Anda di halaman 1dari 10

Ferian Eksanto (19121095)

PELAYANAN PRIMA Fitri Widayanti


Irmayeni Nur Anisa
(19121096)
(19121097)
PELAYANAN Ivin Diyah
Latiza Syafa Maura
(19121098)
(12101099)
BERETIKA Lieke Yuni Latifa (19121100)
PENGERTIAN ETIKA
PELAYANAN KESEHATAN
Dalam arti yang sempit, pelayanan kesehatan adalah suatu tindakan pemberian obat-
obatan dan jasa kepada masyarakat oleh pemerintah dalam rangka tanggung
jawabnya kepada publik, baik diberikan secara langsung maupun melalui kemitraan
dengan swasta masyarakat, berdasarkan jenis dan intensitas kebutuhan masyarakat,
kemampuan masyarakat. Konsep ini lebih menekankan bagaimana pelayanan publik
terutama pelayanan kesehatan berhasil diberikan melalui suatu sistem yang sehat.
Dalam arti yang luas, konsep pelayanan kesehatan (health service) identik dengan
memberikan pelayanan jasa demi kepentingan masyarakat luas. Dalam konteks ini
pelayanan kesehatan lebih dititik beratkan kepada bagaimana elemen-elemen
pelayan kesehatan seperti para tim medis melakukan pelayanan, dimana pelayanan
kesehatan identik dengan pengobatan yang merupakan bagian dari manajemen ilmu
kesehatan.
PENTINGNYA ETIKA
PELAYANAN KESEHATAN
Saran klasik di tahun 1900 sampai 1929 untuk memisahkan antara administrasi dan
politik (dikotomi) menunjukan bahwa administrator harus sungguh-sungguh netral,
bebas dari pengaruh politik ketika memberikan pelayanan kesehatan. salah satunya
jasa pelayanan kesehatan. Akan tetapi kritik bermunculan menentang ajaran
dikotomi administrasi – politik pada tahun 1930-an, sehingga perhatian mulai
ditujukan kepada keterlibatan para administrator dalam keputusan-keputusan publik
dalam kebijakan pentingnya pelayanan kesehatan. Sejak saat ini dimata masyarakat
mulai memberikan perhatian khusus terhadap “permainan etika” yang dilakukan oleh
para tim medis yang beprofesi dibidang pelayanan kesehatan.
Penilaian keberhasilan seorang administrator atau para tim medis dibidang pelayanan
kesehatan tidak semata didasarkan pada pencapaian kriteria efisiensi, ekonomi, dan
prinsip-prinsip administrasi lainnya, tetapi juga kriteria moralitas, khususnya terhadap
kontribusinya terhadap public interest atau kepentingan umum (Henry, 1995). Alasan
mendasar mengapa pelayanan kesehatan harus diberikan adalah adanya public interest
atau kepentingan masyarakat yang harus dipenuhi oleh pemerintah terutama dibidang
pelayanan kesehatan, karena pemerintahlah yang memiliki “tanggung jawab” atau
responsibility. Dalam memberikan pelayanan ini pemerintah diharapkan secara
profesional melaksanakannya, dan harus mengambil keputusan politik secara tepat
mengenai siapa mendapat apa, berapa banyak, dimana, kapan, dsb.
Bertens (2000) menggambarkan konsep etika dengan beberapa arti, salah satu diantaranya dan biasa
digunakan orang adalah kebiasaan, adat atau akhlak dan watak. Filsuf besar Aristoteles, kata Bertens, telah
menggunakan kata etika ini dalam menggambarkan filsafat moral, yaitu ilmu tentang apa yang biasa
dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Bertens juga mengatakan bahwa di dalam Kamus Umum
Bahasa Indonesia, karangan Purwadarminta, etika dirumuskan sebagai ilmu pengetahuan tentang asas-asas
akhlak (moral), sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1988), istilah etika disebut sebagai :
1. Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral;
2. Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; dan
3. Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.

