Anda di halaman 1dari 62

PERMENKES RI NO.

73 TAHUN 2016
TENTANG STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI
APOTEK

KELOMPOK 5
1. ANYSATUL ZAKIYAH (201902007)
2. GESI GUSTI (201902022)
3. IRMAYANTI SYARIF (201902028
4. M. FAHREZA DWIKI ANUGRAH
(201902039)
5. NATASYA KAMILA DAMYANTI
SAPUTRI ARLIN (201902044)
6. NIRWANA RAHAYU (201902046)
7. NURFADILLA (201902051)
DAFTAR ISI
 PENDAHULUAN [ Menimbang, mengingat, menetapkan]
 BAB I [Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek ]
 BAB II [ Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, Dan Bahan Medis Habis
Pakai ]
 BAB III [ Pelayanan Farmasi Klinik ]
 BAB IV [ Sumber Daya Kefarmasian ]
 BAB V [ Evaluasi Mutu Pelayanan Kefarmasian ]
 BAB VI [ Penutup ]
PENDAHULUAN
Menimbang : a. bahwa Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 35 Tahun 2014 tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian di Apotek sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 35 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 35 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek masih belum
memenuhi kebutuhan hukum di masyarakat sehingga perlu dilakukan perubahan;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan
Peraturan Menteri Kesehatan tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3671);
2. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 143, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5062);
3. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063);
4. UndangUndang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor
244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan
UndangUndang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5679);
5. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor
298, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5607);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 124, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5044);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5419);
8. Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata
Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen, sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor
145 Tahun
2015 tentang Perubahan Kedelapan atas Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi,
Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Kementerian
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 322);
9. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 64 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 1508);
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KESEHATAN TENTANG STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK
PASAL 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik kefarmasian oleh Apoteker.
2. Standar Pelayanan Kefarmasian adalah tolak ukur yang dipergunakan sebagai pedoman bagi tenaga kefarmasian
dalam menyelenggarakan pelayanan kefarmasian.
3. Pelayanan Kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan
dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien.
4. Resep adalah permintaan tertulis dari dokter atau dokter gigi, kepada Apoteker, baik dalam bentuk paper maupun
electronic untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan yang berlaku.
5. Sediaan Farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetika.
6. Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau
menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan,
pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi untuk manusia.
7. Alat Kesehatan adalah instrumen, aparatus, mesin dan/atau implan yang tidak mengandung obat yang digunakan
untuk mencegah, mendiagnosis, menyembuhkan dan meringankan penyakit, merawat orang sakit, memulihkan
kesehatan pada manusia, dan/atau membentuk struktur dan memperbaiki fungsi tubuh.
8. Bahan Medis Habis Pakai adalah alat kesehatan yang ditujukan untuk penggunaan
sekali pakai (single use) yang daftar produknya diatur dalam peraturan perundang-
undangan.
9. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah
mengucapkan sumpah jabatan Apoteker.
10. Tenaga Teknis Kefarmasian adalah tenaga yang membantu Apoteker dalam
menjalani Pekerjaan Kefarmasian, yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli Madya
Farmasi, dan Analis Farmasi.
11. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal pada Kementerian Kesehatan yang
bertanggung jawab di bidang kefarmasian dan alat kesehatan.
12. Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan yang selanjutnya disingkat Kepala
BPOM adalah Kepala Lembaga Pemerintah Non Kementerian yang mempunyai tugas
untuk melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan.
13. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
kesehatan.
PASAL 2
Pengaturan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bertujuan untuk:
a. meningkatkan mutu Pelayanan Kefarmasian;
b. menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian; dan
c. melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan Obat yang tidak rasional
dalam rangka keselamatan pasien (patient safety).
PASAL 3
(1) Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek meliputi standar:
a. pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai; dan
b. pelayanan farmasi klinik.
(2) Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a meliputi:
a. perencanaan;
b. pengadaan;
c. penerimaan;
d. penyimpanan;
e. pemusnahan;
f. pengendalian; dan
g. pencatatan dan pelaporan
(3) Pelayanan farmasi klinik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
a. pengkajian Resep;
b. dispensing;
c. Pelayanan Informasi Obat (PIO);
d. konseling;
e. Pelayanan Kefarmasian di rumah (home pharmacy care);
f. Pemantauan Terapi Obat (PTO); dan
g. Monitoring Efek Samping Obat (MESO).
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai dan pelayanan farmasi klinik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat
(3) tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Menteri ini.
PASAL 4

(1) Penyelenggaraan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek harus didukung oleh


ketersediaan sumber daya kefarmasian yang berorientasi kepada keselamatan pasien.
(2) Sumber daya kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. sumber daya manusia; dan
b. sarana dan prasarana.
PASAL 5

(1) Untuk menjamin mutu Pelayanan Kefarmasian di Apotek, harus dilakukan


evaluasi mutu Pelayananan Kefarmasian.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai evaluasi mutu Pelayananan Kefarmasian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
PASAL 6
Penyelenggaraan Pelayanan Kefarmasian di Apotek harus menjamin ketersediaan
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang aman,
bermutu, bermanfaat, dan terjangkau.

PASAL 7
Penyelenggarakan Pelayanan Kefarmasian di Apotek wajib mengikuti Standar
Pelayanan Kefarmasian sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini
PASAL 8
Apotek wajib mengirimkan laporan Pelayanan Kefarmasian secara berjenjang kepada dinas
kesehatan kabupaten/kota, dinas kesehatan provinsi, dan kementerian kesehatan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

PASAL 9
(1) Pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Menteri ini
dilakukan oleh Menteri, kepala dinas kesehatan provinsi, dan kepala dinas kesehatan
kabupaten/kota sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing.
(2) Pelaksanaan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat melibatkan organisasi profesi.
PASAL 10
(1) Pengawasan selain dilaksanakan oleh Menteri, kepala dinas kesehatan provinsi dan
kepala dinas kesehatan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 Ayat (1),
khusus terkait dengan pengawasan sediaan farmasi dalam pengelolaan sediaan farmasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a dilakukan juga oleh Kepala BPOM
sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing.
(2) Selain pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala BPOM dapat
melakukan pemantauan, pemberian bimbingan, dan pembinaan terhadap pengelolaan
sediaan farmasi di instansi pemerintah dan masyarakat di bidang pengawasan sediaan
farmasi
PASAL 11
(1) Pengawasan yang dilakukan oleh dinas kesehatan provinsi dan dinas kesehatan
kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan pengawasan yang
dilakukan oleh Kepala BPOM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1)
dilaporkan secara berkala kepada Menteri.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling sedikit 1 (satu)
kali dalam 1 (satu) tahun.

PASAL 12
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Peraturan Menteri ini dapat dikenai sanksi administratif.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara kegiatan; dan/atau
c. pencabutan izin.
PASAL 13
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 35
Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 1162) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 35 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 35 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek
(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 1169), dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku.

