Anda di halaman 1dari 31

Pengertian,

Klasifikasi, dan
Aspek Fisiologi
Dormansi
Oleh:
Anisa atika putri (4193220011)
Kiki Imelda Sirait (4193220012)
Rangga Adinata (4193220013)
Ahyana Rehani (4193220009)
Silvia Nazelina Hasibuan
(4193220031)

2
Tahapan Dormansi

Lokasi
Pengertian dan
Pengendalian
Klasifikasi
Dormansi
Dominansi
Apikal
Aspek
Molekuler
3
Pengertian dan Klasifikasi
Dormansi merupakan fase istirahat dari suatu organ tanaman yang 
mempunyai potensi untuk tumbuh aktif, karena mempunya jaringan
meristem. Pada fase ini pertumbuhan organ tersebut hanya terhenti
sementara. Pertumbuhan yang terhenti ini hanya dinilai secara visual. 
Jaringan meristem selalu terdapat pada organ
indeterminate, seperti embriobiji, tunas apikal, tunas
lateral, ujung akar, dan kambium. Selain itu, juga terdapat pada organ
determinate, seperti daun, bunga, dan buah, tetapi hanya
selama fase awal perkembangannya. Jika organ organ dengan jaringanm
eristem ini terhenti pertumbuhannya secara sementara, maka organ-
organ ini disebut berada dalam keadaan dorman.
Organyang dalam keadaan dorman, pertumbuhannya hanya terhenti
secarasementara. Jadi organ ini akan tumbuh kembali setelah masa dor
mannyahabis. Periode dormansi dipengaruhi oleh faktor lingkungan, ter
utama suhu.

4
Dormansi dapat dibedakan menjadi beberapa yaitu :

Endodormansi Paradormansi Ekodormansi


Adalah dormansi di mana
Adalah dormansi di mana Adalah dromansi yang
reaksi awal yang
reaksi awal yang disebabkan oleh satu atau
menyebabkan
mengendalikan lebih factor lingkungan
pengendalian
pertumbuhan berasal dari yang tidak sesuai untuk
pertumbuhan berasal dari
(atau pertama diterima
sinyal endogen atau metabolism yang
oleh) organ selain yang
lingkungan yang mengakibatkan
mengalami dormansi
langsung diterima oleh terhentinya pertumbuhan
organ itu sendiri

20XX 5
Sistem klasifikasi dormansi yang lebih lengkap diusulkan oleh Gregory A.
Lang dari Lousiana State University, Amerika Serikat.
Pada sistem klasifikasi Lang ini, dormansi selain dipilah berdasarkan
prosesnya menjadi endodormansi, paradormansi, dan ekodormansi. Pada masing-
masing proses dormansi tersebut dipilah-dipilah lagi
sesuai dengan faktor penyebab dormansi tersebut. Sebagai contoh, jika 
penyebab dormansi adalah suhu rendah yang diterima langsung oleh organ
yang menjadi dorman tersebut, maka dormansi ini di klasifikasikan sebagai
endodormansi kriogenik. 
Demikian pula jika dormansi tersebut disebabkan oleh factor
lingkungan yang berupa kekurangan air, maka dormansi ini
diklasifikasikan sebagai ekodormansi hidrasional. 
TAHAP DORMANSI
Pertumbuhan (untuk tunas) atau
perkecambahan (untuk benih). Induksi

Pertumbuhan
(untuk tunas)
atau Maintenance
perkecambahan
(untuk benih)

Pemecahan Dormansi
7
Induksi Dormansi
Salah satu faktor penyebab dormansi adalah fotoperiod (lama penyinaran). Bebe
rapa spesies diketahui sangat sensitif terhadaplama penyinaran, misalnya Acer p
seudoplatanus dan Betulapubescens. Tunas pada kedua spesies ini akan menjadi
dorman jika diberikan perlakuan hari pendek dan akan terus tumbuh jika diberi
perlakuan hari panjang.

Dormansi pada tunas lateral sebagai akibat dominansi apikal dapat
berlangsung lama dan dapat terjadi perubahan dari paradormansi
menjadi endodormansi.
Tingkat dormansi di ukur berdasarkan konsentrasi giberelin yang dibutuhkan un
tuk merangsang pertumbuhan tunasyang bersangkutan. Semakin tinggi konsen
trasi giberelin yang dibutuhkan, maka tunas tersebut berada pada tingkat dorm
ansi yang lebih tinggi.

