Anda di halaman 1dari 23

TONSILITIS DAN

FARINGITIS
Dio pratama/ 2017069
1
Latar Belakang

• Tonsil merupakan salah satu pertahanan tubuh terdepan. Antigen yang berasal dari inhalan maupun
ingestan dengan mudah masuk ke dalam tonsil dan bisa menyebabkan peradangan

• Data yang ditemukan di bagian THT RSUD Ulin Banjarmasin di tahun 2012 tonsilitis kronis
termasuk dari sepuluh besar penyakit THT, menduduki peringkat kedelapan dengan jumlah
kunjungan sebesar 345 pasien atau 4,9% dari jumlah kunjungan.

• Peradangan pada tonsil dapat disebabkan oleh bakteri atau virus, termasuk strain bakteri
streptokokus, adenovirus, virus influenza, dll. Salah satu penyebab paling sering pada tonsilitis
adalah bakteri grup A Streptococcus beta hemolitik (GABHS), 30% dari tonsilitis anak dan 10%
kasus dewasa dan juga merupakan penyebab radang tenggorokan.
2

• Penyakit ISPA yakni faringitis akut merupakan salah satu kondisi penyakit yang sering dialami oleh
pasien pada pelayanan kesehatan primer, Tiga puluh sampai enam puluh persen kasus faringitis akut
disebabkan oleh virus dan 5-20% kasus disebabkan oleh bakteri group A βhemolytic streptococcus
(GABHS) pada orang dewasa.

• Oleh sebab itu pada sebagian besar kasus tidak diperlukan antibiotik untuk mengatasi kondisi tersebut. Pada
kenyataannya di lapangan, antibiotika diresepkan lebih dari 90% kasus faringitis, sehingga jumlah
peresepan antibiotik mengalami peningkatan.
3
Anatomi
4
Definisi

Faringitis merupakan peradangan akut membran mukosa faring dan struktur lain di sekitarnya. Karena
letaknya yang sangat dekat dengan hidung dan tonsil, jarang terjadi hanya infeksi lokal pada faring atau
tonsil.

Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin Waldeyer. Peradangan
pada tonsila palatine biasanya meluas ke adenoid dan tonsil lingual. Penyebaran infeksi terjadi melalui
udara (air borne droplets), tangan dan ciuman. Dapat terjadi pada semua umur, terutama pada anak.
5
Epidemiologi

• Data yang ditemukan di bagian THT RSUD Ulin Banjarmasin di tahun 2012 tonsilitis kronis termasuk dari
sepuluh besar penyakit THT, menduduki peringkat kedelapan dengan jumlah kunjungan sebesar 345 pasien
atau 4,9% dari jumlah kunjungan. Sedangkan pada tahun 2014 jumlahnya semakin bertambah menjadi 431
pasien atau 8,04% dari jumlah kunjungan, dan menduduki peringkat kelima dari sepuluh besar penyakit
THT.

• Berdasarkan data epidemiologi penyakit THT di tujuh provinsi di Indonesia pada bulan September tahun
2012, prevalensi tonsilitis kronik tertinggi setelah nasofaringitis akut yaitu sebesar 3,8%., prevalensi
tonsillitis kronik sebesar 3,8% tertinggi kedua setelah nasofaringitis akut (4,6%).
6
Etiologi

• Beberapa organisme dapat menyebabkan infeksi pada tonsil, termasuk bakteri


aerobik dan anaerobik, virus, jamur, dan parasit. Pada penderita tonsilitis kronis
jenis kuman yang paling sering adalah Streptokokus beta hemolitikus grup A
(SBHGA).

• Infeksi virus biasanya ringan dan dapat tidak memerlukan pengobatan yang
khusus karena dapat ditangani sendiri oleh ketahanan tubuh. Penyebab penting
dari infeksi virus adalah adenovirus, influenza A, dan herpes simpleks (pada
remaja).

• Mikroorganisme seperti Klamidia dan Mikoplasma dilaporkan dapat


menyebabkan infeksi, tetapi sangat jarang terjadi.
7
Patogenesis
 Adanya infeksi berulang pada tonsil menyebabkan pada suatu waktu tonsil tidak dapat
membunuh semua kuman sehingga kuman kemudian bersarang di tonsil.

