Anda di halaman 1dari 95

PENYAKIT PADA HIDUNG DAN SINUS

PARANASAL

Oleh
MADE WILLYANATA CIPTA SURYAJAYA
20710129

Pembimbing
dr.Denny Rizaldi Arianto, Sp.THT-KL

KSM ILMU KESEHATAN THT-KL


RSD DR. SOEBANDI JEMBER
2021
DAFTAR PENYAKIT

 KONGENITAL  TRAUMA
o Atresia Koana o Deviasi Septum
o Fistula oronasal o Hematome septum nasi
o Nasal Kista Dermoid
o Epistaksis
o Glioma
o Benda asing pada hidung
o Meningoenchepalitis
 PERADANGAN
 Rhinitis o NARES
o Furngkel pada hidung
o Rhinosinusitis
o Polip Nasi o Rhinitis Idiopatik
o Abses septum nasi o Rhinitis alergi
o Rhinitis vasomotor
PENYAKIT PADA HIDUNG
KELAINAN KONGENITAL

PENYAKIT PADA HIDUNG


ATRESIA KOANA
DEFINISI & EPIDEMIOLOGI

 Atresia koana adalah suatu kelainan kongenital yang ditandai dengan kegagalan perkembangan rongga hidung
untuk berkomunikasi atau berhubungan dengan nasofaring dengan perubahan fisiologi dan anatomi yang
signifikan dari kompleks dentofacial.

 Atresia koana lebih sering dikaitkan dengan kelainan CHARGE (C=Coloboma, H=Heart Disease, A= atresia
choanae, R= retarded growth and development, G= genital hipoplasia, E=ear deformities or deafness)

 Epidemiologi, dari 5000 sampai 8000 kelahiran hanya sekitar 1 kelahiran yang menderita atresia koana. unilateral
lebih sering dibandingkan bilateral yakni 2:1.

PENYAKIT PADA HIDUNG


DIAGNOSIS

 Gejala Klinis  Diagnosis

Saat bayi didapati riwayat biru saat menangis  Endoskopi dapat dilihat adanya discharge yang
bersifat mukoid dan terlihat adanya atresia koana
Pasien mengambil nafas dari mulut
lebih jelas tampak.
Riwayat keluar cairan dari hidung serta aliran udara dari
 Gold standar untuk atresia koana menggunakan CT
hidung yang kurang atau tidak ada sama sekali
scan, untuk menilai posisi dan ketebalan dari segmen
yang obstruksi, sehingga dapat dilakukan operasi
yang sesuai untuk memperbaiki keadaan ini.

PENYAKIT PADA HIDUNG


TATALAKSANA

Penatalaksanaan atresia koana menggunakan teknik


pembedahan
Beberapa teknik operasi antara lain adalah transnasal
dan transpalatal dapat digunakan. Pendekatan
transnasal adalah dengan menggunakan teleskop
lensapancing dan metode ini merupakan pilihan karena
biasanya sukses dilakukan pada infant dan cocok pada
membrane atau tulang atresia yang masih tipis.
Sedangkan metode transpalatal normalnya digunakan
pada anak yang lebih tua, tulang yang mulai padat atau
pada kasus dengan stenosis berulang.

PENYAKIT PADA HIDUNG


FISTULA ORONASAL
DEFINISI & EPIDEMIOLOGI

 Celah tulang alveolar (gnatoschisis) merupakan salah satu malformasi kongenital tersering pada struktur orofasial.

 Fistula oronasal merupakan saluran yang terbentuk antara rongga mulut dan hidung yang kemudian berepitelisasi
membentuk jaringan parut. Fistula tersebut dapat terjadi pada vestibulum, lelangit keras dan lelangit lunak.

 Epidemiologi dari bibir dan lelangit sumbing terjadi dua kali lebih banyak pada anak laki-laki, sedangkan lelangit
sumbing dua kali lebih banyak terjadi pada wanita. Insidensi kasus gnatokisis fistula oronasal adalah 20%, bibir
sumbing 30% dan celah bibir dan alveolus 5%

PENYAKIT PADA HIDUNG


DIAGNOSIS

 Gejala Klinis  Diagnosis

Fistula oronasal dalam ukuran yang besar dapat  Pemeriksaan fisik


mengganggu aktivitas makan, bernafas dan berbicara.  Ct scan untuk mengatahui derajat fistel
Klasifikasi
Berdasarkan diameternya kecil (1-2 mm), sedang (3-
5mm), dan besar (>5mm).

PENYAKIT PADA HIDUNG


TATALAKSANA

Prinsip pembedahan pada kelainan ini adalah


rekontruksi melalui tindakan bedah. Hal ini dapat
dilakukan bersamaan dengan penutupan celah tulang
alveolar. Berbagai teknik telah dikembangkan untuk
rekontruksi oronasal fistula dan penutupan celah tulang
alveolar seperti sliding buccal flap atau pun labial
pedicle rotational flap.

PENYAKIT PADA HIDUNG


NASAL KISTA DERMOID
DEFINISI & EPIDEMIOLOGI

 Kista muncul sebagai massa bulat elastis di garis median hidung. Dermoid dan kista dapat terjadi berulang kali
setelah infeksi. Pasien yang parah bahkan dapat dipersulit oleh meningitis, selulitis, osteomielitis, kebocoran
cairan serebrospinal, abses frontal, dan pembentukan tulang mati.

 Insiden kista dermoid dan fistula di garis tengah hidung adalah 1/20.000 hingga 1/40.000. Nasal kista dermoid
membentuk sekitar 11% dari kista dermoid di kepala dan leher, 1% dari kista dermoid di seluruh tubuh, dan 61%
dari lesi median pada anak-anak.

PENYAKIT PADA HIDUNG


DIAGNOSIS DAN TATA LAKSANA

 Diagnosis  Tatalaksana

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan tanda serta Tata laksana nasal kista dermoid adalah pembedahan.
pemeriksaan computed tomography (CT)/magnetic Metode pembedahan untuk pengangkatan dermoid dan
resonance imaging (MRI). kista harus memenuhi persyaratan berikut:
-Akses optimal untuk pengangkatan kista, fistula, dan
jaringan tulang yang sakit secara lengkap
-Perbaikan dasar tengkorak untuk menghentikan
kebocoran cairan serebrospinal
-Dilakukan rekonstruksi hidung dan kosmetik pasca
operasi.

PENYAKIT PADA HIDUNG


GLIOMA
DEFINISI & EPIDEMIOLOGI

 Glioma hidung adalah lesi kongenital yang jarang dan jinak pada regio kraniofasial yang terdiri dari massa
heterotopik jaringan neuroglial. Massa ini diyakini sebagai akibat dari penutupan yang tidak sempurna pada
fontanel anterior antara tulang hidung dan tulang frontal, yang mengakibatkan hubungan abnormal antara elemen
ektodermal embrionik dan neuroektodermal.

 Insidensi dari kasus glioma sebesar 1:20.000 sampai 40.000 kelahiran.

PENYAKIT PADA HIDUNG


DIAGNOSIS

 Gejala Klinis  Diagnosis

Ditemukan massa berbatas tegas,konsistensi lunak, CT scan atau MRI merupakan modalitas utama dalam
noncompressible, nonpulsatile, lesi keabu-abuan atau kasus ini. CT scan mampu menunjukkan kelainan pada
ungu. Massa ini dapat menonjol melalui lubang hidung tulang. MRI dapat menunjukkan karakteristik massa
dan hampir sama dengan polip hidung. jaringan lunak dan kemungkinan koneksi
intrakranialnya.
Pasien mungkin menderita hidung tersumbat, epistaksis,
rinore cairan serebrospinal (CSF), obstruksi duktus
nasolakrimalis, epifora, hipertelorisme dan deformitas
kosmetik.

PENYAKIT PADA HIDUNG


TATALAKSANA

Tatalaksana pada glioma hidung adalah pembedahan


dengan eksisi total.
Namun, jika terdapat perluasan lesi hingga ke
intrakranial, pendekatan tim multidisiplin diperlukan
dalam bedah saraf khusus atau kraniofasial untuk
memastikan eksisi lengkap dan aman dari lesi.

PENYAKIT PADA HIDUNG


NASAL
MENINGOENCEPHALOCELE
DEFINISI

 Meningoencephalocele hidung (encephalocele atau cephalocele) adalah herniasi isi kranial ke dalam hidung
melalui defek basis cranii

 Pada ME Nasofrontal defek tulang terjadi antara os frontal dan nasion, biasanya terlihat sebagai suatu massa yang
menonjol di nasion. Ekstensi ke rongga nasal dapat mengakibatkan obstruksi nasal.

PENYAKIT PADA HIDUNG


DIAGNOSIS

 Diagnosis  Tatalaksana

Pemeriksaan CT dan MRI merupakan 2 alat diagnostik Terapi bedah pada prinsipnya terbagi menjadi 2 yaitu
utama pada meningoencephalocele. CT Scan (Potongan ektrakranial dan intrakranial.
axial, sagital dan coronal) cukup memberikan gambaran
. Tujuan dari tindakan bedah pada ME anterior adalah :
lokasi defek cranial.
-Reseksi segmen otak yang herniasi dan penutupan
defek dura dan tulang
-Mencegah kebocoran LCS post operasi,
-Rekonstruksi dari elemen nasal dan cannulasi dari
duktus lakrimalis yang terobstruksi.

PENYAKIT PADA HIDUNG


RADANG/INFLAMASI

PENYAKIT PADA HIDUNG


FURUNKEL PADA HIDUNG
(4A)
DEFINISI

 Infeksi akut pada folikel rambut vestibulum nasi.


ETIOPATOGENESIS

 Penyakit ini disebabkan oleh Streptococcus atau Staphylococcus aureus

 Kebiasaan mengorek hidung, mencabut bulu hidung dapat menyebabkan lesi

 menimbulkan infeksi pada folikel rambut  infiltrasi sel radang  produksi


pus  furunkel
GAMBARAN KLINIS

 Nyeri vestibulum, bengkak, nyeri tekan, kemerahan. Inflamasi dapat meluas ke nasal tip &
dorsum nasi  bengkak & kemerahan. Jika furunkel pecah mengeluarkan nanah.

Perluasan hingga nasal tip & Terbentuk abses


dorsum nasi
Tata Laksana

 Kompres hangat
 Analgesik, antiinflamasi (NSAID)
 Antibiotika (sistemik dan topikal) :
• Amoksisilin, amoksisilin-asam klavulanat
• Sefalosporin generasi I: sefadroksil
• Gentamisin salep (topikal)
 Insisi dan drainase jika terbentuk abses
 Komplikasi:
• Selulitis pada bibir atas
• Abses septum nasi
POLIP NASI
Definisi

 Massa lunak yang tumbuh di dalam rongga hidung


 Polip kebanyakan berasal dari mukosa sinus etmoid, biasanya multiple dan
dapat bilateral
 Polip yang berasal dari sinus maxila sering tunggal dan tumbuh ke arah
belakang, muncul di nasofaring → polip koanal
Epidemiologi
Eti ologi
Patofi siologi
Diagnosis
 Gejala Klinis  Pemeriksaan Fisik
Primer : Bersin-bersin, iritasi hidung, hidung • Rinoskopi anterior  massa pada rongga
tersumbat, anosmia/hyposmia, nyeri kepala, hidung berbentuk bulat atau lonjong,
rinore. berwarna putih keabu-abuan, lobular dapat
Sekunder : bernafas melalui mulut, suara tunggal atau multiplle
sengau, halitosis, gg. tidur, penurunan kuualittas  pembagian stadium menurut Mackay
hidup and Lund
 Anamnesis
• Stadium 1 : ukuran polip masih terbatas di
• Hidung tersumbat, teraba massa dalam
meatus medius
hidung, sukar membuang ingus
• Stadium 2 : Ukuran polip sudah keluar dari
• Gangguan penciuman, sakit kepala,
meatus mediuus dan nampak di rongga hidung
nyeri muka, suara nasal (bindeng),
namun beluum memenuhi rongga
mendengkur, gangguan tidur dan
• Stadium 3 : ukuran polip sudah Masif dan
penurunan kualitas hidup.
menutupi rongga hidung
Tata Laksana

 Tujuan utama pengobatan adalah menghilangkan keluhan,


mencegah komplikasi, dan mencegah rekurensi
 Medikamentosa : kortikosteroid
 Bila tidak membaik dengan medikamentosa, maka dilakukan
tindakan bedah (polipektomi)
• Etmoidektomi untuk polip etmoid
• Caldwell-Luc (CWL) untuk polip sinus maksila
KELAINAN SEPTUM NASI
(Abses, Hematoma, dan Deviasi)
ABSES SEPTUM NASI

 Penyebab: Infeksi dan trauma  Terapi: evakuasi nanah


 Patologi: • Insisi dan drainase
tumpukan nanah diantara
kartilago dan mukoperikondrium • Antibiotika
 Komplikasi
 Gejala: Nyeri hebat pada puncak hidung,
buntu hidung, demam, sakit kepala • Perforasi septum nasi
• Saddle nose
 Pemeriksaan: tampak pembengkakan
septum berbentuk bulat dengan
permukaan licin, bengkak bilateral atau
unilateral,
TRAUMA

PENYAKIT PADA HIDUNG


HEMATOMA SEPTUM NASI

 Penyebab: trauma  Terapi: evakuasi darah


• Insisi dan drainase.
 Patologi: Pembuluh darah submukosa pecah
dan darah berkumpul di antara perikondrium • Pemberian antibiotic untuk pencegahan
dan tulang rawan septum infeksi sekunder
 Komplikasi:
 Gejala: buntu hidung, nyeri
• Atrofi kartilago
 Pemeriksaan : pembengkakan bilateral atau • Nekrosis kartilago  perforasi
unilateral, bentuk bulat, licin, warna merah • Abses septum nasi
DEVIASI SEPTUM NASI

 Penyebab: trauma, ketidakseimbangan  Gejala: sumbatan hidung, nyeri pada kepala


pertumbuhan tulang rawan septum dan sekitar mata
 Bentuk deformitas:  Terapi: operatif
• Reseksi submukosa
• Deviasi, biasanya berbentuk huruf C • Septoplasti
atau S
• Dislokasi, bagian bawah kartilago keluar
dari krista maksila dan masuk ke dalam
rongga hidung
• Penonjolan kartilago
• Bila deviasi melekat pada konka di
hadapannya maka memperberat
obstruksi  sinekia
PENYAKIT PADA HIDUNG
EPISTAKSIS (4A)
Definisi

 Epistaksis merupakan perdarahan yang berasal dari dalam kavum nasi


 Biasanya mengenai plexus kiesselbach pada 90% kasus
Klasifikasi

 Epistaksis Anterior  Epistaksis Posterior

- Apabila darah keluar melalui nares - Apabila sebagian besar darah mengalir ke
anterior saat pasien posisi duduk. belakang menuju tenggorok
 Umum terjadi  Lebih jarang
 Pleksus Kisselbach di septum  Pleksus Woodruff’s di bagian
bagian anterior (little’s area) atau posterosuperior cavum nasi atau Arteri
Arteri Ethmoidalis Anterior Ethmoidalis Posterior dan Arteri
 Sebagian besar pada anak-anak dan Sfenopalatina
dewasa muda  Usia di atas 40 tahun
 Sebagian besar karena trauma  Terjadinya spontan: hipertensi
 Pada umumnya ringan  Umumnya berat
Etiologi

Seringkali epistaksis timbul spontan tanpa diketahui penyebabnya. Biasanya ditimbulkan


oleh trauma, atau dapat pula disebabkan oleh kelainan lokal pada hidung atau kelainan
sistemik.

 Kelainan lokal : trauma, kelainan anatomi, kelainan pembuluh darah, infeksi


lokal, benda asing, tumor, pengaruh udara lingkungan.
 Kelainan sistemik : penyakit kardiovaskuler, kelainan darah, infeksi sistemik,
perubahan tekanan atmosfer, kelainan hormonal ataupun kelainan
kongenital
Tata Laksana

Prinsip penatalaksanaan epistaksis adalah memperbaiki keadaan


umum, mencari sumber perdarahan, menghentikan perdarahan
dan mencari faktor penyebab untuk mencegah perdarah
berulang.
Menghentikan Perdarahan pada Epistaksis Anterior
 Metode Trotter
 Tampon adrenalin 1/5000-1/10.000 atau pantocain atau
lidocain 2%.
 Bila sumber perdarahan dapat terlihat, kaustik dengan larutan
Nitras Argenti (AgNO3) 25-30% atau elektrokaustik (sesudahnya
area tersebut diberi krim antibiotik).
 Tampon Anterior
Tampon Anterior
Epistaksis Posterior

 Tampon Posterior (Bellocq)

Tampon ini dibuat dari kasa padat dibentuk kubus atau


bulat dengan diameter 3 cm. Pada tampon ini terikat 3
utas benang, 2 buah di satu sisi dan sebuah di sisi yang
berlawanan.
 Kateter Folley dengan balon.
Tampon Posterior
BENDA ASING PADA
HIDUNG (4A)
Gambaran Klinis

 Pasien dewasa seringkali datang


langsung ke dokter
 Anak-anak:
• Pilek satu sisi (unilateral)
• Berbau busuk
• (bisa disertai) bercak darah
DIAGNOSIS

 Radiografi untuk konfirmasi dan identifikasi letak benda


asing
• Tidak rutin,
• Untuk benda asing radio-opak,
• Hanya diperlukan jika rinoskopi anterior sulit dilakukan
Tata Laksana

 Berbagai instrumen yang sesuai:  Ekstraksi tanpa membahayakan pasien


• Hindari trauma iatrogenik  oedem, perdarahan
• Forsep: kertas, dsb
 proses ekstraksi menjadi lebih sulit.
• Kait cincin: benda asing bulat • Hindari pindahnya benda asing ke area dalam
Instrumen dimasukkan melewati benda asing, kavum nasi yang lebih sulit dijangkau
• Hindari pindahnya benda asing ke dalam area
dan secara gentle benda asing ditarik ke arah
anterior sepanjang dasar kavum nasi. trakeobronkial  obstruksi jalan napas

 Pembiusan total: bayi, anak tidak kooperatif


RHINITIS
KLASIFIKASI RHINITIS

Rhinitis

Rhinitis Non Alergi Rhinitis Alergi

Non Infeksi
Infeksi •Rhinitis Medikamentosa
•Rhinitis akut •Rhinitis Hormonal Persisten Intermiten
•Rhinitis kronik •Rhinitis Idiopatik
•NARES
•Rhinitis Vasomotor
INFEKSI

 Rinosinusitis akut (virus/bakterial)


 Rinosinusitis kronik
 Rhinitis spesifik (tuberkulosis, lepra, sifilis)
 Rhinitis difteri
 Rhinitis jamur
 Ozaena
NON INFEKSI

 Rinitis alergi
 Rinitis vasomotor
 Rinitis hormonal
 Rinitis idopatik
 NARES (non allergic rhinitis eosinophil syndrome)
 Rinitis medikamentosa
 Granuloma (Wegener, mid-line granuloma)
RINOSINUSITIS

 Rhinosinusitis adalah suatu inflamasi pada hidung dan sinus paranasal yang dicirikan memiliki
dua atau lebih gejala, salah satunya yaitu hidung tersumbat, obstruksi hidung, bengkak atau
adanya sekret pada hidung (anterior/posterior nasal drip)
Dewasa Anak
Gejala ± nyeri wajah/rasa tertekan ± nyeri wajah
± berkurangnya atau hilangnya rasa pembau ± batuk

Dan Dan
Tanda endoskopi: - Polip hidung dan/ -Polip hidung dan/
Sekret mukopurulen berasal dari meatus medius dan/ Sekret mukopurulen berasan
- Edema/ obstruksi mukosa dari meatus media dari meatus medius dan/
-Edema/ obstruksi mukosa dari
meatus media

Dan atau Dan atau


Perubahan CT Perubahan mukosa pada kompleks osteomeatal dan/ Perubahan mukosa pada
sinus (penebalan minimal, mencangkup 1 atau 2 kompleksosteomeatal dan/
dinding dan jika bukan area ostial tidak mungkin suatu sinus
rhinosinusitis
KLASIFIKASI DAN TATALAKSANA
RHINOSINUSITIS
EPOS 2020

PENYAKIT PADA HIDUNG


definisi untuk studi epidemiologi dan praktek umum
Rhinosinusitis Akut(ARS)
Pengertian Gejala lain Waktu Validasi
Dewasa dua atau lebih gejala secara tiba- • ± nyeri / tekanan <12 minggu; telepon atau
tiba (salah satunya: hidung wajah, dengan interval bebas gejala wawancara.
tersumbat / obstruksi / kongesti • ± berkurang atau jika masalahnya berulang
atau nasal discharge (anterior / hilangnya
posterior nasal drip): pembauan

Anak timbul tiba-tiba dari dua atau - <12 minggu dengan interval telepon atau
lebih gejala: bebas gejala jika masalahnya wawancara
• hidung tersumbat / obstruksi / berulang;
kongesti
• atau sekret hidung berubah
warna
• atau batuk (siang dan malam)
Rekuren Rhinosinusitis Akut (RARS)
Dewasa dan Anak Sama seperti ARS Sama seperti ARS ≥ 4 episode per tahun dengan Sama seperti
interval bebas gejala. ARS
PENYAKIT PADA HIDUNG
PENYAKIT PADA HIDUNG
definisi untuk studi epidemiologi dan praktek umum
Rhinosinusitis kronik (CRS)
Pengertian Gejala tambahan Waktu Validasi
Dewasa dua atau lebih gejala • ± nyeri / tekanan selama ≥12 minggu telepon atau
secara tiba-tiba (salah wajah, wawancara.
satunya: hidung • ± berkurang atau
tersumbat / obstruksi / hilangnya pembauan
kongesti atau nasal
discharge (anterior /
posterior nasal drip):

Anak adanya dua atau lebih ± nyeri / tekanan selama ≥12 minggu telepon atau wawancara
gejala yang salah wajah;
satunya seharusnya ± batuk;
terdapat hidung
tersumbat / obstruksi /
kongesti atau nasal
discharge (anterior /
posterior nasal drip):
PENYAKIT PADA HIDUNG
RHINOSINUSITIS AKUT
 akut <12 minggu dengan onset mendadak dan resolusi komplit dari gejala (<4 minggu pada ICOR)

Klasifikasi

Common cold Rhinosinusitis viral akut, durasi gejala < 10 hari.

Post viral akut Gejala meningkat> 5 hari atau gejala terus menerus> 10 hari
dengan durasi <12 minggu

Bakterial Akut setidaknya tiga gejala / tanda:


• mucus yang berubah warna;
• nyeri lokal yang parah;
• demam> 38 ° C;
• penigkatan CRP / ESR;
• Sakit 'ganda'.
Tercatat bahwa dalam banyak kasus rinosinusitis bakterial akut,
penyakitnya unilateral
Etiologi

