Anda di halaman 1dari 20

UNIVERSITAS MUHAMADIYAH

MALANG

Perjanjian
Kawin
WINDHIYA ALFATIKHA
PUTRI
201910110311032
HUKUM A
AKIBAT HUKUM PERJANJIAN
PERKAWINAN YANG TIDAK
DISAHKAN OLEH PEGAWAI
PENCATAT PERKAWINAN
Penulis: Erdhyan Paramita

URL: https://jurnal.uns.ac.id/repertorium/article/viewFile/18252/14458
SUBSTANSI JURNAL

Jurnal ini berisi tentang keabsahan perjanjian perkawinan yang tidak disahkan oleh Pegawai Pencatat
Perkawinan dan menganalisa akibat hukum bagi suami istri dan pihak ketiga tentang perjanjian
perkawinan yang tidak disahkan.

1. Keabsahan Perjanjian Perkawinan Yang Tidak Disahkan Oleh Pegawai Pencatat Perkawinan
Di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ayat (1) pasal 29 ayat (1) ditentukan bahwa “perjanjian
perkawinan harus dibuat pada saat atau sebelum perkawinan den disahkan oleh oleh Pegawai Pencatat
Perkawinan”.

Namun, terdapat ketidak jelasan mengenai makna “disahkan” di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 ayat (1) pasal 29 ayat (1). Apakah pengesahan yang dimaksud untuk mengesahkan perjanjian yang
sebelumnya belum sah menjadi sah atau untuk publikasi terhadap pihak ketiga dan menunjukkan
eksistensi dari perjanjian tersebut.

NEXT
Pasal disamping memberi
Dalam buku ke III KUHPerdata SUBSTANSI JURNAL kebebasan terhadap para pihak
terlihat pada pasal 1338 ayat 1 untuk menentukan sendiri
menyebutkan bahwa “semua substansi dari perjanjian
perjanjian yang dibuat sah tersebut. Yang penting tidak
berlaku ebagai Undang-Undang bertentangan dengan norma
bagi mereka yang membuatnya” kesusilaan dan norma yang
lainnya.

► Karena ketidak jelasan itulah ►Pengesahan perjanjian perkawinan yang


menimbulkan multitafsir terhadap substansi disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan
hukum itu sendiri. Maksudnya adalah terdapat unsur yang bersifat publikasi
pengesahan yang dilakukan oleh Pegawai terhadap orang ketiga. Pengesahan tersebut
Pencatat Perkawinan memiliki fungsi hanya untuk mencatatkan perjanjian kawin
pengesahan atau hanya sebagaib syarat tersebut yang nantinya akan dimuat di
publisitas. Sehingga, masyarakat yang dalam akta perkawinan. Sehingga pihak
kurang paham terhadap istilah-istilah hujum ketiga yang terkait akan mengetahui tentang
akan mengaggap bahwa pengesahan adanya perjanjian perkawinan tersebut.
tersebut diperlukan untuk membuat
perjanjian yang belum sah menjadi sah.
SUBSTANSI JURNAL
2. Akibat Hukum Perjanjian Perkawinan Yang Tidak Disahkan Pegawai Pencatat Perkawinan
Terhadap Suami-istri Da Pihak Ketiga

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pada pasal 35 ayat (2) ditegaskan
bahwa”Harta bawaan dari masing-masing suami-istri dan harta benda yang diperoleh masing-
masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah pengawasan masing-masing sepanjang para
pihak tidak menentukan lain”.

Harta bersama yaitu benar-benar murni dari hasil pencaharian suami-istri selama perkawinan
berlangsung, baik harta suami peroleh dari pekerjaannya maupun dari hasil pekerjaan sang istri yang
disebut sebagai harta bersama

Berdasarkan ketentuan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan diatur
bahwa
a. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama;
b. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta bawaan yang diperoleh dari masing-
masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para
pihak tidak menentukan lain. NEXT
SUBSTANSI JURNAL

Dari ketentuan Pasal 35 (b) dapat diketahui bahwa asas yang terkandung dalam Undang-Undang
perkawinan di Indonesia adalah menganut asas terpisah. Artinya bahwa setiap harta bawaan yang
dibawa masuk ke dalam perkawinan tidak secara otomatis menjadi harta bulat.