Dengan memperhatikan beberapa sumber diatas, Bertens berkesimpulan bahwa ada tiga arti penting etika,
yaitu :
4. Etika sebagai nilai-nilai moral dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau
suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya, atau disebut dengan “sistem nilai”.
5. Etika sebagai kumpulan asas atau nilai moral yang sering dikenal dengan “kode etik”;
6. Sebagai ilmu tentang yang baik atau buruk, yang acapkali disebut “filsafat moral”.
BEBERAPA PERMASALAHAN
ETIKA PELAYANAN
KESEHATAN
Realita yang terjadi saat ini, terkait dengan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) menjadi tidak relevan
ditengah masyarakat yang membutuhkan pelayanan dan penanganan sesuai dengan tujuan diadakannya program
kesehatan Gratis, program yang satu ini terlalu indah ditelinga Rakyat, namun apakah realita yang terjadi
dilapangan, apakah seindah pemaparan didalam tujuan pokok diadakannya program itu, ataukah memang lahan
bisnis bagi Oknum-oknum tertentu, seperti halnya yang dialami oleh Penderita Tumor Ganas atas nama Salahudin
warga Dusun Madalibi Desa Madaprama, Kecamatan Woja Kabuapten Dompu ,Salahuddin terdaftar sebagai
peserta Jamkesmas pada PPK : 23050101- Puskemas Dompu Barat, No. Peserta 0002512250605, atau
kepesertaan : P/I/S/A peserta tanggal lahir 01/07/1972, yang sudah sejak tanggal 20/10/2010 masuk Rumah Sakit
Umum Dompu Akibat luka dalam yang dialaminya pada rusuk bagian kiri, selama dua hari menginap dirumah
sakit yakni pada ruangan perawatan kelas I dengan harga Rp. 30.000,- (Tiga Puluh Ribu Rupiah) Per hari total
Rp. 60.000,- (Enam Puluh Ribu Rupiah) selama dua hari, ditambah dengan biaya lain-lain sampai dengan Rp
363,000,- (tiga Ratus Enam Puluh Tiga Ribu Rupiah), Pembayaran berdasarkan ketentuan pihak Rumah Sakit,
yang memang pada saat awal masuk rumah Sakit, di Tanya oleh petugas Rumah Sakit “apakah mau masuk kelas I
atau Kelas II pak/bu?”, kira-kira begitu dicontohkan oleh salah satu petugas RSUD dibagian yang menangani
Jamkesmas, pada saat Dinamika Info News menelusuri apakah nama Salahudin terkafer atau tidak sebagai peserta
Jamkesmas diruang registrasi Jaminan Kesehatan gratis RSUD Dompu, 28/03/11.
Begitu juga penjelasan keluarga penderita, justru ditanya dengan pertanyaan yang sama oleh
pihak rumah sakit bahwa kelas yang akan di masuki oleh pasien adalah kelas I atau Kelas II,
beberapa keluarga penderita tumor yang enggan disebut namanya pada saat dikonfirmasi
Majalah Dinamika Info News dikediamannya di Desa Madaprama 27/03/11.

Keluarga penderita mengeluhkan, sungguh Ironisnya, pihak Rumah Sakit sudah mengetahui
bahwa calon pasien itu memiliki Kartu Jaminan Kesehatan secara gratis, kenapa justru
dipertanyakan lagi, sementara untuk JAMKESMAS hanya kelas III yang bisa dipakai untuk
tempat merawat penderita, “inikan sama halnya program tersebut dibisniskan”, keluhnya.
Kenyataan menunjukan bahwa pemerintah tidak memiliki tuntunan atau pegangan kode etik atau moral secara
memadai. Asumsi bahwa semua aparat pemerintah adalah pihak yang telah teruji pasti selalu membela
kepentingan publik atau masyarakatnya, tidak selamanya benar. Banyak kasus membuktikan bahwa
kepentingan pribadi, keluarga, kelompok, partai dan bahkan struktur yang lebih tinggi justru mendikte
perilaku seorang birokrat atau aparat pemerintahan. Birokrat dalam hal ini tidak memiliki “independensi”
dalam bertindak etis, atau dengan kata lain, tidak ada “otonomi dalam beretika”. Alasan lain lebih berkenaan
dengan lingkungan di dalam birokrasi yang memberikan pelayanan itu sendiri.

