Anda di halaman 1dari 10

Presentasi Mata Kuliah Analisis

Ekonomi Mikro

“Perilaku Konsumsi Muslim dalam


Mengkonsumsi Makanan Halal”

Oleh :
1. Dhani Ferdiana (120720100004)
2. Andri Rakhmansyah (120720100014)
Pendahuluan
 Konsumen dihadapkan pada pilihan untuk mengambil keputusan
memilih komoditas apa yang akan dikonsumsi
 Perilaku konsumen dapat dilihat dengan tingkat kepuasan atau
utilitas yang diperolehnya
 Berbeda dengan konsumen konvensional, perilaku konsumen
dalam islam memiliki batasan yang tidak boleh dilanggar (Halal –
Haram)
 perilaku seseorang dalam mengkonsumsi suatu makanan bukan
hanya ditentukan oleh factor agama, tetapi ada juga factor lain
seperti factor ekonomi, demografi, dan non ekonomi
Rumusan Masalah

“Seberapa pentingkah masyarakat muslim


di Indonesia concern terhadap makanan
halal.”

Tulisan ini menyajikan hasil penelitian tentang perilaku konsumen


Muslim dalam konsumsi makanan halal dengan mengambil kasus
Banten, sebagai daerah yang merepresentasikan penduduk
dengan mayoritas Muslim dan basis agama Islam yang cukup
kental.
Pembahasan
2.1. Perilaku Konsumen dan Teori Konsumsi dalam Ekonomi
Islam
 Perilaku konsumen adalah kecenderungan konsumen dalam
melakukan konsumsi, untuk memaksimalkan kepuasanya.
 Dengan fokus kajian tentang perilaku konsumen Muslim dalam
konsumsi makanan halal, landasan konseptual yang dipakai untuk
menjelaskan alur pikir pemahaman adalah pendekatan teori perilaku
yang biasa digunakan untuk menjelaskan perilaku konsumen.
 Berbeda dengan konsumen konvensional, perilaku konsumen seorang
muslim dalam menggunakan penghasilannya mempertimbangkan 2
sisi, yang pertama untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya
dan sebagian lagi untuk dibelanjakan di jalan Allah.
2.2. Mengapa Mengkonsumsi Makanan Halal Penting?

 Yusuf Qardhawi (2000) mendefinisikan istilah halal sebagai segala


sesuatu yang boleh dikerjakan, syariat membenarkan dan orang
yang melakukannya tidak dikenai sanksi dari Allah Swt. Haram
berarti segala sesuatu atau perkara-perkara yang dilarang oleh
syara’ (hukum Islam), jika perkara tersebut dilakukan akan
menimbulkan dosa dan jika ditinggalkan akan berpahala. Segala
aktivitas tentunya dilandasi oleh pencarian yang halal ini, tidak
hanya makanan tapi juga termasuk pekerjaan dan kehidupan
sosial lainnya.
2.3. Pemahaman komunitas Muslim Banten terhadap
Makanan Halal dan Kriteria utama dalam menentukan
makanan halal.
 Secara umum pengetahuan mayarakat muslim Banten terhadap
konsep dasar halal dan haram dalam masalah makanan dapat
dikatakan sangat memadai, karena umumnya mereka dibesarkan
di lingkungan yang agamis.
 Tidak adanya kandungan babi dalam makanan ternyata
menempati prioritas tertinggi dalam menentukan krtiteria
makanan halal menurut persepsi masyarakat muslim Banten.
 Selain itu kandungan alcohol juga menjadi pertimbangan
masyarakat Banten mengenai apakah makanan tersebut halal
atau tidak.
2.4. Pengaruh kadar ke-Islaman terhadap pola perilaku
konsumsi makanan halal

Tiga hal yang diasumsikan dapat menunjukkan kadar ke-Islaman seseorang:


 pendidikan agama yang ditempuh
 pengakuan bahwa ia seorang Muslim
 Indeks yang berkaitan dengan fikih, baik fikih ibadah maupun fikih muamalah
Ternyata, dua hal pertama, yaitu pendidikan yang ditempuh (baik mereka
yang pernah mengenyam pendidikan madrasah maupun pesantren) dan
pengakuan diri sebagai Muslim, tidak dapat digunakan, oleh karena hanya
tujuh orang responden yang tidak pernah mendapatkan pendidikan
berbasiskan agama Islam dan hampir seratus persen responden menyatakan
diri sebagai seorang Muslim. Satu-satunya yang dapat digunakan adalah
melalui pengukuran 14 pernyataan yang berkaitan dengan pelaksanaan
ibadah maupun muamalah.
2.5. Pengaruh latar belakang sosial-ekonomi dan psikologis terhadap
pola konsumsi makanan halal
Dari hasil perbandingan tingkat pendapatan, jenis pekerjaan, kelompok
usia, tingkat pendidikan, jenis kelamin, dan latar belakang pendidikan
pengetahuan agama yang diperoleh melalui institusi pendidikan
pesantren, menunjukkan hanya orang-orang kaya Muslim Banten
mempunyai sikap, norma subyektif, dan kontrol perilaku terhadap
konsumsi makanan halal paling lemah dibandingkan kelompok sosial
lainnya. Sebaliknya, berturut-turut responden yang berpendidikan tinggi
(S2), dengan tingkat pendapatan sedang, Ibu rumah tangga, dan
kelompok usia muda, merupakan segmen komunitas Muslim Banten yang
paling peduli terhadap konsumsi makanan halal, dengan tidak hanya
sikap, tapi juga norma subyektif dan persepsi kontrol perilaku mereka
yang sangat tinggi dalam mempengaruhi perilaku mereka untuk
mengkonsumsi makanan halal.
2.6. Persepsi komunitas Muslim Banten terhadap sertifikasi
produk halal
Penelitian ini juga mencoba untuk mengevaluasi sejauhmana
komunitas Muslim Banten mensikapi perbedaan labelisasi halal.
Ternyata, sebagian responden berpendapat bahwa adanya tulisan
halal dan sertifikat MUI tidak menjadi kriteria kehalalan suatu
makanan, terkadang mereka tidak terlalu memperhatikan adanya
tulisan halal maupun sertifikat halal MUI. Meskipun tidak semua
responden berlaku demikian, tetapi harus diakui bahwa awareness
masyarakat terhadap legalisasi kehalalan suatu produk lewat tulisan
halal maupun sertifikasi MUI belum menjadi perhatian utama. Dari
100 responden muslim Banten di wilayah Banten, hanya sekitar 50
persen menyatakan bahwa label Depkes, label halal MUI dan label
halal bertuliskan Arab merupakan hal yang penting.
Kesimpulan
 94% responden Muslim Banten menyatakan sangat penting untuk
mengkonsumsi makanan halal
 Muslim Banten menyatakan mengkonsumsi makanan halal adalah
sangat penting, dan juga kehalalan produk makanan tidak hanya
terbatas pada zat nya (tidak mengandung babi, dan tidak
mengandung alkohol), tapi juga manfaatnya untuk kesehatan,
serta cara perolehan makanannya
 70% responden menyatakan sangat setuju terhadap sertifikat
dari MUI, dan dari 70% responden tersebut sebagian besar
merupakan pernyataan dari golongan yang tidak pernah
mengikuti pendidikan pesantren

Anda mungkin juga menyukai