Apabila terdapat perjanjian kawin, maka tidak ada lagi harta bersama. Dengan kata lain, harta yang
diperoleh suami selama perkawinan berlangsung adalah milik suami begitu pula sebaliknya dengan
harta istri. Jadi, suami atau istri dapat melakukan perbuatan hukum terhadap hartanya tanpa
persetujuan dari pasangannya.

Apabila perjanjian kawin tidak disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan maka perjanjian tersebut
tidak meiliki kekuatan hukum. Karena pada Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang perkawinan tersebut memberi ketentuan bahwa perjanjian kawin harus disahkan oleh Pegawai
Pencatat Perkawinan. Perjanjian perkawinan yang tidak disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan
secara otomatis, akta perjanjian perkawinan tersebut tidak dicantumkan di dalam akta perkawinan.
CONTOH KASUS
URL: https://intisari.grid.id/read/0332876/kasus-perjanjian-kawin-yang-tak-sah-ini-penting-untuk-
disimak-pasangan-yang-akan-dan-sudah-nikah

Sepasang suami-istri membuat perjanjian perkawinan sebelum mereka menikah. Namun, perjanjian
tersebut tidak pernah mendaftarkannya pada Pengadilan Negeri setempat atau mencatatkannya pada
Kantor Catatan Sipil pada saat melangsungkan perkawinan. Lalu mereka membeli rumah setelah
mereka menikah dan diatas namakan sang istri. Seketika sang istri meninggal rumah tersebut diambil
alih oleh adik sang istri .
ANALISA

Di dalam Pasal 12 Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang pelaksaan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tengtang perkawinan, juga menyebutkan bahwa perjanjian perkawinan harus tercantum
di dalam akta perkawinan. Maka walaupubn perjanjian perkawinan itu ada dan dibuat oleh suami-istri
tetapi karena tidak disahkan oelh Pegawai Pencatat Perkawinan maka perjanjian tersebut tidak termuat
di dalam akta perkawinan. Sehingga ketika terjadi masalah terkait pihak ketiga maka perjanjian yang
tidak tercatat tersebut dianggap tidak ada dan tidak mengkita pihak ketiga.

Perkawinan, perjanjian perkawinan baru dapat berlaku terhadap pihak ketiga setelah dicatatkan pada
Catatan Sipil. Bilamana perjanjian kawin tidak pernah didaftarkan pada Kantor Kepaniteraan
Pengadilan Negeri dan dicatatkan oleh Catatan Sipil pada saat perkawinan dilangsungkan, maka
perjanjian kawin tersebut tidak pernah disahkan. Dengan pengertian, oleh karena perjanjian kawin
belum disahkan maka pihak ketiga tidak dapat menerima peralihan hak dari salah satu pihak (si suami
atau si istri saja), sebab perjanjian kawin hanya berlaku untuk si suami dan istri secara internal terkait
pengurusan harta masing-masing selama perkawinan berlangsung
PERJANJIAN PERKAWINAN
TERHADAP HARTA YANG
DIPEROLEH SELAMA
PERKAWINAN PASCA
PERCERAIN
Penulis: Muhammad Akbar Aulia Ramadhan, KN. Sofyan Hasan, Achmad Syarifudin

URL: http://journal.fh.unsri.ac.id/index.php/repertorium/article/view/305
SUBSTANSI JURNAL

Jurnal ini memuat kasus perceraian sepasang suami-istri yang perjanjian perkawinannya tidak
dicatatkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan dan tidak didaftarkan di pengadilan negeri. Pada saat
pasangan tersebut bercerai dan ada permasalahan terhadap harta bendanya, maka sepasang suami istri
tersebut pun melakukan gugatan di pengadilan negeri. Menurut penulis pertemibangan yang
dilakukan oleh hakim mashi belum tepat.