PASAL 14
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyebutkan bahwa praktik kefarmasian meliputi
pembuatan termasuk pengendalian mutu Sediaan Farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan
pendistribusian Obat, pelayanan Obat atas Resep dokter, pelayanan informasi Obat serta pengembangan Obat,
bahan Obat dan Obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan kewenangan pada peraturan perundang-undangan, Pelayanan Kefarmasian telah mengalami
perubahan yang semula hanya berfokus kepada pengelolaan Obat (drug oriented) berkembang menjadi pelayanan
komprehensif meliputi pelayanan Obat dan pelayanan farmasi klinik yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas
hidup pasien. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian menyatakan bahwa
Pekerjaan Kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu Sediaan Farmasi, pengamanan, pengadaan,
penyimpanan dan pendistribusian atau penyaluran Obat, pengelolaan Obat, pelayanan Obat atas Resep dokter,
pelayanan informasi Obat, serta pengembangan Obat, bahan Obat dan Obat tradisional. Pekerjaan kefarmasian
tersebut harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. Peran
Apoteker dituntut untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan perilaku agar dapat melaksanakan interaksi
langsung
dengan pasien. Bentuk interaksi tersebut antara lain adalah pemberian informasi Obat dan konseling
kepada pasien yang membutuhkan.
Apoteker harus memahami dan menyadari kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan (medication
error) dalam proses pelayanan dan mengidentifikasi, mencegah, serta mengatasi masalah terkait Obat (drug
related problems), masalah farmakoekonomi, dan farmasi sosial (socio- pharmacoeconomy). Untuk
menghindari hal tersebut, Apoteker harus menjalankan praktik sesuai standar pelayanan. Apoteker juga
harus mampu berkomunikasi dengan tenaga kesehatan lainnya dalam menetapkan terapi untuk mendukung
penggunaan Obat yang rasional. Dalam melakukan praktik tersebut, Apoteker juga dituntut untuk
melakukan monitoring penggunaan Obat, melakukan evaluasi serta mendokumentasikan segala aktivitas
kegiatannya. Untuk melaksanakan semua kegiatan itu, diperlukan Standar Pelayanan Kefarmasian.
Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, di bidang kefarmasian telah terjadi
pergeseran orientasi Pelayanan Kefarmasian dari pengelolaan Obat sebagai komoditi kepada pelayanan
yang komprehensif (pharmaceutical care) dalam pengertian tidak saja sebagai pengelola Obat namun
dalam pengertian yang lebih luas mencakup pelaksanaan pemberian informasi untuk mendukung
penggunaan Obat yang benar dan rasional, monitoring penggunaan Obat untuk mengetahui tujuan akhir,
serta kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan.
B. Ruang Lingkup
Pelayanan Kefarmasian di Apotek meliputi 2 (dua) kegiatan, yaitu kegiatan yang bersifat manajerial berupa
pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai dan pelayanan farmasi klinik.
Kegiatan tersebut harus didukung oleh sumber daya manusia, sarana dan prasarana.
BAB II
PENGELOLAAN SEDIAAN FARMASI, ALAT
KESEHATAN, DAN BAHAN MEDIS HABIS PAKAI
Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai dilakukan sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku meliputi perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan,
pemusnahan, pengendalian, pencatatan dan pelaporan.
A. Perencanaan
Dalam membuat perencanaan pengadaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
perlu diperhatikan pola penyakit, pola konsumsi, budaya dan kemampuan masyarakat.
B. Pengadaan
Untuk menjamin kualitas Pelayanan Kefarmasian maka pengadaan Sediaan Farmasi harus melalui jalur
resmi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
C. Penerimaan
Penerimaan merupakan kegiatan untuk menjamin kesesuaian jenis spesifikasi, jumlah, mutu, waktu
penyerahan dan harga yang tertera dalam surat pesanan dengan kondisi fisik yang diterima.
D. Penyimpanan
1. Obat/bahan Obat harus disimpan dalam wadah asli dari pabrik. Dalam hal
pengecualian atau darurat dimana isi dipindahkan pada wadah lain, maka harus
dicegah terjadinya kontaminasi dan harus ditulis informasi yang jelas pada wadah
baru. Wadah sekurang- kurangnya memuat nama Obat, nomor batch dan tanggal
kadaluwarsa.
2. Semua Obat/bahan Obat harus disimpan pada kondisi yang sesuai sehingga
terjamin keamanan dan stabilitasnya.
3. Tempat penyimpanan obat tidak dipergunakan untuk penyimpanan barang lainnya
yang menyebabkan kontaminasi
4. Sistem penyimpanan dilakukan dengan memperhatikan bentuk sediaan dan kelas
terapi Obat serta disusun secara alfabetis
5. Pengeluaran Obat memakai sistem FEFO (First Expire First Out) dan FIFO (First
In First Out)
E. Pemusnahan dan penarikan
1. Obat kadaluwarsa atau rusak harus dimusnahkan sesuai dengan jenis dan bentuk sediaan. Pemusnahan
Obat kadaluwarsa atau rusak yang mengandung narkotika atau psikotropika dilakukan oleh Apoteker dan
disaksikan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
Pemusnahan Obat selain narkotika dan psikotropika dilakukan oleh Apoteker dan disaksikan oleh tenaga
kefarmasian lain yang memiliki surat izin praktik atau surat izin kerja. Pemusnahan dibuktikan dengan berita
acara pemusnahan menggunakan Formulir 1 sebagaimana terlampir.
2. Resep yang telah disimpan melebihi jangka waktu 5 (lima) tahun dapat dimusnahkan. Pemusnahan Resep
dilakukan oleh Apoteker disaksikan oleh sekurang-kurangnya petugas lain di Apotek dengan cara dibakar
atau cara pemusnahan lain yang dibuktikan dengan Berita Acara Pemusnahan Resep menggunakan Formulir
2 sebagaimana terlampir dan selanjutnya dilaporkan kepada dinas kesehatan kabupaten/kota.
3. Pemusnahan dan penarikan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai yang tidak dapat digunakan
harus dilaksanakan dengan cara yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
4. Penarikan sediaan farmasi yang tidak memenuhi standard/ketentuan peraturan perundang-undangan
dilakukan oleh pemilik izin edar berdasarkan perintah penarikan oleh BPOM (mandatory recall) atau
berdasarkan inisiasi sukarela oleh pemilik izin edar (voluntary recall) dengan tetap memberikan laporan
kepada Kepala BPOM.
5. Penarikan Alat Kesehatan dan Bahan Medis Habis Pakai dilakukan terhadap produk yang izin edarnya
dicabut oleh Menteri.
F. Pengendalian
Pengendalian dilakukan untuk mempertahankan jenis dan jumlah persediaan sesuai kebutuhan
pelayanan, melalui pengaturan sistem pesanan atau pengadaan, penyimpanan dan pengeluaran. Hal ini
bertujuan untuk menghindari terjadinya kelebihan, kekurangan, kekosongan, kerusakan, kadaluwarsa,
kehilangan serta pengembalian pesanan. Pengendalian persediaan dilakukan menggunakan kartu stok
baik dengan cara manual atau elektronik. Kartu stok sekurang- kurangnya memuat nama Obat,
tanggal kadaluwarsa, jumlah pemasukan, jumlah pengeluaran dan sisa persediaan.
G. Pencatatan dan Pelaporan
Pencatatan dilakukan pada setiap proses pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai meliputi pengadaan (surat pesanan, faktur), penyimpanan (kartu stok),
penyerahan (nota atau struk penjualan) dan pencatatan lainnya disesuaikan dengan kebutuhan.
Pelaporan terdiri dari pelaporan internal dan eksternal. Pelaporan internal merupakan pelaporan yang
digunakan untuk kebutuhan manajemen Apotek, meliputi keuangan, barang dan laporan lainnya.
Pelaporan eksternal merupakan pelaporan yang dibuat untuk memenuhi kewajiban sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan, meliputi pelaporan narkotika, psikotropika dan pelaporan
lainnya.
Petunjuk teknis mengenai pencatatan dan pelaporan akan diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal.
BAB III
PELAYANAN FARMASI KLINIK
Pelayanan farmasi klinik di Apotek merupakan bagian dari Pelayanan Kefarmasian yang langsung dan
bertanggung jawab kepada pasien berkaitan dengan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan kualitas hidup
pasien.
Pelayanan farmasi klinik meliputi:
1. pengkajian dan pelayanan Resep;
2. dispensing;
3. Pelayanan Informasi Obat (PIO);
4. konseling;
5. Pelayanan Kefarmasian di rumah (home pharmacy care);
6. Pemantauan Terapi Obat (PTO); dan
7. Monitoring Efek Samping Obat (MESO).
A. Pengkajian dan Pelayanan Resep

Kegiatan pengkajian Resep meliputi administrasi, kesesuaian farmasetik dan pertimbangan klinis.