8
Maintenance
Tunas akan tetap dalam keadaan dorman selama kondisi
lingkungannya (panjang hari dan suhu) tidak berubah
sejak induksi dormansi terjadi. 
Tanaman mangga (Mangifera indica) dan beberapa
tanaman lainnya menunjukkan keunikan dalam
pertumbuhan batangnya, di mana bagian apikal batang
akan berada dalam kondisi dorman dan  tumbuh aktif
secara bergantian.
Hal ini berlangsung secara periodik. Pergantian dari dorman ke tumbuh 
aktif atau sebaliknya
ini akan tetap terjadi walaupun kondisi lingkungannya
relatif tidak berubah.
Akan tetapi, ketersediaan air diyakini menjadi pemicu untuk induksi ata
pemecahan dormansi.

9
• Pemecahan Dormansi
Dormansi biji pada beberapa spesies dapat dipecahkan atau
dihilangkan dengan perlakuan suhu rendah atau cahaya.
Proses pemecahan dormansi ini dapat berlangsung dalam waktu
singkat, sehingga perlakuan tersebut tidak perlu diberikan dalam 
waktu lama.
• Perlakuan dengan suhu.
Cara yang sering dipakai adalah dengan memberi temperature
rendah pada keadaan lembap (Stratifikasi). Selama stratifikasi terjadi
sejumlah perubahan dalam benih yang berakibat menghilangkan
bahan-bahan penghambat perkecambahan atau terjadi pembentukan
bahan-bahan yang merangsang pertumbuhan.
• Perlakuan dengan cahaya.
Cahaya berpengaruh terhadap prosentase perkecambahan
benih dan laju perkecambahan. Pengaruh cahaya pada benih bukan
saja dalam jumlah cahaya yang diterima tetapi juga intensitas cahaya
dan panjang hari.

10
• Waktu dormansi berakhir umumnya didasarkan atas suatu
ukuran yang bersifat kuantitatif Untuk tunas dan biji, 
dormansi dinyatakan berhasil dipecahkan jika 50% atau
lebih dari populasi biji tersebut telah berkecambah atau
50% dari tunas yang diuji telah menunjukkan
pertumbuhan secara fisiologis, dormansi pada biji atau
tunas dinyatakan berakhir jika secara visual biji atau tunas t
ersebut telah menunjukkan fenomena pertumbuhan.
• Perlakuan suhu rendah untuk memecahkan dormansi pada
tunas akan lebih efektif jika setelah dormansi dipecahkan
segera diikuti dengan perlakuan suhu yang optimal untuk
memacu pertumbuhan.

11
Pertumbuhan (untuk tunas) atau
perkecambahan (untuk benih)

Dormansi tunas apel (Malus sylvestris) dapat dipecah
kandengan perlakuan hidrogen sianamida (hydrogen
 cyanamide) pada fase awal dormansi. Akan tetapi
pertumbuhan tunas ini (setelah dormansinya 
dipecahkan) berlangsung sangat lambat. 
Berdasarkan fakta ini, maka
disimpulkan bahwa pemecahan dormansi dan
pertumbuhan tunas selanjutnya dikendalikan oleh
 proses atau mekanisme yang berbeda.

12
Lokasi Pengendalian Dormansi
• Para dormansi, sesuai dengan definisinya, • Kulit biji dapat berperan sebagai penghambat
dikendalikan oleh organ selain tunas yang terjadinya perkecambahan, sehingga biji
dorman tersebut, umumnya pengendali organ tersebut digolongkan sebagai biji yang
tersebut adalah pucuk (tunas apikal) atau daun. berada dalam keadaan dorman.  Hambatan
Pembuangan bagian ujung tunas apikal disebut kulit biji tersebut mungkin disebabkan
bud-scale) dapat memicu pertumbuhan karena:
meristem jaringan. 1. Kulit mengandung senyawa penghambat
tumbuh; 
2. Kulit menghambat difusi oksigen dan/atau
air masuk ke dalam biji; 
3. Kulit memiliki resistensi mekanis yang
besar sehingga radikel tidak mampu untuk
tumbuh menembusnya.
13
Asam absisat (ABA) diyakini berperan dalam mengendalikan dormansi biji,
tetapi hanya ABA yang terkandung pada embrio yang terbukti dapat
mengendalikan dormansi;  sedangkan ABA pada bagian biji yang lainnya tidak
berhubungan dengan dormansi.  Dengan demikian, dormansi agaknya
berkemungkinan kecil disebabkan oleh senyawa yang terkandung dalam kulit biji.
 
