Anda di halaman 1dari 8

Blok THT

Skenario 1
Tonsil T1-T1
T0
= tonsil berada di dalam fossa tonsil atau telah diangkat
T1
= bila besarnya 1/4 jarak arkus anterior dan uvula (ukuran yang normal
ada)
T2
= bila besarnya 2/4 jarak arkus anterior dan uvula (pembesaran tidak
sampai garis tengah)
T3
= bila besarnya 3/4 jarak arkus anterior dan uvula (pembesaran mencapai
garis tengah)
T4
= bila besarnya mencapai arkus anterior atau lebih (melewati garis
tengah)

Granulasi dinding faring


???
Laringoskopi indirek
Laringoskopi langsung adalah pemeriksaan laring secara visual secara tidak
langsung dengan menggunakan kaca laring.
Plika aryepiglotica (??)
Secara umum, laring dibagi menjadi tiga: supraglotis, glotis dan subglotis.
Supraglotis terdiri dari epiglotis, plika ariepiglotis, kartilago aritenoid, plika
vestibular (pita suara palsu) dan ventrikel laringeal. Batas atas laring adalah
epiglotis dengan plika ariepiglotika,sedangkan bagian bawahnya adalah cincin
trakea pertama. Plika ariepiglotika, berjalan ke belakang dari bagian samping
epiglottis menuju kartilago aritenoidea, membentuk batas jalan masuk laring.
Aritenoid
The arytenoid cartilage is a pair of pyramid-shaped pieces of cartilage found in
the larynx (voice box), which are essential to the production of vocal sound.
Cartilage is tough, yet flexible tissue located at the ends of joints. The arytenoid
cartilage is located on the dorsal (back) side of the larynx above the cricoid lamina,
a signet ring-shaped cartilage that lies near the bottom of the larynx.
The arytenoid cartilage is two of the nine pieces of cartilage that make up the
structure of the larynx, the others are: one cricoid, one thyroid, two corniculate, two
epiglottal, and two cuneiform cartilages.
Penyebab suara serak dan makin hilang?

Penyebab tenggorokkan kering terutama pagi hari?


Penyebab nyeri telan, disertai batuk?
Hubungan kebiasaan merokok, makan gorengan, es dan makanan instant dengan
keluhan pasien?
Interpretasi pemeriksaan fisik?
Interpretasi pemeriksaan penunjang?
Patofisiologi?
Diagnosis banding?
Tata laksana?
Tonsilitis
Patofisiologi
Bakteri atau virus memasuki tubuh melalui hidung atau mulut, amandel
berperan sebagai filter atau penyaring yang menyelimuti organisme berbahaya, selsel darah putih ini akan menyebabkan infeksi ringan pada amandel. Hal ini akan
memicu tubuh untuk membentuk antibodi terhadap infeksi yang akan datang, akan
tetapi kadang-kadang amandel sudah kelelahan menahan infeksi atau virus. Infeksi
bakteri
dari virus inilah yang menyebabkan tonsilitis.
Kuman menginfiltrasi lapisan epitel, bila epitel terkikis maka jaringan limfoid
superficial mengadakan reaksi. Terdapat pembendungan radang dengan infiltrasi
leukosit poli morfonuklear. Proses ini secara klinik tampak pada korpus tonsil yang
berisi bercak kuning yang disebut detritus. Detritus merupakan kumpulan leukosit,
bakteri dan epitel yang terlepas, suatu tonsillitis akut dengan detritus disebut
tonsilitis falikularis, bila bercak detritus berdekatan menjadi satu maka terjadi
tonsilitis lakunaris. Tonsilitis dimulai dengan gejala sakit tenggorokan ringan hingga
menjadi parah. Pasien hanya mengeluh merasa sakit tenggorokannya sehingga
nafsu makan berkurang. Radang pada tonsil dapat menyebabkan kesukaran
menelan, panas, bengkak, dan kelenjar getah bening melemah di dalam daerah sub
mandibuler, sakit pada sendi dan otot, kedinginan, seluruh tubuh sakit, sakit kepala
dan biasanya sakit pada telinga. Sekresi yang berlebih membuat pasien mengeluh
sukar menelan, belakang tenggorokan akan terasa mengental. Hal-hal yang tidak
menyenangkan tersebut biasanya berakhir setelah 72 jam.
Bila bercak melebar, lebih besar lagi sehingga terbentuk membran semu
(Pseudomembran), sedangkan pada tonsilitis kronik terjadi karena proses radang
berulang maka epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis. Sehingga pada proses
penyembuhan, jaringan limfoid diganti jaringan parut. Jaringan ini akan mengkerut
sehingga ruang antara kelompok melebar (kriptus) yang akan diisi oleh detritus,
proses ini meluas sehingga menembus kapsul dan akhirnya timbul perlengketan
dengan jaringan sekitar fosa tonsilaris. Pada anak proses ini disertai dengan
pembesaran kelenjar limfe submandibula.
Manifestasi klinis
Tanda dan gejala tonsilitis seperti demam mendadak, nyeri tenggorokan, ngorok,
dan kesulitan menelan (Smeltzer, 2001). Sedangkan menurut Mansjoer (2000)
adalah suhu tubuh naik sampai 40C, rasa gatal atau kering di tenggorokan, lesu,
nyeri sendi, odinofagia (nyeri menelan), anoreksia, dan otalgia (nyeri telinga). Bila
laring terkena suara akan menjadi serak. Pada pemeriksaan tampak faring
hiperemisis, tonsil membengkak, hiperemisis.
Dari pemeriksaan dapat dijumpai:

- Tonsil dapat membesar bervariasi. Kadang-kadang tonsil dapat bertemu di


tengah.Standart untuk pemeriksaan tonsil berdasarkan pemeriksaan fisik
diagnostik diklasifikasikan berdasarkan ratio tonsil terhadap orofaring (dari
medial ke lateral) yang diukur antara pilar anterior kanan dan kiri. T0: Tonsil
terletak pada fosa tonsil, T1: <25%, T2: >25%<50%, T3:>50%<75%, T4: >75%
(Brodsky, 2006). Sedangkan menurut Thane dan Cody menbagi pembesaran
tonsil atas T1: batas medial tonsil melewati pilar anterior sampai jarak pilar
anterior uvula. T2: batas medial tonsil melewati jarak pilar anterior-uvula
sampai jarak pilar anterior-uvula. T3: batas medial tonsil melewati jarak
pilar anterior-uvula sampai jarak pilar anterior-uvula. T4: batas medial tonsil
melewati jarak pilar anterior-uvula sampai uvula atau lebih (Cody, 1993).
- Dapat terlihat butiran pus kekuningan pada permukaan medial tonsil.
- Warna kemerahan pada plika anterior bila dibanding dengan mukosa faring,
merupakan tanda penting untuk menegakkan infeksi kronis pada tonsil.
- Dari hasil penelitian yang melihat hubungan antara tanda klinis dengan hasil
pemeriksaan histopatologis dilaporkan bahwa tanda klinis pada Tonsilitis Kronis
yang sering muncul adalah kripta yang melebar, pembesaran kelenjar limfe
submandibula dan tonsil yang mengalami perlengketan. Tanda klinis tidak harus
ada seluruhnya, minimal ada kripta yang melebar dan pembesaran kelenjar
limfe submandibula (Primara, 1999).
- Disebutkan dalam penelitian lain bahwa adanya keluhan rasa tidak nyaman di
tenggorokan, kurangnya nafsu makan, berat badan yang menurun, palpitasi
mungkin dapat muncul. Bila keluhan-keluhan ini disertai dengan adanya
hiperemi pada plika anterior, pelebaran kripta tonsil dengan atau tanpa debris
dan pembesaran kelenjar limfe jugulodigastrik maka diagnosa Tonsilitis Kronis
dapat ditegakkan (Dass, 1988).
Klasifikasi
Menurut Soepardi (2007) macam-macam tonsilitis yaitu :
1. Tonsilitis Akut
a. Tonsilitis viral
Gejala tonsilitis viral lebih menyerupai commond cold yang disertai rasa nyeri
tenggorok. Virus Epstein Barr adalah penyebab paling sering. Hemofilus
influenzae merupakan penyebab tonsilitis akut supuratif. Jika terjadi infeksi
virus coxschakie, maka pada pemeriksaan rongga mulut akan tampak lukaluka kecil pada palatum dan tonsil yang sangat nyeri dirasakan klien.
a. Tonsilitis bakterial
Radang akut tonsil dapat disebabkan kuman grup A Streptokokus,
hemolitikus yang dikenal sebagai strep throat, pneumokokus, Streptokokus
viridan, Streptokokus piogenes. Infiltrasi bakteri pada lapisan epitel jaringan
tonsil akan menimbulkan reaksi radang berupa keluarnya leukosit
polimorfonuklear sehingga terbentuk detritus. Bentuk tonsilitis akut dengan
detritus yang jelas disebut tonsilitis folikularis. Bila bercak-bercak detritus ini
menjadi satu, membentuk alur-alur maka akan terjadi tonsilitis lakunaris.
2. Tonsilitis Membranosa
a. Tonsilitis difteri
Tonsilitis difteri merupakan tonsilitis yang disebabkan kuman Coryne
bacterium diphteriae. Penularannya melalui udara, benda atau makanan
yang terkontaminasi. Tonsilitis difteri sering ditemukan pada anak-anak
berusia kurang dari 10 tahun frekuensi tertinggi pada usia 2 sampai 5 tahun.
b. Tonsilitis septik