NEXT
SUBSTANSI JURNAL

Kasus posisi yang menjadi pembahasan adalah permasalahan harta yang diperoleh selama perkawinan
pasca perceraian antara Penggugat dengan Tergugat. Penggugat mengajukan gugatan atas harta yang
dikuasi oleh tergugat. Penggugat dan Trergugat telah melakukan perjanjian kawin melalui akta nitaris.
Namun, perjanjian kawin tersebut tidak didaftarkan ke Catatan Sipil, sebagaimana yang telah diatur di
dalam Undang-Undang Perkawinan.

Dalam putusan Pengadilan Tinggi nomor 449/PDT/2016/PT.BDG hakim menyatakan sah perjanjian
perkawinan yang dibuat dihadapan Notaris yang tidak disahkan oleh Pegawi Pencatat Perkawinan dan
didaftarkan ke Pengandilan Negeri.

Sesuai dengan Pasal 29 ayat (1) yang berbunyi:


“Pada saat atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak atas persetujuan bersama
dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana
isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga”
NEXT
SUBSTANSI JURNAL

Pasal di atas menyatakan bhahwa perjanjian perkawinan yang dibuat oleh notaris harus disahkan oleh
Pegawai Pencatat Perkawinan dan harus didaftarkan di pengadilan negeri setempat. Hal ini juga diatur
dalm Kitab Undang-Undang Hukum Perdata di dalam Pasal 152 menyebutkan bahwa perjanjian
perkawinan berlaku mengikat bagi pihak ketiga apabila didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan
Negeri setrempat.

Di dalam kasus ini hakim tetap menganggap perjanjian tersebut sah padahal sangat jelas sekali
perjanjian perkawinan tersebut tidak memenuhi syarat sah perjanjian yaitu disahkan oleh Pegaewai
Pencatat Perkawinan dan didaftarkan di Pengadilan Negeri setempat. Seharusnya akta perjanjian
perkawinan yang dibuat oleh penggugat dan tergugat batal demi hukum karena tidak memenuhi syarat
yang telah ditetapkan di dalam Undang-Undang.

NEXT
CONTOH KASUS
URL: http://journal.fh.unsri.ac.id/index.php/repertorium/article/view/305

Sepasang suami istri bercerai dan memiliki masalah terhadap harta yang dimiliki. Penggugat
mengajukan gugatan atas harta yang dikuasi oleh tergugat. Penggugat dan Trergugat telah melakukan
perjanjian kawin melalui akta nitaris. Namun, perjanjian kawin tersebut tidak didaftarkan ke Catatan
Sipil, sebagaimana yang telah diatur di dalam Undang-Undang Perkawinan.
ANALISA

Dalam hal ini hakim seharusnya dalam memutuskan perkara tersebut lebih memperhatikan peraturan
Undang-Undang yang ada, bukan hanya ,elihat dari segi isi perjanjian yang dibuat para pihak tetapi
juga dari segi teknis sah atau tidaknya sebuah perjanjian.

Kasus dalam putusan Pengadilan Tinggi Nomor 449/PDT/2016/PT.BDG. menurut penulis kedudukan
perjanjian perkawinan tersebut ialah tidak sah menurut Undang-Undang yang berlaku. Hal ini
dikarenakan perjanjian tersebut tidak memenuhi syarat sah yang diatur di dalam Pasal 29 Undang-
Undang Perkawinan dan Pasal 152 KUHPerdata yaitu perjanjian kawin dibuat dihadapan notaris dan
disahkankan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan dan didaftarkan di pengadilan negeri setempat.

Berdasarkan hal di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa antara penggugat dan tergugat tidak ada
perjanjian perkawinan (lantaran tidak sah menurut hukum) sehingga harta yang diperoleh selama
perkawinan pasca perceraian menjadi harta bersama.
AKIBAT HUKUM PERJANJIAN
PERKAWINAN YANG DIBUAT
SETELAH PERKAWINAN
BERLANGSUNG
Penulis: Annisa Istrianty, Erwan Priambada

URL: https://www.neliti.com/publications/164410/akibat-hukum-perjanjian-perkawinan-
yang-dibuat-setelah-perkawinan-berlangsung
SUBSTANSI JURNAL

1. Perjanjian Kawin Dibuat Setelah Perkawinan Dilangsungkan


Banyak masyarakat yang kurang mengetahui adanya Perjanjian Kawin yang dibuat sebelum atau pada
saat perkawinan dilangsungkan sesuai denga Kitab Undnag-Undang Hukum Perdata ataupun Undang-
Undang Perkawinan.