Kajian administratif meliputi:

1. nama pasien, umur, jenis kelamin dan berat badan;

2. nama dokter, nomor Surat Izin Praktik (SIP), alamat, nomor telepon dan paraf; dan

3. tanggal penulisan Resep.

Kajian kesesuaian farmasetik meliputi:

1. bentuk dan kekuatan sediaan;

2. stabilitas; dan

3. kompatibilitas (ketercampuran Obat).

Pertimbangan klinis meliputi:

1. ketepatan indikasi dan dosis Obat;

2. aturan, cara dan lama penggunaan Obat;

3. duplikasi dan/atau polifarmasi;

4. reaksi Obat yang tidak diinginkan (alergi, efek samping Obat, manifestasi klinis lain);

5. kontra indikasi; dan

6. interaksi.
Jika ditemukan adanya ketidaksesuaian dari hasil pengkajian maka Apoteker harus menghubungi dokter penulis Resep.
Pelayanan Resep dimulai dari penerimaan, pemeriksaan ketersediaan, penyiapan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai termasuk peracikan Obat, pemeriksaan, penyerahan disertai pemberian informasi. Pada setiap
tahap alur pelayanan Resep dilakukan upaya pencegahan terjadinya kesalahan pemberian Obat ( medication error).
Petunjuk teknis mengenai pengkajian dan pelayanan Resep akan diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal.
B. Dispensing
Dispensing terdiri dari penyiapan, penyerahan dan pemberian informasi Obat.
Setelah melakukan pengkajian Resep dilakukan hal sebagai berikut:
1. Menyiapkan Obat sesuai dengan permintaan Resep :
a. menghitung kebutuhan jumlah Obat sesuai dengan Resep;
b. mengambil Obat yang dibutuhkan pada rak penyimpanan dengan memperhatikan nama Obat, tanggal kadaluwarsa
dan keadaan fisik Obat.
2. Melakukan peracikan Obat bila diperlukan
3. Memberikan etiket sekurang-kurangnya meliputi:
a. warna putih untuk Obat dalam/oral;
b. warna biru untuk Obat luar dan suntik;
c. menempelkan label “kocok dahulu” pada sediaan bentuk suspensi atau emulsi.
4. Memasukkan Obat ke dalam wadah yang tepat dan terpisah untuk Obat yang berbeda untuk menjaga mutu Obat dan
menghindari penggunaan yang salah.
Setelah penyiapan Obat dilakukan hal sebagai berikut:
1. Sebelum Obat diserahkan kepada pasien harus dilakukan pemeriksaan kembali mengenai penulisan nama pasien
pada etiket, cara penggunaan serta jenis dan jumlah Obat (kesesuaian antara penulisan etiket dengan Resep);
2. Memanggil nama dan nomor tunggu pasien;
3. Memeriksa ulang identitas dan alamat pasien;
4. Menyerahkan Obat yang disertai pemberian informasi Obat;
5. Memberikan informasi cara penggunaan Obat dan hal-hal yang terkait dengan Obat antara lain manfaat Obat,
makanan dan minuman yang harus dihindari, kemungkinan efek samping, cara penyimpanan Obat dan lain-lain;
6. Penyerahan Obat kepada pasien hendaklah dilakukan dengan cara yang baik, mengingat pasien dalam kondisi
tidak sehat mungkin emosinya tidak stabil;
7. Memastikan bahwa yang menerima Obat adalah pasien atau keluarganya;
8. Membuat salinan Resep sesuai dengan Resep asli dan diparaf oleh Apoteker (apabila diperlukan);
9. Menyimpan Resep pada tempatnya;
10. Apoteker membuat catatan pengobatan pasien dengan menggunakan Formulir 5 sebagaimana terlampir.
Apoteker di Apotek juga dapat melayani Obat non Resep atau pelayanan swamedikasi. Apoteker harus memberikan
edukasi kepada pasien yang memerlukan Obat non Resep untuk penyakit ringan dengan memilihkan Obat bebas atau
bebas terbatas yang sesuai.
C. Pelayanan Informasi Obat (PIO)
Pelayanan Informasi Obat merupakan kegiatan yang dilakukan oleh Apoteker dalam pemberian informasi
mengenai Obat yang tidak memihak, dievaluasi dengan kritis dan dengan bukti terbaik dalam segala aspek
penggunaan Obat kepada profesi kesehatan lain, pasien atau masyarakat. Informasi mengenai Obat
termasuk Obat Resep, Obat bebas dan herbal.
Informasi meliputi dosis, bentuk sediaan, formulasi khusus, rute dan metoda pemberian, farmakokinetik,
farmakologi, terapeutik dan alternatif, efikasi, keamanan penggunaan pada ibu hamil dan menyusui, efek
samping, interaksi, stabilitas, ketersediaan, harga, sifat fisika atau kimia dari Obat dan lain-lain.
Kegiatan Pelayanan Informasi Obat di Apotek meliputi:
1. menjawab pertanyaan baik lisan maupun tulisan;
2. membuat dan menyebarkan buletin/brosur/leaflet, pemberdayaan masyarakat (penyuluhan);
3. memberikan informasi dan edukasi kepada pasien;
4. memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada mahasiswa farmasi yang sedang praktik profesi;
5. melakukan penelitian penggunaan Obat;
6. membuat atau menyampaikan makalah dalam forum ilmiah;
7. melakukan program jaminan mutu.
Pelayanan Informasi Obat harus didokumentasikan untuk membantu penelusuran kembali
dalam waktu yang relatif singkat dengan menggunakan Formulir 6 sebagaimana terlampir.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam dokumentasi pelayanan Informasi Obat :
1. Topik Pertanyaan;
2. Tanggal dan waktu Pelayanan Informasi Obat diberikan;
3. Metode Pelayanan Informasi Obat (lisan, tertulis, lewat telepon);
4. Data pasien (umur, jenis kelamin, berat badan, informasi lain seperti riwayat alergi,
apakah pasien sedang hamil/menyusui, data laboratorium);
5. Uraian pertanyaan;
6. Jawaban pertanyaan;
7. Referensi;
8. Metode pemberian jawaban (lisan, tertulis, pertelepon) dan data Apoteker yang
memberikan Pelayanan Informasi Obat.
D. Konseling
Konseling merupakan proses interaktif antara Apoteker dengan pasien/keluarga untuk
meningkatkan pengetahuan, pemahaman, kesadaran dan kepatuhan sehingga terjadi perubahan
perilaku dalam penggunaan Obat dan menyelesaikan masalah yang dihadapi pasien. Untuk
mengawali konseling, Apoteker menggunakan three prime questions. Apabila tingkat kepatuhan
pasien dinilai rendah, perlu dilanjutkan dengan metode Health Belief Model. Apoteker harus
melakukan verifikasi bahwa pasien atau keluarga pasien sudah memahami Obat yang digunakan.
Kriteria pasien/keluarga pasien yang perlu diberi konseling:
1. Pasien kondisi khusus (pediatri, geriatri, gangguan fungsi hati dan/atau ginjal, ibu hamil dan
menyusui).
2. Pasien dengan terapi jangka panjang/penyakit kronis (misalnya: TB, DM, AIDS, epilepsi).
3. Pasien yang menggunakan Obat dengan instruksi khusus (penggunaan kortikosteroid dengan
tappering down/off).
4. Pasien yang menggunakan Obat dengan indeks terapi sempit (digoksin, fenitoin, teofilin).
5. Pasien dengan polifarmasi; pasien menerima beberapa Obat untuk indikasi penyakit yang
sama. Dalam kelompok ini juga termasuk pemberian lebih dari satu Obat untuk penyakit yang
diketahui dapat disembuhkan dengan satu jenis Obat.
6. Pasien dengan tingkat kepatuhan rendah.
Tahap kegiatan konseling:
1. Membuka komunikasi antara Apoteker dengan pasien
2. Menilai pemahaman pasien tentang penggunaan Obat melalui Three Prime Questions, yaitu:
a. Apa yang disampaikan dokter tentang Obat Anda?
b. Apa yang dijelaskan oleh dokter tentang cara pemakaian Obat Anda?
c. Apa yang dijelaskan oleh dokter tentang hasil yang diharapkan setelah Anda menerima
terapi Obat tersebut?
3. Menggali informasi lebih lanjut dengan memberi kesempatan kepada pasien untuk
mengeksplorasi masalah penggunaan Obat
4. Memberikan penjelasan kepada pasien untuk menyelesaikan masalah penggunaan Obat
5. Melakukan verifikasi akhir untuk memastikan pemahaman pasien