Ada teori yang mengemukakan bahwa senyawa  felonik pada kulit biji (testa)
berperan menghambat difusi oksigen , sehingga tidak tersedia untuk
metabolisme embrio. berdasarkan teori ini, senyawa felonik tersebut akan
merembes ke luar jika biji tersebut diberi perlakuan suhu rendah dalam kondisi
lembab. jika teori ini benar, maka hambatan terhadap difusi oksigen oleh
senyawa felonik ini dapat diatasi dengan meningkatkan konsentrasi oksigen di
luar biji. Pengujian pada biji apel yang dalam keadaan dorman dengan perlakuan
100% oksigen membuktikan bahwa dormansi tidak disebabkan oleh hambatan
difusi oksigen oleh kulit biji, karena biji apel tersebut terbukti tidak
berkecambah. 
Pada beberapa spesies tanaman, dormansi lebih disebabkan oleh resistensi
mekanis kulit biji dan hambatan terhadap difusi air (imbibisi) untuk masuk ke
dalam biji. lika kulit biji pada bagian ujung chalazal dibuang, maka radikel akan
tumbuh tetapi sering tidak mampu menembus kulit biji.  Perlakuan pengasahan
kulit spesies (tidak menipiskan kulit biji) dilaporkan dapat mempercepat
perkecambahan pada berbagai yang memiliki kulit biji yang keras dan tebal.
14
Aspek Molekuler Dormansi
Dormansi diyakini berkaitan dengan gen yang
mengendalikan sintesis ABA atau giberelin. Jadi dormansi
berkaitan dengan aktivitas hormon. Inisiasi, kendali, dan
pemecahan dormansi ditentukan oleh keseimbangan antara
zat penghambat dan zat perangsang tumbuh. Walaupun
demikian, rangsangan awal untuk dormansi berasal dari
faktor lingkungan, misalnya suhu rendah, cahaya, dan
fotoperiod sebagaimana telah disinggung sebelumnya.
Beberapa jenis hormon telah ditelaah pengaruhnya terhadap
dormansi, antara lain ABA, giberélin, sitokinin, asan indo
lasetat (IAA), dan etilen.

15
• Dormansi ditinjau sebagai fenomena morfogenetik yang
dikendalikan oleh berbagai faktor yang saling berkaitan (correlative
influences). Dormansi tersebut dikendalikan oleh berbagai faktor
internal dan eksternal yang saling berinteraksi secara simultan
untuk menghasilkan status fisiologi berupa kemampuan atau
ketidakmampuan tunas untuk tumbuh atau biji (atau embrio) untuk
berkecambah. Berdasarkan argumentasi ini maka adalah tidak
mungkin untuk mendapatkan faktor tunggal yang menyebabkan
dormansi.
• Alasan yang mendukung kedua argumentasi di atas yakni:
1. Dormansi ditentukan oleh peranan hormon, dan
2. Dormansi merupakan fenomena yang lebih kompleks yang
disebabkan oleh inter aksi secara simultan antara beberapa faktor
internal dan eksternal.
16
Peran Hormon Terhadap Dormansi

Walaupun terdapat banyak jenis senyawa yang dapat


berperan menghambat pertumbuhan, ABA merupakan hormon
yang paling men dapat sorotan, sehubungan dengan
peranannya dalam mengendalikan dormansi, terutama karena
ABA banyak terakumulasi pada biji maupun tunas yang sedang
dalam keadaan dorman. Perubahan konsentrasi ABA pada biji
dan tunas selama perlakuan suhu rendah telah diteliti pada
banyak spesies untuk mengevaluasi korelasi antara kandungan
hormon ini dengan perubahan status dormansi pada biji atau
tunas tersebut.

