Anda di halaman 1dari 9

Penculikan Para

Aktivis
Kelompok 5
Kasus penculikan aktivis 1997/1998 di Jakarta adalah peristiwa
penghilangan orang secara paksa atau penculikan terhadap para
aktivis pro-demokrasi saat masa orde baru, namun hingga kini
belum sepenuhnya tuntas karena belum terlaksananya sidang
terhadap tersangka utama Prabowo Subianto. Selain itu, beberapa
dari mereka yang hilang belum juga ditemukan. Peristiwa
penculikan ini dipastikan berlangsung dalam tiga tahap: Menjelang
pemilu Mei 1997, dalam waktu dua bulan menjelang sidang MPR
bulan Maret, dan dalam periode tepat menjelang pengunduran diri
Latar Soeharto pada 21 Mei.
Kasus penculikan aktivis menimpa para aktivis pemuda dan
Belakang mahasiswa yang ingin menegakkan keadilan dan demokrasi di masa
pemerintahan Orde Baru. Mereka yang kritis dalam menyikapi
kebijakan pemerintah dianggap sebagai kelompok yang
membahayakan dan merongrong negara. Gagasan-gagasan dan
pemikiran mereka dipandang sebagai ancaman yang dapat
menghambat jalannya roda pemerintahan.
Berawal dari tahun 1996 saat mulai maraknya kampanye
Pemilu, dimana beberapa anggota PDI Perjuangan diculik tanpa ada
berita atas kejelasan nasib mereka. Berlanjut pada saat kerusuhan
mei 1998, hingga penculikan para aktivis Partai Rakyat Demokratik
dan Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi.
Kronologi
28 Mei 1997
berlangsung pemilu dan dimenangkan kembali oleh partai
Golkar dengan memenangi lebih dari 70 % kursi DPR RI.
18 Februari 1998
terdengar ledakan di rumah susun (rusun) tanah tinggi
Jakarta pusat. Menurut hasil pemeriksaan kepolisian,
bahwa ledakan terjadi diakibatkan oleh bahan peledak
yang dibuat disalah satu kamar di rusun tersebut. Agus
Priyono alias Agus Jabo salah seorang aktivis SMID
kemudian ditangkap di TKP dalam kondisi terluka.
1-11 Maret 1998
berlangsung sidang umum MPR RI dan hasilnya kembali
mengukuhkan Soeharto sebagai presiden RI dan
didampingi oleh BJ Habbibie sebagai wakil presiden.
Februari-Mei 1998
terjadi kasus penculikan dan penghilangan paksa terhadap 23 orang
penduduk sipil, dimana sebagian dari mereka adalah aktivis pro-
demokrasi. Dari jumlah tersebut, yang dikembalikan hanya 9 orang,
terdiri dari :
1. Aan Rusdiyanto hilang pada 13 Maret 1998 diambil paksa
dirumah susun klender Jakarta Timur
2. Andi Arief hilang pada 28 Maret 1998 diambil paksa di
Lampung
3. Desmon J Mahesa hilang pada 4 Februari 1998 diambil paksa
di Jakarta
4. Faisol Reza hilang pada 12 Maret 1998 dikejar dan ditangkap di
RS Ciptomangunkusumo Jakarta Pusat
5. Haryanto Taslam hilang pada 2 Maret 1998 saat mengendarai
mobil dikejar dan diambil paksa di depan pintu TMII
6. Mugiyanto hilang pada 13 Maret 1998 diambil paksa dirumah
susun Klender Jakarta Timur
7. Nezar Patria hilang pada 13 Maret 1998 diambil paksa dirumah
susun Klender Jakarta Timur
8. Pius Lustrilanang hilang pada 4 Februari 1998 diambil paksa di
Jakarta
9. Raharja Waluya Jati hilang pada 12 Maret 1998 dikejar dan
ditangkap di RS Ciptomangunkusumo Jakarta Pusat.
