Anda di halaman 1dari 20

Elearning - 12

Komunikasi organisasi pada era digital


Komunikasi organisasi sesungguhnya dapat dipandang tidak hanya sebagai
sebuah disiplin, namun ia juga bisa dilihat sebagai deskriptor dan sebagai
fenomena. Sebagai disiplin, komunikasi organisasi secara spesifik dimasukan ke
dalam sub-divisi dari area ilmu komunikasi. Sebagai deskriptor, ia berfungsi untuk
menjelaskan atau menggambarkan apa yang terjadi dalam sebuah organisasi.
Sementara itu ia juga dapat dilihat sebagai sebuah fenomena yang terjadi dalam
organisasi (Wrench, 2012: 33-34).

Oleh karena itu, komunikasi organisasi dapat hidup di dua domain, yakni di alam
akademis dan alam praktis. Kedua domain tersebut harus saling berhubungan
bahkan saling mendukung satu sama lain. Perguruan Tinggi yang selama ini
mengembangkan studi komunikasi organisasi secara teoritis, seharusnya dapat
membangun kolaborasi dan integrasi dengan berbagai organisasi di ranah
empiris, Sehingga produksi ilmu pengetahuan yang terdapat di dunia kampus bisa
lebih sesuai (compatible) dengan kebutuhan dunia industri dan dunia sosial.
Semua organisasi tersebut memerlukan kontribusi dari komunikasi organisasi
untuk mendukung kesuksesan dalam mencapai tujuan organisasi. Selain itu juga
saat ini semakin banyak perusahaan yang dihadapkan pada isu-isu komunikasi
yang semakin kompleks. Sebagai contoh, kita kerapkali mendengar berita
tentang konflik-konflik di bidang hubungan industrial, kasus pencemaran nama
baik perusahaan, kasus persaingan usaha, demonstarasi karyawan dan kasus-
kasus lain baik di wilayah internal maupun eksternal organisasi.

Dalam hal ini, menurut saya komunikasi organisasi seharusnya memilki peran
“engineering”, dimana ia dapat difungsikan sebagai perangkat pengetahuan
yang bisa membantu organisasi dalam upaya pencegahan, pengelolaan dan
penyelesaian konflik. Sehingga peran tersebut dapat mendorong peningkatan
kinerja dan produktivitas organisasi. Itu artinya, komunikasi organisasi memiliki
peran yang sangat besar dan penting bagi kesuksesan pembangunan bangsa
ini.
Kata orang bijak, segala sesuatu di dunia ini berubah kecuali perubahan itu sendiri.
Demikian pula komunikasi organisasi yang tidak tumbuh dan dipraktekkan dalam ruang
kosong (growing in vacuum). Komunikasi organisasi saat ini sedang menghadapi era
baru yang ditandai dengan terjadinya perubahan sangat dramatis dalam metode
komunikasi. Orang menyebutnya dengan Digital Age atau Post-Industrial Age.

Perkembangan yang sangat masif dalam teknologi digital ini telah menciptakan sebuah
revolusi yang tidak kalah besarnya dengan yang pernah dicapai oleh Revolusi Industri
pada tahun 1800an. Dalam organisasi bisnis, adaptasi Information and Communication
Technology (ICT) dalam komunikasi organisasi sudah dimulai sejak tahun 1994 dimana
internet dan Web 2.0 sudah dipergunakan oleh masyarakat secara masif. Jika
sebelumnya cara komunikasi dalam perusahaan lebih banyak menggunakan back office
dan front office, kini sudah berubah menjadi virtual office. (Hartley, 2002: 106).
Pengaruh teknologi komunikasi baru terhadap
organisasi ini dijelaskan secara ringkas oleh Thomas E.
Harris dan Mark D. Nelson daam tiga poin.
teknologi selalu memiliki dampak utama terhadap organisasi. Dalam hal ini,
teknologi dipandang sebagai fondasi dari aktivitas organisasi mulai dari
perlengkapan untuk produksi massal (mass production) kepada sistem
pengiriman (delivery system) hingga proses digital (digital process).

saat ini kita berada di tengah-tengah perubahan masif. Di era ini, sumber-
sumber informasi dari organisasi tradisional telah tergantikan oleh
teknologi komunikasi tingkat tinggi (advance communication technology)

organisasi dan individu harus berpindah dari penggunaan teknologi yang


semata-mata sebagai alat untuk menjalankan aktivitas menuju
pengumpulan informasi yang berkembang secara terus-menerus (Harris,
2008: 376-377).
Adaptasi media sosial adalah sebuah konsekuensi bagi proses komunikasi organisasi karena
ia mampu menjangkau tipe baru dari perilaku manusia yang sebelumnya nyaris tidak mungkin
dijangkau. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Burson-Marsteller Communications Group
pada tahun 2010, dari sebanyak 100 perusahaan Global Fortune yang diteliti, ada 79%
perusahaan global dan 86% perusahaan Amerika Serikat yang setidaknya memiliki satu
platform media sosial (Facebook, Twitter, YouTube, Linkedin, atau corporate blogs). Dari 100
perusahaan Global Fortune, 65% memiliki akun twitter yang aktif, 54% memiliki fanpage
Facebook, 50% memiliki channel video Youtube dan 33% memiliki corporate blog.