 Karena proses radang berulang yang timbul maka selain epitel mukosa juga jaringan
limfoid diganti oleh jaringan parut yang akan mengalami pengerutan sehingga kripti
melebar

 Secara klinik kripti ini tampak diisi oleh detritus. Proses berjalan terus sehingga menembus
kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan perlekatan dengan jaringan di sekitar fossa
tonsilaris. Pada anak disertai dengan pembesaran kelenjar limfa submadibularis.

 Infeksi primer tenggorok menimbulkan kerusakan epitel sel faring. Untuk hal ini
Streptokokus Grup A harus bersaing dengan flora di faring, dan bersama Streptococcus alfa
hemolytic dan Streptococcus viridans berkoloni di tenggorok menghasilkan bacteriocin like
substance. Substansi inilah yang menimbulkan infeksi saluran napas.
8
Manifestasi Klinis

Pada pemeriksaan fisis, tidak semua pasien tonsilofaringitis akut Streptokokus menunjukkan tanda infeksi Streptokokus,
yaitu eritema pada tonsil dan faring yang disertai dengan pembesaran tonsil. Faringitis Streptokokus sangat mungkin jika
dijumpai gejala dan tanda berikut:
 Awitan akut, disertai mual dan muntah
 Faring hiperemis
 Demam
 Nyeri tenggorokan
 Tonsil bengkak dengan eksudasi
 KGB leher anterior bengkak dan nyeri
 Uvula bengkak dan merah
 Ekskoriasi hidug disertai lesi impetigo sekunder
 Ruam skarlatina
 Patekhiae palatum mole
9
 Terasa ada yang mengganjal di tenggorokan, tenggorokan terasa kering dan napas yang berbau.
Pada tonsillitis kronik juga sering disertai halitosis dan pembesaran nodul servikal.

 maka gradasi pembesaran tonsil dapat dibagi menjadi :9


• T0 : Tonsil masuk di dalam fossa
• T1 : <25% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
• T2 : 25-50% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
• T3 : 50-75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
• T4 : >75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
10

Sedangkan bila dijumpai gejala dan tanda berikut ini, maka kemungkinan besar bukan
faringitis Streptokokus:8
 Usia di bawah 3 tahun
 Awitan bertahap
 Kelainan melibatkan beberapa mukosa
 Konjungtivitis, diare, batuk, pilek, suara serak
 Mengi, ronkhi di paru
 Eksantem ulseratif

• Pada faringitis akibat virus, dapat juga ditemukan ulkus di palatum mole dan
dinding faring serta eksudat di palatum dan tonsil, tetapi sulit dibedakan dengan
eksudat faringits Streptokokus. dapat menghilang dalam 24 jam, berlangsung 4-10
hari (self limiting disease), jarang menimbulkan komplikasi,
11
Diagnosis

• Sulit untuk membedakan antara faringitis Streptokokus dan faringitis virus hanya berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisis. Baku emas penegakan diagnosis faringitis bakteri atau virus adalah melalui pemeriksaan kultur dari
apusan tenggorok.

• Pada saat ini terdapat metode yang cepat untuk mendeteksi antigen Streptokokus grup A (rapid antigen detection test).
Metode uji cepat ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang cukup tinggi (sekitar 90% dan 95%) dan hasilnya
dapat diketahui dalam 10 menit, sehingga metode ini setidaknya dapat digunakan sebagai pengganti pemeriksaan kultur.
Pemeriksaan Penunjang 12

 Mikrobiologi
Penatalaksanaan dengan antimikroba sering gagal untuk mengeradikasi kuman patogen dan mencegah
kekambuhan infeksi pada tonsil. Gold standard pemeriksaan tonsil adalah kultur dari dalam tonsil.
Pemeriksaan kultur dari permukaan tonsil saja tidak selalu menunjukkan bakteri patogen yang sebenarnya,
sehingga pemeriksaan bakteriologi dapat dilakukan dengan swab jaringan inti tonsil.