Sedangkan 13 orang yang belum kembali hingga sekarang, terdiri
dari :
1. Dedy Hamdun hilang pada 29 Mei 1998 diambil paksa di Jakarta
2. Hermawan Hendrawan hilang pada 12 Maret 1998 diambil
paksa di Jakarta
3. Hendra Hambali hilang pada 14 Mei 1998 diambil paksa di
Jakarta
4. Ismail hilang pada 29 Mei 1997 diambil paksa di Jakarta
5. M Yusuf hilang pada 7 Mei 1997 diambil paksa di Jakarta
6. Nova Al Katiri hilang pada 29 Mei 1997 diambil paksa di Jakarta
7. Petrus Bima Anugrah hilang pada minggu ke-3 bulan Maret
1998 diambil paksa di Jakarta
8. Sony hilang pada 26 April 1997 diambil paksa di Jakarta
9. Suyat Februari hilang pada tahun 1997 diambil paksa di Jakarta
10.Ucok Munandar Siahaan 14 Mei 1998 Diambil paksa di Jakarta
11.Yadin Muhidin hilang pada 14 Mei 1998 diambil paksa di Jakarta
12.Yani Afri hilang pada 26 April 1997 diambil paksa di Jakarta
13.Wiji Tukul hilang pada Mei 1998 diambil paksa di Jakarta.
April 1998
Salah seorang dari 23 orang yang diambil paksa, yaitu Leonardus
Nugroho (Gilang) dinyatakan hilang dan tiga hari kemudian
ditemukan meninggal dunia di Magetan Jawa Timur dengan kondisi
luka tembak ditubuhnya.
30 Juni 1998
KontraS menggelar siaran pers untuk menanggapi pernyataan
Menhankam / panglima ABRI Jendral TNI Wiranto dalam kasus
penculikan dan penghilangan paksa aktivis 1997 – 1998.
3 Agustus 1998
Karena mendapat desakan dari berbagai pihak baik dalam maupun
luar negeri, maka Panglima ABRI Jendral TNI Wiranto membentuk
Dewan Kehormatan Perwira (DKP).
24 Agustus 1998
Letjen TNI Prabowo Subianto selaku mantan Panglima Komando
Cadangan Strategis (Pangkostrad) diberhentikan dari dinas
kemiliteran.
Februari 1999
Dalam rangka menindaklanjuti salah satu keputusan Menhankam /
Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto, dilakukan penyelidikan dan
penyidikan oleh Puspom ABRI, selanjutnya diketahui adanya Tim
Mawar yang dibentuk oleh Kopassus sebagai kelompok yang terlibat
dan diduga bertanggungjawab dalam kasus penculikan dan
penghilangan paksa aktivis 1998.
Tim Mawar
Dalam kasus ini sebuah yang disebut dalang dari penculikkan para aktivis adalah Tim
Mawar. Tim Mawar adalah sebuah tim kecil dari kesatuan Komando Pasukan Khusus Grup IV,
Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat. Tim ini adalah dalang dalam operasi penculikan
para aktivis politik pro-demokrasi. Kasus penculikan ini menyeret 11 anggota tim mawar ke
pengadilan Mahmiti II pada bulan April 1999. Saat itu Mahmiti II Jakarta yang diketahui Kolonel
CHK Susanto memutus perkara nomor PUT.25-16/K-AD/MMT-II/IV/1999 yang memvonis Mayor
Inf Bambang Kristino (Komandan Tim Mawar) 22 bulan penjara dan memecatnya sebagai
anggota TNI. Pengadilan juga memvonis Kapten Inf Fausani Syahrial (FS) Multhazar (Wakil
Komandan Tim Mawar), Kapten Inf Nugroso Sulistiyo Budi, Kapten Inf Yulius Selvanus dan
Kapten Inf Untung Budi Harto, masing-masing 20 bulan penjara dan memecat mereka sebagai
anggota TNI. Sedangkan, 6 prajurit lainnya dihukum penjara tetapi tidak dikenai sanksi
pemecatan sebagai anggota TBI.
Menurut pengakuan, Komandan Tim Mawar, Mayor Bambang Kristino di sidang
Mahkamah Militer, seluruh kegiatan penculikan aktivis itu dilaporkan kepada komandan tidak
pernah diajukan ke pengadilan sehingga tidak bisa dikonfirmasi. Sementara itu tanggung jawab
komando diberlakukan kepada para Perwira pemegang komando pada saat itu. Dewan
Kehormatan Perwira telah memberikan rekomendasi kepada Pimpinan ABRI. Atas
rekomendasi itu Pangab menjatuhkan hukuman terhadap mantan Danjen Kopassus Letjen TNI
(Purn) Prabowo Subianto berupa pengakhiran masa dinas TNI (Pensiun). Pejabat Danjen
Kopassus Mayjen TNI Muchdi PR. Serta dan Group-4 Kolonel Inf. Chairawan berupa
pembebasan tugas dari jabatannya karena ketidak mampuannya mengetahui segala kegiatan
bawahannya.