Saat ini, trend penggunaan media sosial oleh perusahaan-perusahaan global semakin
meningkat. Mereka mengadaptasi media sosial untuk berbagai kepentingan, antara lain:
customer service, marketing, internal communications, public relations, corporate social
responsibility, dan lain-lain.
Apa yang dimiliki oleh media sosial sehingga
mampu memberikan manfaat dan keuntungan bagi
banyak perusahaan? Jeffrey W. Treem dan Paul
M. Leonardi dalam studinya menemukan empat
kemampuan atau kelayakan yang dimiliki oleh
media sosial, yakni: visibilitas (visibility), ketekunan
(persistence), kemampuan edit (editability) dan
asosiasi (association). (Treem, 2012: 143-189).
Visible Persistent Editablity (associated
• media sosial dikatakan • media sosial dikatakan • Media sosial dikatakan • media sosial juga
visible karena persistent karena ia editable karena para dikatakan terkait
memungkinkan para tetap mudah diakses penggunanya dapat (associated) karena
penggunanya untuk dalam wujudnya yang melakukan crafting dapat menghubungkan
memperoleh informasi orisinil setelah dan re-crafting antar individu, antara
secara mudah penggunanya sebelum hasilnya individu dan konten,
(effortless) menyelesaikan direview oleh orang atau antara aktor dan
presentasinya. Dengan lain. Editablity juga presentasi.
kata lain, persistence dapat bermakna
berarti “reviewability”. kemampuan dari
setiap individu untuk
melakukan modifikasi
atau merevisi konten
yang sudah mereka
komunikasikan,
termasuk misalnya
mengedit spelling error
atau deleting content.
Sebagian besar perusahaan-
perusahaan kelas dunia sudah
mengadaptasi media sosial sebagai
alat komunikasi mereka.
Berdasarkan review dari Investis
tentang penggunaan media sosial
Media sosial menyediakan sebuah
oleh perusahaan-perusahaan di
platform teknologi untuk
Amerika dan Inggris pada tahun
membangun multi-relasi antara
2015, disebutkan bahwa sektor
organisasi dengan para
bisnis yang paling banyak
penggunanya, sehingga
menggunakan media sosial adalah
memungkinkan mereka lebih visible
perusahaan-perusahaan teknologi,
untuk mengekspose jaringan sosial
diikuti oleh perbankan, automobile,
yang mereka miliki.
industri penerbangan (aerospace),
perawatan kesehatan (health care),
telekomunikasi, elektronik, migas
dan yang terendah adalah
perusahaan di sektor equity/non
equity investment.
Di Indonesia sendiri, kita bisa mendapati bahwa sudah
mulai banyak perusahaan-perusahaan lokal yang
memanfaatkan media sosial untuk mendukung
program corporate communication mereka, meskipun
cenderung lebih banyak digunakan untuk kepentingan
komunikasi pemasaran (marketing communication).
Sebut saja brand-brand populer seperti Tokopedia,
Lazada, Aqua, Telkomsel, Samsung Indonesia dan XL
Axiata. Mereka adalah contoh dari brand-brand
Indonesia yang memilki engagement dan jumlah
follower tertinggi menurut laporan yang pernah dirilis
oleh Sotrender.
Selain sebagai sarana komunikasi pemasaran, tidak sedikit pula perusahaan-perusahaan
di Indonesia yang menggunakan media sosial sebagai sarana public relations (hubungan
masyarakat). Sebagai contoh, perusahaan Garuda Maintenance Facilities (GMF) Aerosia
memanfaatkan beberapa jenis media sosial yang sesuai dengan karakteristik publik dan
budaya perusahaannya. Ia menggunakan LinkedIn, Facebook, Instagram dan Youtube
sebagai platform untuk menjalin komunikasi dengan para khalayak.

Perusahaan tersebut menggunakan LinkedIn untuk mem-posting press release secara


berkala berdasarkan kegiatan yang berlangsung, dan juga konten seputar pengumuman
magang di perusahaan tersebut. Ia juga memanfaatkan berbagai fitur yang terdapat
dalam Facebook dan Instagram, misalnya dengan mem-posting foto dan link untuk
menambah ketertarikan khalayak secara visual. Foto-foto yang diunggah lebih banyak
berupa kegiatan perusahaan sendiri, misalnya foto pada saat perbaikan mesin pesawat
dan foto-foto lain secara lebih dekat sehingga publik merasakan adanya engagement
dengan perusahaan. (Fajar Syuderajat dan Kenanga Puspitasari, 2017: 90-94).
Ini adalah salah satu dari sekian banyak contoh bagaimana perusahaan-perusahaan
di Indonesia mengelola platform media sosial mereka sehingga komunikasi
organisasi dapat berjalan dengan efektif.