Berkenaan dengan karakteristik masyarakat umum yang terkadang begitu variatif sehingga membutuhkan
perlakuan khusus. Mempekerjakan pegawai negeri dengan menggunakan prinsip “kesesuaian antara orang
dengan pekerjaannya” merupakan prinsip yang perlu dipertanyakan secara etis, karena prinsip itu akan
menghasilkan ketidak adilan, dimana calon yang dipekerjakan hanya berasal dari daerah tertentu yang relatif
lebih maju

Kebijakan mengutamakan “putera daerah” merupakan salah satu contoh yang populer saat ini. Alasan penting
lainnya adalah peluang untuk melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika yang berlaku dalam
pemberian pelayanan kesehatan sangat besar. Pelayanan kesehatan tidak sesederhana sebagaimana
dibayangkan, atau dengan kata lain begitu kompleksitas sifatnya baik berkenaan dengan nilai pemberian
pelayanan itu sendiri maupun mengenai cara terbaik pemberian pelayanan kesehatan itu sendiri.
Kompleksitas dan ketidakmenentuan ini mendorong pemberi pelayanan kesehatan mengambil langkah-
langkah profesional yang didasarkan kepada “keleluasaan bertindak” (discretion).
CARA MENGATASI
PERMASALAHAN ETIKA
PELAYANAN KESEHATAN
1. Lebih berkenaan dengan lingkungan di dalam birokrasi yang memberikan pelayanan
kesehatan itu sendiri. Desakan untuk memberi perhatian kepada aspek kemanusiaan
dalam organisasi (organizational humanism) telah disampaikan oleh Denhardt. Dalam
literatur tentang aliran human relations dan human resources, telah dianjurkan agar
manajer harus bersikap etis, yaitu memperlakukan manusia atau anggota organisasi
secara manusiawi. Alasannnya adalah bahwa perhatian terhadap manusia (concern for
people) dan pengembangannya sangat relevan dengan upaya peningkatan produktivitas,
kepuasan dan pengembangan kelembagaan.
2. Dalam konteks ini, yang lebih penting adalah bahwa kode etik itu tidak hanya sekedar ada, tetapi
juga dinilai tingkat implementasinya dalam kenyataan. Bahkan berdasarkan penilaian implementasi
tersebut, kode etik tersebut kemudian dikembangkan atau direvisi agar selalu sesuai dengan tuntutan
perubahan jaman. Kita mungkin perlu belajar dari negara lain yang sudah memiliki kedewasaan
beretika. Di Amerika Serikat, misalnya, kesadaran beretika dalam pelayanan kesehatan telah begitu
meningkat sehingga banyak profesi pelayanan kesehatan yang telah memiliki kode etik.
3. Dalam praktek pelayanan kesehatan saat ini di Indonesia, seharusnya kita selalu memberi perhatian
terhadap berbagai dilema di atas. Atau dengan kata lain, para pemberi pelayanan kesehatan harus
mempelajari norma-norma etika yang bersifat universal, karena dapat digunakan sebagai penuntun
tingkah lakunya. Akan tetapi norma-norma tersebut juga terikat situasi sehingga menerima norma-
norma tersebut sebaiknya tidak secara kaku. Bertindak seperti ini menunjukan suatu kedewasaan
dalam beretika. Dialog menuju konsensus dapat membantu memecahkan dilema tersebut. Harus ada
kedewasaan untuk melihat dimana kita berada dan tingkatan hirarki etika manakah yang paling tepat
untuk diterapkan.a

Anda mungkin juga menyukai