Bakteri Virus
 Streptococcus pneumoniae  Rhinovirus

 Hemophilus Influenza  Influenza Virus

 Mycobacterium catarrhalis  Parainfluenza Virus


 Adenovirus
 Staphilococcus aureus
 Streptococus pyogenes
Predisposisi

Host Lingkungan
 Kongenital : Cystic Fibrosis, Immotile cilia  Agen infeksi
syndrome  Trauma
 Alergi & imun : HIV, transplantasi sumsum
 Terpapar bahan kimia
tulang
 Didapat : obat-obatan dan operasi
 Anatomis : konka bulosa,
 Obstruksi resesus frontal, septum deviasi
 Infeksi sistemik : Wegener granulomatous,
sarcoidisis.
  Neoplasma
Terapi Rinosinusitis Terapi Rinosinusitis
Akut Viral Akut Bakterialis
 Dekongestan  Antibiotik Lini I (amoksisilin +
 Anti histamin klavulanat)/eritromisin)
observasi selama 3 – 5 hari.
 Analgetik & antipiretik
 Apabila belum perbaikan,
 Kortikosteroid topikal berikan antibiotik Lini II seperti
 Cuci hidung larutan garam fisiologis sefalosporin, kuinolon, makrolid
 Terapi suportif
 Mukolitik
Terapi Rinosinusitis Kronis Operatif
 Medikamentosa lini pertama  Antrostomi & irigasi sinus maksilaris

• Kortikosteroid topikal  Etmoidektomi

• Kortikosteroid sistemik  Prosedur Caldwell Luc (untuk mencapai


antrum maksila)
 Antibiotik
Berdasarkan hasil kultur dan  Bedah Sinus Endoskopi Fungsional
resistensi.
 Cuci hidung larutan garam fisiologis
 Antihistamin
 Terapi suportif
 Terapi predisposisi
Komplikasi

1. Komplikasi orbita
2. Komplikasi intrakranial
3. Komplikasi ke tulang
Komplikasi Tulang

 Pott puffy tumor


 Pus di subperiosteal area frontal
 Bisa disertai abses epidural

 Penatalaksanaan
 antibiotik intravena
 drainase abses
 eksisi tulang yang terinfeksi.
Rhinitis Alergi (4a)

 Kelainan pada hidung dengan gejala bersin-


bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat
setelah mukosa hidung terpapar alergen
yang diperantai IgE.
Gejala
Klasifikasi
Tatalaksana Rhinitis Alergi

Penghindaran alergen

intermiten Persisten

Ringan Sedang/ berat Ringan Sedang/ berat


Alogaritma KS topikal
- AH oral/ topikal, - AH oral/ topikal, atau
Penatalaksanaan atau - AH + dekongestan
Rhinitis Alergi - AH + dekongestan
oral, atau
Evaluasi 2-4 minggu
oral
- KS topical
- Na Kromoglikat Membaik Tidak

Evaluasi - Pertimbangkan imunoterapi


2-4 minggu - Sumbatan hidung menetap :
dekongestan (3-5 hari), atau KS oral
(jangka pendek) ; bila gagal : kaustik
konka/ konkotomi
- KS topikal ditingkatkan
- Gatal hidung : KS topikal +AH
- Rinore : Ipratropium bromida
Tata Laksana
Agen yang Digunakan pada Rinitis Alergi (Small et al, 2007)
Agen Kegunaan
Antihistamin H1 oral Mengurang bersin, rinore, gatal (mata, hidung, tenggerokan)

Kortikosteroid Mengurangi pembengkakan mukosa dan sekresinya


intranasal Mengurangi nasal symtomp score dan hidung tersumbat
Mengurang sumbatan jalan napas bawah dan mengurangi
rawat inap kasus asma
Memperbaiki drainase pada rhinosinositis
Antagonis reseptor Berpengaruh besar terhadap asma
leukotrien Mengurangi bersin, rinore, gatal dan sumbatan pada
tenggorokan
Ipratropium bromide Mengurangi hidung berair
intranasal
Kromoglikat Mengurangi bersin, rinore dan hidung gatal
Dekongestan Mengurangi pembengkakan mukosa akut
Topikal nasal Mengurangi sensasi hidung tersumbat
lubricant Mengurangi pengerasan intranasal
Rhinitis Vasomotor (4a)

Rinitis vasomotor adalah suatu inflamasi mukosa hidung yang bukan


merupakan proses alergi, bukan proses infeksi, dimana pembuluh darah
yang terdapat di hidung menjadi membengkak sehingga menyebabkan
hidung tersumbat dan kelenjar mukus menjadi hipersekresi
Gejala dan Tanda

 Pasien mengeluh hidungnya tersumbat terus-menerus dan berair.


 Pada pemeriksaan tampak edema / hipertrofi konka dengan sekret
hidung yang berlebihan.
Karakteristik Rhinitis Alergi Rhinitis Vasomotor
Mulai serangan Belasan tahun Dekade ke 3 – 4
  Riwayat terpapar Riwayat terpapar allergen ( - )
allergen ( +)
Etiologi Reaksi Ag - Ab Reaksi neurovaskuler terhadap
terhadap rangsangan beberapa rangsangan mekanis
spesifik atau kimia, juga faktor
psikologis

Gatal & bersin Menonjol Tidak menonjol


Gatal dimata Sering dijumpai Tidak dijumpai
Test kulit Positif Negatif
Sekret hidung Peningkatan eosinofil Eosinofil tidak meningkat
Eosinofil darah Meningkat Normal
Ig E darah Meningkat Tidak meningkat
Neurektomi Tidak membantu Membantu
n. vidianus
• Hindari faktor pencetus
HINDARI
kemungkinan terjadinya rhinitis
PENYEBAB
vasomotor.

• Dekongestan
Tata Laksana FARMAKOTERAPI


Anti histamin
Kortikosteroid
• antikolinergik

• Kauterisasi konka
TERAPI • Turbinektomi dengan laser
OPERATIF • Bedah beku konka inferior .
• Reseksi konka parsial atau total
Rhinitis Medikamentosa (3a)

 Definisi
Suatu kelainan hidung berupa gangguan respon normal
vasomotor yang diakibatkan oleh pemakaian vasokonstriktor
topikal (tetes hidung atau semprot hidung) dalam waktu lama
dan berlebihan, sehingga menyebabkan sumbatan hidung yang
menetap.

 Disebabkan oleh pemakaian obat yang berlebihan (drug abuse).


Sumbatan hidung vasokonstriktor topikal
sumbatan menghilang

Penggunaan vasokonstriktor berlebihan dan lama peningkatan


kadar agonis alfa adrenergik pada mukosa hidung + penurunan
sensitifitas reseptor alfa adrenergik toleransi  meningkatkan
dosis penggunaan vasokonstriktor topikal

Aktivitas tonus simpatis yg menyebabkan vasokonstriksi


menghilang dilatasi mukosa hidung
DIAGNOSIS

Anamnesis Pemeriksaan Fisik


 Hidung tersumbat  Membran mukosa hiperemis
 Riwayat penggunaan obat  Jaringan mukosa hidung
semprot hidung rapuh dan berlendir
 Mulut kering
Tata Laksana

 Non-Medikamentosa
• Hentikan penggunaan dekongestan topikal
• Edukasi ke pasien

 Medikamentosa
• Prednison 20-40 mg/ hari
• (Digunakan selama 5-10 hari)
• Irigasi hidung  larutan garam
• Obat decongestan oral  pseudoefedrin
Rinitis Nonalergi dengan Sindrom Eosinofilia (NARES)

 Bersin
 Hidung gatal
 Rinorea
 Tanpa atopi sistemik
 Eosinofilia kerokan hidung
Diagnosis Tata Laksana
 Nasoendoskopi  Kortikosteroid intranasal
 Skin prick tes  Steroid oral jika terdapat
 Nasal smear anosmia
 Nasal provocation chalenge test  Antihistamin
 Imunoterapi
 Antibodi monoklonal
Rinitis Idiopatik

 60 % rinitis non alergi


 Etiologi, belum diketahui dengan jelas.
 Sumbatan hidung refrakter & rinorea
 Bersin & gatal
Diagnosis Tata Laksana
 Skin prick test  Medikamentosa

 Cold dry air provocation • Antikolinergik intranasal


• Kostikosteroid intranasal
 Nasoendoskopi
• Nasal douching
 CT scan sinus paranasal
 Operatif
 Reduksi konka
 Neurektomi vidianus
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai