Bab Obat Tradisional
Bab Obat Tradisional
Obat bahan alam yang diproduksi di Indonesia, berdasarkan cara pembuatan, jenis klaim penggunaan dan khasiat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu:
1. Jamu (Obat tradisional Indonesia)
2. Obat Herbal Terstandar.
3. Fitofarmaka
A. Jamu (Obat Tradisional Indonesia)
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009 tentang
kesehatan,
obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan ,
hewani, mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan tersebut yang
secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai
dengan norma yang berlaku di masyarakat.
Penandaan
Jamu atau obat tradisional Indonesia harus mencantumkan penandaan berikut:
1. Logo dan tulisan “JAMU”
2. Logo berupa “ranting daun yang terletak dalam lingkaran”
3. Logo ditempatkan pada bagian atas sebelah kiri wadah/pembukus brosur.
4. Logo (ranting daun yang terletak dalam lingkaran) dicetak dengan warna
hijau diatas dasar warna putih atau warna yang menyolok kontras
dengan warna logo.
5. Tulisan “JAMU” harus jelas dan mudah terbaca, dicetak dengan warna
hitam diatas warna putih atau warna menyolok kontras dengan tulisan
“JAMU”
Kriteria yang harus dipenuhi
Obat tradisional Indonesia harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. Aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan
2. Klaim penggunaan dibuktikan berdasarkan data empiris
3. Memenuhi persyaratan mutu yang berlaku.
4. Jenis klaim penggunaan diawali dengan kata
“secara tradisional digunakan untuk .....”
B. Obat Herbal Terstandar (OHT)
Obat herbal terstandar (OHT) adalah sediaan obat bahan alam yang telah
dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan bahan
bakunya telah distandarisasi.
Penandaan
Obat herbal terstandar (OHT) harus mencantumkan penandaan berikut.
1. Logo dan tulisan “OBAT HERBAL TERSTANDAR”
2. Logo berupa jari-jari daun (3 pasang) terletak dalam lingkaran dan ditempatkan
Penandaan
Fitofarmaka harus mencantumkan penandaan berikut:
1. Logo dan tulisan “FITOFARMAKA”
2. Logo berupa jari-jari daun (yang membentuk bintang), yang terletak
dalam lingkaran dan ditempatkan pada bagian atas sebelah kiri
wadah/pembungkus/brosur.
3. Logo (jari-jari daun dalam lingkaran) dicetak dengan warna hijau di atas
dasar putih atau warna lain yang menyolok kontras dengan warna logo.
4. Tulisan “FITOFARMAKA” harus jelas dan mudah dibaca dan dicetak
dengan warna hitam diatas dasar warna putih atau warna lain yang
mencolok kontras dengan tulisan “FITOFARMAKA”
Kriteria yang harus dipenuhi
Fitofarmaka harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. Aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan.
2. Klaim khasiat harus dibuktikan berdsarkan uji klinik
3. Telah dilakukan standarisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam
produk jadi
4. Memenuhi persyaratan mutu yang berlaku.
Pedoman Fitofarmaka
Ramuan
1. Ramuan (komposisi) hendaknya terdiri dari satu simplisia atau sediaan galenik.
2. Ramuan juga dapat terdiri dari atas beberapa simplisia atau sediaan galenik
dengan syarat tidak melebihi lima simplisia atau sediaan galenik.
3. Simplisia sekurang-kurangnya telah diketahui khasiat dan keamanannya
berdasarkan pengalaman.
Standar bahan baku
1. Bahan baku memenuhi persyaratan yang tertera dalam:
Farmakope Indonesia,
Ekstra Farmakope, atau
Materia Medika Indonesia.
Standar bahan baku dapat menggunakan persyaratan mutu dari Negara lain.
Untuk menjamain khasiat dan keamanan fitofarmaka, maka bahan baku sebelum digunakan harus
dilakukan pengujian melalui analisis kualitatif dan kuantitatif.
PENGUJIAN OBAT BAHAN ALAM INDONESIA
Pengujian Organoleptis
Teknik pengujian ini dengan menggunakan indera manusia untuk mengidentifikasi
bentuk, warna, bau, dan rasa dari obat tradisional.
Pengujian Mikrobiologis
Pengujian secara mikrobiologis meliputi:
1. Angka lempeng total
2. Angka kapang dan khamir
3. Mikroba patogen
Uji praklinik dan klinik.
Uji praklinik
Merupakan persyaratan uji untuk calon obat. Uji ini memberikan informasi
tentang efikasi, profil farmakokineika, dan toksisitas calon obat. Hewan yang
digunakan adalah mencit, tikus, kelinci, marmot, hamster dan anjing,
beberapa juga menggunakan primata.
Uji praklinik dapat berupa uji toksisitas. Uji praklinik ini meliputi:
1. Uji toksisitas akut, jangka waktu pengujian 2 minggu
2. Uji toksisitas sub-akut, waktu pengujian 3 bulan
3. Uji toksisitas kronik, waktu pengujian lebih dari 6 bulan.
4. Uji toksisitas spesifik, meliputi uji teratogenik, uji mutagenic, uji karsinogenik,
dan uji iritasi kulit.
Uji klinik
Merupakan pengujian pada calon fitofarmaka untuk mengetahui atau memastikan
adanya khasiat farmakologi, tolerabilitas, dan keamanan. Serta uji klinik untuk pencegahan
penyakit, pengobatan penyakit, dan gejala penyakit.
Tahapan Uji Klinik
Fase I
Calon obat diuji pada sukarelawan sehat untuk mengetahui apakah sifat yang diamati
pada hewam percobaan juga terlihat pada manusia. Pada fase ini ditentukan hubungan
dosis dan efek yang diberikan serta profil farmakokinetika obat pada manusia.
Fase II
Calon obat diujikan pada pasien tertentu dan diamati efikasinya pada penyakit yang
diobati. Profil yang diharapkan dari obat adalah mempunyai efek potensial dengan efek
samping rendah atau tidak toksik. Pada fase ini, mulai dilakukan pengembangan dan
uji stabilitas bentuk sediaan obat.
Fase III
Fase ini melibatkan sekelompok besar pasien. Dalam fase ini, obat baru dibandingkan
efek dan keamanannya terhadap obat pembanding yang sedah diketahui.
Fase IV
Setelah obat dipasarkan, masih dilakukan studi pasca-pemasaran. Pengamatan
dilakukan pada pasien dengan berbagai kondisi, usia, dan ras. Studi ini dilakukan
dalam jangka panjang dalam menggunakan obat. Fase ini meliputi pemantauan
toksisitas obat yang beredar.
Larangan Obat Tradisional