• Histopatologi
Penelitian yang dilakukan Ugras dan Kutluhan tahun 2008 di Turkey terhadap 480 spesimen tonsil,
menunjukkan bahwa diagnosa Tonsilitis Kronis dapat ditegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologi
dengan tiga kriteria histopatologi yaitu ditemukan ringan- sedang infiltrasi limfosit, adanya Ugra’s abses dan
infitrasi limfosit yang difus. Kombinasi ketiga hal tersebut ditambah temuan histopatologi lainnya dapat
dengan jelas menegakkan diagnosa Tonsilitis Kronis.
13
Diagnosis Banding

 Tonsillitis difteri
Disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae. Tonsillitis difteri sering
ditemukan pada anak berusia kurang dari 10 tahun dan frekuensi tertinggi pada usia -5
tahun.

• Gejala umum sama seperti gejala infeksi lainnya yaitu kenaikan suhu tubuh
biasanya subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, nadi lambat
serta keluhan nyeri menelan.

• Gejala local yang tampak berupa tonsil membengkak ditutupi bercak putih kotor
yang makin lama makin meluas dan bersatu membentuk membrane semu
(pseudomembran) yang melekat erat pada dasarnya sehingga bila diangkat akan
mudah berdarah. Jika infeksinya berjalan terus, kelenjar limfa leher akan
membengkak. Gejala akibat eksotoksin akan menimbulkan kerusakan jaringan
tubuh
14

 Tatalaksana untuk faringitis maupun tonsillitis bertujuan untuk


menghilangkan penyebab infeksi baik itu berupa infeksi bakteri maupun
infeksi virus
TATALAKSANA
 Faringitis Streptokokus Grup A merupakan satu-satunya faringitis yang
memiliki indikasi kuat dan aturan khusus dalam penggunaan antibiotic

 Pemberian antibiotik tidak diperlukan pada faringitis virus, karena tidak akan
mempercepat waktu penyembuhan

 pemberian gargles (obat kumur) dan lozenges (obat hisap), pada anak cukup
besar dapat meringankan keluhan nyeri tenggorok. Apabila terdapat nyeri
yang berlebih atau demam, dapat diberikan parasetamol atau ibuprofen.
15
TATALAKSANA

TERAPI ANTIBIOTIK

• Pemberian antibiotik pada faringitis harus berdasarkan pada gejala klinis dan hasil kultur positif pada
pemeriksaan usapan tenggorok.

• Amoksisilin dapat digunakan sebagai pengganti penisilin pada anak yang lebih kecil, karena selain
efeknya sama, amoksisilin juga memiliki rasa yang lebih enak. Amoksisilin dengan dosis 50
mg/kgBB/hari dibagi 2 selama 6 hari, efektivitasnya sama dengan penisilin V oral selama 10 hari.

• eritromisin etil suksinat 40 mg/kgBB/hari, eritromisin estolat 20-40 mg/kgBB/hari, dengan pemberian
2, 3, atau 4 kali per hari selama 10 hari

• azitromisin dengan dosis tunggal 10 mg/kgBB/hari, selama 3 hari berturut-turut. Antibiotik golongan
sefalosporin gnerasi I dan II dapat juga memberikan efek yang sama, tetapi pemakaiannya tidk
dianjurkan, karena selain mahal risiko resistensinya juga lebih besar.
16
• Kegagalan terapi adalah terdapatnya Streptokokus persisten setelah terapi selesai.

• Kultur ulang apusan tenggorok hanya dilakukan pada keadaan dengan risiko tinggi, misalnya pada
pasien dengan riwayat demam reumatik atau infeksi Streptokokus yang berulang.

• Apabila hasil kultur kembali positif, beberapa kepustakaan menyarankan terapi kedua, dengan pilihan
obat oral klindamisin 20-30 mg/kgBB/hari selama 10 hari; amoksisilin-klavulanat 4 mg/kgBB/hari
terbagi menjadi 3 dosis selama 10 hari; atau injeksi Benzathine penicillin G intramuskular, dosis
tunggal 600.000 IU (BB<30 kg) atau 1.200.000 IU (BB>30 kg).