Saat penggunaan media sosial semakin tinggi, maka perilaku manusia menjadi jauh
lebih terbuka satu sama lain (over opened). Demikian pula karakter dan perilaku
para anggota organisasi, dimana mereka memiliki ruang terbuka untuk membangun
jejaring sosial yang lebih kompleks. Bahkan kecenderungannya saat ini mereka tidak
hanya menggunakan salah satu jenis media dan platform untuk menjalin
komunikasi, melainkan memanfaatkan berbagai media dan platform sesuai
keinginan dan hasrat. Fenomena tersebut menjadi tantangan sekaligus peluang bagi
komunikasi organisasi.
Komunikasi Digital Bagi Generasi
Milenial

Salah satu tantangan terbesar dari komunikasi organisasi adalah bagaimana caranya
menghadapi karakter dan perilaku orang-orang yang masuk dalam kategori digital native.
Dalam hal ini, digital native yang sudah masuk ke dunia kerja atau terlibat dalam organisasi
adalah generasi milenial.

Generasi milenial adalah orang-orang yang lahir antara tahun 1982-2005. Sebagian besar dari
mereka dalam kesehariannya sudah sangat bersahabat dengan teknologi komunikasi dan
informasi. Di dunia kerja, mereka memiliki karakter yang berbeda dibandingkan dengan
generasi sebelumnya. Menurut Gallup dalam penelitiannya yang berjudul How Millenials Want
to Work and Live, generasi milenial memiliki karakteristik antara lain: tidak mau terikat
(unattached), terhubung (connected), tidak mau dibatasi (unconstrained) dan idealis (idealistic).
Generasi milenial juga menghendaki adanya perubahan, baik di tempat kerja
maupun di masyarakat. Mereka tidak suka dengan hal-hal yang sudah pakem
yang biasa dilakukan oleh orang-orang tua. Mereka menghendaki perubahan
di tempat kerja (change to the workplace). Mereka ingin terbebas dari
kebijakan tempat kerja yang masih menerapkan sistem lama yang terlalu
hierarkis dan kaku. Mereka ingin memiliki cara komunikasi yang berbeda
dengan para manajernya. Mereka ingin diperlakukan oleh atasannya tidak
hanya dalam kapasitas mereka sebagai seorang karyawan namun juga
sebagai seorang manusia. Penelitian Gallup menunjukkan bahwa ada 62%
dari generasi milenial yang ingin bisa bertukar fikiran dengan para manajer
tentang hal-hal yang tidak berkenaan dengan pekerjaan.
Terahir, mereka adalah kelompok yang idealis. Mereka bekerja tidak hanya untuk
menghasilkan uang, namun juga untuk belajar dan berkembang. 87% dari mereka
memandang penting akan professional development dan kesempatan memperoleh
pengembangan karir.

Dalam menyikapi karakter dan perilaku generasi milenial tersebut, strategi


komunikasi organisasi harus memiliki sensitivitas terhadap perubahan zaman
(zeitgeist). Komunikasi organisasi era industrial yang cenderung terlalu birokratis,
hierarkis dan mengedepankan peraturan ketat (strict rules) tidak akan cukup mampu
meng-cover kebutuhan dan keinginan generasi milenial di era post-industrial.
Menurut para ahli kontemporer, organisasi post-industri
membutuhkan struktur yang memiliki karakter antara
lain: (Kim, 2005: 38-39)

Memiliki aturan yang dapat mendorong kreativitas, pembelajaran dan kerja secara mandiri

Memiliki lapisan hierarki organisasi yang tidak terlalu banyak untuk mempercepat respon
dalam komunikasi

Memiliki level integrasi horizontal yang tinggi untuk meningkatkan efektivitas transfer
pengetahuan dan pengalaman

Memiliki mekanisme pengambilan keputusan yang lebih desentralistik sehingga lebih efektif
dan cepat dalam menyelesaikan permasalahan yang muncul

Memiliki level komunikasi vertikal dan horizontal yang tinggi untuk mempermudah
koordinasi.
Manfaat dan Tantangan Komunikasi Digital

Salah satu benefit dari komunikasi digital bagi organisasi adalah peningkatan produktivitas dan efisiensi. Sebagai contoh dalam
organisasi bisnis, perusahaan General Electric berhasil menghemat 18 juta dolar per tahun sejak menerapkan “paperless office”.
Dengan mengadaptasi sarana dan prasarana digital, mereka dapat mensubstitusi berbagai jenis mesin seperti mesin fax, mesin
fotokopi dan desktop printers. Sementara itu, Boeing mampu memangkas waktu penyelesaian proyek mereka sebesar 91% dengan
menggunakansoftware kolaboratif (groupware). Menurut Mandel (2005), teknologi informasi yang digunakan dalam 25 tahun terahir
telah mendorong kenaikan produktivitas hampir sebesar 70%. (Harris, 2008: 385).