Perjanjian kawin ini bisa berke,bang diwilayah perkotaan dab merupakan budaya praktis sebagai
sebagian besar dari gaya hidup mereka. Apabila tidak direpotkan dengan masalah dalam perkawinan
yang menyangkut perekonomian masing-masing pasangan.

Untuk itu Perjanjian Kawin dibuat dengan tujuan:


- Memisahkan harta kekayaan antara suami dan istri sehingga harta mereka tidak bercampur.
- Bertanggung jawab sendiri-sendiri atas hutang yang mereka buat dalam perkawinan mereka.
- Jika salah satu dari mereka ingin melakukan tindakan hukum pada hartanya maka tidak perlu izin
pada pasangannya.
- Begitu juga dengan fasilktas kredit yang mereka akan ajukan, tidak perlu meminta izin dari
pasangannya.
NEXT
SUBSTANSI JURNAL

2. Akibat Hukum Terhadap Perjanjian Kawin yang Dibuat Seteleah Perkawinan Berlangsung
Berdasarkan ketentuan Pasal 29 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
yang menyebutkan bahwa, perjanjian dibuat pada saat atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua
pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai
Pencatat Perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga
tersangkut, berarti perjanjian tersebut dilakukan sebelum dilangsungkannya perkawinan.

Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan apabila melenceng dari batas-batas hukum, agama dan
kesusuilaan (pasal 29 ayat 2). Serta dalam pasal 29 ayat 3 menyebutkan bahwa perjanjian tersebut
mulai berlaku sejak perkawinan berlangsung. Terakhir dalam pasal 29 ayat 4 menyatakan bahwa
selama perkawinan berlangsung perjanjian tidak boleh ditarik kembali atau diubah selama
berlangsungnya perkawinan kecuali adanya keepakatan antara kedua belah pihak dan tidak merugikan
pihak ketiga.

NEXT
CONTOH KASUS
URL; https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt583e9ba62c691/bisakah-membuat-perjanjian-kawin-setelah-
perkawinan-berlangsung-ipostnuptial-agreement-i/

Seorang WNI menikah dengan WNA 7 tahun lalu, saat ini WNI tersebut ingin membeli tanah hak
milik namun terjegal dengan perkawinan saya dengan WNA yang tanpa perjanjian pra nikah. Apakah
WNI tersebut bisa membuat perjanjian pasca nikah setelah kami menikah agar WNI tersebut dapat
melakukan proses jual beli tanah yang WNI tersebut butuhkan?
ANALISA

Apabila belum ada perjanjian kawin atau sudah ada namn belum disahkan, maka perjanjian tersebut
dapat batal demi hukum dan harta yang mereka peroleh menjadi harta bersama.

Sejalan dengan pemisahan harta sebagai suatu akibat dari adanya Perjanjian Perkawinan, ketentuan
Pasal 119 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”) ternyata telah terlebih dahulu mengatur
mengenai hal tersebut. Di dalam Pasal 119 KUHPer disebutkan bahwa perkawinan pada hakikatnya
menyebabkan percampuran dan persatuan harta pasangan menikah, kecuali apabila pasangan menikah
tersebut membuat sebuah Perjanjian Perkawinan yang mengatur mengenai pemisahan harta.

Merujuk kepada ketentuan Pasal 21 ayat (1) UU Agraria jo. Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan di atas,
maka Perjanjian Perkawinan (Prenuptial Agreement) akan sangat memberikan manfaat bagi pasangan
menikah yang berbeda kewarganegaraan. Hal tersebut dikarenakan dengan adanya Perjanjian
Perkawinan (Prenuptial Agreement), maka sudah jelas bahwa pasangan tersebut telah sepakat untuk
memisahkan harta masing-masing. Dengan demikian, tanah hak milik yang dibeli oleh WNI hanya
akan menjadi miliknya, bukan menjadi milik bersama dengan pasangan WNA-nya.
THANK YOU

Anda mungkin juga menyukai