Anda di halaman 1dari 15

Journal Reading

Intracranial Atherosclerotic Stroke : Specific Focus on


The Metabolic Syndrome and Inflammation

Pembimbing:
dr. - , Sp.S

Disusun oleh:
Gandri Ali Ma’sum
1410211140

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN SARAF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA
2020
Identitas Jurnal

● Laporan Aterosklerosis Terkini 2006, 8: 330–336


Current Science Inc. ISSN 1523-3804
Hak Cipta © 2006 oleh Current Science Inc.

Penulis yang sesuai


Oh Young Bang, MD, PhD
Departemen Neurologi, Stroke dan Pusat Serebrovaskular,
Samsung Medical Center, Fakultas Kedokteran Universitas Sungkyunkwan,
50 Irwon-dong, Gangnam-gu, Seoul 135-710, Korea Selatan.
E-mail: nmboy@unitel.co.kr
Abstrak
● Stroke merupakan penyebab kematian kedua di dunia sehingga sangat diperlukan tindakan yang sangat baik dan tepat
karena stroke memiliki angka prevalensi yang tinggi, beban biaya ekonomi yang besar, berbagai faktor risiko yang
dapat dimodifikasi – yang mudah dikenali dengan baik, dan tindakan yang efektif.

● Aterosklerosis merupakan salah satu mekanisme utama untuk kejadian Stroke Iskemik. Namun, perbedaan yang pasti
di dalam faktor risiko untuk aterosklerosis intra dan ekstrakranial masih belum jelas dan mekanisme yang mendasari
kejadian stroke pada pasien dengan aterosklerosis intrakranial belum diketahui dengan baik. Akibatnya pasien dengan
stenosis intrakranial menerima pengobatan yang sama seperti pasien dengan aterosklerosis arteri.

● Penelitian baru-baru ini menunjukkan bahwa Sindrom Metabolik (kumpulan faktor risiko metabolik yang terkait dengan
resistensi insulin) dan peradangan vaskular berkaitan dengan peningkatan risiko Penyakit Jantung Koroner dan Stroke.

● Hasil dari Ulasan Studi ini menunjukkan bahwa faktor-faktor ini memainkan peran yang berbeda dalam perkembangan
stroke aterosklerosis antara sistem arteri intra dan ekstrakranial.
Patogenesis: Triase Virchow
Triase Virchow: stasis vena (!), jejas vaskular, hiperkoagulabilitas.

Faktor predisposisi: operasi/trauma, keganasan, imobilisasi berkepanjangan, kehamilan, GJK, varises, obesitas, usia
lanjut, riwayat DVT.

Lokasi trombosis vena cenderung di daerah dengan aliran darah menurun ATAU berubah secara mekanis seperti kantong
berdekatan dengan katup di vena dalam tungkai → katup = lokasi potensial stasis vena dan hipoksia.

Aliran darah menurun → tekanan O2 menurun + hematokrit meningkat → hypercoagulable micro-environment


menurunkan regulasi protein antitrombotik (trombomodulin, EPCR) + memicu ekspresi prokoagulan (P-selectin) → P-
selectin menarik sel imunologis yg mengandung faktor jaringan ke endotelium → faktor jaringan berfungsi sebagai
nidus utama pembentukan trombus.
Faktor VIII, faktor von Willebrand, faktor VII, dan protrombin sangat berpengaruh dalam menuju koagulasi.
Protrombin: mempromosikan pembentukan trombin + menghambat sifat antikoagulan protein C yang diaktifkan →
sehingga menghambat jalur antikoagulan alami.

Ada 3 jalur antikoagulan alami: jalur antikoagulan protein C (protein C, protein S, trombomodulin, EPCR), jalur
heparin-antitrombin, dan jalur penghambat faktor jaringan. Cacat pada jalur ini → peningkatan risiko pembentukan
trombus.

Faktor risiko lain pembentukan klot: kanker (efek kompresif pada vena → stasis), kontrasepsi oral, obesitas, usia lanjut
(faktor berkaitan dengan penuaan: prevalensi obesitas lebih besar, peningkatan frekuensi penyakit dan periode imobilitas
berkepanjangan, kondisi medis komorbiditas)
Diagnosis

Kriteria Wells: sensitivitas 77-98% dan spesifisitas 38-


58% → tidak dapat digunakan sebagai modal diagnostik
tunggal untuk DVT.

Uji D-dimer: sensitivitas 75-100% dan spesifisitas 26-


83%. D-dimer → produk degradasi fibrin dihasilkan oleh
respons fibrinolitik terhadap pembentukan trombus dalam
tubuh, NAMUN dapat meningkat dalam keadaan lain
(keganasan, kondisi peradangan, kehamilan, penyakit hati,
selama periode pasca operasi dan setelah trauma).

