Anda di halaman 1dari 6

Hase Shoto

Sebagai hasil dari ketertarikannya pada filosofi Prancis, Hase mengembangkan ide-idenya lebih luas
lagi yang kemudian berfokus pada apa yang ia sebut ‘hermeneutik diri’. Hase Shoto mengumpulkan
ide-ide pemahamannya dalam dua karya utamanya, yaitu Filosofi tentang Keinginan dan Refleksi
dari Pikiran yang tak terhingga. Hase sendiri mengadopsi dua ide dari keinginan dan gambaran
sebagai mediator untuk mendefinisikan hubungan antara yang terbatas dan tidak terbatas, antara
yang dalam namun merupakan pengalaman konkrit dari seorang yang agamis dan aktivitas
transenden dari Buddha ‘Amida’.
Duka dan Religiositas
• Filosofi dari Nishida memberi kita pencerahan terkait duka dan keterikatan berlebihan pada suatu
kepercayaan atau agama (religiositas). Nishida menyatakan bahwa duka juga menjadi bagian yang
mengawali sebuah agama: tidak seorang pun yang telah terpuruk dalam duka yang tidak merasakan
religiositas jauh di dalam lubuk hati mereka.
• Nishida memahami bahwa keagamaan juga mengandung situasi yang bertentangan seperti ini dan
kemudian ia sebut sebagai ‘korelasi terbalik’. Sebelum berlanjut memahami konsep dari duka lebih jauh,
kita juga harus memahami aturan tak nampak dari kinerja didalam perasaan kita.
• Seperti yang kita pahami sebelumnya, bahwa duka tak terpisahkan dari luka, namun terdapat sesuatu
yang juga mampu menyembuhkan luka tersebut. Dengan begitu, dapat dipahami bahwa duka adalah
perasaan yang rumit yang penuh dengan elemen yang bertentangan, dan dengan begini dapat disebut
sebagai ‘kompleks’. Normalnya kita berpikir ‘kompleks’ sebagai perasaan dalam pembatasan dan
penutupan diri, tetapi duka terasa membebaskan.
• Ini bekerja untuk melarutkan keterbukaan diri dari kompleks dan melepaskan apa yang ditahan dalam
pikiran. Kompleks dengan kemampuan pembebasan inilah yang dapat dinamakan sebagai sentimen
agama. Alasan dari adanya kekuatan penyembuhan dalam duka adalah adanya sesuatu yang memurnikan
yang hadir dalam duka. Pikiran yang murni yang hadir dari kedalaman hati dan pemikiran untuk
menyembuhkan inilah yang disebut religiositas.
Keinginan dan Iman
• Keinginan muncul dalam kesadaran di alam bawah sadar yang mendalam ketika ikatan erat antara
keinginan dan obyek terkait rusak dan keinginan dibiarkan berdiri sendiri tanpa ada obyek.
Keinginan terikat pada egoistas, yang mana ketika berhadapan langsung dengan negasinya
sendiri, dilemparkan kedalam ketakukan dan kelumpuhan atas kemauan.
• Kecemasan adalah salah satu contoh bentuk tetap dan koneksi yang dekat antara keinginan dan
obyek yang rusak serta kehampaan yang terbuka di dasar keberadaan kita. Sedang harapan
adalah situasi spesial lainnya yang menjadi contoh dimana dimensi transenden dari keinginan
terbuka. Keduanya sama-sama hadir sebagai tanggapan dari adanya subyek yang terancam
keberadaannya.
• Iman adalah ketika pencarian untuk kenyataan yang transenden menjadi satu dengan kepedulian
dan kecintaan terhadap kenyataan tersebut, ikatan tercipta antara manusia dan kenyataan
transenden. Yang terpenting adalah manusia memiliki ikatan dengan diri mereka sendiri.
Ohashi Ryousuke
• Setelah menyelesaikan studi sarjana di Universitas Kyoto pada tahun 1969, Ōhashi Ryōsuke
melakukan perjalanan ke Jerman di mana ia memasuki program pascasarjana dalam filsafat di
Universitas Munich, menerima gelar doktor pada tahun 1974 dengan tesis tentang Schelling dan
Heidegger. Dia kembali untuk mengambil jabatan universitas di Jepang dan mulai mengerjakan
studi utama logika Hegelian, yang ia ajukan untuk Habilita- tion di Universitas Würzburg pada
tahun 1983.
Sebuah Fenomenoetik Belas Kasih
• Dalam beberapa tahun terakhir, Ohashi berfokus pada pengembangan tentang apa yang ia sebut
‘fenomenotik’ dari ide Buddha terkait belas kasih sebagai jembatan antara dunia filosofis Jepang
dan Eropa.
• Dalam terminologi Buddha, belas kasih mengacu pada pikiran para Buddha dan bodhisattvas yang
mengasihani penderitaan makhluk yang berperasaan dan mencari jalan untuk meringankan
penderitaannya. Dalam prolegomenon sebelumnya, Ohashi menerangkan kasih sayang sebagai
bidang pengungkapan dalam tiga tingkatan dari diri sendiri, orang lain, dan dunia.
• Ohashi kemudian merasa perlu untuk menambahkan pemahaman bahwa ia mendefinisikan belas
kasihan disini dalam kesan konotasi kesedihan atau kesengsaraan

Anda mungkin juga menyukai