17
Teori yang umum dianut adalah bahwa suhu rendah menurunkan
konsentrasi ABA, di mana penurunan konsentrasi ABA ini akan mengurangi
intensitas dormansi pada organ yang bersangkutan. Akan tetapi berdasarkan
penelitian pada berbagai spesies ini ternyata perlakuan suhu rendah tidak selalu
menyebabkan penurunan konsen trasi ABA pada biji atau tunas.
Selain ABA, giberelin juga diyakini mempunyai peran an dalam peristiwa
dormansi. Biji tanaman mutan yang mengandung giberelin dalam konsentrasi
yang sangat rendah tidak dapat berkecambah (berarti dalam keadaan dorman).
Dormansi pada biji yang miskin giberelin ini tidak dipengaruhi oleh ABA.
Berdasarkan pada fakta ini maka muncul hipotesis bahwa hormon yang lebih
berperanan dalam peristiwa dormansi adalah giberelin, bukan ABA. Perlakuan
suhu rendah dan penyimpanan biji dalam kondisi kering akan meningkatkan
sensitivitas biji terhadap gibere lin pada tanaman mutan maupun tanaman
normal Walaupun demikian, peran giberelin dalam memecah dormansi tidak
selalu dapat dibuktikan pada semua spesies. Ada spesies yang responsif
terhadap giberelin, tetapi ada pula spesies yang tidak dipengaruhi oleh
giberelin.
18
• Tiga hipotesis telah diajukan untuk menjelaskan kaitan perlakuan
suhu rendah dengan peran giberelin, yakni:
(1) Perlakuan suhu rendah memacu sintesis giberelin, sehing ga jika
benih atau tunas diberi perlakuan suhu rendah maka konsentrasi
giberelin pada organ tersebut akan meningkat, dan jika
konsentrasi giberelin tersebut telah melampaui nilai ambang
batas yang dibutuhkan maka dormansi akan dapat dipecahkan;
(2) Peningkatan konsentrasi giberelin selama perlakuan suhu rendah
menyebabkan terpicunya proses internal lain di mana proses
internal ini yang akan menyebabkan pemecahan dormansi; dan
(3) Perlakuan suhu rendah menghilangkan faktor yang menghambat
sintesis giberelin.

19
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk menguji keabsahan masing-masing

hipotesis di atas, tetapi hasilnya tidak selalu konsisten untuk semua spesies atau organ

yang diuji.

Aplikasi zat penghambat sintesis giberelin pada biji Corylus avellana selama perlakuan

suhu rendah (stratifikasi) tidak menyebabkan hambatan terhadap perkecambahan

selanjutnya dari biji tersebut pada suhu 20°C; tetapi aplikasi zat penghambat tumbuh ini

pada waktu perkecambahan berlangsung terbukti dapat menghambat laju perkecam

bahan biji tanaman ini.

Hasil pengujian ini agaknya mendukung hipotesis bahwa suhu rendah menghilangkan

penga ruh zat penghambat sintesis giberelin (hipotesis 3 di atas).Paklobutrazol

(paclobutrazol) terbukti dapat mengham bat sintesis giberelin selama perlakuan suhu

rendah, akan tetapi perkecambahan tetap tidak terpengaruh setelah per lakuan suhu

rendah dihentikan dan biji dikecambahkan pada suhu 20°C. Hasil ini mengisyarakat bahwa

ada faktor peran etilen baru akan tampak jika biji atau tunas tersebut secara parsial telah
20
mengalami proses pemecahan dorman
Faktor Nonhormonal dalam Dormansi