Apoteker mendokumentasikan konseling dengan meminta tanda tangan pasien sebagai bukti
bahwa pasien memahami informasi yang diberikan dalam konseling dengan menggunakan
Formulir 7 sebagaimana terlampir.
E. Pelayanan Kefarmasian di Rumah (home pharmacy care)
Apoteker sebagai pemberi layanan diharapkan juga dapat melakukan Pelayanan Kefarmasian
yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk kelompok lansia dan pasien dengan
pengobatan penyakit kronis lainnya.
Jenis Pelayanan Kefarmasian di rumah yang dapat dilakukan oleh Apoteker, meliputi :
1. Penilaian/pencarian (assessment) masalah yang berhubungan dengan pengobatan
2. Identifikasi kepatuhan pasien
3. Pendampingan pengelolaan Obat dan/atau alat kesehatan di rumah, misalnya cara
pemakaian Obat asma, penyimpanan insulin
4. Konsultasi masalah Obat atau kesehatan secara umum
5. Monitoring pelaksanaan, efektifitas dan keamanan penggunaan Obat berdasarkan catatan
pengobatan pasien
6. Dokumentasi pelaksanaan Pelayanan Kefarmasian di rumah dengan menggunakan Formulir
8 sebagaimana terlampir.
F. Pemantauan Terapi Obat (PTO)
Merupakan proses yang memastikan bahwa seorang pasien mendapatkan terapi Obat
yang efektif dan terjangkau dengan memaksimalkan efikasi dan meminimalkan efek
samping.
Kriteria pasien:
1. Anak-anak dan lanjut usia, ibu hamil dan menyusui.
2. Menerima Obat lebih dari 5 (lima) jenis.
3. Adanya multidiagnosis.
4. Pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau hati.
5. Menerima Obat dengan indeks terapi sempit.
6. Menerima Obat yang sering diketahui menyebabkan reaksi Obat yang merugikan.
Kegiatan:
1. Memilih pasien yang memenuhi kriteria.
2. Mengambil data yang dibutuhkan yaitu riwayat pengobatan pasien yang terdiri dari riwayat
penyakit, riwayat penggunaan Obat dan riwayat alergi; melalui wawancara dengan pasien atau
keluarga pasien atau tenaga kesehatan lain
3. Melakukan identifikasi masalah terkait Obat. Masalah terkait Obat antara lain adalah adanya
indikasi tetapi tidak diterapi, pemberian Obat tanpa indikasi, pemilihan Obat yang tidak tepat, dosis
terlalu tinggi, dosis terlalu rendah, terjadinya reaksi Obat yang tidak diinginkan atau terjadinya
interaksi Obat
4. Apoteker menentukan prioritas masalah sesuai kondisi pasien dan menentukan apakah masalah
tersebut sudah atau berpotensi akan terjadi
5. Memberikan rekomendasi atau rencana tindak lanjut yang berisi rencana pemantauan dengan
tujuan memastikan pencapaian efek terapi dan meminimalkan efek yang tidak dikehendaki
6. Hasil identifikasi masalah terkait Obat dan rekomendasi yang telah dibuat oleh Apoteker harus
dikomunikasikan dengan tenaga kesehatan terkait untuk mengoptimalkan tujuan terapi.
7. Melakukan dokumentasi pelaksanaan pemantauan terapi Obat dengan menggunakan Formulir 9
sebagaimana terlampir.
G. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
Merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap Obat yang merugikan atau tidak
diharapkan yang terjadi pada dosis normal yang digunakan pada manusia untuk tujuan
profilaksis, diagnosis dan terapi atau memodifikasi fungsi fisiologis.
Kegiatan:
1. Mengidentifikasi Obat dan pasien yang mempunyai resiko tinggi mengalami efek
samping Obat.
2. Mengisi formulir Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
3. Melaporkan ke Pusat Monitoring Efek Samping Obat Nasional dengan menggunakan
Formulir 10 sebagaimana terlampir.
Faktor yang perlu diperhatikan:
1. Kerjasama dengan tim kesehatan lain.
2. Ketersediaan formulir Monitoring Efek Samping Obat.
BAB IV
SUMBER DAYA KEFARMASIAN
A. Sumber Daya Manusia
Pelayanan Kefarmasian di Apotek diselenggarakan oleh Apoteker, dapat dibantu oleh Apoteker pendamping dan/atau
Tenaga Teknis Kefarmasian yang memiliki Surat Tanda Registrasi dan Surat Izin Praktik
Dalam melakukan Pelayanan Kefarmasian Apoteker harus memenuhi kriteria:
1. Persyaratan administrasi
1. Memiliki ijazah dari institusi pendidikan farmasi yang terakreditasi
2. Memiliki Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA)
3. Memiliki sertifikat kompetensi yang masih berlaku
4. Memiliki Surat Izin Praktik Apoteker (SIPA)
2. Menggunakan atribut praktik antara lain baju praktik, tanda pengenal.
3. Wajib mengikuti pendidikan berkelanjutan/Continuing Professional Development (CPD) dan mampu memberikan
pelatihan yang berkesinambungan.
4. Apoteker harus mampu mengidentifikasi kebutuhan akan pengembangan diri, baik melalui
pelatihan, seminar, workshop, pendidikan berkelanjutan atau mandiri.
5. Harus memahami dan melaksanakan serta patuh terhadap peraturan perundang undangan, sumpah
Apoteker, standar profesi (standar pendidikan, standar pelayanan, standar kompetensi dan kode etik)
yang berlaku.
Dalam melakukan Pelayanan Kefarmasian seorang Apoteker harus menjalankan peran yaitu:
1. Pemberi layanan
Apoteker sebagai pemberi pelayanan harus berinteraksi dengan pasien. Apoteker harus
mengintegrasikan pelayanannya pada sistem pelayanan kesehatan secara berkesinambungan.
2. Pengambil keputusan
Apoteker harus mempunyai kemampuan dalam mengambil keputusan dengan menggunakan
seluruh sumber daya yang ada secara efektif dan efisien.
3. Komunikator
Apoteker harus mampu berkomunikasi dengan pasien maupun profesi kesehatan lainnya
sehubungan dengan terapi pasien. Oleh karena itu harus mempunyai kemampuan berkomunikasi
yang baik.
4. Pemimpin
Apoteker diharapkan memiliki kemampuan untuk menjadi pemimpin. Kepemimpinan yang
diharapkan meliputi keberanian mengambil keputusan yang empati dan efektif, serta
kemampuan mengkomunikasikan dan mengelola hasil keputusan.
5. Pengelola
Apoteker harus mampu mengelola sumber daya manusia, fisik, anggaran dan informasi
secara efektif. Apoteker harus mengikuti kemajuan teknologi informasi dan bersedia
berbagi informasi tentang Obat dan hal-hal lain yang berhubungan dengan Obat.
6. Pembelajar seumur hidup
Apoteker harus terus meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan profesi melalui
pendidikan berkelanjutan (Continuing Professional Development/CPD)
7. Peneliti
Apoteker harus selalu menerapkan prinsip/kaidah ilmiah dalam mengumpulkan informasi
Sediaan Farmasi dan Pelayanan Kefarmasian dan memanfaatkannya dalam pengembangan
dan pelaksanaan Pelayanan Kefarmasian.
B. Sarana dan Prasarana
Apotek harus mudah diakses oleh masyarakat. Sarana dan prasarana Apotek dapat menjamin mutu Sediaan
Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai serta kelancaran praktik Pelayanan Kefarmasian.
Sarana dan prasarana yang diperlukan untuk menunjang Pelayanan Kefarmasian di Apotek meliputi sarana yang
memiliki fungsi :
1. Ruang penerimaan Resep
Ruang penerimaan Resep sekurang-kurangnya terdiri dari tempat penerimaan Resep, 1 (satu) set meja dan kursi,
serta 1 (satu) set komputer. Ruang penerimaan Resep ditempatkan pada bagian paling depan dan mudah terlihat
oleh pasien.
2. Ruang pelayanan Resep dan peracikan (produksi sediaan secara terbatas)
Ruang pelayanan Resep dan peracikan atau produksi sediaan secara terbatas meliputi rak Obat sesuai kebutuhan
dan meja peracikan. Di ruang peracikan sekurang-kurangnya disediakan peralatan peracikan, timbangan Obat, air