Hasil temuan Dewan Kehormatan Perwira (DKP) yang diumumkan para petinggi TNI saat
itu adalah bahwa dari hasil pemeriksaan atas mantan Danjen Kopassus Letjen (Purn.) Prabowo
Subianto dan Mayjen Muchdi P.R. serta Komandan Grup IV Kopassus Kol. Chairawan, telah
tegas-tegas dinyatakan bahwa penculikan tersebut dinyatakan bahwa penculikan tersebut
dilakukan atas perintah dan sepengetahuan para pemimpin Kopassus saat itu, bukan semata-
mata atas inisiatif kesebelas anggotanya. Mantan Komandan Puspom ABRI, Mayjen CHK
Syamsu Djalaluddin, S.H., berpendapat speerti yang dinyatakan KSAD dan Ketua DKP Jenderal
TNI Soebagyo, Prabowo telah mengaku melakukan tindak pidana penculikkan sehingga harus
diajukan ke mahkamah militer. Pemerintah Habibie mengeluarkan pernyataan senada setelah
mempelajari temuan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF). Dalam temuan TGPF itu, disebutkan
bahwa jika dalam persidangan anggota Kopassus tersebut terbukti Prabowo terlibat, bekas
Komandan Kopassus dan juga bekas Panglima Kostrad itu akan diajukan ke mahkamah militer.
Keenam prajurit yang dipecat mengajukan banding, sehingga sanksi pemecatan belum
bisa dikenakan atas mereka. Semetara itu mereka tetap meniti karier di TNI dan menduduki
beberapa posisi penting
Ketika kasus ini kembali mencuat, Panglima TNI menyatakan bahwa dari hanya stau dari
enam tentara yang dipecat yang telah benar-benar dipecat yaitu Mayor (inf) Bambang Kristino.
Lima tentara yang lain dinyatakan terbebas dari hukuman pemecatan, dan hukuman
penjaranya pun dikurangi.
Penyelesaian
Sepanjang 2006-2008, Upaya lobby ke parlemen dilakukan melalui audiensi ke fraksi partai politik di DPR.
Hasil audiensi diantaranya, lima fraksi tersebut menyatakan mendukung upaya penuntasan kasus penculikan dan
penghilangan paksa, akan menyurati Presiden, akan mendorong Komisi III DPR untuk membuat rapat khusus
dengan Jaksa Agung dan Komnas HAM serta mendorong penggunaan hak interpelasi dalam forum lintas fraksi.
Konstelasi politik di Parlemen, memutuskan pembentukan Panitia Khusus (Pansus) orang hilang, melalui
keputusan sidang Paripurna DPR RI pada 27 Februari 2007, dengan ketua Panda Nababan dari Fraksi Partai
Demokrasi Indonesia. Pansus secara faktual baru bekerja Oktober 2008 dengan ketua Pansus yang baru, Efendi
Effendi M.S.Simbolon, dari F-(PDI-P) menggantikan Panda Nababan.
Pada rapat paripurna 28 September 2009 silam, DPR merekomendasikan empat hal yang harus dijalankan
presiden terkait penyelesaian kasus penculikan dan penghilangan aktivis. 
Empat rekomendasi itu, pertama,  presiden diminta membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc. Kedua, presiden
serta segenap institusi pemerintah dan  pihak–pihak terkait  segera melakukan pencarian terhadap 13 orang yang
oleh Komnas HAM masih dinyatakan hilang. Ketiga, merekomendasikan  pemerintah untuk merehabilitasi dan
memberikan kompensasi terhadap keluarga korban yang hilang. Keempat,  merekomendasikan  pemerintah agar
segera meratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa sebagai bentuk komitmen dan dukungan untuk
menghentikan praktik Penghilangan Paksa di Indonesia. 
Pemerintah hingga saat ini belum memiliki solusi terkait rekomendasi DPR mengenai penyelesaian kasus
penghilangan dan penculikan aktivis 1997-1998.

Anda mungkin juga menyukai