Selain peran hor mon, dua proses lain yang banyak


mendapat perhatian sehubungan dengan dormansi adalah
1. Metabolisme asam nukleat dan
2. Permeabilitas membran sel.
Jaringan dari biji atau tunas dalam keadaan dorman kurang
mampu untuk mengkonversi nukleotida adenilat (adenylic),
yakni ATP menjadi nukleotida nonadenilat, yakni NTP yang
terdiri dari nukleotida guanilat (guanylic), sitidilat (cytidy lic),
dan uridilat (uridylic). Lambatnya konversi ATP menja di NTP ini
menyebabkan nisbah ATP/NTP menjadi rendah setelah
jaringan dorman tersebut diinkubasi dengan adeno sin.
Konversi adenosin menjadi ATP tidak terhambat pada jaringan
dorman.
21
Permeabilitas membran sel dapat diukur dengan meng gunakan suatu asam
lemah seperti 5,5-dimethyl-oxazolidine 2.4 dione (disingkat DMO) Permeabilitas
membran sel diukur berdasarkan nisbah DMO yang berada di dalam sel (Ci) dan
yang berada dalam ruang antar sel (Ce).
Sehubungan dengan ini, dikembangkan hipotesis bahwa pergerakan unsur
hara dari jaringan submeristematik ke tunas menjadi terhambat selama dormansi
berlangsung dan hambatan oleh membran ini menjadi hilang jika dormansi telah
dipecahkan. Jika hipotesis ini benar, maka nisbah Ci/Ce akan lebih tinggi pada
jaringan batang (permeabilitasnya lebih tinggi) dibandingkan pada tunas
(permeabilitasnya lebih rendah) selama dormansi.

Selanjutnya nisbah Ci/Ce akan sama atau menjadi lebih rendah jika dormansi
telah dipecahkanHipotesis di atas didasarkan atas asumsi bahwa pergerakan
senyawa organik dari sel ke sel melalui plasmodes mata bersifat paralel dengan
pengangkutan elektrolit dari ruang antar sel masuk ke protoplasma. Walaupun
pergerakan ke meristem melibatkan proses masuk ke (loading) dan ke luar dari
(unloading) pembuluh floem, karbohidrat sebagai senyawa nonelektrolit tidak
akan berperilaku seperti elektrolit.
22
Dormansi Apikal
Fenomena dominansi apikal telah diketahui sejak lama dan telah
dimanfaatkan untuk memanipulasi pola pertumbuhan tanaman, dengan
tujuan akhir untuk meningkatkan hasil tanaman atau untuk 
meningkatkan kualitas hasil.
Dominansi apikal dapat didemonstrasikan dengan mudah pada 
tanaman semusim.  Pada pohon yang bercabang banyak (polyaxial),
 dikembangkandua terminologi, yakni dominansi apical untuk 
menggambarkan hambatan pucuk terhadap tunas-tunas
lateral pada gembar-gembor yang sama dankendali apikal (apical
control) untuk pengaruh titik tumbuh utama terhadap
seluruh cabang tanaman.

23
Berbagai faktor dapat mempengaruhi ekspresi dominan
si apikal ini, baik faktor fisik maupun kimia (Gambar
9.2). Faktor fisik meliputi antara lain cahaya (intensitas
dan fotoperiod), suhu, air, gravitasi, dan bidang
bioelektrik; sedangkan faktor kimia meliputi antara lain 
karbondioksida, oligosakarin,
protein, senyawa anorganik, dan berbagai jenis hormon (ABA
, giberelin, sitokinin, auksin, dan etilen).    

   Pengaruh cahaya terhadap dominansi apikal ini sering
dikaitkan dengan perubahan kandungan atau komposisi
hormon dan karbohidrat pada bagian apikal tanaman yang
 bersangkutan. Perubahan ini dapat terjadi akibat
pemacuan atau hambatan terhadap laju sintesis atau
pengangkutan dari hormon atau karbohidrat tersebut. Horm
on yang banyak mendapat perhatian dalam kasus iniadalah I
AA.

24
Di antara unsur-unsur hara esensial bagi tanaman, nitrogen merupakan unsur hara
yang paling berpengaruh terhadap dominansi apikal. Jika tanaman mengalami defisiensi
nitrogen, maka pertumbuhan cabang lateral menjadi terhambat; sebaliknya jika nitrogen
yang terkandung dalam jaringan tanaman tinggi, maka cabang lateral lebih terpacu
pertumbuhannya. Peran nitrogen dalam dominansi apikal ini paling tidak telah diamati pada
tanaman Phaseolus sp. dan beberapa spesies lainnya.