minum (air mineral) untuk pengencer, sendok Obat, bahan pengemas Obat, lemari pendingin, termometer
ruangan, blanko salinan Resep, etiket dan label Obat. Ruang ini diatur agar mendapatkan cahaya dan sirkulasi
udara yang cukup, dapat dilengkapi dengan pendingin ruangan (air conditioner).
3. Ruang penyerahan Obat
Ruang penyerahan Obat berupa konter penyerahan Obat yang dapat digabungkan dengan ruang penerimaan
Resep.
4. Ruang konseling
Ruang konseling sekurang-kurangnya memiliki satu set meja dan kursi konseling, lemari
buku, buku-buku referensi, leaflet, poster, alat bantu konseling, buku catatan konseling dan
formulir catatan pengobatan pasien.
5. Ruang penyimpanan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
Ruang penyimpanan harus memperhatikan kondisi sanitasi, temperatur, kelembaban,
ventilasi, pemisahan untuk menjamin mutu produk dan keamanan petugas. Ruang
penyimpanan harus dilengkapi dengan rak/lemari Obat, pallet, pendingin ruangan (AC),
lemari pendingin, lemari penyimpanan khusus narkotika dan psikotropika, lemari
penyimpanan Obat khusus, pengukur suhu dan kartu suhu.
6. Ruang arsip
Ruang arsip dibutuhkan untuk menyimpan dokumen yang berkaitan dengan pengelolaan
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai serta Pelayanan
Kefarmasian dalam jangka waktu tertentu.
BAB V
EVALUASI MUTU PELAYANAN
KEFARMASIAN
Evaluasi mutu di Apotek dilakukan terhadap:
A. Mutu Manajerial
1. Metode Evaluasi
a. Audit
Audit merupakan usaha untuk menyempurnakan kualitas pelayanan dengan pengukuran kinerja bagi yang
memberikan pelayanan dengan menentukan kinerja yang berkaitan dengan standar yang dikehendaki. Oleh
karena itu, audit merupakan alat untuk menilai, mengevaluasi, menyempurnakan Pelayanan Kefarmasian
secara sistematis.
Audit dilakukan oleh Apoteker berdasarkan hasil monitoring terhadap proses dan hasil pengelolaan.
Contoh:
1. audit Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai lainnya (stock opname)
2. audit kesesuaian SPO
3. audit keuangan (cash flow, neraca, laporan rugi laba)
b. Review
Review yaitu tinjauan/kajian terhadap pelaksanaan Pelayanan Kefarmasian tanpa dibandingkan
dengan standar.
Review dilakukan oleh Apoteker berdasarkan hasil monitoring terhadap pengelolaan Sediaan
Farmasi dan seluruh sumber daya yang digunakan.
Contoh:
1. pengkajian terhadap Obat fast/slow moving
2. perbandingan harga Obat
c. Observasi
Observasi dilakukan oleh Apoteker berdasarkan hasil monitoring terhadap seluruh proses
pengelolaan Sediaan Farmasi.
Contoh:
1. observasi terhadap penyimpanan Obat
2. proses transaksi dengan distributor
3. ketertiban dokumentasi
2. Indikator Evaluasi Mutu
a. kesesuaian proses terhadap standar
b. efektifitas dan efisiensi
B. Mutu Pelayanan Farmasi Klinik
1. Metode Evaluasi Mutu
a. Audit
Audit dilakukan oleh Apoteker berdasarkan hasil monitoring terhadap proses dan hasil pelayanan
farmasi klinik.
Contoh:
1. audit penyerahan Obat kepada pasien oleh Apoteker
2. audit waktu pelayanan
b. Review
Review dilakukan oleh Apoteker berdasarkan hasil monitoring terhadap pelayanan farmasi klinik dan
seluruh sumber daya yang digunakan.
Contoh: review terhadap kejadian medication error
c. Survei
Survei yaitu pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner. Survei dilakukan oleh Apoteker
berdasarkan hasil monitoring terhadap mutu pelayanan dengan menggunakan angket/kuesioner atau
wawancara langsung
Contoh: tingkat kepuasan pasien
d. Observasi
Observasi yaitu pengamatan langsung aktivitas atau proses dengan menggunakan cek list atau perekaman.
Observasi dilakukan oleh berdasarkan hasil monitoring terhadap seluruh proses pelayanan farmasi klinik.
Contoh : observasi pelaksanaan SPO pelayanan
2. Indikator Evaluasi Mutu
Indikator yang digunakan untuk mengevaluasi mutu pelayanan adalah:
a. Pelayanan farmasi klinik diusahakan zero deffect dari medication error;
b. Standar Prosedur Operasional (SPO): untuk menjamin mutu pelayanan sesuai dengan standar yang telah
ditetapkan;
c. Lama waktu pelayanan Resep antara 15-30 menit;
d. Keluaran Pelayanan Kefarmasian secara klinik berupa kesembuhan penyakit pasien, pengurangan atau
hilangnya gejala penyakit, pencegahan terhadap penyakit atau gejala, memperlambat perkembangan penyakit.
BAB VI
PENUTUP
Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek ditetapkan sebagai acuan pelaksanaan
Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Untuk keberhasilan pelaksanaan Standar
Pelayanan Kefarmasian di Apotek diperlukan komitmen dan kerjasama semua
pemangku kepentingan. Hal tersebut akan menjadikan Pelayanan Kefarmasian di
Apotek semakin optimal dan dapat dirasakan manfaatnya oleh pasien dan
masyarakat yang pada akhirnya dapat meningkatkan mutu pelayanan kesehatan.
PERTANYA
AN DAN
JAWABAN
Ijin atas nama Selvy Jamaluddin dari farmasi 19B, ijin bertanya sebagai tenaga teknis kefarmasian bagaimana cara
memberikan informasi kepada pasien mengenai cara penggunaan obat yang rasional
Jawaban : WHO mengungkapkan bahwa penggunaan obat rasional diterapkan bila pasien menerima pilihan pengobatan
yang sesuai dengan kondisi tubuh dan kebutuhan klinisnya. Obat yang diberikan juga disesuaikan dengan dalam dosis dan
periode yang telah disesuaikan. Sehingga masyarakat atau pasien ini juga akan mengeluarkan biaya yang tidak terlalu
mahal dan bahkan sangat terjangkau.
Informasi tentang obat dan penggunaannya pada pasien pada dasarnya lebih ditekankan pada informasi farmakoterapi
yang disesuaikan dengan kebutuhan serta pertanyaan pasien. Diantaranya :
1. Apoteker / TTK perlu menerangkan dengan jelas apa khasiat obat yang bersangkutan, sesuai atau tidak dengan
indikasi atau gangguan kesehatan yang dialami pasien.
2. Pasien juga perlu diberi tahu dengan jelas kontra indikasi dari obat yang diberikan, agar tidak menggunakannya jika
memiliki kontra indikasi dimaksud.
3. Pasien juga perlu diberi informasi tentang efek samping yang mungkin muncul, serta apa yang harus dilakukan untuk
menghindari atau mengatasinya.
4. Kepada pasien harus diberikan informasi yang jelas cara pemakaian obat, untuk menghindari salah pemakaian, apakah
ditelan, dihirup, dioleskan, dimasukkan melalui anus, atau cara lain.
5. Harus diinformasikan dengan jelas kepada pasien, kapan waktunya pemakaian obat, misalnya sebelum atau sesudah
makan, saat akan tidur dan atau bersamaan makanan. Hal yang harus diperhatikan sewaktu minum obat tersebut,
misalnya pantangan makanan atau tidak boleh minum obat tertentu dalam waktu bersamaan.
6. Kepada pasien harus diinformasikan berapa lama obat tersebut dugunakan, agar pasien tidak menggunakan obat secara
berkepanjangan.
7. Hal apa yang harus dilakukan jika lupa memakai obat, Cara penyimpanan obat yang baik, Cara memperlakukan obat
yang masih tersisa, Cara membedakan obat yang masih baik dan sudah rusak
Ijin bertanya atas nama Ahdania Riska Angraini (201902001) kelas farmasi A19, jelaskan perbedaan konseling dengan PIO
menurut UU No 35 tahun 2014 dan sebutkan hal-hal apa saja yang harus diperhatikan dalam dokumentasi pelayanan
informasi obat.

