Anda di halaman 1dari 128

SISTEM GINJAL DAN

SALURAN KEMIH
Oleh : Edina Theodora A. Sagala
DAFTAR PENYAKIT
Infeksi Saluran Kemih (4A)
Gejala Faktor Risiko
Anomali struktur saluran kemih
 Demam 

 Riwayat DM
 Susah BAK  Riwayat urolitiasis
 Disuria terminal  Riwayat keputihan
 Riwayat ISK sebelumnya
 Frekuensi  Riwayat pemakaian kontrasepsi
 Nokturia diafragma
 Kehamilan
 Polakisuria  Higiene pribadi buruk
 Nyeri suprapubik
 Kebiasaan menahan kencing
 Hubungan seksual
PEMERIKSAAN
Pemeriksaan Fisik
 Demam

 Flank pain (Nyeri ketok CVA)

 Nyeri tekan suprapubik

Pemeriksaan Penunjang
 Darah perifer lengkap

 Urinalisis

 Ureum dan kreatinin

 Kadar gula darah

Pemeriksaan penunjang tambahan (di layanan sekunder) :


 Urine mikroskopik berupa peningkatan >103 bakteri per lapang pandang

 Kultur urin (hanya diindikasikan untuk pasien yang memiliki riwayat kekambuhan

infeksi salurah kemih atau infeksi dengan komplikasi).


DIAGNOSIS BANDING
 Recurrent cystitis
 Urethritis
 Pielonefritis
 Bacterial asymptomatic : asimtomatik, bakteriuria
(mid stream urine) ≥ 105 cfu/ml
TATA LAKSANA
 Minum air putih min 2 L/hari bila fungsi ginjal normal.
 Menjaga higienitas genitalia eksterna

 Pada kasus nonkomplikata, pemberian antibiotik selama 3 hari dengan pilihan

antibiotik sebagai berikut:


a. Trimetoprim sulfametoxazole
b. Fluorikuinolon
c. Amoxicillin-clavulanate
d. Cefpodoxime
Edukasi :
 Penyebab dan faktor risiko penyakit infeksi saluran kemih

 Waspada terhadap tanda-tanda ISK bagian atas (nyeri pinggang) dan pentingnya

untuk kontrol kembali.


 Patuh dalam pengobatan antibiotik yang telah direncanakan.

RUJUK
 Terjadi komplikasi ISK
RESEP
R/ Cotrimoxazole 960 mg tab No. VI
S 2 dd tab 1
Gonorrhea (4A)
Gejala Faktor Risiko

 Gejala 2-7 hari setelah kontak seksual  Berganti-ganti pasangan


 Kencing nanah kadang disertai darah seksual
 Disuria
 Polakisuria
 Homoseksual
 Prostatitis : perasaan tidak enak di  PSK
perineum dan suprapubis, malaise,
demam, nyeri kencing, hematuri,
 Bayi dengan ibu menderita
retensi urin, dan obstipasi gonore
 Pada wanita, gejala jarang ditemukan  Hubungan seksual dengan
 Keluhan lain : rasa terbakar di daerah
anus (proktitis), mata merah pada penderita tanpa proteksi
neonatus dan dapat terjadi keluhan (kondom)
sistemik (pada gonore diseminata –
1% dari kasus gonore).
Pemeriksaan Fisik
 Eritema  LAKI-LAKI: RT
 Edema Pembesaran prostat,
 Ektropion pada orifisium kenyal, nyeri tekan,
uretra eksterna fluktuasi (pada abses)
 Duh tubuh mukopurulen
 Pembesaran KGB PEREMPUAN:
inguinal uni atau bilateral
INSPEKULO
 Proktitis : anus eritema,
edema, tertutup pus Serviks merah, erosi,
mukopurulen sekret mukopurulen
Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan mikroskopis sediaan langsung duh
tubuh dengan pewarnaan gram
 Pada pria sediaan diambil dari daerah fossa
navikularis, dan wanita dari uretra, muara kelenjar
bartolin, serviks dan rektum.
 Pemeriksaan lain bila diperlukan: kultur, tes
oksidasi dan fermentasi, tes beta-laktamase, tes
thomson dengan sediaan urin
Diagnosis Banding
 Infeksi saluran kemih
 Uretritis herpes simpleks
 Uretritis non gonokokal
 Arthritis inflamasi dan septik
 Konjungtivitis
 Endokarditis
 Meningitis
 Faringitis
RESEP
R/ Cefixime 400 mg tab No. I
S 1 dd tab 1
R/ Azithromycin 500 mg tab No. II
S 1 dd tab 2
Pielonefritis Tanpa Komplikasi (4A)
Gejala Faktor Risiko

 Onset penyakit akut (tiba-  Wanita usia subur


tiba beberapa jam atau  Homoseksual
hari)  Koitus per rektal
 Demam dan menggigil  HIV/AIDS
 Nyeri pinggang,  Riwayat penyakit
(unilateral/bilateral)
obstruktif urologi
 Gejala sistitis : frekuensi,  Refluks vesikoureteral
nokturia, disuria, urgensi,
pada anak
dan nyeri suprapubik
 Gejala GI: mual, muntah,
diare, atau nyeri perut
PEMERIKSAAN FISIK
 Demam biasanya >38,5oC
 Takikardi
 Nyeri ketok pada CVA (unilateral atau bilateral )
 Ginjal seringkali tidak dapat dipalpasi karena nyeri
tekan dan spasme otot
 Nyeri tekan pada area suprapubik
 Distensi abdomen dan BU menurun (ileus paralitik)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Darah perifer dan hitung jenis : leukositosis dan predominan
neutrofil
 Urinalisis : hematuria, piuria (Leukosit >5-10/LPB atau

leukosit esterase (+) pada dip-stick, silinder leukosit


(patognomonik PNA), bakteriuria bermakna >10 4 koloni/ml
atau adanya nitrit pada dip-stick
 Foto polos abdomen (BNO) : untuk menyingkirkan adanya

obstruksi atau batu di saluran kemih


Pemeriksaan Lanjutan:
 Kultur urin dan tes sentifitas-resistensi antibiotik

 Kultur darah
DIAGNOSIS BANDING
 Uretritis akut
 Sistitis akut
 Prostatitis bakterial akut
 Servisitis
 Endometritis
 Pelvic inflammatory disease
 Akut abdomen
 Appendisitis
TATA LAKSANA
 Minimalkan faktor risiko
 Menjaga kecukupan hidrasi
 Antibiotik selama 7 hari untuk gejala klinis ringan-sedang
dengan respons terapi baik. Pada kasus menetap atau berulang,
kultur harus dilakukan kemudian diobati dengan antibiotik yang
terbukti sensitif selama 7 sampai 14 hari :
 Parenteral: ceftriaxone, cefepime, dan fluorokuinolon (ciprofloxacin
dan levofloxacin). Terapi antibiotika parenteral dapat diganti dengan
obat oral setelah 24-48 jam
 Oral: fluorokuinolon (untuk basil gram negatif), trimetoprim-
sulfametoxazole (untuk penyebab lainnya)
 Obat simtomatik sesuai dengan gejala klinik yang dialami pasien
RESEP
R/ Ciprofloxacin 500 mg tab No. XIV
S 2 dd tab 1

R/ Paracetamol 500 mg tab No. X


S 3 dd tab 1 prn
Fimosis (4A)
Faktor Risiko
 Hygiene yang buruk
 Episode berulang balanitis (peradangan pada glans
penis) atau balanoposthitis (peradangan pada
preputium dan glans penis)
 Tidak menjalani sirkumsisi
Pemeriksaan Fisik
 Preputium tidak dapat diretraksi ke proksimal
hingga corona glandis
 Eritema dan udem pada preputium dan glans penis
 Timbunan smegma pada sakus preputium
 Pada fimosis fisiologis, preputium tidak memiliki
scar
 Pada fimosis patologis, sekeliling preputium
terdapat lingkaran fibrotik
Diagnosis Banding
 Parafimosis
 Balanitis
 Angioedema
TATA LAKSANA
 Salep kortikosteroid (0,05% betametason) 2 kali per hari
selama 2-8 minggu pada daerah preputium
 Sirkumsisi
 Edukasi agar tidak melakukan penarikan preputium secara
berlebihan ketika membersihkan penis karena dapat
menimbulkan parut
 Fimosis fisiologis : seiring dengan perkembangan maka
kondisi akan membaik dengan sendirinya
RESEP
R/ Betamethasone dipropionate 0,05% cr 5 tube No. I
S 2 dd ue applic part dol
Parafimosis (4A)
PEMERIKSAAN FISIK

 Preputium tertarik ke belakang glans penis dan


tidak dapat dikembalikan ke posisi semula
 Eritema dan edema pada glans penis
 Nyeri
 Jika terjadi nekrosis glans penis berubah warna
menjadi biru hingga kehitaman
DIAGNOSIS BANDING
 Angioedema
 Balanitis
 Penile hematoma
Manual Reduction Paraphymotic

 Apply a liberal amount of the local anesthetic cream to the glans and foreskin.
 Wait for the anesthesia to take effect.
 Clean the penis of the local anesthetic cream.
 Apply an antiseptic solution to the penis and foreskin
 Place sterile drapes to create a sterile field around the penis.
 Apply slow and steady manual compression over the glans penis and
edematous foreskin, squeezing distally to proximally in order to mobilize the
edema proximally. The pressure should be applied for 5-10 minutes
 After manual compression, position the thumbs on both sides of the urethral
meatus and the index and middle fingers proximal to the phimotic ring
 Apply continuous force to move the phimotic ring distally over the glans 
 The successfully reduced foreskin should look like a normal uncircumcised
penis
Dorsal Slit Paraphimotic
Foreskin
 Administer parenteral analgesia followed by local anesthesia of the foreskin and
penis.
 Apply povidone-iodine solution to the penis in circular motions from the glans
and proximally to include the scrotum and the surrounding skin.
 Apply sterile drapes to create a sterile field.
 Apply 2 hemostats over the foreskin and phimotic ring at the 11-o'clock and 1-
o'clock positions. Be sure not to clamp the skin of the penile shaft.
 Pull the 2 hemostats away from each other. Using Iris scissors or a No. 15
scalpel, incise the foreskin at the 12-o'clock position.
 Remove the hemostats, cover with a dry sterile gauze pad, and let the edges ooze
for a few minutes. Then, reduce the paraphimotic foreskin using a manual
technique.
Torsio Testis (3B)
Patogenesis
 Pergerakan testis secara berlebihan :
 Perubahan suhu mendadak
 Ketakutan
 Latihan yang berlebihan
 Batuk
 Celana yang terlalu ketat
 Defekasi
 Trauma skrotum
 Torsio testis ekstravaginal : karena kurangnya jaringan
penyanggah, pada janin dan neonatus
 Torsio testis intravaginal : pada anomali bell-clapper (tunica
vaginalis mengelilingi seluruh permukaan testis, mencegah insersi
epididimis)
Pemeriksaan Penunjang
 Ultrasonografi Doppler
 Stetoskop Doppler

 Scintigraphy testis

Tidak ada aliran darah testis

Pemeriksaan Diagnosis Banding:


 Darah Rutin : tanda radang (-)

 Urinalisis : leukosit (-)


Diagnosis Banding
 Epididimitis Akut : nyeri akut, demam, sekret (+),
riwayat coitus suspectus, phren sign (+),
leukosituria, bakteriuria
 Hernia skrotalis inkarserata : riw. benjolan dapat
keluar-masuk
 Hidrokel terinfeksi : riw. Benjolan sebelumnya
 Tumor testis : tidak nyeri kecuali jika perdarahan
dan orchidopexy pada testis kontralateral

• Detorsi manual dengan memutar testis ke arah berlawanan


torsio (putar lateral  tidak ada perubahan  putar medial).
Detorsi berhasil ditandai dengan hilangnya nyeri
Ruptur Ginjal (3B)
Diagnosis

 Trauma di daerah pinggang, punggung, dada sebelah


bawah dan perut bagian atas dengan disertai nyeri atau
didapatkan adanya jejas pada daerah itu.
 Hematuri
 Fraktur costa sebelah bawah (T8-12)
 Trauma tembus pada daerah abdomen atau pinggang
 Cedera deselerasi yang berat akibat jatuh dari ketinggian
atau kecelakaan lalu lintas
GRADING AAST
Pemeriksaan Penunjang
 Darah Rutin (serial)
 CT scan kontras
Computed Tomography-scan
 Ct-scan merupakan gold standard untuk penilaian trauma renal
Tata Laksana
 Bed rest
 Resusitasi cairan
 Pemasangan kateter urin
 Observasi TTV, KU, hematologi serial
 Rujuk untuk pemeriksaan CT scan kontras
(hemodinamik stabil) atau untuk laparotomi CITO
(hemodinamik tidak stabil)
Ruptur Vesica Urinaria (3B)
GRADING
Klasifikasi
Kontusio buli-buli Cedera ekstraperitoneal Cedera intraperitoneal
Hanya terdapat memar pada Terjadi kurang lebih 45-60% Terjadi kurang lebih 25-45%
dinding, mungkin terdapat dari seluruh trauma buli-buli. dari seluruh trauma buli-buli.
hematoma perivesikel, Tidak jarang terjadi bersamaan Terjadi pengaliran urin ke
tetapi tidak didapatkan dengan cedera buli rongga peritoneal sehingga
ekstravasasi urin ke luar intraperitoneal menyebabkan inflamasi
buli-buli bahkan infeksi (peritonitis)
Pemeriksaan Penunjang
 Darah Rutin
 Urinalisis
 Cystogram kontras dengan CT scan atau BNO
Extraperitoneal Bladder Intraperitoneal
Rupture Bladder Rupture
Tata Laksana
 Bed rest
 Resusitasi cairan
 Pemasangan kateter
 Observasi TTV, KU
 Rujuk untuk cystogram
 Ruptur ekstraperitoneal : bladder rest ± 2 minggu
 Ruptur intraperitoneal : laparotomi CITO
Ruptur Uretra (3B)
TANDA KLINIS
Ruptur Uretra Anterior

 Cedera dari luar yang sering menyebabkan kerusakan


uretra anterior adalah straddle injury (cedera
selangkangan) yaitu uretra terjepit diantara tulang pelvis
dan benda tumpul.
 Jenis kerusakan uretra yang terjadi berupa: kontusio

dinding uretra, rupture parsial, atau rupture total dinding


uretra.
Diagnosis
 Riwayat trauma/ kontusio uretra
 Meatal bleeding atau hematuria
 Hematom pada penis
 Butterfly hematoma
Ruptur uretra posterior
 Rupture uretra posterior paling sering disebabkan
oleh fraktur tulang pelvis.
 Fraktur yang mengenai ramus atau simfisis pubis dan
menimbulkan kerusakan pada cincin pelvis,
menyebabkan robekan uretra pars prostate-
membranasea.
Klasifikasi

Colapinto dan McCollum (1976) membagi derajat cedera uretra


dalam 3 jenis :
 Uretra posterior masih utuh dan hanya mengalami stretching

(peregangan).
 Uretra posterior terputus pada perbatasan prostate-

membranasea, selanjutnya diafragma urogenitalia masih utuh.


 Uretra posterior, diafragma urogenitalis, dan uretra pars

bulbosa sebelah proksimal ikut rusak.


Diagnosis

 Rupture uretra posterior seringkali memberikan


gambaran yang khas berupa:
(1) meatal bleeding,
(2) retensi urin, dan
(3) floating prostate (prostat melayang) di dalam suatu
hematom.
3A
Tata Laksana
 Bed Rest
 Resusitasi cairan
 Pungsi suprapubik
 Observasi TTV, KU
 Rujuk untuk uretrography retrograde, sistostomi
suprapubik, dan repair uretra
Priapismus (3B)
Priapismus
 Ereksi penis yang berkepanjangan tanpa diikuti
dengan hasrat seksual.
 Klasifikasi :
 Primer (idiopatik) : belum jelas penyebabnya (60%)
 Sekunder : kelainan pembekuan darah, trauma pada
perineum atau genitalia, gangguan neurogen,
keganasan, pemakaian obat tertentu, pasca injeksi
intrakavernosa dengan zat vasoaktif
 Komplikasi : disfungsi ereksi
Klasifikasi

Color doppler : tidak ada aliran Color doppler : ada aliran, fistula
Arteriografi : pembuluh darah utuh Arteriografi : malformasi arterio-vena
Pemeriksaan
 Pemeriksaan Fisik : batang penis tegang tanpa
diikuti ketegangan pada glans penis
 Pemeriksaan Penunjang :
 USG Doppler pada arteri kavernosa
 Analisis Gas Darah intrakavernosa
Treatment
 Erection < 4 hours in most cases, respond to conservative
measures.
 Immediate treatment :
 The use of ice packs to the perineum and penis
 Asking the patient to walk up stairs
 External perineal compression
 Oral treatment :
 Oral terbutaline dose of 5-10 mg followed by another 5-10 mg
15 minutes later
 Oral pseudoephedrine 60-120 mg. If no resolution occurs within
30 minutes, injection therapy is required.
Low-Flow Priapism
Aspiration of the corpus cavernosum
 Perform a penile nerve block. Inject around the entire base of the penile shaft

with 1% lidocaine without epinephrine or bupivacaine without epinephrine. Use


a 19G needle attached to a large syringe to puncture the corpus cavernosum. The
needle should be inserted through the shaft of the penis laterally to avoid the
corpus spongiosum and urethra ventrally and the neurovascular bundle dorsally.
 Aspirate 20-30 mL of blood from either the 2-o'clock or 10-o'clock position

while milking the shaft. Aspiration alone has a success rate of around 30%.
Injection of the corpus cavernosum
 Intracavernosal phenylephrine is the drug of choice and first-line treatment of

low-flow priapism. Use a mixture of 1 amp phenylephrine (1 mL:1000 mcg) and


dilute it with an additional 9 mL of normal saline. Using a 29G needle, inject
0.3-0.5 mL into the corpora cavernosa, waiting 10-15 minutes between
injections. Monitor vital signs and apply compression to the area of injection.
 If aspiration or injection is successful in producing detumescence, place an

elastic bandage around the shaft of the penis to ensure continued emptying of the
corpora and to compress the puncture site.
High-Flow Priapism
 Acutely, observation alone may be sufficient for high-flow
priapism, because many cases resolve spontaneously, and
even with prolonged priapism these patients are unlikely to
experience significant pathological damage or impaired
erectile function.
 Compression therapy may be successful in certain cases
 Selective angiography with subsequent embolization
for patients who do not respond to more conservative
measures.
 Surgical ligation of the fistula may be required with potential
complications include long-term impotence.
Batu Saluran Kemih Tanpa Kolik (3A)
Klasifikasi batu berdasarkan etiologi
Batu Gene

89
non-
Batu Drug
infeksi infeksi tik stone

Kalsium ●
MAP ●
Sistin Silikat ●

oksalat ●
Karbonat Xanthyn
triamtere



Kalsium fosfat apatit ●
2,8-

Asam urat ●
Amonium urat n
dihidroksiadenin
• Klasifikasi batu berdasarkan letaknya
1. Batu ginjal dan ureter
2. Batu buli-buli
3. Batu uretra
90

 Gambaran Klinis

Keluha Temuan
Pemeriks
Laboratori
n aan Fisik um

Nyeri ketok CVA ●
Leukosituria

Nyeri
pada sisi ginjal Hematuria

Hematuria ●

yang sakit

Infeksi ●
Tanda-tanda gagal

Kristal

Demam pembentuk
ginjal

Mual dan muntah batu

Retensi urin
91

 Pemeriksaan penunjang
 Foto polos abdomen (BNO)  melihat adanya batu
radio-opak di saluran kemih
 Batu berdasarkan radio-opasitasnya:

Radio-opak Semi-opak Radio-lusen


Kalsium oksalat Magnesium Asam urat
dihidrat amonium fosfat
Kalsium oksalat Apatite Amonium urat
monohidrat
Kalsium fosfat Sistin Xanthin
2,8-
dihidroksiadenin

Drug-stone
97
 Pilihan tatalaksana

Medikament ESWL
(Extracorporeal Shock
osa Wave Lithotripsy)

Untuk batu dengan ukuran < ●
Alat untuk memecah batu ginjal,
5mm batu ureter proksimal atau batu

Analgetik buli

Diuretik ●
Batu dipecah menjadi kecil

Banyak minum dengan gelombang kejut 

Batas lama  6 minggu dikeluarkan melalui saluran kemih
98

Endourolog Pembedaha
i n

PNL (Percutaneous Nephro ●
Bedah laparoskopi  banyak
Litholapaxy)  batu ginjal dipakai untuk mengambil batu
atau batu ureter proksimal ureter
dengan ukuran > 2,5 cm ●
Bedah terbuka

Ureteroskopi atau uretero- ●
Batu pada saluran ginjal 
renoskopi pielolitotomi atau nefrolitotomi

Ekstraksi Dormia ●
Batu ureter  ureterolitotomi
99 Algoritma Tatalaksana pada Batu Ginjal (EAU, 2014)
100

 Pencegahan
 Angka kekambuhan batu saluran kemih rata-rata 7%
per tahun atau ± 50% dalam 10 tahun.
 Pencegahan berupa:
 Menghindari dehidrasi dengan minum cukup
 Diet untuk mengurangi kadar zat komponen pembentuk
batu
 Aktivitas harian yang cukup
 Pemberian medikamentosa
Vesikolithiasis
101

 Gambaran klinis
 Gejala iritasi
 Nyeri kencing/disuria hingga stranguri
 Perasaan tidak enak sewaktu kencing
 Kencing tiba-tiba terhenti kemudian menjadi lancar kembali
dengan perubahan posisi tubuh
 Jenis batu  asam urat, struvit
 Pemeriksaan  USG, IVU
 Tatalaksana
 Litotripsi
 vesikolitotomi
Uretrolithiasis
102

 Gambaran Klinis
 Keluhan:
 retensi urine, yang mungkin sebelumnya didahului dengan
nyeri pinggang.
 Pancaran urine yang tersendat (intermittent)
 Hematuria terminal
 Infeksi saluran kemih
 Kencing yang menetes
 Terasa nyeri berat dan menjalar ke ujung penis
 Batu yang berada di uretra anterior seringkali dapat diraba
103

 Tatalaksana  posisi, ukuran, bentuk batu


 MUE atau fossa navikularis  forsep dengan terlebih
dahulu memasukan campran jelly dan lidokain 2%
intrauretra
 Uretra posterior  batu didorong ke bulibuli, lalu
dilakukan litotripsi
 Uretrolitotomi  batu berukuran besar dan menempel
di uretra
Kolik Renal (3A)
 Tanda
 Gejala
 Pemeriksaan Fisik
 Pemeriksaan Penunjang
 Diagnosis
 Diagnosis Banding
 Tatalaksana (Resep)
Glomerulonefritis Akut (3A)
 Tanda
 Gejala
 Pemeriksaan Fisik
 Pemeriksaan Penunjang
 Diagnosis
 Diagnosis Banding
 Tatalaksana (Resep)
Glomerulonefritis Kronik (3A)
 Tanda
 Gejala
 Pemeriksaan Fisik
 Pemeriksaan Penunjang
 Diagnosis
 Diagnosis Banding
 Tatalaksana (Resep)
Prostatitis (3A)
 Tanda
 Gejala
 Pemeriksaan Fisik
 Pemeriksaan Penunjang
 Diagnosis
 Diagnosis Banding
 Tatalaksana (Resep)
Chancroid (3A)
 Tanda
 Gejala
 Pemeriksaan Fisik
 Pemeriksaan Penunjang
 Diagnosis
 Diagnosis Banding
 Tatalaksana (Resep)
KETERAMPILAN
KLINIS
PEMERIKSAAN FISIK GINJAL DAN
SALURAN KEMIH

1. Jelaskan kepada pasien prosedur dan 7. Minta pasien untuk bernapas dalam, saat
tujuan pemeriksaan. pasien inspirasi maksimal, tekan
abdomen tepat di bawah kosta untuk
2. Posisikan pasien berbaring dengan
menilai ginjal, saat ginjal ada di antara
rileks.
kedua tangan pemeriksa. Nilai ukuran
3. Ekspos bagian abdomen dari daerah dan kontur ginjal.
prosesus sipoideus sampai dengan 8. Kemudian minta pasien untuk
simpisis pubis. menghembuskan napas perlahan sambil
4. Pemeriksa berdiri di sisi kanan pasien. tangan pemeriksa dilepaskan secara
perlahan.
5. Letakkan tangan kanan di bawah
pinggang pasien tepat di bawah kosta 9. Lakukan cara yang sama untuk menilai
ke-12 dan jari-jari tangan menyentuh ginjal kanan, dengan pemeriksa berdiri di
sisi bawah sudut kostovertebra. sisi sebelah kanan pasien.
Kemudian dorong ginjal ke arah
anterior.
6. Tangan kiri diletakkan di kuadran kiri
atas abdomen.
Pemeriksaan Nyeri Ketok Ginjal
Penilaian Tinggi Kandung 1. Pasien dalam posisi duduk, pemeriksa
Kemih berdiri di sisi ginjal yang akan di
 1. Pasien dalam posisi berbaring. periksa.
 2. Lakukan palpasi di atas 2. Jelaskan kepada pasien tindakan yang
simfisis pubis, kemudian perkusi akan dilakukan.
untuk menentukan seberapa 3. Letakkan tangan kiri di sudut
tinggi kandung kemih di atas kostovertebra, terkadang penekanan
simfisis pubis oleh jari-jari tangan sudah dapat
menimbulkan nyeri.
Refleks Bulbocavernosus 4. Lakukan perkusi dengan
mengepalkan tangan kanan untuk
Refleks jepitan sfincter ani memberi pukulan di atas tangan kiri
akibat rangsangan nyeri di pinggang pasien. Berikan pukulan
pada glans penis/klitoris sedang, yang tidak akan
menimbulkan nyeri pada orang
normal.
Analisis Hasil Pemeriksaan
1. Pada kondisi normal, ginjal kanan dapat teraba,
khususnya pada orang yang kurus. Sedangkan
ginjal kiri jarang dapat teraba.
2. Secara normal, kandung kemih tidak teraba. Dalam
keadaan distensi, kandung kemih dapat teraba di
atas simfisis pubis.
PEMERIKSAAN GENITALIA
PRIA
Alat dan Bahan
 1. Ruang pemeriksaan
 2. Sarung tangan

Teknik Pemeriksaan
 1. Jelaskan kepada pasien tujuan dan prosedur pemeriksaan
 2. Dokter ditemani oleh asisten dalam melakukan pemeriksaan
 3. Kondisikan ruang pemeriksaan yang nyaman
 4. Cuci tangan dan gunakan sarung tangan
 5. Bebaskan alat genital untuk pemeriksaan
Penis
1. Lakukan inspeksi pada penis, nilai kulit di sekitar penis apakah terdapat
ekskoriasi atau inflamasi.
2. Tarik preputium ke belakang atau minta pasien yang melakukan, perhatikan
apakah terdapat karsinoma, smegma, atau kotoran di bawah lipatan kulit, dan
gland, perhatikan apakah terdapat ulserasi, skar, nodul, atau tanda-tanda
inflamasi.
3. Nilai posisi dari meatus uretra.
4. Tekan glans penis menggunakan ibu jari dan telunjuk, untuk menilai apakah
terdapat discharge. Jika tidak terdapat discharge, namun pasien mengeluhkan
terdapat discharge, maka lakukan pemijatan penis dari pangkal hingga glans
untuk mengeluarkan discharge. Sediakan tabung untuk kultur discharge.
5. Lakukan palpasi pada penis, nilai apakah terdapat benjolan atau indurasi.
6. Kembalikan preputium ke posisi semula sebelum melakukan pemeriksaan
lainnya.
Skrotum
1. Lakukan inspeksi, nilai kulit dan kontur dari skrotum. Angkat skrotum
untuk menilai permukaan posterior skrotum, perhatikan apakah ada
benjolan atau pelebaran pembuluh darah vena.
2. Palpasi testis dan epididimis menggunakan ibu jari, telunjuk, dan jari
tengah. Nilai ukuran, bentuk, konsistensi, dan perhatikan apakah
terdapat nodul.
3. Palpasi korda spermatikus, menggunakan ibu jari jari-jari dari belakang
epididymis ke cincin inguinal superfisial. Perhatikan apakah ada nodul
atau pembengkakan.
4. Untuk menilai pembesaran skrotum di luar testis, dapat dilakukan
pemeriksaan transluminasi. Di dalam ruang pemeriksaan yang gelap,
arahkan sinar senter dari belakang skrotum, jika terdapat cairan, maka
akan tampak bayangan merah dari transmisi sinar melewati cairan.
PEMERIKSAAN BNO-IVP
 Pemeriksaan untuk menilai anatomi dan kelainan fungsi ginjal dan
saluran kemih
 Kontras : yodium dosis 300 mg/kgBB atau 1 ml/kgBB (wajib
periksa Ur,Cr)  suntik IV  buat foto serial
 Indikasi:
 Hidronefrosis yang belum diketahui penyebabnya
 Riwayat hematuria
 Riwayat passing stone
 Riwayat operasi saluran kemih
 ISK berulang
 Terapi ESWL
 Anak dengan kelainan kongenital traktus urinarius
 Konfirmasi temuan USG dan BNO yang berbeda
Fase BNO-IVP
 Nefrogram : kontras mengisi glomerulus dan tubulus ginjal
 Pielogram : kontras mengisi sistem pelviokalises
 Cystogram : kontras mengisi ureter dan VU

 Menit 0 : foto polos abdomen


 Menit 5 : kontras mengisi parenkim dan sistem peliokalises
 Menit 15 : kontras mengisi ureter dan VU
 Menit 30 (foto berdiri) : menilai adanya perubahan posisi ginjal
(ren mobilis)
 Menit 60 : menilai keseluruhan anatomi
 Post voiding: menilai sisa kontras dan divertikel VU
Contoh Pelaporan
 Pada menit ke-5 tampak kontras sudah mengisi sistem
pelviokalises ginjal. Tampak bayangan hitam di antara
kontras.
 Diagnosis : Nefrolitiasis dextra di kaliks inferior

 Delayed ekskresi :
 Kontras belum mengisi pielum hingga menit ke-15
 Tetap ada kontras hingga akhir fase BNO-IVP
 Non visual : ginjal tidak terlihat hingga akhir fase BNO
IVP
PEMASANGAN KATETER
URETRA
Alat dan Bahan
 1. Bak steril

 2. Kateter foley steril : untuk dewasa ukuran no. 16 atau 18

 3. Handschoon steril

 4. Kasa dan antiseptik (povidone iodine)

 5. Doek bolong

 6. Pelicin – jelly

 7. Pinset steril

 8. Klem

 9. NaCl atau aqua steril

 10. Spuit 10 CC

 11. Urine bag


Teknik Tindakan
1. Informed consent
2. Persiapkan alat dan bahan steril dalam bak steril
3. Lakukan tindakan aseptik antiseptik dengan:
 - Mencuci tangan menggunakan antiseptik

 - Menggunakan sarung tangan steril

 -Melakukan desinfeksi meatus eksternus, seluruh penis, skrotum dan perineum

 - Melakukan pemasangan doek bolong

4. Keluarkan kateter dari bungkus keduanya.


5. Masukkan jelly ke dalam spuit tanpa jarum, semprotkan ke uretra. Tutup meatus
agar jelly tidak keluar.
6. Ambil kateter dengan memegang ujung kateter dengan pinset, sedangkan
pangkal kateter (bagian yang bercabang) dibiarkan atau dikaitkan pada jari
manis dan kelingking.
7. Masukkan kateter secara perlahan.
 5. Bila pada saat memasukkan kateter terasa tertahan, pasien diminta
untuk menarik napas dalam dan relaks. Kemudian tekan beberapa
menit sehingga kateter berhasil melewati bagian tersebut.
 6. Bila telah sampai di vesika, kateter akan mengeluarkan urin.
 7. Klem terlebih dahulu kateter, kemudian masukkan sisa kateter
hingga batas percabangan pada pangkal kateter.
 8. Masukkan NaCl atau aqua steril menggunakan spuit tanpa jarum,
melalui cabang untuk mengembangkan balon kateter dan balon
menutup orifisium. Tarik sisa kateter.
 9. Klem kateter dihubungkan dengan kantung urin, kemudian buka
klemnya.
 10. Lakukan fiksasi pada paha atau inguinal.
 11. Nilai urin dan jumlah yang dikeluarkan setelah kateter dipasang
SIRKUMSISI
Alat dan Bahan
 1. Spuit 3 cc

 2. Lidokain ampul

 3. Klem hemostat (3 buah): 1 buah hemostat lurus, 2 buah hemostat bengkok

 4. Gunting jaringan

 5. Needle holder

 6. Scalpel no.15

 7. Benang catgut

 8. Duk steril

 9. Sarung tangan steril

 10. Larutan iodium

 11. Alkohol 70%

 12. Kassa steril

 13. Bengkok

 14. Kom
Prosedur Tindakan
1. Persiapkan alat dan bahan.
2. Jelaskan jenis dan prosedur tindakan yang akan dilakukan.
3. Minta pasien berbaring di meja periksa.
4. Bersihkan penis dengan air sabun
5. Operator mencuci tangan.
6. Menggunakan APD, posisi operator di sebelah kiri pasien.
7. Melakukan aseptik dan antiseptik pada penis dan sekitarnya secara sentrifugal dengan penis sebagai pusat.
8. Pasang doek berlubang steril.
9. Lakukan tindakan anestesi blok pada pangkal penis di bagian dorsal yang memblok nervus dorsalis penis.
Tusukkan jarum pada pangkal penis di sebelah dorsal tegak lurus terhadap batang penis, hingga terasa sensasi
seperti menembus kertas. Pada saat itu jarum telah menembus fascia Buck tempat nervus dorsalis penis berada
dibawahnya. Tanda lain jarum sudah menembus fascia Buck adalah jika jarum ditarik ke atas, penis terangkat
dan bila obat disuntikkan tidak terjadi edema. Kemudian miringkan jarum ke sisi batang penis.
10. Lakukan aspirasi, bila jarum tidak masuk ke pembuluh darah, suntikkan zat anestesi sebanyak 1-2 cc, lalu
pindahkan ke sisi lainnya suntikkan kembali zat anestesi seperti sebelumnya.
11. Tambahkan anestesi infiltrasi pada daerah frenulum. Lakukan pijatan pada daerah bekas suntikan agar obat
tersebar.
12. Tunggu kurang lebih 5 menit, lepaskan perlekatan prepusium (bila ada) secara perlahan.
13. Yakinkan anestesi sudah bekerja dengan penjepit prepusium tampa memberi tahu pasien.
14. Bila anestesi telah bekerja, tindakan sirkumsisi dapat dilakukan.
Operasi Klasik (guillotine)
 a. Jepit prepusium dengan klem Kocher pada jam 6 dan jam 12.
 b. Kemudian jepit prepusium melintang pada sumbu panjang penis,
sedikit miring ke bawah (frenulum dilebihkan).
 c. Pastikan glans penis tidak terjepit, lalu prepusium dipotong dengan
pisau. Pemotongan dilakukan di sisi distal klem.
 d. Perdarahan yang terjadi dirawat dengan klem dan diligasi.
 e. Setelah perdarahan dihentikan, lakukan penjahitan mukosa-kulit.
 f. Arah penusukan jarum dilakukan dari mukosa ke kulit. Khusus
untuk frenulum, gunakan jahitan berbentuk angka 8 atau 0. Hal ini
dilakukan untuk meyakinkan pembuluh darah pada frenulum terikat.
 g. Jumlah jahitan disesuaikan dengan kondisi, agar luka dijahit rapat
dan kesembuhan berlangsung cepat.
Operasi Dorsumsisi (Dorsal Slit Operation)

 a. Pasang klem Kocher pada jam 6, 11 dan jam 1.


 b. Lakukan diseksi lurus dengan gunting. Lakukan pemotongan preputium sejajar
dengan sumbu panjang penis ke arah sulkus koronarius glandis hingga ¼ sampai
½ cm dari bagian distal sulkus koronarius glandis.
 c. Jahit mukosa-kulit pada jam 12, simpul jangan dipotong namun dijepit dengan
klem arteri pean lurus sebagai teugel (kendali) untuk memudahkan tindakan
selanjutnya.
 d. Lanjutkan pemotongan prepusium ke samping sejajar sulkus koronariusglandis
dengan jarak ¼ sampai ½ cm sari distal sulkus koronarius glandis.
 e. Perdarahan yang terjadi dirawat dengan klem mosquito dan diligasi dengan
plain catgut.
 f. Lakukan teugel pada jam 3, 9, dan jam 6 (frenulum). Khusus pada frenulum,
jahitan teugel berbentuk angka 8 atau 0.
 g. Setelah yakin tidak ada perdarahan yang belum dihentikan, lakukan penjahitan
mukosa-kulit secara terputus-putus dengan plai catgut
Lanjutan
 Bersihkan luka dengan akuades atau NaCl 0,9%. Setelah
bersih dari noda darah, cuci dengan alkohol 70%.
 Bubuhi luka dengan levertraan (salep minyak ikan), betadine,
atau bioplacenton atau tutup dengan sofratulle, kemudian
tutup dengan kassa steril.
 Kassa penutup dirapihkan dan di plester.
 Pasien diberi antibiotika, analgesik dan roboransia.

Anda mungkin juga menyukai