Tonsilitis yang disebabkan karena Streptokokus hemolitikus yang terdapat


dalam susu sapi.
c. Angina plaut vincent (stomatitis ulsero membranosa)
Tonsilitis yang disebabkan karena bakteri spirochaeta atau triponema yang
didapatkan pada penderita dengan hygiene mulut yang kurang dan defisiensi
vitamin C.
d. Penyakit kelainan darah
Tidak jarang tanda leukemia akut, angina agranulositosis dan infeksi
mononukleosis timbul di faring atau tonsil yang tertutup membran semu.
Gejala pertama sering berupa epistaksis, perdarahan di mukosa mulut, gusi
dan di bawah kulit sehingga kulit tampak bercak kebiruan.
e. Tonsilitis Kronik
Tonsilitis kronik timbul karena rangsangan yang menahun dari rokok,
beberapa jenis makanan, hygiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca,
kelelahan fisik dan pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat.
Etiologi
Penyebab tonsilitis adalah infeksi kuman Streptococcus beta hemolyticus,
Streptococcus viridans, dan Streptococcus pyogenes, dapat juga disebabkan oleh
infeksi virus (Soepardi, 2007)
Pemeriksaan Penunjang
Mikrobiologi
Penatalaksanaan dengan antimikroba sering gagal untuk mengeradikasi
kuman patogen dan mencegah kekambuhan infeksi pada tonsil. Kegagalan
mengeradikasi organisme patogen disebabkan ketidaksesuaian pemberian
antibiotika atau penetrasi antibiotika yang inadekuat (Hammouda et al,
2009). Gold standard pemeriksaan tonsil adalah kultur dari dalam tonsil.
Berdasarkan penelitian Kurien di India terhadap 40 penderita Tonsilitis Kronis
yang dilakukan tonsilektomi, didapatkan kesimpulan bahwa kultur yang
dilakukan dengan swab permukaan tonsil untuk menentukan diagnosis yang
akurat terhadap flora bakteri Tonsilitis Kronis tidak dapat dipercaya dan juga
valid. Kuman terbayak yang ditemukan yaitu Streptokokus beta hemolitikus
diukuti Staflokokus aureus ( Kurien, 2000).
Histopatologi
Penelitian yang dilakukan Ugras dan Kutluhan tahun 2008 di Turkey terhadap
480 spesimen tonsil, menunjukkan bahwa diagnosa Tonsilitis Kronis dapat
ditegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologi dengan tiga kriteria
histopatologi yaitu ditemukan ringan- sedang infiltrasi limfosit, adanya
Ugras abses dan infitrasi limfosit yang difus. Kombinasi ketiga hal tersebut
ditambah temuan histopatologi lainnya dapat dengan jelas menegakkan
diagnosa Tonsilitis Kronis (Ugras, 2008).
Komplikasi
Komplikasi tonsilitis akut dan kronik yaitu :
- Abses pertonsil
Terjadi diatas tonsil dalam jaringan pilar anterior dan palatum mole, abses ini
terjadi beberapa hari setelah infeksi akut dan biasanya disebabkan oleh
streptococcus group A.
- Otitis media akut
Infeksi dapat menyebar ke telinga tengah melalui tuba auditorius (eustochi) dan
dapat mengakibatkan otitis media yang dapat mengarah pada ruptur spontan
gendang telinga.

- Mastoiditis akut
Ruptur spontan gendang telinga lebih jauh menyebarkan infeksi ke dalam sel-sel
mastoid.
- Laringitis
Merupakn proses peradangan dari membran mukosa yang membentuk larynx.
Peradangan ini mungkin akut atau kronis yang disebabkan bisa karena virus,
bakter, lingkungan, maupunmkarena alergi.
- Sinusitis
Merupakan suatu penyakit inflamasi atau peradangan pada satua atau lebih dari
sinus paranasal. Sinus adalah merupakan suatu rongga atau ruangan berisi
udara dari dinding yang terdiri dari membran mukosa.
- Rhinitis
Merupakan penyakit inflamasi membran mukosa dari cavum nasal dan
nasopharynx.
Laringitis
Pasien datang dengan keluhan suara serak atau hilang suara (afonia).
Gejala lainnya (croup), antara lain:
Gejala lokal seperti suara parau, seperti suarayang kasar atau suara yang susah
keluar atau suara dengan nada lebih rendahdari suara yang biasa/normal
bahkan sampai tidak bersuara sama sekali (afoni). Hal ini terjadi karena
gangguan getaran sertaketegangan dalam pendekatan kedua pita suara kiri
dan kanan.
Sesak nafas dan stridor.
Nyeri tenggorokan seperti nyeri ketika menelan atau berbicara.
Gejala radang umum seperti demam, malaise.
Batuk kering yang lama kelamaan disertai dengan dahak kental.
Gejala common cold seperti bersin-bersin, nyeri tenggorok hingga sulitmenelan,
sumbatan hidung (nasal congestion), nyeri kepala, batuk dan demamdengan
temperatur yang tidak mengalami peningkatan dari 38 o C.
Obstruksi jalan nafas apabila ada udem laring diikuti udem subglotis yang
terjadi dalam beberapa jam dan biasanya sering terjadi pada anak berupa
anakmenjadi gelisah, nafas berbunyi, air hunger, sesak semakin bertambah
berat.
Laringitis kronik ditandai dengan afonia yang persisten. Pada pagi hari,
biasanya tenggorokan terasa sakit namun membaik pada suhu yang lebih
hangat. Nyeri tenggorokan dan batuk memburuk kembali menjelang siang.
Batuk ini dapat juga dipicu oleh udara dingin atau minuman dingin.
Faktor Risiko
1.
Penggunaan suara yang berlebihan.
2.
Pajanan terhadap zat iritatif seperti asap rokok dan minum-minuman alkohol.
3.
Adanya refluks gastroesofageal, bronkitis, dan pneumonia.
4.
Rhinitis alergi.
5.
Perubahan suhu yang tiba-tiba.
6.
Malnutrisi.
7.
Keadaan menurunnya sistem imun atau daya tahan tubuh.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan dengan laringoskopi indirek khusus untuk pasien dewasa untuk
melihat daerah laring dan sekitarnya.

Pada
pemeriksaan
fisik
akan
tampak
mukosa
laring
yang
hiperemis,membengkak terutama dibagian atas dan bawah pita suara.
Biasanya terdapat tanda radang akut di hidung atau sinus paranasal
Obstruksi jalan nafas apabila ada udem laring diikuti udem subglotis yang
terjadi dalam beberapa jam dan biasanya sering terjadi pada anak berupa anak
menjadi gelisah, stridor,air hunger, sesak semakin bertambah berat dengan
retraksi suprasternal dan epigastrium yang dapatmenyebabkan keadaan
darurat medik yang dapat mengancam jiwa anak.
Pada laringitis kronik, dapat ditemukan nodul, ulkus dan penebalan mukosa pita
suara.
Pemeriksaan Penunjang:
Foto rontgensoft tissue leher AP lateral: bisa tampak pembengkakan jaringan
subglotis (Steeple sign). Tanda ini ditemukan pada 50% kasus.
Foto thorax AP.
Pemeriksaan laboratorium darah lengkap.
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang jika diperlukan.
Klasifikasi:
1. Laringitis Akut
Laringitis akut adalah radang akut laring, dapat disebabkan oleh virus
danbakteri. Keluhan berlangsung <3 minggu dan pada umumnya
disebabkanoleh infeksi virus influenza (tipe A dan B), parainfluenza (tipe 1,2,3),
rhinovirusdan adenovirus. Penyebab lain adalah Haemofilus influenzae,
Branhamellacatarrhalis, Streptococcus pyogenes, Staphylococcus aureus dan
Streptococcuspneumoniae.
2. Laringitis Kronik
Laringitis kronik dapat terjadi setelah laringitis akut yang berulang, dan juga
dapat diakibatkan oleh sinusitis kronis, deviasi septum berat, polip hidung,
bronchitis kronik,merokok, pajanan terhadap iritan yang bersifat konstan, dan
konsumsi alkohol berlebih. Tanda dari laringitis kronik ini yaitu nyeri tenggorokan
yang tidak signifikan, suara serak, dan terdapat edema pada laring. Mungkin
juga disebabkan penyalahgunaan suara (vocal abuse) seperti berteriak-teriak
atau biasa bicara keras.
3. Laringitis Kronik Spesifik
a. Laringitis tuberkulosa
Penyakit ini disebabkan tuberkulosis paru. Setelah diobati, biasanya tuberkulosis
paru sembuh namun laringitis tuberkulosisnya menetap (membutuhkan
pengobatan yang lebih lama), karena struktur mukosa laring sangat lekat pada
kartilago serta vaskularisasi tidak sebaik paru. Terdapat 4 stadium:
1. Stadium Infiltrasi
Mukosa laring membengkak, hiperemis (bagian posterior), dan pucat.
Terbentuk tuberkel di daerah submukosa, tampak sebagai bintik-bintik
kebiruan. Tuberkel membesar, menyatu sehingga mukosa di atasnya
meregang. Bila pecah akan timbul ulkus.
2. Stadium ulserasi
Ulkus membesar, dangkal, dasarnya ditutupi perkejuan dan terasa nyeri oleh
pasien
3. Stadium perikondritis

Ulkus makin dalam mengenai kartilago laring, paling sering terkena kartilago
aritenoid, dan epiglottis. Terbentuk nanah yang berbau sampai terbentuk
sekuester. Pada stadium ini keadaan pasien buruk dan dapat meninggal. Bila
bertahan maka berlanjut ke stadium akhir yaitu stadium fibrotuberkulosis
4. Stadium fibrotuberkulosis
Terbentuk fibrotuberkulosis pada dinding posterior, pita suara, dan subglotik.
b. Laringitis luetika
Radang menahun ini jarang ditemukan. Pada penyakit laringitistergolong lues
stadium tersier yaitu stadium pembentukan guma yang dapat terjadi pada
laring.
Diagnosis Banding
1.
Benda asing pada laring
2.
Faringitis
3.
Bronkiolitis
4.
Bronkitis
5.
Pneumonia
6.
Tumor pada laring
Penatalaksanaan
a.
Istirahat yang cukup, terutama pada laringitis akibat virus. Istirahat ini juga
meliputi pengistirahatan pita suara.
b.
Menghindari iritan yang memicu nyeri tenggorokan atau batuk.
c.Menghindari udara kering.
d.
Minum cairan yang banyak.
e.
Berhenti merokok dan konsumsi alkohol.
f. Bila diperlukan rehabilitasi suara (voice therapy).
g.
Pengobatan simptomatik dapat diberikan dengan parasetamol atau ibuprofen
sebagai antipiretik jika pasien demam. Bila ada gejala nyeri tenggorokan dapat
diberikan analgetik dan bila hidung tersumbat dapat diberikan dekongestan
nasal seperti fenilpropanolamin (PPA), efedrin, pseudoefedrin.
h.
Pemberian antibiotik dilakukan bila peradangan dari paru dan bila penyebab
berupa streptokokus grup A dapat ditemukan melalui kultur. Pada kasus ini,
antibiotik yang dapat digunakan yaitu penicillin
Proton
Pump
Inhibitor
pada
laringitis
dengan
penyebab
GERD
(Laringofaringeal refluks).
Kortikosteroid dapat diberikan jika laringitis berat.
Bila terdapat sumbatan laring dilakukan pemasangan pipa endotrakea, atau
trakeostomi.
Laringitis tuberkulosa, sesuai dengan penyakit TBC diberikan obat
antituberkulosa.
Laringitis Luetika diberikan obat sesuai penyakit leutika, penisilin dengan
dosis tinggi.

Referensi
a. Bahan Kuliah Sistem Indera Khusus, Fakultas Kedokteran Universitas
Hasanuddin, Makassar, 2005.
b. Departemen Kesehatan RI, Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas, Ditjen
Binfar & Alkes, Jakarta, 2007.
c. Mansjoer Arif, dkk, Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1, Penerbit Media Aesculapius
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2001.
d. Mubin Halim Prof. dr., Panduan Praktis Ilmu Penyakit Dalam (Diagnosis dan
Terapi), Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 2008.
e. Staf Pengajar Ilmu Penyakit THT FKUI. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tengorok Kepala Leher Edisi ke 6 Cetakan ke 1, Balai Penerbit FKUI, Jakarta,
1990.
f. Adam, GL. Boies LR. Higler. Boies.Buku Ajar Penyakit THT. Ed. ke-6. Jakarta: EGC.
1997.
g. Hermani,B. Abdurrachman, H. Cahyono, A. Kelainan Laring dalam Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Ed. ke-6. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2007.
h. Lee, K. Essential Otolaryngology, Head and Neck Surgery. Ed. Ke-8. McGraw-Hill.
2003.
i. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer.
2013.

Anda mungkin juga menyukai