Jawaban : Menurut UU No. 35 tahun 2014 TENTANG STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK
Konseling merupakan proses interaktif antara Apoteker dengan pasien/keluarga untuk meningkatkan pengetahuan,
pemahaman, kesadaran dan kepatuhan sehingga terjadi perubahan perilaku dalam penggunaan Obat dan menyelesaikan
masalah yang dihadapi pasien. Sedangankan Pelayanan Informasi Obat (PIO) merupakan kegiatan yang dilakukan oleh
Apoteker dalam pemberian informasi mengenai Obat yang tidak memihak, dievaluasi dengan kritis dan dengan bukti
terbaik dalam segala aspek penggunaan Obat kepada profesi kesehatan lain, pasien atau masyarakat.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam dokumentasi pelayanan Informasi Obat :
1. Topik Pertanyaan;
2. Tanggal dan waktu Pelayanan Informasi Obat diberikan;
3. Metode Pelayanan Informasi Obat (lisan, tertulis, lewat telepon)

Ijin bertanya atas nama Fajriani dari kelas farmasi 19A. Pertanyaan saya apa alasan pengubahan permenkes RI No. 35
tahun 2014 tentang standar pelayanan kefarmasian di apotek menjadi permenkes RI No. 35 tahun 2016. Terima kasih

Jawaban : karena Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 35 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek
masih belum memenuhi kebutuhan hukum di masyarakat sehingga perlu dilakukan perubahan. dan alasan lainnya yaitu
Pada tahun 2016 terdapat kasus peredaran vaksin palsu sehingga untuk menindaklanjuti terkait kasus tersebut, Pemerintah
segera merevisi sejumlah peraturan termasuk Permenkes RI No. 35 tahun 2014 tentang standar pelayanan kefarmasian di
apotek, sehingga memberikan hak pengawasan kefarmasian kepada Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM).
Ijin bertanya. Atas nama Izzatun Nahda dari Farmasi A19. Menurut dari isi pasal 13 Mengenai
perubahannya atas Permenkes tentang standar pelayanan kefarmasian di Apotek itu di "cabut dan di
nyatakan tidak berlaku".
Ijin. Pertanyaan saya, apa alasan terkuat sehingga UU tersebut di cabut dan dinyatakan tidak berlaku?
Kemudian bagaimana pendapat kelompok anda mengenai perubahannya yang sekarang, apakah lebih
baik dari UU sebelumnya? Terima kasih

Jawaban : Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 35 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di
Apotek sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 35 Tahun 2016 tentang
Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 35 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Apotek masih belum memenuhi kebutuhan hukum di masyarakat sehingga perlu
dilakukan perubahan. Dan peraturan diubah karena Pemerintah melihat apotek belum maksimal
bertanggung jawab dalam meningkatkan mutu kehidupan pasien, untuk itu perlu melakukan standar
pelayanan kefarmasian.
Menurut kami Permenkes Nomor 73 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek
lebih baik dari permenkes sebelumnya karena telah memuat kebijakan pelayanan kefarmasian termasuk
pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan Bahan Medis Habis Pakai (BMHP) dan pelayanan
farmasi klinik yang harus dilaksanakan
Ijin bertanya atas nama Sri Ayu Nengsi. Apabila surat izin Apotek dicabut, Apoteker pengelola Apotek atau Apoteker
pengganti wajib mengamankan perbekalan farmasinya, apa saja tindakan yang harus dilakukan Apoteker?

Jawaban : Apabila Surat Izin Apotek dicabut, Apoteker Pengelola Apotek atau Apoteker Pengganti wajib mengamankan
perbekalan farmasi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengamanan yang dimaksud wajib mengikuti tata
cara sebagai berikut :
a. Dilakukan inventarisasi terhadap seluruh persediaan narkotika, obat keras tertentu, dan obat lain serta seluruh resep yang
tersedia di apotek.
b. Narkotika, psikotropika dan resep harus dimasukkan dalam tempat yang tertutup dan terkunci.
Apoteker Pengelola Apotek wajib melaporkan secara tertulis kepada Kepala Wilayah Kantor Kementeriaan Kesehatan atau
petugas yang diberi wewenang olehnya, tentang penghentian kegiatan disertai laporan inventarisasi yang dimaksud dalam
huruf (a).

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, perkenalkan saya atas Nama : Nur Fitriani Salam dari kelas 2b Farmasi,
ijin bertanya Menurut anda bagaimana jika ada Apoteker yg memberikan obat tidak sesuai dengan resep dokter akan tetapi
manfaatnya sama dan malahan memberikan efek yang lebih bagus daripada sebelumnya

Jawaban : Menurut kami Alangkah baiknya Apoteker harus memberikan obat sesuai dengan resep dokter, bisa diberika
obat yang tidak sesui dalam resep jika obat yang di dalam resep tidak ada stoknya, karna jika kandungan obat sama tidak
akan menjadi masalah, hanya saja perbedaan nama obat tetapi kandungan di dalam obat sama dan tetap memberikan efek
yang sama pula. atas persetujuan dokter dan atau pasien
Ijin bertanya atas nama Ahlika Nursyakira (201902002) dari farmasi 19A. pertanyaan saya apa pendapat
saudara tentang pelayanan farmasi yang menyeluruh?
Jawaban : Pelayanan kefarmasian disebut menyeluruh karena prosesnya melibatkan secara langsung pasien
dan farmasis, farmasis melihat problema terapi obat, memberikan alternatif pengobatan, menetapkan dan
memodifikasi penggunaan terapi, serta melakukan followup/memonitor hasil terapi obat untuk memastikan
bahwa regimen terapi obat aman dan efektif.

Ijin bertanya atas nama Nurnina Sari farmasi 19A. apakah yang anda lakukan sebagai seorang farmasi jika
menemukan obat yang kadaluarsa di apotek?

Jawaban :
Obat kadaluwarsa atau rusak harus dimusnahkan sesuai dengan jenis dan bentuk sediaan. Pemusnahan Obat
kadaluwarsa atau rusak yang mengandung narkotika atau psikotropika dilakukan oleh Apoteker dan
disaksikan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
Pemusnahan Obat selain narkotika dan psikotropika dilakukan oleh Apoteker dan disaksikan oleh tenaga
kefarmasian lain yang memiliki surat izin praktik atau surat kerja. Pemusnahan dibuktikan dengan berita
acara pemusnahan menggunakan Formulir 1 sebagaimana terlampir.
Ijin bertanya atas nama Syahriani dari kelas farmasi 19B. Perumpamaan bagaimana jika pelayan
atau tenaga farmasis di apotek salah memberikan obat. Yang justru memberikan efek yang tidak
diinginkan. Apa tanggung jawab Apoteker atau kepala apotik jika terjadi hal tersebut. Terima kasih.

Jawaban : Apoteker yang telah melakukan kelalaian maka ia harus bertanggungjawab atas
kelalaiannya, serta menerima akibat hukumnya. Akibat hukum yang dapat dialami oleh Apoteker
yang melakukan kelalaian kepada pasien, yaitu sang Apoteker harus bersedia bertanggung jawab
atas kesalahannya tersebut baik secara perdata, pidana maupun secara administrasi. Dan
Kewajiban Pemilik Sarana Apotek dalam memberikan tanggung jawab atas ganti kerugian yang
diakibatkan oleh kelalaian atau kesalahan Apoteker pengelola apoteknya dalam bentuk ganti rugi
secara materi terhadap permintaan konsumen atau pihak ketiga yang menuntutnya. Pemberian ganti
rugi tersebut merupakan bentuk perlindungan terhadap konsumen atau pihak ketiga, dan besarnya
ganti rugi ditetapkan berdasarkan kesepakatan oleh kedua belah pihak yakni antara pihak apotek
dengan konsumen atau pihak ketiga.
Hikmawati S (201902025) farmasi 19A. pada pasal 1 ayat 3 berbunyi tentang “pelayanan
kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan
dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu
kehidupan pasien”. Ijin bertanya, bagaimana Apoteker memastikan mereka tidak memberikan obat
yang salah agar dapat mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien?

Jawaban : Apoteker melakukan pengecekan ulang (double-checking) dibantu oleh tenaga


kefarmasian lainnya (baik sesama Apoteker maupun tenaga teknis kefarmasian/TTK). Pengecekan
ulang ini dilakukan oleh paling tidak dua orang yang berbeda untuk satu pekerjaan. Misalnya,
TTK mengemas obat dan menulis etiket, kemudian Apoteker yang akan menyerahkan obat ke
pasien memeriksa kembali apakah jumlah obat dan informasi yang tertera pada etiket sudah tepat.
Dengan metode ini diharapkan kesalahan pengobatan (medication error) dapat dicegah, karena
lebih banyak orang yang terlibat dalam pelayanan kefarmasian ke pasien sehingga jika ada
kesalahan akan lebih mungkin terdeteksi.
Ijin bertanya atas nama Rini Eka Putri (201902068) farmasi 19B. seorang pasien ke apotek dengan membawa resep
obat tapi obat tersebut obat narkotika apakah seorang TTK boleh melayani resep tersebut? Terima kasih.
Jawaban : Seorang TTK tidak bisa melayani resep yang mengandung narkotika. Hal tersebut diatur dalam
PERMENKES RI NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PEREDARAN, PENYIMPANAN, PEMUSNAHAN, DAN
PELAPORAN NARKOTIKA, PSIKOTROPIKA, DAN PREKURSOR FARMASI Pasal 18 ayat (1) Penyerahan
Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi hanya dapat dilakukan dalam bentuk obat jadi. Ayat (2) Dalam hal
Penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan kepada pasien, harus dilaksanakan oleh Apoteker di
fasilitas pelayanan kefarmasian.
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh perkenalkan saya atas nama Sri Wulandari dari kelas 2b farmasi. Ijin
bertanya menurut pendapat anda bagaimana seorang Apoteker memastikan bahwa obat yang mereka berikan tidak
salah?

Jawaban : Apoteker melakukan pengecekan ulang (double-checking) dibantu oleh tenaga kefarmasian lainnya (baik


sesama Apoteker maupun tenaga teknis kefarmasian/TTK). Pengecekan ulang ini dilakukan oleh paling tidak
dua orang yang berbeda untuk satu pekerjaan. Misalnya, TTK mengemas obat dan menulis etiket, kemudian
Apoteker yang akan menyerahkan obat ke pasien memeriksa kembali apakah jumlah obat dan informasi yang tertera
pada etiket sudah tepat. Dengan metode ini diharapkan kesalahan pengobatan (medication error) dapat dicegah,
karena lebih banyak orang yang terlibat dalam pelayanan kefarmasian ke pasien sehingga jika ada kesalahan akan
lebih mungkin terdeteksi.
Ijin bertanya atas nama Fajriani, tolong dijelaskan apa maksud dari penyimpanan obat berdasarkan FEFO dan FIFO.
Terima kasih
Jawaban : Metode FIFO (First in First Out), yaitu obat-obatan yang baru masuk diletakkan di belakang obat yang
terdahulu, sedangkan metode FEFO (first expired first out) dengan cara menempatkan obat-obatan yang mempunyai ED
(expired date) lebih lama diletakkan di belakang obat-obatan yang mempunyai ED lebih pendek. Proses
penyimpanannya memprioritaskan metode FEFO, baru kemudian dilakukan metode FIFO. Barang yang ED-nya paling
dekat diletakkan di depan walaupun barang tersebut datangnya belakangan.

Ijin bertanya atas nama Nursyamsani (201902050) Farmasi 19A. Mengapa dalam permenkes RI No 73 thn 2016 pasal 4
harus menyelenggarakan standar pelayanan kefarmasian di apotek harus di dukung oleh ketersediaan sumber daya
kefarmasian yang berorientasi kepada keselamatan pasien ?

Jawaban : Pelayanan kefarmasian merupakan suatu pelayanan secara langsung dan bertanggung jawab kepada pasien
yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud untuk mencapai hasil yang pasti meningkatkan mutu kehidupan
pasien. Pada saat ini paradigma pelayanan kefarmasian telah meluas dari pelayanan yang berorientasi pada obat (drug
oriented) menjadi pelayanan yang berorientasi pada pasien (patient oriented). standar pelayanan kefarmasian Pelayanan
Kefarmasian di Apotek berperan penting dalam penjaminan mutu, manfaat, keamanan dan khasiat sediaan farmasi dan
alat kesehatan. Selain itu pelayanan kefarmasian bertujuan untuk melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan
Obat yang tidak rasional dalam rangka keselamatan pasien (patient safety).
 
Zulaiekha Syafar (201902103) Farmasi 19B. ijin bertanya bagaimana perlindungan hukum
jika seorang Apoteker memberikan obat yang tergolong obat keras kepada pasien tanpa resep
dokter?

Jawaban : Perlindungan hukum menurut Satjipto Raharjo adalah pemberian pengayoman


terhadap HAM dari kerugian yang ditimbulkan oleh orang lain dan perlindungan tersebut
diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati hak-haknya.
Pasien yang dirugikan dapat melaporkan Apoteker yang bersangkutan kepada pihak
berwajib untuk diproses secara pidana atau melakukan gugatan kepada Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen (“BPSK”), yakni badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan
sengketa antara pelaku usaha dan konsumen. Perlindungan hukum bagi pasien terhadap
Apoteker yang melakukan kesalahan dan kelalaian dalam pelayanan kefarmasian, baik dalam
proses peracikan obat maupun dalam pemberian obat sehingga dapat menimbulkan kerugian
terhadap pasien, telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan dan Undang-
Undang Nomor 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
Tiur Ayu Permata Kisna (201902098) ijin bertanya dari semua yang anda paparkan tadi,
pertanyaan saya apa yang menjadi factor utama atau kunci keberhasilan dari pelayanan
standar kefarmasian di Apotek.
Jawaban :
Kepuasan pasien merupakan salah satu indikator keberhasilan pelayanan kesehatan
seperti Apotek. Kepuasan pasien terhadap pelayanan Apotek dapat diukur dengan
membandingkan harapan pasien terhadap kualitas layanan dengan kenyataan dari kinerja
layanan yang diterima. Dalam hal ini bersangkutan dengan pelayanan farmasi klinik karena
pelayanan farmasi klinik di Apotek merupakan bagian dari Pelayanan Kefarmasian yang
langsung dan bertanggung jawab kepada pasien.
Kualitas pelayanan kefarmasian di Apotek sangat dipengaruhi oleh perilaku dari
Apotekernya, yaitu sejauh mana Apoteker tersebut mau dan mampu untuk
melaksanakan pelayanan kefarmasian sesuai dengan standar sehingga dapat
meningkatkan derajat kesehatan pasien. Apoteker memiliki peranan yang sangat penting
untuk terciptanya kualitas pelayanan kefarmasian yang lebih baik. Apoteker yang
memiliki tanggung jawab terhadap obat yang diserahkan kepada pasien. Apoteker juga
berperan sentral di Apotek yaitu sebagai pelaksana pelayanan resep, pelayanan obat,
pelayanan KIE dan pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan.
Assalamualaikum, Nama : Heri Wajarwanto Nim : 201902053 Kelas : B19 Ijin bertanya.. Seperti
yang diketahui pada pelayanan Farmasi klinik terdapat pelayanan kefarmasian dirumah atau
home pharmacy care, dimana salah satu \ pasiennya adalah berhubungan langsung dengan
pengobatan dan kepatuhan pasien. Pertanyaan saya, bagaimana jika pasien tidak patuh terhadap
pengobatan tersebut ? Dan apakah peran TTK dalam hal ini ?

Jawaban : Kepatuhan terhadap pengobatan dapat dicapai melalui peningkatan pemahaman pasien
terhadap penyakit yang sedang dideritanya. Burge et.al (2005) melaporkan bahwa pemberian
informasi yang baik dan konseling dapat membangun kepercayaan diri pasien terhadap
pengobatannya dan meningkatkan kepatuhan pasien untuk lebih patuh minum obat ketika mereka
mengetahui manfaat obat terhadap kesembuhannya dan kerugian apabila tidak menggunakan obat
sesuai aturan yang telah ditetapkan
Assalamualaikum. ijin bertanya, atas nama Khaerunnisa A19. pada Pasal 5 ayat (1) Untuk menjamin
mutu Pelayanan Kefarmasian di Apotek, harus dilakukan evaluasi mutu Pelayananan Kefarmasian.
pertanyaan saya : Apa saja evaluasi mutu pelayanan kefarmasian yg di maksud ?? Terima kasih

Jawaban : Untuk menjamin mutu pelayanan kefarmasian di Apotek, perlu dilakukan evaluasi mutu
pelayanan kefarmasian. Evaluasi tersebut dapat dilakukan dengan berbagai metode, di antaranya
adalah:
1. Audit
Audit merupakan penilaian kinerja yang dibandingkan dengan standar yang ada.
2. Review
Review merupakan kajian terhadap pelaksanaan kegiatan tanpa dibandingkan dengan standar.
3. Observasi
Observasi merupakan pengamatan terhadap suatu objek berdasarkan monitoring.
4. Survei
Survei merupakan pengumpulan data dengan atau tanpa alat bantu kuesioner.
Indikator evaluasi mutu manajerial meliputi kesesuaian proses terhadap standar, serta efektivitas
dan efisiensi. Sedangkan evaluasi mutu pelayanan farmasi klinik meliputi zero defect dari medication
error, kesesuaian proses terhadap standar, lama waktu pelayanan resep, serta output terapi.
Kartika Cahyani Putri, ijin bertanya apa itu Three Prime Question dan metode health belief model.
Apakah ada keterkaitan dengan kedua metode tersebut? Jelaskan

Jawaban : (Three Prime Questions) atau tiga pertanyaan utama adalah pertanyaan yang digunakan
oleh Apoteker dalam membuka sesi konseling untuk pertama kalinya. Pertanyaan tersebut adalah
sebagai berikut:
1. Apa yang telah dokter katakan tentang obat anda?
2. Apa yang dokter jelaskan tentang harapan setelah minum obat ini?
3. Bagaimana penjelasan dokter tentang cara minum obat ini?
Health Belief Model (HBM) atau Model Kepercayaan Kesehatan. ialah sebuah model yang
menjelaskan pertimbangan seseorang sebelum ia berperilaku sehat dan memiliki fungsi sebagai
upaya pencegahan terhadap penyakit.
keterkaitannya yaitu sama sama untuk mengoptimalkan hasil terapi, meminimalkan risiko
reaksi obat yang tidak dikehendaki (ROTD), dalan meningkatkan cost-effectiveness yang pada
akhirnya meningkatkan keamanan penggunaan obat bagi pasien (patient safety).
Sudirman. Ijin bertanya. Kalua dilihat dari Permenkes 73 tahun 2016 tentang standar pelayanan kefarmasian di apotik.
Semua kegiatan pelayanan kefarmasian diapotik itu diatur sedemikian rupa oleh permenkes tersebut. Pertanyaan saya
kenapa pada kenyataannya didalam praktek yang sebenarnya diapotik banyak tahap tahapan pelayanan yang tidak
dilakukan oleh Apoteker maupun TTK. Contoh kalua kita beli obat diapotik jarang TTK menyampaikan apa efek
samping dari obat yang kita beli.

Jawaban : Implementasi dari standar pelayanan kefarmasian di Apotek belum berjalan maksimal, kondisi ini
dilatarbelakangi oleh beberapa alasan hukum dan faktor sosialekonomi yaitu pemahaman dan pengetahuan hukum
yang kurang, hal ini berdampak pada lemahnya kesadaran hukum, terbatasnya jumlah SDM yang dimiliki apotek,
faktor kepemilikan apotek dan faktor ekonomi. Untuk apotek yang dimilki Pemilik Sarana Apotek (PSA), pelaksanaan
standar pelayanan kefarmasian cenderung belum berjalan. Hal ini berbeda dengan apotek yang dimiliki langsung oleh
apoteker, pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian jauh lebih baik dan hampir semua ketentuan yang tertuang dalam
Pasal 2 Permenkes RI Nomor 73 Tahun 2016 dapat dilaksanakan. Budaya hukum apoteker dalam pelaksanaan standar
pelayanan kefarmasian di apotek untuk perlindungan keselamatan pasien adalah budaya hukum yang apatis. Hal
tersebut disebabkan oleh kesadaran dan kepatuhan hukum apoteker masih kurang, selain itu faktor ekonomi memiliki
peranan yang cukup besar dalam mempengaruhi persepsi dan sikap mereka terhadap hukum, di samping itu pola
hubungan kerja antara apoteker dengan Pemilik Sarana Apotek (PSA) yang tidak sejajar, apoteker lebih berperan
sebagai karyawan bukan mitra kerja, sehingga apoteker tidak memiliki wewenang untuk menentukan arah kebijakan
apotek.
Nurfadillah. Farmasi 19A saya mau bertanya apa pendapat kelompok anda tentang pelayanan
kefarmasian di Apotek? Karena masih banyak Apotek yang tidak mematuhi aturan?
Jawaban : Ketidaksesuaian dengan standar yang telah ditetapkan dalam praktek kefarmasian di
Apotek, dapat menimbulkan risiko yang dapat merugikan pasien. Pengaturan standar pelayanan
kefarmasian di Apotek salah satunya bertujuan untuk melindungi pasien dari penggunaan obat
yang tidak rasional dalam rangka keselamatan pasien. Untuk meminimalkan risiko, seharusnya
tenaga kefarmasian melakukan praktek kefarmasian sesuai dengan standar kompetensi dan
berlandaskan Peraturan Perundang-Undangan.

Anda mungkin juga menyukai