• Akan tetapi, bila setelah terapi kedua kultur tetap positif, kemungkinan pasien merupakan pasien
karier, yang memiliki risiko ringan terkena demam reumatik.
17

 TONSILEKTOMI
Tindakan operatif pada kasus tonsillitis yang paling sering dilakukan
adalah Tonsilektomi.

Terdapat beberapa indikator klinnis yang digunakan, salah satunya adalah


kriteria yang digunakan Children’s Hospital od Pittsburg Study, yaitu:
• Tujuh atau lebih episode infeksi tenggorok yag diterapi dengan
antibiotik pada tahun tahun sebelumnya,
• Lima atau lebih episode infeksi tenggorokan yang diterapi dengan
antibiotik setiap tahun selama 2 tahun sebelumnya,
• Tiga atau lebih episode infeksi tenggorokan yang diterapi dengan
atibiotik setiap tahun selma 3 tahun sebelumnya.
18

 Adenoidektomi sering direkomendasikan sebagai terapi tambahan pada


otitis media kronis dan rekuren. Sebuah RCT menunjukkan bahwa
adenoidektomi dan miringotomi bilateral (tanpa timpanoplasti) memberikan
keuntungan pada anak berusia 4-8 tahun yang menderita otitis media kronis
dengan efusi.

 Indikasi tonsiloadenoidektomi yang lain adalah bila terjadi Obstructive


Sleep Apnea aikibat pembesaran adenotonsil.
19
Komplikasi

 Radang kronik tonsil dapat menimbulkan komplikasi ke daerah sekitarnya. Kejadian komplikasi pada
faringitis akut virus sangat jarang. Beberapa kasus dapat berlanjut menjadi otitis media purulen bakteri.

 Pada komplikasi faringitis bakteri terjadi akibat perluasan langsung atau secara hematogen. Akibat
perluasan langsung, faringitis dapat berlanjut menjadi rinosinusitis, otitis media, mastoiditis, adenitis
servikal, abses retrofaringeal atau parafaringeal, atau pneumonia.

 Penyebaran hematogen Streptokokus β hemolitikus grup A dapat megakibatkan meningitis, osteomielitis,


atau artritis septik, sedangkan komplikasi nonsupuratif berupa demam reumatik dan glomerulonefritis.
20
Prognosis

Tonsilitis biasanya sembuh dalam beberapa hari dengan beristrahat dan pengobatan suportif.
Menangani gejala-gejala yang timbul dapat membuat penderita Tonsilitis lebih nyaman. Bila
antibiotika diberikan untuk mengatasi infeksi, antibiotika tersebut harus dikonsumsi sesuai
arahan demi penatalaksanaan yang lengkap, bahkan bila penderita telah mengalami perbaikan
dalam waktu yang singkat.

Gejala-gejala yang tetap ada dapat menjadi indikasi bahwa penderita mengalami infeksi
saluran nafas lainnya, infeksi yang sering terjadi yaitu infeksi pada telinga dan sinus. Pada
kasus-kasus yang jarang, Tonsilitis dapat menjadi sumber dari infeksi serius seperti demam
rematik atau pneumonia.
RINGKASAN 21

• Faringitis merupakan peradangan akut membran mukosa faring dan struktur lain di sekitarnya.

• Karena letaknya yang sangat dekat dengan hidung dan tonsil, jarang terjadi hanya infeksi lokal pada faring
atau tonsil.

• Usaha untuk membedakan faringitis bakteri dan virus bertujuan agar pemberian antibiotik sesuai indikasi.

• Faringitis Streptokokus Grup A merupakan satu-satunya faringitis yang memiliki indikasi kuat dan aturan
khusus dalam penggunaan antibiotic.Pemberian antibiotik tidak diperlukan pada faringitis virus, karena
tidak akan mempercepat waktu penyembuhan.

• Indikasi tonsiloadenoidektomi yang lain adalah bila terjadi Obstructive Sleep Apnea aikibat pembesaran
adenotonsil.

• Radang kronik tonsil dapat menimbulkan komplikasi ke daerah sekitarnya.


TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai