Anda di halaman 1dari 36

FARMAKOTERAPI TERAPAN

HIV/AIDS

Kelompok 13 :

NURUL FADHILAH O1B1 21 106


RESKY AMELYA SARI O1B1 21 112
SITTI QONITA RAMADHANIAH O1B1 21 120
WINDY EGIDIA SAFITRI O1B1 21 128
REVIEW PENYAKIT
HIV/AIDS
DEFINISI

 HIV merupakan sejenis virus yang menginfeksi


dan menyerang sel darah putih yang menyebabkan
turunnya kekebalan tubuh seseorang akibat
kurangnya sel imun dalam tubuh.
 AIDS adalah sekumpulan gejala penyakit yang
timbul akibat turunnya kekebalan tubuh yang
disebabkan infeksi oleh virus HIV.
PATOFISIOLOGIS

- HIV masuk ke dalam tubuh manusia melalui berbagai cara yaitu secara vertikal, horizontal dan transeksual.
HIV dapat mencapai sirkulasi sistemik secara langsung dengan diperantarai benda tajam yang mampu
menembus dinding pembuluh darah atau secara tidak langsung melalui kulit dan mukosa seperti yang
terjadi pada kontak seksual. Begitu mencapai atau berada dalam sirkulasi sistemik, 4-11 hari sejak paparan
pertama HIV dapat dideteksi di dalam darah maka akan terjadi viremia dengan disertai gejala dan tanda
infeksi virus kut seperti pana tinggi mendadak, nyeri kepala, nyeri sendi, nyeri otot, mual, muntah dll
keadaan ini disebut dengan Syndrome Retrroviral Akut dimna fase ini mulai terjadi penurunan CD4 dan
peningkatan HIV RNA Viral load.
- Selanjutnya, HIV berusaha masuk ke sel dalam target, dimana sel target HIV adalah sel yang mampu
mengekspresikan sel CD4 difase ini enzim polimerase akan mentranskrip DNA menjadi RNA yang secara
rstruktur RNA Genomic dan mRNA. RNA keluar dari nukleus sedangkan mRNA mengalami tranlasi
menghasilkan polipeptida. Kemudian polipetida akan bergabung dengan RNA kemudian menjadi inti virus
baru.
KLASIFIKASI STADIUM KLINIS
REKOMENDASI TERAPI
REKOMENDASI TERAPI
REKOMENDASI TERAPI
GUIDLINE TERAPI
 HIV/AIDS sampai saat ini memang belum dapat di sembuhkan secara total. Namun data
selama 8 tahun terakhir menunjukan bukti yang amat meyakinkan bahwa pengobatan dengan
kombinasi beberapa obat anti HIV (Obat anti rektronira, disingkat ARV) bermanfaat
menurunkan morbiditas dan mortalitas dini akibat infeksi HIV
Waktu memulai terapi anti retroviral harus dipertimbangkan dengan seksama, karena obat
atnti retroviral diberikan jangka panjang
Obat ARV direkomendasikan pada semua pasien yang telah menunjukan gejala yang
termaksud masuk dalam criteria diagnosis AIDS, atau menunjukan gejala yang sangat berat,
tanpa melihat jumlah limfosit CD4+.
Saat ini regimen pengobatan ARV yang dianjurkan WHO adalah kombinasi dari 3 obat
ARV. Terdapat beberapa regimen yang dapat dipergunakan, dengan keunggulan dan
kerugiannya masing-masing. Kombinasi obat antiretnoviral lini pertama yang umum
digunakan di Indonesia adalah kombinasi Zidovudin (ZDV)/Lamivudin (3TC), dengan
Nevirapin (NVP)
Contoh Evidence Based Medicine HIV
Nama Peneliti Negara Tujuan Metode Hasil
Setiyadi et al/ Indonesia untuk menganalisis Randomized Ada 30 responden yang diberikan intervensi hypnotherapy,
2016
pengaruh hipnoterapi controlled trial tingkat depresi pada kelompok hipnoterapi (rata-rata= 5,07;
terhadap perubahan (RCT) SD = 5,45) lebih rendah dari pada pada kelompok kontrol
depresi, kecemasan (rata-rata= 17,73; SD= 6,50) dan secara statistik signifikan (p<
dan stres pada orang 0,001). Tingkat kecemasan pada kelompok hipnoterapi (rata-
dengan HIV/AIDS rata= 7,70; SD= 5,29) lebih rendah daripada pada kelompok
(ODHA) di kontrol (rata-rata= 20,77; SD= 5,98) dan secara statistik
Kelompok Dukungan signifikan (p< 0,001). Tingkat stres pada kelompok
Sebaya hipnoterapi (rata-rata= 7.77; SD= 6.37) lebih rendah dari pada
pada kelompok kontrol (rata-rata= 20.30; SD= 5.34) dan
secara statistik signifikan (p
CONTOH KASUS
01
Seorang laki-laki 26 tahun dengan keluhan utama kejang secara tiba-tiba saat
sedang bekerja. Tipe kejang tonik-klonik dan berlangsung selama 15 menit.
Kejang berlangsung 1x dalam 24 jam. Selama periode kejang pasien tidak sadar
sampai dengan 1 jam setelah masuk rumah sakit. Sebelum kejang pun pasien
tidak mengeluhkan demam, mual muntah dan nyeri kepala. Kejang tidak diikuti
dengan demam, mual dan muntah. Pasien memiliki riwayat kejang sebelumnya,
yaitu mulai 2 tahun yang lalu dan ini merupakan episode kejang yang ke 3.
Kejang sebelumnya juga terjadi secara tiba-tiba disertai penurunan kesadaran.
Pasien saat ini dalam masa pengobatan dengan Anti Retro Viral (ARV). Pasien
didiagnosis HIV/AIDS sejak Mei 2018 dan mengkonsumsi obat ARV. Selain
itu, pasien memiliki riwayat pengobatan TB Paru selama 6 bulan dan sudah
dinyatakan sembuh. Pengobatan terakhir pada bulan Juli 2019
Penyelesaian
Subjektif
Identifikasi Data Pasien : Subyektif

Identitas pasien : Tn.X Riwayat pasien : kejang sebelumnya, yaitu mulai 2


Umur : 26 tahun tahun yang lalu dan ini merupakan episode kejang yang ke
Jenis Kelamin : Laki-laki 3. Kejang sebelumnya juga terjadi secara tiba-tiba disertai
penurunan kesadaran.
Riwayat pengobatan : didiagnosis HIV/AIDS sejak Mei
2018 dan mengkonsumsi obat ARV Dan pasien memiliki
riwayat pengobatan TB Paru selama 6 bulan dan sudah
dinyatakan sembuh. Pengobatan terakhir pada bulan Juli
2019
Objektif
Pemeriksaan fisik : Ditemukan keadaan umum pasien GCS E1V2M5. Tekanan
darah 130/80 mmHg, nadi 116x/menit, respirasi 24x/menit dan suhu 37 derajat celcius. Pada
pemeriksaan fisik kepala/leher, paru-paru, jantung dan abdomen seluruhnya dalam batas normal.
Pemeriksaan fisik neurologis didapatkan kekuatan motorik ekstremitas dextra 5/5/5 dan sinistra
4/4/4. Tonus untuk keempat ekstremitas dalam batas normal. Reflek fisiologis +2/+2/+2/+2,
sedangkan reflek patologis Hoffman Tromer (-/-), babinsky (- /-), chadock (-/-), oppenheim (-/-),
gordon (-/-). Pada pemeriksaan 12 nervus cranialis didapatkan N.I dalam batas normal, N.II dalam
batas normal, N.III,IV,VI pupil isokor 2mm/2mm bentuk bulat, reflek kornea +/+, Reflek Cahaya
Langsung /Reflek Cahaya Tidak Langsung +/+, didapatkan ptoasis mata dextra, parese N.VII,
N.V ,VIII, IX,X, XI,XII dalam batas normal. Pada tes rangsangan meningeal kaku kuduk (-),
brudzinski I (-), brudzinski II (-), brudzinski III (-) dan kernig sign (-).
Hasil pemeriksaan : Pasien ini didiagnosis HIV-AIDS dengan Acute symptomatic seizure dan
suspect healed cerebral abscess.
Hasil pemeriksaan lab : Pada pemeriksaan penunjang darah lengkap didapatkan kadar white blood
cell 21,84x10 3 /uL, hemoglobin 14,7 gdL, hematokrit 46,8%, trombosit 450x10 Sedangkan
pemeriksaan faal hati didapatkan SGOT/SGPT 43/21. Pemeriksaan faal ginjal kadar serum creatinin
1,36 mg/dl dan Uric Acid 10,7 mg/dl. Pemeriksaan gula darah sewaktu 155 mg/dl. Pemeriksaan
elektrolit kalsium 1,35 mmol/lt.
Assesment
Problem Medik
Abses serebri merupakan infeksi intraserebral fokal yang diawali gejala serebritis yang terlokalisasi dan
berkembang menjadi sekumpulan pus yang dikelilingi oleh kapsul. Abses serebri merupakan manifestasi
infeksi oportunistik pada sistem saraf pusat yang sering dijumpai pada pasien HIV/AIDS.

Rekomendasi Tata laksana Terapi


1.Terapi Farmokologi
-Pasien ini diberikan terapi berupa ceftriaxone 1g/12 jam, citicolin 250 mg/12 jam, diazepam 10 mg
secara IV bolus pelan kecepatan 5mg/menit, dexametason 5mg/12 jam, fenitoin 2x100 mg per oral dan
paracetamol 3x500 mg per oral.
-ARV dengan Tenovir Disoproxil Fumarate 1x300 mg dan Efavirenz 1x600 mg.
Kortikosteroid diberikan dalam 2 minggu setelah itu di tappering off dalam 3-7 hari
PLAN
Alasan Pemilihan Obat
Untuk kejang dan terapi kortikosteroid. Pasien ini mendapatkan terapi antibiotik

1.Ceftriaxone injeksi untuk eradikasi bakteri dan infeksi


2.Citicolin untuk neuroprotektor,
3.Diazepam pencegahan dan penanganan kejang
4.Paracetamol anti nyeri, dan
5.Dexametason yang mempengaruhi penetrasi antibiotik dan dapat menghalangi pembentukan kapsul abses

Untuk Terapi HIV-AIDS diberikan obat ARV


Tenovir Disoproxil Fumarate dan Efavirenz merupakan kombinasi obat untuk membantu
mengobati dan mencegah infeksi HIV (Human Imunodeficiency Syndrome) pada pasien dewasa.
Pada dasarnya pasein dengan penyakit HIV-AIDS memang tidak cukup hanya satu obat saja harus
dikombinasikan dengan   obat HIV lain, untuk memaksimalkan efektivitasnya.
PLAN
1. Tenovir Disoproxil Fumarate
Tenofovir Disoproxil Fumarate adalah sediaan obat generik yang digunakan untuk mengobati
hepatitis B kronis dan infeksi HIV.

bekerja dengan cara mengganggu sintesis DNA HIV melalui penghambatan kompetitif reverse
transcriptase dan penggabungan ke dalam DNA virus. Selain itu, Tenovir Disoproxil Fumarate
menghambat virus hepatitis B polimerase, menghasilkan penghambatan replikasi virus.

Dosis: 1 kaplet/ tablet, diminum 1 kali sehari. Dapat dikonsumsi sebelum atau sesudah makan.
Konsumsilah secara konsisten baik sebelum makan atau sesudah makan.
PLAN
2. Efirenz

Efavirenz adalah obat yang termasuk kelompok non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors
(NNRTIs) dan termasuk dalam golongan obat antivirus. Obat ini digunakan bersama obat-obatan
HIV lainnya untuk mengontrol infeksi yang disebabkan virus HIV. Efavirenz berfungsi untuk
mencegah virus HIV berkembang biak di dalam tubuh. obat ini digunakan untuk membantu
menurunkan jumlah virus HIV dalam tubuh Anda sehingga sistem imun akan bekerja lebih baik

Dosis Dewasa 600 mg diminum satu kali sehari. Terapi dilakukan seumur hidup (lifelong therapy).
Dibutuhkan waktu 7-12 bulan untuk menurunkan jumlah virus secara signifikan hingga tidak
terdeteksi oleh alat diagnosis (undetectable viral load). Namun, pasien tetap harus mengonsumsi
obatnya setiap hari untuk mempertahankan jumlah virus yang sangat rendah tersebut.
erat badan >40 kg, 600 mg diminum 1 kali sehari. Tidak dianjurkan untuk anak dengan berat
badan di bawah 40 kg.dapat diminum sebelum atau sesudah makan sebelum tidur pada malam
hari
 
Sediaan lain yang beredar di Indonesia adalah kombinasi, yaitu 600 mg atau 400 mg efavirenz +
300 mg tenofovir + 300 mg lamivudin. Dosis selalu diberikan berdasarkan resep dari dokter.
PLAN

Untuk pemberian Kortikosteroid dipertimbangkan pada kasus-kasus dimana terdapat risiko


potensial dalam peningkatan tekanan intrakranial/ tekanan dalam rongga kepala. Tapering
off kortikosteroid adalah penurunan dosis yang dilakukan secara bertahap, dengan
tetap mempertahankan efek perbaikan klinis yang sudah dicapai sebelumnya. 
KIE
• Memberikan informasi kepada pasien tentang penyakitnya HIV-AIDS dan abses serebri gejala yang
muncul seperti kejang
• memberikan edukasi bahwa perlu pengendalian diri serta lingkungan dalam upaya mencegah
penularan hiv.
• menginformasikan keluarga terdekat pasien untuk psikologis dan support agar menumbuhkan
kepercayaan diri untuk sembuh.
• menginformasikan kepada keluarga untuk tidak menstigma dan mendiskriminasi orang yang terkena
hiv.
• perbanyak istirahat dan tidak stress
• Menggunakan kondom ketika melakukan hubungan seks,disarankan untuk tidak melakukan hubungan
seks dulu sampai penyakit HIVnya benar-benar sembuh
• Tidak melakukan hubungan seks untuk yang belum menikah dan tidak mengganti pasangan
untuk yang sudah menikah.
• Memberikan informasi untuk menjaga kebersihan diri untuk menghindari infeksi HIV-AIDS
(Wahyuni, 2013).
MONITORING

• Memantau efek samping obat yang mungkin terjadi.


• Melakukan konseling kepada pasien untuk melihat perkembangan terapinya dan
memonitoring kemungkinan terjadinya efek samping obat.
• Memantau kepatuhan pasien dalam menjalankan terapi.
• Memantau terapi Abses Serebri pada pasien HIV selama 3 hingga 6 minggu
02
02 • Seorang laki-laki berusia 25 tahun terinfeksi HIV dan toksoplasmosis sejak 2014, dan rutin mengonsumsi
obat antiretroviral yang mengandung nevirapine, lamivudine, zidovudine, dan pirimetamin. Pasien tersebut
dikonsultasikan dengan keluhan nyeri kepala tipe tegang di regio oksipitalis dengan intensitas berat, dan
terasa terus menerus. Keluhan ini disertai juga perasaan berputar dan pandangan ganda.
• Pemeriksaan fisik menunjukan status generalis yang cukup baik, dengan status gizi yang baik dan suhu
tubuh 37,5°C. Pada pemeriksaan neurologi ditemukan parese saraf kranialis N. VII dan XII dekstra, lesi N.
VIII dekstra, serta nistagmus horizontal bidireksional. Pada pasien tidak ditemukan tanda rangsang
meningeal, refleks patologis, dan klonus; refleks fisiologis masih dalam batas normal. Pemeriksaan
kekuatan otot pada ekstremitas menunjukkan adanya hemiparesis dekstra.
• Hasi pemeriksaan darah menunjukkan adanya leukopenia (1480 sel/µL) dan CD4 sejumah 14 sel/mm 3.
Hingga laporan ini dituliskan, pasien belum menjalani pungsi lumbal dan pemeriksaan radiologi lanjutan,
akan tetapi sedang direncanakan untuk pemeriksaan tersebut, khususnya MRI kepala tanpa kontras.
Sementara, etiologi dari nyeri kepala mengarah pada peningkatan tekanan intrakranial yang disebabkan oleh
infeksi virus, dengan diagnosis banding infeksi bakteri dan parasit pada sistem saraf pusat, termasuk infeksi
toksoplasma. Pemeriksaan secara umum dengan rontgen paru menunjukkan adanya infiltrasi yang dicurigai
sebagai pneumonia dengan diagnosis banding tuberkulosis paru.
• Tatalaksana yang diberikan kepada pasien adalah deksametason intravena 5 mg setiap 6 jam yang dosisnya
diturunkan secara bertahap, ranitidin intravena 50 mg setiap 12 jam, seftazidim intravena 1 g setiap 8 jam,
parasetamol intravena 1 g setiap 8 jam, tablet azitromisin 500 mg setiap 12 jam, tablet pirimetamin 5o mg
setiap 24 jam, tablet diazepam 2 mg setiap malam, dan tablet flunarizin 5 mg setiap 24 jam.
Penyelesaian
Subjektif
Identifikasi Data Pasien : Subyektif

Nama : Tn.X Riwayat pasien :


Umur : 25tahun Keluhan nyeri kepala tipe tegang di regio
Jenis kelamin : Laki-laki oksipitalis dengan intensitas
berat, dan terasa terus
menerus. Keluhan ini disertai
juga perasaan berputar dan
pandangan ganda.
Riwayat Pengobatan:
Obat antiretroviral yang mengandung nevirapine,
lamivudine, zidovudine, dan
pirimetamin.
Objektif
• Pemeriksaan fisik:
Pemeriksaan fisik menunjukkan status generalis yang cukup baik, dengan
status gizi yang baik dan suhu tubuh 37,5 oC .
• Hasil pemeriksaan:
HIV dan toksoplasmosis
• Hasil pemeriksaan lab:
Pada pemeriksaan neurologi ditemukan parese saraf kranialis N. VII dan XII dekstra, lesi N.
VIII dekstra, serta nistagmus horizontal bidireksional. Hasi pemeriksaan darah
menunjukkan adanya leukopenia (1480 sel/µL) dan CD4 sejumah 14 sel/mm 3. Pemeriksaan
secara umum dengan rontgen paru menunjukkan adanya infiltrasi yang dicurigai sebagai
pneumonia dengan diagnosis banding tuberkulosis paru.
Assesment
Metabolisme beberapa obat antiretroviral bervariasi, oleh karena itu diperlukan penyesuaian dosis berdasarkan kadar
obat dalam plasma, dan sebaiknya dari resep dokter (BPOM, 2008).
Pengobatan ini efeknya untuk mengurangi jumlah virus dalam plasma sebanyak mungkin dan untuk waktu selama
mungkin. Pemberian obat sebaiknya dimulai sebelum terjadinya kerusakan permanen pada sistem imun. Namun demikian
pemberian obat secara dini juga sebaiknya mempertimbangkan resiko toksisitas. Kepatuhan dan komitmen terhadap terapi
sangat diperlukan. Oleh karena itu perlu pertimbangan kenyamanan dan toleransi pasien terhadap terapi.
 Timbulnya resistensi dapat diminimalkan dengan pemberian obat kombinasi yang memiliki aktivitas sinergitif atau
adiktif. Direkomendasikan untuk melakukan uji sensitivitas virus terhadap antiretroviral terlebih dahulu sebelum memulai
terapi atau sebelum merubah obat jika infeksi tidak memberiikan respon (BPOM, 2008).
Plan
Terapi Farmakologi
Tatalaksana yang diberikan kepada pasien adalah deksametason intravena 5 mg setiap 6 dosisnya
diturunkan secara bertahap, ranitidin intravena 50 mg setiap 12 jam, seftazidim intravena 1 g setiap 8 jam,
parasetamol intravena 1 g setiap 8 jam, tablet azitromisin 500 mg setiap 12 jam, tablet
pirimetamin 50 mg setiap 24 jam, tablet diazepam 2 mg setiap malam, dan tablet flunarizin 5 mg
setiap 24 jam.
Alasan
Pemilihan

Deksametason merupakan jenis steroid intravena yang banyak digunakan sebagai terapi pendamping pada pengobatan
penyakit infeksi karena diketahui memiliki penetrasi yang baik pada susunan saraf pusat dan sifat anti-inflamasinya
sudah diteliti dengan baik (Sumampouw dkk., 2016).

Pemberian terapi pirimetamin, steroid dan obat anti retroviral pada pasien ini memperbaiki kondisi klinis. Pirimetamin
merupakan obat yang spesifik untuk toxoplasma stadium takizoit dan dapat menembus parenkim otak. Pirimetamin
memiliki efek sinergis jika dikombinasikan dengan klindamisin dan sulfadiazine. Kombinasi ini direkomendasikan
sebagai terapi lini pertama untuk toksoplasmosis cerebri pada pasien HIV (Yostila dan Amen 2018).
Alasan pemillihan

Riwayat pengobatan: Pengobatan dengan kombinasi beberapa obat anti HIV (Obat anti retroviral, disingkat ARV)
bermanfaat menurunkan morbiditas dan mortalitas dini akibat infeksi HIV (Sudoyono dkk., 2009).
 Zidovudin: Mengurangi replikasi dari virus. Dosis bervariasi, 500-600 mg/hari dalam 2-5 kali pemberian atau 1 gram/hari
dalam 2 kali pemberian. Anak diatas 3 bulan 120-180 mg/m2 tiap 6 jam (maksimum 200 mg tiap 6 jam). Pencegahan
transmisi HIV maternofetal: kehamilan lebih dari 14 minggu, oral, 100 mg 5xsehari sampai saat persalinan, kemudian pada
fase persalinan dan setelah bayi lahir, intravena dimulai dengan 2mg/kg bb selama 1 jam kemudian 1 mg/kg bb sampai saat
penjepitan tali pusat. Untuk operasi sesar selektif, berikan 4 jam sebelum operasi (BPOM, 2008).
 Lamivudin: Untuk mengobati hepatitis B kronik, Dosis: 150 mg 2xsehari, dosis untuk hepatitis B kronik 100mg 1xsehari;
anak dibawah 12 tahun (Sudoyono dkk., 2009)
 Nevirapine: Mencegah transmisi HIV dari ibu ke anak. Dosis: Tablet 200 mg 1x200 mg selama 14 hari, dilanjutkan 2x200
mg (Sudoyono dkk., 2009).
 Regimen terapi primer untuk toxoplasmosis adalah pyrimethamine dengan dosis awal 100-200 mg yang terbagi dalam 2
dosis, sulfadiazine 4-6 gram/hari per oral dalam 4 kali pemberian, dan asam folinik 10-20 mg/hari
Plan
Terapi Non Farmakologi

• Istirahat yang cukup, tidak stres , mengkonsumsi makanan seimbang, minum obat secara teratur dan
minum vitamin.
• Melakukan hubungan sebaiknya menggunakan alat pengaman seperti kondom.
• Mencegah terjadinya infeksi
KIE

• Memberikan informasi kepada pasien tentang penyakitnya toksoplasmosis gejala yang muncul seperti nyeri
kepala hebat, demam tinggi, kejang hingga penurunan kesadaran (Astriani dan Sri, 2019).
• Memberikan edukasi bahwa perlu pengendalian diri serta lingkungan dalam upaya mencegah penularan
HIV.
• Menginformasikan keluarga terdekat pasien untuk psikologis dan support agar menumbuhkan kepercayaan
diri untuk sembuh.
• Menginformasikan kepada keluarga untuk tidak menstigma dan mendiskriminasi orang yang terkena HIV.
• Perbanyak istirahat.
• Menggunakan kondom ketika melakukan hubungan seks.
• Tidak melakukan hubungan seks untuk yang belum menikah dan tidak mengganti pasangan untuk yang
sudah menikah.
• Memberikan informasi untuk menjaga kebersihkan diri untuk menghindari infeksi toksosplamosis
(Wahyuni, 2013).
• Memberikan informasi untuk makan makanan yang matang untuk menghindari infeksi toksosplamosis
(Wahyuni, 2013).
Monitoring

Monitoring:
• Memantau efek samping obat yang mungkin terjadi.
• Melakukan konseling kepada pasien untuk melihat
perkembangan terapinya dan memonitoring kemungkinan
terjadinya efek samping obat.
• Memantau kepatuhan pasien dalam menjalankan terapi.
• Memantau terapi toksoplasmosis pada pasien HIV
selama 3 hingga 6 minggu (Astriani dan Sri, 2019).
DAFTAR PUSTAKA
BPOM, 2008, Informatorium Obat Nasional Indonesi.
Sudoyono, A.W., Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata K, Sitti Setiati., 2009, Ilmu Penyakit
Dalam, Jilid III Edisi V, Jakarta.
Terimakasih

Anda mungkin juga menyukai