Peningkatan konsentrasi karbondioksida dapat mempercepat inisiasi pertumbuhan


tunas lateral (berarti mempercepat pemecahan dormansi), tetapi tidak meningkatkan jumlah
cabang lateral yang terbentuk. Dominansi apikal dikaitkan dengan proses kompetisi untuk
memanfaatkan unsur hara, dikendalikan oleh senyawa yang dapat ditranslokasikan
(translocatable substance), dan aktivitas hormon.

Teori kompetisi nutrisi didasarkan pada kenyataan bahwa titik tumbuh akar (root
apex) dan titik tumbuh batang (shoot apex) terdapat pada embrio yang telah matang dan
kedua titik tumbuh ini akan tumbuh pada saat perkecambahan biji. Pertumbuhan kedua titik
ini berlangsung dengan memanfaatkan unsur-unsur hara yang berasal dari jaringan lain pada
biji tersebut. Pada tanaman dewasa, tunas lateral tidak tumbuh (berdasarkan teori ini) juga
disebabkan karena unsur-unsur hara yang diserap akar akan lebih banyak dimanfaatkan oleh
kedua titik tumbuh tersebut.

25
Pada perkembangan selanjutnya, dominansi apikal diyakini lebih disebabkan oleh
suatu senyawa yang diangkut dari titik tumbuh ke arah pangkal batang, di mana senyawa
tersebut berperan sebagai penghambat tumbuh. Teori translokasi senyawa penghambat
tumbuh ini banyak didukung oleh hasil penelitian dengan cara mengerat batang.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, tunas lateral yang berada di bawah posisi keratan
batang dapat tumbuh, berarti tidak dipengaruhi oleh dominansi apikal. Dengan demikian
berarti bahwa dominansi apikal tidak sepenuhnya disebabkan oleh keunggulan titik
tumbuh dalam berkompetisi memanfaatkan unsur hara yang tersedia.
Pada saat sekarang, dominansi apikal banyak dikaitkan dengan peran berbagai jenis
hormon dan interaksi antara hormon-hormon tersebut. Auksin merupakan hormon yang
pertama mendapat perhatian sehubungan dengan dominansi apikal ini. Hal ini tidak lain
disebabkan karena auksin merupakan hormon yang pertama diidentifikasi, sehingga pada
saat tersebut semua gejala pertumbuhan dianggap berkaitan dengan auksin.
Pada saat sekarang peran auksin dalam dominansi apikal sering diragukan. Peran
auksin dalam dominansi apikal hanya tampak jika konsentrasi auksin secara umum lebih
dari 10 kali lipat dari konsentrasi auksin yang secara alami terkandung pada pucuk apikal.
Keraguan akan peran auksin juga bertambah setelah didemonstrasikan bahwa
pertumbuhan pucuk apikal terpacu jika tunas dan cabang lateral dibuang, di mana
pemacuan pertumbuhan pucuk apikal ini tidak dapat dilakukan dengan aplikasi auksin.
Dengan demikian terlihat adanya pengaruh timbal-balik antara pucuk apikal dengan tunas
lateral.

26
Ketidakpuasan terhadap auksin, merangsang upaya untuk mencari faktor
hormonal lain yang berperan dalam dominansi apikal. Kinetin diketahui
merangsang pembentukan tunas pada tembakau, berarti mengurangi
dominansi apikal, tetapi kinetin tidak dijumpai secara alami dalam jaringan
tumbuhan. Berdasarkan fakta ini kemudian banyak dilakukan penelitian
sehubungan dengan peran sitokinin dalam dominansi apikal.
Sitokinin menetralisir dominansi apikal melalui perannya dalam
merangsang pembelahan sel. Peran sitokinin dalam menghilangkan
dominansi apikal pada kebanyakan kasus hanya besifat sementara, sehingga
disimpulkan bahwa sitokinin mungkin hanya berpengaruh secara tidak
langsung atau sebagai hasil interaksi antara sitokinin dengan hormon lainnya.
Aplikasi giberelin pada tanaman tidak menyebabkan bertambahnya jumlah
tunas lateral yang tumbuh. Dengan demikian, giberelin tidak berperan dalam
mengurangi dominansi apikal. Hanya saja giberelin dapat berfungsi
mempercepat laju pertumbuhan tunas lateral jika tunas tersebut telah
tumbuh.
27
Peran ABA juga telah diuji dalam kaitannya dengan dominansi apikal.
Berdasarkan hasil beberapa pengujian, terlihat bahwa ABA dapat menghambat
pertumbuhan tunas lateral. Akan tetapi, hambatan terhadap pertumbuhan
tunas lateral ini tergantung pada konsentrasi ABA yang diaplikasikan. Secara
umum, konsentrasi ABA yang dibutuhkan untuk menghambat perkembangan
tunas lateral adalah 2 sampai 3 kali lebih tinggi dari konsentrasi ABA endogen.
Dengan demikian, timbul keraguan atas peran ABA dalam dominansi apikal.
Selain ditentukan oleh konsentrasinya, peran ABA dalam menghambat
pertumbuhan tunas lateral juga tergantung pada umur tanaman. Jika
diaplikasikan pada tanaman muda yang aktif tumbuh, ABA memang akan
menghambat tumbuhnya tunas lateral; tetapi jika diberikan setelah tanaman
dewasa, maka pengaruh ABA tersebut tidak tampak nyata.
Besarnya peran ABA dalam dominansi apikal agaknya berbeda untuk spesies,
umur tanaman, stadia pertumbuhan, dan konsentrasi yang berbeda. Selain itu,
diyakini ada interaksi antara IAA dengan ABA dalam mengendalikan dominansi
apikal.

28
Selain ditentukan oleh konsentrasinya, peran ABA dalam menghambat
pertumbuhan tunas lateral juga tergantung pada umur tanaman. Jika
diaplikasikan pada tanaman muda yang aktif tumbuh, ABA memang akan
menghambat tumbuhnya tunas lateral; tetapi jika diberikan setelah tanaman
dewasa, maka pengaruh ABA tersebut tidak tampak nyata.    

   Besarnya peran ABA dalam dominansi apikal agaknya berbeda untuk
spesies, umur tanaman,
stadia pertumbuhan, dan konsentrasi yang berbeda. Selain itu, diyakini ada
 interaksi antara IAA dengan ABA dalam mengendalikan dominansi apikal.
   Etilen juga tidak lolos dari perhatian peneliti. Teori yang umum
dikemukakan sehubungan dengan peran etilen dalam dominansi apical
dikaitkan dengan peran IAA
yang memacu sintesis etilen. Jika IAA diangkut dari pucuk apikal secara basipetal 
ke tunas lateral, maka sintesis etilen pada jaringan tunas
lateral akan meningkat, dan sebagai akibatnya pertumbuhan tunas
lateral akan dihambat
29
Jika etilen berperan tunggal dalam menghambat pertumbuhan tunas lateral, maka
jika pucuk apikal dibuang seharusnya konsentrasi etilen pada tunas lateral juga turun;
selanjutnya jika IAA diaplikasikan pada muka potong setelah pucuk apikal dibuang, maka
seharusnya sintesis etilen kembali dipacu. Akan tetapi hal ini tidak terjadi. Dengan
demikian disimpulkan bahwa etilen juga tidak berperan secara mutlak dalam
mengendalikan dominansi apikal.

Berdasarkan uraian tentang peranan masing-masing jenis hormon di atas, tidak


dapat disimpulkan secara meyakinkan tentang jenis hormon yang berperan dominansi
apikal. Kemungkinan dominansi apikal tersebut dikendalikan oleh lebih dari satu hormon
yang saling pengaruh satu sama lain. Faktor nonhormonal sebagaimana dijelaskan
sebelumnya juga mungkin terlibat baik secara langsung ataupun secara sekunder atau
secara tidak langsung.

Sehubungan dengan faktor yang berperan dalam dominansi apikal ini, George C.
Martin dari University of California at Davis mengemukakan hipotesis sebagai berikut: IAA
pada pucuk apikal merangsang aksi enzim endo B-glukanase, di mana enzim ini akan
memecah molekul oligosakarin pada dinding sel pucuk apikal. Jika oligosaka rin diangkut
ke tunas lateral, maka senyawa ini akan menghambat pertumbuhan tunas lateral tersebut.
Urutan reaksi ini tidak tergantung pada konsentrasi IAA, tetapi tergantung pada
keberadaan senyawa penerimanya.
30
Thank you

31

Anda mungkin juga menyukai