fayyazi A, Safdari L. Clinical, Epidemiological and Laboratory Characteristics of Patients with Febrile
Convulsion. Journal of Comprehensive Pediatrics. 2013;4(3):134-7.
◦ American Academy of Pediatrics. Committee on Quality Improvement, Subcommittee on Febrile Seizures. Practice Parameter:
Long-term Treatment of the Child With Simple Febrile Seizures. Pediatrics 1999; 103 (6): 1307-9.
◦ Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UI. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jilid 2. 2002. Jakarta. Percetakan Infomedika. hal 847-55.
◦ Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak Jilid 2 FK UI. Jakarta : Info Medika Jakarta
◦ Deliana M. Tata Laksana Kejang Demam pada Anak. Sari Pediatri. 2002;4(2):59 - 62.
◦ Fuadi. Faktor Risiko Bangkitan Kejang Demam pada Anak: Universitas Diponegoro; 2010. 6. Graves RC, Oehler K, Tingle LE.
Febrile Seizures : Risks, Evaluation, and Prognosis. American Family Physician. 2012;85(2):149-53.
◦ Nelson. Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15 vol 2. Jakarta: EGC
◦ Roy M, Simon JN. Kejang demam. Pediatrika. Ed 7th. Jakarta: Erlangga: 2005.hal.112-4.
◦ Pasaribu AS. Kejang Demam Sederhana Pada Anak yang Disebabkan karena Infeksi Tonsil dan Faring. Medula. 2013;1(1):65-71.
◦ PERDOSSI. Pedoman tatalaksana epilepsi. Ed: 3. Jakarta. 2008
◦ Price dan wilson. 2006. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. Ed: 6. Jakarta: EGC
◦ Tjahjadi, dkk. Gambaran Umum Mengenai Epilepsi. In: Kapita Selekta Neurologi. Yogyakarta; gadjah Mada University Press. 2005
◦ Wardhani AK. Kejang Demam Sederhana Pada Anak Usia Satu Tahun. Medula. 2013;1(1):57-64.
TERIMAKASIH