Benefit dari komunikasi digital tersebut tidak hanya diperoleh organisasi, namun juga oleh para anggota organisasi, yakni
meningkatkan komunikasi (improve communication) dimana setiap anggota organisasi dapat membangun kolaborasi kerja dengan
lebih efektif. Selain itu komunikasi digital juga dapat menaikkan tingkat partisipasi (increase participation). Hal ini dikarenakan
minimnya hambatan interaksi sehingga memungkinkan semua anggota untuk berkontribusi dan berkesempatan mempengaruhi
kelompok.

Meskipun komunikasi digital memiliki banyak manfaat, namun di sisi lain juga memberikan tantangan (challenge) terhadap
organisasi dan para anggotanya. Bagi organisasi, konsekuensinya adalah struktur organisasi yang ada harus mengalami
perubahan menjadi lebih flat atau tidak terlalu hierarkis. Komunikasi digital mendorong terjadinya karakter dan pola komunikasi
yang lebih egaliter dan berorientasi pemberdayaan (empowering).
Secara lebih makro, Elizabeth Jones dkk dalam artikelnya yang berjudul
“Organizational Communication: Challenges for the New Century”
mengidentifikasi 6 buah tantangan (challenges) yang harus dihadapi oleh
para ilmuwan di bidang komunikasi organisasi, yaitu: (Wrench, 2012: 37)

Inovasi dalam teori dan metodologi

Penerimaan terhadap peran etika

Perubahan isu dari level mikro ke level makro

Pengujian terhadap struktur organisasi baru

Pemahaman akan adanya perubahan komunikasi dalam organisasi

Pengujian terhadap perbedaan dan komunikasi antar kelompok


Pentingnya Kompetensi Dalam
Komunikasi Organisasi
Microsystem, yang terdiri dari anggota-anggota organisasi dan orang lain yang berada di dekat
lingkungan kerja (misalnya supervisor, co-worker dank klien).

Mesosystem, yang merepresentasikan inter-relasi antar microsystem yang ada (misalnya, apa
yang individu pelajari dari tim pelaksana proyek dapat mempengaruhi kompetensinya dalam
kelompok kerja fungsional dimana ia menjadi anggotanya).

Macrosystem, yang tidak merepresentasikan konteks terdekat dimana individu bekerja, namun
secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi (misalnya divisi utama dari sebuah
organisasi maupun organisasi itu sendiri secara keseluruhan

Exosystem, yang merepresentasikan sistem keyakinan budaya secara keseluruhan,


pengetahuan, sosial, teknologi dan ideologi politik.
Menurut model tersebut, kompetensi komunikasi harus dimiliki oleh setiap individu dalam organisasi secara
komprehensif dan holistik, dari tingkat microsystem hingga exosystem, dan tidak hanya di level internal
namun juga eksternal. Untuk itu organisasi harus mampu menyelesaikan persoalan-persoalan komunikasi
internal organisasi baik di dalam konteks formal (horizontal, vertikal dan diagonal) maupun dalam konteks
informal (grapevine). Selain itu, organisasi juga harus memiliki kompetensi untuk mengatasi masalah-
masalah komunikasi eksternal organisasi terutama yang berkaitan dengan marketing dan public relation.

Kompetensi komunikasi yang bersifat holistik dan komprehensif tersebut saat ini sangat dibutuhkan oleh
organisasi karena permasalahan dan potensi krisis organisasi dapat terjadi di berbagai level, baik di tingkat
mikro, meso, makro dan ekso. Dalam konteks komunikasi digital, ketidakmampuan organisasi dalam
mengelola komunikasi digital dapat berdampak secara cepat ke berbagai level sistem yang ada. Hal ini
karena komunikasi digital memiliki cara kerja yang sangat cepat, sehingga sebuah isu yang tidak terkelola
dengan baik akan menjadi bola liar yang bersifat destruktif.

Jika kompetensi komunikasi setiap individu dalam organisasi sudah dapat dikelola dengan efektif, maka
perubahan-perubahan yang terjadi di ranah teknologi digital dapat diadaptasi dengan baik. Sehingga
digitalisasi dalam komunikasi organisasi tidak bersifat dekonstruktif melainkan konstruktif.

Anda mungkin juga menyukai