BMJ 2018; 360 doi: https://doi.org/10.1136/bmj.k351 (Published 22 February


Diagnosis: Ultrasonography
Cara: sebuah probe US menekan vena bersangkutan dengan lembut
→ tidak mampu menekan vena → diagnostik DVT.

Keterbatasan: kurang mampu untuk mendeteksi DVT distal.

Sensitivitas DVT proksimal 94,2% dan distal 63,5%.

US bisa ditambah kriteria Wells dan uji D-dimer. Pasien "unlikely"


D-dimer negatif → tidak perlu US. Pasien “unlikely” D-dimer
positif → rekomendasi US.
Diagnosis: Venografi kontras konvensional
Gold standard DVT ekstremitas bawah.

Cara: mengkanulasi vena dorsal di kaki dan menggunakan


tourniquet kompresi ke proksimal paha → media kontras diinjeksi
dan radiografi serial dilakukan untuk visualisasi sistem vena dalam
→ defek pengisian persisten di multiple view → diagnostik DVT
(Gambar 2).

Keterbatasan: ketersediaan, ketidaknyamanan pasien,


ketergantungan pengguna, visualisasi tidak memadai, paparan
radiasi, variabel pasien-spesifik (alergi kontras, insufisiensi ginjal).
Diagnosis: Venografi CT
Cara: media kontras diinjeksi ke lengan dan pencitraan diatur
dengan opasifikasi sistem vena dalam di ekstremitas bawah
(Gambar 3).

Manfaat: non-invasif, tersedia, sangat sensitif dan spesifik untuk


DVT, dan memberikan manfaat tambahan dari pencitraan cross-
sectional.

Keterbatasan: seperti venografi konvensional.


Diagnosis: Venografi MR
Manfaat: manfaat sama dengan venografi CT TANPA perlu radiasi
pengion, sensitivitas dan spesifisitas sama untuk DVT (Gambar 4).

Keterbatasan: intolerabilitas pasien, peningkatan biaya, dan


hardware tidak kompatibel.
Tata Laksana Medis: Terapi Antikoagulasi
Tujuan: mencegah perkembangan menjadi PE dan kambuhnya trombosis

Terapi standar: VKA (warfarin) + heparin atau fractionated heparin bridging

Selama fase akut (5-10 hari pertama terapi), UFH atau LMWH digunakan sebagai agen bridging (nanti disusul VKA) →
inisiasi cepat membantu menahan pembentukan bekuan fibrin + menambah respons fibrinolitik tubuh → mengurangi
gejala dan risiko pembentukan trombus lebih lanjut ATAU pengembangan menjadi PE → sangat berguna di RS karena
waktu paruh pendek dan kenyamanan relatif untuk penatalaksanaan perioperative.
UFH memiliki beberapa keunggulan dibandingkan LMWH (waktu paruh eliminasi lebih pendek, reversibel, lebih
disukai pasien berat <50 kg, atau pasien dengan klirens kreatinin <30 mL/menit) → NAMUN, memiliki peningkatan
risiko HIT 8-10x bila dibandingkan dengan LMWH → karena itu, LMWH (enoxaparin) sering menjadi terapi
pilihan.

Setelah kadar terapeutik tercapai (ditentukan oleh aPTT atau kadar anti-Xa) → terapi VKA harus dimulai.

Antikoagulasi parenteral dengan UFH atau LMWH sebaiknya dilanjutkan untuk minimal 5 hari dan sampai INR
dipertahankan >2 selama 24 jam.

Terapi LMWH/VKA direkomendasikan minimal 3 bulan dan dapat dengan aman diselesaikan pada pasien rawat jalan.
Tata Laksana Medis: DOAC vs VKA
Kelebihan: lebih sedikit interaksi obat-obat; dapat dikonsumsi oral dan (dalam beberapa kasus) tidak perlu bridging;
tidak perlu monitoring laboratorium sering, terbukti sama efektifnya dengan terapi VKA (Tabel 1).

Kelemahan: waktu paruh panjang (kurang cocok untuk rawat inap), kontraindikasi pasien fungsi hati dan/atau ginjal
buruk, belum diteliti dengan baik di semua populasi pasien (tidak direkomendasikan pada kasus keganasan aktif,
trombositopenia, risiko perdarahan tinggi), dabigatran dan rivaroxaban dikaitkan dengan peningkatan risiko perdarahan
GI pada beberapa pasien (apixaban dan edoxaban lebih aman, dikaitkan dengan risiko perdarahan lebih rendah dalam
uji coba AMPLIFY dan HOKUSAI-VTE).

Kesimpulan: DOAC sama efektifnya dengan warfarin. DOAC harus digunakan hati-hati pada populasi pasien
tertentu (usia lanjut, riwayat atrial fibrilasi atau faktor risiko jantung lain, atau memiliki peningkatan risiko perdarahan
GI).
Terima Kasih

Anda mungkin juga menyukai